BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada bulan Juli 1997 telah terjadi krisis moneter di Indonesia yang membawa dampak yang sangat besar terhadap sendi-sendi kehidupan ekonomi Indonesia, terutama terhadap dunia usaha dan diperparah lagi oleh krisis politik yang mengakibatkan lengsernya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia saat itu
pada tanggal 21 Mei 1998.1
Krisis moneter itu diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS. Hal tersebut telah mengakibatkan utang para pengusaha Indonesia dalam valuta asing, terutama terhadap kreditur luar negeri menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak debitor tidak mampu membayar utang-utangnya. Di samping itu kredit macet di perbankan dalam negeri juga makin membumbung tinggi secara luar biasa (sebelum krisis moneter perbankan
Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit bermasalah atau
Non-Performing Loans yang memprihatinkan), yaitu sebagai akibat terpuruknya sektor riil
1
Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Junto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002). Hal 29.
karena krisis moneter tersebut.2 Kondisi ini mengakibatkan banyak perusahaan mengalami kesulitan keuangan yang pada akhirnya dinyatakan pailit.
Masalah kepailitan selalu menimbulkan akibat panjang baik bagi kreditur
maupun stake holder perusahaan terutama karyawan perusahaan karena
bagaimanapun terjadi pemutusan hubungan kerja akan membawa implikasi yang kurang baik terhadap perusahaan maupun keluarganya. Secara lebih luas kepailitan perusahaan akan membawa pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian negara. Sementara itu sekarang ini banyak perusahaan-perusahaan yang senantiasa menghadapi ancaman pemohonan kepailitan di Pengadilan Niaga
karena kesulitan membayar utang perusahaan terhadap kreditur-krediturnya.3
Kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang4, adalah sita umum atas
semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini. Dalam hal ini kepailitan berfungsi sebagai emergency window, yaitu pintu
keluar darurat, dimana kepailitan merupakan jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitor yang nantinya merupakan boedel pailit secara
pasti dan adil.5
2
Ibid
3
Sunarmi. Hukum Kepailitan. (Medan: USU Press, 2009). Hal iii
4
Selanjutnya dalam penelitian ini Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disingkat dengan UUK dan PKPU.
5
Menurut Penjelasan Undang-Undang Kepailitan, beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah Pertama; untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama
ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitor, Kedua; untuk
menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan
debitor atau kreditur lainnya, Ketiga; untuk menghindari adanya
kecurangan-kecurangan yang dilakukan salah seorang kreditur atau debitor sendiri.
Syarat kepailitan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak
mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial
distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Pengurusan dan pemberesan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama untuk menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk
membayar seluruh utang debitor pailit secara proposional (prorate parte) dan sesuai
dengan struktur kreditor.6
6
Kepailitan berakibat hilangnya segala hak debitor untuk mengurus segala
harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit (boedel pailit). Perlu diketahui
bahwasanya putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitor kehilangan
kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingsbevoegd)
pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk
mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja.7 Kewenangan debitor itu
selanjutnya diambil alih oleh kurator. Ketentuan tersebut berlaku sejak diucapkanya putusan pernyataan pailit. Kepailitan ini meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Sesudah pernyataan pailit tersebut maka segala perikatan yang dibuat debitor dengan pihak ketiga tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan kuntungan bagi harta pailit atau dapat menambah harta pailit. Oleh karena itu gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung diajukan kepada debitor pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan atau rapat verifikasi.
Penyelesaian utang-piutang terhadap kreditur pemegang hak jaminan di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa setiap kreditur pemegang Gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotik atau Hak Agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi
7
kepailitan.8 Ketentuan pasal tersebut sejalan dengan diakuinya hak separatis dari pemegang jaminan sebagaimana ditentukan oleh KUHPerdata. Akan tetapi Hak eksekusi kreditur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak tangggal putusan
pernyataan pailit diucapkan.9 Adanya penangguhan selama 90 (sembilan puluh) hari
setelah debitor dinyatakan pailit dan apabila jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari tersebut telah lewat maka hak eksekusi kreditur pemegang hak jaminan dihidupkan kembali untuk jangka waktu 2 (dua) bulan sejak dimulainya keadaan insolvensi. Lewatnya jangka waktu dihidupkannya kembali hak kreditur untuk mengeksekusi agunan menyebabkan kurator dapat menuntut diserahkannya barang yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual di depan umum ataupun dilakukan dengan izin Hakim Pengawas, tanpa mengurangi hak pemegang hak tersebut untuk memperoleh
hasil penjualan agunan tersebut.10 Ketentuan pasal ini menjadi tidak sejalan dengan
hak separatis dari pemegang hak jaminan yang diakui oleh Pasal 56 ayat (1) UUK dan PKPU serta telah memasung hak separatis dari kreditur pemegang hak jaminan yang seharusnya benda-benda yang dibebani dengan hak jaminan tersebut tidak termasuk dan berada diluar harta pailit.
8
Pasal 55 ayat (1) UUK dan PKPU
9
Pasal 56A ayat (1) UUK dan PKPU
10
Ibid
Menurut peraturan kepailitan yang lama, yaitu Faillissementverordening bahwa kreditur preferen dapat melaksanakan haknya sekalipun tidak ada kepailitan. Artinya ketentuan mengenai penangguhan selama 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 ayat (1) UUK dan PKPU tidak ada. Dengan kata lain, menurut peraturan kepailitan yang lama itu adalah hak separatis dari
kreditur preferen.11 Setiap kreditur mempunyai kedudukan yang sama. Pengecualian
hak kreditur dengan alasan-alasan yang sah, antara lain hak-hak khusus yang diatur oleh undang-undang. Hak untuk didahulukan diantara para kreditur timbul karena
Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek.12 Syarat preferensi adalah tagihan yang berupa
Hak Istimewa; tagihan yang dijamin dengan Hak Gadai; jaminan yang dijamin dengan Hipotek; Hak Tanggungan (UU NO. 4 Tahun 1996); Hak Fidusia (UU No.42 Tahun 1999). Hak istimewa adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang kreditur sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada kreditur lainnya,
semata-mata berdasarkan piutangnya13, kecuali ditentukan oleh hak istimewa harus
diatur dengan tegas.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tesis tentang bagaimana hak eksekutorial kreditur preferen dikarenakan keistimewaan untuk didahulukan dalam hal pemenuhan piutangnya, dan semua itu akan dituangkan dalam bentuk sebuah tesis dengan judul:
“Hak Eksekutorial Kreditur Preferen Dalam Kepailitan Debitor”. 11 Ibid 12 Pasal 1133 KUHPerdata 13 Pasal 1134 KUHPerdata
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut diatas, maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana kedudukan kreditur preferen dalam kepailitan?
2. Bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap objek Hak Tanggungan?
3. Bagaimana kreditur preferen dapat melakukan eksekusi terhadap harta pailit?
C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mencari pemahaman tentang masalah-masalah yang telah dirumuskan. Maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan kreditur preferen dalam
kepailitan.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum putusan pailit terhadap objek
Hak Tanggungan.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana kreditur preferen dapat
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang berjudul “Hak Eksekutorial Kreditur Preferen Dalam
Kepailitan Debitor” diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Bagi para teoritisi, penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi pengembangan khasanah ilmu pengetahuan mengenai kreditur dalam kepailitan khususnya terhadap kreditur preferen yang telah diatur dalam UU Kepailitan dan mengenai hak tanggungan serta bagaimana penerapannya apabila berhadapan dengan kepailitan seorang debitor. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan sehingga lebih memperjelas kedudukan kreditur preferen, apa akibat kepailitan terhadap objek hak tanggungan dan bagaimana pelaksanaan hak eksekusinya terhadap hak jaminan yang ada padanya apabila debitor dinyatakan pailit.
2. Secara Praktis
Bagi para praktisi hukum, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pedoman menyelesaikan tugas dalam praktik kepailitan di Pengadilan Niaga agar tidak menyimpang dari sistem hukum di Indonesia dan dapat diterapkan dalam kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat serta demi terciptanya kepastian hukum.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan khususnya pada lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, ada terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan dibidang kepailitan, yaitu :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Elyta Ras Ginting yang berjudul “Kedudukan
Kreditur Separatis Dalam Perkara Kepailitan”.
Penelitian ini memfokuskan pembahasannya terhadap bagaimana kedudukan kreditur apabila terjadi kepailitan terutama mengenai kedudukan kreditur separatis dalam perkara kepailitan.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Freddy Simanjuntak yang berjudul
“Penangguhan Eksekusi (Stay) Benda Agunan”.
Penelitian ini membahas secara mendalam mengenai penangguhan eksekusi
(stay) dan kaitannya dengan hukum jaminan.
Berdasarkan ke-2 (dua) penelitian diatas maka yang membedakannya dengan penelitian ini adalah pembahasan yang fokus mengenai pelaksanaan hak eksekutorial yang dilakukan oleh kreditur preferen, yaitu dimulai sejak debitor pailit dinyatakan dalam keadaan insolvensi hingga paling lambat 2 bulan setelah dimulainya keadaan
insolvensi. Oleh karena itu penulis yakin bahwa penelitian dengan judul “Hak
Eksekutorial Kreditur Preferen Dalam Kepailitan Debitor” adalah asli, dan untuk itu penulis dapat mempertanggung-jawabkan kebenaranya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukan oleh Ronny H. bahwa “untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran
teoritis”. 14 Di dalam suatu teori sedikitnya terdapat tiga unsur, yakni: Pertama,
penjelasan mengenai hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori. Kedua, Teori
menganut sistem deduktif, yaitu bertolak dari suatu yang umum dan abstrak menuju
suatu yang khusus dan nyata. Ketiga, Teori memberikan penjelasan atau gejala yang
dikemukakannya. Fungsi teori dalam suatu penelitian adalah untuk memberikan
pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan.15 Hukum merupakan sarana
untuk mengatur kehidupan sosial. Tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid).16
Ketentuan kepailitan merupakan aturan yang mempunyai tujuan untuk melakukan pembagian harta debitor kepada para krediturnya dengan melakukan sita umum terhadap seluruh harta debitor yang selanjutnya dibagikan kepada kreditur sesuai dengan hak proporsinya. Ketentuan kepailitan ini merupakan pelaksanaan
14
Ronny. H Soemitro. Metodelogi Penelitian Hukum. (Jakarta: Ghali, 1982). Hal. 37
15
Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. (Jakarta: Institur Bankir Indonesia, 1993). Hal 8
16
Achmad Ali. Menguak Tabir Hukum;Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. (Jakarta: PT. Gunung Agung, Tbk, 2002). Hal. 85
lebih lanjut dari ketentuan Pasal 1131 juncto 1132 KUHPerdata, dimana merupakan
realisasi dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte.17
Penelitian ini menggunakan Teori Thomas H. Jackson yang menyatakan :
“ A more profitable line of persuit might be to be view bankruptcy as a system designed to mirror the agreement one would expect the creditors to form among themselves were they able to negotiate such an agreement from an ex ante position. It is this approach that I characterize as the “creditors” bargain”.18
Teknik dasar teori ini adalah menyaring hukum kepailitan melalui model “a
creditor’s bargain” dimana apabila seseorang yang kehilangan kepemilikannya dalam kepailitan ditunjukkan untuk menyetujui terlebih dahulu adanya kerugian. Pembebasan debitor dapat menjadi penyebab motivasi dari sebagian besar pembagian piutang kepada kreditur antara lain: Asset disusun sedemikian sehingga mereka dapat dialokasikan di antara pemegang klaim melawan debitor atau kekayaan debitor; Tagihan ditentukan sedemikian sehingga peserta-peserta di dalam proses pembagian mungkin dipertemukan; Peraturan menentukan siapa yang diprioritaskan diantara
penagih-penagih akan mendapatkan apa dan dalam kedudukan sebagai apa.19
Menurut Jackson, ketiga pertimbangan tersebut memungkinkan bahwa kreditur tidak terjamin pada umumnya akan setuju kepada system kolektif sebagai pengganti rencana pemulihan piutang individu karena tidak ada kreditur tunggal.
17
M. Hadi Shubhan., Op.Cit., hal 67
18
Sunarmi. Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. (Medan: Pustaka Bangsa, 2008). Hal 19
Teori “a creditor’s bargain” ini kemudian dikembangkan kembali oleh Thomas H. Jackson dan Robert E. Scott yang menyatakan bahwa tujuan utama dari kepailitan adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan kelompok secara
bersama-sama (dikenal dengan Teori Creditor’s Wealth Maximization) merupakan teori yang
paling banyak dianut dalam hukum kepailitan. Jackson merumuskan hukum
kepailitan dari persfektif ekonomi sebagai “An aclilicary, parallel system of debt-
collection law” sedangkan keadaan pailit adalah cara melaksanakan suatu putusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap harta debitor.
Kritik David Gray Carlson terhadap versi efesiensi dari kontraktarianisme
akan terpusat pada kekayaan, bahwa semua atau kebanyakan kreditur akan menawar
untuk mendapatkan otoritas yang setara dalam kepailitan. Menurut Jackson semua
kreditur setuju untuk mendapatkan prioritas yang setara dalam kepailitan dan hal
itulah disebut dengan “tawar-menawar kreditor (creditor’s bargain). Kesetaraan
kreditur pada debitor pada gilirannya adalah esensi dari kepailitan. Kreditur benar-benar mempunyai pandangan yang setara terhadap kesempatan mereka dalam hal
kebangkrutan debitor. Kreditur hanya peduli dengan memaksimalkan recovery
mereka. Di dalam kepailitan terdapat enam teori menurut Vanessa Finch, yaitu:20
1. Creditor’s Wealth Maximization; 2. Contraction Approach;
3. The Communitarian Vision;
20
Freddy Simanjuntak. Penangguhan Eksekusi (Stay) Benda Agunan Dalam Kepailitan: Tesis. (Medan: 2008). Hal 35
4. The Forum Vision; 5. The Etchical Vision; dan
6. The Multiple Value / Electic Approach.
Berdasarkan ke-enam teori diatas yang paling banyak dianut adalah teori creditor’s wealth maximization. Hukum kepailitan adalah suatu prosedur tentang penagihan dan pembayaran utang yang berlaku secara kolektif terhadap debitor yang sudah tidak mampu membayar lagi dan segala harta debitor yang ada menjadi boedel pailit untuk pelunasan utangnya kepada kreditur.
Dalam rangka restrukturisasi ekonomi, Indonesia memerlukan suatu sistem hukum yang lebih efektif dibidang perdagangan. Oleh karena sejak Indonesia melakukan privatisasi terhadap ekonomi yang semula didominasi oleh Negara, perekonomian akan semakin lebih bertumpu pada pasar daripada perencanaan kordinasi ekonomi serta memperluas sektor manufaktur. Hal ini berarti membutuhkan sistem hukum yang mampu memberikan kepastian terhadap harapan-harapan dan
penyelesaian secara efektif sengketa ekonomi.21 Sektor kehidupan masyarakat yang
mengalami perkembangan dengan cepat antara lain adalah kegiatan di bidang ekonomi. Berbagai rezim hukum di bidang ekonomi mengalami perubahan menyesuaikan dengan model hubungan ekonomi yang diciptakan untuk memperlancar aktivitas ekonomi. Kebutuhan pengembangan hukum terkait dengan
21
aktivitas perekonomian sangat penting bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang menapak jalan kebangkitan dari krisis ekonomi.
Salah satu produk hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional adalah peraturan yang mengatur mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Sehingga dengan demikian Hukum Kepailitan Indonesia juga mengalami perubahan, yakni perubahan atas
Undang-undang tentang kepailitan (FaillissementsVerordening Stb 1905 No. 217 jo Stb 1906
No. 348) ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang pada tanggal 22 April 1998, yaitu dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang-undang tentang
Kepailitan.22
Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang berlaku tanggal 20 Agustus 1998 dan selanjutnya Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tersebut dikuatkan menjadi UU Nomor 4
Tahun 1998 dan direvisi kembali setahun kemudian sejak disahkan oleh DPR.23 Latar
belakang dikeluarkannya Perpu No.1 Tahun 1998 dikarenakan beberapa pertimbangan, salah satunya seperti gejolak moneter yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 memberikan pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional, dan menimbulkan kesulitan yang besar dikalangan dunia usaha untuk meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajiban kepada
22
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002). Hal 3
23
Amandemen UU Nomor 4 Tahun 1998 ini kemudian dilakukan pada 18 Oktober 2004 dengan keluarnya UU Nomor 37 Tahun 2004.
krediturnya.24 Adanya revisi terhadap peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran diharapkan dapat memecahkan sebagian persoalan penyelesaian utang-piutang, untuk itu perlu adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang adil, cepat, terbuka, efektif, melalui suatu pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk secara khusus dan diberikan tugas khusus untuk menangani, memeriksa, dan memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan
termasuk di bidang kepailitan dan penundaan pembayaran.25 UUK dan PKPU di
dasarkan pada beberapa asas, yaitu: Asas Keseimbangan, Asas Kelangsungan Usaha, Asas Keadilan, dan Asas Integritas.
Lembaga hukum kepailitan merupakan perangkat yang disediakan oleh hukum untuk menyelesaikan utang-piutang di antara debitor dan kreditur. Filosofi hukum kepailitan adalah untuk mengatasi permasalahan apabila seluruh harta debitor tidak cukup untuk membayar seluruh hutang-hutangnya kepada seluruh krediturnya. Hakikat tujuan adanya kepailitan adalah proses yang berhubungan dengan pembagian harta kekayaan dari debitor terhadap para krediturnya. Kepailitan merupakan jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitor yang nantinya merupakan
boedel pailit secara pasti dan adil.26 Kepailitan adalah sita umum atas barang-barang
milik debitor untuk kepentingan kreditur secara bersama. Semua barang dieksekusi dan hasilnya dikurangi dengan biaya eksekusi. Sehingga dalam hal ini UU Kepailitan
24
Sutan Remy Sjahdeini. Loc. Cit., hal 32
25
Ibid
26
kelihatannya lebih berpihak kepada kepentingan kreditur. Parameter suatu undang-undang yang baik adalah diukur dari aspek filosofis, sosiologis dan yuridis. Undang-undang idealnya mempunyai kekuatan berlaku mengikat karena memang peraturan tersebut diterima secara sukarela oleh masyarakat bukan karena dipaksakan berlakunya oleh penguasa. Ketentuan dalam UU Nomor 4 Tahun 1998 belum sepenuhnya berdasarkan asas pemberian perlindungan yang seimbang bagi para pihak yang terkait dan berkepentingan dalam kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 1998. Oleh karena itu pada tanggal 18 Oktober 2004, UU Nomor 37 Tahun 2004 dilahirkan untuk menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang
terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 1998.27
27
2. Kerangka Konsep
Menghindari kesimpangsiuran dalam menafsirkan istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, dikemukakan beberapa definisi operasional sebagai berikut:
1. Kepailitan adalah Sita umum atas semua harta kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang.28
2. Debitor Pailit adalah Debitor yang sudah dinyatakan pailit pada putusan
Pengadilan.29
3. Insolvensi adalah Suatu keadaan dimana debitor tidak mampu membayar.30
4. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan dan orang perorangan yang
berdomisili di Indonesia yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/ atau membereskan harta pailit, serta terdaftar pada Kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang
hukum dan peraturan perundang-undangan.31
5. Pengadilan Niaga adalah Pengadilan dalam lingkup peradilan umum yang
mengeluarkan putusan pailit dan putusan penundaan kewajiban pembayaran
utang.32
28
Pasal 1 angka (1) UUK dan PKPU
29
Pasal 1 angka (4) UUK dan PKPU
30
Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK dan PKPU
31
Pasal 70 UUK dan PKPU
6. Kreditur Preferen (yang diistimewakan) adalah Kreditur yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih
dahulu.33
7. Hak istimewa adalah Suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada
seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada
yang lain, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu.34
8. Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.35
9. Objek Hak Tanggungan adalah terdiri atas hak-hak atas tanah serta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah.36
10.Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah Akta PPAT yang berisi pemberian
hak tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan
piutangnya.37
33
Jono. Hukum Kepailitan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). Hal 5
34
Pasal 1134 UUK dan PKPU
35
Pasal 1 ayat (1) UUHT
36
Pasal 4 UUHT
37
11.Sertifikat Hak Tanggungan adalah Tanda bukti adanya hak tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.38
12.Pemberi Hak Tanggungan adalah Orang perseorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek
hak tanggungan yang bersangkutan.39
13.Pemegang Hak Tanggungan adalah Orang perorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.40
14.Harta Pailit adalah Segala kekayaan yang dimiliki debitor dalam bentuk benda
bergerak maupun benda tetap yang merupakan objek dari tugas kurator.41
15.Eksekusi adalah Pelaksanaan putusan pengadilan atau salinan akta-akta yang
mempunyai kekuatan eksekutorial.42
16.Hukum Eksekusi adalah Hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hak-hak
kreditur dalam suatu perjanjian kredit (utang-piutang) yang dijamin dengan harta kekayaan tertentu milik debitor, apabila debitor tersebut ternyata tidak
memenuhi prestasinya.43
38
Pasal 14 ayat (1) UUHT
39
Pasal 8 ayat (1) UUHT
40
Pasal 9 UUHT
41
Pasal 69 ayat (1) UUK dan PKPU
42
Rudhy A. Lontoh, et. al., Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. (Bandung: Alumni, 2001). Hal 540
43
Sri Soedewi Masjchoen Sofyan. Hukum Perdata: Hukum Benda, Cet. 5. (Yogyakarta:
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian (research) berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud
adalah terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah), karena hasil dari pencarian akan
dipakai untuk menjawab permasalahan tertentu.44
Penelitian pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam tehadap fakta hukum tersebut
untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.45
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada sekarang, berkaitan dengan Hak Eksekutorial Kreditur Preferen Dalam Kepailitan Debitor. Pendekatan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif atau pendekatan perundang-undangan. Pendekatan ini digunakan untuk mengadakan pendekatan terhadap permasalahan dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hak eksekusi kreditur preferen dengan tujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.
44
Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 19
45
2. Sumber Data
Oleh karena penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif, yaitu
dengan melakukan library research untuk mengumpulkan data sekunder dengan
menggunakan bahan hukum yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan serta
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah penelitian ini. Yang diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang-Undang Hak Tanggungan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh dengan
melakukan penelitian literatur, yaitu melakukan penelitian atas pendapat dan pemikiran para ahli hukum yang dituangkan dalam literatur hukum, karya tulis ilmiah bidang hukum serta bentuk-bentuk tulisan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.
c. Bahan hukum tersier46, yaitu bahan yang memberikan pertunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
46
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. (Jakarta: PT. Raja Grafika Persada, 2003). Hal 33.
Menyebutkan bahwa bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup:
1. Bahan-bahan yang memberikan petunjuk kepada bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, contohnya, abstrak perundang-undangan, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum dan kamus hukum.
2. Bahan-bahan primer, sekunder dan tersier diluar bidang hukum, misalnya, bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat dan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan
3. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengadakan studi dokumen. Data-data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder yaitu melalui studi pustaka dengan mempelajari bahan hukum sekunder yaitu perundang-undangan, buku-buku bacaan yang berhubungan dengan hukum kepailitan dan kreditur preferen, putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, hasil seminar ataupun hasil seminar penelitian yang dituangkan dalam bentuk buku ataupun makalah, serta bahan lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang ditelitI, didukung juga oleh kamus hukum dan tambah pedoman wawancara dengan Bapak Syuhada selaku Anggota Teknis Hukum Kantor Balai Harta Peninggalan Medan.
4. Analisa Data
Analisa data dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian atau untuk menguji hipotesis-hipotesis penelitian yang telah dinyatakan sebelumnya. Analisis data adalah proses penyederhanaan data dan penyajian data dengan
mengkelompokkannya dalam suatu bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasi.47
Penelitian ini mengunakan analisis normatif sehingga bahan-bahan kepustakaan adalah sumber dari penelitian yang kemudian diolah menggunakan metode induktif dan deduktif serta kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan
47
permasalahan yang ada. Analisa data merupakan proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.48 Yang
dilakukan dalam analisis data adalah menginventarisasi semua ketentuan hukum positif yang menyangkut tentang kepailitan, hak tanggungan, hukum jaminan, kedudukan dan hak kreditur preferen dalam hal terjadi kepailitan debitor.
48