• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Manfaat Bawang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Manfaat Bawang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Manfaat Bawang

Bawang merah merupakan jenis sayuran penting di Indonesia yang dimanfaatkan umbi lapisnya (bulb) dan dikenal dengan nama yang berbeda di setiap daerah. Beberapa peneliti menyebut nama latin dari bawang merah Allium

cepa L. var aggregatum (Brewster 2002; Permadi & van der Meer 1997;

Nonnecke 1989) atau Allium cepa L. var. ascalonicum (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999) dengan jumlah kromosom 2n = 16 (Permadi & van der Meer 1997; Rubatzky & Yamaguchi 1999). Taksonomi bawang merah menurut Brewster (2002); Permadi dan van der Meer (1997) sebagai berikut : Kelas Monokotil, Ordo Asparagales, Famili Alliaceae, Genus : Allium, Species Allium

cepa L. var. aggregatum; Allium cepa L. var. ascalonicum.

Bawang-bawangan diduga berasal dari daerah Turki Timur sampai pegunungan Asia Tengah dengan pusat keragaman genetik di pegunungan Iran, Afganistan, Pakistan dan Tajikistan (Brewster, 2002; Permadi dan van der Meer, 1997). Bawang merah sudah dikenal pada abad 12 di Perancis (Permadi & van der Meer 1997; Rubatzky & Yamaguchi 1999). Dari daratan Eropa bawang merah tersebar ke seluruh dunia. Bawang merah lebih dikenal di daerah tropis terutama daerah yang berada pada lintang 10o N sampai 10o S (Permadi dan van der Meer, 1997) dan merupakan sayuran bernilai ekonomi tinggi .

Bawang merah menurut Brewster (2002) merupakan sub grup dari Allium

cepa (common onion) yang berdasarkan seleksi secara alami dari varian-varian

yang ada dan secara morfologi memperlihatkan perbedaan dari kelompok utamanya. Common onion merupakan sayuran penting secara ekonomi dimana ukuran bulb besar, bulb tunggal, dan dibiakkan dengan biji dan umum digunakan untuk salad dan asinan. Keragaman genetik pada grup common onion cukup tinggi serta mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap panjang hari dan suhu. Keragaman yang lain yang ditemukan adalah daya simpan umbi lapis (bulb), kandungan bahan kering, aroma, dan warna kulit. Bulb grup aggregatum berukuran lebih kecil dari common onion, mudah membelah diri membentuk umbi lapis lateral sehingga membentuk kelompok bulb. Grup aggregatum terbagi atas dua sub-grup yaitu multiplier onion dan shallot. Multiplier onion terdiri atas 3-20

(2)

bulb yang bentuknya lebar dan memanjang. Shallot atau bawang merah

membentuk kelompok bulb yang dangkal, bulb terpisah, dan dibiakkan secara vegetatif. Menurut Nonnecke (1989) bawang merah berbeda dengan bawang bombay dalam pembentukan umbi lapis dan aromanya lebih enak dibanding jenis bawang lainnya.

Bawang merah termasuk tanaman herba bianual (di Indonesia merupakan herba semusim) dengan tinggi sekitar 50 cm, berakar serabut yang keluar dari bagian cakram. Cakram umbi lapis tersebut merupakan batang yang memendek dan memampat (rudimenter). Bentuk daun bawang merah bulat kecil, memanjang seperti pipa. Pada awal pertumbuhan rongga pada daun tersebut belum terbentuk, ujung daun meruncing dan pangkalnya melebar dengan warna daun hijau. Pembentukan bulb baru berawal dari pembengkakan bagian pangkal daun di atas batang sejati dan terdapat mata tunas (lateral).

Tunas lateral akan membentuk cakram baru dan dapat membentuk umbi lapis baru (Permadi & van der Meer 1997; Rahayu & Berlian 1998). Setiap rumpun terdiri atas 3-18 tunas (Permadi & van der Meer 1997; Rubatzky & Yamaguchi 1999). Bagian terluar umbi lapis tertutup oleh lapisan epidermis yang berfungsi sebagai pelindung dengan warna berbeda tergantung varietas (ungu, coklat kemerahan, putih, merah jambu). Bentuk dan ukuran umbi lapis bervariasi: bulat, lonjong, oval dengan diameter 3 sampai 5 cm.

Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1999) keragaman tanaman bawang merah cukup tinggi. Beberapa varietas dapat berbunga, menghasilkan biji dan beberapa varietas jarang berbunga. Permadi dan van der Meer (1997) menyatakan bahwa bunga bawang merah keluar dari tunas utama dan merupakan infloresen dengan diameter 2-8 cm dan sebelum mekar dilindungi oleh kelopak bunga yang tipis. Setiap infloresen mengandung 50 - 200 kuntum bunga hermaprodit berwarna putih kehijauan. Setiap kuntum bunga hermaprodit terdiri atas 5-6 benang sari dan sebuah putik. Kedudukan putik ada di bawah stamen. Tingkat kematangan polen yang berbeda menyebabkan penyerbukan silang (dengan bantuan lebah atau serangga) atau sendiri. Persentase penyerbukan sendiri sekitar 10-20 %. Bakal buah yang terbentuk berukuran diameter 4-6 mm dan terbagi atas

(3)

3 ruangan dan setiap ruangan berisi 2 bakal biji. Bji yang sudah matang berwarna hitam.

Di Indonesia dikenal 27 genotipe bawang merah unggul lokal. Belum semua genotipe tersebut dilepas Kementerian Pertanian. Kultivar unggul yang sudah dilepas diantaranya adalah Maja Cipanas, Bima Brebes, Medan dan Keling. Keunggulan setiap varietas bawang merah dinilai berdasarkan produktivitas, mutu umbi lapis, ketahanan terhadap penyakit, ketahanan terhadap curah hujan dan umur panen (Wibowo 1999).

Bulb dapat dimakan mentah sebagai acar bumbu sate juga dimanfaatkan

untuk asinan, digoreng atau bumbu masak. Masyarakat memanfaatkan bawang merah sebagai obat tradisional untuk menurunkan demam, mengobati luka dan menurunkan kadar gula darah. Menurut Permadi dan van der Meer (1997) setiap 100 g umbi lapis bawang merah yang dimakan terkandung 88 g air, 1.5 g protein, 0.3 g lemak, 9 g karbohidrat, 0.7 g serat, 0.6 g abu, 40 mg P, 0.8 mg Fe, 36 mg Ca ,5 IU vit A, 0.03 mg vit B1, 2 mg vit C dengan nilai energi 160 kJ/100 g.

Ekologi Bawang Merah

Bawang merah di daerah tropis memerlukan suhu harian rata-rata 20-26 oC dan panjang hari minimal 11 jam. Tanaman ini dapat tumbuh di berbagai jenis tanah dengan pH antara 5.6-7 dengan drainase yang baik. Daerah pengusahaan penanaman bawang merah umumnya berada di dataran rendah kurang dari 450 m di atas permukaan laut (dpl) (Permadi & van der Meer 1997). Curah hujan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan serangan cendawan dan berkembangnya penyakit busuk umbi.

Perbanyakan bawang merah menggunakan umbi lapis. Perbanyakan dengan biji di Indonesia tidak dilakukan. Bobot umbi lapis yang ditanam antara 3 sampai 5 g. Umbi lapis bibit sebelum ditanam disimpan selama 2-4 bulan setelah dipanen. Hal ini dilakukan untuk mematahkan dormansi (Permadi & van der Meer 1997; Rubatzky & Yamaguchi 1999; Rahayu & Berlian 1998). Penyimpanan umbi lapis oleh petani bawang merah dilakukan dengan cara meletakkan umbi lapis di para-para ruangan dengan suhu 30-45 oC. Menurut petani perlakuan ini

(4)

dapat mengurangi serangan penyakit saat umbi lapis ditanam dan mempercepat umbi lapis tumbuh.

Umbi lapis ditanam di bedengan dengan lebar bedengan 1-1.2 m dan ketinggian bedengan sekitar 0.6 m dan jarak antar bedengan 0.5 m. Jarak tanam umbi lapis bervariasi dengan panjang 15 -20 cm dan lebar 10-15 cm. Umbi lapis ditanam dengan ujung umbi 1 cm tidak tertutup tanah dan terlihat untuk memudahkan tunas muncul ke permukaan tanah (Permadi & vander Meer 1997). Petani bawang di Brebes umumnya menanam umbi lapis dengan memotong 1/3 bagian ujung umbi lapis yang bertujuan untuk mempercepat tunas tumbuh. Menurut Putrasamedja (1995) tidak terdapat perbedaan pertumbuhan antara penggunaan umbi lapis bibit yang dipotong sebagian dengan umbi lapis utuh.

Panen dilakukan setelah seluruh daun terlihat patah pada bagian pangkal tunas atau permukaan tanah. Kondisi ini memperlihatkan umbi lapis siap dipanen. Umur panen setiap varietas berbeda bergantung ketinggian tempat penanaman. Di dataran rendah panen dilakukan pada umur 60-70 hari dan di dataran tinggi 80-100 hari. Panen dilakukan secara manual dengan mencabut tanaman dan meletakkannya di atas bedengan dan setelah itu disatukan dalam ikatan dengan bobot rata-rata 2 kg. Selanjutnya ikatan umbi lapis bawang merah dijemur dengan bantuan sinar matahari selama 5-14 hari (Wibowo 1999)

Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Bawang

Target produksi sayuran bawang adalah panen dengan produksi tinggi dan berkualitas. Menurut Brewster (2002) hal ini ditentukan oleh :

1. Jumlah cahaya yang diabsorpsi oleh daun selama tahap penimbunan bahan kering berlangsung

2. Efisiensi absorpsi cahaya yang dikonversi pada proses fotosintesis menjadi sukrosa.

3. Proporsi hasil fotosintesis yang dialokasikan ke bagian yang dipanen. Jumlah cahaya yang diabsorpsi tergantung pada kuantitas radiasi cahaya, persentase cahaya yang diserap dan lama pertumbuhan.

Pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman bawang menurut Rubatzky & Yamaguchi (1999) dimulai dari fase pertumbuhan bibit. Pada tahap ini akan tumbuh daun dan akar baru dan bersamaan dengan pertumbuhan tersebut terjadi

(5)

pemanjangan daun serta pelebaran bagian batang yang memampat. Pada awalnya daun yang muncul akan memanjang dan selanjutnya pada bagian pangkal daun terjadi pelebaran. Pertumbuhan daun dan akar selanjutnya akan memperlihatkan laju yang sama. Pada saat pembentukan umbi, pertumbuhan daun berubah menjadi lebih pendek dan kecil serta bentuknya akan lebih kompak.

Permadi & van der Meer (1997) menyatakan setiap bulb terdiri atas 1 – 5 tunas yang masing-masing dilapisi oleh scale (lapisan daun) membentuk cincin yang konsentrik yang terpisah di dalam bulb (Gambar 2). Tunas kemudian tumbuh membentuk rumpun terdiri atas 1-5 tanaman. Tunas lateral akan tumbuh dan kembali menambah jumlah tunas rumpun menjadi sekitar 18 tanaman. Akar adventif tumbuh dari bagian pangkal tunas. Daun akan tumbuh dari setiap tunas. Daun tertua akan membentuk lapisan yang melindungi daun yang lebih muda. Bagian daun yang berada di atas permukaan tanah akan mati dan lapisan daun pada bagian pangkal akan membentuk batang semu.

Gambar 2. Bentuk dan susunan umbi lapis bawang merah (Wibowo 1999)

Pengumbian adalah suatu inisiasi morfologi daun yang dipengaruhi oleh panjang hari, walaupun demikian suhu juga berpengaruh (Rubatzky dan Yamaguchi 1999). Menurut Srivastava (2002) pengumbian kentang juga dipengaruhi oleh kandungan hara pada tanaman dan zat pengatur tumbuh

Umbi lapis utama Umbi lapis samping Keterangan: A. Umbi lapis utama B. Umbi lapis utama dan samping C. Umbi lapis yang dipotong horizontal

(6)

giberelin. Rubatzky dan Yamaguchi (1999) menjelaskan bahwa lama penyinaran yang berlangsung secara kumulatif akan terlihat pengaruhnya terhadap pengumbian. Pencahayaan yang kuat sebagai stimulus tidak selalu menyebabkan terjadi pengumbian. Ketika suatu kultivar mencapai titik kritis panjang hari sebelum pertumbuhan vegetatif maksimal tercapai akan menghasilkan ukuran

bulb yang kecil. Kultivar bawang dengan tipe hari panjang (long-day) untuk

membentuk bulb tidak akan membentuk bulb selama periode hari pendek

(short-day). Allium cepa L. diidentifikasi ada yang termasuk tanaman short-day (11-13

jam), intermediate (13-14 jam) dan long-day (lebih dari 14 jam). Menurut Pathak

et al. (1994) bawang merah termasuk tanaman short-intermediate day dengan

12-14 jam penyinaran sedangkan Permadi dan van der Meer (1997) mengelompokkan tanaman bawang merah ke dalam tipe long-day.

Pengumbian disebabkan mobilisasi fotosintat dari daun ke pangkal daun (Permadi & van der Meer 1997) menghasilkan pembesaran yang membentuk struktur penyimpanan yang disebut bulb (Rubatzky & Yamaguchi 1999). Pengumbian pada bawang merah dimulai dari lapisan daun terluar, dan sebagai akibat pembentukan bulb maka pertumbuhan daun pada lapisan terdalam hanya membentuk daun yang kompak tanpa rongga (Permadi & van der Meer 1997). Panjang hari dan suhu berpengaruh terhadap pembentukan bulb bawang (Brewster, 2002; Rubatzky & Yamaguchi 1999). Brewster (2002) menyajikan suatu skema faktor panjang hari dan suhu terhadap pertumbuhan bulb bawang (Gambar 3).

Pada 15 jam penyinaran pada suhu 21 oC pembentukan umbi lapis berlangsung cepat dan tidak terjadi inisiasi bunga dan inisiasi tunas lateral akan tertekan. Pada suhu 10 oC ketika terjadi inisiasi bunga maka bunga dapat dengan cepat mekar. Menurut (Rubatzky & Yamaguchi, 1999) suhu berinteraksi dalam proses pengumbian. Pengumbian dan pematangannya terjadi lebih awal dan cepat pada kondisi suhu tinggi dan long-day. Di daerah tropis suhu lebih penting dibanding panjang hari untuk pengumbian. Suhu lebih dari 40 oC akan menghambat pengumbian. Pertumbuhan umbi lapis juga dipengaruhi kultivar, kandungan nutrisi, kelembaban, kompetisi tanaman, aplikasi herbisida dan intensitas serta kualitas

(7)

cahaya. Pada kondisi yang induktif intensitas cahaya yang tinggi meningkatkan pengumbian.

(8)

Cahaya infra merah merangsang inisiasi bulb bawang di lapangan (Brewster 2002; Rubatzky dan Yamaguchi 1999) dan in vitro (Le Guen-LeSaos et

al. 2002). Sobeih (1989) dalam Le Guen-LeSaos et al. (2002) melaporkan rasio

yang rendah antara cahaya merah dengan merah jauh akan mengakibatkan peningkatan akumulasi asimilat di daun. Akibatnya akumulasi asimilat tersebut dalam bentuk glukosa dan fruktosa dan oligosakarida pada tanaman bawang akan mudah terbentuk. Selanjutnya Le Guen-Le Saos et al. (2002) menjelaskan induksi

bulblet yang dipengaruhi oleh adanya pemberian cahaya merah jauh pada kultur

bawang merah mungkin disebabkan aktivitas dari fitokrom yang menurunkan efektivitas giberelin dan adanya reorientasi mikrotubul, sehingga terjadi ekspansi sel secara radial dari sel dan menyebabkan pemendekan pada bagian pangkal daun.

Biokimia Pengumbian Tanaman Bawang

Ketika tanaman bawang berubah terinduksi membentuk umbi lapis terjadi kondisi perubahan konsentrasi sukrosa pada bagian pseudostem dalam 5-10 hari. Pengurangan konsentrasi sukrosa terjadi di bagian daun. Pada saat yang sama penurunan yang cepat terukur pada level asam terlarut, enzim invertase, dan enzim yang mengkatalisis konversi gula menjadi glukosa dan fruktosa. Perubahan ini terjadi sebelum umbi lapis terlihat. Penggembungan bagian pangkal daun dipengaruhi hidrolisis fruktan (fruktosa rantai panjang) menjadi fruktosa dan glukosa. Hal ini meningkatkan secara osmotik solut aktif di bagian luar sel, yang berkaitan dengan air dan ekspansi pertumbuhan sel (Brewster 2002). Pemberian sukrosa untuk menginduksi umbi mikro pada tanaman kentang berkisar antara 4 sampai 9 % (Wattimena & Purwito 1989). Pada kultur bawang merah, konsentrasi sukrosa untuk menginduksi bulblet bervariasi nilainya dari 30-50 g L-1 (Le Guen-Le Saos et al. 2002), 120 g L-1 (Mohamed-Yasseen et al. 1994; Fletcher et al. 1998) ) dan 150 g L-1 (Hidayat 1997).

Hormon auksin, sitokinin dan etilen berperan dalam pengumbian (Brewster 2002). Pada penelitian pengumbian in vitro kentang diketahui adanya peran sitokinin zeatin riboside yang konsentrasinya semakin meningkat dengan terbentuknya umbi (Mauk & Langille 1978). Hasil penelitian Muhamed-Yasseen

(9)

et al. (1994); Fletcher et al. (1998); Hidayat (1997); Le Guen-Le Saos et al.

(2002) menunjukkan pengumbian bawang merah dapat diinduksi tanpa penambahan sitokinin. Hal ini mungkin disebabkan tipe pertumbuhan umbi lapis dibandingkan dengan kentang yang merupakan umbi batang tidak sama.

Pemberian anti giberelin di lapangan pada pertanaman bawang ternyata dapat menginduksi pengumbian (Brewster 2002). Penelitian Le Guen-Le Saos et

al. (2002) menunjukkan bahwa penambahan anti giberelin atau retardan

ancymidol meningkatkan terbentuknya bulblet pada kultur bawang merah. Retardan termasuk kelompok zat penghambat tumbuh yang bekerja menghambat pemanjangan batang dengan menghambat sintesis giberelin (Srivastava 2002).

Retardan dibagi atas tiga kelompok berdasarkan enzim yang mengkatalisis dari tiga tahap sintesis giberelin. Pertama kelompok senyawa Onium (seperti : chlormequat chloride atau CCC, mepiquat dan AMO-1618). CCC dan AMO-1618 secara spesifik menghambat aktivitas copalyl diphosphat

synthase. Kelompok kedua yaitu senyawa heterosiklik yang mengandung nitrogen

seperti ancymidol, paclobutrazol, uniconazol. Senyawa tersebut menghambat oksidasi ent-kaurene menjadi ent-kaurenoic acid oleh P450 monooxygenase. Kelompok ketiga meliputi acylcyclohexanediones (BX-112) yang menghambat

2-oxoglutarat-dependent dioxygenase pada tahap ke tiga biosintesis giberelin

(Srivastava 2002).

Pemberian CCC, SADH dan ABA pada kultur bawang putih memperlihatkan pengaruh terhadap bulblet yang terbentuk (Kim et al. 2003). Pemberian retardan CCC lebih baik dalam menginduksi jumlah bulblet per eksplan dibandingkan pemberian SADH dengan konsentrasi terbaik CCC 100 mg L-1 dan SADH 50 mg L-1. Pemberian ABA pada konsentrasi rendah yaitu 0.1 mg L-1 efektif dalam pembentukan bulblet bawang putih. Asam jasmonat pada konsentrasi 10 M menginduksi jumlah bulblet per eksplan jauh lebih tinggi dibandingkan ketiga senyawa tadi.

`

Kultur Jaringan Famili Alliaceae

Penelitian kultur jaringan pada Alliaceae bertujuan: 1. mendapatkan metode perbanyakan yang efisien untuk mendapatkan bibit yang sehat dan

(10)

berkualitas baik. 2. mendapatkan varian-varian baru antara lain tahan terhadap serangan hama atau penyakit tertentu. Species yang paling banyak diteliti adalah

Allium cepa L. (bawang bombay) dan Allium sativum L. (bawang putih).

Penelitian Hussey (1979) dalam George dan Sherrington (1994) pada bawang bombay menggunakan eksplan umbi lapis dengan basal plate dan berhasil mendapatkan tunas mikro pada media MS dengan penambahan 1 – 4 mg L-1 BAP dan 0.5 mg L-1 NAA. Yoo et al. (1990) berhasil menumbuhkan umbi lapis denganbasal plate pada media MS dengan kinetin sampai 100 M, begitu pula Kamstaityte dan Stanys (2004) menumbuhkan tiga cv. bawang bombay pada media MS dengan kinetin 10.6 M.

Matsubara dan Chen (1989) berhasil menginduksi tunas mikro dari tunas adventif bawang putih pada media MS dengan penambahan BAP dan NAA masing-masing dengan konsentrasi 0.01 mg L-1. Bulblet diperoleh setelah tunas dipindah pada media yang sama atau media dengan NAA 0.1 mg L-1 dan BA 0.01 mg L-1. Bulblet yang terbentuk berhasil diaklimatisasi pada media tumbuh

vermikulit, rockwool dan tanah. Mohamed-Yasseen et al. (1994) juga berhasil

menginduksi tunas dan bulblet dengan memotong bagian tunas adventif dengan menyertakan basal plate. Media terbaik untuk induksi pertunasan adalah MS dengan BAP 8 M dan NAA 0.1 M. Bulblet terbentuk pada media MS dengan sukrosa 120 g L-1 dan arang aktif 5 g L-1. Selanjutnya Roksana et al. (2002) berhasil menginduksi bulblet setelah 4 kali sub kultur (84 hari) pada media terbaik MS dengan 2ip dan NAA masing-masing pada konsentrasi 0.5 mg L-1. Penelitian Haque et al. (2003) yang mengkulturkan meristem akar dan tunas adventif bawang putih berhasil membentuk tunas dan bulblet. Tunas tunggal terbentuk pada media MS tanpa ZPT atau dengan NAA dan BA. Bulblet terbentuk dengan bobot dan diameter tertinggi pada media MS dengan sukrosa 12%. Kim et al. (2003) mendapatkan hasil bahwa intensitas cahaya dan suhu berpengaruh terhadap proliferasi tunas dan pembentukan bulblet. Proliferasi tunas terbaik terjadi pada intensitas cahaya 50 mol m-2 s-1 pada suhu 25 oC. Selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan bulblet bawang putih dipengaruhi konsentrasi sukrosa, asam jasmonat, dan retardan dengan konsentrasi terbaik berturut-turut 9 % sukrosa, 10 M asam jasmonat dan 100 mg L-1 CCC.

(11)

Penelitian kultur in vitro pada tanaman bawang merah A. cepa var.

aggregatum baik perbanyakan tunas dan induksi bulblet telah dilakukan

Mohamed-Yasseen et al. (1994); Cohat (1994); Hidayat (1997); Fletcher et al. (1998); Le Guen-Le Saos et a.l (2002); dan Zheng et al (1999 dan 2005). Mohamed-Yasseen et al. (1994) berhasil menginduksi dan menggandakan tunas pada kultur bawang merah cv. Red California. Eksplan yang digunakan tunas dari lapisan terdalam yang berukuran tinggi 8 sampai 12 mm. Sebelumnya umbi lapis divernalisasi pada suhu 4 oC selama 3 bulan. Eksplan dipotong dengan menyertakan basal plate dan ditanam pada media MS. Multiplikasi tunas tertinggi diperoleh pada media dengan penambahan thidiazuron 0.15 M dan 0.1 M NAA. Induksi bulblet diperoleh pada media MS dengan penambahan sukrosa 120 g L-1 dan arang aktif 5 g L-1 tanpa zat pengatur tumbuh dengan lama penyinaran 18 jam.

Perbanyakan tunas dan bulblet bawang merah in vitro cv Sumenep berhasil dilakukan Hidayat (1997). Eksplan disiapkan seperti metoda yang dilakukan Mohamed-Yasseen et al. (1994). Hasil penelitiannya menunjukkan jenis sitokinin TDZ yang dikombinasikan dengan picloram terbaik menginduksi tunas. Media perbanyakan tunas terbaik diperoleh pada konsentrasi 1 mg L-1 TDZ dengan 0.1 mg L-1 picloram. Bulblet diperoleh setelah tunas ditanam pada media BDS dengan sukrosa 150 g L-1 tanpa zat pengatur tumbuh. Tunas in vitro bawang merah berhasil diinduksi pada media MS dengan penambahan 2ip 6 mg L-1 dan NAA 0.5 mg L-1 (Septiari & Dinarti 2003). Pemberian BAP (Royno 2003) dan kinetin (Handayani et al. 2005) tidak menghasilkan tunas lebih banyak dibanding penambahan 2ip. Tunas yang diperoleh berukuran kecil, tidak tegar dan banyak yang vitrous. Hal ini diduga disebabkan tunas terlalu lama (8 minggu) dalam media dengan sitokinin tinggi. Tunas mikro bawang merah yang vitrous dapat dikurangi dengan penambahan calcium panthotenate ke dalam media perbanyakan sehingga ketegaran dan kadar serat tunas meningkat (Parsini 2005). Tunas mikro bawang merah dapat berakar dengan baik pada media MS ½ konsentrasi atau dengan penambahan IBA 1 mg L-1 (Nur 2005).

Penelitian Le Guen-LeSaos et al. (2002) menunjukkan bahwa pembentukan bulblet dipengaruhi konsentrasi sukrosa, keberadaan GA3 dan

(12)

kualitas cahaya. Bulblet terbentuk dengan baik pada media dengan 30-70 g L-1 sukrossa. Pemberian zat penghambat tumbuh (retardan) pada konsentrasi 10 M meningkatkan pembentukan dan bobot basah bulblet. Kualitas cahaya meningkatkan persentase terbentuknya bulblet, ukuran, persentase dan bobot bulblet pada kultur yang mendapatkan penyinaran cahaya fluoresen dan

incandescent dibandingkan hanya cahaya fluoresen.

Tunas mikro bawang merah yang ditanam pada media dengan sukrosa 90 g L-1 (Fardani 2005) tidak mampu membentuk umbi lapis mikro. Tidak terbentuknya umbi lapis mikro kemungkinan karena pada media ditambahkan sitokinin dan pengumbian dilakukan pada kondisi tanpa cahaya. Pemberian SADH sampai konsentrasi 90 mg L-1 (Rahmawati 2007) dan CCC sampai konsentrasi 100 mg L-1 (Purnawati 2008) dengan sukrosa 120 g L-1 tidak menginduksi umbi lapis mikro bawang merah. Umbi lapis mikro bawang merah terbentuk pada media tanpa SADH dengan sukrosa 120 g L-1 (Rahmawati 2007; Purnawati 2008).

Aklimatisasi

Aklimatisasi adalah proses suatu organisme untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang berbeda dari tempat sebelumnya. Tanaman in vitro bersifat heterotrof hidup pada kondisi kelembaban tinggi, cahaya dengan intensitas rendah dan suhu rendah. Pada saat diaklimatisasi planlet akan diadaptasikan sehingga secara perlahan tanaman akan bersifat autotrof. Pengaturan lingkungan mikro terutama suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya pada saat aklimatisasi mutlak diperhatikan untuk keberhasilan aklimatisasi. Pengaturan kelembaban pada saat aklimatisasi akan membantu proses adaptasi selama di pembibitan. Menurut Hazarika (2003) untuk mendukung proses aklimatisasi dapat didekati dengan upaya peningkatan intensitas cahaya sebelum planlet dikeluarkan dari botol, pemberian gula pada media tumbuh tidak kurang dari 3%, pemberian retardan pada planlet dan pemberian antitranspiran.

Ketika planlet in vitro dikeluarkan dari botol kultur, tanaman membutuhkan media baru yang mendukung pertumbuhannya. Media tumbuh tersebut memerlukan persyaratan khusus mengingat akar planlet yang terbentuk

(13)

sangat rapuh dan memerlukan penyokong yang baik sehingga planlet tidak stres dan persentase pertumbuhan tinggi. Media tumbuh yang baik mempunyai struktur yang gembur atau porous dan terjaga aerasi dan drainasenya, ringan, tidak mengandung patogen, mampu menyerap air dengan baik sekaligus mempertahankan kelembaban media dengan pH netral. Menurut Argo (1997) untuk pertumbuhan akar dan tunas yang baik, media perakaran harus menunjang 4 fungsi yaitu 1) untuk menyediakan air, 2) untuk menyuplai hara, 3) mendukung pertukaran gas ke dan dari akar, dan 4) untuk menyokong tubuh tanaman. Aklimatisasi planlet bawang putih berhasil dilakukan dengan persentase hidup 85% baik itu pada media tanah, vermikulit dan rockwool (Philips & Luteyn 1989). Planlet bawang merah yang dihasilkan Nur (2005) tidak berhasil diaklimatisasi pada media kompos, arang sekam, cocopeat dan kombinasinya. Media tumbuh yang tersedia di pasar dan dapat dipergunakan pada aklimatisasi planlet (tunas dan bulblet) bawang merah adalah kompos, cascing, arang sekam, serbuk sabut kelapa (coco peat), rockwool, green leaf.

Pertumbuhan dan perkembangan planlet selama periode aklimatisasi selain membutuhkan media tumbuh yang sesuai juga memerlukan hara yang mencukupi. Hara tersebut diperlukan untuk menjalankan proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Adaptasi juga dilakukan terhadap faktor hara karena planlet akan menjadi autotrof sehingga tanaman akan melakukan proses penyerapan unsur hara dan berfotosintesis penuh. Unsur hara yang diberikan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang optimum pada fase bibit berbeda untuk setiap tanaman. Hara yang sebaiknya diberikan pada pembibitan bawang bombay adalah pupuk NPK dengan komposisi 20N-8.6P-16.6K.

Penanaman planlet pada masa aklimatisasi dapat dilakukan dengan sistem

plug tray. Sistem ini memudahkan penanganan pertumbuhan dan perkembangan

bibit untuk produksi masal sehingga efisien. Ukuran plug tray bervariasi berkaitan dengan kepadatan bibit yang ditanam serta volume setiap container. Menurut NeSmith dan Duval (1997) ukuran plug tray berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit. Hasil penelitian Kemery dan Dana (2001) menunjukkan ukuran sel plug tray yang besar akan menghasilkan bobot kering tajuk yang tinggi. Perlu dipertimbangkan waktu yang dibutuhkan selama fase

(14)

pembibitan dalam plug tray untuk meningkatkan efisiensi selama pembibitan. Menurut penelitian Mondal et al. (1986) kepadatan bibit menurunkan ukuran umbi lapis bawang bombay. Hasil penelitian Chen et al. (2002) menunjukkan bentuk container yang besar pada plug tray meningkatakan pertumbuhan dan perkembangan bibit kubis Cina.

Gambar

Gambar 3. Skema induksi umbi lapis bawang (diterjemahkan dari Brewster 2002)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data menunjukan bahwa: (1) Latihan dribbling zigzag berpengaruh terhadap keterampilan dribbling pemain sepak bola Bintang Selatan Kabupaten Pesisir Selatan

Dalam pemikiran Abdul Munir Mulkhan pergeseran atau dinamika politik santri akan sangat ditentukan oleh dua hal yakni bahasan tentang teologi politik santri dan

Dalam analisa tersebut terdapat beberapa metode untuk menentukan pola rute yang optimal untuk pergerakan logistik yang melewati jalur laut wilayah Indonesia Dari

Untuk mengetahui apakah varibel bebas travel motivation dan electronic word of mouth secara simultan atau bersama – sama memiliki pengaruh yang signifikan

Dengan pelayanan yang baik, diharapkan nasabah akan merasa dihargai dan tidak merasa diabaikan haknya dan akhirnya nasabah sebagai pengguna atau pelanggan dari

Berdasarkan Gambar 7 dan hasil uji t antara variabel kadar sulfur dengan nilai daktilitas aspal di atas diperkirakan bahwa penambahan kadar sulfur dari 0% sampai sekitar 4%

sheep marketing in Gombe metropolis; Meat consumption still remains the major source of proteins; as shown by positive market margins; heavy and sustained investment

Ocean Modeling/w aktu penjalaran gelombang tsunami sampai ke Pulau Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan yang mendekati hasil survei adalah model 1 (ISOLA)