• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kelembagaan Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Dalam Rangka Pengawasan Hakim di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Kelembagaan Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Dalam Rangka Pengawasan Hakim di Indonesia"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Kelembagaan Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI

Dalam Rangka Pengawasan Hakim di Indonesia

Dewi Hannie Handayani P. M. dan Hamid Chalid

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail: [email protected]

Abstrak

Sejak dilakukan perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia merupakan dua lembaga yang sama-sama memiliki tujuan penegakkan keadilan di Indonesia melalui pengawasan hakim. Akan tetapi dalam prakteknya, hubungan kelembagaan antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam melakukan pengawasan hakim di Indonesia, menghadapi permasalahan. Skripsi ini bermula dengan memperhatikan dinamika hubungan yang terjadi antara kedua lembaga dalam mengawasi hakim sejak kemunculan Komisi Yudisial Republik Indonesia pada masa reformasi. Penelitian dengan metode yuridis normatif ini, pertama-tama dijelaskan dengan terlebih dahulu memahami mengenai kewenangan dan tugas Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pengawas hakim secara internal sekaligus menjabarkan kewenangan dan tugas Komisi Yudisial Republik Indonesia mengawasi hakim secara eksternal yang diketahui melalui peraturan perundang-undangan dan berbagai peraturan terkait lainnya. Pemahaman akan kewenangan dan tugas masing-masing lembaga tersebut, akan membantu menemukan keterkaitan kedua lembaga dalam mengawasi hakim di Indonesia.

Kata kunci: eksternal; internal; kode etik dan pedoman perilaku hakim; hubungan kelembagaan; pengawasan ha- kim.

Institutional Relationship Between Indonesian Supreme Court and Indonesian Judicial Commission Controlling Indonesian Judges

Abstract

Since the amandment of the Constitution of 1945, the Indonesian Supreme Court and the Indonesian Judicial Commission are both share the same goals of justice enforcement in Indonesia through the control of judges. However, practicaly the institutional relationship in controlling judges between this two institution, dealing with problems. This thesis begins by observing the dynamics of the relationship between the two institutions in controlling judges since the emergence of Indonesian Judicial Commission on the reform period. This legal study method of thesis, begin with understanding the authority and duties of the Indonesian Supreme Court as an internal control for judges. Also describes the authority and duty of Indonesian Judicial Commission in controlling judges externally through legislation and various other related regulations. An understanding of the authority and duties of each of these institutions, will help find the interconnection between both institutions in controling judges in Indonesia.

Keywords:external; internal; judges code of conduct; institutional relationship, controlling judges.

(2)

Sejak mengemuka ide pembentukan lembaga baru untuk mengawasi hakim pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2001 agenda pembahasan amandemen UUD 1945,1 hadir Komisi Yudisial RI sebagai lembaga mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim melalui Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.2

Pasca terbentuknya Komisi Yudisial RI, hubungan Mahkmah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam pengawasan hakim tercatat beberapa kali kurang harmonis karena alasan terusiknya kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dalam hal independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Sejumlah kejadian tersebut diantaranya: pertama, terjadi tahun 2006 dilakukan permohonan gugatan uji materi Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2) dan (3) dan (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan (4) Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial RI dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung RI, terhadap Pasal 24B dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permohonan diajukan karena adanya kekuatiran independensi hakim dapat hancur dengan adanya makna yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut yang memungkinkan hakim agung dapat dipanggil karena memutus perkara.3 Atas perkara ini Mahakamah Konstitusi RI memutuskan bahwa pasal-pasal yang diujikan tersebut yang menyangkut pengawasan bertentang dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum.4 Kedua, tahun 2011 dilakukan permohonan

                                                                                                                         

1 Pada tahun 1968 dalam pembahasan RUU tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sempat

diusulkan pembentukan lembaga Majelis Pertimbangan dan Penelitian Hakim yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran dan/atau usul pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut gagal dan tidak berhasil dimasukkan dalam UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Mahkamah Agung RI, Naskah Akademis dan RUU tentang Komisi Yudisial, (Jakarta: MARI, 2003).

2 Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan hasil Pembahasan 1999-2002 Buku VI Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 413.

3 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 005/PUU-IV/2006, alasan permohonan, hlm. 6-10.

4 Setelah memeriksa dan mempertimbangkan perkara, Mahkamah Konstitusi Ri memutuskan tiga hal inti

sebagai berikut: (1) Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi hakim konstitusi; (2) Komisi Yudisial tetapp berwenang mengawasi hakim agung dan hakim pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung; dan (3) Pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial sepanjang mengenai fungsi pengawasan hakim dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya tidak mmepunyai kekuatan hukum.(Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006).

(3)

gugatan uji materi kepada Mahkamah Agung RI mengenai butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 dan butir 10.1, 10.2, 10.3, 10.4 Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI No. 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim terhadap Pasal 32 ayat (4) UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, serta Pasal 40, Pasal 41 ayat (1) huruf b dan (3), Pasal 43 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Alasannya sejumlah butir yang dimohonkan untuk diuji tersebut dianggap dapat memungkinkan Komisi Yudisial RI memasuki ranah teknis yudisial dalam mengawasi hakim, dimana hal ini kembali dinilai sebagai dapat mengintervensi independesi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.5

Di samping konflik kedua lembaga dalam pengawasan hakim tersebut, Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI juga telah menjalin kerja sama dalam pengawasan hakim di Indonesia. Pertama, pengesahan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No, 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung dan sejumlah perubahan terhadap peraturan perundang-undangan seluruh badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, serta pembuatan Surat Keputusan Bersama Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kedua, pengesahan Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial; dan ketiga, muncul empat peraturan bersama Mahkamah bentukan Agung dan Komisi Yudisial RI No. 01/PB/MA/IX/2012-01/PB/P.KY/09/2012 Tentang Seleksi Pengangkatan Hakim, No. 02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, No. 03/PB/MA/IX/2012-03/PB/P.KY/09/2012 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama, No. 04/PB/MA/IX/2012-04/PB/P.KY/09/2012 Tentang Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.

Berdasarkan dinamika hubungan kedua lembaga yang telah terjadi tersebut di atas, penulis tertarik meneliti hubungan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap hakim di Indonesia, khususnya setelah ada peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengenai Panduan Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Tata Cara Pemeriksaan Bersama, dan Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim. Permasalahan yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah:

                                                                                                                         

(4)

1) Bagaimana wewenang dan tugas Mahkamah Agung RI dalam melakukan pengawasan internal terhadap hakim?

2) Bagaimana wewenang dan tugas Komisi Yudisial RI dalam melakukan pengawasan eksternal terhadap hakim?

3) Bagaimana hubungan kelembagaan Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam rangka pengawasan hakim di Indonesia?

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam tugas pengawasan terhadap hakim guna mewujudkan suatu kekuasaan kehakiman yang independen dan kompeten.

II. Tinjauan Teoritis a. Pemisahan Kekuasaan

Salah satu ciri dalam negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.6 Sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, “Power

tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”, kekuasaan yang terpusat di tangan

satu orang pasti memiliki kecenderungan untuk untuk berkembang menjadi sewenang-wenang.7 Oleh karena itu dibutuhkan adanya pemisahan kekuasaan dalam negara. 8 Gagasan pemisahan kekuasaan negara mula-mula dikemukakan oleh John Locke, kemudian ide pemisahan kekuasaan ini dimodifikasi oleh Montesquieu.9 Pembagian kekuasaan berdasarkan konsep Montesquieu terkenal dengan sebutan Trias Politica10 memisahkan kekuasaan (separation of power) menjadi tiga kekuasaan besar yaitu kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan yang menjalankan undang-undang, kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan untuk

                                                                                                                         

6 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ed. 1, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009),

hlm. 281.

7 Ibid., hlm. 281-282.

8 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cet. 2, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),

hlm. 156.

9 Moh. Mafud MD, “Komisi Yudisial dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita” dalam Bunga Rampai Komisi

Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), hlm. 11.

10 Trias Politica berasa dari kata tri, as, dan politica. Tri berati tiga, as berarti poros/pusat, dan politica

berarti kekuasaan. Trias Politica adalah nama pemberian Immanuel Kant. (Lihat Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm.18-19.

(5)

membuat undang-undang, dan kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.11

b. Kekuasaan Kehakiman

Salah satu cabang kekuasaan dalam sistem kekuasaan negara adalah kekuasaan kehakiman. Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri, terpisah secara ekstrem dari kekuasaan eksekutif dan legislatif.12 Apapun sistem pemerintahan yang dianut dalam suatu negara, pelaksanan

principles of independence and impartiality of judiciary adanya kekuasaan kehakiman yang

independen dan tidak berpihak (independent and impartial) haruslah menjamin keberlangsungan dan merupakan suatu ciri negara hukum modern.13

Ada beberapa substansi yang terkandung dalam pengertian kekuasaan kehakiman yang independen (merdeka):14

1) Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara.

2) Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk memberi jaminan kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum yang dibuat.

3) Kekuasaan kehakiman yang merdeka menjamin hakim untuk bertindak obyektif, jujur dan tidak berpihak.

4) Pengawasan kekuasaan kehakiman semata-mata dilakukan melalui upaya hukum biasa atau luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman itu sendiri. 5) Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari

luar kekuasaan kehakiman.

6) Semua tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut undang-undang.

                                                                                                                         

11 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Depok: Pusat Studi

Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, 1988), hlm 141.

12Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Op.cit., hlm. 267.

13 Ibid. 312.

14 Bagir Manan, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam UU No. 4 tahun 2004,

(Jakarta: Mahkamah Agung RI 2005), hlm 25-26. Meskipun tulisan ini diterbitkan sebelum terbitnya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, akan tetapi substansi masalah yang diuraikan dalam buku tersebut maupun substansi masalah pada kedua undang-undang ini menyangkut masalah yang sama. Oleh karena itu pendapat tersebut dapat digunakan sebagai pembanding guna memperjelas urain pokok permasalahannya.

(6)

Alasan penegasan serta jaminan perlindungan independensi kekuasaan kehakiman sangat penting adanya dalam suatu negara hukum adalah: yang pertama, karena secara natural kekuasaan kehakiman tidak sekuat bahkan lemah dibandingkan dengan cabang kekuasaan lain.15 Tanpa penegasan, jaminan dan perlindungan kekuasaan kehakiman tidak berdaya menghadapi kekuasaan-kekuasaan lain.16 Kedua, kekuasaan kehakiman yang merdeka (independen) diperlukan untuk menjamin impartiality (tidak berpihak) dan fairness (kejujuran) dalam memutus perkara, termasuk perkara yang langsung atau tidak langsung melibatkan kepentingan cabang kekuasaan yang lain. Pengadilan atau hakim harus independen tidak hanya terhadap cabang kekuasaan lain, melainkan juga terhadap pihak-pihak yang berperkara.17 Ketiga, kekuasaan kehakiman yang merdeka (independen) – oleh banyak

penulis – dipandang sebagai unsur penting sebuah negara hukum dan demokrasi atau negara hukum demokratis (democratissche rechtstaat).18

III. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan studi kepustakaan, menggunakan metode penulisan deskriptif-analitis. Data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan hukum primer seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan serta peraturan-peraturan terkait lainnya. Selain itu penelitian ini juga menggunakan bahan/sumber primer berupa buku-buku, skripsi, majalah, buletin, makalah, laporan tahunan masing-masing lembaga, dan berbagai tulisan-tulisan lainnya yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini baik langsung maupun tidak langsung. Dilakukan juga wawancara kepada ketua pengadilan tingkat banding, hakim tinggi pengawas yang diperbantukan ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, dan staf Komisi Yudisial RI untuk memperoleh pemahaman pelaksanaan pengawasan internal dan eksternal yang dilakukan masing-masing lembaga. Dalam penelitian ini dilakukan juga studi kasus dengan melihat kepada Keputusan

                                                                                                                         

15 Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, (Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009), hlm.

82.

16 Ibid., hlm 83.

17 Ibid.

(7)

Majelis Kehormatan Hakim atas dugaan pelanggaran etika profesi hakim, untuk menemukan pola keterkaitan antara Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam melakukan pengawasan hakim.

IV. Hasil Penelitian

a. Pengawasan Internal oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia

Tugas dan wewenang Mahkamah Agung RI (selanjutnya disebut Mahkamah Agung) yang berkaitan dengan fungsi pembinaan dan pengawasan diantaranya yakni pengawasan yang dilakukan terhadap proses peradilan dan hakim.19 Dalam bidang pengawasan hakim

Mahkamah Agung berwenang sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan, pelaksanaan tugas administrasi, serta organisasi dan keuangan seluruh badan peradilan di semua lingkungan peradilan di bawahnya.20

Dalam pengawasan hakim secara internal, berlaku bentuk pengawasan melekat dan pengawasan fungsional.21 Pengawasan melekat adalah serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus menerus, dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya secara preventif dan represif, agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.22 Pada pengawasan melekat wewenang dan tanggung jawab pengawasan ada pada pimpinan masing-masing peradilan, seluruh pejabat kepaniteraan, dan seluruh pejabat struktural di seluruh lembaga peradilan baik di Mahkamah Agung, pengadilan tingkat banding, maupun pengadilan tingkat pertama.23 Pengawasan ini

                                                                                                                         

19 Berdasarkan Pasal 32 dan Pasal 32A UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14

Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung RI dan Pasal 39 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

20 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985

Tentang Mahkamah Agung, UU No. 3 Tahun 2009, LN. No. 3 Tahun 2009, TLN. No. 4958, Psl. 32 ay. (1) dan (2).

21 Mahkamah Agung RI, Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengawasan di Lingkungan Peradilan, Keputusan No. KMA/080/SK/VIII/2006, Lampiran I.

22 Ibid.

(8)

dilakukan melalui penggarisan struktur organisasi, perincian kebijaksanaan pelaksanaan, rencana kerja, prosedur kerja, pencatatan hasil kerja, dan pembinaan personel.24

Pengawasan melekat di Mahkamah Agung dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung, di pengadilan tingkat banding dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Banding, dan di pengadilan tingkat pertama dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama. Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung Tentang Tanggung Jawab Ketua Pengadilan Tingkat Banding dalam Melakukan Pengawasan Terhadap Pegawai Pengadilan No. KMA/096/SK/X/2006, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan Ketua Pengadilan Tingkat Banding menjalankan pengawasan terhadap jalannya peradilan dan tingkah laku hakim dalam wilayah hukumnya masing-masing.

Pengawasan pada lingkungan pengadilan tersebut berupa pengawasan terhadap pelaksanaan jalannya persidangan agar persidangan berjalan tertib sesuai hukum acara. Dalam hal majelis menghadapi kesulitan menangani perkara, ketua pengadilan memberikan petunjuk. Selain itu ketua pengadilan melakukan monitoring terhadap kehadiran hakim di kantor pada hari-hari kerja serta terhadap tingkah laku hakim di dalam maupun di luar persidangan. Selanjutnya Ketua Muda Bidang Pengawasan mengawasi para hakim agung sekaligus mengawasi para hakim banding dan hakim pengadilan tingkat pertama. Demikianlah pengawasan melekat dilakukan secara berjenjang dari atas ke bawah, dan dari bawah memberikan laporan tertulis hasil pengawasannya kepada pihak yang paling tinggi dalam struktur organiasasi yakni pimpinan Mahkamah Agung. Pimpinan Mahkamah Agung kemudian akan menindak-lanjuti hasil laporan pengawasan.

Sedangkan pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang khusus ditunjuk untuk melaksanakan tugas tersebut dalam satuan kerja tersendiri yang diperuntukkan untuk itu.25 Pada pengawasan fungsional pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI (selanjutnya disebut Badan Pengawasan), yang merupakan satuan kerja pengawasan fungsional pada Mahkamah Agung yang mengawasi pelaksanaan tugas di lingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan di semua lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung.26 Badan Pengawasan bertugas

                                                                                                                         

24 Presiden RI, Instruksi Presiden Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan, Instruksi No. 15 Tahun

1983, Pasal 3 ayat (2).

25 Ibid.

(9)

untuk memantau, memeriksa, dan meneliti serta mengawasi kinerja Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dengan fungsi sebagai berikut:27

1. Untuk menjaga agar pelaksanaan tugas lembaga peradilan sesuai dengan rencana dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

2. Mengendalikan agar adminstrasi finansial peradilan dikelola secara tertib, aparatur peradilan melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar;

3. Menjamin terlaksananya pelayanan publik yang prima, transparan, dan akuntabel; 4. Meminimalisir terjadinya kesalahan dan kesenjangan antara standar kerja dan

pelaksanaan tugas pada badan peradilan;

5. Mengukur tingkat kepatuhan dan ketaatan aparat badan peradilan dalam melaksanakan perencanaan dengan anggaran yang tersedia guna menilai pencapaian kinerja dan memudahkan pimpinan untuk mengambil tindakan perbaikan maupun penyusunan rencana berikutnya.

Adapun kewenangan Badan Pengawasan yakni:28

1. Melakukan pengawasan rutin/reguler, keuangan, dan penanganan pengaduan masyarakat;

2. Melakukan review keuangan terhadap satuan kerja yang ada pada Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya;

3. Pengawasan lainnya yang ditugaskan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

Dalam pelaksanaan tugasnnya, Badan Pengawasan memiliki sejumlah kelemahan antara lain keterbatasan personel dan tenaga pengawas, ruang kerja dan peralatan belum memadai, tidak tersedia anggaran penanganan pengaduan yang didelegasikan Bawas kepada pengadilan tingkat banding, dan sistem penempatan pegawai belum didasarkan pada kompetensi.29

b. Pengawasan Hakim secara Eksternal oleh Komisi Yudisial RI

                                                                                                                         

27 Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman: Upaya Memperkuat Kewenangan Konstitusional

Komisi Yudisial dalam Pengawasan Peradilan, (Malang: Setara Press, 2014), hlm. 87.

28 Ibid.

29 Saleh, Op.cit. Berdasarkan wawancara dengan Hakim Tinggi Pengawas yang diperbantukan di Badan

Pengawas MARI diketahui bahwa salah satu kekurangan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Bawas adalah kurangnya jumlah pengawas (personel) untuk mengawasi seluruh hakim di Indonesia. Personel yang sedikit tersebut tidak sebanding dengan jumlah pengaduan masuk yang banyak. Wawancara denan Hakim Tinggi Pengawas yang diperbantukan di Badan Pengawas MARI tanggal 13 Juni 2014.

(10)

Pengawasan eksternal merupakan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga di luar Mahkamah Agung terhadap perilaku Hakim. Perilaku Hakim diawasi saat pelaksanaan tugasnya (kedinasan) sekaligus dalam perilaku keseharian. Pengawasan eksternal oleh Komisi Yudusial RI (selanjutnya disebut Komisi Yudisial) dilakukan untuk memperkuat pengawasan internal oleh Mahkamah Agung yang selama ini telah ada. Berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Tentang Mahkamah Agung, peraturan perundang-undangan terkait empat lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan UU Tentang Komisi Yudisial, pengawasan hakim secara eksternal oleh Komisi Yudisial dapat melalui tiga cara.

Pertama, melalui penerimaan laporan masyarakat terkait pelanggaran Kode Etik dan

Pedoman Perilaku Hakim (selanjutnya disebut KE dan PPH). Pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2011 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan pengawasan, Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang pelanggaran KE dan PPH.30 Penanganan laporan masyarakat merupakan rangkaian kegiatan mulai dari penerimaan, pendalaman, sidang panel pembahasan (hasil pendalaman), pemeriksaan (pelapor, saksi ahli, atau terlapor), dan klarifikasi terlapor, sidang panel pemeriksaan (hasil pemeriksaan pelapor, saksi dan/atau ahli), dan sidang pleno (hasil pemeriksaan dan/atau klarifikasi terlapor), serta pelaksanaan hasil sidang.31

Kedua, penelitian putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Selain melalui

laporan dari masyarakat, Komisi Yudisial dapat mengawasi hakim melalui penelitian putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.32 Analisis putusan bertujuan untuk mengetahui kecenderungan putusan-putusan hakim pengadilan tingkat banding dan pengadilan tingkat pertama dalam hal ketaatan kepada hukum acara, penguasaan hukum materiil, penalaran hukum, dan penggalian nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, serta menggambarkan profesionalisme hakim dalam penyelesaian perkara.33 Selain itu analisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap juga dimaksudkan untuk memberikan masukan bagi penyusunan basis data, baik secara individual maupun kolektif tentang figur hakim-hakim pengadilan tingkat banding yang berpotensi sebagai hakim agung (jalur karir) dan hakim-hakim

                                                                                                                         

30 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial,

UU No. 18 Tahun 2011, Pasal 22 ay. (1).

31 Komisi Yudisial RI, Kiprah 8 Tahun.., Op.cit., hlm. 82.

32 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, Pasal 42.

(11)

pengadilan tingkat pertama yang suatu saat akan mengisi posisi hakim agung.34 Hasil analisis putusan ini dapat menjadi dasar peningkatan kapasitas hakim, juga untuk rekomendasi mutasi (promosi dan demosi).35 Komisi Yudisial juga tidak boleh menyatakan pertimbangan yuridis dan substansi putusan yang dibuat Hakim benar atau salah, terlepas dari baik atau buruknya perilaku Hakim yang diawasi.36

Ketiga, pemantauan di persidangan. Di samping cara-cara pengawasan yang telah

dikemukakan sebelumnya, pengawasan perilaku Hakim dapat juga dilakukan pemantauan dengan menghadiri persidangan di pengadilan.37 Kegiatan pemantauan dapat menjalin kerja sama dengan instansi lain, jejaring Komisi Yudisial,38 dan/atau pihak lain.39 Pemantauan persidangan pada semua tingkat peradilan dapat dilakukan apabila ada permohonan pemantauan dari masyarakat atau atas inisiatif Komisi Yudisial.40 Objek pemantauan ialah hal proses persidangan, perilaku hakim, dan situasi dan kondisi peradilan.41 Terhadap

permohonan pemantauan dari masyarakat, Komisi Yudisial melakukan penelaahan untuk menilai keperluan tindak lanjutnya. Hasil pemantauan di persidangan akan menjadi disampaikan kepada Mahkamah Agung maupun ketua pada pengadilan yang dipantau sebagai evaluasi sehingga pelanggaran yang sama tidak terjadi lagi atau setidaknya dapat diminimalisir.

                                                                                                                         

34 Ibid.

35 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, Pasal 42 dan

penjelasan Pasal 42.

36 Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial RI, Peraturan Bersama MA dan KY Panduan Penegakkan Kode

Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Peraturan No. 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012, Pasal 15.

37 Lihat Pasal 13D ay. (2) huruf c UU No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum, Pasal 12D ay. (2) huruf

c UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Pasal 13D ay. (2) huruf c UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan TUN.

38 Jejaring Komisi Yudisial RI adalah mitra kerja sama penghubung daerah Komisi Yudisial RI. Jejaring

yang ada di daerah ini dapat terdiri dari unsur perguruan tinggi, organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan, dan lembaga swadaya masyarakat, khususnya yang ditunjuk untuk menjalankan fungsi pos koordinasi pematauan peradilan di daerah. Pihak-pihak yang menjadi peserta konsolidasi jejaring merupakan pihak yang telah menandatangani nota kesepakatan kerja sama dengan Komisi Yudisial. (Berdasarkan Peraturan Komisi Yudisial RI No. 1 Tahun 2012 Tentang Pembentukan, Susunan, dan Tata Kerja Penghubung Komisi Yudisial di Daerah dan http://www.komisiyudisial.go.id/berita-4807-jejaring-ky-berkomitmen-mengawal-kepph.html).

39 Komisi Yudisial RI, Peraturan Tentang Tata Cara Penanganan Laporan Masyarakat, Peraturan No. 4

Tahun 2013, Pasal 41 ay. (1).

40 Ibid. Pasal 36 ay. (1).

(12)

V. Pembahasan

Sebelumnya telah dijabarkan kewenangan dan tugas Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial mengawasi hakim di Indonesia. Kedua lembaga pengawas ini memiliki arah tujuan yang sejalan, dimana Mahkamah Agung sebagai kekuasaan yang menegakkan keadilan dalam negara, sedangkan Komisi Yudisial menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Oleh karena arah tujuan kedua lembaga ini tidak lain yakni supaya tercapai suatu profesi Hakim yang merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman yang luhur dan bermartabat sehingga penegakkan keadilan di Indonesia dapat berjalan dengan baik, penting bagi kedua lembaga ini untuk berkoordinasi dalam melaksanakan kewenangannya.42 Dalam melakukan pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bersinergi dalam hal-hal sebagai berikut:

a) Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

Penegakkan KE dan PPH berarti proses mempertahankan, memelihara, dan melaksanakan KE dan PPH yang diantaranya melibatkan hakim, lembaga pengawas, dan pejabat yang berwenang mengambil keputusan akhir.43 Agar ada kesepahaman penerapan penegakkan KE dan PPH, penting untuk memperhatikan peraturan yang ada.44 Dalam penegakkan KE dan PPH terdapat Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang berperan sebagai pengawas hakim.45 Masing-masing lembaga memiliki yurisdiksi pengawasan masing-masing menurut peraturan perundang-undangan dan peraturan terkait.

                                                                                                                         

42 Salman Luthan, “Sinergitas Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam Pembaruan Peradilan,” dalam

Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2012), hlm. 318.

43 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata penegakkan berarti proses mempertahankan (negara,

keadilan, keyakinan, dsb.); proses atau cara memelihara dan mempertahankan (kemerdekaan, tata tertib, hukum, dsb.); mewujudkan atau melaksanakan (cita-cita). (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3 cet. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 1154).

44 Diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009, Undang-Undang Mahkamah

Agung No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan UU No. 3 Tahun 2009, Undang-Undang Peradilan Umum No. 2 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan UU No. 49 Tahun 2009, Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan UU No. 50 Tahun 2009, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009, dan Undang-Undang Komisi Yudisial UU No. 22 Tahun 2004 sebagaiman telah diubah dengan UU No. 18 Tahun 2011, serta melalui Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yaitu Peraturan Bersama Tentang Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim PB No. 02 Tahun 2012, Peraturan Bersama Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama PB No. 03 Tahun 2012, dan Peraturan Bersama Tentang Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim PB No. 04 Tahun 2012.

(13)

Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Bersama Tentang Pedoman Penegakkan KE dan PPH No. 02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012 aspek pengawasan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Agung adalah pengawasan etika profesi yang berkaitan dengan hukum acara, sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap etika profesi yang selain yang berkaitan dengan hukum acara.46 Memperhatikan juga pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara uji materil Keputusan Bersama Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, bahwa kewenangan Mahkamah Agung yang bersumber dari Pasal 39 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 48 Tahun 2009 adalah pengawasan terhadap aspek teknis yuridis, melalui penggunaan upaya-upaya hukum sesuai hukuam acara oleh para pihak berperkara; administrasi; dan perilaku hakim.47 Sedangkan

kewenangan Komisi Yudisial yang bersumber pada Pasal 40 UU No. 48 Tahun 2009 adalah pengawasan perilaku hakim sebagi bentuk pengawasan eksternal yang dimaksudkan semata-mata “perilaku hakim” guna menegakkan martabat dan kehormatan hakim.48 Kewenangan Komisi Yudisial yang berkaitan dengan teknis hukum hanya sebatas menganalisis putusan hakim yang bekekuatan hukum tetap sesuai dengan Pasal 42 UU No. 48 Tahun 2009.49

Selain hakim dan lembaga pengawas, dalam penegakkan KE dan PPH terdapat juga peran pejabat yang berwenang untuk melaksanakan keputusan penjatuhan sanksi untuk menegakkan KE dan PPH. Apabila hukuman disiplin yang direkomendasikan bersifat ringan, maka Ketua Muda Pengawasan dapat menetapkan hukuman yang dijatuhkan. Atas keputusan tersebut, Direktur Jendral badan peradilan terkait akan mengeluarkan surat keputusan penjatuhan hukuman. Surat keputusan tersebut diteruskan ke Ketua Pengadilan untuk memberitahu hakim bersangkutan. Sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di Indonesia, termasuk juga dalam pengawasan

                                                                                                                         

46 Peraturan Bersama No. 02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Pedoman Penegakkan Kode

Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Pasal 16 menyebutkan,“Pemeriksaan atas dugaan pelanggaran terhadap Pasal 12 dan Pasal 14 yang merupakan implementasi dari prinsip berdisiplin tinggi dan bersikap profesional dilakukan oleh MA atau oleh MA bersama-sama dengan KY dalam hal ada usulan dari KY untuk melakukan pemeriksaan bersama.” Dan Pasal 17 ayat (1) yaitu, “Dalam hal KY menerima laporan dugaan pelanggaran kode etik yang juga merupakan pelanggaran hukum acara, Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada MA untuk ditindaklanjuti.”

47 Putusan Mahkamah Agung RI No. 36P/HUM/2011.

48 Ibid.

(14)

hakim (teknis yudisial, admnistrasi, dan perilaku), maka pelaksanaan keputusan penjatuhan sanksi berada di Mahkamah Agung.

b) Pemeriksaan Bersama

Dalam melaksanakan pengawasan hakim, hubungan yang mungkin terjadi antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial adalah pemeriksaan bersama akan dugaan terjadinya pelanggaran KE dan PPH.50 Secara lebih rinci Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial No. 03/PB/MA/IX/2012 – 03/PB/P.KY/09/2012 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama, mejabarkan pemeriksaan bersama dapat terjadi karena beberapa hal yaitu ada perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengenai hasil pemeriksaan dan/atau rekomendasi penjatuhan sanksi yang diajukan oleh Komisi Yudisial; atau terdapat laporan yang sama, yang ditembuskan ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial; atau diketahui terdapat permasalahan pelanggaran etika profesi yang sama yang masih dilakukan oleh salah satu lembaga; atau terdapat laporan/informasi yang menarik perhatian publik dan masing-masing lembaga memandang perlu untuk melakukan pemeriksaan bersama. Selain alasan tersebut di atas, Pasal 16 Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial No. 02/PB/MA/IX/2012 – 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Pedoman Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim memungkinkan pemeriksaan bersama dalam hal ada usulan Komisi Yudisial untuk memeriksa dugaan pelanggaran KE dan PPH yang berkaitan dengan prinsip berdisiplin tinggi dan bersikap profesional. Hingga saat ini, pemeriksaan bersama belum pernah dilakukan.51

c) Pembentukan Majelis Kehormatan Hakim

Rekomendasi penjatuhan sanksi berat berupa pemberhentian kepada Hakim terlapor berarti membentuk Majelis Kehormatan Hakim. Majelis Kehormatan Hakim merupakan suatu forum pembelaan diri bagi hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, serta diusulkan dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak dengan hormat. Apabila terdapat rekomendasi

                                                                                                                         

50 Lihat Pasal 13C UU Peradilan Umum, Pasal 12C UU Peradilan Agama, dan Pasal 13C UU Peradilan Tata

Usaha Negara, dan Pasal 22E ayat (2) UU Komisi Yudisial.

51 Salah satu alasannya ialah karena belum terintegrasinya laporan yang masuk ke masing-masing lembaga,

sehingga masing-masing lembaga tidak tahu apabila sedang memeriksa kasus yang sama. Berdasarkan hasil wawancara dengan Staf Bidang Pengawasan dan Invenstigasi Hakim Komisi Yudisial RI, tanggal 19-20 Juni 2014.

(15)

pemberhentian terhadap hakim, maka rekomendasi tersebut diberitahukan ke Sekretariat Majelis Kehormatan Hakim, berkedudukan di Mahkamah Agung. Setelah rekomendasi masuk ke Sekretariat Majelis Kehormatan Hakim, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial menetapkan Majelis Kehormatan Hakim yang terdiri dari tujuh orang anggota, dimana empat orang diantaranya merupakan anggota Komisi Yudisial dan tiga orang lainnya merupakan Hakim Agung. Keputusan Majelis Kehormatan Hakim atas pemeriksaan usul pemberhentian hakim bersifat mengikat dan tidak dapat diajukan keberatan.

VI. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, penulis membuat kesimpulan sebagai berikut:

1) Mengenai wewenang dan tugas Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan internal terhadap hakim

Berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, MA memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan internal terhadap hakim. Pengawasan Hakim secara internal dilakukan melalui pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Pengawasan melekat merupakan pengawasan yang dilakukan oleh setiap pimpinan pengadilan, atas segala jalannya peradilan di pengadilan tempatnya bertugas dan seluruh perbuatan bawahannya termasuk para hakim. Pimpinan melakukan tugas pengawasannya terhadap tingkah laku hakim baik di dalam maupun di luar persidangan. Pengawasan terhadap hakim secara fungsional dilakukan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI. Badan Pengawasan melakukan tugas pengawasan dengan menjaga agar pelaksanaan tugas lembaga peradilan sesuai dengan rencana dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan mengendalikan agar adminstrasi finansial peradilan dikelola secara tertib, serta mengawasi aparatur peradilan melaksanakan tugasnya. Pengawasan fungsional diadakan untuk membantu pengawasan melekat yang dilakukan oleh pimpinan Mahkamah Agung dalam tugas pengawasan. Setiap hasil pengawasan yang dilakukannya diajukan kepada pimpinan Mahkamah Agung agar dapat diambil keputusan dan/atau kebijakan. Karena itu keberadaan pengawasan fungsional memperlengkapi pengawasan melekat.

(16)

2) Mengenai wewenang dan tugas Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan eksternal terhadap hakim

Pengawasan hakim secara eksternal oleh Komisi Yudisial merupakan pengawasan yang dilakukan di luar institusi Mahkamah Agung. Komisi Yudisial melaksanakan tugas pengawasannya yaitu dengan menerima dan menangani laporan dan/atau informasi, melakukan penelitian putusan yang telah berkekuatan hukum tetap; dan melakukan pemantauan di persidangan. Pengawasan eksternal Komisi Yudisial terhadap hakim memperlengkapi pengawasan internal hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Hasil pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial harus diajukan kepada Mahkamah Agung, sebagai pengawas tertinggi terhadap peradilan dan terhadap hakim, agar dapat diambil keputusan dan/atau kebijakan untuk pembinaan hakim yang lebih baik. Dalam hal terdapat kasus dugaan pelanggaran etika profesi, tugas Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan dan memberikan hasil pemeriksaan serta rekomendasi penjatuhan sanksi kepada Mahkamah Agung.

3) Mengenai hubungan kelembagaan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan hakim di Indonesia

Hubungan kedua lembaga dalam pengawasan hakim dapat terlihat dalam penegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Pertama, mengenai yurisdiksi pengawasan. Pengawasan internal dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui atasan langsung kepada bawahan dan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung, mencakup pengawasan perilaku dalam aspek teknis yudisial dan non yudisial berupa administrasi, organisatoris, dan finansial, termasuk perilaku hakim. Sementara pengawasan eksternal yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial merupakan pengawasan perilaku dalam aspek non yudisial yaitu perilaku hakim di dalam maupun di luar kedinasan. Aspek pengawasan Komisi Yudisial terbatas pada perilaku hakim, sehingga apabila terdapat laporan dugaan pelanggaran yang berkaitan dengan teknis yudisial, Komisi Yudisial harus memberikan kasus tersebut untuk ditindaklanjuti oleh MA.

Kedua, pengawasan hakim di Indonesia yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan

Komisi Yudisial dapat melalui pemeriksaan bersama. Pemeriksaan bersama merupakan pemeriksaan dugaan pelanggaran KE dan PPH yang dilakukan oleh tim pemeriksa yang berasal dari Mahkamah Agung dan dari Komisi Yudisial. Pemeriksaan bersama dapat dilakukan apabila terdapat perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengenai hasil pemeriksaan dan/atau rekomendasi penjatuhan sanksi yang diajukan oleh

(17)

Komisi Yudisial; atau terdapat laporan yang sama, yang ditembuskan ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial; atau diketahui terdapat permasalahan pelanggaran etika profesi yang sama yang masih dilakukan oleh salah satu lembaga; atau terdapat laporan/informasi yang menarik perhatian publik dan masing-masing lembaga memandang perlu untuk melakukan pemeriksaan bersama. Selain itu pemeriksaan bersama dapat juga dilakukan jika ada usulan Komisi Yudisial ke Mahkamah Agung untuk memeriksa pelanggaran KE dan PPH yang berkaitan dengan prinsip berdisiplin tinggi dan bersikap profesional. Pemeriksaan bersama pada prakteknya tidak pernah dilaksanakan. Menurut penulis, muatan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf c Peraturan Bersama Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama dan Pasal 16 Peraturan Bersama Tentang Pedoman Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, tidak memuat tolak ukur yang jelas untuk terselenggaranya pemeriksaan bersama.

Ketiga, pembentukan Majelis Kehormatan Hakim. Hasil pemeriksaan dugaan

pelanggaran KE dan PPH dengan usul penjatuhan sanksi berat berupa pemberhentian diperiksa oleh Majelis Kehormatan Hakim. Majelis Kehormatan Hakim terbentuk oleh penetapan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial, dengan anggota-anggotanya berasal dari Mahkamah Agung dan dari Komisi Yudisial. Melalui Majelis Kehormatan Hakim, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengambil keputusan bersama-sama atas hakim yang diduga melanggar etika profesi.

Keempat, pelaksanaan sanksi. Pengajuan rekomendasi sanksi dapat dilakukan oleh

kedua lembaga kepada Ketua Mahkamah Agung. Rekomendasi ini diperlukan agar keputusan penjatuhan sanksi dapat diambil dan menjadi evaluasi ataupun masukkan bagi pengawasan dan pembinaan hakim secara keseluruhan. Kebijakan penjatuhan sanksi ringan, sedang, atau berat kecuali sanksi berupa pemberhentian sesungguhnya menjadi peran Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bertugas untuk mengajukan hasil pemeriksaan dan/atau rekomendasi sanksi, sedangkan Mahkamah Agung merupakan pengambil keputusan langsung atas setiap hasil pemeriksaan dan/atau rekomendasi sanksi. Sedangkan pengambilan kebijakan akhir penjatuhan sanksi berat berupa pemberhentian merupakan kewenangan Majelis Kehormatan Hakim yang terdiri dari anggota-anggota Komisi Yudisial dan hakim agung. Namun pelaksana keputusan penjatuhan sanksi sepenuhnya dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui pejabat yang berwenang.

Kelima, pengawasan pelaksanaan penjatuhan sanksi. Pengawasan pelaksanaan sanksi

(18)

pimpinan badan pengadilan. Pimpinan pengadilan bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan penjatuhan sanksi yang ada di pengadilan tempatnya bertugas atau di setiap pengadilan yang merupakan wilayah hukum pengadilan tingkat banding. Komisi Yudisial dapat juga melakukan pengawasan penjatuhan sanksi, akan tetapi pengawasan KY hanya terbatas mengetahui penerbitan surat keputusan penjatuhan sanksi. Pengawasan yang sesungguhnya terhadap pelaksanaan penjatuhan sanksi dilakukan oleh pimpinan pengadilan. Apabila sanksi tidak dilaksanakan, kesalahan ada pada pimpinan badan pengadilan tersebut.

VII. Saran

1) Untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda terhadap Pasal 2 ayat (ayat (2) huruf c Peraturan Bersama Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama dan Pasal 16 Peraturan Bersama Tentang Pedoman Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, perlu diatur lebih jelas mengenai: satu kriteria kasus yang “menarik perhatian

publik” dan “memandang perlu untuk melakukan pemeriksaan bersama”

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Bersama Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama; dan dua tindak-lanjut “dalam hal ada usul Komisi

Yudisial untuk dilakukan pemeriksaan bersama” sebagaimana disebutkan dalam Pasal

16 Peraturan Bersama Tentang Pedoman Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

2) Perlunya pengaturan pemeriksaan bersama dugaan pelanggaran etika profesi yang dilakukan pimpinan Mahkamah Agung dan/atau hakim agung, karena apabila dilakukan pemeriksaan sendiri oleh Mahkamah Agung ada kemungkinan hasil pemeriksaan mengandung konflik kepentingan.

3) Untuk menghindari kemungkinan terjadi masuknya pengaduan dugaan pelanggaran yang sama ke masing-masing lembaga, yang membuat masing-masing lembaga melakukan pemeriksaannya masing-masing, perlu disiapkan infrastruktur pendukung pengintegrasian laporan yang masuk ke MA dan ke KY, sehingga suatu kasus yang sama-sama masuk ke kedua lembaga dapat segera diketahui sebelum masing-masing lembaga memulai pemeriksaannya.

4) Untuk menghindari terjadi dalam praktek sanksi tidak dilaksanakan sepenuhnya atau tidak dilaksanakan sama sekali, perlu diatur mekanisme pengawasan pelaksanaan sanksi dan tugas MA dan KY dalam penegakkan sanksi.

(19)

VIII. Daftar Referensi

BUKU

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Ed. 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009. ---. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Cet. 2. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Kusnardi, Moh.dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, 1988.

Luthan, Salman. “Sinergitas Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam Pembaruan Peradilan” Dalam Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2012, hlm. 303-323.

Manan, Bagir. Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam UU No. 4 tahun 2004. Jakarta: Mahkamah Agung RI 2005.

---. Menegakkan Hukum Suatu Pencarian. Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009.

MD, Moh. Mafud. “Komisi Yudisial dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita” Dalam Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan. Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007, hlm. 1-41.

Saleh, Imam Anshori. Konsep Pengawasan Kehakiman: Upaya Memperkuat Kewenangan Konstitusional Komisi Yudisial dalam Pengawasan Peradilan. Malang: Setara Press, 2014.

Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2005.

TERBITAN LEMBAGA

Komisi Yudisial RI. Kiprah 8 Tahun Komisi Yudisial RI Mengukuhkan Sinergitas Memperkokoh Kewenangan. Jakarta: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, 2013.

Mahkamah Agung RI. Naskah Akademis dan RUU tentang Komisi Yudisial. Jakarta: MARI, 2003.

Mahkamah Konstitusi RI. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan hasil Pembahasan 1999-2002 Buku VI Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

KAMUS

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. 3. Cet. 3. Jakarta: Balai Pustaka, 2005. PUTUSAN

Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 005/PUU-IV/2006, alasan permohonan, hlm. 6-10. Putusan Mahkmah Agung RI No. 36P/HUM/2011, dasar permohonan, hlm. 10-15. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Indonesia. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 4 Tahun 2004. LN. No. 8 Tahun 2004. TLN. No. 4358.

Indonesia. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 48 Tahun 2009. LN. No. 157 Tahun 2009. TLN. No. 5076.

(20)

Indonesia. Undang-Undang Tentang Mahkamah Agung. UU No. 14 Tahun 1985, LN. No. 73 Tahun 1985. TLN. No. 3316.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. UU No. 3 Tahun 2009. LN. No. 3 Tahun 2009. TLN. No. 4958.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. UU No. 49 Tahun 2009. LN. No. 158 Tahun 2009. TLN. No. 5077.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. UU No. 50 Tahun 2009. LN. No. 159 Tahun 2009. TLN. No. 5078.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 51 Tahun 2009. LN. No. 159 Tahun 2009. TLN. No. 5079. Indonesia. Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial. UU No. 22 Tahun 2004. LN. No. 89 Tahun 2004. TLN.

No. 4415.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial. UU No. 18 Tahun 2011. LN. No. 106 Tahun 2011. TLN. No. 5250.

Indonesia. Instruksi Presiden Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan. Instruksi No. 15 Tahun 1983. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial RI. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua

Komisi Yudisial RI. SKB Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial RI. Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. PB No. 02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012.

Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial RI. Peraturan Bersama Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama. PB No. 03/PB/MA/IX/2012-03/PB/P.KY/09/2012.

Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial RI. Peraturan Bersama Tentang Pembentukan , Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim. PB No. 04/PB/MA/IX/2012-04/PB/P.KY/09/2012.

Mahkamah Agung RI. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan. Keputusan KMA No. KMA/080/SK/VIII/2006.

Mahkamah Agung RI. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Tentang Tanggung Jawab Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan Ketua Pengadilan Tingkat Banding dalam Melakukan Pengawasan Terhadap Hakim dan Pegawai Pengadilan. Keputusan No. KMA/096/SK/X/2006.

Mahkamah Agung RI. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengaduan di Lingkungan Lembaga Peradilan. Keputusan No. 076/KMA/SK/IV/2009.

Komisi Yudisial RI. Peraturan Komisi Yudisial Tata Cara Penanganan Laporan Masyarakat. Peraturan No. 4 Tahun 2013.

WAWANCARA

Wawancara dengan Staf Bidang Pengawasan dan Invenstigasi Hakim Komisi Yudisial RI, tanggal 19-20 Juni 2014.

INTERNET

http://www.komisiyudisial.go.id/berita-4807-jejaring-ky-berkomitmen-mengawal-kepph.html, diunduh 5 Juli 2014.

Referensi

Dokumen terkait

PENGUATAN PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM MENEGAKKAN KEKUASAAN KEHAKIMAN (STUDI KOMPARASI FUNGSI PENGAWASAN KOMISI YUDISIAL DAN CONSEIL SUPÉRIEUR DE LA

Pemohon II sebagai badan hukum privat yang sangat peduli dengan isu utama dari permohonan a quo adalah batas konstitusional terkait pengusulan Hakim Agung dan wewenang

Berdasarkan konst ruksi hukum demikian, menurut penulis karena kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim dalam semua lingkung- an peradilan maka t idak t epat

Sedangkan dalam Pasal 32A ayat (1) dalam Undang- Undang yang sama menyebutkan bahwa pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh Mahkamah Agung. Hal

Dalam memutus perkara, sesorang hakim harus didasarkan pada intelejensi dan kemauan belajar, dikontrol oleh prinsip-prinsip hukum, didukung keberanian dan pikiran yang dingin,

Melihat dari isi pasal tersebut memang telah disebutkan bahwa kewenangan Komisi yudisial adalah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta

Bahwa dalam pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hakim yang dimaksud adalah mencakup seluruh hakim yang sebetulnya sudah tidak perlu diperdebatkan mulai

bahwa dalam rangka Peningkatan Pelaksanaan Pengawasan Kekuasaan Kehakiman dan meningkatkan kelancaran tertib penyelenggaraan peradilan bagi Pengadilan Tingkat Banding dan