• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND

LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN

BERPIKIR TINGKAT TINGGI

Fahmi

ibnsuwandi@gmail.com

Magister Keguruan IPA Universitas Lambung Mangkurat

Abstrak

Belajar merupakan sebuah proses alami yang dilalui oleh manusia, baik yang dilakukan dengan cara langsung, maupun melalui penyampaian dari orang lain. Dewasa ini, kebutuhan akan peningkatan kualitas pengetahuan atau berpikir manusia sangatlah mendesak, sehingga para ilmuan, praktisi dan orang-orang yang berkecimpung dalam proses ini terus berupaya mengembangkan berbagai macam strategi yang arahnya untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi bagi siswa atau peserta didik. Diantara strategi pembelajaran yang berkembang adalah pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) yang berasaskan pada proses penemuan dan pengaitan proses belajar mengajar di sekolah dengan perilaku ataupun lingkungan sekitar siswa. Sehingga, diharapkan dengan strategi pembelajaran kontekstual ini, siswa mampu melakukan riset dalam skala kecil untuk kemudian melihat keterkaitan antara proses belajar-mengajar di sekolah dengan kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang kemudian akan menjadikan pembelajaran lebih bermakna dan mampu merangsang proses berpikir tingkat tinggi.

Kata kunci: strategi pembelajaran, Contextual Teaching and Learning

(CTL), berpikir tingkat tinggi.

I. PENDAHULUAN

Proses belajar mengajar merupakan sebuah identitas mendasar yang sangat penting dalam kehidupan manusia (Fahmi, 2015). Sehingga, ungkapan long life

education bukanlah ungkapan yang tidak beralasan, akan tetapi menjadi sebuah indikasi

jika proses pembelajaran menjadi sebuah kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. Hal ini kemudian berbanding lurus dengan fakta bahwa kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh maju atau tidaknya pendidikan yang mengacu pada kemampuan dan pengetahuan penduduk negeri tersebut, begitu pula sebaliknya. Sebagai contoh, daya saing kemampuan siswa Indonesia di bidang sains dibandingkan dengan siswa dari negera lain masih tergolong rendah. Berdasarkan hasil riset Programme for International

Student Assessment (PISA) dari tahun ke tahun, Indonesia terus berada di peringkat yang

mengkhawatirkan (Kemendikbud, 2013). Hal inilah yang diantaranya menjadi sebab terpuruknya bangsa Indonesia di berbagai bidang.

Peringkat siswa Indonesia selalu berada lima besar pada kelompok bawah. Hasil terbaru PISA 2012, menunjukkan siswa Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 peringkat dengan nilai rata-rata di bawah nilai rata-rata Organisation for Economic

Co-operation and Developmen (OECD, 2012). Data ini dikuatkan dengan laporan UN yang

menggambarkan dengan jelas terjadi tren penurunan pada kompetensi membaca tingkat tinggi dan pemahaman pada bidang studi IPA (Balitbang, 2014). Hal ini sejalan dengan lemahnya kondisi Indonesia dalam peningkatan kesejahteraan penduduknya.

(2)

Fakta tersebut menunjukkan ada masalah dengan pendidikan di negeri ini, khususnya bagi guru atau pendidik dan pemangku kebijakan dalam pendidikan yang harus segera diselesaikan. Semestinya pendidik dan terutama pemangku kebijakan dalam pendidikan harus belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya yang untuk kesekian kalinya Indonesia berada pada urutan yang memprihatinkan. Hal ini menunjukkan bahwa ada yang harus diperbaiki dalam proses pembelajaran di negeri ini, yaitu upaya meningkatkan taraf berpikir siswa Indonesia.

Secara umum, siswa Indonesia hanya mampu menjawab pertanyaan atau permasalahan yang sudah dikenal dengan informasi pendukung yang sudah tersedia (Wasis, 2015). Fakta tersebut menunjukkan bahwa siswa Indonesia hanya mampu menyelesaikan permasalahan sering atau pernah dia temui (routine problem) dan mengalami kesulitan ketika menghadapi masalah yang tidak biasa (nonroutine problem). Satu diantara solusi untuk menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia adalah menigkatkan taraf berpikir siswa. Diantara cara yang dapat dilakukan adalah dengan merancang pembelajaran yang efektif dan berbasis pada perubahan level berpikir siswa ke arah yang lebih tinggi (High Order Thinking).

II. PEMBAHASAN Berpikir Tingkat Tinggi

Proses pembelajaran sejatinya adalah proses berpikir yang berbanding lurus dengan tingkat berpikir manusia itu sendiri. Semakin rumit pembelajaran, maka akan menuntut siswa berpikir lebih tingkat tinggi tentang suatu masalah. Banyak para ahli yang mendefinisikan tentang berpikir tingkat tinggi adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pengambilan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan (King dkk, 2002). Pengambilan keputusan diambil setelah dilakukan refleksi dan evaluasi pada apa yang dipelajari dan dipercayai. Sejalan dengan itu (Fachrurazi, 2011) mengemukakan bahwa berpikir tingkat tinggi adalah proses sistematis yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri. Sementara itu (Facione, 2012) mengemukakan bahwa berpikir tingkat tinggi merupakan proses berpikir secara tepat, terarah, beralasan, dan reflektif dalam pengambilan keputusan yang dapat dipercaya. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah sebuah kemampuan yang dimiliki setiap orang untuk menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik untuk mengejar pengetahuan yang relevan tentang dunia dengan melibatkan evaluasi bukti. Kemampuan berpikir tingkat tinggi sangat diperlukan untuk menganalisis suatu permasalahan hingga pada tahap pencarian solusi untuk menyelesaikannya.

Siswa yang berpikir tingkat tinggi terlihat dari proses Problem Solving dalam konteks berinteraksi dengan dunia dan orang lain. Watson-Glaser (Glaser, 1937; Watson dan Glaser, 1994) menerangkan seseorang bisa dikatakan mampu berpikir tingkat tinggi apabila memiliki: 1) sikap inkuiri dan eksplorasi terhadap bukti yang mendukung secara akurat dan menyeluruh; 2) pengetahuan tentang kevalidan inferensi, abstraksi, dan generalisasi; dan 3) keterampilan dalam menerapkan sikap dan pengetahuan tersebut (Watson dan Glaser, 2012).

Hal yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan level berpikir siswa adalah dengan menggunakan strategi yang mampu mengaitkan antara materi ajar dan lingkungan nyata, sebab pada saat siswa melihat pembelajaran dalam penerapannya di kehidupan mereka, maka pembelajaran di kelas akan lebih bermakna. Ketika siswa melihat makna dalam tugas-tugas yang harus mereka kerjakan, mereka mudah menyerap pelajaran dan mengingatnya (Johnson, 2010).

(3)

Pada umumnya, pembelajaran di sekolah sudah mampu meningkatkan taraf berpikir siswa, hanya saja belum mengarah pada perubahan keterampilan berpikir yang maksimal. Hal tersebut disebabkan proses pembelajaran yang berpusat pada guru. Proses pembelajaran yang berpusat pada guru cenderung akan membuat peserta didik hanya mampu menghafalkan apa yang diterima, tetapi belum mampu memahami untuk menghubungkan antar apa yang dipelajari dan bagaimana pengetahuan tersebut dimanfaatkan di kehidupan sehari-hari (Liu dkk, 2009). Ketidakmampuan peserta didik menghubungkan antar apa yang dipelajari menjadi indikasi bahwa keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik masih rendah.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka yang harus dilakukan pendidik atau guru adalah membangun proses pembelajaran bermakna yang dapat membawa perubahan pola sikap dan pola pikir bagi peserta didik yakni dengan menumbuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi mereka. Kemampuan ini diperlukan siswa untuk menghubungkan berbagai konsep secara rasional sehingga muncul keterampilan untuk menganalisis suatu informasi dan ide-ide secara hati-hati dan teliti (Liu dkk, 2009 dan Tan dkk, 2012). Proses penerapan berpikir tingkat tinggi bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran sehingga tidak hanya untuk mengetahui informasi atau pengetahuan semata.

Keterampilan berpikir tingkat tinggi ini melibatkan siswa untuk menemukan bagaimana cara meneliti, manyatukan, membuat keputusan, serta menciptakan dan menerapkan pengetahuan baru yang mereka peroleh di kelas pada situasi di kehidupan sesungguhnya. Jika sebuah pembelajaran belum mampu memicu atau melatihkan keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik, maka perlu adanya pembenahan terhadap proses pembelajaran.

Contextual Teaching and Learning (CTL)

Secara umum siswa akan terlatih dan memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi jika guru mampu memfasilitasinya melalui metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, serta mampu menanamkan kebermaknaan dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu, perlu sebuah strategi pembelajaran yang mempu mewujudkan tercapainya tujuan pembelajaran.

Penggunaan strategi pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and

Learning (CTL) menjadi solusi untuk mengaitkan antara materi ajar dan lingkungan

nyata siswa. Hal ini disebabkan landasan filosofis CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, tetapi mengkonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau preposisi yang mereka alami dalam kehidupannya (Muslich, 2007). Sedangkan inti dari pembelajaran CTL adalah inquiry (menemukan). Jadi, pembelajaran harus dikemas dalam format “siswa menemukan sendiri” (Balim, 2009).

Batasan antara harapan dan kenyataan Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai strategi pembelajaran yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses pembelajaran menjadi sebuah keniscayaan. Siswa didorong untuk beraktivitas mempelajari materi sesuai dengan topik yang akan dipelajarinya Rubini dan Permanasari (2014). Belajar dalam konteks CTL bukan sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar adalah proses pengalaman secara langsung. Melalui proses berpengalaman itu, diharapkan perkembangan kemampuan berpikir siswa terjadi secara utuh, yang tidak hanya berkembang dalam aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan juga psikomotor. Belajar melalui CTL diharapkan siswa dapat menemukan sendiri inti dari topik yang dipelajarinya.

(4)

Pada prinsipnya, CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran epistimologi Giambatista Vico (Suparno, 1997). Vico mengungkapkan; ”Tuhan adalah pencipta alam semesta dan

manusia adalah tuan dari ciptaannya.” Jadi, mengetahui menurut Vico adalah

bagaimana seseorang membuat sesuatu. Artinya, seseorang dikatakan mengetahui apabila ia mampu, ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek) yang diketahui oleh seseorang.

Selanjutnya, pandangan filsafat konstruktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekadar menghafal, tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil (pemberian) dari orang lain seperti guru, tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan oleh setiap individu karena pengetahuan hasil dari pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna.

Piaget berpendapat, bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema. Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, pada suatu hari anak merasa sakit karena terpercik api, maka berdasarkan pengalamannya terbentuk skema pada struktur kognitif anak tentang api, bahwa api adalah sesuatu yang membahayakan oleh karena itu harus dihindari, sehingga ketika ia melihat api, secara refleks ia akan menghindar. Semakin anak dewasa, pengalaman anak tentang api bertambah pula. Ketika anak melihat ibunya memasak pakai api, atau ketika anaknya melihat ayahnya merokok menggunakan api, maka skema yang telah terbentuk itu disempurnakan, bahwa api bukan harus dihindari tetapi dapat dimanfaatkan. Proses penyempurnaan skema tentang api yang dilakukan oleh anak itu dinamakan

asimilasi. Selanjutnya, semakin anak dewasa, pengalaman itu semakin bertambah pula.

Ketika anak melihat bahwa pabrik-pabrik memerlukan api, setiap kendaraan memerlukan api, dan lain sebagainya, maka terbentuklah skema baru tentang api, bahwa api bukan harus dihindari dan juga bukan sekedar dapat dimanfaatkan, akan tetapi api sangat dibutuhkan untuk kebutuhan manusia. Proses mengubah skema yang sudah ada hingga terbentuk skema baru, itulah yang disebut akomodasi.

Pandangan Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognitif anak, sangat berpengaruh terhadap beberapa strategi pembelajaran, di antaranya strategi pembelajaran kontekstual. Menurut pembelajaran kontekstual, pengetahuan akan bermakna manakala ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan inti materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi dikehidupan nyata, sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

CTL memunculkan tiga pemahaman pokok, yaitu: Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Jadi, proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata yang dialaminya. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori otak siswa, sehingga tidak

(5)

akan mudah dilupakan. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan nyata, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka untuk berkompetisi di kehidupan yang sesungguhnya.

Berdasarkan konsep yang mendasarinya, maka CTL memiliki lima karakteristik penting untuk menjalankan proses pembelajaran yaitu:

1. Pembelajaran CTL merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memilki keterkaitan satu sama lain;

2. Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru diperoleh dengan cara deduksi, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memerhatikan detailnya;

3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperoleh dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan;

4. Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku; dan 5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan

pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan proses pembelajaran.

Riset yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan hasil yang cukup baik tentang Contextual Teaching and Learning (CTL) yang mampu meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa Ahiri, dkk, (2013) dan Fayakun dan Joko (2015), serta penelitian Rubini dan Permanasari (2014) yang juga menunjukkan fakta bahwa pembelajaran kontekstual mampu meningkatkan taraf berpikir dan pengetahuan siswa. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa strategi pembelajaran berbasis Contextual

Teaching and Learning (CTL) memungkinkan untuk meningkatkan keterampilan berpikir

kritis siswa.

III. PENUTUP

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran dengan menggunakan strategi Contextual Teaching and Learning (CTL) mampu meningkatkan pengetahuan dan taraf berpikir siswa, sehingga seyogyanya penelitian dan pembahasan tentang hal ini perlu terus dilakukan. Hal yang terpenting adalah bagaimana guru atau pendidik agar mampu dan mau menerapkan pembelajaran yang tidak hanya berpusat kepada guru, tapi juga siswa serta berusaha sebaik mungkin untuk mengaitkan proses pembelajaran di kelas dengan lingkungan sekitar siswa. Sehingga bagi siswa, pembelajaran akan terasa lebih menyenangkan, bermakna, dan membekas dalam benak mereka.

(6)

DAFTAR PUSTAKA

Ahri, J., Dunifa, L., Tanduklangi, A., Ghani, A, R, A. 2013. The Effect of Learning Strategies on Higher-Order Thinking Skills Students with Different Learning Styles. International Journal of Science and Research (IJSR). ISSN (Online): 2319-7064.

Balım, A, G. 2009. The Effects of Discovery Learning on Students’ Success and Inquiry Learning Skills. Egitim Arastirmalari-Eurasian Journal of Educational Research, 35, 1-20.

Balitbang Kemendikbud. 2014. Laporan Hasil Ujian Nasional 2014: Executive

Summary. Pusat Penelitian Pendidikan Balitbang kemendikbud. Diakses melalui

http://litbang.kemdikbud.go.id/data/puspendik/HASIL%20RISET

/UJIAN%20NASIONAL/HASIL%20UN%202014/Executive%20Summary%20 UN%202014.pdf pada 13 Mei 2016.

Fachrurazi. 2011. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar.

Jurnal UPI [online]. Vol 1, halaman 76-89. Tersedia:

http://jurnal.upi.edu/file/8-Fachrurazi.pdf

Facione, P, A. 2012. Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. Insight Assessment

Measuring Critical Thinking Worldwide. Measured Re asons and The California

Academic Press, Millbrae, CA.

Fahmi. 2015. Miskonsepsi Siswa SMA Negeri Banjarmasin pada Materi Ikatan Kimia.

Jurnal Pendidikan Jilid. 4 No. 2 Halaman. 534-545. Lembaga Penjaminan Mutu

Pendidikan (LPMP) Kalimantan Selatan.

Fayakun, M., Joko, P. 2015. Efektivitas Pembelajaran Fisika Menggunakan Model Kontekstual (CTL) Dengan Metodepredict, Observe, Explain Terhadap Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpfi.

Johnson, E, B. 2010. CTL Contextual Teaching & Learning; Menjadikan Kegiatan

Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: Kaifa Learning.

Kemendikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 81 Tahun

2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

King , F, J., Goodson, L., Rohani, F. 2002. Higher Order Thinking Skills, Definition, Teaching Strategies, Assessment. A publication of the Educational Services

Program, now known as the Center for Advancement of Learning and Assessment. www.cala.fsu.edu.

Liu, T,-C., Peng, H., Wu, W,-H., Lin, M, -S. (2009). The Effects of Mobile Natural-science Learning Based on the 5E Learning Cycle: A Case Study. Jornal

Educational Technology & Society, 12 (4), 344–358.

Liu, T,-Y., Tan, T,-H., Chu, Y,-L. (2009). Outdoor Natural Science Learning with an RFID-Supported Immersive Ubiquitous Learning Environment. Journal

Educational Technology & Society, 12 (4), 161–175.

Muslich, M. 2007. KTSP, Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.

OECD. 2012. Education at a Glance 2012OECD Indicators.

https://www.oecd.org/edu/EAG%202012_e-book_EN_200912.pdf.

Rubini, B dan Permanasari, A. 2014. The Development of Contextual Model with Collaborative Strategy in Basic Science Course to Enhance Students’ Scientific Literacy. Journal of Education and Practice. Vol.5, No.6. www.iiste.org

(7)

Tan, T,-H., Lin, M,-S., Chu, Y,-L., Liu, T,-Y. (2012). Educational Affordances of a Ubiquitous Learning Environment in a Natural Science Course. Journal

Educational Technology & Society, 15(2), 206–219.

Wasis. 2015. Hasil Pembelajaran Sains di Indonesia: Problem & Upaya Mengatasinya.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Sains. Surabaya: 24 Januari 2015.

Program Studi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. ISBN: 978-602-72071-0-3.

Watson, G, dan Edwar, M, G. 2012. Watson-Glaser Critical Thinking Appraisal:

User-Guide and Technical Manual, UK Supervised and Unsupervised Versions 2012.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Seluruh staff dan karyawan di Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang turut memberikan bekal ilmu dan pengetahuan selama masa studi, serta

Untuk meraih gelar sarjana S1, Dianing menulis skripsi dengan judul Gaya Hidup Posmodern Tokoh- Tokoh Dalam Novel Mata Matahari Karya Ana Maryam Sebuah Tinjauan

sedangkan perusahaan yang memiliki risiko finansial yang rendah adalah PT. Risiko finansial yang tinggi mengindikasikan bahwa proporsi hutang PT. Barito pada tahun 2012 lebih

Jadwal dengan Project Buffer dan Feeding Buffer yang Digambarkan dalam Rupa Slack (Durasi Kontraktor Dianggap Durasi Pesimis).. Dengan mengasumsi τ i = 1, dan durasi dari

Untuk mengetahui apakah produk, pelayanan dan lokasi berpengaruh secara simultan terhadap kepuasan nasabah di Bank Syariah Mandiri Purwokerto2. Untuk mengetahui

Secara umum proses sertifikasi mencakup : peserta yang telah memastikan diri kompetensinya sesuai dengan standar kompetensi untuk paket/okupasi Operator Boiler Kelas Dua

semakin tinggi bahan organic tanah maka tanah tersebut akan mempunyai derajat kerut yang kecil (Trijoko,2006)... Besar derajat kerut tanah pada masing-masing jenis

1. Foto toraks normal hanya ditemukan pada 5% penderitan TB paru post primer, sedangkan 95% penderita lainnya menunjukkan kelainan. Apabila tidak terdapat satupun gambaran dari