• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Tinjaau Pustaka G08sas 4

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II Tinjaau Pustaka G08sas 4"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan Hujan Tropis

Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis merupakan ekosistem yang terkaya di dunia dari segi keanekaragaman hayati. Walaupun dengan cakupan yang kurang dari 7 persen daratan bumi, hutan hujan tropis berisi lebih dari 50 persen jenis hewan dan tumbuhan di dunia.

Hutan hujan tropis juga memainkan suatu peran yang penting dalam iklim global dengan kemampuannya dalam menyerap karbon dioksida, suatu gas yang dipercaya oleh para ahli sebagai penyebab terjadinya pemanasan global. Tumbuhan yang secara alami menyerap karbon dioksida dan merubahnya menjadi oksigen melalui proses fotosintesis. Hutan hujan tropis merupakan penyerap gas karbon dioksida terbaik dibandingkan dengan ekosistem lainnya.

Selain itu hutan hujan tropis memiliki kemampuan yang baik dalam hal menyerap dan menyimpan air, sehingga dapat dijadikan penyangga untuk menjaga lingkungan dari bencana banjir dan kekeringan. Ketika musim hujan tiba air dalam keadaan berlimpah, hutan hujan tropis dapat mengurangi limpasan sehingga sebagian besar air tetap berada di dalam ekosistem. Sedangkan ketika musim kemarau tiba kekurangan air dapat ditutupi dari cadangan yang diperoleh di musim hujan.

Hutan hujan tropis dapat di temukan di sekitar garis khatulistiwa seperti terlihat pada Gambar 1 (sebaran hutan hujan tropis). Indonesia merupakan salah satu negara yang masih memiliki ekosistem hutan hujan tropis yang luas. Salah satu pulau yang masih memiliki hutan hujan tropis di Indonesia adalah pulau Kalimantan. Namun setiap tahunnya luas hutan di pulau Kalimantan terus berkurang seperti terlihat pada Gambar 2 (tutupan hutan di Kalimantan) dan Tabel 1 (luas hutan di pulau Kalimantan).

(sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Tropical_rainforest) Gambar 1. Sebaran hutan hujan tropis

Tabel. 1 Luas hutan di pulau Kalimantan

Propinsi

Luas Wilayah

(Ha)

1985 1991 1997 2000

Luas Hutan

(Ha) %

Luas Hutan

(Ha) %

Luas Hutan

(Ha) %

Luas Hutan

(Ha) %

Kalimantan

Barat 14.546.318 8.700.600 59,8 8.117.960 55,8 6.717.026 46,1 6.736.261 46,3 Kalimantan

Tengah 15.249.222 11.614.400 76,2 11.492.950 75,4 9.900.00 64,9 9.320.771 61,1 Kalimantan

Selatan 3.703.550 1.795.900 48,5 1.749.360 47,2 999.182 27,0 648.000 17,5 Kalimantan

Timur 19.504.912 19.875.100 91,6 17.584.260 90,2 13.900.00 71,3 12.477.309 64,0

Total 53.004.002 41.986.000 79,2 38.944.530 73,5 31.516.208 59,5 29.181.953 55,1

(2)

(sumber : http://www.theodora.com/maps/new/indonesia_maps.html)

(3)

(sumber : http://okfirst.ocs.ou.edu/train/meteorology/EnergyBudget) Gambar 3. Proporsi neraca energi

2.2. Pengaruh Perubahan Tutupan Lahan Hutan Terhadap Komponen Neraca Energi

Konsep neraca energi dapat diperhatikan dari jumlah energi yang mengalir antara benda-benda di permukaan, sedangkan selisih antara masukan (input) dan keluaran (output) pada sistem tersebut merupakan energi yang digunakan atau tersimpan. Neraca energi ini penting dipelajari karena dapat digunakan sebagai penciri kondisi iklim lokal suatu lokasi. Dari neraca energi diperoleh informasi tentang nilai masing-masing komponen seperti laten heat flux, sensible heat flux, dan soil heat flux.

Rn = H + G + λE ... (1) dengan;

Rn = radiasi matahari netto H = sensible heat flux G = soil heat flux λE = laten heat flux

Perubahan yang terjadi pada tutupan lahan hutan akan menyebabkan perbedaan albedo permukaan. Menurut Campbell (1977) dan Stull (1995), Nilai albedo tidak bersifat mutlak, karena tergantung juga pada tingkat kerapatan atau penutupan oleh vegetasi, warna tanah dan sudut elevasi matahari. Pada umumnya permukaan yang berwarna muda atau kering memantulkan lebih banyak radiasi daripada permukaan berwarna gelap atau basah.

Perbedaan albedo dapat menyebabkan perubahan terhadap energi yang nantinya akan

dikonversi menjadi laten heat flux dan sensible heat flux. Kedua komponen neraca energi ini akan mempengaruhi dua unsur cuaca yaitu:

• Suhu udara

Dengan meningkatnya nilai sensible heat flux menyebabkan terjadinya peningkatan suhu udara.

• Evaporasi

Dengan meningkatnya nilai laten heat flux menyebabkan terjadinya peningkatan evaporasi.

2.3. Suhu Udara

Suhu merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh adanya perpindahan panas dari suatu substansi ke substansi lainnya (Mc.Intosh, 1972). Byers (1959) mengungkapkan bahwa kondisi suhu pada masing-masing tempat dibedakan oleh faktor-faktor berikut :

1. Intensitas dan durasi harian radiasi matahari yang diterima oleh bagian terluar dari atmosfer pada tempat tersebut.

2. Energi radiasi yang digunakan oleh atmosfer dalam proses pemantulan, hamburan dan penyerapan.

3. Albedo permukaan.

4. Karakterisitik fisik dari permukaan. 5. Neraca panas dari permukaan dan

radiasi atmosfer terestrial.

(4)

7. Kondisi pemanasan atau pendinginan oleh arus udara horizontal atau oleh arus laut.

8. Pemindahan panas ke atas atau ke bawah oleh arus udara vertikal, konveksi, dan turbulensi.

2.4. Evaporasi

Evaporasi adalah proses fisis pelepasan air dari permukaan. Menurut Jury et.al. (1991) faktor yang mempengaruhi nilai evaporasi sebagai berikut :

• Radiasi matahari

Peningkatan Intensitas radiasi matahari menyebabkan peningkatan evaporasi. • Suhu udara.

Peningkatan suhu udara akan meningkatkan kapasitas udara untuk menyimpan air yang berarti dapat meningkatkan evaporasi.

• Kelembaban udara relatif

Kelembaban udara relatif dapat menjadi indikasi tingkat kejenuhan udara. Sebelum udara jenuh maka udara masih memiliki kemampuan untuk menampung uap air hasil evaporasi.

2.5. Hujan

Presipitasi adalah nama umum dari uap air yang mengembun dan jatuh ke tanah dalam rangkaian proses siklus hidrologi. Di Indonesia umumnya hanya mengenal satu jenis presipitasi yaitu hujan. Jumlah presipitasi dinyatakan dengan tebal presipitasi (mm).

Kejadian hujan merupakan akibat dari interaksi bermacam-macam proses dan keadaan di permukaan bumi serta atmosfer. Kandungan uap air di udara, tersedianya inti kondensasi, pemanasan bumi oleh matahari, stabilitas atmosfer serta sifat angin merupakan keadaan yang menentukan hujan. Uap air akan turun menjadi hujan apabila uap air tersebut sudah memenuhi syarat, diantaranya adalah apabila uap air tersebut telah mengalami pengembunan sehingga membentuk butir-butir air atau es yang mempunyai kecepatan jatuh atau ukuran yang cukup.

Hujan umumnya mempunyai variasi yang besar di dalam ruang dan waktu (Bruce and Clark, 1966). Variasi curah hujan yang diterima di suatu tempat ditentukan oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain kandungan uap air di atmosfer, keadaan topografi, sifat permukaan, perilaku daur alam seperti rotasi bumi dan fluktuasi jangka panjang merupakan pengaruh siklonik. Dapat dijelaskan juga bahwa variasi hujan dipengaruhi oleh radiasi matahari. Di Indonesia

angin utama yang menentukan besarnya penerimaan hujan musiman adalah angin musim Barat Laut dan Tenggara. Angin ini berganti arah setiap setengah tahun.

Hujan dapat diklasifikasikan sejalan dengan penyebab terjadinya, diantaranya adalah hujan konveksi, hujan orografik dan hujan konvergensi. Hujan konveksi disebabkan oleh pemanasan adiabatik, sebagai akibat dari adanya pemanasan di permukaaan bumi. Sistem konvektif terdiri dari banyak sel arus udara naik setempat dan arus udara turun (biasanya berdiameter terbatas). Bila arus naik mencapai ketinggian kondensasi akan terbentuk awan cumulus. Bila arus naik mencapai ketinggian kondensasi akan terbentuk awan cumulus. Bila udara lembab sekali, udara ini akan menjadi awan cumulunimbus pada ketinggian yang beasar. Hujan ini mempunyai sifat hujannya lebat dan tidak merata, periodenya pendek serta sering ditandai dengan periodisitas harian dan musiman.

2.6. Model REMO 2.6.1. Model REMO

REMO adalah Model iklim atmosfer berskala regional. Model ini dibangun dari Numerical Weather Prediction Model yang digunakan oleh German Weather Service (DWD). Pengembangan Model ini dilakukan atas kerja sama dari DWD, Max Planck Institute of Meteorologi, Hamburg dan German Climate Climate Computing Center (DKRZ), Hamburg.

REMO adalah sebuah model yang memakai grid sistem Arakawa-C untuk representasi horisontal dan sistem hibrida p (tekanan) dan η memakai 20 level secara vertikal. Resolusi horizontal dari model ini adalah 0,5° * 0,5°. Sedangkan resolusi temporal model REMO adalah 6 jam. Dalam prosesnya REMO membutuhkan data permukaan dan cuaca di tiap lapisan. Sebuah model hydrostatic bekerja dengan menafikan pergerakan masa udara vertikal sehingga model ini lebih melihat pergerakan horisontal. Akibatnya pemakaian model jenis ini kurang efektif untuk daerah yang terjal seperti pegunungan karena terjadi banyak pergerakan vertikal termasuk peristiwa konveksi. model jenis hydrostatic baik dipakai untuk skala regional dan global dimana faktor lokal seperti digambarkan diatas dapat diabaikan.

(5)

masuk dan keluarnya yang ditentukan oleh perubahan fase air dan presipitasi. Fungsi ketergantungan empiris dan suhu dipakai untuk menentukan kandungan es pada awan, melalui proses radiasi yang dilalui. Parameterisasi dari proses konveksi awan berdasarkan dari konsep fluks masa air dengan sedikit perubahan pada persamaan konveksi dalam.

2.6.2. Penggunaan model REMO di Indonesia

Untuk penggunaannya di Indonesia Model REMO sudah disesuaikan oleh Aldrian et.al. (2004). Pemakaian model REMO untuk benua maritim Indonesia telah lama dilakukan. Aplikasi pemakaian REMO beragam dari pemakaian REMO sendiri (stand alone) untuk meneliti curah hujan Indonesia Aldrian et.al. (2004), menggabungkan model laut dan atmosfir Aldrian et.al. (2005) dan melakukan pengkajian dinamika fisis terhadap penyebaran asap kebakaran hutan.

Gambar 4. Lima pulau besar dan tiga laut yang digunakan dalam validasi model REMO.

Tabel 2. Korelasi curah hujan keluaran model REMO dengan data stasiun

Pulau ERA 15 NRA ECHAM4

Jawa 0.798 0.716 0.173

Kalimantan 0.780 0.668 0.422

Sumatra 0.708 0.682 0.637

Sulawesi 0.645 0.577 0.541

Irian 0.434 0.350 0.143

Gambar

Gambar 1. Sebaran hutan hujan tropis
Gambar 2. Tutupan hutan di pulau Kalimantan
Gambar 3. Proporsi neraca energi

Referensi

Dokumen terkait

• Integritas (Integrity) adalah bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi , walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukan ini.

Hasil penelitian yang dilakukan dari tahap awal sampai dengan tahap pengujian menggunakan Data Mining dengan algoritma Neural Network untuk kelulusan mahasiswa

23/2014 + Misi RPJMN + Kondisi Lokal Tujuan Tujuan Tujuan Sasaran Indikator Sasaran Indikator Sasaran Indikator Sasaran Indikator Target Target Target Target SASARAN POKOK

Dengan keyakinan bahwa semua anak dilahirkan sama, kesimpulan dari hasil ini adalah yang diajarkan di Indonesia berbeda dengan yang diujikan [yang distandarkan]

Setiap Pihak wajib mengambil tindakan legislatif, administratif dan kebijakan yang tepat, efektif dan proporsional, yang sesuai, untuk mengatur pengetahuan tradisional

menjadikan game “Deemo”, Kristina Webb dan gaya ilustrasi dari Saki Michan sebagai referensi visual adalah, penulis mempunyai gaya ilustrasi yang tidak jauh

Uji coba sistem KSA dilakukan di seluruh kecamatan di kabupaten Indramayu dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, dengan jumlah sampel masing-masing sebanyak

Ukuran kelompok Bagian pemasaran eksport beranggota 8 orang terrmasuk kelompok yang berukuran kecil, oleh karena itu lebih mudah melakukan aktifitas kerja. Penghargaan