• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5. PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

97

5. PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO

PADA INVESTASI AGROINDUSTRI

5.1 Pemodelan Sistem

Pelaku utama dalam agroindustri lada putih adalah petani, pengolah, pedagang dan eksportir, pemerintah pusat, pemerintah daerah, asosiasi, lembaga keuangan, serta lembaga penelitian. Kebutuhan pelaku tertera pada Tabel 18. Tabel 18. Analisa Kebutuhan

No Pelaku Aspek Kebutuhan

1 Petani Bahan Baku Ketersediaan sarana produksi pertanian Ketersediaan benih unggul

Teknologi Ketersediaan teknologi budidaya Pelatihan dan Pendampingan Pemasaran Informasi harga

Respon harga terhadap peningkatan mutu produk Infrastruktur Kondisi jaringan jalan usahatani

Kebijakan Kebijakan adopsi dan diseminasi teknologi Pendanaan Suku bunga yang rendah

Skim pendanaan yang sesuai Pinjaman

Kelembagaan Peningkatan peran institusi ekonomi 2 Agroindustri Bahan Baku Bahan baku sesuai standar

Teknologi Ketersediaan alat perontok, alat pengupas, alat pengering, dan alat sortasi lada

Pelatihan dan pendampingan Pemasaran Pemasaran yang terintegrasi

Informasi harga

Respon harga terhadap peningkatan mutu produk Infrastruktur Kondisi jaringan jalan usahatani

Infrastruktur energi Kebijakan Iklim usaha

Kebijakan peningkatan investasi Kebijakan pengembangan jaringan usaha Kebijakan pemberdayaan UKM Pendanaan Suku bunga yang rendah

Skim pendanaan yang sesuai Pinjaman

Kelembagaan Peningkatan peran institusi ekonomi di daerah 3 Pedagang dan

Eksportir Produk Pemasaran Mutu produk yang sesuai persyaratan Informasi harga Kebijakan Iklim usaha

Kebijakan peningkatan investasi Kebijakan pengembangan jaringan usaha Pendanaan Suku bunga yang rendah

Pinjaman

4 Pemerintah Klaster Komoditas Model pengembangan rantai nilai Pendanaan Model pendanaan

5 Asosiasi Kelembagaan Dukungan penguatan kelembagaan Kebijakan Kebijakan pengembangan jaringan usaha 6 Lembaga keuangan Pendanaan Kebutuhan pendanaan

Dukungan penjaminan pemerintah daerah Informasi kelayakan investasi agroindustri Informasi dan perilaku risiko investasi agroindustri 7 Lembaga Penelitian Teknologi Informasi model proses adopsi teknologi

(2)

98

Agroindustri memiliki kebutuhan dalam proses pengadaan aset pencipta daya saing yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya teknologi, sumberdaya finansial, dan sumberdaya informasi. Pedagang dan eksportir memiliki kebutuhan pendanaan dan dukungan kebijakan yang berfungsi dalam mengatur dan mendukung proses pengembangan agroindustri.

Pemerintah memiliki kebutuhan dalam bentuk ketersediaan data dan informasi tentang model pengembangan agroindustri lada. Melalui hal ini, pemerintah dapat menetapkan kebijakan dan menyediakan dukungan fasilitas yang sesuai. Bagi lembaga keuangan, dukungan akan diberikan dalam bentuk pendanaan. Oleh karena itu dibutuhkan informasi kelayakan investasi, serta jenis dan perilaku risiko. Bagi lembaga penelitian, dukungan bagi pengembangan agroindustri lada akan diberikan dalam bentuk penyediaan dan diseminasi teknologi yang sesuai kebutuhan.

Pengembangan agroindustri diharapkan dapat meningkatkan pencapaian mutu, pangsa pasar, keuntungan, dan keberlanjutan. Dalam proses pencapaian tersebut, pelaku dihadapkan pada keterbatasan kepemilikan asset, yaitu teknologi, pengetahuan dan ketrampilan, informasi pasar, infrastruktur perekonomian perdesaan, dan modal, yang dibutuhkan bagi penciptaan daya saing. Sebagai akibatnya proses peningkatan mutu, proses pencapaian efisiensi biaya, dan proses peningkatan keberlanjutan, tidak berjalan optimal. Oleh karena itu diperlukan investasi yang memungkinkan pelaku untuk melakukan pengembangan agroindustri.

Membangun kemandirian untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat lokal, bagi setiap kabupaten/kota khususnya dan propinsi merupakan keharusan dan tuntutan semua elemen dalam melaksanakan semangat UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu cara mencapainya dapat melalui pengembangan ekonomi berbasis komoditas unggulan sebagai suatu instrumen kebijakan. Hal ini bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah yang pada akhirnya berdampak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lada putih sebagai komoditas unggulan daerah diharapkan dapat berperan sebagai penggerak utama (prime mover) dalam pembangunan ekonomi daerah.

(3)

99

Akar permasalahan utama rendahnya kinerja agroindustri adalah keterbatasan sumberdaya finansial. Agroindustri pada sebagian besar komoditas didominasi UKM. Isu dominan yang muncul dalam pembiayaan UKM antara lain unit usaha dianggap tidak layak secara bisnis, kurang informasi, tidak memiliki agunan, agunan yang ada tidak mencukupi, serta berbagai permasalahan legalitas. Pada kegiatan agroindustri sebagai sebuah kegiatan ekonomi yang berbasis pertanian, hal ini diperburuk oleh tingginya risiko yang dihadapi dalam proses produksi. Berbagai upaya untuk menumbuhkembangkan agroindustri terlihat dari komitmen pemerintah melalui peningkatan peran perbankan dalam kegiatan investasi dan pembiayaan. Pada penerapannya hal ini masih terkendala pada permasalahan usaha yang umumnya masih masuk dalam kategori belum bankable, terutama dikaitkan dengan ketentuan prudential banking yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Investasi merupakan langkah strategis dalam proses pengembangan agroindustri lada putih. Melalui kegiatan investasi dimungkinkan tersedianya aset daya saing dan penerapan proses penciptaan daya saing. Kedua hal ini akan menentukan pengembangan agroindustri dalam proses pencapaian pencapaian mutu dan mutu produk yang optimal. Mengingat lada merupakan komoditas ekspor, maka pencapaian kuantitas dan mutu ini akan menentukan juga pasar pangsa lada di pasar dunia. Pencapaian kinerja ini memberikan keuntungan yang signifikan yang dapat digunakan sebagai sumber pendanaan bagi kegiatan investasi selanjutnya.

Keputusan dalam kegiatan investasi dipengaruhi oleh risiko yang melekat pada kegiatan tersebut. Hal ini menyebabkan diperlukan adanya pengelolaan risiko yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Pengelolaan risiko memungkinkan sumberdaya dapat tersedia secara memadai, proses produksi pada sistem agroindustri berjalan dengan baik, serta produk yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Melalui pengelolaan risiko dan penyediaan aset penciptaan daya saing, maka diharapkan akan terjadi pencapaian kuantitas dan mutu produk yang optimal. Diagram lingkar sebab akibat dari berbagai fenomena yang terjadi pada sistem agroindutri tersebut tertera pada Gambar 27.

(4)

100

Gambar 27. Diagram Lingkar Sebab Akibat

Diagram input output pada sistem manajemen risiko investasi agroindustri disajikan pada Gambar 28. Sistem manajemen risiko pada investasi agroindustri lada memungkinkan terjadinya pemanfaatan input terkendali untuk mencapai tujuan terjadinya investasi. Melalui kegiatan investasi ini maka diharapkan akan tercapai peningkatan kuantitas dan mutu produk yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing. Melalui sistem manajemen risiko pada investasi agroindustri diharapkan akan mampu menjalankan transformasi input menjadi output yang diharapkan. Sistem yang berjalan dengan baik diharapkan akan meningkatkan daya tarik investasi, terhindarnya penahanan produk pada pasar dunia, dan pencapaian efisiensi yang dinyatakan dalam bentuk biaya.

(5)

101

Gambar 28. Diagram Input Output

5.2 Sistem Penunjang Keputusan Manajemen Risiko pada

Investasi Agroindustri

Sistem Penunjang Keputusan Sistem Manajemen Risiko Terpadu pada Investasi Agroindustri dengan nama SMART INVEST, terdiri dari empat subsistem yaitu; subsistem manajemen basis data, subsistem manajemen basis model, subsistem pengolahan terpusat, dan subsistem manajemen dialog (Gambar 29). Uraian deskripsi, kebutuhan hardware dan software, prosedur instalasi, struktur program, serta prosedur pengoperasian tertera pada Lampiran 5.

SPK ini merupakan SPK dengan tipe model driven yang memungkinkan dilakukan analisis dan simulasi. SPK ini menggunakan data input dan data hasil analisis yang disediakan oleh pembuat keputusan untuk membantu para pengambil keputusan dalam menganalisis. Terdapat sebelas jenis data yaitu: bobot pakar, bobot komponen risiko, tingkat keparahan, tingkat kejadian, tingkat pendeteksian, nilai kerentanan (vulnerability), kemampuan pengelolaan risiko,

101

Gambar 28. Diagram Input Output

5.2 Sistem Penunjang Keputusan Manajemen Risiko pada

Investasi Agroindustri

Sistem Penunjang Keputusan Sistem Manajemen Risiko Terpadu pada Investasi Agroindustri dengan nama SMART INVEST, terdiri dari empat subsistem yaitu; subsistem manajemen basis data, subsistem manajemen basis model, subsistem pengolahan terpusat, dan subsistem manajemen dialog (Gambar 29). Uraian deskripsi, kebutuhan hardware dan software, prosedur instalasi, struktur program, serta prosedur pengoperasian tertera pada Lampiran 5.

SPK ini merupakan SPK dengan tipe model driven yang memungkinkan dilakukan analisis dan simulasi. SPK ini menggunakan data input dan data hasil analisis yang disediakan oleh pembuat keputusan untuk membantu para pengambil keputusan dalam menganalisis. Terdapat sebelas jenis data yaitu: bobot pakar, bobot komponen risiko, tingkat keparahan, tingkat kejadian, tingkat pendeteksian, nilai kerentanan (vulnerability), kemampuan pengelolaan risiko,

101

Gambar 28. Diagram Input Output

5.2 Sistem Penunjang Keputusan Manajemen Risiko pada

Investasi Agroindustri

Sistem Penunjang Keputusan Sistem Manajemen Risiko Terpadu pada Investasi Agroindustri dengan nama SMART INVEST, terdiri dari empat subsistem yaitu; subsistem manajemen basis data, subsistem manajemen basis model, subsistem pengolahan terpusat, dan subsistem manajemen dialog (Gambar 29). Uraian deskripsi, kebutuhan hardware dan software, prosedur instalasi, struktur program, serta prosedur pengoperasian tertera pada Lampiran 5.

SPK ini merupakan SPK dengan tipe model driven yang memungkinkan dilakukan analisis dan simulasi. SPK ini menggunakan data input dan data hasil analisis yang disediakan oleh pembuat keputusan untuk membantu para pengambil keputusan dalam menganalisis. Terdapat sebelas jenis data yaitu: bobot pakar, bobot komponen risiko, tingkat keparahan, tingkat kejadian, tingkat pendeteksian, nilai kerentanan (vulnerability), kemampuan pengelolaan risiko,

(6)

102

bobot instrumen pengelolaan risiko, nilai bobot kelompok risiko, input analisis finansial, serta nilai indikator peubah.

Gambar 29. Kerangka Sistem Penunjang Keputusan Manajemen Risiko pada Investasi Agroindustri

Subsistem manajemen basis data, melalui subsistem pengolahan terpusat, terkoneksi dengan model perhitungan yang digunakan di dalam SPK ini. Sumber data untuk permodelan ini berasal dari sub-sistem manajemen basis data, dimana hasil dari perhitungan pemodelan akan disimpan kembali ke sub-sistem ini.

Basis model berisi model kuantitatif yang berfungsi untuk mengelola model agar dapat digunakan untuk melakukan analisis dan perhitungan komputatif pada proses pengambilan keputusan. Pengelolaan meliputi aktivitas untuk menyimpan, menghubungkan dan mengakses model. Subsistem manajemen basis model terdiri dari delapan jenis model yaitu: Pembobotan Pakar,

102

bobot instrumen pengelolaan risiko, nilai bobot kelompok risiko, input analisis finansial, serta nilai indikator peubah.

Gambar 29. Kerangka Sistem Penunjang Keputusan Manajemen Risiko pada Investasi Agroindustri

Subsistem manajemen basis data, melalui subsistem pengolahan terpusat, terkoneksi dengan model perhitungan yang digunakan di dalam SPK ini. Sumber data untuk permodelan ini berasal dari sub-sistem manajemen basis data, dimana hasil dari perhitungan pemodelan akan disimpan kembali ke sub-sistem ini.

Basis model berisi model kuantitatif yang berfungsi untuk mengelola model agar dapat digunakan untuk melakukan analisis dan perhitungan komputatif pada proses pengambilan keputusan. Pengelolaan meliputi aktivitas untuk menyimpan, menghubungkan dan mengakses model. Subsistem manajemen basis model terdiri dari delapan jenis model yaitu: Pembobotan Pakar,

102

bobot instrumen pengelolaan risiko, nilai bobot kelompok risiko, input analisis finansial, serta nilai indikator peubah.

Gambar 29. Kerangka Sistem Penunjang Keputusan Manajemen Risiko pada Investasi Agroindustri

Subsistem manajemen basis data, melalui subsistem pengolahan terpusat, terkoneksi dengan model perhitungan yang digunakan di dalam SPK ini. Sumber data untuk permodelan ini berasal dari sub-sistem manajemen basis data, dimana hasil dari perhitungan pemodelan akan disimpan kembali ke sub-sistem ini.

Basis model berisi model kuantitatif yang berfungsi untuk mengelola model agar dapat digunakan untuk melakukan analisis dan perhitungan komputatif pada proses pengambilan keputusan. Pengelolaan meliputi aktivitas untuk menyimpan, menghubungkan dan mengakses model. Subsistem manajemen basis model terdiri dari delapan jenis model yaitu: Pembobotan Pakar,

(7)

103

Pembobotan Komponen Risiko, Penilaian Risiko, Agregasi Nilai Risiko, Analisis Kapasitas Pengelolaan Risiko, Analisis Instrumen Pengeloaan Risiko, Analisis Finansial, dan Simulasi Kelayakan Investasi.

Sistem pengolahan terpusat adalah koordinator dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh dan berfungsi menjaga keterkaitan antar sistem yang ada. Sistem ini menerima masukan basis data, basis model dan manajemen dialog dalam bentuk baku serta menghasilkan keluaran sistem yang dikehendaki. Sistem manajemen dialog adalah bagian sistem penunjang keputusan yang berkomunikasi langsung dengan pengguna. Sistem ini berfungsi menerima masukan dan memberi keluaran yang dikehendaki oleh pengguna. Pengguna SPK, yaitu pelaku sistem komoditas lada, investor, dan pemerintah, dapat menggunakan SPK melalui media berupa grafik atau interface pengguna konvensional melalui sub sistem manajemen dialog.

Pelaku pada sistem komoditas lada, investor, dan pemerintah merupakan pengguna SPK. Bagi investor, SPK dapat memberikan gambaran mengenai kelayakan investasi dan pengaruh risiko terhadap kelayakan investasi. Bagi pelaku pada sistem komoditas lada, SPK dapat memberikan gambaran nilai risiko dan pengelolaan risiko terpadu. Bagi pemerintah, SPK dapat memberikan panduan dalam penyusunan instrumen pengelolaan risiko sebagai bentuk dukungan fasilitas dari pemerintah dan stakeholder lain.

5.3 Identifikasi Risiko

Keberhasilan pengembangan agroindustri berbasis alat dan mesin pertanian dipengaruhi oleh aspek kelembagaan pasca panen, aspek teknis, aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek ergonomis (Ditjen PPHP 2007). Pada aspek agroindustri, fokus analisis risiko adalah perihal yang berkaitan dengan aspek teknis, sedangkan aspek kelembagaan dianalisis pada bagian terpisah.

Identifikasi risiko pada agroindustri lada dilakukan dengan menganalisis risiko berdasarkan sumbernya. Risiko tersebut terdiri dari risiko akibat kegagalan perangkat keras (hardware failure), kegagalan perangkat lunak (software failure), kegagalan kelembagaan (organizational failure), dan kegagalan sumberdaya manusia (human failure) (Haimes 2009) dalam kaitannya dengan pencapaian

(8)

104

parameter mutu yang terdapat pada SNI 01-0004-1995, ISO 959-2, dan Standar Mutu IPC.

Berdasarkan sifat produk yang dihasilkan, risiko pada agroindustri lada dipengaruhi oleh risiko yang terjadi pada rantai sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya transmisi risiko pada rantai nilai komoditas lada. Oleh karena itu diperhitungkan risiko pada aspek budidaya dan pemasaran. Identifikasi pada aspek lain dilakukan dengan menggunakan risiko pada konsep pertanian (Miller et al. 2004), agribisnis (Angelucci dan Conforti 2010), atau rantai pasok (Kim et al. 2004).

Terdapat enam jenis risiko merupakan penambahan jenis risiko berdasarkan sifat spesifik dari sistem komoditas yang menjadi obyek kajian. Risiko tersebut yaitu risiko lokasi lahan dan risiko daya dukung lingkungan pada aspek budidaya, risiko Indikasi Geografis, risiko subtitusi produk, dan risiko persaingan pada aspek pemasaran, serta risiko ketergantungan antar pelaku pada aspek kelembagaan.

Identifikasi risiko dapat dilihat dari bagaimana struktur dan dinamika rantai nilai pada suatu komoditas. Hal ini didasarkan kepada kondisi dimana kinerja rantai nilai sistem komoditas dipengaruhi struktur dan dinamika rantai nilai. Risiko sistem komoditas lada terdiri dari risiko pada aspek agroindustri, budidaya, pemasaran, kelembagaan, dan finansial (Gambar 30).

Gambar 30. Taksonomi Risiko Investasi Agroindustri Lada

104

parameter mutu yang terdapat pada SNI 01-0004-1995, ISO 959-2, dan Standar Mutu IPC.

Berdasarkan sifat produk yang dihasilkan, risiko pada agroindustri lada dipengaruhi oleh risiko yang terjadi pada rantai sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya transmisi risiko pada rantai nilai komoditas lada. Oleh karena itu diperhitungkan risiko pada aspek budidaya dan pemasaran. Identifikasi pada aspek lain dilakukan dengan menggunakan risiko pada konsep pertanian (Miller et al. 2004), agribisnis (Angelucci dan Conforti 2010), atau rantai pasok (Kim et al. 2004).

Terdapat enam jenis risiko merupakan penambahan jenis risiko berdasarkan sifat spesifik dari sistem komoditas yang menjadi obyek kajian. Risiko tersebut yaitu risiko lokasi lahan dan risiko daya dukung lingkungan pada aspek budidaya, risiko Indikasi Geografis, risiko subtitusi produk, dan risiko persaingan pada aspek pemasaran, serta risiko ketergantungan antar pelaku pada aspek kelembagaan.

Identifikasi risiko dapat dilihat dari bagaimana struktur dan dinamika rantai nilai pada suatu komoditas. Hal ini didasarkan kepada kondisi dimana kinerja rantai nilai sistem komoditas dipengaruhi struktur dan dinamika rantai nilai. Risiko sistem komoditas lada terdiri dari risiko pada aspek agroindustri, budidaya, pemasaran, kelembagaan, dan finansial (Gambar 30).

Gambar 30. Taksonomi Risiko Investasi Agroindustri Lada

104

parameter mutu yang terdapat pada SNI 01-0004-1995, ISO 959-2, dan Standar Mutu IPC.

Berdasarkan sifat produk yang dihasilkan, risiko pada agroindustri lada dipengaruhi oleh risiko yang terjadi pada rantai sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya transmisi risiko pada rantai nilai komoditas lada. Oleh karena itu diperhitungkan risiko pada aspek budidaya dan pemasaran. Identifikasi pada aspek lain dilakukan dengan menggunakan risiko pada konsep pertanian (Miller et al. 2004), agribisnis (Angelucci dan Conforti 2010), atau rantai pasok (Kim et al. 2004).

Terdapat enam jenis risiko merupakan penambahan jenis risiko berdasarkan sifat spesifik dari sistem komoditas yang menjadi obyek kajian. Risiko tersebut yaitu risiko lokasi lahan dan risiko daya dukung lingkungan pada aspek budidaya, risiko Indikasi Geografis, risiko subtitusi produk, dan risiko persaingan pada aspek pemasaran, serta risiko ketergantungan antar pelaku pada aspek kelembagaan.

Identifikasi risiko dapat dilihat dari bagaimana struktur dan dinamika rantai nilai pada suatu komoditas. Hal ini didasarkan kepada kondisi dimana kinerja rantai nilai sistem komoditas dipengaruhi struktur dan dinamika rantai nilai. Risiko sistem komoditas lada terdiri dari risiko pada aspek agroindustri, budidaya, pemasaran, kelembagaan, dan finansial (Gambar 30).

(9)

105

Risiko pada aspek agroindustri adalah tidak tercapainya standar mutu lada putih. Standar mutu tersebut antara lain dinyatakan dengan: warna, kadar air, kerapatan massa, lada berjamur, lada enteng, lada berjamur, escherichia coli, serta salmonella, lada terserang serangga, kotoran mamalia, kandungan lada hitam, lada enteng, dan kandungan bahan asing. Bentuk kegagalan dan dampak kegagalan pada agroindustri tertera pada Tabel 19.

Tabel 19. Risiko pada Aspek Agroindustri

Nama Risiko Bentuk Kegagalan

(Failure Mode) Dampak Kegagalan (Failure Effect)

1. Lada tercampur Mesin perontok: alat pemisah

tidak bekerja dengan baik Buah lada tercampur dengan tangkai lada

2. Lada keabu-abuan Metode perendaman: lama

perendaman tidak sesuai dengan kekerasan kulit buah

Lada berwarna Keabu-Abuan 3. Kontaminasi

perendaman Air: air yang digunakan dalam perendaman tidak bersih dan tanpa penggantian air

Kontaminasi buah lada dengan e coli atau salmonella

Penurunan Aroma Lada

4. Lada pecah Mesin pengupas: ukuran alat

pemisah tidak sesuai dengan ukuran lada

Lada Pecah 5. Kontaminasi

pencucian Air: air yang digunakan untuk pencucian tidak bersih dan tidak mengalir

Kontaminasi buah lada dengan e coli atau salmonella

6. Kadar air Alat Pengering Bak: pemanas

tidak bekerja optimal Metode pengeringan: pengeringan tidak dilakukan dalam beberapa tahap Pengendalian suhu: suhu melebihi 60oC.

Kadar air lebih tinggi dari yang dipersyaratkan

7. Serangga ditemukan Metode Penjemuran:

penjemuran pada ruang terbuka tanpa rak penjemuran

Serangga ditemukan

8. Kotoran Metode Penjemuran:

penjemuran pada ruang terbuka tanpa rak penjemuran

Kotoran ditemukan

9. Jamur Metode Pengeringan: Kadar air

setelah pengeringan masih tinggi

Ruang penyimpanan: ruang penyimpanan tidak disertai dengan ventilasi yang baik

Biji lada terkena serangan jamur

10. Aroma Metode Penyulingan: tidak

sesuai prosedur. Aroma lada berkurang

11. Kadar atsiri Alat suling: alat suling tidak

dapat mengekstrak dengan optimal

Metode Penyulingan: tidak sesuai prosedur.

Kadar Atsiri rendah

(10)

106

Risiko yang terjadi pada setiap tahapan pengolahan adalah: (1) tahap perontokan: lada tercampur, (2) tahap perendaman: lada keabu-abuan, kontaminasi, (3) tahap pengupasan: lada pecah, (4) tahap pengeringan (pengeringan bak dan penjemuran): kadar air, serangga ditemukan, dan kotoran, jamur, (5) tahap sortasi: lada tercampur, serta (6) penyulingan: penurunan aroma, penurunan kadar atsiri. Penurunan aroma juga terjadi sebagai akibat dari pencemaran yang terjadi pada tahap perendaman.

Risiko yang terjadi pada aspek budidaya yaitu: hama penggerek batang, hama penghisap buah, hama penghisap bunga, penyakit busuk pangkal batang, penyakit kuning, dan penyakit kerdil atau keriting. Selain itu juga terdapat risiko cuaca, lokasi lahan, dan lingkungan. Bentuk kegagalan dan dampak kegagalan pada aspek budidaya tertera pada Tabel 20.

Tabel 20. Risiko pada Aspek Budidaya

Nama

Risiko Deskripsi Efek Transmisi Efek

12. Hama Pengge-rek Batang

Larva hama penggerek batang merusak cabang dan batang. serangga dewasa menyerang bagian tanaman seperti pucuk, bunga, dan buah.

Serangan penggerek batang menurunkan mutu dan kuantitas produksi Pada tingkat serangan berat, dapat

menyebabkan kematian tanaman.

Serangan HPT dapat menyebabkan penurunan produktivitas yang secara spesifik akan

menurunkan kuantitas buah lada. Hal ini menyebabkan penurunan ketersediaan buah lada yang akan diolah. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya idle capacity yang pada akhirnya akan

menyebabkan penurunan tingkat penerimaan. Serangan HPT juga dapat menurunkan mutu buah lada. Hal ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan kerusakan biji lada selama pengolahan sehingga menurunkan penerimaan. 13. Hama Penghi-sap Buah

Penghisap buah pada stadia nimfa maupun serangga dewasa menghisap cairan buah.

Bila menyerang buah muda menyebabkan tandan buah banyak kosong, sedangkan bila menyerang buah tua menyebabkan buah menjadi hampa, kering, dan gugur.

14. Hama Penghi-sap Bunga

Penghisap bunga pada stadia nimfa maupun dewasa dapat merusak bunga dan tandan bunga.

Serangan ringan menyebabkan tandan rusak, salah bentuk, dan buah hanya sedikit. Serangan berat menyebabkan seluruh bunga rusak, tangkai hitam, dan gugur sebelum waktunya.

15. Penyakit Busuk Pangkal Batang

Penyakit busuk pangkal batang disebabkan oleh serangan jamur

phytopthora capsici yang dapat menyerang seluruh

Penyakit busuk pangkal batang dapat

menyebabkan kematian tanaman dalam waktu singkat. Serangan jamur

(11)

107

Nama

Risiko Deskripsi Efek Transmisi Efek

bagian tanaman. Serangan yang paling membahayakan apabila terjadi pada pangkal batang atau akar. Gejala serangan dini sulit diketahui. Gejala yang tampak seperti kelayuan tanaman menunjukkan serangan telah lanjut.

sangat mudah menyebar.

16. Penyakit

Kuning Penyakit Kuning disebabkan oleh tidak terpenuhinya berbagai persyaratan agronomis serta serangan cacing halus (Nematoda). Penyakit ini menyerang akar tanaman lada, ditandai menguningnya daun lada, akar rambut mati, membusuk dan berwarna hitam.

Luka akibat serangan nematode akan

memudahkan terjadinya infeksi jamu F.

oxysporum. Selain itu dapat menyebabkan tanaman peka terhadap kekeringan dan

kekurangan unsur hara.

17. Penyakit Kerdil/ Keriting

Penyakit kerdil/keriting tidak mematikan tanaman tetapi menghambat pertumbuhan tanaman, sehingga menjadi kerdil dan menurunkan produktivitas.

Tanaman yang terserang ringan tetap dapat berproduksi tetapi tandan buahnya menjadi pendek, tandan buah tidak penuh, dan ukuran buah lebih kecil. Pada tanaman yang terserang berat, tanaman menjadi sangat kerdil dan tidak berbuah.

18. Cuaca Pertanaman lada

membutuhkan iklim dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun, Kelembaban udara 70-90%, dengan suhu

maksimum 340C dan

suhu minimum 200C.

Curah hujan yang tinggi saat musim pembungaan menyebabkan tanaman lada gagal berbuah.

Ketersediaan buah lada

19. Lokasi

lahan Lokasi lahan terpencar Jarak Lokasi lahan berjauhan

Kendala teknis

operasional Biaya trasportasi dan waktu pengumpulan buah lada akan menyebabkan peningkatan biaya pengolahan 20. Daya Dukung Lingkun gan Peraturan pemerintah daerah tentang pembukaan tambang inkonvensional telah menyebabkan perluasan timah rakyat yang sangat cepat.

Daya dukung lingkungan yang rendah menyebabkan penurunan produktivitas tanaman Perubahan lingkungan makro akan menyebabkan penurunan produktivitas sehingga menurunkan ketersediaan buah lada yang akan diolah

(12)

108

Risiko risiko cuaca, lokasi lahan, dan lingkungan merupakan risiko yang secara spesifik terjadi pada pengembangan komoditas lada di Kepulauan Bangka Belitung. Perubahan cuaca yang terjadi memberikan pengaruh yang signifikan pada proses pembuahan dan penjemuran lada. Selain itu lokasi kebun lada terpencar dengan jarak lokasi kebun yang berjauhan. Ditinjau dari sisi perkembangan kebijakan wilayah, peraturan pemerintah daerah tentang pembukaan tambang inkonvensional telah menyebabkan perluasan timah rakyat yang sangat cepat yang kemudian berpengaruh terhadap pengembangan areal lada.

Hama penggerek batang (Lophobarispiperis) merupakan hama yang paling merugikan. Larvanya menggerek batang dan cabang, yang pada serangan berat dapat menyebabkan kematian tanaman. Serangga dewasa menyerang pucuk, bunga, dan buah sehingga dapat menurunkan produksi dan mutu buah. Hama penghisap bunga (Diconocoris hewetti) pada stadia nimfa maupun dewasa dapat merusak bunga dan tandan bunga. Serangan ringan menyebabkan tandan rusak, salah bentuk, dan buah sedikit, sedangkan serangan berat menyebabkan seluruh bunga akan rusak, tangkai bunga menjadi hitam dan akhirnya bunga gugur sebelum waktunya. Hama ini juga memakan buah muda. Hama penghisap buah (Dasynus piperis) pada stadium nimfa maupun dewasa menghisap cairan buah. Serangan pada buah muda menyebabkan tandan buah banyak yang kosong, sedangkan pada buah tua mengakibatkan buah hampa, kering, dan gugur (IPC 2010; BBPTP 2008; Balittro 2005).

Penyakit busuk pangkal batang, yang disebabkan oleh jamur Phytophthora capsici, merupakan penyakit yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan kematian tanaman dalam waktu singkat. Jamur P.capsici dapat menyerang seluruh bagian tanaman lada, namun serangan yang paling membahayakan yaitu pada pangkal batang atau akar. Gejala serangan dini sulit diketahui, sedangkan gejala serangan lanjut berupa tanaman layu. Bila dalam kebun terdapat tanaman yang sakit, dalam 1-2 bulan kemudian penyakit akan menyebar ke tanaman di sekitarnya. Penyakit akan lebih cepat menyebar pada musim hujan, terutama pada pertanaman lada yang disiang bersih. Penyakit kuning banyak dijumpai di Bangka dan Kalimantan. Penyebabnya sangat kompleks, yaitu nematoda

(13)

109

Radopholus similis dan Meloidogyne incognita, jamur Fusarium oxysporum, serta kesuburan dan kelembapan tanah rendah. Serangan nematoda R. similis dan M. incognita berlangsung secara bersamaan. Luka akibat serangan nematoda akan memudahkan infeksi jamur F. oxysporum, serta menyebabkan tanaman peka terhadap kekeringan dan kekurangan unsur hara. Gejalanya penyakit kuning yaitu daun menjadi kuning, kaku tergantung tegak lurus, serta daun sangat rapuh sehingga mudah gugur. Secara bertahap, cabang akan gugur dan akhirnya tanaman gundul. Pada bagian akar, sebagian akar rambut rusak akibat serangan R. similis dan terdapat bintil-bintil akar akibat serangan M. incognita. Penyakit kerdil atau keriting disebabkan oleh virus seperti pepper yellow mottle virus (PYMV) dan cucumber mosaic virus (CMV). Penyakit ini tidak mematikan tanaman, tetapi menghambat pertumbuhan sehingga tanaman kerdil dan produksi menurun. Penyakit kerdil ditandai dengan munculnya daun-daun muda yang abnormal, berukuran lebih kecil, sering kali bergelombang atau belang. Pada serangan berat, pertumbuhan ruas memendek sehingga tanaman kerdil. Sering pula pertumbuhan cabang menjadi berlebihan dengan daun kecil atau tidak berdaun. Tanaman yang terserang ringan tetap dapat berproduksi, tetapi tandan buah menjadi pendek dan tidak penuh. Ukuran buah lebih kecil dari buah normal. Bila terserang berat, tanaman menjadi sangat kerdil dan tidak berbuah. Tanaman yang telah menunjukkan gejala penyakit ini, walaupun masih dalam stadium ringan, tidak dapat menjadi sumber bibit. Selain oleh serangga vektor (Aphis sp., Planococcus citri, dan Ferrisia sp.), penyakit juga dapat menyebar melalui alat pertanian (IPC 2010; BBPTP 2008; Balittro 2005).

Cuaca adalah kondisi udara di suatu tempat pada saat yang relatif singkat, yang meliputi kondisi temperatur, kelembaban dan tekanan. Iklim adalah kondisi udara disuatu wilayah pada periode waktu yang tertentu dan relatif lama. Risiko cuaca terjadi sebagai akibat perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, angin. Tanaman lada tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian mulai dari 0-700 m dpl dengan curah hujan dari 2.000-3.000 mm per tahun, merata sepanjang tahun dan mempunyai hari hujan 110-170 hari per tahun, serta musim kemarau hanya 2-3 bulan per tahun. Kelembaban udara 70-90% selama musim hujan,

(14)

110

dengan suhu maksimum 340C dan suhu minimum 200C. Perubahan pada kondisi tersebut akan mengakibatkan tidak optimalnya produksi dan mutu lada.

Pemerintah daerah Bangka Belitung telah mengeluarkan peraturan daerah tentang pembukaan tambang inkonvensional. Hal ini menyebabkan perluasan tambang timah rakyat yang sangat cepat, sehingga menyebabkan berkurangnya ekosistem hutan. Pengurangan ekosistem hutan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan sistem alam, yang pada akhirnya menurunkan daya dukung lingkungan terhadap pertanamana lada.

Lokasi pertanaman lada menyebar pada areal pertanian yang ada. Pertanaman lada pada suatu hamparan sangat jarang dijumpai. Akibat yang ditimbulkan dari kondisi ini terhadap agroindustri lada yaitu adanya sebaran konsentrasi buah lada yang akan diolah, sehingga diperlukan waktu dan biaya transportasi yang semakin besar.

Risiko harga merupakan risiko dalam aspek pemasaran yang memberikan pengaruh penting dalam pengembangan komoditas (Angelucci dan Conforti 2010; Miller 2004). Dalam konteks pengembangan komoditas lada putih, maka risiko pada aspek pemasaran juga meliputi risiko indikasi geografis, subtitusi produk, persaingan. Risiko tersebut merupakan isu dominan yang terjadi dalam sistem komoditas lada putih. Bentuk kegagalan dan dampak kegagalan pada aspek pemasaran tertera pada Tabel 21.

Risiko harga terjadi sebagai akibat perubahan harga lada secara tajam. Ketidakpastian dalam perkembangan harga akan mempengaruhi keputusan para pelaku ekonomi dalam melakukan perencanaan kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi. Penurunan harga lada secara tajam akan mempengaruhi pendapatan petani yang kemudian akan mempengaruhi kemampuan petani dalam proses penanaman selanjutnya dan kemampuan petani dalam pembayaran jasa pengolahan.

Indikasi Geografis merupakan komponen Hak Kekayaan Intelektual yang memberikan perlindungan terhadap lada putih muntok sebagai komoditas perdagangan yang terkait erat dengan Bangka Belitung sebagai tempat asal produk barang. Hal ini mengacu kepada UU No.15 tahun 2001 tentang Merek dan PP No. 51 2007 tentang Indikasi Geografis. Indikasi geografis mensyaratkan

(15)

111

pencapaian mutu dan nilai tambah produk melalui serangkaian proses yang telah ditetapkan. Indikasi Geografis mengharuskan dipenuhinya input, proses, dan output sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

Tabel 21. Risiko pada Aspek Pemasaran

Nama Risiko Deskripsi Efek Transmisi Efek

21. Harga Risiko yang terjadi

sebagai akibat perubahan harga lada secara tajam

Pada saat harga lada rendah, pemeliharaan kebun cenderung minimum sehingga sebagian besar kebun rusak dan produktivitas menurun, terjadi konversi ke tanaman lain, atau petani yang menjadi penambang timah.

Penurunan kuantitas buah lada menimbulkan kapasitas pengolahan tidak terpenuhi, sehingga terjadi penurunan penerimaan. Dari sisi petani,

penurunan kuantitas dan mutu lada akan

menyebabkan penurunan penerimaan petani sehingga menurunkan kemampuan pembayaran jasa pengolahan lada 22. Indikasi

Geografis Risiko indikasi geografis merupakan ketidakmampuan sistem produksi lada di Bangka Belitung dalam

menghasilkan lada putih dengan spesifikasi mutu yang ditetapkan dan dalam menjalani proses yang dipersyaratkan.

Jika input, proses, dan output sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. tidak dapat dipenuhi, maka indikasi geografis atas lada putih (muntok white pepper) dapat dicabut. Pencabutan indikasi geografis akan menurunkan kemampuan pengembangan merek produk sehingga mempengaruhi tingkat kepercayaan produk di pasar. 23. Subtitusi

Produk Risiko subtitusi produk merupakan beralihnya konsumen terhadap lada hitam sebagai akibat dari ketersediaan produk, harga produk, atau kemudahan pembelian produk.

Pengalihan pembelian kepada lada hitam akan menurunkan pangsa pasar lada putih.

Penurunan pangsa pasar menyebakan penurunan pendapatan petani, yang pada akhirnya akan menurunkan

kemampuan pembayaran jasa pengolahan buah lada

24. Tingkat

Persaingan Risiko tingkat persaingan menunjukkan adanya pengalihan dominasi pasar

Persaingan antar negara produsen lada di pasar dunia sangat tinggi, terutama sejak Vietnam memasuki pasar dan terus mengembangkan areal dan memperbaiki sistem budidaya dan pengolahannya.

Peningkatan persaingan menyebakan penurunan pendapatan petani, yang pada akhirnya akan menurunkan

kemampuan pembayaran jasa pengolahan buah lada

Risiko indikasi geografis dinyatakan dalam bentuk ditariknya indikasi geografis lada putih muntok akibat ketidakmampuan menghasilkan lada putih

(16)

112

dengan spesifikasi mutu yang ditetapkan dan ketidakmampuan menjalani proses menghasilkan lada putih seperti yang dipersyaratkan. Pencabutan ini merupakan ancaman yang dapat mengganggu pengembangan merek produk (product branding) di pasar dunia.

Secara teori, permintaan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: harga, produk, selera, dan pendapatan. Risiko subtitusi produk adalah risiko perpindahan pilihan konsumen dari lada putih ke lada hitam. Subtitusi lada putih terhadap lada hitam dimungkinkan terjadi karena rasa dan aroma yang dimiliki. Rasa pedas dipengaruhi oleh kandungan piperin, sedangkan aroma dipengaruhi oleh kandungan minyak atsiri. Komposisi pada kedua jenis lada tersebut berbeda.

Risiko persaingan menunjukkan peningkatan tekanan akibat dari perbaikan kinerja pada negara produsen lain. Kinerja pengembangan komoditas dapat dinyatakan dalam pencapaian mutu, pangsa pasar, keuntungan, dan keberlanjutan. Risiko persaingan ditunjukkan oleh penurunan pangsa pasar pada pasar dunia.

Pada kerangka manajemen rantai pasok (supply chain management), risiko rantai pasok dibagi menjadi dua, yaitu risiko eksternal dan risiko internal. Risiko eksternal merupakan risiko yang dihadapi oleh unit usaha berkaitan dengan jalannya sistem rantai pasok, yang terdiri dari risiko kerjasama, risiko keputusan manajemen, risiko pembagian informasi, risiko penjadwalan (Kim et al. 2004). Berdasarkan hal tersebut maka risiko yang terjadi pada aspek kelembagaan yaitu: risiko kerjasama, ketergantungan, manajemen operasional, dan informasi. Bentuk kegagalan dan dampak kegagalan pada aspek pemasaran tertera pada Tabel 22.

Kerjasama antar pelaku dalam rantai nilai dipengaruhi oleh: kepentingan pelaku, konflik antar pelaku, dan koordinasi antar pelaku. Risiko kerjasama merupakan risiko hilangnya kesepakatan pencapaian tujuan bersama antar pelaku pada rantai nilai. Hilangnya kerjasama antar pelaku pada rantai nilai akan menyebabkan tidak efektif atau bahkan terputusnya rantai produksi.

Risiko ketergantungan antar pelaku dalam rantai nilai adalah seberapa besar pelaku pada rantai nilai saling membutuhkan pelaku pada rantai yang lain dalam proses pengadaan bahan baku, produksi, dan pemasaran produk yang dihasilkan. Ketergantungan dapat terjadi sebagai akibat dari kebutuhan bersama

(17)

113

terhadap teknologi, pengetahuan, keberlanjutan, modal, dan inovasi (Ziggers dan Trienekens 1999). Risiko ketergantungan antar pelaku dalam proses pengolahan lada menjadi faktor yang harus diperhitungkan, karena proses pengolahan lada masih dimungkinkan dilakukan individual di tingkat petani secara tradisional. Tabel 22. Risiko pada Aspek Kelembagaan

Nama Risiko Deskripsi Efek Transmisi Efek

25. Kerjasama Kerjasama antar pelaku

dalam rantai nilai dipengaruhi oleh: kepentingan antar pelaku, konflik antar pelaku, dan koordinasi antar pelaku. Risiko kerjasama merupakan risiko hilangnya kesepakatan pencapaian tujuan bersama antar pelaku pada rantai nilai akibat tersebut diatas.

Hilangnya kerjasama antar pelaku pada rantai nilai akan menyebabkan tidak efektif atau bahkan terputusnya rantai produksi Terputusnya rantai produksi akan mengakibatkan gangguan kelangsungan pengolahan lada. 26. Ketergantung-an Ketergantung-antar pelaku

Risiko ketergantungan antar pelaku dalam rantai nilai adalah seberapa besar pelaku pada rantai nilai saling membutuhkan pelaku pada rantai yang lain dalam proses pengadaan bahan baku, produksi, dan pemasaran produk yang dihasilkan.

Ketergantungan antar pelaku yang rendah pada situasi proses adopsi yang belum berjalan, akan menyebabkan petani memilih mengolah lada secara tradisional.

Hal ini akan menyebabkan kapasitas pengolahan yang rendah, sehinga menyebabkan penurunan penerimaan 27. Jadwal

operasional Risiko penjadwalan berkaitan dengan waktu panen dan pengolahan yang bersamaan sehingga terjadi penumpukan buah lada

Waktu panen dan pengolahan yang bersamaan mengharuskan pengolahan dalam jumlah besar yang melebihi kapasitas mesin sehingga terjadi penumpukan buah lada

Waktu panen yang bersamaan dapat menyebabkan keterlambatan pengolahan sebagai akibat dari jumlah lada diolah yang melebihi kapasitas pengolahan mesin.

28. Informasi Risiko yang berkaitan dengan

informasi adalah tentang penyebaran informasi dan pemanfaatan informasi.

Tidak adanya proses akuisisi dan transfer informasi antar anggota akan menyebabkan penurunan keuntungan atau penurunan tingkat keamanan rantai pasok. Hal ini disebabkan oleh

Informasi yang tidak terbagi secara simetri akan menyebabkan gangguan pada rantai nilai. Hal ini berkaitan dengan keputusan pada setiap rantai yang akan mempengaruhi rantai lainnya.

Manajemen operasional yang berkaitan dengan panjadwalan memegang peranan penting dalam proses penciptaan mutu produk dan kelangsungan

(18)

114

produksi. Risiko penjadwalan berkaitan dengan waktu panen dan pengolahan yang bersamaan sehingga terjadi penumpukan buah lada.

Risiko yang berkaitan dengan informasi adalah tentang penyebaran dan pemanfaatan informasi. Rendahnya proses akuisisi dan transfer informasi antar anggota akan mengakibatkan terjadinya penurunan keuntungan atau penurunan tingkat keamanan rantai pasok.

Risiko yang terjadi pada aspek finansial yaitu: risiko suku bunga, nilai tukar, kredit, serta likuiditas. Bentuk kegagalan dan dampak kegagalan pada aspek finansial tertera pada Tabel 23.

Tabel 23. Risiko pada Aspek Finansial

Nama Risiko Deskripsi Efek

29. Suku

Bunga Risiko suku bunga adalah risiko yang timbul karena nilai relatif aktiva berbunga, seperti pinjaman atau obligasi, akan memburuk karena peningkatan suku bunga.

Kenaikan suku bunga akan mengakibatkan peningkatan kewajiban dari pinjaman yang harus dibayar.

30. Nilai tukar Risiko kerugian pada saat terjadinya apresiasi (kenaikan) atau depresiasi (penurunan) mata uang asing yang

disebabkan oleh adanya posisi transaksi yang masih terbuka.

Kenaikan nilai tukar akan menyebabkan penurunan penerimaan petani yang kemudian menyebabkan penurunan kemampuan petani dalam merawat kebun. Hal ini kemudian akan mempengaruhi jumlah lada yang diolah.

31. Kredit Risiko yang timbul sebagai akibat dari

pengguna jasa yang diberi keringanan pembayaran gagal memenuhi kewajiban untuk membayar pinjaman

Kegagalan pembayaran oleh pihak ketiga akan

mengakibatkan terganggunya pembiayaan internal dan operasional unit usaha.

32. Likuiditas Risiko dimana unit usaha tidak memiliki

uang tunai atau aktiva jangka pendek yang dapat diuangkan segera dalam jumlah cukup untuk memenuhi kewajiban pembayaran

Penurunan kemampuan pembayaran kewajiban akan mempengaruhi kelangsungan operasional pengolahan lada.

Risiko suku bunga adalah risiko yang timbul karena nilai relatif aktiva berbunga, seperti pinjaman atau obligasi, yang memburuk karena peningkatan suku bunga. Risiko kredit adalah risiko yang timbul sebagai akibat dari pengguna jasa, yang diberi keringanan pembayaran, gagal memenuhi kewajiban untuk membayar pinjaman. Risiko likuiditas adalah risiko dimana unit usaha tidak memiliki uang tunai atau aktiva jangka pendek, yang dapat diuangkan segera, dalam jumlah cukup untuk memenuhi kewajiban pembayaran.

(19)

115

Perbedaan harga lada putih pada tingkat produsen dan konsumen ditentukan oleh biaya transportasi, tarif impor, pajak ekspor, serta nilai tukar mata uang. Faktor lain yang memberikan pengaruh adalah kebijakan perdagangan yang lain yang dikeluarkan oleh negara eksportir maupun importir.

Sebagai produk komoditas ekspor, perdagangan lada dipengaruhi oleh nilai tukar yang berlaku. Risiko nilai tukar merupakan risiko kerugian pada saat terjadinya apresiasi (kenaikan) atau depresiasi (penurunan) mata uang asing disebabkan oleh adanya posisi transaksi yang masih terbuka.

5.4 Penilaian Risiko

Penilaian risiko dilakukan terhadap sistem komoditas secara keseluruhan. Penilaian dilakukan untuk mendapatkan prioritas risiko yang paling kritis yang dapat menyebabkan tidak tercapainya kinerja investasi agroindustri lada. Penilaian risiko dilakukan dengan pendekatan Analisis Risiko dan FMEA. Pada Analisis Risiko dilakukan penilaian terhadap kejadian (occurrence) dan keparahan (severity) dari setiap faktor risiko, sedangkan pada FMEA, selain hal tersebut, juga dilakukan penilaian terhadap tidak terdeteksinya faktor risiko (detection). Keparahan (severity) menggambarkan konsekuensi atas kegagalan yang terjadi, kejadian (occurrence) menggambarkan kemungkinan atau frekuensi terjadinya kegagalan, dan deteksi (detection) menggambarkan kemungkinan tidak terdeteksinya kegagalan sebelum dampak dari efek kegagalan tersebut terjadi.

Pendekatan FMEA digunakan pada analisis risiko aspek agroindustri. Analisis FMEA yang digunakan adalah FMEA berbasis proses dimana analisis meliputi permasalahan yang terjadi selama proses pengolahan berlangsung. Pada aspek budidaya, pemasaran, finansial, serta kelembagaan, analisis dilakukan terhadap kejadian (occurrence) dan keparahan (severity). Hal ini didasarkan pada kondisi dimana fungsi risiko tidak dipengaruhi oleh tingkat pendeteksian atau pendeteksian dilakukan pelaku lain, metode yang digunakan pada keempat aspek ini adalah Risk Analysis dimana risiko merupakan fungsi dua dimensi dari occurrence (O) dan severity (S).

(20)

116

Penilaian faktor dilakukan dengan menggunakan pendekatan fuzzy. Hal ini didasarkan kepada adanya kebutuhan pengukuran secara linguistik sebagai upaya untuk menangkap pengetahuan responden atas faktor tertentu. Selain itu, nilai kriteria menjadi lebih realistis apabila dinyatakan secara kualitatif atau dengan menggunakan istilah linguistik. Faktor harga, pangsa pasar, suku bunga, dan nilai tukar merupakan faktor yang memiliki nilai historis. Penilaian pada faktor ini dilakukan dengan meminta pendapat pakar berdasarkan data yang ada atau gambaran situasi yang sesungguhnya terjadi. Pengembangan lebih lanjut dapat dilakukan apabila nilai risiko adalah berbasis data dan berbasis pengetahuan. Pada hal ini diperlukan kombinasi metode penilaian risiko yang dinyatakan secara linguistik berbasis pengetahuan dan berbasis nilai yang diturunkan dari data deret waktu (time series). Metode yang dapat digunakan adalah kombinasi metode fuzzy logic dengan metode Autoregressive Moving Average (ARIMA).

5.4.1 Pembobotan Pakar

Pembobotan pakar dilakuan untuk memberikan nilai terhadap pakar berdasarkan tingkat kepercayaannya. Metode yang digunakan adalah logika Fuzzy dengan metode Fuzzy Weighted Average. Tahapan diawali dengan melakukan fuzzifikasi kriteria pemilihan dan menentukan model fungsi keanggotaan fuzzy (membership function) seperti tertera pada Tabel 24.

Tabel 24. Skala Penilaian Pembobotan Pakar

Skala Linguistik Nilai Fuzzy

Sangat Tinggi (0.75, 1, 1)

Tinggi (0.5, 0.75, 1)

Sedang (0.25, 0.5, 0.75

Rendah (0, 0.25, 0.5)

Sangat Rendah (0, 0, 0.25)

Tahapan selanjutnya adalah defuzzifikasi. Input dari proses defuzzifikasi adalah suatu himpunan fuzzy yang diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzy, sedangkan output yang dihasilkan merupakan suatu bilangan pada domain

(21)

117

himpunan fuzzy tersebut. Teknik defuzzifikasi yang digunakan adalah metode center of area (COA) atau disebut juga metode centroid, dimana solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil titik pusat daerah fuzzy. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

= ... ... .... (6)

dimana: wpi = bobot pakar ke-i api = titik bawah TFN pakar ke-i bpi = titik tengah TFN pakar ke-i cpi = titik atas TFN pakar ke-i Hasil yang telah diperoleh dari tahap defuzzifikasi, kemudian dilakukan normalisasi nilai. Hal ini dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: = ... ... ... (7)

dimana: wnpi = bobot ternormalisasi pakar ke-i wpi = bobot pakar ke-i 5.4.2 Pembobotan Komponen Risiko Pembobotan komponen risiko dilakukan untuk memberikan nilai terhadap komponen risiko, yaitu occurrence, severity, dan detection, berdasarkan tingkat kepentingannya. Metode yang digunakan logika Fuzzy dengan metode Fuzzy Weighted Average yang terdiri dari langkah seperti pada pembobotan pakar. Rumus yang digunakan pada tahap defuzifikasi bagi komponen occurrence adalah sebagai berikut: = ... ... (8)

= ... ... (9)

= ... ... (10)

(22)

118

dimana: waO = bobot occurrence berdasarkan nilai titik bawah TFN

wbO = bobot occurrence berdasarkan nilai titik tengah TFN

wcO = bobot occurrence berdasarkan nilai titik atas TFN

aOpi = nilai titik bawah TFN nilai occurrence pakar ke-i

bOpi = nilai titik tengah TFN nilai occurrence pakar ke-i

cOpi = nilai titik atas TFN nilai occurrence pakar ke-i

wO = nilai occurrence

Rumus yang digunakan pada tahap defuzifikasi bagi komponen severity adalah sebagai berikut:

= ... ... (12)

= ... ... (13)

= ... ... (14)

= ... ... (15)

dimana: waS = bobot severity berdasarkan nilai titik bawah TFN

wbS = bobot severity berdasarkan nilai titik tengah TFN

wcS = bobot severity berdasarkan nilai titik atas TFN

aSpi = nilai titik bawah TFN nilai severity pakar ke-i

bSpi = nilai titik tengah TFN nilai severity pakar ke-i

cSpi = nilai titik atas TFN nilai severity pakar ke-i

wS = bobot severity

Rumus yang digunakan pada tahap defuzifikasi bagi komponen detection adalah sebagai berikut:

= ... ... (16)

= ... ... (17)

= ... ... (18) = ... ... (19)

dimana: waD = bobot detection berdasarkan nilai titik bawah TFN

wbD = bobot detection berdasarkan nilai titik tengah TFN

wcD = bobot detection berdasarkan nilai titik atas TFN

aDpi = nilai titik bawah TFN nilai detection pakar ke-i

bDpi = nilai titik tengah TFN nilai detection pakar ke-i

cDpi = nilai titik atas TFN nilai detection pakar ke-i

(23)

119

Pada risiko dengan fungsi komponen yang terdiri dari occurrence, severity dan detection, normalisasi nilai dilakukan dengan cara menjadikan penjumlahan ketiga bobot tersebut menjadi 100%. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

= ... ... (20)

= ... ... (21)

= ... ... (22)

dimana: wn1O = bobot Occurrence 1

wn1S = bobot Severity 1

wn1D = bobot Detection 1

wO = bobot Occurrence

wS = bobot Severity

wD = bobot Detection

Pada risiko dengan fungsi komponen yang terdiri dari occurrence dan severity, normalisasi nilai dilakukan dengan cara menjadikan penjumlahan kedua bobot tersebut menjadi 100%. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

=    

=   

dimana: wn2O = bobot Occurrence 2

wn2S = bobot Severity 2

wO = bobot Occurrence

wS = bobot Severity

5.4.3 Perhitungan Nilai Risiko

Nilai risiko dipengaruhi oleh komponen risiko dan bobot penilai. Langkah perhitungan nilai risiko yaitu melakukan fuzzifikasi kriteria pemilihan, dan menentukan model fungsi keanggotaan fuzzy (membership function) seperti tertera pada Tabel 25.

(24)

120

Tabel 25. Skala Penilaian Pembobotan Komponen Risiko

Skala Linguistik Nilai Fuzzy

Sangat Tinggi (8, 9, 10, 10)

Tinggi (6, 7, 8, 9)

Sedang (4, 5, 6, 7)

Rendah (2, 3, 4, 5)

Sangat Rendah (1, 1, 2, 3)

Perhitungan diawali dengan melakukan agregasi nilai occurrence, severity dan detection. Perhitungan nilai occurrence dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

= ... ... ... (25)

= + + ... (26) = + + ... (27) = + + ... (28)

= + + ... (29)

dimana: aO = nilai occurrence berdasarkan nilai titik bawah TFN

bO = nilai occurrence berdasarkan nilai titik tengah1 TFN

cO = nilai occurrence berdasarkan nilai titik tengah2 TFN

dO = nilai occurrence berdasarkan nilai titik atas TFN

aOpi = nilai titik bawah TFN nilai occurrence oleh pakar ke-i

bOpi = nilai titik tengah1 TFN nilai occurrence oleh pakar ke-i

cOpi = nilai titik tengah2 TFN nilai occurrence oleh pakar ke-i

dOpi = nilai titik atas TFN nilai occurrence oleh pakar ke-i

wnpi = bobot ternormalisasi pakar ke-i

O= nilai occurrence risiko

Perhitungan agregasi nilai severity dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

= ... ... ... (30)

= + + ... (31) = + + ... (32) = + + ... . (33) = + + ... (34)

(25)

121

dimana: aS = nilai severity berdasarkan nilai titik bawah TFN

bS = nilai severity berdasarkan nilai titik tengah1 TFN

cS = nilai severity berdasarkan nilai titik tengah2 TFN

dS = nilai severity berdasarkan nilai titik atas TFN

aSpi = nilai titik bawah TFN nilai severity oleh pakar ke-i

bSpi = nilai titik tengah1 TFN nilai severity oleh pakar ke-i

cSpi = nilai titik tengah2 TFN nilai severity oleh pakar ke-i

dSpi = nilai titik atas TFN nilai severity oleh pakar ke-i

wnpi = bobot ternormalisasi pakar ke-i S = nilai severity

Perhitungan agregasi nilai detection dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

= ... ... ... (35) = + + ... (36) = + + ... (37) = + + ... (38) = + + ... (39)

dimana: aD = nilai detection berdasarkan nilai titik bawah TFN

bD = nilai detection berdasarkan nilai titik tengah1 TFN

cD = nilai detection berdasarkan nilai titik tengah2 TFN

dD = nilai detection berdasarkan nilai titik atas TFN

aDpi = nilai titik bawah TFN nilai detection oleh pakar ke-i

bDpi = nilai titik tengah1 TFN nilai detection oleh pakar ke-i

cDpi = nilai titik tengah2 TFN nilai detection oleh pakar ke-i

dDpi = nilai titik atas TFN nilai detection oleh pakar ke-i

wnpi = bobot ternormalisasi pakar ke-i S = nilai detection

Perhitungan Nilai Risiko dengan dengan menggunakan pendekatan Fuzzy Risk Priority Number yang telah disempurnakan dengan memasukkan bobot pakar dan bobot komponen risiko. Hal ini dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

= (( ) ) (( ) ) (( ) ) ... ... (40)

= (( ) ) (( ) ) ... ... (41)

dimana: NRi= nilai risiko faktor risiko ke-i ORi= nilai occurrence faktor risiko ke-i

(26)

122

SRi= nilai severity faktor risiko ke-i DRi= nilai detection faktor risiko ke-i wn1O = bobot Occurrence 1

wn1S = bobot Severity 1

wn1D = bobot Detection 1

wn2O = bobot Occurrence 2

wn2S = bobot Severity 2

5.4.4 Agregasi Nilai Risiko

Agregasi nilai risiko merupakan penggabungan nilai risiko secara keseluruhan untuk memperoleh gambaran nilai total risiko dan memperkirakan statusnya. Agregasi nilai risiko dilakuan dengan mengikuti langkah sebagai berikut:

1. Menghitung Bobot Risiko Kelompok. Hal ini dilakuan dengan fuzzifikasi kriteria pemilihan dan menentukan model fungsi keanggotaan fuzzy (membership function). Model fungsi keanggotaan fuzzy yang digunakan adalah triangular fuzzy number (TFN) dengan nilai pada kisaran 0-1. Kemudian dilanjutkan dengan defuzzifikasi dan normalisasi nilai. Rumus yang digunakan dalam perhitungan adalah sebagai berikut:

= ... ... ... (42)

= ... ... ... (43)

= ... ... ... (44)

= ... ... ... (45)

dimana:

wki= bobot kelompok risiko ke-i

aki = nilai bobot kelompok ke-i berdasarkan nilai titik bawah TFN

bki = nilai bobot kelompok ke-i berdasarkan nilai titik tengah TFN

cki = nilai bobot kelompok ke-i berdasarkan nilai titik atas TFN

akipi = nilai titik bawah TFN nilai bobot kelompok ke-i oleh pakar ke-i

bkipi = nilai titik tengah TFN nilai bobot kelompok ke-i oleh pakar ke-i

(27)

123

2. Menghitung Nilai Risiko Total. Nilai Risiko Total dianalisis dengan memperhitungkan nilai bobot kelompok dan nilai risiko kelompok. Rumus yang digunakan dalam perhitungan nilai risiko kelompok adalah sebagai berikut:

= ... ... (46)

= ... ... (47)

= ... ... (48)

= ... ... (49)

= ... ... (50)

dimana: NRki= nilai risiko faktor risiko kelompok ke-i Perhitungan nilai risiko total dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: = ( ) ... ... (51)

dimana: NRtotal= Nilai Risiko Total

3. Menilai Status Risiko

Status risiko ditetapkan dengan menggunakan aturan sebagai berikut: If 0<Nilai Risiko Total≤2 then Status Risiko is Sangat Rendah If 2.01<Nilai Risiko Total≤4 then Status Risiko is Rendah If 4.01<Nilai Risiko Total≤6 then Status Risiko is Sedang If 6.01<Nilai Risiko Total≤8 then Status Risiko is Tinggi

(28)

124

5.5 Pengelolaan Risiko

Pengelolaan risiko pada investasi agroindustri lada merupakan upaya untuk mengurangi peluang munculnya kejadian (occurrence), mengurangi tingkat keparahan (severity), atau keduanya. Hal ini merupakan pendekatan yang digunakan pada penelitian ini yang dinyatakan sebagai uraian yang melekat pada setiap risiko.

5.5.1 Pengelolaan Risiko pada Aspek Agroindustri

Pada kegiatan pengolahan lada yang dilakukan secara tradisional, dibutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses pengerjaannya, selain itu hasil yang diperoleh juga lebih rendah. Pengolahan secara mekanis kemudian menjadi langkah strategis untuk mengatasi hal tersebut, namun demikian dibutuhkan modal awal yang besar pada tahap awal. Pemilihan pengolahan secara mekanis juga mensyaratkan adanya manajemen pemeliharaan dan pengadaan suku cadang yang baik. Pada pengolahan secara mekanis, penggunaan tenaga kerja relatif lebih sedikit, namun demikian pelatihan merupakan persyaratan penting dalam upaya mengoperasikan dan menyesuaikan operasional mesin untuk mencapai hasil yang maksimal. Tenaga operator yang handal diharapkan dapat membantu pencapaian efisiensi potensial alat dan mesin, serta dapat memelihara operasional alat dan mesin sampai umur ekonomisnya.

Pengelolaan risiko yang dapat dilakukan pada aspek agroindustri tertera pada Tabel 26. Pengelolaan risiko yang bersifat ex ante yaitu melakukan pencegahan melalui pengelolaan sumber risiko baik yang berasal dari kesalahan SDM, mesin, atau pemilihan dan penerapan metode. Pengelolaan dapat dilakukan dengan pemeliharaan alat dan mesin, meningkatkan kemampuan operator, dan memperbaiki metode pengolahan. Selain itu juga perlu dilakukan pengembangan kapasitas sumberdaya manusia seperti pelatihan dan magang pada unit agroindustri yang telah berjalan, demonstrasi dan pendampingan penggunaan alat dan mesin pengolahan lada. Ditinjau dari sisi teknis, perlu dilakukan penyediaan peralatan penunjang, penyediaan suku cadang, dan perbengkelan.

Pengelolaan risiko yang bersifat ex post yaitu perbaikan mesin dan peralatan, serta penyempurnaan metode pengolahan. Perbaikan ini akan

(29)

125

disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan pengguna dengan

mempertimbangkan efisiensi dan biaya yang harus dikeluarkan. Tabel 26. Pengelolaan Risiko pada Aspek Agroindustri

Nama Risiko Pengelolaan Risiko

1. Lada tercampur 1. Menyediakan mesin perontok yang memiliki alat pemisah sesuai

dengan karakteristik fisik buah lada

2. Menggunakan mesin perontok sesuai dengan SOP. 3. Pencatatan kegiatan operasional mesin perontok 4. Perawatan dan perbaikan mesin secara berkala

2. Lada keabu-abuan Melakukan perendaman pada periode waktu yang sesuai dengan

kekerasan kulit buah lada 3. Kontaminasi

perendaman Menggunakan air yang bersih dengan penggantian air yang dilakukan secara periodik pada bak perendaman

4. Lada pecah 1. Menyediakan mesin pengupas dengan ukuran alat pemisah kulit

buah dari bijinya sesuai dengan ukuran lada 2. Menggunakan mesin pengupas sesuai dengan SOP. 3. Pencatatan kegiatan operasional mesin pengupas 4. Perawatan dan perbaikan mesin secara berkala 5. Kontaminasi

pencucian Menggunakan air yang bersih dan mengalir

6. Kadar air 1. Melakukan pengeringan pada interval waktu yang memadai

dengan suhu yang sesuai

2. Menggunakan mesin pengering sesuai dengan SOP. 3. Pencatatan kegiatan operasional mesin pengering 4. Perawatan dan perbaikan mesin secara berkala 7. Serangga

ditemukan Penjemuran pada ruang terbuka dilakukan dengan menggunakan rak penjemuran

8. Kotoran Penjemuran pada ruang terbuka dilakukan dengan menggunakan rak

penjemuran

9. Jamur Menerapkan metode pengeringan sesuai SOP

2. Menyediakan ruang penyimpanan dengan ventilasi yang baik

10. Aroma 1. Menyediakan alat penyuling sesuai kebutuhan

2. Menerapkan metode penyulingan sesuai SOP Pencatatan kegiatan operasional alat penyuling Perawatan dan perbaikan alat secara berkala

11. Kadar atsiri 1. Menyediakan alat penyuling sesuai kebutuhan

2. Menerapkan metode penyulingan sesuai SOP 3. Pencatatan kegiatan operasional alat penyuling 4. Perawatan dan perbaikan alat secara berkala

5.5.2 Pengelolaan Risiko pada Aspek Budidaya

Pengelolaan risiko pada aspek budidaya terdiri dari kegiatan yang bersifat pencegahan yang dilakukan sebelum risiko terjadi atau kegiatan perbaikan yang dilakukan setelah risiko terjadi. Pengelolaan risiko yang bersifat pencegahan merupakan perbaikan penerapan teknik budidaya anjuran sesuai spesifikasi lokasi. Pengelolaan risiko pada aspek budidaya tertera pada Tabel 27.

(30)

126

Tabel 27. Pengelolaan Risiko pada Aspek Budidaya

Nama Risiko Pengelolaan Risiko

12. Hama Penggerek Batang

Menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan,

pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pagar keliling. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan pestisida kimiawi jika populasi hama tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya. 13. Hama

Penghisap Buah

Menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan,

pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pagar keliling. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan pestisida kimiawi jika populasi hama tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya. 14. Hama

Penghisap Bunga

Menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan,

pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pagar keliling. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan pestisida kimiawi jika populasi hama tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya. 15. Penyakit

Busuk Pangkal Batang

Menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan,

pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pagar keliling. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan pestisida kimiawi jika intensitas serangan penyakit tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya. 16. Penyakit

Kuning Menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan,

pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pagar keliling. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan pestisida kimiawi jika intensitas serangan penyakit tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya. 17. Penyakit

Kerdil/ Keriting

Menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan,

pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pagar keliling. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan pestisida kimiawi jika intensitas serangan penyakit tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya.

18. Cuaca 1. Mengembangkan sistem deteksi dini perubahan cuaca dan

meningkatkan akses penggunaan informasi cuaca terhadap pengambilan keputusan budidaya lada.

2. Membangun infrastruktur dan menerapkan manajemen praktis dalam merespon perubahan cuaca.

19. Lokasi lahan Meningkatkan efektifitas sistem transportasi produk pertanian melalui:

pemilihan alat transportasi yang sesuai dengan jumlah, jarak, dan kondisi jalan kebun lada serta mengintegrasikan keputusan transportasi ke dalam sistem agroindustri lada

20. Daya Dukung

Lingkungan 1. Kesinergian dan fokus kebijakan pemerintah 2. Penerapan penilaian dampak dan pengawasan lingkungan secara berkala

(31)

127

Pengelolaan risiko yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman dapat dilakukan melalui kegiatan pencegahan dan kegiatan penanganan. Pengendalian terpadu yang dianjurkan meliputi teknik budidaya, serta pengendalian secara hayati dan kimiawi. Pengelolaan risiko yang bersifat ex ante dilakukan dengan cara menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, pembuatan saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan, pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pembuatan pagar keliling.

Pengelolaan risiko yang bersifat ex post dilakukan dengan menggunakan pestisida atau agensi hayati. Pengendalian menggunakan pestisida kimiawi dilakukan jika populasi hama atau intensitas serangan penyakit tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya. Agensi hayati yang digunakan diantaranya pasteuria penetrans untuk pengendalian penyakit kuning, jamur trichoderma harzianum untuk mengendalikan penyakit busuk pangkal batang, jamur beuveria bassiana mengendalikan hama penghisap bunga dan buah lada. Penggunaan pestisida nabati untuk mengendalikan hama tanaman lada antara lain ekstrak biji bengkuang, tepung cengkeh, ekstrak biji mimba dan ekstrak akar tuba. Apabila dijumpai tanaman yang dicurigai terkena BPB maka tanaman tersebut dan tanaman di sekitarnya diberi fungisida sistemik atau disiram bubur bordo.

Pengelolaan risiko yang timbul sebagai akibat perubahan cuaca adalah dengan melakukan pencegahan dalam bentuk pengembangan sistem deteksi dini perubahan cuaca dan meningkatkan akses penggunaan informasi cuaca terhadap pengambilan keputusan. Selain itu, dapat dilakukan pembangunan infrastruktur dan menerapkan manajemen praktis dalam merespon perubahan cuaca.

Pengelolaan risiko yang timbul sebagai akibat dari lokasi kebun yang terpencar adalah dengan meningkatkan efektifitas sistem transportasi produk. Pemilihan sarana transportasi perlu memperhatikan: waktu pengangkutan, frekuensi, kehandalan pemenuhan jadwal dan waktu tempuh, kemampuan menangani pengangkutan, biaya, serta jaminan atas barang. Oleh karena itu pengelolaan risiko diterapkan melalui pemilihan alat transportasi yang sesuai

Gambar

Tabel 18.  Analisa Kebutuhan
Diagram input output pada sistem manajemen risiko investasi agroindustri  disajikan pada Gambar 28
Gambar 29.  Kerangka Sistem Penunjang Keputusan Manajemen Risiko pada  Investasi Agroindustri
Gambar 30.  Taksonomi Risiko Investasi Agroindustri Lada  104
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Lingkungan kerja yang harus diperhatikan bukan hanya tentang lingkungan kerja fisik saja tetapi juga tentang lingkungan kerja non fisik yaitu hubungan antara satu karyawan

Informasi perihal aktivitas dalam sekolah ini menjadi penting karena selain dapat dipergunakan sebagai sarana untuk membagikan informasi terbaru, juga dapat menjadi

Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul

Namun, anti- feminis mempunyai pandangan lain untuk menyeimbangkan perbedaan tersebut, bahwa laki-laki dan perempuan tidak diciptakan untuk saling berkompetisi memperebutkan

Menyimak dan mencatat hal-hal penting dari materi yang disampaikan oleh dosen.. Bertanya apabila ada materi yang

1).Transportasi darat merupakan moda transportasi yang paling dominan yang digunakan oleh masyarakat untuk melaksanakan setiap kegiatan dari- menuju suatu tempat untuk

Splitting the database is a good choice if the legacy database is legitimately a subset of the entire application (such as a preexisting user mailing list database), or if you