• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau ditetapkan oleh tenaga kesehatan (Konis, 2012). langsung (Bastable, 2002 dalam Konis, 2012).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau ditetapkan oleh tenaga kesehatan (Konis, 2012). langsung (Bastable, 2002 dalam Konis, 2012)."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1 Tingkat Kepatuhan

2.1.1 Pengertian

Kepatuhan atau ketaatan (compliance/adherence) merupakan tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang sudah disarankan atau ditetapkan oleh tenaga kesehatan (Konis, 2012).

Kepatuhan adalah suatu istilah untuk menjelaskan ketaatan atau pasrah terhadap tujuan yang telah ditentukan. Literatur perawatan-kesehatan mengatakan bahwa kepatuhan berbanding lurus dengan tujuan yang dicapai pada program pengobatan yang ditentukan. Kepatuhan pada program kesehatan adalah perilaku yang dapat diobservasi dan diukur langsung (Bastable, 2002 dalam Konis, 2012).

Kepatuhan pasien adalah sebuah perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Degreest et al, 1998 dalam Konis, 2012).

Kepatuhan merupakan perilaku yang diperlihatkan oleh klien saat mengarah ke tujuan terapiutik yang sudah ditentukan (Carpenito, 2009). 2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut Blevins & Lubkin, 1999; Dracup &Meleis, 1982; Hussey & Gilliland, 1989, faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah: 1. Rasa percaya yang terbentuk sejak awal dan berkelanjutan terhadap tenaga

(2)

2. Penguatan dari orang terdekat

3. Persepsi tentang kerentanan diri terhadap penyakit 4. Persepsi bahwa penyakit yang diderita serius

5. Bukti bahwa kepatuhan mampu mengontrol muncul gejala atau penyakit 6. Efek samping mampu ditoleransi

7. Tidak terlalu mengganggu aktivitas keseharian individu atau orang terdekat lainnya

8. Terapi lebih banyak memberikan keuntungan dibandingkan kerugian 9. Rasa positif terhadap diri sendiri

(Carpenito, 2009) Menurut Smet (1994) dalam Konis (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah:

1. Faktor komunikasi

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasan terhadap obat yang diberikan.

2. Pengetahuan

Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting dalam pemberian antibitoik. Karena sering kali pasien menghentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis.

(3)

3. Fasilitas kesehatan

Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan penyuluhan terhadap penderita diharapkan penderita menerima penjelasan dari tenaga kesehatanyang meliputi: jumlah tenaga kesehatan, gedung serba guna untuk penyuluhan dan lain-lain.

Sementara itu menurut Niven (2002) dalam Konis (2012), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah:

1. Faktor penderita atau individu

a. Sikap atau motivasi individu ingin sembuh

Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam diri individu sendiri. Motivasi individu ingin tetap mempertahankan kesehatanya sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penderita dalam kontrol penyakitnya

b. Keyakinan

Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani kehidupan. Penderita yang berpegang teguh terhadap keyakinanya akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat menerima keadaannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik. Kemauan untuk melakukan kontrol penyakitnya dapat dipengaruhi oleh keyakinan penderita, dimana penderita memiliki keyakinan yang kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan kalau tahu akibatnya.

(4)

2. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan tenteram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya.

3. Dukungan sosial

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga lain merupakan faktor-faktor yang penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dapat mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan

4. Dukungan petugas kesehatan

Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien, dan secara terus menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang telah mampu berapdatasi dengan program pengobatanya.

(5)

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan menurut Notoatmodjo, 2003 yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik.

Berikut ini yang termasuk faktor intrinsik yaitu: 1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan akan terjadi melalui panca indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan responden diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran (Poerwadarminta, 2002). Sedangkan menurut Soekamto (1990), pengetahuan merupakan kesan didalam fikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan, takhayul dan penerangan-penerangan yang keliru yang bertujuan untuk mendapatkan kepastian serta menghilangkan prasangka sebagai sebab ketidak pastian. Adapun tingkat pengetahuan didalam domain kognitif menurut Notoatmodjo (2003) meliputi:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat selalu materi yang dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang

(6)

tahu yang dipelajari antara lain; menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang suatu objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah memahami objek atau materi tersebut, harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi adalah kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi dapat juga diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, metode-metode, prinsip-prinsip dan sebagainya dalam konteks situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Sebuah kemampuan menjabarkan materi didalam komponen-komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan ada kaitannya satu sama lain. Seseorang mampu menganalisis dengan menggunakan kerangka kerja seperti; dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesa (synthesis)

Suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.

(7)

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi dapat diartikan sebuah kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi/objek. Justifikasi atau penelitian tersebut berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri maupun menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2003).

Beberapa faktor ekstrinsik yaitu: 1. Beban kerja

Definisi beban kerja adalah tanggungan kewajiban yang harus dilaksanakan karena pekerjaan tertentu dan juga sebagai tanggung jawab. Beban kerja akan berpengaruh terhadap kinerja seseorang dalam melakukan pekerjaaannya. Pekerja yang mempunyai beban kerja berlebih akan menurunkan kualitas hasil kerja dan memungkinkan adanya inefisiensi waktu. Beban kerja tidak hanya dipandang sebagai beban kerja fisik akan tetapi sebagai beban kerja mental. Beban kerja merupakan konsekuensi dari keterbatasan yang dimiliki individu secara fisik dalam melaksanakan tugas yang harus dilakukan dalam waktu tertentu (Surani, 2008). Reid dan Nygren mendefinisikan beban kerja melalui tiga faktor yang pertama penuhnya waktu, kedua tingginya beban mental yang dilakukan dan stres psikologi yang menyertai pada saat individu melakukan pekerjaan (Reid & Nygren, 1992 dalam Surani, 2008).

(8)

2. Pelatihan

Pelatihan bagi karyawan merupakan sebuah proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar kerja. Biasanya pelatihan merujuk pada pengembangan ketrampilan bekerja (vocational) yang dapat digunakan dengan segera. Sementara itu, pendidikan memberikan pengetahuan tentang subyek tertentu, tetapi sifatnya lebih umum dan lebih terstruktur untuk jangka waktu yang jauh lebih panjang. Pengembangan sumber daya manusia memiliki ruang lingkup lebih luas, yaitu berupa upaya meningkatkan pengetahuan yang mungkin digunakan dengan segera atau kepentingan di masa depan (Surani, 2008).

2.1.3 Faktor-faktor yang Menghambat Kepatuhan

Menurut Hussey & Gilliland, 1989, Blevins & Lubkin, 1999 faktor yang menghambat adalah :

1. Penjelasan yang tidak adekuat

2. Perbedaan pendapat antara klien dan tenaga kesehatan 3. Terapi jangka panjang

4. Tingginya kompleksitas atau biaya pengobatan

5. Tingginya jumlah dan tingkat keparahan efek samping

(9)

2.1.4 Kepatuhan dapat dibedakan menjadi:

1. Kepatuhan penuh (total compliance) Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu yang ditetapkan melainkan juga patuh memakai obat secara teratur sesuai petunjuk.

2. Penderita yang sama sekali tidak patuh (Non compliance) Yaitu penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama sekali.

(Carpenito, 2009) 2.1.5 Cara Menilai Tingkat Kepatuhan

Terdapat lima cara yang digunakan dalam mengukur tingkat kepatuhan, yaitu:

1. Menanyakan pada petugas klinis

Metode ini merupakan suatu metode yang hampir menjadi pilihan terakhir karena keakuratan data yang diperoleh pada umumnya salah. 2. Menanyakan pada individu

Metode ini merupakan metode yang lebih valid dari sebelumnya. Tetapi memiliki beberapa kelemahan, contohnya: pasien mungkin saja berbohong untuk menghindari ketidaksukaan dari tenaga kesehatan, dan mungkin mereka tidak mengetahui seberapa besar tingkat kepatuhan mereka sendiri. Jika dibandingkan dengan beberapa pengukuran objektif, penelitian yang dilakukan cenderung menunjukkan bahwa para pasien lebih akurat saat mereka menyatakan bahwa mereka tidak mengkonsumsi obat.

(10)

3. Menanyakan pada individu lain yang selalu memonitor klien

Metode ini juga memiliki beberapa kekurangan, karena observasi mungkin tidak dapat selalu dilakukan secara konstan, terutama pada hal-hal tertentu contohnya, diet, konsumsi alkohol, dan lain-lain. Pengamatan yang terus menerus menciptakan situasi buatan dan sering kali menjadikan tingkat kepatuhan yang lebih besar dibandingkan tingkat kepatuhan yang lainnya. Tingkat kepatuhan yang tinggi merupakan suatu yang diinginkan tetapi, hal ini tidak sesuai dengan tujuan pengukuran kepatuhan itu sendiri dan menyebabkan observasi yang dilakukan menjadi tidak akurat.

4. Metode menghitung berapa banyak terapi yang sudah atau seharusnya dijalani pasien sesuai dengan saran medis yang diberikan petugas kesehatan.

5. Memeriksa bukti-bukti biokimia

Metode ini merupakan suatu Metode dimana petugas berusaha mencari bukti-bukti biokimia, seperti analisis sampel darah dan urin.

(Widyanti, 2008)

2.2 Wanita Penjaja Seksual

2.2.1 Definisi Wanita Penjaja Seksual (WPS)

Wanita Pekerja Seks (WPS) adalah istilah baru yang mengandung pengertian sama dengan pekerja seks komersial, wanita tuna susila atau pelacur. Istilah wanita penjaja seks sering dipakai oleh para pakar, praktisi, dinas kesehatan, aktifis perempuan dan HIV/AIDS untuk mengganti istilah

(11)

pelacur, karena istilah ini terasa lebih halus dan terkesan tidak memojokan pekerjaan mereka sebagai pelacur (Koentjoro, 2004).

WPS umumnya wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja atau banyak laki – laki yang membutuhkan pemuas hubungan seksual dengan bayaran. Sedangkan pelacuran atau prostitusi adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh wanita kepada laki – laki (lebih dari satu orang) dengan imbalan pembayaran untuk disetubuhi sebagai pemuas nafsu seks si pembayar yang dilakukan diluar pernikahan (Wartono, 2000 dalam Widyastuti, 2009). Wanita penjaja seks adalah suatu pekerjaan dimana seorang perempuan menggunakan atau mengeksploitasi tubuhnya untuk mendapatkan uang. Saat ini tingkat kemoralan bangsa Indonesia semakin terpuruk, hal ini terbukti dengan tingginya jumlah pekerja seks komersial. Akibatnya semakin banyak ditemukan penyakit menular seksual. Profesi sebagai pekerja seks dengan penyakit menular seksual merupakan satu lingkaran setan. Biasanya penyakit menular seksual ini sebagian besar diidap oleh wanita pekerja seks, dimana dalam “menjajakan” dirinya terhadap pasangan kencan berganti – ganti tanpa menggunakan pengaman seperti kondom (Widyastuti, 2009). Hubungan seksual yang dilakukan WPS biasanya berupa hubungan seksual genito genital (penis vagina) tetapi pelayanan orogenital (penis dimasukkan ke mulut) juga dilakukan dikalangan para WPS. Selain itu dalam jumlah terbatas juga ada yang melakukan hubungan onogenital (seks anal). Biasanya mereka sering disukai oleh pelanggan sekalipun yang bersangkutan sedang menstruasi

(12)

tetap saja dapat melakukan hubungan seksual (Koentjoro, 2004). Sedangkan pelacuran atau prostitusi adalah peristiwa penjualan diri dengan jalan menjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu dengan imbalan atau bayaran. 2.2.2 Faktor yang Memungkinkan Penyebab Terjerumusnya Wanita

Menjadi WPS

Banyaknya faktor yang melatar belakangi terjerumusnya wanita penjaja seks antara lain :

1. Faktor Ekonomi

Ekonomi adalah pengetahuan dan penelitian azas penghasilan, produksi, distribusi, pemasukan dan pemakaian barang serta kekayaan, penghasilan, menjalankan usaha menurut ajaran ekonomi (Anwar, 2011). Salah satu penyebab faktor ekonomi adalah:

a. Sulit Mencari Pekerjaan

Ketidakmampuan dasar untuk masuk dalam pasar kerja yang memerlukan persyaratan, menjadikan wanita tidak dapat memasukinya. Atas berbagai alasan dan sebab akhirnya pilihan pekerjaan inilah yang dapat dimasuki dan menjanjikan penghasilan yang besar tanpa syarat yang susah (Mudjijono, 2005).

Alasan seorang wanita terjebak menjadi penjaja seks adalah karena desakan ekonomi, dimana untuk memenuhi kebutuhan sehari hari namun sulitnya mencari pekerjaan sehingga menjadi penjaja seks

(13)

merupakan pekerjaan yang termudah (Kasnidiharjo, 2001 dalam Anwar, 2011).

Penyebab lain diantaranya tidak memiliki modal untuk kegiatan ekonomi, tidak memiliki keterampilan maupun pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sehingga menjadi wanita penjaja seks merupakan pilihan (Mudjijono, 2005). Faktor pendorong lain untuk bekerja sebagai WPS antara lain terkena PHK sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup menjadi WPS merupakan pekerjaan yang paling mudah untuk mendapatkan uang.

b. Gaya Hidup

Gaya hidup adalah cara seseorang dalam menjalani dan melakukan dengan berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pergeseran norma selalu terjadi dimana saja apalagi dalam tatanan masyarakat yang dinamis. Norma kehidupan, norma sosial, bahkan norma hukum sering kali diabaikan demi mencapai suatu tujuan (Gunarsa, 2000 dalam Mudjijono, 2005).

Menjadi wanitia penjaja seks dapat terjadi karena dorongan hebat untuk memiliki sesuatu. Jalan cepat yang selintas terlihat menjanjikan untuk memenuhi sesuatu yang ingin dimiliki (Mahardika, 2004)

Gaya hidup yang cenderung mewah juga dengan mudah ditemui pada diri penjaja seks. Ada kebanggaan tersendiri ketika menjadi orang kaya, padahal uang tersebut diketahui diperoleh dari mencari nafkah sebagai WPS (Hukumonline, 2007).

(14)

Gaya hidup menyebabkan makin menyusutnya rasa malu dan semakin menjauhnya agama dari pribadi-pribadi yang terlibat dalam aktifitas prostitusi maupun masyarakat. Pergeseran sudut pandang tentang nilai-nilai budaya yang seharusnya dianut telah membuat gaya hidup mewah dipandang sebagai gaya hidup yang harus dimiliki (Widyastuti, 2009). c. Keluarga yang Tidak Mampu

Masalah yang sering terjadi dalam keluarga adalah masalah ekonomi. Dimana ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan didalam keluarga, sehingga kondisi ini memaksa para orang tua dari keluarga miskin memperkerjakan anaknya sebagai pekerja seks.

Pada dasarnya tidak ada orang tua yang mau membebani anaknya untuk bekerja namun karena ketidakmampuan dan karena faktor kemiskinan, sehingga tidak ada pilihan lain menjadikan anak menjadi penjaja seks, untuk pemenuhan tuntutan kebutuhan sehari-hari yang tidak dapat ditoleransi (Mudjijono, 2005).

Pelacuran erat hubungannya dengan masalah sosial. Biasanya kemiskinan sering memaksa orang berbuat apa saja demi memenuhi kebutuhan hidup termasuk melacurkan diri ke lingkaran prostitusi. Hal ini biasanya dialami oleh perempuan-perempuan kalangan menengah kebawah.

2. Faktor Kekerasan

Kekerasan adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau

(15)

penderitaan terhadap seseorang termasuk ancaman dan tidakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena, kebebasan baik yang terjadi dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi (Depkes RI, 2003). Dimana salah satu faktor kekerasan adalah:

a. Perkosaan

Adalah suatu tindakan kriminal dimana si korban dipaksa untuk melakukan aktifitas seksual khususnya penetrasi alat kelamin diluar kemauannya sendiri. Perkosaan adalah adanya prilaku kekerasan yang berkaitan dengan hubungan seksual yang dilakukan dengan jalan melanggar hukum (Wahid, 2001).

Banyaknya kasus kekerasan terjadi terutama kekerasan seksual, justru dilakukan orang-orang terdekat. Padahal mereka semestinya memberikan perlindungan dan kasih sayang serta perhatian yang lebih dari pada orang lain seperti tetangga maupun teman (Ardarini, 2006). Korban pemerkosaan menghadapi situasi sulit seperti tidak lagi merasa berharga di mata masyarakat, keluarga, suami, calon suami dapat terjerumus dalam dunia prostitusi. Jadi tempat prostistusi dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan. Biasanya seorang anak korban kekerasan menjadi anak yang perlahan menarik diri dari lingkungan sosialnya. Tetapi di sisi lain juga menimbulkan kegairahan yang berlebihan. Misalnya anak yang pernah diperkosa banyak yang menjadi wanita penjaja seks (Ardarini, 2006).

(16)

b. Dipaksa/Disuruh Suami

Dipaksa adalah perbuatan seperti tekanan, desakan yang mengharuskan untuk mengerjakan sesuatu yang mengharuskan walaupun terpaksa. Istri adalah karunia Tuhan yang diperuntukkan bagi suaminya. Dalam kondisi yang wajar atau kondisi yang normal pada umumnya tidak ada seorang suamipun yang tega menjajakan istrinya untuk dikencani lelaki lain.

Pada kehidupan sekarang tidak jarang menemui hal yang berbeda-beda termasuk kondisi dimana seorang suami tega menyuruh istrinya menjadi pekerja seks. Istri melacur karena disuruh oleh suaminya, dalam situasi dan kondisi apapun yang menyebabkan tindakan tersebut tidaklah dibenarkan, baik oleh moral ataupun oleh agama. Istri terpaksa melakukannya karena dituntut harus memenuhi kebetuhan hidup keluarga, mengingat suaminya adalah pengangguran (Mahardika, 2004).

3. Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan semua yang ada di lingkungan dan terlibat dalam interaksi individu pada waktu melaksanakan aktifitasnya. Lingkungan tersebut meliputi lingkungan fisik, lingkungan psikososial, lingkungan biologis, dan lingkungan budaya. Lingkungan psikososial meliputi keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakat (IBI, 2006).

Lingkungan dengan berbagai ciri memegang peranan besar terhadap munculnya corak dan gambaran kepribadian pada anak. Jika tidak

(17)

didukung oleh kemantapan dari kepribadian dasar yang terbentuk dalam keluarga sehingga penyimpangan prilaku yang tidak baik dapat terhindari. Dimana salah satu faktor lingkungan adalah:

a. Seks Bebas

Pada dasarnya kebebasan berhubungan seks antara laki-laki dan wanita sudah ada sejak dahulu, bahkan lingkungan tempat tinggal tidak ada aturan yang melarang siapapun untuk berhubungan dengan pasangan yang diinginkannya (Mudjijono, 2005).

Banyak kalangan remaja ada yang beranggapan kebebasan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan merupakan sesuatu yang wajar (Mudjijono, 2005).

Bukan hanya tuntutan ekonomi yang medasari seseorang bekerja sebagai pekerja seks namun beberapa hal atau kejadian yang pernah dialami termasuk kekecewaan oleh laki-laki (Yustinawaty, 2007). b. Turunan

Turunan adalah generasi penerus atau sesuatu yang turun-temurun. Tidak dapat disangkal bahwa keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar berinteraksi sosial. Melalui keluarga anak belajar berespons terhadap masyarakat dan beradaptasi ditengah kehidupan yang lebih besar nantinya (Satiadarma, 2001 dalam Yustinawaty, 2007).

(18)

Seorang anak yang setiap saat melihat ibunya sebagai WPS, sehingga dengan tidak merasa bersalah akhirnya mengikuti jejak ibunya. Ibu merupakan contoh bagi anak (Mahardika, 2004).

c. Broken Home

Keluarga adalah sumber kepribadian seseorang, didalam keluarga dapat ditemukan berbagai elemen dasar yang membentuk kepribadian seseorang (Satiadarma, 2001 dalam Yustinawaty, 2007).

Lingkungan keluarga dan orang tua sangat berperan besar dalam perkembangan kepribadian anak. Orang tua menjadi faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang. Lingkungan rumah khususnya orang tua menjadi sangat penting sebagai tempat tumbuh dan berkembang lebih lanjut. Perilaku negatif dengan berbagai coraknya adalah akibat dari suasana dan perlakuan negatif yang dialami dalam keluarga. Hubungan antara faktor yang penting munculnya perilaku yang tidak baik. Dari paparan beberapa fakta kasus anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya, menjadi anak-anak broken home yang cenderung berperilaku negatif seperti menjadi pecandu narkoba atau terjerumus seks bebas dan menjadi WPS.

Anak yang berasal dari keluarga broken home akan lebih memilih meninggalkan keluarga dan hidup sendiri, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sering mengambil keputusan untuk berprofesi sebagai WPS, dan banyak juga dari mereka yang nekat menjadi WPS

(19)

karena frustasi setelah harapannya untuk mendapatkan kasis sayang dikeluarganya tidak terpenuhi.

2.3 Penyakit Menular Seksual

2.3.1 Definisi Penyakit Menular Seksual

Penyakit menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui satu orang dengan orang lain dengan cara berhubungan seksual. Penyakit menular seksual yang dikenal dengan nama penyakit kelamin, karena tempat kejadiannya biasanya di daerah kelamin dan gejala yang timbul di sekitar kelamin, walaupun penyakit ini juga bisa menyerang organ lainnya, seperti mata, mulut, saluran pencernaan, hati, otak, dan organ lainnya (Suharjo, 2008).

Penyakit kelamin adalah jenis penyakit yang penularannya melalui hubungan kelamin. Tempat terjangkitnya penyakit tersebut tidak hanya pada kelamin, namun bisa menjalar sampai sekitar kelamin. Menurut bahasa Yunani, penyakit ini diberi nama “venereal disease” yang berarti penyakit Dewi Cinta (Manuaba, 2009).

Penyakit menular seksual ini adalah penyakit apapun yang didapat melalui kontak seksual. Terdapat rentang keintintiman kontak tubuh yang dapat melularkan penyakit ini, yaitu berciuman, hubungan seksual, hubungan seksual melalui anus, kunilingus, anilingus, felasio, dan kontak mulut atau pun alat genital dengan payudara (Ralph, 2008).

Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki perkembangan yang pesat masalah Penyakit Menular Seksual ini. Perubahan perilaku

(20)

seksual adalah salah satu penyebab terjangkitnya penyakit menular ini (Manuaba, 2009).

2.3.2 Penyebab Infeksi Menular Seksual

Infeksi menular seksual dapat digolongkan menurut penyebabnya, yaitu: (Handsfield, 2001 dalam Chiuman, 2009)

1. Golongan bakteri: Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Chlamydia trachomatis, Haemophilus ducreyi, Calymmatobacterium

granulomatis, Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis,

Gardnerella vaginalis, Salmonella sp., Shigella sp., Campylobacter sp., Streptococcus grup B., Mobiluncus sp.

2. Golongan protozoa: Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, dan protozoa enterik lainnya.

3. Golongan virus: Human Immunodeficiency Virus (tipe 1 dan 2), Herpes Simplex Virus (tipe 1 dan 2), Human Papiloma Virus (banyak tipe), Cytomegalovirus, Epstein-Barr Virus, Molluscum contagiosum virus, dan virus-virus enterik lainnya.

4. Golongan ekoparasit: Pthirus pubis, Sarcoptes scabei. 2.3.3 Cara Penularan Infeksi Menular Seksual

Cara penularan penyakit ini sesuai dengan namanya, yaitu melalui hubungan seksual yang tidak terlindungi, dengan pervaginal, anal, atau oral. Cara penularan lainnya, yaitu: (Karang Taruna, 2001 dalam Chiuman, 2009).

(21)

1. Perinatal: dari ibu ke bayinya.

2. Tranfusi darah maupun kontak langsung dengan cairan darah.

Penularan infeksi menular ini dapat melalui beberapa cara: (Depkes RI, 2006)

1. Melalui hubungan seksual

2. Berkaitan dengan prosedur medis (iatrogenic): pemasangan IUD, aborsi, proses melahirkan.

3. Infeksi endogen (infeksi dari pertumbuhan organisme yang berlebihan yang secara normal hidup di vagina dan ditularkan dari hubungan seksual.

2.3.4 Gejala Klinis Infeksi Menular Seksual

Infeksi menular seksual jarang memberikan gejala langsung pada penderita. Beberapa infeksi akan menunjukkan gejalanya setelah berminggu-minggu, berbulan-bulah bahkan bertahun-tahun setelah terinfeksi (Lestari, 2008). Gejala yang mungkin muncul yaitu, keluar cairan (keputihan yang tidak normal dari vagina ataupun penis. Pada waktu terjadi peningkatan keputihan, warnanya bisa lebih putih, kekuningan, kehijauan, atau merah muda dan dapat mengeluarkan bau yang tidak sedap dan berlendir. Pada pria biasanya terasa panas dan terbakar atau sakit saat buang air kecil, pada wanita dapat pula terjadi hal tersebut namun hal ini juga bisa disebabkan karena infeksi kandung kencing. Dapat terjadi pula luka terbuka atau basah disekitar alat kelamin, timbulnya tonjolan disekitar alat kelamin, kemerahan, pada pria bisa

(22)

timbul rasa sakit pada kantung zakar, dan pada wanita bisa mengalami rasa sakit di perut bagian bawah yang hilang timbul dan bercak darah setelah berhubungan (Suharjo, 2008).

2.3.5 Diagnosa

Diagnosa Infeksi Menular Seksual:

Pemeriksaan klinis pada IMS memiliki 3 prinsip: anamnese, pemeriksaan fisik dan pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium (Daili, 2010). Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan informasi penting terutama pada waktu menanyakan riwayat seksual. Hal yang sangat penting dijaga adalah kerahasiaan terhadap hasil anamnese pasien. Pertanyaan yang diajukan kepada pasien dengan dugaan IMS meliputi: 1. Keluhan dan riwayat penyakit saat ini.

2. Keadaan umum yang dirasakan.

3. Pengobatan yang telah diberikan, baik topikal ataupun sistemik dengan penekanan pada antibiotik.

4. Riwayat seksual yaitu kontak seksual baik di dalam maupun di luar pernikahan, berganti-ganti pasangan, kontak seksual dengan pasangan setelah mengalami gejala penyakit, frekuensi dan jenis kontak seksual, cara melakukan kontak seksual, dan apakah pasangan juga mengalami keluhan atau gejala yang sama.

5. Riwayat penyakit terdahulu yang berhubungan dengan IMS atau penyakit di daerah genital lain.

(23)

7. Riwayat keluarga yaitu dugaan IMS yang ditularkan oleh ibu kepada bayinya.

8. Keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan komplikasi IMS, misalnya erupsi kulit, nyeri sendi dan pada wanita tentang nyeri perut bawah, gangguan haid, kehamilan dan hasilnya.

2.3.6 Komplikasi Infeksi Menular Seksual

Komplikasi dari infeksi ini adalah radang panggul, kemandulan, kanker leher rahim, dan bisa berakibat buruk pada anak yang dilahirkan oleh wanita yang mengidap infeksi ini sewaktu hamil (Suharjo, 2008)

2.3.7 Pencegahan Infeksi Menular Seksual

Menurut WHO (2006), pencegahan infeksi menular seksual terdiri dari dua bagian, yakni pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer terdiri dari penerapan perilaku seksual yang aman dan penggunaan kondom. Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan dengan menyediakan pengobatan dan perawatan pada pasien yang sudah terinfeksi dengan infeksi menular seksual. Pencegahan sekunder bisa dicapai melalui promosi perilaku pencarian pengobatan untuk infeksi menular seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta pemberian dukungan dan konseling tentang infeksi menular seksual dan HIV (Chiuman, 2009) Langkah terbaik untuk mencegah infeksi menular seksual (Depkes RI, 2006) adalah menghindari kontak langsung dengan cara sebagai berikut: 1. Menunda kegiatan seks bagi remaja (abstinensia)

(24)

3. Memakai kondom dengan benar dan konsisten.

Pencegahan termasuk pengenalan diagnosis yang cepat dan pengobatan yang efektif terhadap infeksi menular seksual, akan mengurangi kemungkinan komplikasi pada masing-masing individu dan mencegah infeksi baru di masyarakat (Depkes RI, 2006).

Selain pencegahan di atas, pencegahan infeksi menular seksual juga dapat dilakukan dengan mencegah masuknya transfusi darah yang belum diperiksa kebersihannya dari mikroorganisme penyebab infeksi menular seksual, berhati-hati dalam menangani segala sesuatu yang berhubungan dengan darah segar, mencegah pemakaian alat-alat yang tembus kulit (jarum suntik, alat tindik) yang tidak steril, dan menjaga kebersihan alat reproduksi sehingga meminimalisir penularan (ICA, 2009).

Program pencegahan dan pengendalian IMS bertujuan untuk : 1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan IMS

Infeksi menular seksual, selain infeksi HIV menimbulkan beban morbiditas dan mortalitas terutama di negara sedang berkembang dengan sumber daya yang terbatas, baik secara langsung yang berdampak pada kualitas hidup, kesehatan reproduksi dan anak-anak, serta secara tidak langsung melalui perannya dalam mempermudah transmisi seksual infeksi HIV dan dampaknya terhadap perekonomian perorangan maupun nasional. Spektrum gangguan kesehatan yang ditimbulkan IMS mulai dari penyakit akut yang ringan sampai lesi yang terasa nyeri serta gangguan psikologis. Misalnya, infeksi oleh N.gonorrhoeae menimbulkan nyeri saat berkemih

(25)

(disuria) pada laki-laki, dan nyeri perut bagian bawah akut ataupun kronispada perempuan. Tanpa diobati, infeksi oleh T.pallidum, meskipun tidak nyeri pada stadium awal, namun dapat menimbulkan berbagai kelainan neurologis, kardiovaskular serta gangguan tulang di kemudian hari, serta abortus pada perempuan hamil dengan infeksi akut. Chancroid dapat menimbulkan ulkus dengan rasa nyeri hebat dan bila terlambat diobati dapat menyebabkan destruksi jaringan, terutama pada pasien imunokompromais. Infeksi herpes genitalis menimbulkan gangguan psikoseksual karena bersifat rekurens dan menimbulkan rasa nyeri, terutama pada pasien muda. Biaya yang dikeluarkan, termasuk biaya langsung baik medis dan non medis, serta biaya tidak langsung akibat waktu yang hilang untuk melakukan aktivitas produktif (waktu untuk pergi berobat, waktu tunggu di sarana pelayanan kesehatan, serta waktu untuk pemeriksaan tenaga kesehatan).

2. Mencegah infeksi HIV

Mencegah dan mengobati IMS dapat mengurangi risiko penularan HIV melalui hubungan seks, terutama pada populasi yang paling memungkinkan untuk memiliki banyak pasangan seksual, misalnya penjaja seks dan pelanggannya. Keberadaan IMS dengan bentuk inflamasi atau ulserasi akan meningkatkan risiko masuknya infeksi HIV saat melakukan hubungan seks tanpa pelindung antara seorang yang telah terinfeksi IMS dengan pasangannya yang belum tertular. Ulkus genitalis atau seseorang dengan riwayat pernah menderita ulkus genitalis

(26)

diperkirakan meningkatkan risiko tertular HIV 50-300 kali setiap melakukan hubungan seksual tanpa pelindung. Program pencegahan HIV akan mempercepat pencapaian Millennium Development Goal (MDG) tujuan 6 di tahun 2015.

3. Mencegah komplikasi serius pada kaum perempuan

Infeksi menular seksual merupakan penyebab kemandulan yang paling dapat dicegah, terutama pada perempuan. Antara 10%-40% perempuan dengan infeksi Chlamydia yang tidak diobati akan mengalami penyakit radang panggul (PRP). Kerusakan tuba falopii pasca infeksi berperan dalam kasus kemandulan perempuan (30%-40%). Terlebih lagi, perempuan dengan PRP berkemungkinan 6-10 kali mengalami kehamilan ektopik dibandingkan dengan yang tidak menderita PRP, dan 40%-50% kehamilan ektopik disebabkan oleh PRP yang diderita sebelumnya. MDG 5, bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu sebesar 75% pada tahun 2015. Pencegahan PRP berperan dalam pencapaian tujuan ini melalui pencegahan kematian ibu akibat kehamilan ektopik. Pencegahan infeksi human papillomavirus (HPV) akan menurunkan angka kematian perempuan akibat kanker serviks, yang merupakan kanker terbanyak pada perempuan. Mencegah efek kehamilan yang buruk infeksi menular seksual yang tidak diobati seringkali dihubungkan dengan infeksi kongenital atau perinatal pada neonatus, terutama di daerah dengan angka infeksi yang tinggi. Perempuan hamil dengan sifilis dini yang tidak diobati, sebanyak 25% mengakibatkan janin lahir mati dan 14% kematian neonatus,

(27)

keseluruhan menyebabkan kematian perinatal sebesar 40%. Kehamilan pada perempuan dengan infeksi gonokokus yang tidak diobati, sebesar 35% akan menimbulkan abortus spontan dan kelahiran prematur, dan sampai 10% akan menyebabkan kematian perinatal. Dalam ketiadaan upaya pencegahan, 30% sampai 50% bayi yang lahir dari ibu dengan gonore tanpa pengobatan dan sampai 30% bayi yang lahir dari ibu dengan klamidiosis tanpa diobati, akan mengalami oftalmia neonatorum yang dapat mengakibatkan kebutaan.

2.3.8 Pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (IMS)

Pemeriksaan laboratorium yang berkaitan dengan penyakit menular seksual, yaitu: (Morgan, 2009)

1. VDRL

a. Sekali positif, VDRL tetap positif seumur hidup

b. Positif – palsu dapat terjadi akibat virus, vaksinasi, imunisasi, dan beberapa penyakit, seperti malaria dan frambusia

c. Uji positif harus dipertimbangkan sebagai dugaan, sampai uji kedua, lakukan uji yang berbeda

d. Hasil positif-palsu biasanya kurang dari 1:8 e. Uji VDRL dinyatakan sebagai titer

f. Kadar uji VDRL rendah menunjukkan terapi yang efektif; kada VDRL yang tinggi menunjukkan bahwa infeksi aktif

g. VDRL adalah uji yang sangat bermanfaat untuk tindakan selanjutnya

(28)

2. RPR (Rapid Plasma Reagin)

a. Uji RPR bukan merupakan uji titer; RPR tidak menunjukkan kadar antibody

b. Sekali positif, RPR tetap positif seumur hidup

c. Uji ini lebih sensitive daripada VDRL dalam mendeteksi infeksi aktif selama fase awal

d. Positif palsu bisa terjadi akibat virus, vaksinasi, imunisasi, dan beberapa penyakit, seperti malaria dan frambusia

e. Uji positif harus dipertimbangkan sebagai dugaan adanya sifilis, sampai uji kedua, uji yang berbeda dilakukan

3. Pemeriksaan sample urine

Cara pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi penyakit menular seksual yaitu klamidia dan gonore.

4. Pemeriksaan sample darah

Pemeriksaan ini dulakukan untuk mendeteksi herpes, sifilis, ataupun HIV. Sample darah yang sudah dimbil akan selanjutnya dibawa ke bagian laboratorium.

5. Pemeriksaan swab

Pemeriksaan ini akan mendeteksi HPV, kanker serviks pada wanita dan sifilis, gonore, dan klamidia pada pria maupun wanita. Pada pemeriksaan ini akan diambil dari luka pada penis atau vagina, apabila pemeriksaan serviks pada wanita, swab akan diambil menggunakan speculum.

Referensi

Dokumen terkait

 Doksisiklin* 2X100 mg/hari per oral, selama 15-30 hari ATAU.  Eritromisin 4 x 500 mg/hari selama

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah dan karuniaNya sehingga penulis data menyelesaikan karya tulis akhir yang berjudul ―Efek Antipiretik

Ciri air limbah domestik dan industri diwakili oleh laju oksidasi karbon terdegradasi (degradable) (k) dari contoh air sungai, influen sungai (masukan aliran air ke dalam sungai),

Masukan dari anggota terkait agenda pertemuan konsorsium IA-PTM/A bidang keuangan yang akan datang adalah : (1) Perlunya sertifikasi auditor SAI yang berasal dari

Istilah post optimality menunjukkan bahwa analisa ini terjadi setelah diperoleh solusi optimal, dengan mengasumsikan seperangkat nilai parameter yang digunakan dalam model atau

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif dengan memanfaatkan alat peraga sederhana pada materi tata surya, dapat

Nama Guru

Siklus Brayton ini terdiri dari proses kompresi isentropik yang diakhiri dengan proses pelepasan panas pada tekanan konstan.. Pada siklus Bryton tiap-tiap keadaan proses dapat