• Tidak ada hasil yang ditemukan

laporan kuliah kerja lapangan fakultas hukum universitas palangka raya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "laporan kuliah kerja lapangan fakultas hukum universitas palangka raya"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Penelitian di Kejaksaan Negeri Palangka Raya)

LAPORAN KKL

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menempuh Mata Kuliah KKL

OLEH:

NAMA : ERIK SOSANTO

NIM : EAA 110 039

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS HUKUM

(2)

HALAMAN PERSETUJUAN

KEWENANGAN

KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Penelitian di Kejaksaan Negeri Palangka Raya)

OLEH:

NAMA : ERIK SOSANTO

NIM : EAA 110 039

Disetujui Pada Tanggal :

An. Kepala

Kejaksaan Negeri Palangka Raya Dosen Pembimbing KKL,

Kasi Pidsus,

HAIRUN AZHARI, S.H., M.H Hj. NOVEA ELYSA W, S.H., M.H

NIP. 19701230 199803 1 001 NIP. 19801113 200801 2 010

Laboratorium Ilmu Hukum Ketua, ARIS TOTELES,S.H,M.H. NIP. 19790506 200312 1 002 Mengetahui Dekan, LODI H. INOH, S.H,M.H. NIP. 19540517 198603 1 002

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kemurahan dan karuniaaNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Laporan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ini dengan Judul “KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Penelitian di Kejaksaan Negeri Palangka Raya)”.

Selama penyelesaian Laporan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ini, Penulis banyak memperoleh tantangan dan hambatan akan tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang tulus kepada :

1. Bapak LODI H. INOH, S.H, M.H; selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya;

2. Bapak JOHN TERSON, S.H, M.Hum; selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis yang banyak memberi masukan-masukan dan nasehat yang sangat berharga kepada Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya;

3. Bapak ARISTOTELES, S.H, M.H; selaku Ketua Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya;

4. Ibu Hj. NOVEA ELYSA WARDHANI, S.H, M.H; selaku Dosen Pembimbing Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang telah membimbing Penulis dalam penyusunan laporan ini;

5. Bapak SANDI, S.H, M.H; Selaku Kepala Kejaksaan Negeri Palangka Raya;

(4)

6. Bapak HAIRUN AZHARI, S.H, M.H; Selaku Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Palagka Raya;

7. Ibu PANIEM, S.E, S.H ; Selaku Kepala Sub Bagian Pembinaan Kejaksaan Negeri Palagka Raya;

8. Seluruh Bapak serta Ibu Jaksa yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada Penulis selama menempuh Kuliah Kerja Lapangan di Kejaksaan Negeri Palagka Raya, beserta karyawan-karyawati Kejaksaan Negeri Palagka Raya;

9. Orang tua Penulis yang tercinta beserta keluarga besar, yang selalu memberikan dukungan moril maupun materiil sehingga Penulis dapat menyelesaikan Kuliah Kerja Lapangan ini;

10.Rekan-rekan mahasiswa-mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya yang bersama-sama Penulis selama menempuh Kuliah Kerja Lapangan di Kejaksaan Negeri Palagka Raya, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan serta masukan-masukan yang berguna.

Atas segala bantuan dan dukungan dari semua pihak tersebut, Penulis ucapkan terima kasih. Akhir kata, Penulis berharap Laporan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ini dapat memberikan manfaat positif bagi kita semua.

Palangka Raya, 14 Februari 2014 Penulis,

ERIK SOSANTO

(5)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PENGESAHAN ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kuliah Kerja Lapangan ... 1

B. Perumusan Masalah (Isu Hukum) ... 1

C. Ruang Lingkup Kuliah Kerja Lapangan ... 2

D. Tujuan Kuliah Kerja Lapangan ... 2

BAB II GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Kejaksaan Negeri Palangka Raya ... 4

1. Gambaran Umum Kejaksaan ... 4

2. Struktur Organisasi ... 11

3. Bidang-Bidang Kerja / Job Discription ... 14

B. Pelaksanaan Magang ... 17

1. Jenis dan Bentuk Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ... 17

2. Prosedur Kerja ... 18

3. Kendala Yang Dihadapi Dan Upaya Untuk Memecahkannya ... 18

BAB III PEMBAHASAN A. Apakah dasar hukum tugas dan kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi ... 19

B. Bagaimanakah kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan Tindak pidana korupsi ... 26

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 28

(6)

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keterangan Praktek Kerja Lapangan dari Kejaksaan Negeri Palangka Raya... Lampiran 2 Absensi Kehadiran Peserta Kuliah kerja lapangan ... Lampiran 3 Jadwal Kegitan Peserta Kuliah Kerja Lapangan ... Lampiran 4 Dokumentasi Kegitan Peserta Kuliah Kerja Lapangan ...

(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kuliah Kerja Lapangan

Kuliah Kerja Lapangan (KKL) merupakan mata kuliah pembulat studi yang sifatnya wajib yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa fakultas hukum dengan memuat substansi kegiatan yang sifatnya praktik kerja di instansi/ lembaga, yang bertujuan untuk memberikan pengalaman kerja dalam bidang tertentu berkaitan dengan rencana keahlian mahasiswa. Dengan memadukan ketiga aspek pembelajaran, yakni : kognitif, afektif, dan psikomotorik, eksistensi Kuliah Kerja Lapangan diharapkan dapat melengkapi pengetahuan teoritis yang telah diperoleh mahasiswa dibangku perkuliahan. Sehingga, para mahasiswa tidak hanya memahami hukum pada tataran teori belaka, melainkan juga memahami hukum dari sudut pandang yang lebih luas, yakni dari implementasi hukum pada tataran praktis1.

Oleh karena itu untuk memperoleh pengalaman dan perbandingan antara teori dan praktiknya, maka mahasiswa diharuskan menjalani Kuliah Kerja Lapangan di instansi / pemerintah maupun non pemerintahan sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya. Adapun Penulis dalam hal ini memilih tempat pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan di Instansi Kejaksaan Negeri Palangka Raya sebagai tempat untuk memperoleh pengalaman rencana keahlian Penulis.

B. Perumusan Masalah (Isu Hukum)

Eksistensi kejaksaan sebagai penyidik dalam perkara tindak pidana korupsi tidak dapat sepenuhnya dapat dipahami dengan satu pendapat, sebab faktanya dalam praktek peradilan ada pengadilan yang tidak dapat menerima alasan bahwa jaksa berwenang melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi.

Sampai saat ini pun mengenai kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi tetap dipersoalkan. Dalam laporan Kuliah Kerja Lapangan ini Penulis ingin mencoba merumuskan permasalahan hukum yang tentu ada

(8)

kaitannya dengan eksistensi Kedudukan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, sebagai berikut :

a. Apakah Dasar Hukum Tugas dan Kewenangan Kejaksaan dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bagaimanakah Kewenangan Kejaksaan dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi.

C. Ruang Lingkup Kuliah Kerja Lapangan

Program Kuliah Kerja Lapangan adalah kuliah wajib bagi mahasiswa-mahasiswi strata satu (S1) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya. Mata kuliah ini ditempuh pada semester akhir dengan persyaratan telah lulus 110 SKS dan merupakan bagian intergral dari keseluruhan kurikulum yang berlaku dan memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap mental lulusan dengan orientasi dibidang masing-masing.

Program Kuliah Kerja Lapangan ini juga membutuhkan atau melibatkan pihak lain, dalam hal ini instansi atau lembaga-lembaga baik instansi/lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan. Mata kuliah ini dilaksanakan pada awal semester genap, dengan peran dan fungsi mata kuliah ini sangat penting.

Oleh karena itu untuk mendukung hal tersebut diatas, Penulis mencoba untuk aktif terlibat lansung dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan di Instansi Kejaksaan Negeri Palangka Raya sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya.

D. Tujuan Kuliah Kerja Lapangan

1. Tujuan Yang Bersifat Umum

Program Kuliah Kerja Lapangan bertujuan untuk memberikan seperangkat kemampuan pengalaman kerja kepada mahasiswa berkenan dengan aktivitas nyata pada dunia kerja. Hal ini akan memberikan gambaran sesungguhnya tentang dunia kerja yang di dalamnya terjadi akomodasi berbagai konsep dan teori dengan persoalan-persoalan praktis yang dihadapi serta upaya pemecahannya. Program Kuliah Kerja Lapangan ini akan menjembatani dua aktivitas belajar yakni antara belajar teori dikelas dengan kondisi nyata yang ada dilapangan sesungguhnya2.

(9)

2. Tujuan Yang Bersifat Khusus

a. Menunjang kemampuan kognitif dan afektif mahasiswa, sehingga nantinya mampu menjadi competitive students, yang tidak hanya memahami keilmuan dari sudut teoritis saja, namun juga dari sudut praktik.

b. Meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kemampuan psikomotorik mahasiswa fakutas hukum dalam mengaplikasikan pengetahuan kognitif yang telah diperoleh mereka dibangku perkulihan.

c. Memperkenalkan dan mempersiapkan sejak dini kemampuan mahasiswa akan realitas dunia kerja khususnya di instansi hukum, sehingga nantinya setelah lulus mampu bersaing dengan lulusan dari universitas lainnya3.

(10)

BAB II

GAMBARAN UMUM

A. Gambaran Umum Kejaksaan Negeri Palangka Raya

1. Gambaran Umum Kejaksaan

1.1.Pengertian Kejaksaan

Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.

Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004)4.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis

4

Pengertian Kejaksaanhttp://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=1 di akses tanggal 18 Januari 2014

(11)

dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

Perlu ditambahkan, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang5.

1.2.Sebelum Reformasi

Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.

Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.

Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang

(12)

peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa6.

Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie.

Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai

Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof

(Mahkamah Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten Residen.

Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain:

a. Mempertahankan segala peraturan Negara. b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana.

c. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang7.

Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen

yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).

Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin

(Pengadilan Agung), Koootooo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk:

a. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran. b. Menuntut Perkara.

6

Sejarah Kejaksaan sebelum Reformasi http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3 di akses tanggal 18 Januari 2014

(13)

c. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal. d. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.

Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku.

Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.

Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.

Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (Pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan

(14)

dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi.

Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal 20 November 19918.

1.3.Masa Reformasi

Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Kehadiran undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.

Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat

8 Sejarah Kejaksaan Masa Reformasihttp://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3 di akses tanggal 18 Januari 2014

(15)

dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Mengacu pada UU tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggungjawab. Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab yang spesifik ini mestinya dipandang positif sebagai mitra Kejaksaan dalam memerangi korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja dialami oleh Kejaksaan, namun juga oleh Kepolisian RI serta badan-badan lainnya. Kendala tersebut antara lain:

a. Modus operandi yang tergolong canggih.

b. Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau teman-temannya.

c. Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan berbagai peraturan.

d. Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan. e. Manajemen sumber daya manusia.

f. Perbedaan persepsi dan interprestasi (di kalangan lembaga penegak hukum yang ada).

g. Sarana dan prasarana yang belum memadai.

h. Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan penculikan serta pembakaran rumah penegak hukum.

(16)

Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan pembentukan berbagai lembaga. Kendati begitu, pemerintah tetap mendapat sorotan dari waktu ke waktu sejak rezim Orde Lama. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang lama yaitu Undang-Undang-Undang-Undang No. 31 Tahun 1971, dianggap kurang bergigi sehingga diganti dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang-Undang-Undang ini diatur pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi yang lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor. Belakangan Undang-Undang ini juga dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak adanya Aturan Peralihan dalam Undang-Undang tersebut. Polemik tentang kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa diselesaikan oleh UU ini.

Akhirnya, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dalam penjelasannya secara tegas menyatakan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar biasa melalui pembentukan sebuah badan negara yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai extraordinary crime9.

Karena itu, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi. Sementara untuk penuntutannya, diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang terdiri dari Ketua dan 4 Wakil Ketua yang masing-masing membawahi empat bidang, yakni Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, Pengawasan internal dan Pengaduan masyarakat.

(17)

Dari ke empat bidang itu, bidang penindakan bertugas melakukan penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian dan Kejaksaan RI. Sementara khusus untuk penuntutan, tenaga yang diambil adalah pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai perubahan fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan10.

1.4.Kejaksaan Negeri Palangka Raya

Kejaksaan Negeri Palangka Raya merupakan bagian dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah yang berkedudukan di ibu kota palangka raya yakni mencakup wilayah hukum kota palangka raya yang beralamat di Jalan Diponegoro No. 13 Kota Palangka Raya. Kejaksaan Negeri Palangka Raya saat ini dipimpin oleh SANDI, S.H, M.H selaku kepala, dan dalam melaksanakan tugas kedinasan sehari-harinya didukung oleh para kepala seksi dan sub kepala bagian yang mempunyai tugas dan fungsi masing-masing.

2. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Negeri Palangka Raya

(Terlampir Dalam Tabel)

10

(18)
(19)

2.1 STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN NEGERI PALANGKA RAYA

Kepala

Kejaksaan Negeri Palangka Raya

SANDI, S.H, M.H SUB BAGIAN PEMBINAAN PANIEM, S.E, S.H SEKSI INTELEJEN ARMADHAT.T , S.H SEKSI TINDAK PIDANA UMUM SRIYANTO, S.H SEKSI TINDAK PIDANA KHUSUS HAIRUN AZHARI, S.H, M.H

SEKSI PERDATA dan TUN

YUYUN WAHYUDI, S,H

URUSAN KEPEGAWAIAN

SITI AISYAH

URUSAN DASKRIMTI DAN PERPUSTAKAAN

TUA SIHOMBING, S.H

URUSAN TATA USAHA

AL GAZALI, S.H

URUSAN KEUANGAN

ARNITA DEWIYANA, S.H

URUSAN PERLENGKAPAN

(20)

2.2 STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA BIDANG SEKSI TINDAK PIDANA KHUSUS KEJAKSAAN NEGERI PALANGKA RAYA

SEKSI TINDAK PIDANA KHUSUS HAIRUN AZHARI, S.H, M.H Jaksa Madya STAF KIKI INDRAWAN, S.H Yuana Wira JAKSA FUNSIONAL LILIWATI, S.H Jaksa Pratama STAF WIDYA P NUGRAHA, SH Yuana Wira JAKSA FUNSIONAL AGUNG TRI WAHYUDIANTO, SH Ajun Jaksa JAKSA FUNSIONAL DODY HERYANTO, S.H Ajun Jaksa STAF LISA

(21)

3. Bidang-Bidang Kerja / Job Discription

3.1Tugas dan Wewenang Jaksa

Jaksa sebagai penutut umum dalam perkara pidana harus mengetahui secara jelas semua pekerjaan yang harus dilakukan penyidik dari permulaan hingga terakhir yang seluruhnya harus dilakukan berdasarkan hukum. Jaksa mempertanggungjawabkan semua perlakuan terhadap terdakwa itu mulai tersangka disidik, kemudian diperiksa perkaranya, lalu ditahan, dan akhirnya apakah tuntutannya yang dilakukan jaksa itu sah dan benar atau tidak menurut hukum, sehingga benar-benar rasa keadilan masyarakat dipenuhi11.

Dalam pasal 30 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dinyatakan bahwa tugas dan wewenang jaksa adalah :

1. Di bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang; (1) Melakukan penuntutan;

(2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

(3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

(4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

(5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2. Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah.

3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :

11 Ibid

(22)

(1) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; (2) Pengamanan kebijakan penegakan hukum; (3) Pengawasan peredaran barang cetakan;

(4) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara;

(5) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; (6) Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Sedangkan mengenai tugas dan wewenang Jaksa Agung diuraikan dalam pasal 35 yaitu :

1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan Keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;

2. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;

3. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;

4. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara.

5. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;

6. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dan Pasal 36 yaitu :

1. Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri; 2. Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam

negeri diberikan oleh kepala kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung;

3. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas

(23)

menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri.

Dalam pasal 32 dinyatakan, di samping tugas dan wewenang berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang, antara lain dapat dicatat tugas dan wewenang kejaksaan pada Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang dalam pasal 14 menyatakan penuntut umum mempunyai wewenang :

1. Menerima dan memeriksa berkas.

2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan segera mengembalikan berkas pada penyidik dengan memberikan petunjuk-petunjuk untuk kesempurnaan;

3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan, atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

4. Membuat surat dakwaan;

5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan persidangan dengan disertai panggilan, kepada terdakwa maupun saksi-saksi ;

7. Melakukan penuntutan ;

8. Menutup perkara demi kepentingan hukum ;

9. Melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggung jawab sebagai penuntut umum;

10. Melaksanakan penetapan hakim.

Dengan demikian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang dibidang penuntutan, kejaksaan berpegang pada asas “Kejaksaan adalah Satu dan Tidak Terpisah-Pisahkan” bertujuan agar terpelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat ditampilkan ciri khas dalam pola pikir, pola sikap, dan pola tindak aparatur kejaksaan dalam penanganan perkara. Sehingga kemudian diharapkan Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di

(24)

bidang penututan harus dituntut berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum dan bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun secara merdeka.12

3.2Bidang-Bidang Kerja / Job Discription Kejaksaan Negeri Palangka Raya.

Untuk melaksanakan tugas, fungsi, dan tata kerja Kejaksaan Negeri Palangka Raya dapat dilihat dari struktur organisasi dan bidang-bidang kerja yang mempunyai tugas dan kewenangan tersendiri yaitu :

1. Kepala Kejaksaan Negeri Palangka Raya 2. Sub Bagian Pembinaan, terdiri dari :

a. Urusan kepegawaian b. Urusan Keuangan c. Urusan Perlengkapan d. Urusan Tata usaha

e. Urusan Daskrimti dan perpustakaan 3. Seksi Intelejen

4. Seksi Tindak Pidana Umum 5. Seksi Tindak Pidana Khusus

6. Seksi perdata dan Tata Usaha Negara

B. Pelaksanaan Magang

1. Jenis dan Bentuk Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan

Mahasiswa Kuliah Kerja Lapangan diwajibkan untuk :

a. Mepelajari tata tertib yang berlaku di Kejaksaan Negeri Palangka Raya, dan menerimanya sebagai bagian dari pola dan sikap kerjanya.

b. Melakukan observasi dan berupaya memahami deskripsi kerja dan iklim kerja Kejaksaan Negeri Palangka Raya.

c. Melaksanakan tugas kegiatan praktek Kuliah Kerja Lapangan secara nyata bagaimana layaknya pegawai sesungguhnya dengan tetap memperhatikan prosedur, dan batasan-batasan yang telah ditetapkan.

d. Membuat laporan hasil praktek Kuliah Kerja Lapangan.

(25)

2. Prosedur Kerja

Selama menjalani kegiatan Kuliah Kerja Lapangan mahasiswa diwajibkan dan tugaskan untuk :

a. Hadir tepat waktu selayaknya pegawai, dengan tetap memperhatikan prosedur dan batasan-batasan yang telah di tetapkan.

b. Mengisi daftar hadir pada saat masuk kerja atau pada saat memulai kegiatan praktek Kuliah Kerja Lapangan.

c. Berperan aktif dalam berbagai kegiatan di Kejaksaan Negeri Palangka Raya dimana mahasiswa melaksanakan KKL.

d. Mengisi register berkas perkara P-8 dan Membuat LABUL (Laporan Bulanan seksi Pidana Khusus).

e. Memasukan data regitrasi perkara SPDP, P-18, P-19, P-21 dan P-21 A ke Sistem Informasi Online Pidsus di Situs Kejaksaan Republik Indonesia. f. Membuat daftar nama-nama tersangka, saksi, saksi ahli, dalam perkara

tindak pidana khusus korupsi.

g. Mengantar/Menyerahkan Barang Bukti (BB) perkara tindak pidana korupsi ke Bagian Panitera Muda tindak pidana korupsi (PANMUD TIPIKOR).

h. Menyusun berita acara pemeriksaan saksi-saksi tindak pidana khusus korupsi dan Membuat surat panggilan saksi (P-37 dan P-38) serta mengantarkan surat-surat pemanggilan tersebut ke para saksi-saksi.

i. Mengikuti sidang dan membuat risalah sidang pemeriksaan saksi-saksi oleh jaksa penuntut umum di Pengdilan Negeri Palangka Raya, terhadap perkara tindak pidana korupsi.

3. Kendala Yang Dihadapi Dan Upaya Untuk Memecahkannya

Adapun kendala yang dihadapi selama Kuliah Kerja Lapangan sering terjadi antara lain adanya jadwal konsultasi skripsi dengan dosen pembimbing yang harus dipenuhi sehingga Penulis tidak dapat mengingkuti jam kerja di Kejaksaan Negeri Palangka Raya pada waktu tertentu. Hal ini menyebabkan terganggunya proses kegiatan Kuliah Kerja Lapangan yang menjadi tanggung jawab Penulis di bagian Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Palangka Raya.

(26)

BAB III PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Tugas dan KewenanganKejaksaan dalam Penyidikan Tindak

Pidana Korupsi.

Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa “Salah satu tugas dan kewenangan Kejaksaan di bidang pidana adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.

Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa, kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan Undang-undang tersebut. Rumusan mengenai kewenangan menyidik di dalam undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut menyebutkan bahwa penyidik untuk tindak pidana korupsi adalah Kejaksaan yang mempunyai hak privilege

yakni hak khusus untuk dapat melakukan tindakan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi.

Istilah penyidikan merupakan padanan kata yang berasal dari bahasa Belanda yakni opsporing, dari bahasa Inggris yakni investigation13.Menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang dimaksud dengan

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian hukum acara pidana yang berkaitan dengan penyidikan adalah14 :

13

Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hlm. 55

14 Andi Hamzah, Pengertian Hukum Acara Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 122

(27)

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan semantara.

6. Penggeledahan.

7. Pemeriksaan atau Interogasi.

8. Berita acara (Penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat). 9. Penyitaan.

10.Penyampingan perkara.

11.Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.

Terhadap tindak pidana korupsi, sebelum lahirnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999, penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan oleh Kejaksaan, tetapi setelah lahirnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999, yaitu Pasca Agustus 1999, penanganan terhadap tindak pidana korupsi memiliki berbagai pemahaman. Ada pandangan yang mengatakan bahwa pihak kepolisian yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, namun ada pandangan lain yang mengatakan dengan bertitik tolak dari ide bahwa materi tindak pidana korupsi sebagai bagian dari hukum pidana khusus (ius specia, ius singular/ bijzonder strafrecht), sebenarnya Kejaksaan berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi15.

Sehubungan dengan ketidakjelasan ini, muncullah argumen-argumen yang mendasari bahwa Kejaksaan berwenang menangani penyidikan tindak pidana korupsi yaitu :

a. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

”Penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.”

15

(28)

b. Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP):

”Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan/atau dinyatakan tidak berlaku lagi.”

Eksistensi Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan dasar lanjutan untuk memperkokoh kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Umum butir 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yang menyebutkan ”Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

c. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP:

”Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik Jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.”

Dalam Penjelasan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, dinyatakan bahwa:

”Wewenang penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh undang-undang tertentu dilakukan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundangundangan. Bagi penyidik dalam

(29)

Perairan Indonesia, zona tambahan, Landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, penyidikan dilakukan oleh perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan oleh undangundang yang mengaturnya.” d. Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme:

”Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk ditindaklanjuti.”

Dalam Penjelasan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, dinyatakan bahwa:

”Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mempertegas atau menegaskan perbedaan yang mendasar antara tugas Komisi Pemeriksa selaku pemeriksa harta kekayaan Penyelenggara Negara dan fungsi Kepolisian dan Kejaksaan. Fungsi pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Pemeriksa sebelum seseorang diangkat selaku pejabat negara adalah bersifat pendataan, sedangkan pemeriksaan yang dilakukan sesudah pejabat negara selesai menjalankan jabatannya bersifat evaluasi untuk menentukan ada atau tidaknya petunjuk tentang korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang dimaksud dengan petunjuk dalam pasal ini adalah faktafakta atau data yang menunjukkan adanya unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang dimaksud instansi yang berwenang adalah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan Agung dan Kepolisian.”

e. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

(30)

”Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.” f. Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

”(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan. (5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan korupsi.”

Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

”(1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

(2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.

(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisan dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.”

g. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia:

”Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”

(31)

Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia:

”Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.”

Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia:

”Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.”

h. Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia:

”(1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.”

Dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dinyatakan bahwa:

”Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

i. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang:

”Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini.” Dalam Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dinyatakan sebagai berikut:

(32)

”Yang dimaksud dengan ”penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisan Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.”

j. Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan ditegaskan oleh beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung, antara lain sebagai berikut:

- Putusan Mahkamah Agung Nomor 1148 K/Pid/2003 tanggal 10 Januari 2005, dalam perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama terdakwa Drs. Anisi SY Roni yang didakwa oleh Kejaksaan Negeri Ciamis melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Putusan Mahkamah Agung pada pokoknya menyatakan berdasarkan Penjelasan Pasal 27 huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang menunjuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, adalah merupakan dasar hukum terhadap keberadaan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sehingga dengan demikian Jaksa adalah Penyidik.

- Putusan Mahkamah Agung Nomor 1205 K/Pid/2003 tanggal 10 Oktober 2005, dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Ade Rachlan yang didakwa oleh Kejaksaan Negeri Ciamis melangar Pasal 9 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 416 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Putusan Mahkamah Agung pada pokoknya menyatakan berdasarkan ketentuan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka Jaksa mempunyai

(33)

kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.

- Putusan Mahkamah Agung Nomor 1050 K/Pid/2003 tanggal 7 Juni 2006, dalam perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama Terdakwa Drs. Muhammad Ramly Hamid yang didakwa oleh Kejaksaan Negeri Mamuju melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) sub b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Putusan Mahkamah Agung pada pokoknya menyatakan bahwa selain KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 mengatur tentang penyidikan tindak pidana korupsi dimana Jaksa juga berwenang selaku Penyidik dan Penuntut atas perkara tindak pidana korupsi.

k. Kewenangan kejaksaan untuk menyidik juga ditegaskan kembali melalui Fatwa Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA1102/1/2005 yang pada pokoknya menyatakan bahwa :

”Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, pada pokoknya dapat disimpulkan bahwa sampai dengan saat ini kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, diantaranya adalah tindak pidana korupsi.

B. KewenanganKejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Ide dasar yang terkandung di dalam KUHAP adalah penyidik utama adalah kepolisian. Tetapi dalam pasal 284 KUHAP secara khusus memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk menyidik perkara tindak pidana khusus untuk sementara dimaksudkan untuk mempersiapkan sumber daya manusia serta sarana prasarana di dalam Kepolisian agar pada waktunya dirinya sudah memadai sebagai penyidik.

(34)

Ada dua macam perkara pidana umumnya yang harus mengikuti ketentuan dalam KUHAP untuk sementara, pasal 284 ayat (2) menyebutkan bahwa :

"Dalam jangka waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terdapat semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Sementara dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan, “yang dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu” ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain :

1 Undang-undang tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (undang-undang nomor 7 Drt. Tahun 1995);

2 Undang-undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001), dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Di satu sisi, KUHAP memisahkan fungsi penyidikan dan penuntutan, kecuali terhadap tindak pidana tertentu (Tindak Pidana Ekonomi dan Tindak Pidana Korupsi), namun di sisi lain, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kejaksaan diberi lagi kewenangan untuk menyidik pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1)], bahkan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kejaksaan juga diberikan kewenangan untuk menyidik tindak pidana pencucian uang (sebagaimana diatur dalam Pasal 74), hal tersebut menunjukkan eksistensi kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.

Selanjutnya mengenai kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan dipertegas dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dapat dijumpai pada pasal 30 ayat (1) huruf d bahwa “di Bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

(35)

berdasarkan undang-undang. Beserta penjelasannya, dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP beserta penjelasannya, kejaksaan berwenang untuk menyidik tindak pidana korupsi.

Dengan demikian nampak jelas bahwa dalam perkara tindak pidana khusus Kejaksaan mempunyai wewenang untuk menyidik. Sementara itu, Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dapat dijumpai pada pasal 30 ayat (1) huruf e yaitu memberi kewenangan pada Kejaksaan untuk melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik16.

16 Loebby Loqman, Eksistensi Kejaksaan RI dalam Sistem Peradilan Pidana¸Makalah, Jakarta, 13 November 2001

(36)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Untuk memahami secara nyata nyata ataupun real di instansi yang Penulis pilih sebagai sarana pembelajaran tentang ilmu hukum, Penulis menentukan badan hukum yang ada di Kejaksaan Negeri Palangka Raya sebagai motivasi atau juga sebagai indikator memperoleh kompetisi ilmu yang dapat bermanfaat bagi Penulis, sehingga saran ataupun kritik yang dapat membangun demi menyempurnakan laporan ini, dapat mengembangkan minat Penulis dan lebih bersemangat untuk belajar dan memperoleh lebih dalam ilmu pengetahuan hukum.

Berdasarkan Uraian rumusan masalah yang telah dikemukan di atas, Penulis berkesimpulan bahwa dalam penanganan tindak pidana korupsi, kewenangan penyidikan khususnya kejaksaan didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang ada sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun berdasarkan pelaksanaan kebijakan pemerintah dibidang penegakan hukum. Oleh karena itu, kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu (diantaranya tindak pidana korupsi) harus dilihat berdasarkan aspek yuridis.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), secara tegas dalam Pasal 284 ayat (2) beserta Penjelasannya dinyatakan bahwa kejaksaan mempunyai kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi (vide: Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang Nomor 31 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Dan Undang-Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia secara tegas diatur pada Pasal 30 ayat (1) huruf d bahwa “di Bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Berdasarkan hal tersebutdi atas, maka Kejaksaan dalam hal ini adalah Kejaksaan Negeri Palangka Raya sebagai bagian dari penegakan hukum, dapat

(37)

Melaksanakan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang ada di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Palangka Raya.

B. Saran

Perbedaan wewenang kepolisian dengan wewenang penuntut umum/kejaksaan dalam penyidikan, harus dilihat dalam pengertian “division of powers” (pembagian kewenangan) dan bukan “separation of powers” (pemisahan kewenangan). Tujuan pembagian kewenangan ini adalah untuk “saling mengawasi” (check and balances). Saling mengawasi dalam kewenangan berimbang, dengan tujuan sinergi.

(38)

DAFTAR PUSTAKA

A. DAFTAR BUKU

Andi Hamzah, Pengertian Hukum Acara Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta,1984.

Buku Pedoman Kuliah Kerja Lapangan (KKL),Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya, Tahun 2013.

Evi Hartati, Tindak Piadana Korupsi, Sinar Grafika, jakarta, 2005.

Loebby Loqman, Eksistensi Kejaksaan RI dalam Sistem Peradilan Pidana¸Makalah, Jakarta, 13 November 2001.

Marwan Effendy, Kejaksaan RI ; Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.

Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

B. DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401)

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208. Tambahan

(39)

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164)

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1148 K/Pid/2003 tanggal 10 Januari 2005 dalam perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama terdakwa Drs. Anisi SY Roni.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1205 K/Pid/2003 tanggal 10 Oktober 2005, dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Ade Rachlan .

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1050 K/Pid/2003 tanggal 7 Juni 2006, dalam perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama Terdakwa Drs. Muhammad Ramly Hamid.

(40)

Fatwa Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA1102/1/2005

C. DAFTAR SITUS INTERNET

Pengertian Kejaksaan http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=1 di akses tanggal 18 Januari 2014

Sejarah Kejaksaan sebelum Reformasi http://kejaksaan.go.id/tentangkejaksaan.php?id=3

(41)
(42)
(43)

SURAT

KETERANGAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

DARI KEJAKSAAN NEGERI PALANGKA RAYA

(44)
(45)

ABSENSI KEHADIRAN

(46)

NAMA : ERIK SOSANTO

NIM : EAA 110 039

TEMPAT KKL : KEJAKSAAN NEGERI PALANGKA RAYA

NO HARI/

TANGGAL

PAGI SIANG KET

Masuk Keluar Masuk Keluar

Jam Paraf Jam Paraf Jam Paraf Jam Paraf

1 Kamis, 16/01/14 08.00 12.10 13.00 16.00 2 Juma’t,17/01/14 07.00 12.00 13.30 16.40 3 Senin, 20/01/14 07.00 11.30 13.30 16.00 4 Selasa, 21/01/14 07.00 12.00 13.30 16.00 5 Rabu, 22/01/14 07.00 12.00 13.30 16.00 6 Kamis, 23/01/14 07.00 12.00 13.30 16.00 7 Juma’t,24/01/14 07.00 12.00 13.30 16.00 8 Senin, 27/01/14 07.00 12.00 13.30 16.00 9 Selasa, 28/01/14 07.00 12.00 13.30 16.00 10 Rabu, 29/01/14 07.00 12.00 13.30 16.00 11 Kamis, 30/01/14 07.00 12.00 13.30 16.00 12 Senin, 3/02/14 07.00 12.00 13.30 16.00 13 Selasa, 4/02/14 07.00 12.00 13.30 16.00 14 Rabu, 5/02/14 07.00 12.00 13.30 16.00 15 Kamis, 6/02/14 07.00 12.00 13.30 16.00 16 Juma’t, 7/02/14 07.00 12.00 13.30 16.00 17 Senin, 10/02/14 07.00 12.00 13.30 16.00 18 Selasa, 11/02/14 07.00 12.00 13.30 16.00 19 Rabu, 12/02/14 07.00 12.00 13.30 16.00 20 Kamis, 13/02/14 07.00 12.00 13.30 16.00

21 Juma’t,14/02/14 07.00 12.00 Penarikan Peserta KKL

Palangka Raya, 14 Februari 2014

An. Kepala

Kejaksaan Negeri Palangka Raya Kasi Pidana Khusus,

HAIRUN AZHARI, S.H., M.H

(47)
(48)

JADWAL KEGIATAN

(49)

NAMA : ERIK SOSANTO

NIM : EAA 110 039

TEMPAT KKL : KEJAKSAAN NEGERI PALANGKA RAYA

NO HARI/

TANGGAL

KEGIATAN

1 Kamis, 16/01/14  Penempatan pada bidang kerja Pidana Khusus (pidsus).

 Memberikan cap stempel KEJARI pada register perkara.

 Mengetik berkas perkara Pidsus 8 (P-8) dan Memprintnya.

 Mengikuti Persidangan di Pengadilan Negeri dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama Prof. Dr. Sanggam Roy Inhard Manalu, M.pd dan Drs. Aripin, M.si Bin Abdul Rafi’u.

 Mengetik daftar nama saksi untuk panggilan mengikuti proses persidangan sebagai saksi.

2 Juma’t,17/01/14  Mengikuti kegiatan senam pagi.

 Memasukan data perkara pidsus ke website KEJAGUNG.

 Menganalilis surat dakwaan tindak pidana korupsi atas nama Prof. Dr. Sanggam Roy Inhard Manalu, M.pd.

3 Senin, 20/01/14  Mengantar berkas perkara ke ruang arsip Pidana Khusus (pidsus).

 Menyusun berkas perkara atas nama IKING, ST.

 Mengcopy berkas perkara.

4 Selasa, 21/01/14  Menyusun berkas perkara atas nama SUDARMINI.

 Mengambil berkas dari ruang Kepala KEJARI.

 Menghitung uang denda Putusan MA atas nama Dra. ROSNANI.

5 Rabu, 22/01/14  Mempersiapkan Berkas persidangan dan membuat risalah dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama Prof. Dr. Sanggam Roy Inhard Manalu, M.pd dan Drs. Aripin, M.si Bin Abdul Rafi’u di Pengadilan Negeri.

 Membuat surat panggilan saksi (P-37 dan P-38) dan mengantarnya Kepada para saksi yang bersangkutan untuk diminta keterangannya di persidangan.

6 Kamis, 23/01/14

7 Juma’t,24/01/14  Mengikuti kegiatan senam pagi.

 Mengantar surat panggilan saksi (P-37 dan P-38) Kepada para saksi yang bersangkutan untuk diminta keterangannya di persidangan.

8 Senin, 27/01/14  Mengantar berkas perkara ke ruang arsip Pidana Khusus (pidsus).

 Mengcopy berkas perkara.

9 Selasa, 28/01/14  Mengantar surat panggilan saksi (P-37 dan P-38) Kepada para saksi yang bersangkutan untuk diminta keterangannya di persidangan.

 Membuat LABUL (Laporan Bulanan) seksi pidana khusus.

10 Rabu, 29/01/14  Mempersiapkan Berkas persidangan dan membuat risalah dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama Prof. Dr. Sanggam Roy Inhard Manalu, M.pd dan Drs. Aripin, M.si Bin Abdul Rafi’u di Pengadilan Negeri.

 Membuat surat panggilan saksi (P-37 dan P-38) dan mengantarnya Kepada para saksi yang bersangkutan untuk diminta keterangannya di persidangan.

11 Kamis, 30/01/14  Mengantar surat panggilan saksi (P-37 dan P-38) ke Dinas Pendidikan dan kebudayaan Kabupaten Pulang Pisau dan Dinas Pendidikan dan

(50)

Palangka Raya, 14 Februari 2014

An. Kepala

Kejaksaan Negeri Palangka Raya

Kasi Pidana Khusus,

HAIRUN AZHARI, S.H., M.H

NIP. 19701230 199803 1 001 kebudayaan Kabupaten Katingan (Perjalanan Dinas Luar Kota)

12 Senin, 3/02/14  Mengantar Barang Bukti (BB) dalam perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama Farida sayang.

 Mengikuti Eksekusi Putusan MARI atas nama Tekli Tinton Assau

13 Selasa, 4/02/14  Mengcopy berkas perkara berita acara Pemeriksaan (BAP) dan Menjilidnya.

 Membuat Daftar Barang Bukti dalam berita acara Pemeriksaan (BAP) 14 Rabu, 5/02/14  Mempersiapkan Berkas persidangan dan membuat risalah dalam perkara

tindak pidana korupsi atas nama Prof. Dr. Sanggam Roy Inhard Manalu, M.pd dan Drs. Aripin, M.si Bin Abdul Rafi’u di Pengadilan Negeri.

 Membuat surat panggilan saksi (P-37 dan P-38) dan mengantarnya Kepada para saksi yang bersangkutan untuk diminta keterangannya di persidangan.

15 Kamis, 6/02/14

16 Juma’t, 7/02/14  Mengikuti kegiatan senam pagi.

 Mengantar surat panggilan saksi (P-37 dan P-38) Kepada para saksi yang bersangkutan untuk diminta keterangannya di persidangan.

17 Senin, 10/02/14  Menyusun berkas perkara atas nama ARI ERAINI.

 Mengcopy berkas perkara.

18 Selasa, 11/02/14  Mempersiapkan Berkas persidangan dan membuat risalah dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama Manuel Notanubun, SH,MM dan Farida sayang, SE.

19 Rabu, 12/02/14  Mempersiapkan Berkas persidangan dan membuat risalah dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama Prof. Dr. Sanggam Roy Inhard Manalu, M.pd dan Drs. Aripin, M.si Bin Abdul Rafi’u di Pengadilan Negeri.

 Membuat surat panggilan saksi (P-37 dan P-38) dan mengantarnya Kepada para saksi yang bersangkutan untuk diminta keterangannya di persidangan.

20 Kamis, 13/02/14

22 Juma’t,14/02/14  Mengikuti kegiatan senam pagi.

 surat panggilan saksi (P-37 dan P-38) Kepada para saksi yang bersangkutan untuk diminta keterangannya di persidangan.

(51)

DOKUMENTASI KEGIATAN

PESERTA KULIAH KERJA LAPANGAN

(52)

1.1.(Kantor Kejaksaan Negeri Palangka Raya Beralamat di Jalan Diponegoro No. 13 Kota Palangka Raya)

(53)

1.3.

(

Struktur Organisasi Seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Palangka Raya

)

(54)

1.5. (Arsip Berkas Seksi Tindak Pidana Khusus)

(55)

1.7. (Sidang Pemeriksaan Saksi-saksi dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Prof. Dr. Sanggam Roy Inhard Manalu, M.pd)

1.8. (Sidang Pembacaan Surat Dakwaan atas Nama Terdakwa Manuel dan Farida Sayang dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi )

(56)

1.9.(Suasana Kebersamaan Mahasiswa Kuliah Kerja Lapangan di Kejaksaan Negeri Palangka Raya)

1.10.(Suasana Kebersamaan dengan Jaksa dari Kejati Kalteng, Kasi Pidsus, dan Staf Seksi Pidsus Kejari Palangka Raya)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

[r]

Rancangan aplikasi web ini diharapkan akan lebih memperluas informasi dan mengenalkan website permohonan cuti pegawai melalui media komputer secara interaktif, sehingga

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara pemberian heparin

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Bagaimana penerapan Jaringan Syaraf Tiruan dalam mengestimasikan kebutuhan pelengkapan kantor untuk barang tidak habis pakai pada setiap ruangan kantor Dinas Kebudayaan dan

dilaksanakan penerima hibah dan bantuan sosial serta membandingkan antara input (dana) yang diterima dengan output yang dihasilkan. Hibah Bansos Online memberikan

Upaya yang telah dilakukan industri kendaraan bermotor dalam rangka menekan atau mengurangi gas buang / emisi hasil pembakaran salah satunya dengan menambahkan Catalytic

Berdasarkan proses pembangunan sistem yang telah dilakukan dalam artikel ini maka dapat disimpulkan bahwa: Hasil pengujian Gabor Filter dalam mendeskripsikan fitur wajah