URGENSI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DALAM NEGERI (DIKLAT PIMPEMDAGRI) BAGI
PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEMERINTAHAN APARATUR SIPIL NEGARA (ASN)
Oleh :
Suparjana1
Abstraksi
Since the policy of decentralization and local automy has been implementing in 1999, problems and challenges of governance process has increased dynamically. Even though public service sector social prosperity show an improvement, however it still remain many problems, such as disparity, abuse of power, corruption etc at local level. Those problems need integrated and comprehensive approaches to be addressed by local aparatus. Hence, local aparatus need governance competency since managerial, technical and social cultural competencies do not enough yet to deal with the complexity of local government execution. Home Affairs Governance leadership training (Diklat Pimpemdagri) becomes an alternative solution to improve local aparatus competency and performance in executing local government function.
Keyword : Kompetensi Pemerintahan, Diklat Pimpemdagri dan desentralisasi.
Pendahuluan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 85 Tahun 2017 yang mengatur tentang Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Pemerintahan Dalam Negeri atau disingkat Diklat Pimpemdagri telah diterbitkan awal oktober 2017 yang lalu. Terbitnya Permendagri tersebut tentu saja melahirkan harapan baru bagi Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah untuk dapat meningkatkan kompetensi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun di sisi lain, Permendagri tersebut sempat memunculkan kontroversi dari pihak-‐pihak tertentu, yang intinya mempertanyakan urgensi Diklat Pimpemdagri bagi pengembangan kompetensi ASN.
1 Penulis adalah Widyaiswara Ahli Madya pada Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM)
Jika dicermati, setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi munculnya kontroversi Diklat Pimpemdagri ini. Pertama, masih adanya pihak-‐pihak yang belum memahami arti pentingnya kompetensi pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mereka berpendapat bahwa tiga kompetensi yang telah diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, yakni kompetensi manajerial, teknis dan
sosial kultural sudah cukup bagi ASN untuk menjalankan tugas dan fungsinya,
sehingga tidak perlu lagi kompetensi lainnya. Kedua, masih adanya pemikiran yang dikotomis terhadap kata “kepemimpinan” dalam diklat Pimpemdagri dan diklat Kepemimpinan yang selama ini sudah diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN). Pihak-‐pihak tersebut berpikir bahwa kata “kepemimpinan” tersebut akan mengalami redundansi dan overlapping dalam dua jenis diklat yang berbeda, sedangkan objek atau sasaran kedua jenis diklat tersebut adalah sama, yakni pejabat organisasi perangkat daerah. Dengan demikian mereka menganggap bahwa diklat Pimpemdagri tidak perlu dilaksanakan, mengingat selama ini sudah dilaksanakan diklat kepemimpinan bagi ASN. Tak sedikit pula ada pihak-‐pihak yang kemudian menarik garis diametral yang menegaskan bahwa fungsi pengembangan kompetensi ASN berada pada LAN sebagai pembina kediklatan, sehingga Kementerian atau Lembaga lain tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan fungsi tersebut.
Berbagai pemikiran yang dikotomis dan kontroversi tersebut tentu saja perlu diluruskan agar terjadi pemahaman atau persepsi yang sama antara berbagai pihak dan tidak menimbulkan kebingungan bagi pemerintah daerah. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang pentingnya Diklat Pimpemdagri dalam peningkatan kompetensi pemerintahan bagi ASN di Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, serta menjelakan posisi sinergis diklat Pimpemdagri dengan Diklat Kepemimpinan yang selama ini diperdebatkan.
Kompetensi Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah
Memasuki dasa warsa kedua pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, tantangan yang dihadapi terasa semakin komplek dan rumit. Tuntutan masyarakat untuk segera merasakan manfaat dari otonomi daerah berupa pelayanan publik yang berkualitas, meningkatnya kesejahteraan, menguatnya daya saing daerah
serta meningkatnya kualitas demokrasi di tingkat lokal, semakin sulit untuk ditunda. Di sisi lain pemerintah masih dihadapkan pada banyak permasalahan terkait dengan instrumen pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri. Sebut saja permasalahan regulasi yang sering dianggap kurang mampu mewadahi dinamika sosial, politik dan ekonomi yang terjadi. Akibatnya beberapa peraturan perundang-‐ undangan yang mengatur pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah sering tidak konsisten, memunculkan distorsi dalam implementasi serta dengan cepatnya mengalami perubahan yang pada akhirnya menimbulkan kebingungan dan kegamangan bagi stakeholder di daerah.
Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah adalah kesiapan ASN di daerah yang masih sangat beragam, baik menyangkut persepsi terhadap penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pemahaman terhadap konsep dan regulasi maupun kompetensi untuk menyelenggarakan beberapa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang belum sepenuhnya mendukung. Hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah masih lemahnya penguasaan kompetensi pemerintahan, terutama bagi pengambil kebijakan pada level jabatan pimpinan tinggi (JPT), administrator maupun pengawas.
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menegaskan bahwa setiap ASN harus mempunyai kompetensi manajerial, teknis dan sosial kultural agar dapat menjalankan tugas fungsinya dengan baik. Kompetensi manajerial diperlukan agar setiap ASN khusunya yang memegang jabatan tertentu memiliki kemampuan untuk merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengevaluasi program dan/atau kegiatan di instansinya. Kompetensi teknis sangat diperlukan bagi ASN agar mereka secara teknis mampu menjalankan tugas dan fungsi jabatannya dengan baik. Sedangkan penguasaan kompetensi sosial kultural diharapkan agar setiap ASN dapat memperhatikan aspek-‐aspek sosial, budaya maupun lingkungan strategis yang mempengaruhi dalam keberhasilan pelaksanaan tugasnya.
Namun demikian, penyelenggaraan pemerintahan daerah memiliki kompleksitas dan tantangan tersendiri yang berbeda dengan instansi-‐intansi lainnya seperti swasta, BUMN atau kementerian sektoral/lembaga dsb. Penyelenggaraan pemerintahan daerah, selain lingkup kewenangan yang sangat luas, juga melibatkan pemangku kepentingan yang sangat beragam. Oleh karenanya, penguasaan terhadap
tiga kompetensi (manajerial, teknis dan sosial kultural) saja dirasakan belum cukup memadahi untuk menjawab dinamika permasalahan yang sangat rumit di daerah.
Sebagai contoh, permasalahan yang dihadapi oleh daerah terkait lambatnya pembahasan dan pengesahan APBD ataupun Peraturan Daerah (Perda) adalah karena munculnya konflik kepentingan atau masih lemahnya pemahaman terhadap hubungan kelembagaan antara pemerintah daerah dan DPRD. Permasalahan ini tidak akan terjadi apabila pejabat di daerah memiliki kompetensi pemerintahan, utamanya terkait dengan substansi tentang Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Permasalahan lain seperti kesalahan dalam pengelolaan APBD yang sering digunakan atau dialokasikan untuk mendanai urusan pemerintahan yang bukan kewenangan daerah, masih saja sering terjadi karena belum dipahaminya urusan-‐urusan pemerintahan yang telah didesentralisasikan ke daerah. Lemahnya koordinasi antara stakeholder di daerah seperti pemerintah daerah, kepolisian, satuan teritorial, kejaksaan, pengadilan dsb, juga masih menjadi permasalahan klasik yang banyak disebabkan oleh pemahaman tentang Pemerintahan Umum yang masih kurang. Banyaknya penyalahgunaan kewenangan (abude of power) yang idlakukan oleh pejabat OPD juga banyak disebabkan rendahnya komitment terhadap etika pemerintahan, serta banyak lagi masalah-‐malasah lainnya.
Contoh di atas memperlihatkan bahwa kompetensi seorang ASN baik secara teknis maupun manajerial hanya dapat efektif apabila dia memiliki pemahaman terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah secara komprehensif, seperti pemahaman umum kebijakan desentralisasi, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, kemampuan dalam pengelolaan keuangan daerah, kemampuan, serta kepatuhan terhadap prinsip-‐ prinsip etika pemerintahan.
Dengan kata lain penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat membutuhkan penguasaan kompetensi pengelolaan pemerintahan (governing) secara komprehensif, yang kemudian disebut sebagai kompetensi pemerintahan. Kompetensi pemerintahan sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 233 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah meliputi 7 (tujuh) sebagaimana dalam gambar dibawah ini:
KOMPETENSI PEMERINTAHAN
Kompetensi pemerintahan membekali pengetahuan, keterampian dan sikap perilaku untuk menemukenali dan mengidentifikasi berbagai isu dan masalah organisasi, menyusun formula tindakan penyelesaian terhadap isu atau masalah tersebut, pengambilan keputusan dan analisis resiko serta mengevaluasi kebijakan yang telah diambil. Dalam konteks penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka kompetensi pemerintahan menjadi sangat penting agar urusan pemerintahan yang delegasikan oleh pemerintah kepada daerah dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini dikarenakan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang
taken for granted, namun namun membutuhkan instrument yang komprehensif
termasuk Sumber Daya Manusia (SDM) (Andrews and Vries,2007). Gambar 2 KEBIJAKAN DESENTRALISASI PEMERINTAHAN UMUM URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN DAERAH HUBUNGAN PEMERINTAH DAERAH DAN DPRD PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH ETIKA PEMERINTAHAN HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH KOMPETENSI*PEMERINTAHAN* PRAKTEK* POLICY* FRAMEWORK* TEORETIS* 32*URUSAN*PEMERINTAHAN*YANG*DIDESENTRALISASIKAN* DAPAT*DIJALANKAN*OLEH*DAERAH* KESEJAHTERAAN*
RAKYAT* PELAYANAN*PUBLIK* DAYA*SAING*DAERAH*
MEMASTIKAN*
Dari gambar di atas terlihat bahwa kompetensi pemerintahan memiliki cakupan yang spesifik namun sangat komprehensif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Spesifik karena kompetensi pemerintahan memiliki kharakteristik yang berbeda dengan kompetensi managerial, teknis maupun sosial kultural baik dalam hal substansi maupun pendekatan. Sedangkan komprehensif karena kompetensi pemerintahan tidak saja mencakup hal-‐hal yang bersifat teknis dalam penyelenggaraan pemerintahan, namun juga kemampuan dalam pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan pemerintahan. Dengan kata lain bahwa ASN yang memiliki kompetensi pemerintahan, mencerminkan kemampuan dalam pengambilan keputusan (leadership capacity) maupun teknis pemerintahan
(governance-‐technical capacity), serta kemampuan dalam penerapan kebijakan yang
bersifat asimetris berdasarkan karakteristik sosial, budaya maupun adat istiadat di setiap daerah (sosial kultural).
Melihat fenomena di atas, maka dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, kompetensi manajerial, teknis maupun sosial kultural yang dimiliki oleh ASN belum cukup untuk menjawab kebutuhan serta tantangan di daerah yang sangat turbulen. Di sinilah pentingnya kompetensi pemerintahan bagi ASN untuk memastikan bahwa kompetensi manajerial, teknis dan sosial kultural dapat berfungsi dengan baik. Dengan demikian, dalam tata kelola pemerintahan daerah, kompetensi pemerintahan dan tiga kompetensi ASN (Manajerial, teknis dan sosial
kultural) bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, namun justeru
saling melengkapi dan menguatkan. Demikian juga sebaliknya, penguasaan kompetensi pemerintahan saja tanpa dilengkapi dengan kompetensi ASN, tidak akan dapat menemukan formulasi yang komprehensif dalam tata kelola pemerintahan di daerah.
Gambaran diatas mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk mengambil kebijakan yang mengatur tentang pentingnya pemenuhan kompetensi pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu UU nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 233 Ayat (1) s.d Ayat (5) menyebutkan bahwa ASN yang menduduki jabatan kepala organisasi perangkat daerah serta secara mutatis mutandis bagi pejabat administrator pengawas harus memenuhi kompetensi pemerintahan, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 233 ayat (2).
Urgensi Diklat Pimpemdagri
Penguasaan kompetensi pemerintahan bagi ASN di lingkungan Kemendagri dan Pemerintah Daerah -‐sebagaimana disebutkan dalam Pasal 233 UU Nomor 23
Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah-‐ adalah kebutuhan yang tidak bisa
dihindarkan dan oleh karenanya harus dibuktikan dengan sertifikat kompetensi. Hal tersebut untuk keabsahan secara hukum maupun faktual bahwa kompetensi pemerintahan harus dapat benar-‐benar terukur sehingga dapat memberikan dampak yang positif bagi kerja seorang ASN dalam menjalankan tugas fungsinya. Sertifikasi kompetensi pemerintahan inilah yang memberikan jaminan bahwa seorang ASN yang menduduki jabatan di pemerintahan daerah harus memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku dalam menjalankan urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah kepada daerah melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. KOMPETENSI* MANAJERIAL* KOMPETENSI* TEKNIS* KOMPETENSI* SOSIAL* KULTURAL* KOMPETENSI* PEMERINTAHAN*
Kompetensi* Pemerintahan* menjadi*
core% competency* untuk* memas@kan*
bahwa* kompetensi* manajerial,* kompetensi* teknis* dan* kompetensi* sosial* kultural* dapat* berfungsi* dengan*baik*dalam*penyelenggaraan* pemerintahan*(GOVERNABILITY)*
Kompetensi* Pemerintahan* adalah* kemampuan* dan* karakteris@k* yang* dimiliki* oleh* seorang* Pegawai* Aparatur* Sipil* Negara* yang* diperlukan* untuk* melaksanakan* tugas* pengelolaan* pemerintahan* sesuai* jenjang* jabatannya*di*lingkungan*Kementerian*Dalam*Negeri*dan*Pemerintahan* Daerah*secara*profesional.*
Secara umum kompetensi seseorang ASN dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun norformal, pendidikan dan pelatihan, pengalaman penugasan dsb. Dengan demikian untuk membuktikan kompetensinya, seorang ASN harus mengikuti uji sertifikasi kompetensi pemerintahan yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi sesuai peraturan perundang-‐undangan yang berlaku. Dengan demikian, ASN yang telah meduduki jabatan pengawas sampai dengan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya di lingkungan Kemendagri dan Pemerintah Daerah dapat mengikuti uji sertifikasi kompetensi pemerintahan di Lembaga Sertifikasi Profesi Pemerintahan Dalam Negeri (LSP-‐PDN) baik yang ada di pusat maupun di provinsi. Jika dalam uji sertifikasi kompetensi ASN tersebut dinyatakan kompeten, maka ASN tersebut layak untuk tetap menduduki jabatan tersebut. Namun sebaliknya, jika pegawai ASN tersebut dinyatakan belum kompeten, maka yang bersangkutan direkomendasikan untuk mengikuti Diklat Pimpemdagri. Demikian juga bagi pegawai ASN yang dipersiapkan untuk menduduki jabatan pengawas sampai dengan JPT Madya, maka yang bersangkutan harus memiliki sertifikasi kompetensi pemerintahan sebagai persyaratan legal formal untuk menduduki jabatan tertentu di lingkungan Kemendagri dan pemerintah daerah. Dengan demikian, Diklat Pimpemdagri ini sangat mengedepankan aspek efisiensi dalam pengembangan kompetensi ASN, karena tidak mengharuskan atau mewajibkan semua pejabat ASN untuk mengikuti diklat pimpemdagri, melainkan hanya bagi mereka yang secara legal formal dinyatakan belum memiliki sertifikasi kompetensi pemerintahan yang dikeluarkan oleh LSP-‐PDN atau bagi pegawai ASN yang dipersiapkan untuk menduduki jabatan di OPD. Kebijakan ini didasarkan pada pemikiran bahwa pemerintah tidak bisa menyimpulkan secara general semua pejabat OPD dianggap tidak kompeten, sehingga diwajibkan mengikuti diklat tanpa dilakukan pemetaan atau pengujian terhadap kompetensi ASN tersebut. Namun sebaliknya, DIklat Pimpemdagri ini di desain sebagai sebuah jawaban atas “kebutuhan” ASN terhadap kompetensi pemerintahan, dengan melihat track record kinerja (performance) ASN.
Melihat skema di atas, maka Diklat Pimpemdagri merupakan wujud nyata dari penyelenggaraan diklat yang berbasis kompetensi (competency-‐based training), dimana diklat ini dilaksanakan untuk menjawab kesenjangan kompetensi pemerintahan yang dihadapi oleh seorang pegawai ASN. Hal inilah yang membedakan dengan diklat lainnya, karena diklat Pimpemdagri dilaksanakan atas tuntutan kompetensi yang dibutuhkan oleh pegawai ASN dalam menjalankan tugas fungsinya. Dengan kata lain diklat Pimpemdagri ini sangat menekankan prinsip efisiensi dan efektifitas dalam penyelenggaraannya, karena hanya diperuntukkan bagi pegawai ASN yang secara legal formal belum memiliki sertifikasi kompetensi pemerintahan.
Gambar 5
Melihat pentingnya kompetensi pemerintahan tersebut maka selanjutnya pemerintah menerbitkan PP Nomor 12/2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang menetapkan bahwa Diklat Pimpemdagri sebagai salah satu instrumen pengembangan kompetensi
UU"23/2014" Pasal"233"Ayat"(1)"s.d"(5)" UJI"SERTIFIKASI" KOMPETENSI" PEMERINTAHAN" SETIAP"PEJABAT"KEPALA"OPD,ADMINISTRATOR"DAN" PENGAWAS""WAJIB"MEMILIKI"KOMPETENSI" PEMERINTAHAN" DAPAT"LANGSUNG"MENGIKUTI" DIKLAT"PIMPMEDAGRI" JIKA"DINYATAKAN"BELUM" KOMPETEN,"MAKA"WAJIB" MENGIKUTI" MBELAJARAN" SECARA"TEORITIS" PEMBELAJARAN" ASPEK"LEGALIPOLICY" FRAMEWORK" PEMBELAJARAN"ASPEK" LEADERSHIPIPRACTICE" KOMPETENSI" PEMERINTAHAN" Kemampuan"dan"karakterisRk"yang"dimiliki"oleh"seorang" Pegawai"ASNyang"diperlukan"untuk"melaksanakan"tugas" pengelolaan"pemerintahan"di"lingkungan"Kemendagri"dan" Pemda"secara"profesional." DIBUKTIKAN"MELALUI" PEMIMPIN"YANG" PROFESIONAL" Organisasi( Individu( Jabatan( KEBUTUHAN(( DIKLAT( PIMPEMDAGRI( KOMPETENSI( PEMERINTAHAN( YANG(ADA(SAAT( INI( KOMPETENSI( PEMERINTAHAN( YANG(DIHARAPKAN( KESENJANGAN KOMPETENSI PEMERINTAHAN ASN Penilaian terhadap
pemerintahan bagi aparatur Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Hal ini tidak terlepas dari peran Kemendagri sebagai poros pemerintahan dan sebagai pembina umum penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga diklat Pimpemdagri ini akan semakin memantapkan dan menguatkan pola hubungan antara pusat dan daerah (perekat NKRI) dan sekaligus dapat mendorong keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan jati diri pemerintahan dalam negeri.
Diklat Pimpemdagri juga sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah saat ini. Persaingan global yang sudah sangat terbuka, mengharuskan daerah mampu mewujudkan birokrasi berkelas dunia (world class bureaucracy) yang mencirikan profesionalisme, transparan, inovatif dan berkelas dunia. Lambatnya pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), lambannya penerapan Standar Pelayanan Minimum (SPM) dalam pelayanan publik, maupun rendanya daya saing daerah dalam mengembangkan potensi lokal selama ini lebih banyak diwarnai oleh peran birokrasi yang lebih sebagai source of problem, daripada world of solution.
Semakin terbukanya informasi publik dan penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan publik, mendorong birokrasi pemerintah daerah harus semakin proaktif dan dinamis dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Birokrasi tidak lagi bisa menunggu masyarakat yang datang meminta pelayanan, namun peka dan responsif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebelum atau tanpa diminta. Paradigma dynamic governance menuntut birokrasi tidak lagi bertindak sebagai “reaksi” atas permintaan masyarakat, namun harus melakukan “aksi” sebagai eksistensi sebagai hadirnya pemerintah bagi masyarakatnya. Pada saat yang sama, wujud pelayanan pemerintah juga harus semakin ditingkatkan. Memasuki era transparansi global yang membuat negara tanpa batas (borderless state), masyarakat semakin kritis dalam membandingkan kualitas pelayanan birokrasi dengan negara lain. Oleh karenanya, birokrasi pemerintahan harus semakin memperbaiki kinerja pelayanan publiknya jika ingin memenangkan persaingan global, misalnya dalam mendorong tumbuhnya investasi, memperluas ekspansi pasar dsb. Dengan kata lain, penerapan Total Quality Governance sudah tidak mungkin lagi ditunda, jika bangsa Indonesia ingin menjadi pemenang.
Berbagai fenomena tersebut semakin menguatkan pentingnya diklat Pimpemdagri bagi pegawai ASN di daerah. Diklat ini tidak saja memberikan pemahaman secara teoritis terhadap kompetensi pemerintahan, namun juga pemahaman terhadap aspek hukum dari suatu kebijakan (legal-‐policy framework) maupun pengalaman empiris dari implementasi kebijakan melalui pembelajaran yang berbasis simulasi atas kasus tertentu.
Gambar 6
Skema di atas memperlihatkan bahwa diklat Pimpemdagri menggunakan pendekatan integratif dalam mengembangkan kompetensi ASN. Hal tersebut mengingat berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan teoritis saja, namun juga membutuhkan pendekatan lain secara komprehensif dan berkesinambungan.
Metode Pembelajaran Diklat Pimpemdagri
Diklat Pimpemdagri dilakukan secara terstruktur dan berjenjang, sebagaimana kebutuhan kompetensi yang berbeda untuk setiap level jabatan. Oleh karenanya desain pembelajaran baik mencakup standar kompetensi lulusan, kurikulum, metode pembelajaran, tenaga pengajar maupun sarana-‐prasarana sampai dengan uji kompetensi disiapkan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Motode pembelajaran Diklat Pimpemdagri di desain dengan mengintegrasikan pendekatan diklat berbasis kinerja (performance-‐based training) dan diklat berbasis kompetensi
(competency-‐based training). Integrasi dua pendekatan ini dimaksudkan untuk SKKPDN& PRACTICAL& EXPERIENCE& EXPLICIT&AND& TACIT& KNOWLEDGE& LEADERSHIP& CAPACITY& SP2PDN& UU&NO.& 5/2014& 7&UNIT&KOMPETENSI&PEMERINTAHAN& UU&NO.& 23/2014& PP&NO.& 12/2017& PP&38/2017& PERMEND AGRI& 85/2017&
meyakinkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan kompetensi yang terukur melalui standar kompetensi pemerintahan, dan pada saat yang sama diklat harus mampu memberikan jaminan bahwa kompetensi pemerintahan harus memberikan dampak bagi peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu penyelenggaraan Diklat Pimpemdagri mengacu kepada Standar Kompetensi Kinerja Pemerintahan Dalam Negeri (SKKPDN) yang diatur dalam Permendagri Nomor 108 Tahun 2017 tentanga Kompetensi Pemerintahan, yang kemudian diterjemahkan ke dalam Standar Perangkat Pembelajaran Pemerintahan Dalam Degeri) SP2PDN.
Pembelajaran pada Diklat Pimpemdagri dirancang untuk memberikan pengetahuan, keterampilan maupun sikap perilaku yang mendasarkan pada pentingnya pemahaman bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus mengacu pada perpaduan aspek teoretis, policy/legal framework maupun pemahaman terhadap paktek pemerintahan daerah. Dengan demikian metode pembelajaran pada Diklat Pimpemdagri menekankan pada kemampuan mengelola kebijakan (leadership) untuk semua level jabatan pada Kemendagri maupun Pemerintah Daerah. Dengan demikian kata “kepemimpinan“ yang melekat pada Diklat pimpemdagri dengan diklat kepemimpinan yang diselenggarakan oleh LAN, secara implisit memiliki irisan yang saling melengkapi yakni kemampuan untuk melakukan pengambilan keputusan (decision making) dan kemampuan untuk mengelola program/kegiatan (program management).
Pada tahap awal pembelajaran, setiap peserta harus mampu menemukenali isu-‐isu (permasalahan maupun peluang) yang terdapat dalam organisasi masing-‐ masing, yang dikenal dengan agenda Defien A Problem. Kemudian seluruh peserta melakukan identifikasi isu-‐isu tersebut dan merumuskannya sesuai dengan keterkaitan isu-‐isu yang terjadi dalam sekala luas/nasional. Hal ini dimaksudkan agar peserta dapat melihat isu-‐isu organisasi dari perspektif yang lebih luas. Selanjutnya dilakukan penyeleksian isu-‐isu tersebut ke dalam rumusan isu yang krusial yang dianggap penting untuk mendapatkan pemecahan secara holistik dan komprehensif. Dari isu krusial ini selanjutnya dipilih salah satu isu (core isu) yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pembelajaran pada tahap selanjutnya. Pemilihan dari isu-‐ isu organisasi menjadi core isu ini dilakukan melalui penapisan isu dengan menggunakan indikator yang tertuang dalam Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah. Gambar 8 DEFINE&A& PROB,& LEM& CLASICAL&& LEARNING& & S T A N D& K O M P& & P E M ON&THE&SPOT& LEARNING&& COMPARATIVE& STUDY& MANAJEMEN& PEMERINTAHAN& OLAH& KEPEMIMPINAN& G E L A D I& BACKHOME&
ACTION&PLAN& KOMPETENSI&UJI& PENGUATAN&DARI& ASPEK&POLICY& FRAMEWORK& PENGUATAN&DARI& ASPEK&TEORETIS& PENGUATAN&PADA&ASPEK&TACIT&KNOWLEDGE& PENGUATAN&PADA&ASPEK& EXPLICIT&KNOWLEDGE& EXPECTING& PERFORMA NCE& EXISTING& PERFORMA NCE& PERFORMANCE&GAP&
Isu organisasi/instansi yang dihadapi oleh peserta tentu saja dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pemahamam konseptual terhadap isu tersebut, pemahaman terhadap regulasi yang terkait, maupun kerangka kebijakan yang yang diambil oleh pemerintah yang berdampak pada organisasi tersebut dsb. Di sinilah pentingnya penguatan dari aspek teoritis/konseptual serta pemahaman terhadap regulasi maupun kebijakan bagi peserta, yang dilakukan melalui pembelajaran di kelas
(classical learning) maupun pembelajaran pada lokasi dimana ada peristiwa yang bisa
dijadikan bahan pembelajaran (on the spot learning). Pembelajaran on the spot
learning disini dimaksudkan bahwa untuk memahami core isu secara komprehensif,
maka dilakukan pembelajaran pada lokus dimana isu/permasalahan tersebut terjadi
(bad practice), sehingga peserta dapat menggali berbagai faktor yang menyebabkan
timbulnya permasalahan tersebut, bagaimana eskalasi dampak dsb.
Selanjutnya peserta Diklat Pimpemdagri perlu melakukan studi komparatif
(comparative study) terhadap praktek keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan
pada daerah atau instansi lain (best practice), mengingat kinerja penyelenggaraan pemerintahan sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang berbeda. Oleh karena itu, studi komparatif dimaksudkan untuk memberikan pemahaman, wawasan serta mendorong munculnya inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf d PP Nomor 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah yang menyatakan bahwa inovasi daerah dilakukan terhadap urusan
SKEMA&PEMBELAJARAN&PADA&& AGENDA&DEFINE&A&PROBLEM&
Organiza(on's,issues, Public,Issues, Crucial/problema(c, Issues,
Core,Issue,
pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah. Pemilihan lokasi studi komparatif ini perlu dilakukan dengan melihat pada beberapa aspek seperti aksesibilitas, nilai kebaruan yang dapat dipelajari (lesson learned) untuk menyelesaikan core isu yang telah ditetapkan, maupun aspek lain yang dapat memberikan nilai tambah bagi peserta.
Berbagai permasalahan organisasi maupun inovasi yang muncul selama proses pembelajaran tersebut selanjutnya perlu disimulasikan dalam media pembelajaran berbasis kasus (case-‐based learning) melalui agenda geladi. Skenario pembelajaran geladi ini dimaksudkan untuk memberikan kemampuan bagi peserta melalui praktek langsung dalam melakukan mengidentifikasi isu, menyusun alternatif tindakan, komunikasi dengan stakholder serta membangun kolaborasi untuk menciptakan sinergi dalam pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin organisasi terhadap permasalahan yang krusial dan strategis. Pembelajaran Geladi dilakukan dua tahap yakni geladi manajemen pemerintahan dan geladi olah kepemimpinan. Geladi manajemen pemerintahan dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan secara praktis-‐simulatif di dalam kelas melalui serangkaian tindakan yang harus dilakukan oleh seorang pejabat ASN dalam merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengevaluasi suatu tindakan sebagai reaksi atas suatu isu atau permasalahan yang terjadi. Dengan demikian geladi manajemen pemerintahan ini lebih diarahkan untuk mendorong tumbuhnya sense of
managerial seorang pejabat ASN terhadap permasalahan-‐permasalah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya di organisasi masing-‐masing. Selanjutnya geladi olah kepemimpinan dilakukan untuk mengasah dan mengembangkan sense of leadership seorang pejabat ASN dalam menyelesaikan permasalahan organisasi melalui serangkaian tindakan pengambilan keputusan yang dilakukan di lapangan tugas yang sebenarnya. Tahap pembelajaran ini peserta tidak saja mempraktekkan langsung kejadian atau peristiwa atas kasus tertentu, namun juga berhadapan langsung dengan stakeholder yang terkait dengan isu/permasalahan yang terjadi. Dengan pembelajarn ini diharapkan peserta dapat berinteraksi langsung dengan berbagai pihak dan sekaligus merasakan pengaruh lingkungan strategis terhadap isu/permasalahan yang terjadi.
Pada tahap akhir pembelajaran, peserta diwajibkan menyusun rencana tindak lanjut yang akan dilakukan di organisasi/instansi masing-‐masing (back home action
project) . Rencana tindak lanjut ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan
dan wawasan dalam menyusun strategi, kebijakan, program maupun kegiatan penting dalam menemukenali permasalahan organisasi, merumuskan penyelesaian masalah, mengidentifikasi stakeholder serta menyusun langkah-‐langkah tindakan efektif yang perlu dilakukan oleh seorang pemimpin. Rencana tindak lanjut ini setidaknya dapat menggambarkan kebijakan apa yang akan dilakukan oleh peserta setelah selesai mengikuti diklat pimpemdagri, apa hasil/out put yang akan dicapai dari kebijakan tersebut, manfaat perubahan apa yang akan dirasakan oleh lingkungan kerja/organisasi, serta dalam lingkup yang lebih besar manfaat apa yang akan dirasakan oleh daerah atau bahkan nasional dari kebijakan tersebut.
Dengan melihat konstruksi pembelajaran pada diklat pimpemdagri ini, maka sangat jelas bahwa diklat ini sangat berbeda dengan diklat kepemimpinan yang diselenggarakan oleh LAN, baik dari aspek tujuan, pendekatan maupun standar kompetensi yang akan dicapai. Walaupun berbeda, namun kedua jenis diklat tersebut memilik irisan sinergis sebagaimana dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 9
NO# DIKLAT#PIMPEMDAGRI# DIKLAT#KEPEMIMPINAN# 1.# Landasan#Hukum# UU#23/2014#tentang#Pemerintahan#
Daerah;#beserta#peraturan#turunannya# UU#5/2014#tentang#ASN,#beserta#peraturan#turunannya# # 2.# Tujuan# Membekali#dan#mengembangkan# Kompetensi#Pemerintahan#dalam# Penyelenggaraan#Pemerintahan#Daerah# Memenuhi#kebutuhan#kompetensi# Manajerial# 3.# Pendekatan# Integrasi#antara#Diklat#Berbasis# Kompetensi#(Competency+based0 Training)#dan#Diklat#Berbasis#Kinerja# (Performance+based0training).0 Diklat#berbasis#jabatan# 4.# Sistem#
Pembelajaran# Comprehensive#system#(memadukan#aspek#teoriOs,#pendekatan#hukum#dan# kebijakan,#praktek#,simulasi#dan#rencana# aksi)#
OnSoff#class#
5.# Standar#Kelulusan# Uji#Kompetensi#Pemerintahan# Laboratorium#Kepemimpinan#(Proyek# Perubahan)#
6.# Sasaran# ASN#di#Kementerian#Dalam#Negeri#dan# Pemerintah#Daerah#(yang#menduduki# jabatan#pengawas#s.d#JPT#Madya)#
Kesimpulan
Penyelenggaraan pemerintahan daerah mengalami dinamika yang sangat tinggi seiring dengan meningkatnya perkembangan lingkungan strategis yang mempengaruhinya seperti persaingan global, perkembangan teknologi informasi, meningkatknya pengetahuan dan kesadaran masyarakat dsb. Oleh karenanya pegawai ASN penyelenggara pemerintahan daerah tidak saja membutuhkan kompetensi manajerial, teknis dan sosial kultural, namun juga membutuhkan kompetensi pemerintahan yang sangat penting dalam penyelesaian setiap permasalahan pemerintahan saat ini.
Secara yuridis, filosofis maupun sosiologis Diklat Pimpemdagri ini tidak perlu diragukan kemanfaatanya, karena tidak saja menggunakan pendekatan diklat berbasis kompetensi, namun juga diklat berbasis kinerja. Sehingga setelah mengikuti diklat pimpemdagri yang dibuktikan dengan sertifikasi kompetensi pemerintahan ini, diharapkan pejabat ASN memiliki kinerja yang lebih unggul, khususnya dalam mengatasi permasalahan yang terjadi di organisasinya. Oleh karenanya diklat ini di desain dengan metode yang lebih integratif dengan memadukan aspek teoritis, praktek, simulasi dan penyusunan rencana aksi.
Dengan melihat fenomena di atas, maka semakin jelas bahwa Diklat Pimpemdagri dan Diklat Kepemimpinan memiliki peran yang sinergis sebagaimana dua sisi mata uang yang saling memberikan nilai bagi pengembangan kompetensi ASN. Oleh karena itu konstruksi pengkajian pada kedua diklat tersebut seyogyanya bukan pada sudut pandang perbedaan yang memunculkan dikotomi, namun melihat pada sisi urgensi yang bisa saling melengkapi dan sinergis.
Pengembangan kompetensi ASN kedepan seyogyanya dilakukan secara proporsional dan komprehensif. Kompetensi manajerial, teknis, sosial kultural maupun kompetensi pemerintahan menjadi kebutuhan ASN yang saling melengkapi, sehingga harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mendasarkan kepada pemenuhan standar kebutuhan kompetensi jabatan yang ditetapkan. Oleh karena itu penyelenggaraan diklat harus senantiasa dilakukan berdasarkan standar kompetensi yang disusun oleh lembaga yang memiliki kewenangan tersebut. Sebagai contoh, seyogyanya LAN menyiapkan standar kompetensi manajerial dalam penyelenggaraan DIklatpim, Kemendagri menyiapkan standar kompetensi pemerintahan dalam
pelaksanaan Diklat Pimpemdagri. Pada saat yang sama kementerian teknis/sektoral harus segera menyiapkan standar kompetensi teknis yang harus dimiliki oleh pegawai ASN. Sedangkan untuk pemenuhan kompetensi sosial kultural, seyogyanya lembaga seperti Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-‐RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN) maupun Pemerintah Daerah secara terintegrasi dapat menyiapkan standar kompetensi, mengingat lembaga-‐lembaga tersebutlah yang secara langsung terkait dengan manajemen ASN khususnya dalam melihat aspek pengalaman penugasan, catatan kepribadian maupun aspek-‐aspek lain yang terkait dengan pemenuhan kompetensi sosial kultural. Dengan demikian diharapkan pengembangan kompetensi ASN ke depan tidak akan terjadi overlapping maupun redundansi, sehingga dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
§ Andrew, Christina W and Michiel S. de Vries, “High Expectation, Varying Outcomes:
Decentralization and Participation in Brazil, Japan, Russia and Sweden”,
http://ras.sagepub.com/cgi/content/abstract/73/3/424.
§ Undang-‐Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; § Undang-‐Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
§ Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
§ Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah;
§ Permendagri Nomor 85 Tahun 2017 tentang Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Pemerintahan Dalam Negeri