• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Wakaf Hak Cipta Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hukum Wakaf Hak Cipta Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Hukum Wakaf Hak Cipta Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

Indonesia

Fina

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 Email: finairianto@gmail.com

Abstrak

Di era globalisasi saat ini, wakaf hak cipta masih belum terlaksana di Indonesia. Sekalipun sudah ada peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnya yaitu dalam Pasal 16 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Penelitian ini memiliki dua rumusan masalah yaitu bagaimana kriteria harta benda yang dapat diwakafkan menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia dan apakah hak cipta dapat diwakafkan menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Dari hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa menurut hukum Islam, hak cipta termasuk ke dalam kriteria harta benda yang diwakafkan dan hak cipta dapat diwakafkan karena telah memenuhi rukun wakaf. Begitupula dengan hukum positif Indonesia hak cipta termasuk ke dalam kriteria harta benda yang dapat diwakafkan dan hak cipta dapat diwakafkan kerena sudah dengan jelas tercantum dalam peraturan perundang-undangan tentang wakaf.

The Waqf Law in Copyrights According to Islamic and Indonesia Law Abstract

In the current era of globalization, Waqf of Copyright still has not been done in Indonesia. Although existing laws and regulations that have been set in Article 16 paragraph (3) letter e of Law Number 41 Year 2004 on Waqf. This thesis has two research question is how the criteria of treasures to be in Waqf according to Islamic law and positive law in Indonesia and what the copyright can to be in Waqf according to Islamic law and positive law in Indonesia. The method of research for this thesis is a juridical normative with qualitative approach. From this result, it can be concluded that according to the Islamic law, copyright belongs to the criteria of the treasures to be in Waqf and copyright to be in Waqf because it has met the pillars of Waqf. Neither the Indonesian positive law, copyright belongs to the criteria of the treasures to be in Waqf and copyright to be in Waqf because they have been clearly stated in the legislation of the Waqf.

Keywords:waqf, copyright, Islamic law, Indonesian law

(2)

Pendahuluan

Di era globalisasi saat ini, wakaf hak cipta masih belum berkembang di Indonesia. Sekalipun sudah ada peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnya yaitu dalam Pasal 16 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Menurut Muhammad Ibn Isma’il as-San’any, wakaf adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.1 Para ahli hukum Islam, menurut Esposito menyebutkan bahwa wakaf yang pertama adalah bangunan suci Ka’bah di Mekkah yang dalam surat Ali Imran ayat 96 disebut sebagai rumah ibadah pertama yang dibangun oleh umat manusia.2 Enam bulan setelah membangun Masjid Quba, di pusat kota Madinah juga dibangun Masjid Nabawi. Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, Khalifah Umar Bin Khattab (635-645 M) memutuskan untuk membuat dokumen tertulis mengenai wakafnya di Khaibar, dia mengundang beberapa sahabat untuk menyaksikan penulisan dokumen dan wakaf tersebut disebut sebagai wakaf keluarga.3 Selanjutnya Abu Thalhah mewakafkan kebun kesayangannya (Bairaha), disusul oleh Sahabat Nabi Saw seperti Abu Bakar As-Shiddiq yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah.4 Begitu juga Utsman ra menyedekahkan hartanya di Khaibar, Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur, Mu’adz bin Jabal mewakafkan rumahnya yang populer dengan sebutan “Daar Al-Anshar”. Kemudian disusul wakaf oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam, dan Aisyah (istri Rasulullah saw).

Pada masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah praktik wakaf menjadi lebih luas, wakaf bukan hanya diperuntukan untuk pembangunan rumah ibadah atau dibagikan kepada orang miskin saja, namun juga untuk membangun pusat pendidikan atau sekolah, perpustakaan serta menggaji para pengelola dan pengurus lembaga yang dibangun dengan tujuan untuk mencerdaskan umat Islam ini.5

                                                                                                                         

1Farida Prihatini, dkk., Hukum Islam Zakat dan Wakaf Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Depok:

diterbitkan atas kerjasama Penerbit Papas Sinar Sinanti dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 108.

2Nidia Zuraya, “Inilah Awal Mula Sejarah Wakaf.”

m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/05/m0dx6g-inilah-awal-mula-sejarah-wakaf, diunduh 15 Februari 2014. 3Ibid.

4Adhes Satria, “Inilah Sejarah Wakaf di Zaman Rasulullah Saw (Bagian I).”

www.wakafalazhar.com/index.php/wakaf/default/lihatpost/id/21/inilah%20Sejarah%20Wakaf%20di%Zaman%2 0Rasulullah%20Saw%20(Bagian-I), diunduh 15 Februari 2014.

5AnneAhira, Sejarah Wakaf dan Perkembangannya di Indonesia

(3)

Pada abad kedua Hijriah, umat Islam mulai mengenal wakaf tunai atau wakaf uang. Imam Az Zuhri (wafat 124 H) merupakan salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits yang memfatwakan bolehnya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial dan pendidikan umat Islam.6 Pada zaman kepemimpinan Salahudin Al-Ayyubi, di Mesir sudah berkembang wakaf uang, hasilnya digunakan untuk membiayai pembangunan negara serta membangun masjid, sekolah, rumah sakit serta tempat penginapan-penginapan.7

Lalu pada era Dinasti Mamluk, perkembangan sejarah wakaf semakin menggembirakan, karena pada waktu itu penggunaan wakaf juga semakin meluas sampai ke bidang perekonomian dan kebutuhan masyarakat. Konsep yang dijalankan pada Dinasti Mamluk ini benar-benar menemukan bentuk aplikasinya pada kehidupan zaman sekarang. Saat zaman ini pula, lahir undang-undang yang resmi disahkan oleh negara yang berguna untuk mengatur penggunaan serta pemanfaatan wakaf agar bisa dirasakan hasilnya oleh rakyat dengan lebih maksimal. Dari sini kemudian sejarah wakaf terus mengalami perkembangan dan menyebar ke banyak negara lain termasuk Indonesia.8

Sejauh ini, pengaturan mengenai perwakafan di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan, dimulai dengan adanya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 33 ayat (3), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (3). Hal yang telah diamanatkan oleh Pasal 49 ayat (3) UUPA dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik yang hanya mengatur mengenai perwakafan tanah saja. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik belum dapat mengatur mengenai wakaf secara menyeluruh, sehingga pada tahun 1991 muncul Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 untuk menerima dan menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan. Untuk melengkapi dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            6 Zuraya, loc.cit.

7Ibid.

(4)

diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.9

Saat ini perkembangan pengaturan mengenai perwakafan di Indonesia tidak diimbangi dengan pelaksanaannya. Perwakafan di Indonesia belum mampu mencapai tujuannya yaitu untuk mensejahterakan umat Islam khususnya serta warga negara pada umumnya. Hal ini dikarenakan pengelolaan wakaf di Indonesia masih belum bisa dilakukan secara maksimal, terutama untuk jenis wakaf yang produktif. Pada dasarnya, wakaf itu produktif dalam arti harus menghasilkan karena wakaf dapat memenuhi tujuannya jika telah menghasilkan, dimana hasilnya dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya (mauquf alaih).10 Wakaf produktif yang dipelopori Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah menciptakan aset wakaf yang bernilai ekonomi, termasuk dicanangkan Gerakan Nasional Wakaf Uang oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 8 Januari 2010.11

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa harta benda wakaf hanya dikenal berupa tanah wakaf yang biasanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat keagamaan, misalnya untuk pembangunan masjid atau pondok pesantren. Padahal Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dalam Pasal 16 menyatakan bahwa harta benda wakaf tidak hanya berupa benda tidak bergerak namun juga berupa benda bergerak. Salah satu benda bergerak yang dapat dijadikan harta benda wakaf yaitu hak atas kekayaan intelektual sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Dalam Pasal 16 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyebutkan bahwa salah satu harta benda yang dapat diwakafkan adalah hak atas kekayaan intelektual. Adapun yang dimaksud dengan hak atas kekayaan intelektual adalah hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.12 Hak atas kekayaan intelektual dapat berupa karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra, dan teknologi yang dilahirkan dengan pengorbanan menjadikan karya itu bernilai.13 Salah satu hak atas

                                                                                                                         

9Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm.20.

10Wakaf Produktif Bina Dhuafa Indonesia, “Pengertian Wakaf Produktif”,

wakafproduktif.org/pengertian-wakaf-produktif/ , diunduh 7 Maret 2014. 11Ibid.

12 Bambang Kesowo, Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994), hlm.4.

13Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Hak Atas Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm.5.

(5)

kekayaan intelektual yang dapat diwakafkan adalah hak cipta. Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.14 Hak atas kekayaan intelektual bisa bernilai materi dan mempunyai manfaat bagi orang lain apabila dipergunakan dengan sebaik-baiknya, misalnya hak cipta lagu, hak ini mempunyai nilai jual atau nilai materil. Nilai materil yang terkandung dalam hak cipta lagu yaitu untuk menciptakan alunan nada diperlukan pekerjaan otak dan hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas, sehingga dengan hal tersebut hak cipta lagu memiliki nilai materil yang dapat dimanfaatkan bagi orang lain.15 Hak cipta atas ciptaan, memiliki batas berlakunya. Sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa hak cipta atas ciptaan berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga lima puluh tahun setelah pencipta meninggal dunia.

Salah satu rukun wakaf yaitu dimana benda yang diwakafkan harus bersifat kekal. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dari beberapa ulama. Imam Malik dan Golongan Syi’ah Imamiah menyatakan bahwa wakaf itu boleh dibatasi waktunya.16 Sedangkan Hanafiyyah mensyaratkan bahwa harta yang diwakafkan itu ain (zatnya) harus kekal yang memungkinkan dapat dimanfaatkan terus menerus, dengan kata lain benda tidak bergerak.17 Menurut ulama Hanafiyyah benda bergerak dapat diwakafkan dalam beberapa hal antara lain dalam keadaan harta bergerak itu mengikuti benda tidak bergerak, kebolehan wakaf benda bergerak itu berdasarkan asas yang memperbolehkan wakaf senjata dan binatang-binatang yang dipergunakan untuk berperang, dan wakaf benda bergerak itu mendatangkan pengetahuan seperti wakaf kitab-kitab dan mushaf.18 Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, maka muncul permasalahan apakah hak atas kekayaan intelektual menurut hukum Islam dapat dijadikan sebagai harta benda yang dapat diwakafkan atau tidak. Sedangkan menurut hukum positif Indonesia (Pasal 16 ayat 3 huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            14Rooseno Harjowidigdo, Mengenal Hak Cipta Indonesia Beserta Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hlm. 22.

15 OK.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.9.

16 Abdul Wahhab Khallaf, Ahkam al-Waqf, (Mesir: Matba’ah al-Misr, 1951), hlm.30. 17 Prihatini, dkk, op.cit., hlm.113.

(6)

2004 tentang Wakaf) menyatakan bahwa hak atas kekayaan intelektual yang dalam hal ini yaitu hak cipta dapat menjadi harta benda yang dapat diwakafkan.

Hal yang telah diuraikan diatas membuat penulis tertarik dan merasa penting untuk melakukan penelitian mengenai hukum wakaf hak cipta menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia (Pasal 16 ayat 3 huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf). Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat menemukan solusi terhadap permasalahan sah atau tidaknya wakaf hak cipta apabila dipandang dalam hukum Islam.

Untuk penelitian ini memiliki pokok permasalahan: 1) Bagaimana kriteria harta benda yang dapat diwakafkan menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia? 2) Apakah hak cipta dapat diwakafkan menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Adapun tujuan yang didapat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kriteria harta benda yang dapat diwakafkan menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia dan dan untuk mengetahui apakah hak cipta dapat diwakafkan atau tidak menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia.

Tinjauan Teoritis

Dalam tulisan ini, penulis memberikan pengertian terhadap istilah-istilah yang digunakan sebagai berikut:

1. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

2. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang dimaksud dengan wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.

3. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang dimaksud dengan harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.

4. Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang dimaksud dengan nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

(7)

5. Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.

6. Mauquf alaih adalah pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari peruntukan harta benda wakaf sesuai pernyataan kehendak wakif yang dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf.19

7. Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang dimaksud dengan Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia.

8. Tabung Wakaf Indonesia adalah lembaga yang berkhidmat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dengan menggalang dan mengelola sumber daya wakaf secara produktif, profesional dan amanah.20

9. Hak Kekayaan Intelektual adalah hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena

kemampuan intelektual manusia.21

10. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang dimaksud dengan Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

11. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang dimaksud dengan pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

12. Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang dimaksud dengan Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.

13. Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang dimaksud dengan Pemegang Hak Cipta adalah pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau

                                                                                                                         

19Indonesia, Undang-undang Wakaf. UU No.41 tahun 2004, LN No. 159 Tahun 2004. TLN. No. 4459.

20Tabung Wakaf Indonesia, “Profil Tabung Wakaf Indonesia.”

tabungwakaf.com/profil-tabung-wakaf-Indonesia/, diunduh 16 Februari 2014.

(8)

pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.

14. Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang dimaksud dengan Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam dan studi dokumen. Dilihat dari jenis dan tujuannya, penelitian ini termasuk penelitian yuridis normatif yang menggunakan bahan pustaka atau sekunder. Dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian diagnostik yaitu suatu penelitian guna mendapatkan dan menganalisa data tentang sebab timbulnya suatu masalah.22

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Dalam penelitian hukum, data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat yang dapat digunakan dengan cara wawancara dan/atau pengamatan, sedangkan data sekunder terdiri atas literatur dan juga sumber hukum. Dalam penelitian ini data primer yang digunakan yaitu melakukan wawancara dengan Badan Wakaf Indonesia, Tabung Wakaf Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Kementerian Agama Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Direktur Hak Cipta), Yayasan Karya Cipta Indonesia dan lain-lain.

Data sekunder terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian kali ini antara lain:

a. Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang memiliki ketentuan mengikat. Dalam penelitian ini bahan primer yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan peraturan lainnya yang berkaitan.

b. Badan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi berbagai literatur serta jurnal-jurnal yang membahas

                                                                                                                         

22Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.10.

(9)

masalah terkait dan bahan pustaka lainnya yang berupa buku-buku seputar wakaf dan hak cipta seperti, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Hukum Islam Zakat dan Wakaf, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Mengenal Hak Cipta Indonesia dan Hukum Hak Cipta.

c. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan atas bahan hukum primer ataupun sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia.

Teknik pengumpulan data menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan penelitian kepustakaan untuk mengumpulkan, mengidentifikasi dan menganalisis berbagai data primer dan data sekunder yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Tahap pengumpulan data dilakukan setelah ditentukan rancangan penelitian. Metode analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan metode kualitatif yaitu penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah dimana peneliti merupakan instrumen kunci.

Hasil Penelitian

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam.23 Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, sumber hukum dalam Islam terdiri dari Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Di dalam Al-Qur’an yang menjadi landasan umat muslim untuk berwakaf terdapat dalam Surat Al-Hajj ayat 77, surat Ali Imron ayat 92 dan Al-Baqarah ayat 267. Namun dari ketiga firman Allah SWT tersebut tidak terdapat kata-kata mengenai wakaf atau suruhan untuk berwakaf. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, hadits yang menyebutkan Usman bin Affan dan hadits yang menyangkut pembangunan masjid secara bersama juga tidak disebutkan secara jelas mengenai kriteria harta benda yang dapat diwakafkan.

Sumber hukum Islam yang terakhir yaitu ra’yu atau ijtihad. Menurut Muhammad Ibnu Isma’il as-San’any wakaf adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak bendanya (‘ainnya) dan digunakan untuk kebaikan. Dilihat dari definisi wakaf tersebut, terdapat hal yang perlu dikaji lebih dalam lagi yaitu mengenai harta. Terdapat empat unsur harta yaitu bersifat materi (‘aniyah), atau mempunyai wujud nyata; dapat disimpan untuk dimiliki (qabilan lit-tamlik); dapat dimanfaatkan (qabilan lit-intifa’) ;dan uruf (adat atau kebiasaan) masyarakat memandangnya sebagai harta.24

                                                                                                                         

23Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 42.

(10)

Hak cipta memiliki wujud nyata yaitu berupa surat pendaftaran ciptaannya atau sertifikat yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual bagi hak cipta yang didaftarkan ke Ditjen HKI dan klaim kepemilikan atas karya cipta, kesaksian para pihak dan publishing record bagi hak cipta yang tidak didaftarkan ke Ditjen HKI. Wujud nyata dari hak cipta tersebut dapat disimpan untuk dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta untuk dijadikan sebagai alat bukti kepemilikan atas suatu karya cipta sampai waktu dari perlindungan hak cipta tersebut habis. Dengan adanya alat bukti tersebut, apabila suatu hari terjadi sengketa maka wujud nyata dari hak cipta tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti kepemilikan atas suatu karya cipta yang dapat dibuktikan kebenarannya. Hak cipta yang dilisensikan, dapat dimanfaatkan sebagai pendapatan atau sumber penghasilan oleh pencipta atau pemegang hak cipta untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Saat ini masyarakat sudah memandang bahwa hak cipta dapat dikategorikan sebagai harta. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pencipta atau pemegang hak cipta yang mendaftarkan ciptaannya ke Ditjen HKI dengan tujuan untuk lebih memperkuat bukti kepemilikan hak cipta atas suatu karya cipta. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hak cipta telah memenuhi unsur-unsur dalam kriteria harta menurut hukum Islam.

Kriteria harta benda yang dapat diwakafkan yaitu terdapat dalam salah satu rukun wakaf yaitu mengenai harta yang diwakafkan atau mauquf bih. Para ulama mazhab sepakat bahwa disyaratkan untuk barang yang diwakafkan antara lain persyaratan-persyaratan yang ada pada barang yang dijual; adanya kemungkinan memperoleh manfaat dari barang yang diwakafkan tersebut, dengan catatan bahwa barang itu sendiri tetap adanya, kebolehan wakaf dengan barang-barang tidak bergerak seperti tanah, rumah dan kebun. Mereka juga sepakat, kecuali Hanafi sahnya wakaf dengan barang-barang bergerak, seperti binatang dan sumber pangan, manakala pemanfaatannya bisa diperoleh tanpa menghabiskan barang itu sendiri; keabsahan mewakafkan sesuatu dengan ukuran yang berlaku di masyarakat;dan prinsip harta benda wakaf yang bersifat kekal dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat antar kaum ulama.

Dilihat dari harta benda wakaf, syarat pertama yaitu mengenai kepemilikan hak cipta yang dapat dibuktikan dengan adanya surat pendaftaran ciptaannya atau sertifikat yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual bahwa hasil karya cipta tersebut milik dari pencipta atau pemegang hak cipta. Tidak hanya itu, dikarenakan hak cipta merupakan hak yang tidak wajib untuk didaftarkan, maka bukti kepemilikan dari hak cipta tersebut adalah berupa klaim kepemilikan atas karya cipta, kesaksian para pihak dan publishing record. Syarat kedua yaitu bahwa kemungkinan memperoleh manfaat dari barang yang diwakafkan

(11)

tersebut, dengan catatan bahwa barang itu sendiri tetap adanya. Hak cipta yang dilisensikan berupa pembayaran royalti otomatis akan menghasilkan sejumlah uang yang diterima oleh pencipta atau pemegang hak cipta atas ciptaannya sesuai dengan perjanjian lisensi yang dibuat oleh para pihak. Pembayaran royalti tersebut dapat menjadi sumber penghasilan atau pendapatan dari pencipta atau pemegang hak cipta yang apabila diwakafkan akan dikelola oleh nazhir yang ditunjuk sebelumnya dan keuntungan dari pengelolaan tersebut akan digunakan untuk kesejahteraan umat. Syarat ketiga adalah kebolehan wakaf dengan barang-barang tidak bergerak seperti tanah, rumah dan kebun. Banyak ulama yang sepakat dengan hal tersebut, namun Hanafi memiliki pendapat yang berbeda. Hanafi mengatakan bahwa barang-barang bergerak seperti binatang dan sumber pangan, manakala pemanfaatannya bisa diperoleh tanpa menghabiskan barang itu sendiri sah untuk dijadikan harta benda wakaf. Hanafi dalam menyebutkan benda bergerak memang hanya menyebutkan binatang dan sumber pangan dan tidak menyebutkan hak cipta menjadi salah satu benda bergerak yang dapat diwakafkan. Hal ini dikarenakan pada saat itu belum ada yang membahas mengenai hak cipta. Namun dengan tegas Hanafi mengatakan bahwa benda bergerak dapat menjadi harta benda yang dapat diwakafkan dengan syarat-syarat tertentu. Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC 2002) yang menyatakan bahwa hak cipta dianggap sebagai benda bergerak yang dialihkan melalui beberapa cara, dengan jelas dianggap sebagai benda bergerak yang dapat diwakafkan dan akan menghasilkan manfaat tanpa menghabiskan barang itu sendiri. Syarat keempat dalam harta benda wakaf yaitu mengenai keabsahan mewakafkan sesuatu dengan ukuran yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini hak cipta adalah benda yang dapat diterima oleh masyarakat yaitu dengan banyaknya orang yang mendaftarkan hak cipta ke Ditjen HKI, selain itu juga sudah tercantum dalam phukum positif Indonesia. Syarat kelima yaitu mengenai prinsip harta benda wakaf adalah bersifat kekal, dimana terdapat perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Imam Malik dan Golongan Syi’ah Imamiah menyatakan bahwa wakaf itu boleh dibatasi waktunya. Sedangkan Hanafiyyah mensyaratkan bahwa harta yang diwakafkan itu ain (zatnya) harus kekal yang memungkinkan dapat dimanfaatkan terus menerus. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa narasumber menyatakan bahwa mazhab yang digunakan mengenai prinsip harta benda wakaf adalah bersifat kekal yaitu mazhab Hanafiyyah, dimana harta yang diwakafkan itu ain (zatnya) harus kekal yang memungkinkan dapat dimanfaatkan terus menerus. Maksud kekal dalam hal ini adalah bukan berkaitan dengan wujud nyata dari harta benda yang diwakafkan harus bersifat kekal. Namun yang dimaksud dengan kekal yaitu manfaat yang diberikan dari harta benda yang diwakafkan itu bersifat terus menerus. Apabila

(12)

dikaitkan dengan hak cipta, hak cipta memiliki batas waktu, dimana dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa masa berlaku dari hak cipta yaitu selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia. Walaupun demikian, hak cipta termasuk ke dalam kriteria harta benda yang diwakafkan. Hal ini dikarenakan yang dimaksud kekal dalam hal ini bukan mengenai jangka waktu dari harta benda wakaf tersebut, namun manfaat yang diberikan dari hak cipta bersifat kekal atau dapat dimanfaatkan secara terus menerus oleh

mauquf alaih. Dengan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hak cipta termasuk ke dalam kriteria harta benda yang dapat diwakafkan.

Dengan telah terpenuhinya hak cipta dalam harta benda wakaf menurut para ulama, maka dapat disimpulkan bahwa hak cipta termasuk ke dalam kriteria harta benda yang dapat diwakafkan. Selain itu, kita juga perlu memperhatikan sumber hukum Islam lainnya berupa ijtihad yaitu Kompilasi Hukum Islam. Dalam Pasal 215 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam, salah satu syarat atau kriteria yang dapat dikatakan sebagai benda wakaf yaitu benda tersebut bernilai menurut ajaran Islam. Hak cipta yang dapat diwakafkan dalam hal ini adalah hak cipta yang sesuai dengan syariat Islam atau ajaran Islam. Sehingga tidak semua hak cipta dapat diwakafkan, hanya hak cipta yang sesuai dengan syariat atau ajaran Islam yang dapat diwakafkan.

Menurut hukum positif Indonesia, peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini yang membahas mengenai wakaf berupa benda bergerak selain uang antara lain Undang-Undang Wakaf, PP No 42 Tahun 2006 dan PMA Nomor 73 Tahun 2013. Dalam Pasal 6 undang wakaf, salah satu unsur dari wakaf yaitu harta benda wakaf. Dalam undang-undang wakaf, dalam Pasal 16 ayat (1) menyebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak. Ketentuan ini menyebabkan terjadinya perluasan ruang lingkup dari obyek wakaf (harta benda wakaf) dan kesempatan masyarakat Indonesia untuk berwakaf semakin besar dengan adanya hal tersebut. Menurut Pasal 16 ayat (3) huruf e undang-undang wakaf, salah satu benda bergerak yang dapat dijadikan harta benda wakaf adalah hak atas kekayaan intelektual khususnya dalam hal ini adalah hak cipta. Hal ini juga dipertegas dengan adanya PP Nomor 42 Tahun 2006 dan PMA Nomor 73 Tahun 2013. Dimana dalam Pasal 15 PP Nomor 42 Tahun 2006 menyatakan bahwa jenis harta benda wakaf meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak selain uang dan benda bergerak berupa uang. Dalam Pasal 21 huruf b PP Nomor 42 Tahun 2006 dan Pasal 15 PMA Nomor 73 Tahun 2013 menyebutkan bahwa benda bergerak selain uang yang dapat diwakafkan yaitu hak atas

(13)

kekayaan intelektual yang berupa hak cipta, hak merek, hak paten, hak desain industri, hak rahasia dagang, hak sirkuit terpadu, hak perlindungan varietas tanaman; dan/atau hak lainnya. Menurut Pasal 15 undang-undang wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kepemilikan hak cipta dapat dibuktikan dengan adanya surat pendaftaran ciptaan atau sertifikat yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, klaim kepemilikan atas karya cipta, kesaksian para pihak dan publishing record. Dengan dimiliki bukti-bukti tersebut yang menyatakan bahwa hak cipta dimiliki dan dikuasai oleh pencipta secara sah, maka pencipta dapat mewakafkan hak cipta tersebut. Dalam Pasal 19 PP Nomor 42 Tahun 2006, yang dimaksud dengan benda bergerak selain uang antara lain benda yang digolongkan sebagai benda bergerak karena sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan atau karena ketetapan undang-undang, benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan dan yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian, benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaiannya tidak dapat diwakafkan kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediaannya berkelanjutan dan benda bergerak yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian dapat diwakafkan dengan memperhatikan ketentuan prinsip Syariah. Begitula pula dalam Pasal 9 PMA Nomor 73 Tahun 2013 menyatakan bahwa benda bergerak selain uang yang dapat diwakafkan meliputi benda bergerak selain uang yang karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan (dan harus berupa benda bergerak yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian atau karena sifatnya dan memiliki manfaat jangka panjang, termasuk air dan bahan bakar minyak yang persediaannya berkelanjutan) atau karena ketetapan undang-undang. Dengan adanya uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa menurut hukum positif Indonesia sudah dengan tegas menyatakan bahwa hak cipta termasuk ke dalam kriteria harta benda yang dapat diwakafkan.

Untuk menentukan hak cipta dapat diwakafkan atau tidak, dilihat dari Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber hukum Islam tidak ditemukan kata wakaf dan mengenai apakah hak cipta dapat diwakafkan atau tidak. Sedangkan apabila kita melihat dari sumber hukum Islam lainnya yaitu ijtihad, kita baru dapat menganalisis hak cipta dapat diwakafkan atau tidak. Menurut Abdul Wahhab Khallaf terdapat empat rukun wakaf antara lain orang yang berwakaf atau wakif, harta yang diwakafkan atau mauquf bih, tujuan wakaf atau yang berhak menerima wakaf (mauquf alaih), dan pernyataan wakaf dari wakif yang disebut ikrar wakaf. Rukun yang pertama yaitu orang yang berwakaf atau biasa disebut dengan wakif. Untuk menjadi wakif, pencipta atau pemegang hak harus memenuhi syarat menjadi wakif antara lain memiliki

(14)

kecakapan bertindak, telah mempertimbangkan baik buruknya perbuatan yang dilakukannya dan benar-benar pemilik harta yang diwakafkan. Para ulama mazhab sepakat bahwa sehat akal dan baligh merupakan syarat bagi sahnya melakukan wakaf.25 Dalam hal ini, subyek dari hak cipta adalah pemegang hak yaitu pencipta atau orang atau badan hukum yang secara sah memperoleh hak untuk itu. Sesuai dengan undang-undang hak cipta, pencipta harus memiliki kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatakan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Dengan adanya definisi mengenai pencipta tersebut, sudah jelas bahwa pencipta merupakan orang yang memiliki akal sehat. Dan untuk dapat menghasilkan sebuah karya cipta, pemegang hak cipta tidak harus orang yang dianggap dewasa, namun anak-anak juga dapat menghasilkan sebuah karya cipta. Namun dalam hal ini, hanya pencipta yang dianggap baligh saja yang dapat berwakaf. Selain wakif harus memiliki akal sehat dan baligh.

Rukun yang kedua yaitu harta yang diwakafkan atau mauquf bih. Dalam hal ini hak cipta dapat dikategorikan sebagai harta yang diwakafkan atau mauquf bih karena telah memenuhi syarat suatu harta benda yang mauquf bih yang telah dijelaskan sebelumnya.

Rukun yang ketiga yaitu tujuan wakaf atau yang berhak menerima wakaf (mauquf alaih). Orang yang menerima wakaf ialah orang yang berhak memelihara barang yang diwakafkan dan memanfaatkannya. Maliki mengatakan bahwa wakaf tersebut sah, sekalipun tidak ditentukan untuk apa. Jadi apabila seseorang mengatakan “saya wakafkan rumah ini,” dan kemudian dia diam, maka wakafnya sah, dan wakaf tersebut digunakan untuk kebaikan.26 Imamiyah, Syafi’i, dan Maliki mengatakan bahwa orang yang mewakafkan tidak boleh mewakafkan barangnya kepada dirinya sendiri, atau memasukkan dirinya dalam kelompok orang-orang yang menerima wakaf, sebab tidaklah masuk akal seseorang menyerahkan hak miliknya kepada dirinya sendiri.27 Namun Hambali dan Hanafi mengatakan bahwa wakaf terhadap diri sendiri adalah sah.28 Mengenai rukun wakaf yaitu tujuan wakaf (mauquf alaih)¸

semua orang yang hendak berwakaf pasti memiliki tujuan wakaf yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Pencipta atau pemegang hak cipta pasti mewakafkan hak cipta yang dimilikinya untuk tujuan yang sesuai dengan syariat Islam. Niat dari pencipta atau pemegang hak cipta dalam berwakaf pasti untuk ibadah sehingga mendapat pahala, bukan untuk

                                                                                                                         

25Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm 643. 26Ibid., hlm.648.

27Ibid.

(15)

menjalankan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT yang nantinya akan mendapatkan dosa. Dalam praktiknya di lapangan, tujuan wakaf tersebut dapat tercapai tergantung dari kinerja nazhir yang ditunjuk. Dengan menunjuk nazhir yang dibekali pemahaman mengenai hak cipta dengan baik, tentunya hak cipta tersebut dapat dikelola dengan baik, sehingga tujuan wakaf tepat sasaran dan tidak menyimpang dari syariat Islam. Dengan demikian, hak cipta dapat dijadikan sebagai harta benda wakaf.

Rukun yang keempat yaitu pernyataan wakaf dari wakif yang disebut ikrar wakaf. Seluruh ulama mazhab sepakat bahwa wakaf terjadi dengan menggunakan redaksi waqaftu,

“Saya mewakafkan,” sebab kalimat ini menunjukkan pengertian wakaf yang sangat jelas, tanpa perlu adanya petunjuk-petunjuk tertentu, baik dari segi bahasa, syara’, maupun tradisi.29

Tetapi berbeda pendapat tentang keabsahannya bila menggunakan redaksi “habitsu”, (saya tahan hak saya), “sabiltu”, (saya memberikan jalan), dan “abbadtu” (saya menyerahkan selama-lamanya), dan lain-lain seraya sepanjang kata tentang masalah tersebut tanpa kata putus.30 Sebenarnya wakaf bisa terjadi dengan semua kalimat yang menunjukkan maksud tersebut, bahkan dengan bahasa asing sekalipun, sebab bahasa dalam konteks ini adalah sarana untuk mengucapkan maksud dan bukan tujuan itu sendiri.31 Apakah wakaf bisa terjadi melalui perbuatan, misalnya ada seseorang membangun sebuah masjid, kemudian dia mengizinkan dilakukannya shalat di dalamnya, atau dia mengizinkan dikuburkannya mayat di tanah miliknya, dengan niat mewakafkannya, tanpa melafalkannya dengan redaksi waqaftu,

“Saya mewakafkan, “habitsu”, (saya tahan hak saya), dan lafal-lafal seperti itu, ataukah harus disertai ucapan dan tidak cukup dengan sekedar perbuatan.32

Dalam pelaksanaan ikrar wakaf, ada yang mengatakan dalam berwakaf tidak perlu melafalkan ikrar wakaf, namun ada juga yang mengatakan dalam berwakaf perlu melafalkan ikrar wakaf. Dan pendapat yang paling banyak diikuti oleh umat muslim di Indonesia yaitu pendapat Imam Syafi’i. Beliau mengatakan dalam berwakaf tidak sah apabila tidak melafalkan ikrar wakaf. Dengan adanya rukun tersebut, apabila wakif ingin mewakafkan hak cipta yang dimiliki, maka wakif harus melafalkan ikrar wakaf di depan PPAIW.

Dengan telah terpenuhinya rukun wakaf diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hak cipta dapat dijadikan harta benda wakaf menurut hukum Islam. Dengan adanya perbedaan

                                                                                                                          29Ibid., hlm.640.

30Ibid. 31Ibid.

(16)

pendapat antar ulama tersebut mengenai rukun wakaf, maka dengan mayoritas umat muslim di Indonesia yang mengikuti mazhab Imam Syafi’i sehingga segala pendapat yang diberikan oleh Imam Syafi’i yang diikuti dalam menjalankan wakaf. Namun tidak menutup kemungkinan bagi mazhab lain untuk diikuti dalam menjalankan wakaf selama mazhab itu bisa diterapkan di Indonesia dan tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan, maka dapat pula digunakan dalam menjalankan wakaf.

Dilihat dari hukum positif Indonesia, menurut Pasal 6 undang-undang wakaf menyatakan unsur-unsur dari wakaf antara lain wakif, nazhir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Unsur yang pertama yaitu wakif atau orang yang berwakaf. Untuk menjadi wakif perseorangan, harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan pemilik sah harta benda wakaf. Menurut hukum Islam, seseorang dapat dikatakan dewasa secara biologis yaitu untuk perempuan sudah haid dan untuk laki-laki apabila sudah mimpi basah. Biasanya peristiwa ini dapat dirasakan atau dialami oleh pria pada usia 15 sampai 20 tahun dan wanita 9 sampai 19 tahun. Syarat kedua dari wakif yaitu harus berakal sehat. Pencipta dalam hal ini dapat dikatakan sebagai seseorang yang memiliki akal sehat. Hal ini dikarenakan dilihat dari definisi pencipta, dimana untuk melahirkan suatu ciptaan maka dibutuhkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian. Unsur-unsur dalam pasal tersebut sudah jelas menyatakan bahwa pencipta memiliki akal sehat, sehingga pencipta dapat menjadi wakif. Syarat ketiga dari wakif yaitu tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Menurut 1330 KUHPerdata, yang tidak cakap untuk membuat perjanjian antara lain orang yang belum dewasa (21 tahun) dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele). Apabila pencipta sudah dewasa dan tidak ditaruh di bawah pengampuan, maka tidak akan terhalang melakukan perbuatan hukum sehingga dapat menjalankan wakaf. Syarat keempat dari wakif yaitu pemilik sah harta benda wakaf. Dalam hal ini pencipta atau pemegang hak cipta dapat membuktikan kepemilikan hak cipta atas ciptaanya dengan adanya surat pendaftaran ciptaan atau sertifikat yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Ditjen HKI, klaim kepemilikan atas karya cipta, kesaksian para pihak dan publishing record. Dengan terpenuhinya segala ketentuan untuk menjadi wakif oleh pencipta atau pemegang hak cipta, maka dapat disimpulkan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta dapat menjadi wakif.

Unsur yang kedua yaitu nazhir. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Menurut Pasal 10 undang-undang wakaf, adapun syarat-syarat nazhir perorangan antara lain warga negara Indonesia,

(17)

beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Menurut penulis, mengenai nazhir yang nantinya akan mengelola dan mengembangkan wakaf hak cipta, nazhir tersebut harus diberikan pembekalan ilmu mengenai konsep dari hak cipta dan mekanisme atau prosedur dari pembayaran royalti yang nantinya akan dikelola oleh nazhir dan juga telah memenuhi kriteria sebagai nazhir sesuai dengan undang-undang wakaf. Dimana segala bentuk pengelolaan dan pengembangan dari wakaf hak cipta tersebut sesuai dengan syariat Islam yang berlaku.

Unsur yang ketiga yaitu harta benda wakaf. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, berdasarkan hukum positif yang berlaku, hak cipta merupakan harta benda yang dapat diwakafkan.

Unsur yang keempat yaitu ikrar wakaf. Dalam ikrar wakaf yang perlu diperhatikan adalah mengenai PPAIW yang berwenang. Dilihat dari baik undang-undang wakaf, PP Nomor 42 Tahun 2006 maupun PMA Nomor 73 Tahun 2013 tentang wakaf, tidak dijelaskan secara tegas mengenai siapa yang berwenang menjadi PPAIW dalam wakaf hak cipta. Menurut penulis, dibandingkan dengan pejabat negara lainnya seperti Notaris, yang paling tepat untuk dijadikan sebagai PPAIW dalam wakaf hak cipta adalah Kepala KUA. Hal ini dikarenakan Kepala KUA lebih memahami dan menguasai agama Islam dengan baik. Untuk melaksanakan wakaf hak cipta, Kepala KUA tersebut perlu diberikan pembekalan mengenai konsep wakaf dan konsep hak cipta dengan baik. Dengan diberikannya pembekalan tersebut, diharapkan segala urusan yang berkaitan dengan pembuatan Akta Ikrar Wakaf dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan syariat Islam.

Unsur yang kelima yaitu peruntukan harta benda wakaf. Dalam pelaksanaan ikrar wakaf, wakif harus menentukan peruntukan dari harta benda wakaf yang diwakafkannya tersebut. Apabila wakif tidak menentukan peruntukannya, maka nazhir yang ditunjuk yang menetukan peruntukannya sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. Wakif yang mewakafkan hak cipta yang dimilikinya harus mengetahui peruntukan hak cipta tersebut. Dimana peruntukan yang telah ditetapkan sesuai dengan peruntukan yang tercantum dalam undang-undang wakaf yang sesuai dengan syariah.

Unsur yang keenam yaitu mengenai jangka waktu wakaf. Dalam undang-undang wakaf tidak dijelaskan mengenai jangka waktu wakaf. Namun apabila kita ingin mengetahui jangka waktu dari wakaf hak cipta, kita dapat melihat ketentuan dalam undang-undang hak cipta. Dalam Pasal 29 ayat (1) undang-undang hak cipta menyebutkan bahwa jangka waktu hak cipta berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam jangka

(18)

waktu wakaf hak cipta itu selama pencipta hidup dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia. Menurut Penulis, dalam undang-undang wakaf seharusnya dengan tegas menyebutkan bahwa harta benda wakaf selain uang juga memiliki jangka waktu tertentu tidak hanya harta benda wakaf berupa uang saja yang diperbolehkan memiliki jangka waktu tertentu. Dengan ditentukan secara tegas mengenai jangka waktu benda bergerak selain uang dalam undang-undang wakaf, dapat mempertegas bahwa hak cipta dapat diwakafkan.

Dengan adanya uraian di atas, maka sudah jelas bahwa wakaf hak cipta menurut hukum positif Indonesia dapat dilaksanakan. Hal ini dikarenakan dalam hukum positif Indonesia telah mencantumkan hak atas kekayaan intelektual (hak cipta) sebagai salah satu benda bergerak yang dapat diwakafkan.

Dalam penulisan ini, penulis melakukan wawancara dari beberapa lembaga dan organisasi masyarakat Islam antara lain Badan Wakaf Indonesia, Tabung Wakaf Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Kementerian Agama Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Direktur Hak Cipta) dan Yayasan Karya Cipta Indonesia mengenai keberadaan wakaf hak cipta dalam perwakafan di Indonesia. Dilihat dari hasil wawancara tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa mereka sepakat bahwa hak atas kekayaan intelektual dalam hal ini yaitu hak cipta dapat dijadikan harta benda yang dapat diwakafkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain hal tersebut merupakan amanah yang telah diberikan oleh undang-undang wakaf bahwa hak atas kekayaan intelektual dapat diwakafkan; pembayaran royalti yang diterima dari sebuah karya cipta dapat memberikan manfaat bagi orang banyak; hak cipta merupakan harta kekayaan yang berharga yang bisa menghasilkan keuntungan yang besar dan bersifat halal sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat dan hak cipta merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang bermanfaat, dimana ilmu pengetahuan yang bermanfaat merupakan salah satu amal jariyah yang tidak terputus-putus pahalanya selama ilmu tersebut terus dimanfaatkan oleh orang banyak.

Simpulan

Berdasarkan pemaparan dalam bab sebelumnya, untuk menjawab pokok permasalahan dalam penelitian ini, penulis berkesimpulan:

1. Menurut hukum Islam, hak cipta termasuk ke dalam kriteria harta benda yang dapat diwakafkan. Hal ini dikarenakan menurut para ulama mazhab, hak cipta termasuk ke dalam kriteria harta benda yang dapat diwakafkan antara lain persyaratan-persyaratan

(19)

yang ada pada barang yang dijual; adanya kemungkinan memperoleh manfaat dari barang yang diwakafkan tersebut dengan catatan bahwa barang itu sendiri tetap adanya; kebolehan wakaf dengan barang-barang tidak bergerak, kecuali Hanafi mengatakan barang-barang bergerak sah dijadikan harta benda wakaf; keabsahan mewakafkan sesuatu dengan ukuran yang berlaku di masyarakat; dan jangka waktu harta benda wakaf. Selain dari kelima syarat atau kriteria harta benda yang dapat diwakafkan tersebut, yang perlu diperhatikan yaitu tidak semua hak cipta dapat dijadikan harta benda wakaf. Hak cipta yang dapat diwakafkan yaitu hak cipta yang sesuai dengan syariat atau ajaran Islam. Hal ini tercantum dalam Pasal 215 ayat (4) KHI yang menyatakan bahwa salah satu syarat yang menjadi benda wakaf adalah benda tersebut merupakan benda yang bernilai menurut ajaran Islam. Begitupula menurut hukum positif Indonesia, berdasarkan Pasal 4 PP Nomor 28 Tahun 1977, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Pasal 9 Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain Uang, hak cipta termasuk ke dalam kriteria harta benda yang dapat diwakafkan. 2. Menurut hukum Islam, hak cipta dapat diwakafkan. Hal ini dikarenakan hak cipta telah

memenuhi rukun-rukun wakaf menurut Abdul Wahhab Khallaf antara lain orang yang berwakaf atau wakif, harta yang diwakafkan atau mauquf bih, tujuan wakaf atau yang berhak menerima wakaf atau mauquf alaih, dan pernyataan wakaf dari wakif yang disebut ikar wakaf. Begitupula menurut hukum positif Indonesia, hak cipta dapat diwakafkan. Hal ini dikarenakan dilihat dari Pasal 16 ayat (3) huruf e undang-undang wakaf, Pasal 21 huruf b PP Nomor 42 Tahun 2006 dan Pasal 15 PMA Nomor 73 Tahun 2013 sudah disebutkan bahwa salah satu harta benda yang dapat diwakafkan adalah hak atas kekayaan intelektual.

Saran

Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan, maka dapat direkomendasikan beberapa saran yang diharapkan kiranya dapat berguna bagi perkembangan hukum wakaf hak cipta di Indonesia sebagai berikut:

1. Pemerintah perlu meninjau kembali Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Hal ini dikarenakan masih banyak ketentuan-ketentuan yang belum diatur secara jelas dalam undang-undang wakaf tersebut.

(20)

2. Pemerintah harus segera membuat peraturan secara teknis mengenai pelaksanaan wakaf hak cipta dengan melibatkan para pihak yang terlibat dalam wakaf hak cipta seperti organisasi masyarakat Islam di Indonesia, Ditjen HKI, YKCI, BWI, TWI dan lain-lain. Dengan melibatkan para pihak tersebut, diharapkan segala hal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan wakaf hak cipta telah terakomodir dengan baik.

3. Pemerintah segera menyiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk mengembangkan wakaf hak cipta di Indonesia seperti menyiapkan sumber daya manusia dalam melaksanakan wakaf hak cipta seperti nazhir dan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Nazhir diberikan pembekalan mengenai konsep wakaf dan konsep hak cipta, sehingga mereka mengerti dan memahami mengenai pelaksanaan hukum wakaf hak cipta. Mengenai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dalam hal wakaf benda bergerak seperti hak cipta, sebaiknya pemerintah memberikan kewenangan kepada Kepala KUA. Hal ini dikarenakan dibandingkan dengan pejabat negara lainnya, Kepala KUA lebih memahami dan menguasai agama Islam dengan baik. Untuk melaksanakan wakaf hak cipta, Kepala KUA tersebut perlu diberikan pembekalan mengenai konsep wakaf dan konsep hak cipta dengan baik.

4. Pemerintah segera melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hak cipta dapat diwakafkan. Sosialisasi tersebut juga dilaksanakan oleh para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan wakaf hak cipta. Dengan seluruh elemen masyarakat yang turut serta membantu dalam mensosialisasikan hal tersebut, diharapkan wakaf hak cipta dapat berkembang di Indonesia dan juga wakaf dapat menjadi sumber devisa terbesar negara seperti negara-negara di Timur Tengah.

Daftar Referensi

I. Buku

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Harjowidigdo, Rooseno. Mengenal Hak Cipta Indonesia Beserta Peraturan Pelaksanaannya.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.

Kesowo, Bambang. Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994.

(21)

Khallaf, Abdul Wahhab. Ahkam al-Waqf. Mesir: Matba’ah al-Misr, 1951.

Mas’adi, Ghufron.A. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Mughniyah, Muhammad Jawad. Fikih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 1999.

Prihatini, Farida. Et al. Hukum Islam Zakat dan Wakaf Teori dan Prakteknya di Indonesia.

Depok: diterbitkan atas kerjasama Penerbit Papas Sinar Sinanti dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Redaksi Sinar Grafika. Undang-Undang Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Saidin, OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Usman, Rachmadi. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2009. Zahrah, Muhammad Abu. Mudhadarat fi al-Waqf. Kairo: Dar al-fikri al-Arabt, 1971.

II. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-undang Dasar 1945.

. Undang-undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5 tahun 1960. LN. No. 104 Tahun 1960. TLN. No. 2043.

. Undang-undang Hak Cipta. UU No. 19 Tahun 2002. LN. No. 85 Tahun.2002. TLN. No.4220.

. Undang-undang Wakaf. UU No.41 tahun 2004. LN No. 159 Tahun 2004. TLN. No. 4459.

(22)

. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Perwakafan Tanah Milik. PP No.28 Tahun 1977. LN No. 38 Tahun 1977. TLN. No. 3107.

.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. PP No.42 Tahun 2006. LN No. 105 Tahun 2006. TLN. No. 4667.

.Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain Uang. PMA No.73 Tahun 2013. BN.No.1047.

III.Internet

AnneAhira.Sejarah Wakaf dan Perkembangannya di Indonesia

www.anneahira.com/sejarah-wakaf.htm. Diunduh 15 Februari 2014.

Satria, Adhes. “Inilah Sejarah Wakaf di Zaman Rasulullah Saw (Bagian I).” www.wakafalazhar.com/index.php/wakaf/default/lihatpost/id/21/inilah%20Sejarah%20 Wakaf%20di%Zaman%20Rasulullah%20Saw%20(Bagian-I). Diunduh 15 Februari 2014.

Tabung Wakaf Indonesia. “Profil Tabung Wakaf Indonesia.” tabungwakaf.com/profil-tabung-wakaf-Indonesia/. Diunduh 16 Februari 2014.

Wakaf Produktif Bina Dhuafa Indonesia. “Pengertian Wakaf Produktif”, wakafproduktif.org/pengertian-wakaf-produktif/. Diunduh 7 Maret 2014.

Zuraya, Nidia. “Inilah Awal Mula Sejarah Wakaf.” m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/05/m0dx6g-inilah-awal-mula-sejarah-wakaf. Diunduh 15 Februari 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dari data-data diatas, maka pengembangan bahan ajar mata kuliah pendidikan kewarganegaraan untuk mahasiswa D3 prodi teknik hidros di STTAL Surabaya

Hal ini didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukan bakteri Gram positif lebih rentan terhadap zat aktif dalam ekstrak dibandingkan bakteri Gram

Penelitian ini menggunakan beberapa faktor yang diindikasikan memiliki pengaruh terhadap kebijakan utang, yaitu kepemilikan manajerial, struktur aset, pertumbuhan penjualan,

Sedangkan penelitian mengenai profesionalisme dilakukan oleh Wahyudi dan Aida (2006) yang sebelumnya juga dilakukan oleh Hastuti dkk, (2003) menguji tentang

Jualan lebih luas merupakan motif yang ketiga yang sebagian besar informan yang membuat mereka bergabung dengan komunitas facebook Pekanbaru Jual Beli Online

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mitos masyarakat Jawa dalam buku Primbon Betaljemur Adammakna yang ada

Dengan dibentuknya Kecamatan Batang Serangan dan Kecamatan Sawit Seberang, maka wilayah Kecamatan Padang Tualang dikurangi dengan wilayah Kecamatan Batang Serangan sebagaimana

Zainun (2001) menyatakan peningkatan mutu sumber daya manusia dimaksudkan untuk berbagai keperluan seperti: 1) Menyiapkan seseorang agar saatnya dihari tugas