• Tidak ada hasil yang ditemukan

ACUAN PENDUGA KETERSEDIAAN LENGAS TANAH DAN RISIKO EROSI UNTUK BUDIDAYA PERTANIAN LAHAN KERING 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ACUAN PENDUGA KETERSEDIAAN LENGAS TANAH DAN RISIKO EROSI UNTUK BUDIDAYA PERTANIAN LAHAN KERING 1"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ACUAN PENDUGA KETERSEDIAAN LENGAS TANAH

DAN RISIKO EROSI UNTUK BUDIDAYA PERTANIAN

LAHAN KERING

1

Tejoyuwono Notohadiprawiro, Sukardi Wisnubroto & Soeprapto Soekodarmodjo

Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM

Perangkaan Persoalan

Beda pokok antara pertanian lahan kering dan lahan basah ialah cara penyediaan air untuk pertumbuhan pertanaman. Pada pertanian lahan basah, kebutuhan air tersediakan kurang-lebih tetap secara alamiah berupa air muka darat (genangan rawa, kenaikan kapiler air tanah dangkal), atau dicukupi dengan pengairan. Pada pertanian lahan kering, pertanaman memperoleh air yang diperlukannya dari hujan (tadah hujan) melalui konservasi menjadi lengas tanah. Dalam pengertian ini termasuk penggunaan air hujan yang ditampung sementara waktu dalam tempat penampungan khusus (waduk lapangan).

Mengingat 'tadah hujan' menjadi ciri pokok pertanian lahan kering maka tidak hanya pertanaman pangan semusim (palawija) saja yang termasuk di dalamnya, akan tetapi juga pertanaman lain yang biasa diusahakan tanpa pengairan di lahan atasan (matai), seperti perkebunan dan perumputan. Dengan demikian pertanian lahan kering mencakup bentuk pertanian tegal, ladang, sawah tadah hujan, kebuh, perkebunan, perumputan dan perhutanan. Tegal dan ladang dicakup menjadi kelompok pertanaman semusim, sedang kebun, perkebunan dan perhutanan menjadi kelompok pertanaman pohon.

Kalau ketersediaan air cukup sepanjang masa tanam, orang Indonesia biasa mengusahakan bertanam padi sawah. Untuk dapat menggenangkan air pada petak sawah, seorang petani dengan sendirinya akan mengundak atau menggalang lahannya. Di tempat yang rentan terhadap erosi tanah (lereng besar, erodibilitas tanah besar dan/atau erosivitas hujan tinggi), usaha itu bermanfaat besar untuk mencegah atau mengendalikan pengikisan tanah. Di tempat lain yang tidak dipersawahkan, niat semacam itu biasanya tidak timbul, sehingga pertanian lahan kering mengandung persoalan erosi tanah pula.

1

(2)

2

Dengan demikian maka kriterium ketersediaan air hujan pada pertanian lahan kering terdiri atas dua gatra utama:

(1)Ketersediaan lengas tanah untuk memenuhi kebutuhan pertanaman, dan

(2)Kelebihan curah hujan yang secara potensial dapat menjadi aliran permukaan (runoff), yang dapat menimbulkan persoalan erosi tanah.

Acuan Penduga Ketersediaan Lengas Tanah dan Risiko Erosi

Acuan penduga pertama dibuat berdasarkan kebolehjadian keadaan atmosfir. Keadaan atmosfir yang berkaitan dengan ketersediaan air dan risiko erosi terjabarkan dari dua variabel, yaitu curah hujan dan intensitas hujan. Acuan penduga kedua dibuat berdasarkan kebolehjadian keadaan tanah dan timbulan (relief). Dalam kaitannya dengan ketersediaan lengas tanah dan risiko erosi, keadaan tanah dan timbulan terjabarkan dari dua variabel. Variabel tanah berupa kapasitas tampung lengas, sedang variabel timbulan berupa kemiringan lereng. Dengan jalan mengkorelasikan kedua acuan penduga tadi dapatlah disusun pemilahan keadaan lahan berdasarkan kriterium pokok pengembangan pertanian lahan kering.

Untuk pendekatan pertama (first approximation), acuan penduga berbentuk matriks 2x2 kiranya telah memadai. Untuk memperoleh gambaran pukulrata digunakan curah hujan tahunan rata-rata. Besaran ini dibagi menjadi dua kelas menurut batasan nilai kritikal evapotranspirasi potensial tahunan rata-rata (ETk). Oleh karena dalam hal ini macam

pertanaman dan cara mengusahakannya berpengaruh penting, acuan praduga terbagi menjadi cepat. Satu macam penduga mewakili satu macam pertamanan dan cara mengusahakannya. Keempat acuan penduga masing-masing diperuntukkan, (1) Pertamanan pangan semusim lahan kering (palawija, padi gogo); (2) Pertamanan padi sawah tadah hujan; (3)Perumputan tetap, dan (4) Pertamanan pohon (kebun, perkebunan, perhutanan). Nilai kritikal intensitas hujan dipilih berdasarkan dua pertimbangan, yaitu pemacuan infiltrasi (pengurangan jumlah air yang tersediakan untuk menguap) dan erosivitas hujan.

Dalam acuan penduga keadaan tanah maka nilai kritikal kapasitas tampung lengas juga dipilahkan menjadi empat berdasarkan pertimbangan agronomi tersebut di atas. Nilai kritikal kemiringan lorong diambil menurut pertimbangan potensi erosi dan kesempatan infiltrasi air (persaingan dengan kesempatan pengaliran permukaan). Penggabungan acuan penduga keadaan atmosfir dengan acuan penduga keadaan tanah dan timbulan memakai

(3)

asas 'kompsasi faktor', 'pengimbangan faktor' atau ketergantian faktor' (factor compensation, factor replaceability). Di bawah ini dicantumkan kedua acuan penduga beserta nilai kritikal masing-masing dan penyusunan kelas keadaan lahan.

Acuan atmosfir

Curah hujan tahunan (CHT) Intensitas hujan (IH) <NK >NK ET ET - I <NK - P - R - - ET ET I I >NK P P - R - G

Acuan tanah dan timbulan

Daya simpan lengas tanah (DSL) Landaian lereng (LL) <NK >NK - I - - <NK R R - - I I P - >NK - - - G ET = evapotransirasi potensial I = infiltrasi P = perkolasi R= aliran permukaan G = genangan

nilai kritikal (NK) = 5 mm/hari

2100 mm padi sawah (PS) 1200 mm pertanaman semusim lahan kering (TMLK) 1000 mm pertanaman pohon (PH) 1000 mm perumputan (RT) I = infiltrasi P = perkolasi R = aliran permukaan G = genangan

nilai kritikal (NK) = 5 mm/hari

(4)

4

Dengan menggabungkan kedua acuan itu diperoleh kelas penduga keadaan lahan menurut daya pengada lengas tanah potensial bagi kebutuhan pertanaman (potential soil moisture supplying capacity for crop growth) dan kemungkinan risiko erosi. Untuk ini digunakan matriks sebagai berikut.

ET ET ET ET I I I P P P R R G R LT = 0 LT = + LT = + LT = + E = 0 E = + E = ++ E = +++ I R LT = 0 LT = + LT = ++ LT = ++ E = 0 E = + E = ++ E = ++ I P LT = 0 LT = + LT = + LT = ++ E = 0 E = + E = + E = + I G LT = 0 LT = ++ LT = ++ LT = + ++ E = 0 E = + E = + E = +

ET = evapotransirasi potensial 0 = nihil

I = infiltrasi + = sedikit; dapat dibaikan P = perkolasi ++ = sedang

R = aliran permukaan +++ = banyak G = genangan

LT = lengas tanah E = erosi

Berdasarkan matriks ini suatu wilayah dibagi menjadi 7 kelas menurut potensi ketersediaan lengas tanah pukulrata sepanjang tahun secara alamiah dan taraf risiko erosi potensial. Ketujuh kelas tadi ialah: (1) LT 0, E 0, (2) LT +, E +, (3) LT ++, E +, (4) LT ++, E ++, (5) LT +++, E +, (6) LT +, E ++ dan (7) LT +, E +++. Kelas 1 terdiri atas 4 kombinasi keadaan atmosfir, tanah dan timbulan. Kelas 2 mengandung 4 kombinasi pula. Kelas 3 mencakup 3 kombinasi. Kelas 4 memiliki 2 kombinasi. 5, 6 dan 7 masing-masing terdiri atas sebuah kombinasi.

Ta- nah Dan Timbulan Atmo- sfir

(5)

Kelas 1 ditentukan sepenuhnya oleh faktor atmosfir (FA 100%). Kelas 2 ditentukan oleh FA 75% dan oleh faktor tanah serta timbulan (FTT) sebesar 25%. Faktor yang menentukan kelas 3 ialah FTT 83% dan FA17%. Kelas 4 semata-mata ditentukan oleh faktor tanah dan timbulan (FTT 100%). FA dan FTT sama kuat menentukan kelas 5, 6 dan 7 (FA 50%, FTT 50%). Perubahan dari kelas 7 ke kelas 6 ditentukan oleh FA, sedang perubahannya ke kelas 5 ditentukan oleh FTT.

Acuan penduga masih dapat dibuat lebih cermat dengan berbagai jalan. Kriterium curah hujan tahunan dipecah menjadi curah hujan musim hujan dan musim kemarau. Daya simpan lengas tanah diperinci berdasarkan faktor penentu yang sifat pengaruhnya berlainan (tekstur, struktur, jeluk mempan, kadar bahan organik dsb.). Pemilahan kemiringan lereng dikaitkan dengan erodibilitas tanah, sehingga pada tanah dengan erodibilitas lebih kecil nilai kritikalnya dapat dibesarkan. Yang disajikan kali ini adalah acuan penduga bertaraf umum untuk pendekatan (approximation) skala kecil.

Dasar Penetapan Nilai Kritikal

Untuk nilai kritikal kemiringan lereng dipakai angka yang sekarang banyak digunakan di Indonesia, yaitu 8%. Hubungan antara indeks SL (dalam Persamaan Umum Kehilangan Tanah, PUKT) dan persen kemiringan lereng menunjukkan, bahwa indeks 1,000 berada di kemiringan 9%. Di bawah 9% indeks kurang daripada 1,000 dan di atas 9% indeks lebih daripada 1,000. Berdasarkan angka ini maka kemiringan 8% dapat diambil sebagai batas kelas kemiringan lereng berkenaan dengan kejadian erosi tanah. Mitchell dan Bubenzer (1980) memakai 9% sebagai kemiringan baku dalam penelitian erosi.

Nilai kritikal daya simpan lengas tanah disesuaikan dengan daya tahan tiap kelompok pertanaman tersebut di atas menghadapi kekahatan lengas tanah. Kecuali untuk padi sawah, nilai kritikal lengas tanah adalah kadar pertengahan antara kapasitas lapangan dan titik layu tetap. Berdasarkan mintakat perakaran pukulrata pertanaman pangan semusim dan perumputan setebal 30 cm, nilai kritikal setara dengan jumlah air 50 mm (perkiraan Eelaart; dalam Oldeman, 1977). Ini sama dengan kadar 17% volum total tanah. Mintakat perakaran aktif pertanaman pohon pukulrata sedalam 60 cm. Dengan anggapan, bahwa tanggapan pohon terhadap tegangan lengas tidak berbeda dengan tanaman semusim atau rumput maka dengan kesebandingan tebal tanah, nilai kritikalnya adalah 100 mm.

(6)

6

Untuk padi sawah diambil nilai kritikal sebesar 145 mm. Menurut Wickham dan Sen (1978) batas terendah pemberian air pada padi sawah adalah 2 mm.hari-1. Berdasarkan umur padi 110 hari maka jumlah air yang diberikan sebanyak 220mm.musim-1. Kalau pertanaman tidak memperoleh air selama 38 hari berturutan, yang berarti sama dengan jumlah 76 mm, pertanaman padi sudah akan mengalami kekahatan air. Dengan demikian angka sebesar 220-76 = 144 mm (dibulatkan 145 mm) kiranya dapat dipakai sebagai nilai kritikal. Ini kira-kira sama dengan kadar pertengahan antara jenuh dan titik layu tetap, atau 50% volum total tanah.

Nilai kritikal intensitas hujan 5 mm.hari-1 didasarkan atas pertimbangan, bahwa hujan yang lebih kecil dianggap tidak mempan (efektif lagi karena akan habis teruapkan (Oldeman dan Sjarifuddin, 1977). Nilai kritikal curah hujan tahunan untuk tiap pertanaman ditetapkan sebagai berikut. Evapotranspirasi (consumptive use) rata-rata bulanan pertanaman padi sawah ialah 175 mm, jadi setahun 2100 mm, dan palawija 100 mm, jadi setahun 1200 mm (Oldeman, 1975). Curah hujan ≥1000 mm cukup untuk membuat perumputan bagi usaha peternakan menetap. Kalau curah hujan <1000 mm maka usaha peternakannya harus menggunakan sistem penggembalaan mengembara (Rutherberg, 1971). Maka nilai kritikal diambil sebesar 1000mm.

Dengan curah hujan tahunan di atas 1000 mm terdapat peluang cukup untuk memilih macam pohon yang dapat diusahakan secara menguntungkan. Peluang ini menjadi terbatas sekali apabila curah hujan kurang daripada 1000 mm (Ochse dkk., 1966). Maka nilai kritikal untuk pertanaman pohon boleh diambil 1000 mm. Perlu dijelaskan, bahwa semua angka kritikal curah hujan tahunan tersebut di atas khusus berlaku untuk daerah tropika rendah (tropical lowlands).

Percobaan Penerapan Acuan

Acuan penduga dicobakan pada tiga tempat untuk mengetahui keterandalannya dengan jalan membandingkan pendugaan dengan kenyataan pengamatan.

Wanareja (kawasan Proyek Cimanuk):

Sifat fisik lahan: Curah hujan rata-rata 1.807 mm.th-1 Intensitas hujan rata-rata 15mm.hari-1 Daya simpan lengas tanah 177 mm Kemiringan lereng 15%

(7)

Menurut acuan penduga masuk kelas: 2 untuk padi sawah (LT+, E+) 4 untuk yang lain (LT++, E++) Kenyataan: Digunakan untuk tegal (termasuk kelas 4)

Tingkat erosi besar, 62mm.th-1 (E++)

Tidak dijumpai persoalan kekeringan pada pertanaman (LT++)

Cikajang (kawasan Proyek Cimanuk):

Sifat fisik lahan: Curah hujan rata-rata 2408 mm.th-1 Intensitas hujan rata-rata 18 mm.hari-1 Daya simpan lengas tanah 252 mm Kemiringan lereng 35%

Menurut acuan penduga masuk kelas: 4 untuk semua (LT++, E++) Kenyataan: Digunakan untuk tegal (termasuk kelas 4)

Tingkat erosi besar, 73 mm.th-1 (E++)

Tidak dijumpai persoalan kekeringan pada pertanaman (LT++)

Playen (Wonosari DIY):

Sifat fisik lahan: Curah hujan rata-rata 1767 mm.th-1 Intensitas hujan rata-rata 14 mm.hari-1 Daya simpan lengas tanah 185 mm Kemiringan lereng 6%

Menurut acuan penduga masuk kelas: 3 untuk padi sawah (LT++, E+) 5 untuk yang lain (LT+++, E+) Kenyataan: Digunakan untuk tegal (termasuk kelas 5)

Tingkat erosi jelas lebih kecil, 35 mm.th-1 (E+)

Tidak dijumpai persoalan kekeringan pada pertanaman (LT+++)

acuan penduga ini masih bersifat kasar, namun dari ketiga percobaan penerapan itu terbukti kegunaannya yang tidak kecil. Dengan kriteria yang lebih terinci dan ditambah dengan kriterium kesuburan tanah, acuan penduga semacam ini akan berguna sekali untuk landasan perencanaan tataguna lahan. Dengan kriteria penentu yang makin banyak dan makin terinci, bantuan komputer merupakan suatu keharusan. Dengan cara ini acuan penduga akan mempunyai daya sidik dan daya pisah yang kuat.

(8)

8

Acuan penduga ini masih perlu diuji lebih lanjut untuk kesempurnaannya, sebelum benar-benar bermanfaat. Di samping dapat meramal, acuan penduga seperti ini dapat menyajikan alternatif pemanfaatan lahan menuju ke optimisasi tataguna.

Rujukan

Birkeland, P.W. 1974. Pedology, weathering, and geomorphological research. New York. Oxford University Press. xiv + 285 h.

Mitchell, J.K., & Bubenzer, G.D. 1980. Soil loss estimation. Dalam: Kirkby, M.J. & Morgan, R.P.C. (editors). 1980. Soil erosion. Ch.2. Chichester. John Wiley & Sons, Ltd. H. 17-62.

Ochse, J.J., Soule, M.J., Dijkman, M.J., & Wehlburg, C. 1966. Tropical and subtropical agriculture, II. London. The Macmillan Company. 685 h.

Oldeman, L.R. 1975. An agroclimatic map of Java: 17. CRIA, Bogor. Indonesia.

___________ 1977. An agroclimatic classification for evaluation of cropping system in Southeast Asia. FAO, Rome.

___________, & Sjarifuddin, D. 1977. An agroclimatic map of Sulawesi: 33. CRIA, Bogor. Indonesia.

Ruthenberg, H. 1971. Farming system in the tropics. Oxford. Clarendon Press. 313 h. Wickham, T.H., & Sen, C.N. 1978. Water management for lowland rice: water

requirements and yield response. Dalam: Soils & rice. Management of rice soils. IRRI, Los Banos. Philippines. h. 649-669.

«»

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa isolat kapang yang diisolasi dari buah kakao merupakan kelompok dari genus Phytophthora yang di tandai dengan bentuk koloni

Nilai tertimbang (NT) dari setiap variabel beserta indikator-indikatornya merupakan nilai atau kemampuan kegiatan petani kakao rakyat di kalangan Kelompok Tani Tunas

Esimerkissä näkyy, miten asiakkaan ja konsultin välillä on selkeä roolityönjako ja että konsultit tulkitsevat itsensä olevan nimenomaan rekrytoinnin

Setelah itu peneliti akan mendiskrpsikan tentang kasus yang diteliti, yaitu tentang gaya komunikasi para pemimpin PT Fi-tion Surabaya yang dilakukan ketika lingkup rapat

Enam lembaga tersebut adalah Fitch Ratings, Moody’s Investor Service, Standard and Poor’s, PT Fitch Ratings Indonesia, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), dan PT

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia- Nya kepada peneliti, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh

Nutrisi intravena selalu merupakan indikasi jika kebutuhan nutrisi dan metabolik tidak dapat dipenuhi nutrisi enteral Jam, bukan hari, adalah waktu yang panjang untuk bayi yang

enae ang sesuai engan arteriaena mengalirkan arah ke sistem &amp;!rta-