• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep dan Definisi 2.1.1 Kemiskinan 1) Kemiskinan relatif

Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita” (BPS RI, 2008).

Ketika negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi. Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

(2)

2) Kemiskinan absolut

Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS RI, 2008).

Garis kemiskinan absolut “tetap (tidak berubah)” dalam hal standar hidup, garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. Garis kemiskinan Amerika Serikat tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkin terbanding dengan angka kemiskinan satu dekade yang lalu, dengan catatan bahwa definisi kemiskinan tidak berubah.

Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu negara dengan negara lain hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara tersebut. Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolut agar dapat membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan sumber daya finansial (dana) yang ada, juga dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan.

(3)

Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: a) US$1 perkapita per hari dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut; b) US$2 perkapita per hari dimana lebih dari 2,8 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US$ PPP (Purchasing Power Parity/Paritas Daya Beli). Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut (Todaro dan Smith, 2006). Angka Paritas Daya Beli menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli seharga US$1 di Amerika. Berdasarkan hasil survei tahun 2005 oleh Bank Dunia diperoleh konversi bahwa pada tahun 2012 angka US$1 PPP ekuivalen dengan Rp.5.704,67,- di Indonesia.

2.1.2 Ketenagakerjaan

Konsep dan definisi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep ketenagakerjaan yang direkomendasikan oleh The International Labour Organization (ILO). Konsep ini membagi penduduk menjadi dua kelompok, yaitu penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja. Kelompok penduduk usia kerja dibedakan lagi menjadi dua kelompok berdasarkan kegiatan utama yang sedang dilakukannya, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Pendekatan ketenagakerjaan tersebut menggunakan konsep Diagram Ketenagakerjaan seperti yang terlihat dalam Gambar 2.1.

Definisi penduduk usia kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas. Menurut kegiatannya penduduk usia kerja tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja dan penduduk

(4)

bukan angkatan kerja. Penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang selama seminggu yang lalu mempunyai pekerjaan, baik yang sedang bekerja maupun yang sementara tidak bekerja karena suatu hal seperti sakit atau sedang cuti, dan penduduk yang mempunyai pekerjaan atau mengharapkan dapat pekerjaan, sedangkan penduduk bukan angkatan kerja adalah penduduk yang selama seminggu yang lalu hanya bersekolah, mengurus rumahtangga, atau kegiatan lainnya dan tidak melakukan suatu kegiatan yang dapat dimasukkan dalam kategori bekerja, sementara tidak bekerja, atau sedang mencari pekerjaan.

Gambar 2.1 Diagram Ketenagakerjaan

Sumber: BPS RI, 2013

Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan dan dilakukan paling

Usia Kerja ≥ 15 tahun tahun) Bukan Usia Kerja PENDUDUK Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja Lainnya Mengurus Rumahtangga Sekolah Pengangguran Bekerja Sementara Tidak Bekerja Sedang Bekerja

(5)

sedikit satu jam secara berturut-turut dan tidak terputus dalam seminggu terakhir. Penghasilan atau keuntungan mencakup upah/gaji termasuk semua tunjangan/bonus bagi pekerja/karyawan/pegawai dan hasil usaha berupa sewa atau keuntungan. Kegiatan bekerja tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tidak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi.

Pekerja yang dikategorikan mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja adalah seseorang yang mempunyai pekerjaan/usaha tetapi selama seminggu yang lalu tidak bekerja karena suatu sebab seperti sakit, cuti, menunggu panen, tugas belajar, atau mogok kerja. Pekerjaan bukan profesional, seperti pekerja serabutan/bebas, tukang cangkul keliling, buruh tani, dan buruh lepas lainnya serta pekerja keluarga yang sementara tidak ada pekerjaan atau tidak melakukan kegiatan “bekerja” selama seminggu yang lalu tidak dikategorikan sebagai sementara tidak bekerja.

Kelompok penduduk yang bekerja dan mencari pekerjaan digolongkan sebagai penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi. Kemudian penduduk yang sedang sekolah, mengurus rumahtangga, atau kegiatan lainnya digolongkan sebagai penduduk usia kerja yang tidak aktif secara ekonomi. Gambaran penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi dapat dilihat pada indikator tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK).

2.2 Kajian Teori

2.2.1 Teori Kemiskinan Todaro dan Smith

Cakupan kemiskinan absolut menurut Todaro dan Smith (2006) adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup

(6)

untuk memenuhi kebutuhan dasar. Penduduk miskin hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau di bawah “garis kemiskinan internasional”. Garis tersebut tidak mengenal tapal batas antarnegara, tidak tergantung pada tingkat pendapatan per kapita di suatu negara, dan juga memperhitungkan perbedaan tingkat harga antarnegara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang hidup kurang dari US$1 atau US$2 per hari dalam dolar PPP.

Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau “hitungan per kepala (headcount)”, H, untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di bawah garis kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut

dianggap sebagai bagian dari populasi total, N, maka diperoleh indeks per kepala (headcount index), H/N. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga dapat ditelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu.

Salah satu strategi praktis untuk menentukan garis kemiskinan lokal adalah dengan menetapkan sekelompok makanan yang cukup, yang didasarkan atas persyaratan nutrisi dari penelitian medis tentang kalori, protein, dan mikronutrien yang dibutuhkan tubuh. Kemudian, dengan menggunakan data survei rumahtangga lokal, maka dapat diidentifikasi sekelompok makanan yang biasa dibeli oleh rumahtangga yang hampir memenuhi persyaratan nutrisi ini. Kemudian ditambahkan pengeluaran-pengeluaran untuk kebutuhan dasar lain, seperti pakaian, tempat tinggal, dan sarana kesehatan, untuk menentukan garis kemiskinan lokal. Tergantung pada bagaimana kalkulasi ini dilakukan, garis kemiskinan yang dihasilkan mungkin melebihi US$1 per hari dalam dolar PPP.

(7)

Menurut Todaro dan Smith (2006), perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang sangat tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah. Pada tingkat distribusi pendapatan tertentu, semakin tinggi pendapatan per kapita yang ada, akan semakin rendah jumlah kemiskinan absolut. Akan tetapi, tingginya tingkat pendapatan per kapita tidak menjamin lebih rendahnya tingkat kemiskinan absolut.

Sebelum merumuskan program dan kebijakan-kebijakan yang efektif untuk memerangi sumber-sumber kemiskinan, diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai siapa yang termasuk dalam kelompok miskin dan apa saja karakteristik ekonomi kelompok miskin tersebut. Beberapa karakteristik ekonomi kelompok masyarakat miskin yang digambarkan oleh Todaro dan Smith (2006) adalah sebagai berikut.

1) Kemiskinan di Pedesaan

Salah satu generalisasi yang terbilang paling valid mengenai penduduk miskin adalah pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah pedesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang-bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional (biasanya dilakukan secara bersama-sama), kebanyakan perempuan dan anak-anak daripada laki-laki dewasa, dan sering terkonsentrasi di antara kelompok etnis minoritas dan penduduk pribumi.

Sekitar dua pertiga penduduk miskin di negara-negara berkembang masih menggantungkan hidup pada pola pertanian yang subsisten, baik sebagai petani kecil atau buruh tani yang berpenghasilan rendah. Selanjutnya, sepertiga penduduk

(8)

miskin lainnya kebanyakan juga tinggal di pedesaan dan hanya mengandalkan hidupnya dari usaha jasa kecil-kecilan, dan sebagian lagi tinggal di daerah-daerah sekitar atau pinggiran kota atau kampung-kampung kumuh di pusat kota dengan berbagai macam mata pencaharian seperti pedagang asongan, pedagang kaki lima, kuli kasar, atau berdagang kecil-kecilan. Karena sebagian besar penduduk miskin tinggal di daerah pedesaan, maka setiap kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan seharusnya sebagian besar ditujukan ke program-program pembangunan pedesaan pada umumnya dan melalui pembenahan sektor-sektor pertanian pada khususnya.

2) Kaum Perempuan dan Kemiskinan

Mayoritas penduduk miskin di dunia adalah kaum perempuan. Jika dibandingkan standar hidup penduduk termiskin di berbagai negara-negara berkembang, akan terungkap fakta bahwa hampir di semua tempat, yang paling menderita adalah kaum perempuan beserta anak-anak. Banyaknya perempuan yang menjadi kepala rumahtangga, rendahnya kesempatan dan kapasitas perempuan dalam memiliki pendapatan sendiri, serta terbatasnya kontrol perempuan terhadap penghasilan suami, merupakan sebab-sebab pokok atas terjadinya fenomena yang sangat memprihatinkan tersebut. Selain itu, akses kaum perempuan ternyata juga sangat terbatas untuk memperoleh kesempatan menikmati pendidikan, pekerjaan yang layak di sektor formal, berbagai tunjangan sosial, dan program-program penciptaan lapangan kerja yang dilancarkan oleh pemerintah. Kenyataan ini turut mempersempit sumber-sumber keuangan bagi perempuan, sehingga posisi perempuan secara finansial kurang stabil apabila dibandingkan dengan laki-laki.

(9)

Sebagian dari disparitas atau kesenjangan pendapatan antara keluarga-keluarga yang dikepalai oleh laki-laki dan perempuan bersumber dari adanya perbedaan pendapatan yang sangat besar antara laki-laki dan perempuan. Selain upah buruh perempuan biasanya lebih rendah (meskipun beban kerjanya sama), perempuan juga sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang berupah tinggi. Di daerah perkotaan-perkotaan sekalipun, kaum perempuan lebih sulit mendapatkan pekerjaan formal di perusahaan-perusahaan swasta maupun di lembaga-lembaga pemerintahan. Akibatnya, perempuan terpaksa terkungkung dalam bidang-bidang kerja yang berpenghasilan atau yang berproduktivitas rendah. Di pedesaan, situasinya sama sekali tidak lebih baik; kaum perempuan juga sulit mendapatkan pekerjaan yang memberinya sejumlah penghasilan secara tetap.

Tingkat pendapatan rumahtangga (household income) merupakan indikator yang tidak bisa diandalkan untuk mengukur tinggi atau rendahnya kesejahteraan seseorang karena distribusi pendapatan di dalam keluarga tersebut juga berbeda-beda. Lebih dari itu, sesungguhnya status ekonomi dari kaum perempuan di kalangan miskin tersebut merupakan sebuah indikator yang lebih baik, karena lebih mampu mencerminkan sejauh mana tingkat kesejahteraan yang ada pada diri kaum perempuan dan anak-anak. Berbagai penelitian tentang alokasi sumber daya dalam setiap rumahtangga menunjukkan secara jelas bahwa di banyak kawasan di dunia, kecukupan gizi, pelayanan kesehatan, taraf pendidikan, dan warisan yang diterima oleh perempuan lebih rendah daripada yang dinikmati oleh kaum laki-laki.

Bias-bias internal atau ketimpangan distribusi pendapatan dalam masing-masing rumahtangga ini banyak dipengaruhi oleh status ekonomi kaum perempuan.

(10)

Berbagai penelitian mendapati bahwa seandainya sumbangan finansial perempuan di suatu keluarga meningkat atau relatif lebih tinggi, maka diskriminasi yang berlangsung terhadap anak-anak perempuan akan lebih rendah, dan kaum perempuan pun lebih mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri dan juga kebutuhan anak-anaknya. Jika pendapatan di keluarga tersebut sangat rendah, maka boleh dikatakan seluruh hasil kerja atau pendapatan sang ibu akan dihabiskan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kecukupan gizi yang dibutuhkan. Akan tetapi, apabila yang bertambah adalah penghasilan sang bapak atau suami, maka bagian penghasilan keluarga yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarga tidak akan bertambah terlalu banyak.

Kontrol kaum perempuan terhadap penghasilan atau sumber daya keluarga juga relatif masih sangat terbatas karena sejumlah alasan. Alasan yang paling utama adalah kenyataan bahwa sebagian besar pekerjaan yang dilakukan oleh kaum perempuan tidak memberikan imbalan uang, misalnya mencari kayu bakar di hutan dan memasak, dan bahkan kadang pekerjaan tersebut tidak berwujud, seperti kegiatan mengasuh anak. Selain itu, apabila seorang perempuan bekerja di ladang atau melakukan kegiatan usaha milik keluarga, perempuan tidak mendapatkan upah. Ini belum termasuk kaum perempuan yang bekerja paruh waktu dalam kegiatan-kegiatan usaha keluarga.

Kaum lelaki yang menjadi kepala keluarga praktis mengendalikan seluruh hasil panen, termasuk uang hasil penjualannya, meskipun sebenarnya panen itu tercipta antara lain berkat kerja keras istrinya. Dalam banyak budaya, partisipasi kaum perempuan secara signifikan dalam penghasilan rumahtangga kurang bisa

(11)

diterima secara sosial, dan karenanya hasil karya kaum perempuan tetap tidak nampak atau kurang diperhatikan. Hal ini merupakan faktor-faktor yang mengakibatkan terus bertahannya status ekonomi perempuan yang rendah, yang selanjutnya semakin membatasi kontrol perempuan terhadap tingkat penghasilan atau sumber-sumber daya ekonomi keluarga.

Kebijakan-kebijakan pembangunan yang diberlakukan di negara-negara berkembang acap kali juga turut memperlebar jurang kesenjangan produktivitas antara kaum laki-laki dan perempuan, dan dengan sendirinya akan memperburuk ketimpangan pendapatan antara keduanya, sekaligus memperparah status ekonomi kaum perempuan di dalam rumahtangganya. Mengingat program-program pengentasan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah selama ini lebih tertuju kepada kaum laki-laki saja, maka berbagai bentuk ketimpangan yang diderita oleh kaum perempuan cenderung semakin parah.

Di daerah perkotaan, program pelatihan yang diadakan untuk meningkatkan potensi warga dalam memperoleh penghasilan dan kesempatan kerja di sektor formal juga lebih banyak ditujukan untuk kaum laki-laki. Sementara itu, program-program ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian juga lebih terarah kepada jenis-jenis tanaman yang biasa ditangani oleh kaum laki-laki saja. Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa upaya-upaya pembangunan seperti itu bukan hanya akan meningkatkan beban kerja kaum perempuan, tetapi juga mengurangi sumber-sumber daya rumahtangga yang ada di bawah kontrol perempuan. Sebagai konsekuensinya, posisi ekonomi dari kaum perempuan dan anak-anak yang menjadi tanggungannya menjadi semakin rentan.

(12)

Kenyataan bahwa kesejahteraan perempuan dan anak-anak sangat dipengaruhi oleh rancangan kebijakan ekonomi pemerintah yang menggarisbawahi pentingnya memasukkan kaum perempuan ke dalam berbagai program pembangunan. Guna memperbaiki taraf hidup penduduk termiskin, peran ekonomi kaum perempuan harus diperhitungkan. Bertolak dari hal tersebut, maka peningkatan kesejahteraan keluarga hanya bisa diharapkan setelah adanya program-program pembangunan yang secara nyata akan mampu meningkatkan partisipasi kaum perempuan dalam pendidikan dan pelatihan, penciptaan lapangan kerja di sektor formal, serta dalam pengembangan pertanian. Pemerintah juga dituntut untuk membuka akses yang sama besar kepada kaum perempuan dalam program-program pendidikan, bidang pelayanan sosial, penyediaan kesempatan kerja, dan kesejahteraan sosial. Sektor-sektor lapangan kerja informal, dimana kaum perempuan banyak berkiprah, juga perlu dilegalisasikan agar status ekonomi kaum perempuan benar-benar terangkat.

Konsekuensi atas rendahnya status ekonomi kaum perempuan, baik secara relatif maupun absolut, mengandung berbagai implikasi etis dan ekonomi berjangka panjang. Setiap proses pertumbuhan ekonomi yang gagal memperbaiki kondisi kesejahteraan perempuan dan anak-anak, berarti telah gagal pula mencapai salah satu dari tujuan-tujuan utama pembangunan. Dalam jangka panjang, rendahnya status ekonomi kaum perempuan tersebut pada gilirannya akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Kaitan ini tidaklah mengherankan, jika diingat bahwasanya kondisi kesejahteraan dan tingkat pendidikan anak-anak sangat

(13)

dipengaruhi oleh tingkat pendidikan serta kondisi kesejahteraan sang ibu, bukannya sang ayah.

Investasi sumber daya manusia hanya akan berhasil diteruskan ke generasi mendatang jika menyertakan upaya-upaya perbaikan status dan kesejahteraan kaum perempuan ke dalam proses pertumbuhan. Karena sumber daya manusia itu sendiri mungkin merupakan syarat terpenting bagi terciptanya proses pertumbuhan yang berkesinambungan, maka pendidikan dan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan serta status ekonomi kaum perempuan jelas merupakan suatu faktor yang sangat penting demi tercapainya berbagai tujuan pembangunan jangka panjang.

3) Etnik Minoritas, Penduduk Pribumi, dan Kemiskinan

Generalisasi terakhir dari situasi kemiskinan di negara-negara berkembang adalah bahwa kemiskinan banyak diderita oleh etnik minoritas dan penduduk pribumi. Sekitar 40 persen dari seluruh negara-negara di dunia ini memiliki lebih dari lima etnik, salah satu diantaranya sering kali mengalami berbagai bentuk diskriminasi sosial, politik, maupun ekonomi yang serius. Dalam beberapa tahun terakhir ini, konflik-konflik domestik dan bahkan perang saudara bersumber dari persepsi memperebutkan sumber daya dan lapangan kerja yang terbatas.

Meskipun data rinci mengenai kemiskinan relatif yang diderita oleh etnik minoritas dan penduduk pribumi sulit diperoleh (karena pertimbangan-pertimbangan politik, hanya sedikit sekali negara yang bersedia mengangkat masalah ini), para peneliti kini mulai berhasil mengumpulkan data-data tentang penduduk pribumi di Amerika Latin. Hasilnya secara jelas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk pribumi itu sangat miskin dan mengalami malnutrisi, buta

(14)

huruf, hidup dalam lingkungan kesehatan yang buruk, serta menganggur. Sebagai contoh, para peneliti menemukan bahwa di Meksiko, lebih dari 80 persen penduduk pribuminya adalah kaum miskin, padahal hanya 18 persen dari penduduk nonpribumi di negara itu yang masih bergulat dengan kemiskinan.

2.2.2 Perempuan dan Kemiskinan

Tiga pendekatan kemiskinan dapat digunakan untuk menjelaskan penyebab kemiskinan di kalangan perempuan. Ketiga pendekatan tersebut adalah pendekatan kultural, struktural, dan alamiah. Secara kultural, sebagian masyarakat Indonesia masih dipengaruhi secara kuat oleh budaya tradisional yang berideologi patriarki. Ketimpangan struktural berupa keterbatasan kaum perempuan untuk memperoleh akses ekonomi (misalnya bekerja untuk memperoleh penghasilan, bukan sekedar menjalankan peran sebagai ibu rumahtangga), berorganisasi, dan sebagainya masih berlaku. Kemiskinan struktural berakses pada timbulnya kemiskinan kultural, dalam bentuk rendahnya pendidikan dan keterampilan sebagian besar perempuan, terutama di perdesaan. Kemiskinan alamiah menjelaskan adanya sebagian kaum perempuan yang bersikap pasrah terhadap posisi dirinya dalam kehidupan rumahtangga dan masyarakat, karena kaum perempuan menganggap demikianlah kodrat sebagai seorang perempuan. Fenomena kemiskinan alamiah ini tidak hanya dijumpai pada masyarakat perdesaan, melainkan juga di perkotaan (Susiana, 2009). Cahyono dalam Susiana (2009) menyatakan bahwa kemiskinan perempuan juga dapat ditelaah melalui dua hal. Pertama, perspektif ekonomi. Kemiskinan dan pemiskinan perempuan secara jelas terlihat dari sektor ekonomi. Perempuan yang hidup dalam kemiskinan selalu kesulitan untuk mendapatkan akses sumber daya

(15)

ekonomi. Untuk bekerja kaum perempuan tidak diakui dan dihargai. Dalam bekerja pun, perempuan mendapat upah jauh lebih rendah dari apa yang diperoleh laki-laki. Seorang perempuan yang turut mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, atau yang menjadi kepala keluarga dari kelompok miskin, lebih miskin dibandingkan laki-laki dari kategori sama. Secara adil harus diakui perempuan dari berbagai belahan dunia memiliki jam kerja sekitar 30-50 persen lebih panjang daripada laki-laki untuk pekerjaan yang dibayar maupun tidak dibayar, dibandingkan dengan laki-laki pada usia yang sama.

Kedua, perspektif politik. Dalam dimensi ini, perempuan tidak terwakili secara proporsional di antara kelompok miskin dan tidak memiliki kekuasaan. Kemiskinan perempuan ini antara lain kerentanan hidup (vulnerability), kesempatan dan suara (voicelessness and powerlessness), serta didukung pemerintah yang sangat bias gender (male-biased governance systems). Dimensi kemiskinan gender, yaitu bias gender, mudah ditemui dalam kebijakan struktural, perbedaan efek kebijakan, dan dana yang tidak memadai untuk mendukung kebijakan yang memihak kaum perempuan.

Menurut Hastuti (2007), dalam rumahtangga miskin dengan suami yang dikontruksi sebagai kepala rumahtangga dan pencari nafkah utama, perempuan akan berusaha mengalah karena ketergantungan secara ekonomi perempuan terhadap suami. Terhadap anak-anak, perempuan akan cenderung mengalah karena besar harapan perempuan untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Perempuan yang harus hidup dalam kemiskinan akan berupaya sekuat tenaga agar seluruh anggota rumahtangganya tidak merasakan dampaknya. Usaha yang

(16)

dilakukan perempuan antara lain dengan bekerja meskipun dengan upah yang rendah bahkan cenderung bekerja tidak berupah.

Menurut Antari (2008), perempuan memiliki potensi besar dalam berkontribusi pada pendapatan keluarga. Hal ini karena perempuan juga mempunyai kemampuan untuk bekerja di sektor publik. Selain fleksibilitas dan kemampuan perempuan dalam beradaptasi saat krisis ekonomi, perempuan lebih mempunyai inisiatif untuk menggantikan suaminya dalam mencari penghasilan yang menghadapi pemutusan hubungan kerja. Oleh karena itu, salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kemiskinan adalah meningkatkan pendapatan dengan melibatkan potensi yang ada pada perempuan dalam aktivitas ekonomi.

Secara kualitatif perempuan perdesaan telah melakukan banyak pekerjaan di sektor domestik maupun publik, tetapi perempuan masih terpinggirkan akibat kebijakan bias gender. Keterbatasan modal yang dimiliki perempuan, keterbatasan pendidikan, serta keterampilan memaksa perempuan harus bekerja dengan upah sangat rendah. Perempuan semakin kesulitan untuk meningkatkan sumber daya perempuan karena beban kerja yang harus ditanggung lebih berat, yaitu menyelesaikan tugas utama di rumahtangga, membantu mencari nafkah, dan melakukan kegiatan yang kurang memiliki nilai ekonomi (Hastuti, 2007).

2.2.3 Pendapatan dan Kemiskinan

Menurut Mahanani (2003), dalam konteks pemenuhan kebutuhan ekonomi pada dasarnya peran ganda perempuan bukanlah suatu hal baru, khususnya perempuan yang hidup di daerah perdesaan yang miskin. Bagi perempuan yang

(17)

hidup dalam keluarga miskin, peran ganda ini memang telah ditanamkan sejak dini, yang membuat perempuan harus terlibat dalam kewajiban kerja untuk menambah pendapatan keluarga.

Tingginya jumlah pekerja yang bekerja di sektor kurang produktif berakibat pada rendahnya pendapatan sehingga tergolong miskin atau tergolong pada pekerja dengan pendapatan yang rentan menjadi miskin (Kemenkokesra, 2005). Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarganya, perempuan merupakan salah satu tulang punggung ekonomi yang turut menentukan tingkat pendapatan rumahtangga, mengingat keterbatasan kemampuan kepala keluarga (suami) dalam memperoleh pendapatan untuk membiayai hidup dan biaya pendidikan anak-anaknya.

Dalam situasi dimana tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja lebih rendah daripada laki-laki, menghapuskan hambatan bagi perempuan untuk memasuki bursa kerja dan menciptakan peluang yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk berpartisipasi dapat menjadi cara yang efektif dalam menurunkan kemiskinan. Dengan dua orang pencari nafkah daripada hanya satu orang dalam satu rumahtangga, penghasilan yang diperlukan dari tiap anggota rumahtangga yang bekerja untuk mengangkat rumahtangga tersebut keluar dari kemiskinan menjadi jauh lebih rendah (Kantor Perburuhan Internasional, 2010).

2.2.4 Jam Kerja dan Kemiskinan

Jumlah jam kerja memberi dampak pada kesehatan dan kesejahteraan pekerja dan juga terhadap tingkat produktivitas dan biaya tenaga kerja (labour cost). Mengukur tingkat dan perkembangan jumlah jam kerja secara berkelompok maupun individual merupakan hal penting untuk memantau kondisi

(18)

pekerjaan/kehidupan pekerja dan untuk menganalisis perkembangan ekonomi suatu negara atau wilayah (BPS RI, 2007).

Menurut Noerdin (2006), alokasi waktu atau jam kerja perempuan lebih panjang dibandingkan laki-laki, tetapi secara ekonomi penghasilan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Hal ini terjadi karena perempuan bertanggungjawab atas pekerjaan produktif, reproduktif, dan fungsi-fungsi sosial di komunitas. Dalam bidang ekonomi, pekerjaan produktif yang dikerjakan oleh laki-laki dianggap sebagai “pekerjaan” karena dibayar dan menghasilkan materi (uang) dan memiliki jam kerja yang jelas. Sementara itu, pekerjaan domestik yang dilakukan oleh perempuan tidak dikatakan sebagai pekerjaan karena tidak dibayar dan tidak menghasilkan materi, serta memiliki jam kerja yang tidak terbatas karena dikerjakan sepanjang waktu.

2.2.5 Lapangan Pekerjaan dan Kemiskinan

Salah satu karakteristik ketenagakerjaan yang dapat menggambarkan adanya perbedaan antara rumahtangga miskin dan tidak miskin adalah lapangan usaha atau sektor yang menjadi sumber penghasilan utama rumahtangga. Sumber penghasilan utama rumahtangga menjadi salah satu indikator tingkat kesejahteraan yang diharapkan dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumahtangga. Profil orang miskin seringkali melekat pada orang yang bekerja di sektor pertanian, seperti petani gurem, nelayan, buruh tani dan perkebunan, serta pencari kayu dan madu di hutan (BPS RI, 2008).

Perempuan yang bekerja di perusahaan pertanian biasanya terikat dengan upah yang sangat rendah. Dalam rangka meningkatkan pendapatan dan partisipasi

(19)

perempuan dalam sektor pertanian, strategi pekerjaan dan investasi perdesaan harus ditujukan pada perempuan dan memberikan perhatian yang lebih besar pada perusahaan, termasuk dampak dari strategi pekerjaan dan investasi baru tersebut terhadap peran dan status perempuan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Suda, 2002).

2.2.6 Status Pekerjaan dan Kemiskinan

Status pekerjaan juga dapat menjadi salah satu indikator yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga. Ada indikasi kuat bahwa pekerja yang berstatus sebagai pengusaha akan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan pekerja yang hanya berstatus sebagai buruh/karyawan/ pegawai (BPS RI, 2008). Banyaknya perempuan yang bekerja di sektor informal menjelaskan berbagai hal, seperti ketidakmampuan sektor formal untuk memperluas lapangan pekerjaan dan menyerap angkatan kerja yang terus meningkat, penggunaan teknologi yang sederhana, ketidakcukupan pendidikan dan keahlian perempuan, mudah untuk keluar masuk pasar, modal yang rendah, dan relatif sesuai dengan sektor informal dan pekerjaan rumahtangga (Suda, 2002).

Buvinic (1997) menyatakan mayoritas perempuan menerima upah yang rendah dalam bekerja karena adanya diskriminasi antara upah dan pekerjaan. Contohnya di Honduras, pengusaha kopi dan tembakau lebih memilih mempekerjakan perempuan sebagai buruh karena perempuan bersedia menerima upah yang rendah. Terutama di negara miskin, pekerja perempuan merupakan pekerja yang paling dicari untuk posisi dengan upah rendah, sektor pertanian,

(20)

industri skala mikro, pabrik tidak berbadan hukum, dan industri agrobisnis yang membayar pekerja secara musiman atau paruh waktu.

2.2.7 Daerah Tempat Tinggal dan Kemiskinan

Berdasarkan daerah tempat tinggal penduduk miskin, maka kemiskinan dibagi menjadi kemiskinan perdesaan (rural poverty) dan kemiskinan perkotaan (urban poverty). Jika kemiskinan perdesaan cenderung merupakan kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural, maka kemiskinan perkotaan dapat didefinisikan sebagai kemiskinan yang diakibatkan oleh berbagai dimensi (multi dimensi). Kemiskinan kota mempunyai warna tersendiri bila dibandingkan dengan kemiskinan desa, karena kompleksitas kemiskinan kota yang terdapat pada individu atau kelompok masyarakat miskin di kota lebih tinggi dibandingkan dengan kemiskinan desa (BPS RI, 2007).

Malik dkk (2012) menyatakan bahwa kemiskinan perdesaan tidak selalu dapat dipahami karena masyarakat miskin di kota lebih terlihat daripada masyarakat miskin di desa. Di perdesaaan, kemiskinan sering dikatakan sebagai aspek multidimensional dari segi ekonomi, sosial, dan demografi. Kemiskinan di daerah perdesaan secara substansial cenderung lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Banyak daerah di Pakistan yang dapat dijadikan tempat penelitian untuk merancang dan mengimplementasikan kebijakan pro-poor dalam mengurangi kemiskinan.

Menurut Ogujiuba dkk (2011), generalisasi paling valid tentang masyarakat miskin adalah penduduk yang bertempat tinggal di perdesaan, dimana aktivitas utamanya di sektor pertanian, yang lebih banyak terdapat perempuan dan anak kecil dibandingkan laki-laki, serta sering terpusat pada etnis minoritas dan pribumi.

(21)

Sebagai contoh, hampir sekitar dua pertiga dari masyarakat miskin menggantungkan hidupnya pada pertanian subsisten yang berskala kecil atau sebagai pekerja dengan upah rendah.

2.2.8 Jumlah Anggota Rumahtangga dan Kemiskinan

Rumahtangga miskin cenderung mempunyai jumlah anggota rumahtangga yang lebih banyak dibandingkan rumahtangga tidak miskin, karena rumahtangga miskin cenderung mempunyai tingkat kelahiran yang tinggi. Tingkat kematian anak pada rumahtangga miskin juga relatif tinggi akibat kurangnya pendapatan dan akses kesehatan serta pemenuhan gizi anak. Dengan demikian jumlah anggota rumahtangga yang besar dapat menghambat peningkatan sumber daya manusia masa depan (BPS RI, 2008).

Rata-rata jumlah anggota rumahtangga miskin sekitar satu orang lebih banyak dibanding rumahtangga yang tidak miskin, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Hubungan jumlah anggota rumahtangga yang besar dengan kemiskinan bersifat saling memperkuat. Di satu sisi, rumahtangga miskin cenderung mempunyai anak lebih banyak. Hal itu tidak lepas dari anggapan bahwa anak adalah jaminan masa depan bagi si orang tua. Di sisi lain, rumahtangga dengan jumlah anak yang lebih banyak cenderung menjadi miskin karena untuk suatu tingkat pendapatan tertentu harus dipakai untuk menghidupi lebih banyak anggota rumahtangga (TNP2K, 2010).

2.2.9 Tingkat Pendidikan dan Kemiskinan

Hubungan antara kemiskinan dan pendidikan sangat penting, karena pendidikan sangat berperan dalam mempengaruhi angka kemiskinan. Orang yang

(22)

berpendidikan lebih baik akan mempunyai peluang yang lebih rendah menjadi miskin. Menurut Ustama (2009), dengan pendidikan yang baik setiap orang memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan, mempunyai pilihan untuk mendapat pekerjaan, dan menjadi lebih produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Dengan demikian pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan dan menghilangkan eksklusi sosial, untuk kemudian meningkatkan kualitas hidup dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Dengan membangun landasan pendidikan yang kokoh diharapkan dapat melahirkan SDM yang berkualitas, sehingga dapat membantu menyelesaikan permasalahan utama bangsa. Pendidikan dapat menjadi landasan kuat bagi dua pilar utama penanggulangan kemiskinan yaitu: 1) pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang berpihak pada kaum miskin, dan 2) pembangunan sosial yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi memerlukan dan harus ditopang dengan tenaga kerja terdidik, yang punya pengetahuan dan keterampilan, serta menguasai teknologi untuk meningkatkan produktivitas.

2.3 Keaslian Penelitian

Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang membahas mengenai kemiskinan perempuan dan peran perempuan bekerja dalam mengurangi kemiskinan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel ekonomi dan sosial demografi terhadap status ekonomi perempuan di Kabupaten Jembrana. Penelitian Usman dkk (2006) menghasilkan bahwa faktor determinan kemiskinan pada karakteristik rumahtangga dan individu relatif tidak berubah. Variabel yang dapat menambah kemiskinan adalah jumlah anggota

(23)

rumahtangga, kepala keluarga sebagai buruh tani dan kepala keluarga bekerja di bidang pertanian. Variabel yang dapat mengurangi kemiskinan adalah kepala rumahtangga yang bekerja, kepemilikan aset lahan pertanian, dan jumlah tahun bersekolah seluruh anggota keluarga.

Penelitian Arjani (2007) menyimpulkan bahwa sampai saat ini jumlah penduduk miskin yang ada di Bali masih cukup tinggi dan kondisi kemiskinan ini lebih banyak dialami dan dirasakan oleh kaum perempuan. Kemiskinan yang dialami oleh kaum perempuan tidak hanya kemiskinan ekonomis, tetapi juga kemiskinan multidimensional seperti keterbatasan akses terhadap pendidikan, politik, ekonomi, informasi, kesehatan, dan lain-lain. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan bersifat spesifik sehingga diperlukan penanganan yang khusus seperti halnya pendekatan penanggulangan kemiskinan yang berperspektif gender. Antari (2008) melakukan penelitian di Kota Denpasar dengan menggunakan teknik Analisis Regresi Berganda menghasilkan bahwa faktor umur, tingkat pendidikan, jam kerja, jumlah anggota rumahtangga, dan modal finansial secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan perempuan miskin. Jam kerja dan modal finansial memberikan dampak dan pengaruh yang positif terhadap pendapatan perempuan miskin, sedangkan umur, tingkat pendidikan, dan jumlah anggota rumahtangga tidak berpengaruh secara parsial terhadap pendapatan perempuan miskin. Sementara Astutie dkk (2008) melakukan penelitian di Kota Tegal dengan menggunakan Metode Wawancara Mendalam, menghasilkan bahwa peran wanita pesisir yang bekerja dalam mengatasi kemiskinan masyarakat jelas terlihat. Perempuan pesisir hampir seluruhnya bekerja untuk menambah

(24)

penghasilan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi rumahtangga. Dengan demikian maka perempuan pesisir yang bekerja secara langsung dapat mengurangi kemiskinan pada masyarakat pesisir, baik yang disebabkan oleh kemiskinan struktural maupun kemiskinan kultural.

Rahayu (2008) melakukan penelitian di Kabupaten Sleman dengan menggunakan Analisis Deskriptif, Analisis Regresi dan Korelasi, menghasilkan bahwa kontribusi pendapatan perempuan pekerja di sektor informal berperan besar dalam peningkatan pendapatan keluarga di Kabupaten Sleman. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan pendapatan perempuan pekerja di sektor informal sangat kecil dan tidak signifikan. Sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal dengan pendapatan per bulan di bawah Upah Minimum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemudian Hastuti dan Respati (2009) melakukan penelitian di Lereng Merapi Selatan dengan menggunakan Model Harvard, Model Moser, Model SWOT, Model GAP dan Model Proba, menyimpulkan bahwa perempuan miskin banyak melakukan kegiatan kerumahtanggaan dan non produktif. Dalam kemiskinan perempuan kurang mendapat prioritas dalam peningkatan sumber daya manusia sehingga semakin terperosok dalam ketidakberdayaan. Perempuan miskin memiliki pendidikan dan pendapatan yang relatif rendah, kurang dilibatkan dalam kegiatan produktif, memiliki akses dan kontrol yang rendah terhadap sumber daya untuk meningkatkan pendapatan. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain faktor ekonomi, kultural, sosial, dan geografi.

Penelitian Ustama (2009) menyimpulkan bahwa meskipun pemerataan dan perluasan akses pendidikan tidak berhubungan langsung dengan tingkat

(25)

kesejahteraan seseorang, namun pendidikan merupakan salah satu alat mobilitas vertikal terpenting. Pendidikan merupakan investasi dan kesempatan untuk berkompetisi dalam memperoleh penghidupan yang lebih baik di masa depan dan turut terlibat dalam proses pembangunan. Dengan pendidikan yang terprogram baik dan menjangkau semua elemen target MDGs maka pendidikan menjadi instrumen paling efektif untuk memotong mata rantai kemiskinan. Sementara itu penelitian Kamar (2010) menyimpulkan bahwa perubahan untuk memerdekakan perempuan tidak hanya dari satu sektor saja. Perubahan harus dilakukan dalam berbagai sektor, mulai dari pemberdayaan ekonomi perempuan, pendidikan perempuan, serta iklim dan tatanan sosial yang ramah terhadap perempuan. Pemberdayaan perempuan menjadi penting untuk menekan angka kemiskinan karena pemberdayaan merupakan proses yang pada saat bersamaan menjadi tujuan untuk membuka akses perempuan ke keadilan.

Javed dan Asif (2011) melakukan penelitian di Pakistan dengan menggunakan Analisis Regresi Logistik menghasilkan bahwa jumlah pendapatan, jumlah konsumsi, dan status kepala rumahtangga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Daerah tempat tinggal, tingkat pendidikan, dan jumlah pendapatan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan, sedangkan kepala rumahtangga perempuan dan jumlah anggota rumahtangga berpengaruh positif terhadap kemiskinan. Kemudian Budhi (2013) melakukan penelitian di Bali dengan menggunakan metode Fixed Effect Model (FEM) menghasilkan bahwa variabel jumlah penduduk, share pertanian dan share industri pengolahan berpengaruh positif terhadap jumlah penduduk miskin, sedangkan PDRB dan share industri

(26)

berpengaruh negatif. Dalam usaha menurunkan jumlah penduduk miskin, pemerintah harus memperluas kesempatan kerja, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dan membatasi kelahiran melalui penggalakan kembali program Keluarga Berencana.

Penelitian Sudibia dan Marhaeni (2013) di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali dengan menggunakan Analisis Deskriptif menyimpulkan bahwa strategi kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Karangasem adalah dengan menggunakan stategi kluster 1 dan strategi kluster 2. Strategi kluster 1 untuk keluarga yang benar-benar miskin, artinya pendapatannya sangat rendah dan dengan pendidikan yang rendah pula, maka keluarga seperti ini harus dibantu secara total untuk meningkatkan pendapatannya. Strategi kluster 2 untuk penduduk miskin yang sebelumnya sebagai pekerja diarahkan untuk menjadi pengusaha mandiri sehingga penghasilan dapat ditingkatkan.

Dari beberapa penelitian di atas, dapat diketahui bahwa perempuan yang bekerja memiliki peranan dalam peningkatan pendapatan keluarga dan dapat mengurangi kemiskinan dalam rumahtangga tersebut. Selain itu tingkat pendidikan perempuan juga sangat penting untuk mengatasi masalah kemiskinan. Pekerja perempuan yang bergerak di sektor informal dapat memberikan dampak yang cukup positif terhadap pendapatan keluarga. Jumlah anggota rumahtangga dan lapangan pekerjaan di bidang pertanian merupakan variabel yang dapat menambah kemiskinan.

Persamaan penelitian ini dengan beberapa penelitian di atas adalah penelitian ini menggunakan teknik Analisis Regresi Logistik karena variabel tidak

(27)

bebas yang digunakan memiliki skala nominal dengan dua kategori (miskin dan tidak miskin). Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel yang diambil dari beberapa penelitian sebelumnya, seperti daerah tempat tinggal, jumlah anggota rumahtangga, tingkat pendidikan, pendapatan, jam kerja, lapangan pekerjaan, dan status pekerjaan. Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya adalah ukuran sampel, sumber data, lokasi penelitian, dan variabel bebas yang digunakan secara simultan. Dari beberapa persamaan dan perbedaan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan belum pernah dilakukan sebelumnya.

Gambar

Gambar 2.1   Diagram Ketenagakerjaan

Referensi

Dokumen terkait

Judul yang dipilih dalam penganalisaan ini adalah “ Analisis Perhitungan Struktur Atas (Box Girder) Pada Flyover Jamin Ginting Dengan Sistem Beton Prategang “(Studi

Inilah yang membedakan protocol frame relay dengan protocol pendahulunya (contoh : X.25, SNA, dll), bahwa mekanisme penecekan pada level frame data tidak terjadi, di level frame

Kebenaran Firman Tuhan yang diajarkan akan mempengaruhi karakter seorang anak yang dapat dibangun dan dikuatkan melalui pelayanan Sekolah Minggu, bahkan mereka bisa menjadi

Walaupun keempat orang tersebut tidak lagi menenun dan lebih memilih untuk menekuni pekerjaan lain disbanding menekuni kerajinan tenun, ibu Saida tetap pada

Menu pengertian wayang untuk menampilkan pengertian tentang wayang, Pandawa lima untuk menampilkan list nama dan gambar dari tokoh pandawa lima, Jenis Wayang

Kelemahan siswa dalam penggunaan alat tidak hanya terjadi di Kabupaten ini, Kota Palu sebagai ibukota pusat propinsi dengan fasilitas Pendidikan yang baik, ternyata memiliki

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Gejala yang muncul pada sistem kardiovaskuler pada gagal ginjsl kronis biasanya mencakup hipertensi atau darah tinggi yang di akibatkan oleh retensi cairan dan.. natrium dari