• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM DAN ATURAN WAKAF DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM DAN ATURAN WAKAF DI INDONESIA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

13 DI INDONESIA

Dalam bab ini penulis akan membahas tentang pengertian wakaf dari segi hukum Islam dan UU Nomor 41 Tahun 2004 beserta Peraturan Pelaksanaannya, tujuan dan manfaat wakaf, syarat dan rukun wakaf, Perubahan Peruntukan Wakaf, macam wakaf.

1. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf 1.1 Pengertian Wakaf

1.1.1 Pengertian Wakaf Menurut Hukum Islam

Kata "Wakaf' atau "Waqf' berasal dari bahasa Arab "Waqafa". Asal'kata "Waqafa” (Kementerian Agama Republik 2006, 1) berarti "menahan" atau "berhenti" atau "diam di tempat" atau "tetap berdiri". Kata "Waqafa-Yaqifu- Waqfan” sama artinya dengan "Habasa-Yahbisu

-Tahbisan. ( Atabik Ali, A.Zuhdi Muhdlor, 1998, 733) Kata al- Waqf

dalam. bahasa Arab mengandung beberapa pengertian:

Artinya: "Menahan, dengan makna menahan harta wakaf untuk diwakafkan tidak dipindahmilikkan ".( Sayyid - Sabiq, Fiqih al-Sunah,1983,cet.ke-4,jilid 3,.378)

Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut:

1.1Madzhab Hanafi

Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak

(2)

lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi akibat hukum yang timbul dari wakaf hanyalah "menyumbangkan manfaat". Karena itu Mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah: "Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”.( Kementerian Agama Republik Indonesia)

1.2Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq, walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenannya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya). (Khosyi’ah, 2010. 122-123)

(3)

1.3Mazhab Syafil dan Hambali

Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti: perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf'alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf'alaih. Karena itu mazhab Syafi'i mendefinisikan wakaf adalah: "Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang bersatus sebagai milik Allah Swt, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)". ( Depag RI, 2008 . 33)

1.1.2 Pengertian Wakaf Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

Pengertian wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 1 adalah “Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.( Kompilasi Hukum Islam, 2012. 237)

Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, Undang-undang ini menegaskan bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan, yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus

(4)

dilaksanakan. Undang-undang ini tidak memisahkan antara wakaf ahli

yang pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan wakaf khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf (pasal 30,11). ( Kompilasi Hukum Islam, 2012. 241,286 )

Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Menurut undang-undang wakif dapat pula mewakafkan sebagian kekayaannya berupa harta benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam mulia, Surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lainnya (pasal 15, 16). ( Kompilasi Hukum Islam, 2012. 280)

Dalam hal benda bergerak berupa uang, wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan Syariah. Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang keuangan syariah, misalnya badan hukum di bidang perbankan syariah. Dimungkinkannya wakaf benda bergerak berupa uang melalui Lembaga Keuangan Syariah dimaksudkan agar memudahkan Wakif untuk mewakafkan uang miliknya.(pasal 23). ( Kompilasi Hukum Islam, 2012. 283 )

Peruntukkan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial, tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf (pasal 5 ). (Kompilasi Hukum Islam, 2012. 238 )

Hal itu memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syariah

(5)

2.1 Dasar Hukum Wakaf

Adapun dasar hukum wakaf menurut hukum Islam adalah sebagai berikut (Abd .Shomad. 2010.371)

2.1.1 Al-Qur'an

Dalam Al-Qur'an secara khusus tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para. ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:



































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S Al-Baqarah : 267) (Depag RI, Al-Qur’an 1981-1982, 91)















































Artinya: Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,

(6)

anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (Depag RI, 1982: 97)































Artinya: Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya[1456]. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.(Q.S Al-Hadid ayat: 7 )

















Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul- Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.(Q.S Al-Hadid:18)



















Artinya Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.(Q.S Al-Hajj:77)



















(7)

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Q.S Ali Imran: 92). (Depag RI, Al-Qur’an 1981-1982, 61)

























Artinya: “perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. (Q.S Al-Baqarah: 261) (Depag RI, 1981-1982: 70)

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.

2.1.2 Hadits

Artinya :“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada orang meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (yang mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan untuknya." (HR. Muslim). ( Sayyid Sabiq, 2009. 532)

Adapun penafsiran shadaqah jariyah dalam hadits tersebut adalah:

(8)

shadaqah jariyah dengan wakaf"( Muhammad bin Ismail al-Kahlani, 87)

Ada hadits Nabi yang lebih tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar:

]

Artinya: “Ibnu Umar berkata: Umar Radliyallaahu 'anhu memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk meminta petunjuk dalam mengurusnya. Ia berkata: Wahai Rasulullah, aku memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang menurutku, aku belum pernah memperoleh tanah yang lebih baik daripadanya. Beliau bersabda: "Jika engkau mau, wakafkanlah pohonnya dan sedekahkanlah hasil (buah)nya." Ibnu Umar berkata: Lalu Umar mewakafkannya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, diwariskan, dan diberikan. Hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir, kaum kerabat, para hamba sahaya, orang yang berada di jalan Allah, musafir yang kehabisan bekal, dan tamu. Pengelolanya boleh memakannya dengan sepantasnya dan memberi makan sahabat yang tidak berharta. (HR. Muslim). (Muhammad bin Ismail al-Kahlani, 88)

Sedikit sekali memang ayat al-Qur'an dan as-Sunnah yang menyinggung tentang wakaf. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Meskipun demikian, ayat al-Qur'an dan Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa Khulafa'u Rasyidin sampai

(9)

sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf melalui ijtihad mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad yang bermacam-macam, seperti qiyas dan lain-lain. (Khosyi’ah, 2010: 122-123)

2.1.3 Menurut Undang-Undang

Dasar hukum wakaf di Indonesia diatur sebagai berikut: Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 Pasal 49

1. PP Nomor 28 Tahun 1977

2. Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). 3. Undang- Undang Nomor. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Peraturan

Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. ( Uswatun Hasanah, 2009.17-18)

Wakaf dilakukan untuk suatu tujuan tertentu yang ditetapkan oleh wakif dalam ikrar wakaf. Dalam menentukan tujuan wakaf berlaku asas kebebasan kehendak dalam batas-batas tidak bertentangan dengan hukum syanah, ketertiban umum dan kesusilaan. Sebelumnya di atas sudah disinggung bahwa dalam hadits Nabi SAW wakaf dilarang dijual, dihibahkan atau diwariskan. Secara umum pada asasnya tidak dibenarkan melakukan perubahan wakaf dari apa yang ditentukan dalam ikrar wakaf. Perubahan itu hanya dimungkinkan karena ada alasan yang lebih kuat berdasarkan prinsip istihsan.

Tujuan wakaf harus jelas diberikan kepada siapa, seseorang atau orang tertentu, kelompok atau badan. Tujuan wakaf adalah sebagai berikut. (Depag RI, 1986 216)

1. Untuk mencari keridhaan Allah, termasuk di dalamnya segala macam usaha untuk menegakkan agama Islam, seperti mendirikan tempattempat ibadah kaum muslimin, kegiatan dakwah, pendidikan

(10)

agama Islam, penelitian ilmu-ilmu agama Islam dan sebagainya. Karena itu seseorang tidak dapat mewakafkan hartanya, untuk kepentingan maksiat, atau keperluan yang bertentangan dengan agama Islam.

2. Untuk kepentingan masyarakat, seperti membantu fakir miskin, orangorang terlantar, kerabat, mendirikan sekolah, asrama anak yatim piatu dan sebagainya.

3. Untuk kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, atau kesejahteraan umum lainnya

Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dalam BAB II tentang Dasar-dasar Wakaf pasal 4, dan pasal 5 : Wakaf bertujuan untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. (Fokusmedia, 2) Maksudnya adalah harta benda wakaf itu bisa dijadikan sebagai pemenuhan kebutuhan dan kepentingan orang banyak, bisa mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan makmur.

Manfaat wakaf dalam kehidupan dapat dilihat dari segi hikmahnya. Setiap peraturan yang disyaratkan Allah SWT. Kepada makhluknya baik berupa perintah atau larangan pasti mempunyai hikmah dan manfaatnya, bagi kehidupan manusia, khususnya bagi umat Islam. Ada beberapa manfaat wakaf yaitu:

1. Harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara clan terjamin kelangsungannya. Tidak perlu khawatir barangnya hilang atau pindah tangan, karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh

ditasharrufkan apakah itu dalam bentuk menjual, dihibahkan atau diwariskan. (Zuhdi, 1988,80-86)

2. Pahala dan keuntungan bagi si wakif akan tetap mengalir walaupun suatu ketika ia telah meninggal dunia, selagi benda wakaf itu masih ada dan dapat dimanfaatkan. Oleh sebab itulah diharuskan benda

(11)

wakaf itu tahan lama. Dalam keadaan seperti ini wakaf sebagai inventaris untuk meraih keuntungan pahala dari Allah Swt. Terhadap perbuatan-perbuatan yang baik, akan senantiasa mengalir pahalanya setelah meninggal dunia. Disebutkan Rasulullah dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, sesungguhnya sebagian amalan dan kebaikan orang yang beriman yang dapat mengikutinya sesuclah la meninggal yaitu: ilmu yang disebarluaskan, anak shaleh yang ditinggalkan, al-Qur'an yang diwariskan, mesjid yang didirikan, rumah yang dibangun untuk musafir, sungai yang dialirkan, atau sedekah yang ia keluarkan dari harta bendanya pada waktu la masih sehat/hidup.

3. Wakaf merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan agama dan umat. Antara lain untuk pembinaan mental spiritual, dan pembangunan segi fisik. Hikmah wakaf dapat membantu pihak yang miskin, baik miskin dalam artian ekonomi maupun miskin tenaga. (Zuhdi, 1988,77-79) Di lain pihak juga bertujuan untuk meningkatkan pembangunan keagamaan. Di samping itu hikmah lain ialah dapat membentuk jiwa sosial di tengah-tengah masyarakat. Si kaya akan merasa sertanggung jawab terhadap si miskin, sehingga muncul saling melindungi, sebagai tindak lanjutnya akan terjalin (Khosyi’ah, 2010, 132) hubungan

ukhuwah Islamiyah dan menjadi persatuan umat. (Usman, 2009.59) Melalui ibadah wakaf dua belah pihak memperoleh manfaatnya, baik bagi si wakaf (orang yang berwakaf) maupun bagi si 'mauquf alaih

terlepas dari kesulitan. Bahkan mampu menjadi sumber dana umat Islam untuk mengembangkan dakwah Islamiyyah, tentu dengan mendayagunakan harta wakaf secara optimal. Mengingat besarnya hikmah dan manfaatnya terhadap kehidupan umat, maka Nabi SAW sendiri dan para sahabat dahulu dengan ikhlas mewakafkan mesjid, tanah, sumur, kebun, kuda milik mereka serta harta benda lainnya

(12)

untuk kemajuan agama dan umat Islam umumnya. Langkah Nabi dan para sahabat itu kemudian kita ikuti hingga sampai sekarang ini, walaupun belum begitu terkelola.

2. Rukun dan Syarat Wakaf 2.1 Rukun Wakaf

Wakaf menurut Hukum Islam dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf ada 4, yaitu

1. Wakif (orang yang mewakafkan harta)

2. Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan)

3. Mauquf alaih (pihak yang diberi wakaf /penerima wakaf)

4. Shighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya)

Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 2004 pada Bab II tentang Rukun/Wakaf dalam pasal 6 unsur wakaf ada 6 macam, yaitu:

1. Wakif. Adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. 2. Nazhir. Adalah pihak yang menerima harta benda wakaf clari

wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya

3. Harta benda wakaf. Harta benda yang memiliki daya tahan lama atau manfaat jangka panjang serta mempunyai mulai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.

4. Ikrar wakaf. Pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.

5. Mauquf alaih. Adalah orang yang menerima harta benda wakaf 6. Jangka waktu wakaf.( Hasanah, 2009: 19 )

Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, rukun dan syarat wakaf memang tidak dirinci sebagaimana dalam fikih. Sebab, dalam UU

(13)

tersebut ditegaskan bahwa: “Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syari'ah”. Dengan demikian, UU tetap memberikan kewenangan terhadap syari'at Islam untuk menilai keabsahan pelaksanaan wakaf, termasuk dalam hal syarat dan rukun wakaf ini.

2.2 Syarat Wakaf 2.1 Syarat Wakif

Orang yang mewakafkan (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak di sini meliputi empat kriteria, yaitu:

1. Merdeka

Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain , sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinyalah apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya.namun demikian Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqaha sepakat,budak itu boleh mewakafkan hartanya bila ada izin dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya.

2. Berakal Sehat

Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab dia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainya.

3. Dewasa (baligh)

Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula menggugurkan hak miliknya.

4. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)

(14)

tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah (pasal 20). (Direktorat Jenderal, 22-23)

Sedangkan menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 adalah: 1. Dewasa

2. Berakal sehat

3. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum 4. Pemilik sah harta benda wakaf

Di dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, syarat tersebut tidak saja bagi wakif yang perorangan, tapi juga bisa berupa organisasi dan badan hukum. Jika wakif berupa organisasi UU menyerahkan persyaratan wakif kepada anggaran dasar organisasi yang bersangkutan, tapi jika wakif berupa badan hukum UU menyerahkan persyaratan wakif kepada ketentuan badan hukum (pasal 8). (Kompilasi Hukum Islam, 239)

Menurut ulama wakif adalah pemilik harta yang diwakafkan . Jadiharta yang belum jelas pemiliknya warisan yang belum dibagikan . Wakif mempunyai kecakapan melakukan tabarru yaitu kecakapan melepaskan harta milik kepada orang lain. (Depertemen Agaman RI, 212)

Seorang wakif haruslah memenuhi syarat untuk mewakafkan hartanya, di antara adalah kecakapan dalam bertindak telah dapat mempertimbangkan baik buruknya perbuatan ang dilakukannya dan benar –benar pemilik harta ang diwakafkan itu.

2.2 Syarat Mauquf Bih (Harta yang Diwakafkan) 2.1 Syarat sahnya harta wakaf

Menurut hukum Islam, harta yang diwakafkan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

(15)

1. Harta yang diwakafkan harus mutaqawwam. Pengertian harta yang mutaqawwam , menurut Madzhab Hanafi ialah segala sesuatu yang dapat disimpan clan halal digunakan dalam keadaan normal (bukan dalam keadaan darurat). Karena itu mazhab ini memandang tidak sah memwakafkan :

a. Sesuatu yang bukan harta, seperti mewakafkan manfaat dari rumah sewaan untuk ditempati.

b. Harta yang tidak muntaqawwam , seperti alat-alat musik yang tidak halal digunakan atau buku-buku anti islam, karena dapat merusak islam itu sendiri

2. Diketahui dengan yakin ketika mewakafkan. Harta yang akan diwakafkan harus diketahui dengan yakin ('ainun ma’lumun), sehingga tidak akan menimbulkan. persengketaan.

3. Milik wakif. Hendaklah harta yang diwakafkan milik penuh dan mengikat bagi wakif ketika is mewakafkannya.

4. Terpisah, bukan milik bersama (musya).

5. Syarat-syarat yang ditetapkan wakif (terkait harta wakaf). Syarat yang ditetapkan wakif dalam ikrar wakafnya itu atas kemauannya sendiri, sebagai wadah untuk mengungkapkan keinginannya tentang pengelolaan wakafnya. Syaratnya ini tidak mungkin dibatasi mengingat beragamnya tujuan dan keinginan wakif Namun mungkin saja membatasi macam macamnya. (Khosyi'ah, 2010: 36-35 )

2.2 Kadar Harta yang Diwakafkan

Sebelum Undang-undang Wakaf di terapkan, Mesir masih menggunakan pendapatnya Madzhab Hanafi tentang kadar harta yang akan diwakafkan. Yaitu harta yang akan diwakafkan seseorang tidak dibatasi dalam jumlah tertentu sebagai upaya menghargai keinginan wakif, berapa saja yang ingin diwakafkannya. Sehingga dengan penerapan pendapat yang demikian bisa menimbulkan

(16)

penyelewengan sebagian wakif, seperti mewakafkan semua harta pusakanya kepada pihak kebajikan dan lain-lain tanpa memperhitungkan derita atas keluarganya yang ditinggalkan. ( Direktot Jenderal, 35)

Benda wakaf merupakan harta yang terlepas dar hak milik, juga terlepas darii milik orang atau badan –badan yang menjad tujuan wakaf. hal ini berlangsung sejak wakaf diikrarkan dan menjadi hak allah, yang kemanfaatanya menjadi hak penerima wakaf. jika seseorang mewakafkan sebidang tanah untuk pemeliharaan balai pendidikan atau balai pengobatan yang dikelola oleh suatu yayasan, sejak diikrarkan sebagai harta wakaf. tanah tersebut terlepas dar hak milik waqif pidah menjadi hak Allah dan merupakan amanat pada yayasan, yang menjadi tujuan wakaf.

Mazhab Syafi`iyah dan Hanabilah membolehkan wakaf benda yang bergerak sebagaimana diperbolehkan mewakafkan benda yang tidak bergerak, sedangkan keadaan suatu wakaf terletak pada bendanya. misalnya benda tersebut tidak mengalami kerusakan maka halnya seperti wakaf sebuah bagunan mesjid.

Sementara Mazhab Hanafi mengemukan empat syarat pada barang yang diwakafkan, yaitu sebagai berkut:

1. Barang yang diwakafkan harus berupa harta benda. Tdak boleh memwakafkan manfaatnya semata tanpa bendanya, juga tidak boleh mewakafkan benda –benda yang tidak baik menurut syara` seperti barang –barang yang memabukkan dan kitab-kitab yang menyesatkan.

2. Barang yang diwakafkan harus tegas dan jelas, baik kejelasan menurut ukuran maupun jenis barang yang diwakafkan, tanpa memperdulikan untuk apa wakaf itu ditujukan atau difungsikan. 3. Barang yang diwakafkan betul –betul sepenuhnya milik orang

(17)

orang lain.

4. Barang yang diwakafkan boleh dijadikan benda wakaf secara mutlak selama urf menghendaki dan membolehkannya. (Khosyi’ah. 2010: 74 )

Sedangkan di dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 pasal 1, barang yang diwakafkan hanya diberikan ketentuan yang bersifat umum yaitu bahwa harta benda tersebut hares dimiliki dan dikuasai wakif secara sah. Yaitu harta yang la miliki tersebut, atas namanya sendiri, bersertifikat, sehingga tidak memungkinkan bagi orang lain untuk menggugat dikemudian harinya. Hanya saja mengenai jenis dan macamnya telah disebut secara limitatif, maksudnya dari jenis ada dua macam, yaitu benda bergerak dan tidak bergerak. Sedangkan yang disebut secara limitatif yaitu batasan waktu yang ditentukan oleh si wakif ketika mewakafkan harta miliknya. Ada yang berbentuk sementara dan ada yang secara permanen/tetap (selamanya). Harta benda wakaf terdiri dari (pasal 16 )

(1)Benda tidak bergerak (2)Benda bergerak

Benda tidak bergerak, meliputi:

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar

b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kompilasi Hukum Islam. ( 242)

(18)

Benda bergerak adalah benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: (a)Uang (b)Logam mulia (c)Surat berharga (d)Kendaraan

(1)Hak atas kekayaan intelektual (2)Hak sewa

(3)Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 16)

Dapartemen Agama. ( 2007. 242)

2.3 Syarat Mauquf `Alaih (penerima wakaf)

Yang dimaksud dengan mauquf 'alaih adalah tujuan wakaf (penerima wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan syariat Islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan aural yang mendekatkan diri manusia kepada Allah SWT. Karena itu mauquf 'alaih (yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan. Para faqih sepakat berpendapat bahwa infaq kepada pihak kebajikan itulah yang membuat wakaf sebagai ibadah yang mendekatkan diri manusia kepada Allah SWT. (Khosyi'ah, 2010: 18-19)

Mazhab Hanafi mensyaratkan agar mauquf'alaih ditujukan kepada semua syi'ar Islam dan pihak kebajikan, seperti orang-orang miskin, rumah sakit, tempat penampungan dan sekolah. Dan sah wakaf non muslim kepada pihak kebajikan umum seperti tempat ibadah dalam pandangan Islam seperti pembangunan mesjid, biaya mesjid, bantuan kepada jamaah haji, dan lain-lain sebagainya. Siah Khosyi'ah, (18-19)

Mazhab Maliki mensyaratkan agar mauquf'alaih untuk ibadah menurut pandangan wakif Sah wakaf muslim kepada semua syi'ar Islam dan badan-badan sosial umum. Dan tidak sah wakaf non muslim kepada mesjid dan syi'ar-syi'ar Islam.

(19)

Mazhab Syafi'i dan Hambali mensyaratkan agar mauquf alaih

adalah ibadah menurut pandangan Islam saja. (Khosyi'ah, 2010: 18-19) Sedangkan menurut UU Nomor 41 Tahun 2004, bahwa tujuan wakaf (peruntukkannya) adalah(pasal 22)

a). Sarana ibadah dan kegiatan ibadah

b). Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan

c). Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu dan beasiswa

d). Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat

e). Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syari'ah dan peraturan perundangundangan. Kompilasi Hukum Islam (244)

2.4 Syarat Shighat (Ikrar Wakaf) 1. Pengertian shighat

Shighat wakaf ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Oleh karena wakaf merupakan salah satu bentuk tasharruf/tabarru" maka sudah dinggap selesai dengan adanya ijab saja meskipun tidak diikuti dengan qabul dari penerima wakaf

2. Status shighat

Status shighat (pernyataan), secara umum adalah salah satu rukun wakaf. Wakaf tdak sah tanpa shighat. Setiap shighat

mengandung ijab, dan mukn mengandung qabul pula. 3. Dasar shighat

Dasar (dalil) perlunanya shighat (pernyataan) ialah karena wakaf adalah melepaskan hak milik .

(20)

Adapun lafadz Shighat wakaf ada dua macam, yaitu 1. Lafaz yang jelas (sharih), seperti:

Aku wakafkan, aku wakafkan, aku dermakan hartaku" Direktot Jenderal, ( 56)

Bila lafaz ini dipakai dalam ijab wakaf, maka sah lah wakaf tersebut, sebab lafaz tersebut tidak mengandung suatu pengertian lain kecuali kepada wakaf.

2. Lafaz kiasan (kinayah), seperti:

Aku sedekahkan, aku haramkan hartaku, selamanya di jalan Allah ".

Kalau lafaz ini dipakai, harus dibarengi dengan niat wakaf Sebab lafaz "tashaddaqtu" bisa berarti sedekah wajib seperti zakat dan sedekah sunnah. Lafaz "harramtu" bisa berarti dzihar, tapi bisa juga berarti wakaf Oleh karena itu harus ada ketegasan niat untuk wakaf. Kemudian lafaz "abbadtu" juga bisa berarti semua pengeluaran harta bench untuk selamanya. Sehingga semua lafaz kiasan yang dipakai untuk mewakafkan sesuatu harus disertai dengan niat wakaf secara tegas. Direktot Jenderal, ( 56)

Selain syarat dan rukun harus dipenuhi dalam perwakafan sebagaimana disebutkan diatas, kehadiran nazhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam mengelola harta wakaf sangatlah penting. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nazhir sebagai salah sate rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk Nazhir wakaf, balk yang bersifat perseorangan maupun kelembagaan.

(21)

Pengangkatan nazhir wakaf ini bertujuan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus, sehingga harta wakaf itu tidak

sia-sia. Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya benda wakaf tergantung dari nazhir itu sendiri. Untuk itu, sebagai instrumenypenting dalam perwakafan, nazhir harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar wakaf bisa diberdayakan sebagaimana mestinya.

3. Macam-Macam Wakaf

Wakaf dapat dibagi menjadi dua (2) macam: 3.1 Wakaf Ahli

Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang tertentu ,seseorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan, wakaf seperti ini juga disebut wakaf

Dzurri. Direktot Jenderal, (14-15)

Apabilah ada seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam penyataan wakaf. Wakaf jenis ini (wakaf ahli /dzurri) kadang – kadang juga disebut wakaf `ala aulad, yaitu wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga famili), lingkungan kerabat sendiri. Mazhab maliki berpendapat bahwa apabila seseorang mewakafkan harta dan menyatakan wakaf itu hanya untuk anak laki-laki , tidak untuk perempuan , ia berdosa. Demikian pula dengan danyya syarat “tidak kawin”, karena adanya dosa maka wakaf ahli seperti itu adalah batal.

Adapun lafal”saya wakafkan harta ini bagi anak –anak saya “ dan tidak mengatakan apa pun selain itu, lafal “anak –anak saya itu mencakup anak-anak dari anaknya(cucu-cicit) ika dikatakan mencakup anak dari anak laki-laki dan anak perempuan ,ataukah terbatas hanyya pada anak-

(22)

anak laki-laki saja. Pendapatyang masyhur di kalangan imamiyah adalah bawah lafal “anak-anak saya “, tidak mencakup anaknya anak.

Imam syafi`i mengatakan ,lafal anak mencakup semua anak kandung ,baik laki-laki maupun anak perempuan .

1) Wakaf ahli di kalangan ulama

Sebagaimana besar ulama menyatakan kebolehan atau sah dengan adanya wakaf ahli,terutama ditujukan kepada anggota keluarga yang dnilai kurang mampu dalam bidang ekonomi, baik ia termasuk kategori ahli waris maupun tidak.

2) Eksistensi wakaf ahli

Menurut azhar basyir,persoalan ang mungkin timbul adalah bila anak keturunan waqif tidak ada lagi yang mampu mempergunakan wakaf tersebut atau keturunan na menadi punah.

3.2 Wakaf Khairi

Yaitu, wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum). Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembagunan masjid, sekolah, Jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya. 4. Aturan Tentang Wakaf Tanah Menurut UU No 41 tahun 2004

Sebagaimana Pasal 223 KHI, dinyatakan sebagai berikut :

1. Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pegawai Pencatat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf.

2. Isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Mentri Agama.

3. Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan akta ikrar wakaf (AIW) dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya duaorang saksi. (Usman, 2009: (53).

(23)

4. Dalam melasanakan ikrar seperti dimaksud ayat 1, pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada pejabat yang tersebut dalan pasal 215 ayat 6, surat-surat sebagai berikut:

a. Tanda bukti pemilikan harta benda.

b. Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda wakaf tidak bergerak

c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan. Selanjutnya mengenai pengelolaan benda wakaf, ditentukan dalam pasal 227 Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nadzir dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya. Ini berarti pengawasan terhadap benda wakaf tidak hanya dilakukan oleh pihak eksekutif saja, tetapi bersama-sama antara pihak eksekutif dan yudikatif. Sebagaimana dikemukakan di atas, benda wakaf bersifat kekal. Dalam arti, manfaat dari benda wakaf boleh dinikmati, tapi benda wakafnya sendiri tidak boleh ditiadaka, bahwa apabila wakaf telah terjadi maka tidak boleh dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan sesuatu yang menghilangkan kewakafannya. Bila orang yang berwakaf mati, maka wakaf tidak diwariskan.

Melihat penjelasan wakaf di atas, bahwa benda wakaf tidak dapat ditarik kembali. (Usman, 2009: 71) Akan tetapi melihat

fenomena yang ada, banyak terjadi penarikan benda wakaf. Ironis memang, perkembangan kehidupan di era globalisasi seperti sekarang ini, membuat manusianya dapat berbuat hal yang tidak sewajarnya. Bahkan dapat dinilai tidak berperasaan. Sebab, apa yang sudah

(24)

dikeluarkan untuk derma, kemudian harus ditarik kembali. Hal ini terjadihampir di seluruh pelosok Indonesia. Seharusnya dari pihak wakif sebelummewakafkan hartanya, harus dipikir secara matang dan dirundingkan denganahli waris. Agar ahli waris mengetahuinya dan dari situlah ahli waris diharapkan tidak menarik kembali benda wakaf di kemudian hari. Pada dasarnya benda wakaf tidak dapat diubah atau dialihkan. Dalam Pasal 225 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan, bahwa benda yang diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain, dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) (Rofi. 1998: 514). Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:

1. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.

2. Karena kepentingan umum. Perubahan tersebut pun dapat dilakukan, asalkan tidak bertentangan dengan syari’at. Hal tersebut diperkuat dengan aturan Perundang-Undangan Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 41, yaitu:

1) Bahwa harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syari’at.

2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Mentri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.

Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian sebagai mana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfa’at dan nilai tukar

(25)

sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. Akan tetapi, di dalam kehidupan yang kompleks ini tidak terlepas dari adanya permasalahan. Tidak hanya dalam urusan rumah tangga saja sengketa dapat terjadi, melainkan dalam urusan wakaf pun perselisihan dapat terjadi. Biasanya perselisihan terjadi antara ahli waris wakif dengan nadzir, atau bahkan sengketa dalam penarikan harta benda yang sudah diwakafkan. Sengketa tersebut biasanya diselesaikan melalui pengajuan gugatan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 226 Kompilasi Hukum Islam, bahwa penyelesaian sengketa, sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan nadzir mengajukannya ke Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor: 1521/Pdt.G/2008/PA. Sm, mengenai penarikan kembali harta wakaf oleh warga dari ahli waris yang terjadi di Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, warga setempat menggugat para ahli waris yang telah menarik kembali harta wakaf. Dalam kejadian ini, warga merasa tidak diberikan haknya oleh ahli waris. Sebab, ahli waris menarik harta tersebut dengan alasan di dalam benda wakaf terdapat bagian ahli waris yang belum dibagikan. Sedangkan penarikan harta wakaf oleh warga dari ahli waris berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Nomor :1521/Pdt.G/2008/PA.Sm. tersebut bahwa harta wakaf tidak dapat dimiliki oleh siapapun kecuali dikelola oleh nadzir yang sudah ditunjuk. Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 menjalaskan tentang tata cara perwakafan. Pasal 223 angka (1) tertulis sebagai berikut:

Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.”

(26)

Pada dasarnya, ketika rukun-rukun wakaf telah tercukupi, maka jadilah wakaf. Ini adalah menurut fiqh klasik. Lalu Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 angka (2) tertulis sebagai berikut:

“Isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.” Seperti yang telah diterangkan di atas tadi, bahwa wakaf itu bisa jadi ketika telah menetapi rukun-rukunnya. Salah satu yang disepakati oleh semua ulama, adalah adanya shîghat. Perlu juga diketahui, pada dasarnya pemerintah tidak sepenuhnya menafikan sebuah wakaf yang sudah memenuhi syarat. Oleh karena itu, redaksi di dalam KHI adalah ikrar wakaf, bukan shîghat wakaf. Ini dikarenakan tidak menutup kemungkinan sudah terjadi wakaf di luar prosedur yang secara syariat sudah sah, akan tetapi ditetapkan wakaf tersebut secara resmi melalui proses ikrar ini. Hujjah ini hampir senada dengan pernyataan Wahbah al-Zuhailî seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Ketentuan lain dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 angka (3) tertulis sebagai berikut:

Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi

Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 angka (4) tertulis sebagai berikut:

“Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:

a. tanda bukti pemilikan harta benda;

b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak,

(27)

diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;

c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan

dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.

5. Penarikan Wakaf Menurut Hukum Islam dan UU No 41/2004 5.1 Penarikan Tanah Wakaf Menurut Hukum Islam

Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang boleh tidaknya menarik kembali harta yang sudah diwakafkan, Perbedaan pendapat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1.1 Mazhab Hanafi

Dalam pandangan Imam Abu Hanifah harta yang telah di wakafkan tetap berada pada wakif dan boleh ditarik kembali oleh si wakif. Jadi harta itu tidak berpindah hak milik hanya hasil manfaatnya yang diperuntukan pada tujuan wakaf Dalam hal ini Imam Abu Hanifa memberikan pengeculian pada tiga hal yaitu: wakaf masjid, wakaf yang ditentukan keputusan pengadilan, wakaf wasiat. Selain tiga hal tersebut yang dilepaskan hanya hasil manfaatnya saja bukan benda itu secara utuh. Rachmadi Usman, 74-76 Dalam masing-masing pengecualian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Wakaf Masjid yaitu: apabila seseorang mewakafkan hartanya untukkepentingan masjid atau seseorang membuatkan bangunan dan di wakafkan untuk menjadi masjid, maka wakaf dalam hal ini ada. Akibat dari adanya wakaf ialah harta yang menjadi masjid itu tidak lagi menjadi milik si wakif, tetapi menjadi milik Allah.

Wakif tidak lagi mempunyai hak untuk mengambil kembali harta yang telah di wakafkan untuk masjid, harta tersebut tidak dapat untuk membuat bayar hutang, di transfer kepada siapapun dan oleh siapa pun.

2. Wakaf yang adanya di tentukan oleh keputusan pengadilan yaitu apabila ada persengketaan mengenai sesuatu harta wakaf, kalau

(28)

pengadilan memutuskan bahwa itu menjadi harta wakaf, maka dalam hal ini wakaf itu ada dan mempunyai akibat seperti halnya wakaf masjid. Wakaf di putuskan oleh hakim mempunyai wewenang untuk diikuti keputusannya, setiap orang yang harus mengikuti keputusan hakim walaupun pendapatnya berbeda pendapat dengan hakim. 3. Wakaf Wasiat yaitu apabila seseorang dalam keadaan masih hidup

berwasiat, apabila nanti ia meninggal dunia, maka hartanya yang di tentukan menjadi wakaf. Dalam hal ini wakaf menjadi ada dan kedudukannya sama dengan Wasiat. Abdul Ghofur .( 35 )

1.2 Mazhab Maliki

Dalam pandangan Maliki wakaf tidak disyaratkan berlaku untuk selamanya, tetapi sah berlaku untuk tertentu misalnya satu tahun sesudah itu kembali kepada pemiliknya semula.32 Aku wakafkan sawahku

untuk Allah ”ini berarti wakaf untuk selamanya dan di peruntukan bagi kebaikan.

Apabila wakaf untuk waktu tertentu dan sudah habis jangka waktunya, maka si wakif mengambil kembali hartanya, karena itu keluar dari miliknya. Wakaf menurut interpretasi Malikiah, tidak terputus hak si wakif terhadap benda yang di wakafkan yang terputus itu hanyalah dalam hal bertasarruf. Maliki beralasan dengan hadis Ibnu Umar, ketika Rasulullah menyatakan, ”jika kamu mau, tahanlah asalnya dan sedekahkanlah hasilnya, Maliki berpandangan bahwa hadis ini sebagai syarat. Rasul kepada umat untuk menyedekahkan hasilnya saja, lalu Maliki menambahkan alasannya apabila benda yang diwakafkan keluar dari pemiliknya tentu rasul tidak menyatakan dengan kata–kata,”tidak menjual, tidak mewariskan, dan tidak menghibahkan kepada Umar. Hadis itu seolah-olah menyatakan bahwa Umar

tetap memiliki harta itu, tapi dengan ketentuan tidak mentasarrufkannya. Maliki juga tidak mensyaratkan wakaf untuk

(29)

lamanya sebab tidak ada dalil yang mengharuskan wakaf untuk selama-lamanya, oleh sebab itu di perbolehkan wakaf sesuai dengan keinginan wakif. Rachmadi Usman, 78

1.3 Mazhab Syafi’i

Menurut Imam Asy- Syafi’i adalah harta yang di wakafkan terlepas dari si wakif dan menjadi milik Allah, ini berarti menahan harta untuk selama lamanya tidak diperbolehkan wakaf di tentukan jangka waktunya benda yang di wakafkan di syaratkan tahan lama dan tidak cepat habis. Alasan yang di pegang oleh as-Syafi’i adalah hadis yang di riwayatkandari Ibnu Umar tentang khaibar, yaitu sabda Nabi saw, kalau kau mau, tahanlah asalnya dan mensedekahkan hasilnya, maka Umar punmenyedekahkan tidak menjual, menghibahkan, dan mewariskan.”As Syafi’I memandang bahwa kalimat yang berbunyi: maka Umar pun menyedekahkan dengan tidak menjual, menghibahkan, mewariskannya.

Hadis demikian termasuk hadis yang melalui perbuatan Umar sebagai sahabat yang diketahui oleh nabi. Nabi itu membiarkan yang berarti menyetujui perbuatan itu, Hadis demikian termasuk hadis tazriri, sedangkan kalimat sebelumnya merupakan hadis qauli yaitu hadis yang disampaikan nabi dengan perkataan. Hadis tersebut menunjukan adanya wakaf, yaitu keluarnya milik yang di wakafkan dari pemiliknya, waqif kepada Allah tidak boleh harta itu ditransaksikan, tidak boleh membuat bayar hutang ahli waris, perbuatan itu merupakan untuk mewakafkan selama-lamanya dan tidak boleh di tarik kembali. (Usman, 2009: 78-79) 1.4 Mazhab Hambali

Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa wakaf terjadi dengan dua cara: pertama, karena kebiasaan mengizinkan orang lain sholat di dalamnya,walaupun dia tidak menyebutkan bahwa dia berwakaf, tetap dapat di katakan bahwa dia sudah wakaf, kedua, dalam secara lisan dengan cara jelas (sarih) maupun dengan tidak (kinayah), bila dia

(30)

menggunakan kinayah, maka harus mengiringinya lewat wakaf.Bila telah jelas seseorang mewakafkan hartanya, maka si wakif tidak mempunyai kekuasaan bertindak atas benda itu dan juga tidak dapat menariknya kembali. Imam Hambali menyatakan, benda yang di wakafkan itu harus kekal zatnya karena wakaf bukan untuk waktu tertentu tetapi berlaku selama-lamanya. Sementara itu Muhammad Salam Madkur, dalam bukunya Wakaf: dari segi fiqih dan praktek” menjelaskan bahwa menarik kembali harta wakaf dapat diqiyaskan dengan menarik kembali hibah yaitu hukumnya haram kecuali hibah yang di lakukan orang tua kepada anaknya. Orang yang menarik kembali hibahnya sama dengan anjing yang muntah kemudian mengambil kembali muntahnya itu lalu memakannya.

Hadis tentang penarikan harta wakaf adalah:

“Tidak boleh seseorang memberikan suatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah lantas dia menariknya kembali, kecuali bapak-bapak terkait apa yang diberikannya kepada anaknya. Perumpamaan orang yang memberikan pemberian kemudian dia menarik kembali pemberiannya seperti anjing yang makan, lantas begitu kenyang ia muntah kemudian memakan kembali muntahnya.” Sayyid Sabiq, 560

“Tidak boleh ada perumpamaan buruk bagi kita. Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang memakan kembali muntahnya”

Sayyid Sabiq, 561

1.5 Penarikan Tanah Wakaf menurut UU Nomor41 tahun 2004 Undang – undang No 41 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No 42 tahun 2006 tidak menggatur secara detail (jelas) tentang penarikan kembali harta benda yang sudah diwakafkan. Meskipun demikian, pada

(31)

pasal 40 Undang – Undang No 41 Tahun 2004 disebutkan, harta benda yang sudah diwakafkan dilarang : Kompilasi Hukum Islam,248

1. Dijadikan jaminan 2. Disita 3. Dihibahkan 4. Dijual 5. Diwariskan 6. Ditukar

7. Dialihkan dalam bentuk pengalihan

Dalam undang - undang di atas bisa didasarkan pada hadis riwayat Ibnu Umar ra, ia berkata: Umar ra. mendapat sebidang tanah di Khaibar kemudian ia menghadap Nabi saw. untuk meminta petunjuk tentang pemanfaatannya. Umar berkata” Wahai Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah saya dapatkan harta lain yang lebih berharga darinya. Apa saran engkau tentang hal ini”. Beliau bersabda”, Jika kamu suka, kamu bisa mewakafkan asetnya dan bersedekah dengan hasilnya”, Maka Umar bersedekah dengan hasilnya atas dasar asetnya tidak boleh dijual, dibeli, diwarisi atau dihibahkan. Umar bersedekah kepada fakir-miskin, kerabat, untuk memerdekakan budak, jihad di jalan Allah, Kemudian dalam pasal 49 Peraturan Pemerintah no 42 tahun 2006, disebutkan pada pasal 41 Ayat 1” Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari materi berdasarkan pertimbangan BWI. Ayat 2 “ Izin tertulis dari menteri sebagaimana dimaksud pada pasal ( 1 ) hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Perubahan harta benda yang wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai rencana umum tata ruang ( RUTR ) berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

(32)

2. Harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf.

3. Pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak. Ayat 3 : selain itu dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Izin penukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan wakaf :

1) Harta benda penukar memiliki sertifikat atau kepemilikan sah dengan perudang – undangan

2) Nilai dengan manfaat harta benda penukar sekurang – kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. Ayat 4 : nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud dengan ayat 3 ( huruf b ) ditetapkan oleh bupati atau walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur :

a. Pemerintah daerah kabupaten atau kota b. Kantor pertanahan kabupaten atau kota

c. Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) kabupaten atau kota d. Kantor Departemen Agama kabupaten atau kota

Dari uraian pasal – pasal diatas dapat diketahui bahwa harta benda yang sudah diwakafkan tidak boleh dijadikan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, dan atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Harta benda yang sudah diwakafkan boleh ditukar, namun persyaratan agar dapat ditukar sangat ketat sebagaimana diatur dalam pasal 49 PP No 42 Tahun 2006. Dengan melihat pada pasal diatas, maka penarikan kembali harta wakaf menurut UU No 41 Tahun 2004 adalah dilarang. Hal ini dapat dianalogiskan kalau dijadikan jaminan, disita dilarang. maka untuk melakukan tindakan yang lebih dari itu seperti menarik kembali harta yang diwakafkan sudah jelas dilarang Apabila mengacu pada pasal 1 angka (1) UU No 42 Tahun 2004 yang menyebutkan : Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan

(33)

dan atau menyerahkan sebagai harta benda yang milikinya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum. Dengan demikian menurut ketentuan ini wakaf tidak harus selamanya tetapi wakaf sementara (jangka waktu) juga diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentingannya. Jadi apabila jangka waktu wakaf ini sudah selasai, maka wakif dapat menarik kembali harta yang sudah diwakafkan.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kegiatan ini siswa: a) Membentuk kelompok b) Mendapatkan.. materi yang akan dibahas. c) Menjelaskan materi tentang operasi hitung penjumlahan dan pengurangan

Sesuai dengan masalah yang telah dipaparkan di atas, peneliti memiliki gagasan untuk mengembangkan modul buta aksara yang telah disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan masyarakat

Setelah melakukan observasi dan wawancara mengenai tinjauan terhadap penerapan sistem automasi di Perpustakaan Politani, kemudian melakukan analisis masalah dan

Materi IPA yang diajarkan kepada siswa adalah contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pada proses pembelajaran semua materi dikaitkan dengan kehidupan

Zainun (2001) menyatakan peningkatan mutu sumber daya manusia dimaksudkan untuk berbagai keperluan seperti: 1) Menyiapkan seseorang agar saatnya dihari tugas

Berdasarkan hasil analisis SWOT yang telah dilakukan, maka dirumuskan beberapa strategi pengembangan seperti mengembangkan agribisnis, meningkatkan kualitas kelompok

Meskipun total mikroba pada miso K3S2 lebih rendah dari kontrol namun produk ini masih bisa dikatakan aman dengan adanya penambahan garam yang dapat

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil 5 data titik sound- ing, sehingga dihasilkan keberadaan akuifer berada kedalam 7,57-23,8 m berupa akuifer dangkal dengan jenis pasir dan