• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMA LA NÉGRITUDE DALAM PUISI LE TOTEM KARYA LÉOPOLD SÉDAR SENGHOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEMA LA NÉGRITUDE DALAM PUISI LE TOTEM KARYA LÉOPOLD SÉDAR SENGHOR"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

TEMA

LA NÉGRITUDE

DALAM PUISI

LE TOTEM

KARYA LÉOPOLD

SÉDAR SENGHOR

Mita Chairunnisa dan Apsanti Djokosuyatno

Program Studi Prancis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat, Indonesia

Email: mita.chairunnisa@gmail.com

Abstrak

Artikel ini mengungkapkan dominasi tema La Négritude yang ada dalam puisi Le Totem karya Léopold Sédar Senghor yang merupakan puisi yang lahir di bawah gerakan La Négritude. Adapun La Négritude merupakan sebuah gerakan sastra yang menentang penindasan dan penekanan terhadap bangsa kulit hitam Afrika. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, tepatnya dengan beberapa teori tertentu dari pendekatan strukturalisme. Hasil analisis menunjukkan adanya pengungkapan konsep La Negritude dalam puisi Le Totem di mana sang penutur menyatakan bahwa ia harus melindungi warisan rasnya dan berusaha memegang teguh nilai-nilai yang diwarisi nenek moyangnya untuk melawan ras yang mendominasi.

The Theme of

La Négritude

in the Poem

Le Totem

by Léopold Sédar

Senghor

Abstract

This article revealed the domination of the La Négritude’stheme in Léopold Sédar Senghor's poem, Le Totem.

La Négritude itself is a literary movement that challenged oppression and coercion on the coloured African people. The method used in this research is the qualitative method, in particular compatible theories from the structuralism approach. The result of this research is that Le Totem reveals the concept of La Nnégritude: the narrator intended to uphold his racial heritage and his ancestors' values to oppose the dominating race.

(4)

Latar Belakang

Sebagai salah satu negara kuat, Prancis telah melakukan kolonialisasi di Afrika dalam kurun waktu yang tidak sebentar, kurang lebih 500 tahun (Hargreaves 59). Salah satu pengaruh Prancis dalam bidang budaya adalah penggunaan bahasa Prancis sebagai bahasa nasional maupun bahasa kedua di beberapa negara bekas jajahan Prancis (Offord 1). Hal itu memperlihatkan betapa kuatnya dominasi Prancis terhadap negara-negara jajahannya di masa lampau. Negara-negara yang menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa nasional maupun bahasa kedua ini dikenal sebagai negara frankofoni1 (Organisation Internationale de la Francophonie 2008).

Pengaruh kolonialisasi Prancis yang kuat dalam bidang budaya sangat berpengaruh pada kesusastraan pada negara-negara bekas jajahan tersebut. Negara-negara di benua Afrika merupakan negara yang paling banyak menghasilkan karya sastra berbahasa Prancis. Karya-karya sastra yang dihasilkan oleh bangsa Afrika ini memiliki kekhasan tersendiri. Umumnya, karya sastra Afrika frankofon mengangkat tema eksotisme Afrika, post-kolonialisme Prancis di Afrika, perbudakan bangsa Afrika, serta penindasan yang dialami bangsa Afrika (Offord 3-5).

Kesusastraan Afrika di Prancis memulai gebrakannya pada masa pertengahan perang dunia ketika sekelompok intelektual kulit hitam, yang terinspirasi oleh gerakan Harlem Renaissance

di Amerika Serikat, membuat sebuah jurnal pertama yang berjudul Légitime Défense pada tahun 1932. Jurnal ini kemudian diikuti oleh jurnal yang kedua pada tahun 1935, L’Etudiant

Noir, yang dicetuskan oleh Léopold Sédar Senghor, Aimé Césaire, dan Léon Damas untuk mempublikasikan tulisan-tulisan dari para pelajar kulit hitam. Berbasis di Paris, jurnal-jurnal tersebut merupakan sarana dari gerakan yang dikenal dengan nama La Négritude. Nama itu pertama kali digunakan oleh Césaire dalam bukunya yang berjudul Cahier d’un Retour au

Pays Natal yang diterbikan pada tahun 1939. La Négritude merupakan gerakan politik, gerakan sastra dan filsafat; La Négritude juga dideskripsikan sebagai sebuah ekspresi dari

1

Istilahfrankofoni awalnya dicetuskan oleh seorang ahli geografi Prancis, Onésime Reclus, pada akhir abad ke-19. Pada awalnya istilah tersebut ditujukan hanya untuk orang-orang yang berbicara bahasa Prancis di negara-negara selain Prancis. Selama abad ke-20, istilah tersebut berkembang bukan hanya pada orang-orang yang berbahasa Prancis, tetapi juga untuk mereka yang memiliki dan berbagi pengalaman dan cita-cita sebagai sesama bekas jajahan Prancis (Offord 1). Kemudian istilah frankofoni digunakan kembali dalam sebuah majalah yang berjudul Esprit untuk menyatakan kebersamaan masyarakat yang menggunakan bahasa Prancis. Diungkapkan pada majalah tersebut bahwa “Prancis berada di seluruh dunia” yang berarti bahasa Prancis banyak digunakan di berbagai wilayah di dunia (Sastriyani 79).

(5)

kesadaran kaum kulit hitam di dunia. Generasi pertama penulis-penulis Négritude (terutama Césaire, Senghor, dan Birago Diop) lebih banyak membuat puisi daripada prosa. (Offord 67-68).

La Négritude merupakan suatu gerakan sastra yang menentang penindasan dan penekanan terhadap bangsa kulit hitam Afrika. Gerakan ini muncul sebagai ekspresi dari pemberontakan bangsa kulit hitam terhadap imperialisme, kolonialisme, dan rasisme bangsa kulit putih Prancis terhadap bangsa kulit hitam Afrika (Diagne 7-9). Gerakan La Négritude menandai kebangkitan bangsa Afrika akan kesadaran dan kebanggaan mereka sebagai bangsa kulit hitam dan diaspora Afrika yang memicu munculnya anti rasisme kulit hitam, anti perbudakan, anti kolonisasi terhadap orang-orang kulit hitam, serta penghapusan stereotip yang merendahkan bangsa kulit hitam. Definisi mengenai La Négritude juga dijelaskan oleh Emmanuel E. Egar, dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 2008 yang berjudul The Crisis of Negritude: A Study of the Black Movement Against Intellectual Oppression in the Early 20th Century, yang menyatakan bahwa Aimé Césaire dan Senghor, bagaimanapun juga, memiliki pengertian yang berbeda mengenai makna dan program La Négritude. Césaire lebih berkonsentrasi pada konsep La Négritude sebagai gerakan yang akan mengurangi dominasi bahasa Perancis dan Inggris, sedangkan Senghor memiliki ide yang berbeda. Senghor percaya bahwa La Négritude seharusnya tidak hanya mengurangi dominasi bahasa Perancis, tetapi juga harus menjadi sarana bagi dekolonisasi. Itulah sebabnya puisinya tidak hanya mengandung nilai artristik tapi juga nilai budaya dan politik.

Masih dalam buku yang sama, Egar juga memaparkan tujuan Senghor yang ganda terkait konsep La Négritude. Bagi Senghor, peran gerakan La Négritude di antaranya adalah:

1. Négritude berkembang sebagai bagian dari perjuangan untuk Pembebasan dari belenggu penjajahan budaya yang mendukung humanisme baru.

2. Négritude membangkitkan nilai-nilai peradaban hitam.

3. Négritude menegaskan kemauan untuk menjamin kesadaran hitam dan untuk mengeksplorasi semangat la Négritude dalam ekspresi seni dan politik.

4. Négritude adalah himbauan untuk menjadi kaum hitam masa kini di dunia modern.

Seorang filsuf Prancis yang tersohor, Jean-Paul Sartre, juga turut memberikan pendapatnya mengenai gerakan La Négritude ini. Jean-Paul Sartre, pada essainya yang terkenal, Orphée

(6)

Noir, memberikan sebuah kata pengantar untuk buku karangan Senghor yang berjudul

Athologie de la Nouvelle Poésie Nègre et Malgache yang diterbitkan pada tahun 1948. Sartre menyatakan bahwa puisi adalah aliran yang paling cocok untuk mengeksprsikan La Négritude, meskipun generasi penulis frankofon Afrika berikutnya lebih cenderung memilih untuk membuat novel (Offord 67).

Léopold Sédar Senghor

Sebagai salah satu pelopor gerakan La Négritude, Léopold Sédar Senghor memiliki peran yang penting dalam perjalanan serta perkembangan La Négritude. Senghor, yang lahir pada tanggal 9 Oktober 1906 dekat Dakar di kota Joal, adalah presiden pertama Republik Senegal. Selama 7 tahun masa kanak-kanaknya, Senghor belajar di sekolah katolik di Joal. Senghor sempat bercita-cita menjadi seorang pastur, oleh karena itu ia melanjutkan studinya selama 5 tahun di Dakar, di sekolah Libermann, yang dijalankan oleh para pendeta Saint-Espirit.

Senghor melanjutkan studinya ke Lycée Louis le Grand di Paris di mana ia berteman dengan Aimé Céssaire dan George Pompidou (Assemblée Nationale 2006). Senghor bergabung dengan militer Prancis selama Perang Dunia II dan sempat menghabiskan 18 bulan di sebuah kamp penjara di Jerman. Setelah selesai bertugas di Assemblée National Française yang mewakili Senegal, Senghor kembai ke tanah kelahirannya. Di negara itu ia memimpin gerakan kemerdekaan bangsanya pada tahun 1960. Ia akhirnya menjadi Presiden Republik Senegal yang pertama, sebuah tugas besar yang dia jalani selama dua puluh tahun (The Poetry Foundation 2013).

Karir politik dan karir sastra Senghor berkaitan erat. Hal itu terlihat dari gerakan yang dipeloporinya, La Négritude, yang mengusung tinggi nilai-nilai budaya dan estetika Afrika yang menentang kolonialisme Prancis. Puisi-puisi yang dibuat oleh Senghor memiliki jiwa La Négritude, karena tujuan pembuatan puisi Senghor adalah memperkenalkan La Négritude

(Leusse 242). Senghor telah menulis beberapa buku kumpulan puisi, di antaranya Chants d’Ombre (1945), Nocturnes (1961), dan The Collected Poetry (1991, diterjemahkan oleh Melvin Dixon). Ia juga menyunting sebuah Antologi karya penyair Afrika, Anthologie de la Nouvelle Poésie Negre et Malagache (1945, dengan diberi pengantar oleh Jean-Paul Sartre). Di dalam buku koleksi puisinya yang pertama, Chants d’Ombre, berisi perjalanan pribadi Senghor selama hidup di Prancis, di mana ia merasa menjadi orang asing yang kesepian dan

(7)

sering dipermalukan karena berkulit hitam (Blair 153). Oleh karena itu, tema La Négritude

terkesan sangat kuat dalam buku ini.

Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana tema La Négritude ditampilkan dalam puisi Le Totem

karya Léopold Sédar Senghor yang merupakan salah satu puisi dalam buku kumpulan puisi

Chants d’Ombre.

Tujuan

Dari rumusan masalah tersebut, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yakni memaparkan penyajian tema La Négritude dalam puisi Le Totem karya Léopold Sédar Senghor.

Sumber Data

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah puisi Le Totem karya Léopold Sédar Sénghor dalam kumpulan puisi Chants d’Ombre yang diterbitkan oleh Édition du Seuil pada tahun 1945 di Paris.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian dengan metode kualitatif mengedepankan tindakan mengeksplorasi dan memahami masalah sosial atau kemanusiaan (Creswell, 4). Oleh karena itu, metode kualitatif merupakan metode yang sesuai untuk meneliti tema La Négritude yang ada dalam puisi Le Totem karya Léopold Sédar Senghor. Sedangkan teori yg digunakan dlm penelitian ini dipilih dari beberapa teori strukturalisme yang mencakup lima aspek, yakni aspek sintaksis, aspek pragmatik, aspek semantik, dan aspek persanjakannya yang menyangkut metrik dan bunyi.

(8)

Kerangka Teori

1. Aspek Sintaksis

Dalam pembahasan sajak, tata kalimat dapat memberikan kesan-kesan tertentu pada pembaca. Kalimat-kalimat yang panjang dan kompleks misalnya, mengesankan sesuatu yang berat dan melelahkan. Sintaksis atau tata kalimat adalah bagian dari tata bahasa yang mempelajari cara-cara mengatur urutan kata dalam bentuk kalimat (Dubois 14). Makna kalimat dapat diketahui melalui unsur-unsur pembentuknya. Untuk itu, teori satuan-satuan sintaksis menurut Chevalier akan dijabarkan berikut ini:

a. Kata (Mot)

Kata merupakan satuan gramatikal bebas terkecil yang mengandung makna (Chevalier 11). Berdasarkan makna dan fungsi sintaksisnya, kata dapat dibedakan menjadi nomina, adjektiva, pronomina, verba, artikel, preposisi, konjungsi dan interjeksi.

b. Frasa (Groupe de Mots/syntagme)

Frasa adalah kumpulan kata yang hanya mempunyai satu fungsi (Chevalier 11). Namun Dubois membatasi frasa sebagai kumpulan kata yang bersifat non predikatif (Dubois 479). Berdasarkan kategori unsur yang menjadi pusatnya, frasa dibedakan menjadi frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, frasa pronominal, dan frasa numeralia. Frasa preposisional/klausal merupakan pengecualian karena terdiri dari klausa nomina atau frasa nominal.

c. Kalusa (Proposition)

Chevalier dan Dubois mendefinisikan klausa sebagai satuan gramatikal yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat. Dubois menambahkan bahwa klausa adalah konstituen dasar pembentuk kalimat yang berpotensi membentuk sebuah kalimat.

Chevalier membedakan klausa menjadi: 1. Klausa Bebas (Proposition Indépendente)

Klausa bebas merupakan klausa yang dapat berdiri sendiri dan membentuk kalimat.

Contoh: Il pleut. Hari hujan.

(9)

Klausa juxtaposée dan klausa koordinatif adalah dua klausa atau lebih yang berada dalam posisi sejajar dengan atau tanpa kata sambung, dan membentuk sebuah klimat. Namun, klausa-klausa ini dapat dipisahkan dan masing-masing membentuk klausa bebas.

Bila klausa-klausa itu membentuk kalimat tanpa kata sambung, maka disebut klausa juxtaposée. Contoh: Il pleut, il vente (hari hujan, hari berangin). Dan bila klausa-klausa itu digabungkan oleh kata sambung, maka disebut klausa koordinatif. Contoh: Il pleut et il vente (hari hujan dan hari berangin).

3. Klausa Utama (Proposition Principale) dan Klausa Bawahan (Proposition

Subordonée)

Klausa bebas yang membawahi klausa-klausa lain disebut sebagai klausa utama. Sedangkan klausa yang menjadi bawahan klausa utama disebut klausa bawahan. Contoh: J’ai feint que les Dieux m’aient parlé. (RÉGINER).

k.utama k.bawahan

Aku berdalih bahwa dewa-dewa telah berbicara padaku.

d. Kalimat (Phrase)

Kalimat adalah kumpulan kata yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai makna lengkap yang dapat terdiri atas beberapa klausa (Chevalier 9). Kalimat juga dapat didefinisikan sebagai urutan kata yang ditata dengan kaidah-kaidah tertentu, yang mempunyai peristiwa-peristiwa tertentu dan yang memenuhi syarat-syarat gramatikal serta memiliki makna. Sebuah kallimat harus diakhiri oleh intonasi final yang umumnya adalah tanda titik ( . ) (Dubois 14).

Ada catatan bahwa di dunia sastra terdapat keleluasaan bagi penyair untuk mengalihkan makna kata dan melanggar aturan-aturan gramatikal. Izin khusus tersebut dinamakan Licence Poétique atau Lisensia Puitika (Shmitt & Viala 134). Dalam sajak-sajak modern, lisensia puitika ini dimanfaatkan secara maksimal oleh para penyair. Selain melanggar aturan gramatikal, para penyair juga menghilangkan tanda baca dan bahkan menggunakan kata-kata yang tidak terdapat dalam bahasa Prancis.

(10)

2. Aspek Pragmatik

Aspek pragmatik membahas tentang komunikasi, salah satunya adalah pilihan kata (diksi) yang digunakan oleh penyair dalam sajaknya. Sebuah teks adalah suatu bentuk komunikasi yang mengaitkan antara penyampai pesan P1 (yang berbicara atau menulis pesan) dan penerima pesan P2 (pendengar atau pembaca). Unsur-unsur komunikasi yang terlibat dalam proses komunikasi adalah émeteur/destinateur (P1), récepteur/destinataire

(P2), référent (acuan), canal de communication (kanal komunikasi), message (pesan), dan

code (kode) (Schmitt & Viala 32-33).

Teks merupakan salah satu bentuk komunikasi antara penulis (penyampai pesan P1) dan pembaca (penerima pesan P2). Alat yang digunakan dalam komunikasi berbentuk sebuah teks, yakni bahasa tertulis, dalam hal ini adalah puisi. Oleh karena itu, alat komunikasi antara P1 dan P2 dalam penelitian ini adalah kata-kata di dalam puisi.

3. Aspek Semantik

Makna keseluruhan puisi diperoleh dari unsur pembentuk puisi, terutama dari makna kata. Makna kata adalah unsur paling utama dalam sebuah puisi. Salah satu dari aspek semantik adalah makna denotatif dan konotatif. Makna denotatif adalah makna yang masuk dalam mekanisme referensial, makna ini merupakan informasi yang disalurkan oleh suatu satuan kebahasaan (penanda/signifiant) yang dapat mempunyai hubungan dengan suatu objek di luar bahasa. Dengan kata lain, tanda itu mengacu, menunjuk pada suatu realita non linguistik (kebahasaan) (Zaimar 164). Makna denotatif adalah makna sebenarnya yang terkandung dalam bahasa. Makna konotatif adalah nilai semantik yang muncul tanpa disalurkan oleh suatu penanda yang termasuk dalam dua kategori yang biasanya berfungsi menyalurkan makna, yaitu penanda leksikal dan struktur gramatikal. Konotasi menampilkan kesan penerima pesan yang maknanya tidak mengandung kepastian (Zaimar 164-165).

4. Aspek Metrik

Metrik adalah bentuk irama sajak. Irama sajak ini timbul karena adanya tinggi, rendah, cepat lambat, serta kuat lemah tekanan suara yang dihasilkan dalam membaca larik-larik sebuah sajak. Aspek metrik dalam artikel ini meliputi :

(11)

a. Penghitungan jumlah suku kata

Dalam konvensi penulisan puisi Prancis, dikenal istilah alexandrin, yaitu larik dengan dua belas suku kata, décasyllable yaitu larik dengan sepuluh suku kata,

neufsyllable yaitu larik dengan sembilan suku kata, dan heptasyllable yaitu larik dengan tujuh suku kata (Schmitt & Viala 138). Penghitungan tersebut tergantung pada kaidah penggunaan huruf e (Schmitt & Viala 134). Menurut kaidah penggunaan huruf e, huruf e tidak dibunyikan (muet) bila berada di posisi sebagai berikut :

a) Terletak di akhir larik dan didahului sebuah konsonan. ... + konsonan + e muet (di akhir larik disebut apocope)

b) Berada di tengah larik, mendahului huruf vokal atau huruf h muet. ... + konsonan + e muet + vokal, h muet + ....

c) Terletak di tengah larik, berada di antara konsonan dan vokal. ... + konsonan + e muet + vokal + ...

d) Berada di akhir larik dan diikuti huruf –s atau –nt ... + konsonan + e muet + -s, -nt

Sementara itu, huruf e wajib dibunyikan dan dihitung sebagai satu suku kata bila berada dalam posisi sebagai berikut (Laufer & Lacherbonnier 286) :

a) Terletak di tengah larik dan berada di tengah konsonan. ... + konsonan +e + konsonan + ...

b) Terletak di tengah larik, didahului oleh konsonan dan diikuti oleh huruf –s atau – nt.

... + konsonan + e + -s, -nt + ... b. Jumlah larik dalam sajak

Dalam sebuah puisi, terdapat beberapa istilah berkenaan dengan larik dalam tiap bait, yaitu :

a) Bait dengan dua larik, disebut distique b) Bait dengan tiga larik, disebut tercet c) Bait dengan empat larik, disebut quatrain d) Bait dengan lima larik, disebut quintil e) Bait dengan enam larik, disebut sizain f) Bait dengan delapan larik, disebut huitain g) Bait dengan sepuluh larik, disebut dizain

(12)

Segi metrik berperan penting untuk membentuk suasana puisi. Hal ini disebabkan karena irama puisi mendukung pengungkapan makna.

5. Aspek Bunyi

Segi bunyi adalah bidang analisis yang menyangkut masalah permainan bunyi. Bunyi-bunyi dapat menimbulkan efek-efek tertentu dalam puisi.

a. Rima

Rima adalah adanya elemen-elemen bunyi yang sama pada awal atau akhir larik puisi. Rima membentuk gaung antara dua larik atau lebih (Schmitt & Viala 136). Menurut letaknya, rima dibedakan atas :

a) Rime plate (rima datar)

Rima datar adalah rima yang mengikuti pola A-A, B-B, C-C dan seterusnya. Polanya adalah larik pertama berima dengan larik kedua, larik ketiga berima dengan larik keempat, dan seterusnya.

b) Rime embrassées (rima berpeluk)

Rima berpeluk adalah rima yang mengikuti pola A-B-B-A, dimana larik pertama berima dengan larik keempat, dan larik kedua berima dengan larik ketiga.

c) Rime croissées (rima bersilang)

Rima bersilang adalah rima dengan pola A-B-A-B, di mana larik pertama berima dengan larik ketiga dan larik kedua berima dengan larik keempat.

b. Konsonan dan Vokal

Pada sistem fonologi bahasa Prancis, dikenal 17 konsonan dan 3 semi konsonan, serta 16 vokal. Konsonan dalam bahasa Prancis memiliki karakteristik yang saling bertentangan, yakni antara konsonan sonores (bersuara) yang terasa nyaring karena tidak ada hambatan, dan konsonan sourdes (tidak bersuara) yang terendam karena mendapat hambatan. Bunyi-bunyi yang dihasilkan konsonan merupakan bunyi-bunyi yang keras dan berat. Pengartikulasian konsonan biasanya terjadi atas bantuan bunyi vokal. Dalam bahasa Prancis terdapat 16 vokal yang terbagi atas 12 vokal oral dan 4 vokal nasal. Berdasarkan letak artikulasi, bunyi vokal dapat dibedakan antara vokal-vokal depan (voyelles anterieurs) dan vokal-vokal belakang (voyelles posterieurs).

(13)

Berdasarkan tingkat bukaan mulut atau bibir, vokal dibedakan menjadi vokal-vokal bundar (voyelles arrondies) dan vokal-vokal tidak bundar (voyelles non-arrondies). Semakin ke depan pengucapannya, bunyi vokal terdengar semakin nyaring, sebaliknya, jika diucapkan semakin ke belakang maka terdengar semakin rendah (Malmberg 36-40).

Analisis Puisi

Analisis ini akan dimulai dengan menyajikan puisi Le Totem beserta terjemahannya yang kemudian diikuti dengan analisis sesungguhnya yakni analisis sintaksis, analisis pragmatik, analisis semantik, dan analisis bentuk.

1. Puisi yang Dianalisis

Le Totem

Il me faut le cacher au plus intime de mes veines

L’Ancêtre à la peau d’orage sillonnée d’éclairs et de foudre Mon animal gardien, il me faut le cacher

Que je ne rompe le barrage des scandales. Il est mon sang fidèle qui requiert fidélité Protégeant mon orgueil nu contre

Moi-même et la superbe des races heureuses…

Le Totem, 1945.

Terjemahan: Totem

Aku harus menyembunyikannya ke dalam pembuluh darahku yang terdalam Nenek moyang yang berkulit badai bergalur petir dan halilintar

Hewan pelindungku, harus kusembunyikan

Agar aku mendobrak bendungan skandal-skandal. Dia adalah darahku yang setia yang menuntut kesetiaan Melindungi kebanggaanku yang telanjang terhadap

(14)

Diriku sendiri dan kehebatan ras-ras yang berbahagia...

2. Analisis Sintaksis

Menurut teori sintaksis, sebuah kalimat harus diakhiri dengan intonasi final yang umumnya berupa tanda titik ( . ). Puisi Le Totem hanya terdiri dari dua kalimat kompleks, meskipun di awal tiap larik digunakan huruf besar. Hal tersebut terlihat dari tanda titik ( . ) di akhir larik keempat dan pada larik keenam. Dua kalimat tersebut adalah “Il me faut le cacher au plus intime de mes veines, l’ancêtre à la peau d’orage sillonnée d’éclairs et de foudre, mon animal gardien, il me faut le cacher, que je ne rompe le barrage des scandales” dan “Il est mon sang fidèle qui requiert fidélité, protégeant mon orgueil nu contre moi-même et la superbe des races heureuses…”.

Dalam kalimat pertama, terdapat pengulangan frasa “il me faut le cacher”. Pengulangan

frasa dalam satu kalimat tersebut memiliki kesan mendesak, bahwa tindakan melindungi merupakan sesuatu yang sangat penting yang harus segera dilaksanakan. Kalimat kedua mengungkapkan apa yang harus disembunyikan dan dilindungi dalam-dalam agar tidak hilang, yakni le totem dalam arti sebagai jati diri bangsa serta warisan ras.

3. Analisis Pragmatik

Dalam puisi Le Totem, penutur adalah orang pertama, yakni je atau aku. Tidak ada orang kedua yang bertindak sebagai penerima ditulis dalam teks tersebut. Namun, jika melihat latar belakang penulisan puisi-puisi dari Senghor yang ada dalam buku Chants d’Ombre, yaitu saat ia didiskriminasi oleh orang-orang Prancis di Paris, dapat disimpulkan bahwa puisi tersebut ditujukan untuk orang-orang Prancis, khususnya bagi mereka yang merendahkan dan mendiskriminasi bangsa Afrika. Tetapi karena ia menyebutkan kata races heureuses dan ancêtre atau nenek moyang bangsanya, puisi ini juga ditujukan untuk rasnya sendiri, yaitu orang-orang Afrika yang sependeritaan dengan je. Hal tersebut diperkuat dengan adanya pesan dari P1 bahwa ia harus menyembunyikan l’ancêtre dan animal gardien miliknya yang melindungi kebanggannya dari des races heureuses atau ras yang mendominasi. L’ancêtre dan

(15)

yang dapat diartikan sebagai identitas maupun jati diri bangsa Afrika. Sedangkan races heureuses merupakan orang-orang ras kulit putih yang merupakan orang-orang Prancis.

4. Analisis Semantik

Analisis semantik dilakukan untuk mengetahui makna dan tema yang ada dalam puisi

Le Totem. Dalam artikel ini, analisis yang akan dilakukan adalah analisis semantik yang terdiri atas analisis judul puisi, makna denotatif, dan makna konotatif.

a. Analisis judul puisi

Puisi ini berjudul Le Totem yang hanya terdiri dari satu kata, yakni Totem. Kata Le

merupakan déterminant yang berfungsi sebagai artikel dari kata Totem. Totem adalah hewan, tanaman, atau benda alam (atau representasi dari sebuah objek) yang berfungsi sebagai lambang klan atau keluarga di antara masyarakat adat atau tradisional di Afrika. Sebuah totem mewakili ikatan mistis dalam suatu kelompok. Dalam masyarakat prasejarah, totem adalah simbol utama agama dan kohesi sosial. Totem juga alat penting untuk transmisi budaya dan pendidikan. Totem sering menjadi dasar untuk hukum dan peraturan. Masyarakat Afrika tradisional menganggap bahwa berburu, memburuh, menyakiti, atau merusak totem binatang dan totem tanaman merupakan sebuah pelanggaran budaya dan spiritual kehidupan. Menyakiti totem sama saja dengan menyakiti nenek moyang masyarakat. Bagi mereka yang melanggar hal tersebut akan diberikan hukuman yang berat, seperti pembuangan, denda, kerja keras, bahkan kematian. Sikap ini telah menjadi dasar hukum dan peraturan lingkungan yang ada dalam masyarakat tersebut. Namun, pandangan ini sedikit demi sedikit mulai berubah seiring perkembangan budaya, ekonomi, dan teknologi, terutama pada orang Afrika yang berada di luar negeri. Mereka tak lagi memuja totem dewasa ini. Totem jarang dipuja lagi (Peter 2007). Puisi totem menekankan totem sebagai warisan nenek myang yang telah mendarah daging pada bangsa Afrika yang harus dihayati dan dikukuhi. Warisan tersebut merupakan sebuah wujud dari nenek moyang yang sudah turun temurun dan merupakan identitas atau jati diri suatu kelompok. Dalam puisi ini, warisan tersebut merupakan identitas bangsa Afrika, yang bisa melindungi terhadap diri sendiri.

(16)

b. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Larik pertama dalam puisi ini “Il me faut le cacher au plus intime de mes veines”

kata le mengacu pada dua larik berikutnya, yakni l’ancêtre dan animal gardien.

Larik ini menggambarkan bahwa P1 harus menyembunyikan le ke dalam pembuluh darahnya yang terdalam (le plus intime de mes veines). Dalam larik tersebut, kata

veines memiliki makna konotatif yang menggambarkan jiwa terdalam P1. “Menyembunyikan sesuatu tersebut jauh di dalam jiwanya”, diartikan “mengukuhi sesuatu yang berharga tersebut”. Selain itu, kata cacher atau menyembunyikan memiliki konotasi yang berarti menghayati, menjiwai, atau menghormati warisan nenek moyang sebagai sesuatu yang berharga. Menghayati hal tersebut sama dengan menjadikannya sebagai bagian dari diri kita.

Larik kedua puisi ini “L’Ancêtre à la peau d’orage sillonnée d’éclairs et de foudre”, merupakan acuan dari kata le yang ada pada larik pertama puisi. Sesuatu yang ingin disembunyikan dan dilindungi oleh P1 adalah nenek moyangnya yang bermakna konotasi yang dapat diartikan sebagai sebuah warisan ras. Kata orage (badai) dapat digambarkan sebagai sebuah chaos atau kekacauan dan pergolakan yang terjadi di tanah Afrika. Kata éclairs (petir) dan foudre (halilintar) menimbulkan imaji bahwa pergolakan yang terjadi sangat mencekam. Selain itu, kata éclairs dan foudre juga dapat menjadi acuan dari kata scandales yang terdapat pada larik keempat. Kata peau

(kulit) memiliki makna konotasi yang dapat digambarkan sebagai sesuatu yang kelihatan tetapi juga bagian yang tak terpisahkan dari orang Afrika, bahwa kekacauan dan pergolakan yang ada merupakan bagian dari bangsa Afrika. warisan tersebut bukan sesuatu yang hebat tetapi juga harus tetap dibanggakan.

Dalam larik ketiga “Mon animal gardien, il me faut le cacher” terdapat repetisi dari larik pertama dalam kalimat “il me faut le cacher”. Larik ketiga ini menegaskan kembali apa yang sesungguhnya ingin dilindungi oleh P1. Kata le pada larik pertama dan ketiga juga mengacu pada animal gardien atau hewan pelindung. Hewan pelindung tersebut merupakan Totem yang juga berkaitan dengan larik sebelumnya, yakni l’ancêtre atau nenek moyang. Totem dianggap sebagai perwujudan dari nenek moyang masyarakat Afrika tradisional yang senantiasa melindungi keturunannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa benda atau hewan yang menjadi

Totem harus dilindungi dan diharamkan untuk dibunuh. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai jati diri atau identitas bangsa Afrika yang harus dipertahankan

(17)

dan tidak boleh hilang begitu saja. Pada masa kolonialisme Prancis, jati diri bangsa Afrika telah dilecehkan dan direnggut oleh mereka. Oleh karena itu, bangsa Afrika harus mendapatkan jati dirinya kembali secara utuh dan melindunginya serta menjaganya dengan sekuat tenaga.

Larik keempat “Que je ne rompe le barrage des scandales.” menggambarkan bahwa P1 berusaha untuk keluar dari segala kekacauan yang terjadi. Kata barrage atau bendungan memiliki konotasi yang berarti bahwa kekacauan besar yang menekan. Jika dihubungkan dengan larik-larik sebelumnya, hanya dengan cara melindungi nenek moyang atau Totem lah P1 dapat keluar dari segala permasalahan yang ada, bahwa dengan berpegang teguh pada apa yang diyakini oleh leluhur bangsa Afrika lah mereka bisa mengatasi permasalahan mereka. Kata barrage juga dapat diartikan sebagai sebuah penghalang yang dapat berasal dari dalam diri yang dapat berupa rasa takut atau emosi lainnya, atau dari luar seperti halangan dari kekuatan bangsa Prancis. Kata scandales berhubungan dengan larik kedua yang menyatakan tentang kekacauan dan peristiwa memalukan yang dialami Afrika. Puncak dari pergolakan tersebut adalah ketika bangsa Prancis menjejakkan kakinya di Afrika yang membuat bangsa Afrika semakin terjajah dan terlecehkan harga dirinya.

Pada larik kelima “Il est mon sang fidèle qui requiert fidélité”, kata “il” mengacu pada tiga subjek sebelumnya, l’ancêtre, animal gardien, atau Totem. Disebutkan bahwa sang nenek moyang atau Totem merupakan le sang fidèle (darah setia) yang menuntut fidélite (kesetiaan), sesuatu yang tak dapat disangkal. Hal tersebut dapat diartikan bahwa sang nenek moyang merupakan bagian dari diri P1 itu sendiri. Kata

sang (darah) menggambarkan P1 hidup karena adanya nenek moyang, ia ada dalam dirinya, menyatu dengannya, dan selalu ada di sana (fidèle). Oleh karena itu, sang nenek moyang menuntut kesetiaan atas apa yang telah diberikannya. Seperti sebelumnya, nenek moyang atau Totem disini diartikan sebagai sebuah jati diri dan jantung Afrika. Bangsa Afrika tidak boleh mengingkari jati dirinya serta tidak boleh pula mengkhianatinya.

Larik keenam dan ketujuh “Protégeant mon orgueil nu contre moi-même et la superbe des races heureuses…” menjelaskan bahwa nenek moyang P1 melindungi kebangaan P1 yang telanjang terhadap dirinya dan ras-ras yang berbahagia. Kata nu

(18)

kebanggaan P1 yang murni, kebanggaan yang merupakan kebanggaan bangsa Afrika yang telah dijunjung sejak zaman nenek moyang tanpa ada campur tangan sedikitpun dari bangsa asing. Dalam larik ini dijelaskan bahwa nenek moyang atau Totem

tersebut melindungi kebanggaan P1 dari dirinya dan ras-ras yang berbahagia. Melindungi dari diri sendiri dapat diartikan dengan melindungi dari segala emosi serta nafsu yang berasal dari dalam diri sendiri. Emosi dan nafsu yang tidak terkendali dapat merugikan diri sendiri serta orang lain, bahkan dapat merusak bangsa. Selanjutnya, ras-ras berbahagia yang dimaksud dalam larik ketujuh ini adalah ras kulit putih. Disebut dengan races heureuses (ras yang berbahagia) karena selama ini ras kulit putih selalu merasa menjadi ras nomor satu di dunia yang dapat menguasai dunia. Mereka juga tidak mengalami penindasan, namun mereka menindas. Ras kulit hitam merupakan ras yang paling sering diijak-injak harga dirinya, dilecehkan, dan dinomorduakan. Oleh karena itu, jati diri bangsa yang direpresentasikan dengan nenek moyang tersebut melindungi bangsa afrika dari dalam dan luar. Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur yang diajarkan nenek moyang, Afrika dapat mendapatkan kembali bangsanya secara utuh.

5. Analisis Persanjakan

Dalam artikel ini, unsur persanjakan puisi yang akan dibahas adalah segi metrik dan segi bunyi, yang diharapkan mendukung hasil analisis-analisis sebelumnya.

a. Analisis Segi Metrik

Puisi Le Totem karya Léopold Sédar Senghor ini hanya terdiri dari satu bait dengan jumlah larik sebanyak 7 buah. Jumlah suku kata pada larik pertama sebanyak 13 suku kata, larik kedua sebanyak 15 suku kata, larik ketiga sebanyak 13 suku kata, larik keempat sebanyak 10 suku kata, larik kelima sebanyak 13 suku kata, larik keenam sebanyak 8 suku kata, dan larik ketujuh sebanyak 10 suku kata. Dari penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa puisi Le Totem memiliki jumlah suku kata per larik yang penyebarannya tidak merata dan tidak ada jumlah suku kata per larik yang dominan. Adanya titik pada larik keempat merupakan penjelasan bahwa puisi ini terdiri dari dua kalimat.

(19)

Tidak adanya dominasi pada segi metrik ini dapat digambarkan sebagai sudah hilangnya dominasi Prancis di Afrika. Bukan hanya saat Prancis secara resmi mengangkat kaki dari tanah Afrika, namun juga usaha dari bangsa Afrika untuk menghilangkan dominasi Prancis yang telah lama membelenggu bangsa Afrika tersebut. Demi mendapatkan kembali jati diri mereka dan melindungi budaya asli Afrika.

b. Analisis Segi Bunyi

Puisi Le Totem merupakan puisi modern yang sudah meninggalkan kaidah-kaidah penulisan puisi tradisional, seperti pada rima. Dalam puisi Le Totem ini, tidak ditemukan adanya pola rima yang teratur. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa puisi ini mengandung unsur kebebasan. Kebebasan dari belenggu-belenggu kolonialisme yang selama ini merantai bangsa Afrika. Selama kurang lebih 500 tahun bangsa Prancis menjajah bangsa Afrika.

Bunyi konsonan yang mendominasi puisi ini adalah bunyi [ʀ] yang muncul sebanyak 8 kali dan bunyi [l] yang muncul sebanyak 6 kali, sedangkan bunyi konsonan lainnya tidak ada yang muncul lebih dari 3 kali. Bunyi [ʀ] dan [l] merupakan bunyi yang mengalir dan juga lancar. Hal tersebut menyiratkan sesuatu yang mengalir, tidak terpotong-potong, bagaikan sebuah keyakinan yang mengalir di dalam diri. Meyakini nenek moyang dari dalam diri membuat orang-orang Afrika selalu ingat akan jati diri bangsanya dan hal tersebut akan membuat mereka menjadi kuat.

Bunyi vokal yang sedikit lebih dominan yang ada pada puisi Le Totem adalah bunyi [a] yang muncul sebanyak 13 kali, karena jumlah kemunculan bunyi [a] tidak jauh berbeda dengan bunyi vokal [e], [ǝ], dan [i] yang muncul sebanyak 11 kali. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bunyi vokal [a], [e], [ǝ], dan [i] digunakan sama rata, sama banyak. Hal tersebut dapat diartikan bahwa sang penyair berusaha untuk terbebas dari segala dominasi yang membelenggu, bahwa tidak ada yang mendominasi atau berkuasa di atas yang lain.

(20)

Kesimpulan

Ruh La Négritude yang muncul dalam puisi ini adalah kesadaran untuk mempertahankan identitas bangsan warisan nenek moyang untuk melindungi diri dan menghadapi keangkuhan Barat. Dengan mengukuhi apa yang diyakininya, Senghor berusaha mengatasi segala bentuk dominasi bangsa Barat. Sikap tegar ini didukung oleh bentuk sajak yang modern, yang tidak terikat kaidah-kaidah tradisional yang memnimbulkan kesan kebebasan. Begitu pula dengan aspek bunyi. Maka bisa dimengerti bahwa sajak itu ditujukan untuk orang-orang Prancis dan juga orang-orang Afrika yang hidup di Prancis yang berada dalam tekanan diskriminasi dan ingin terbebas dari belenggu yang menyesakkan tersebut.

Daftar Referensi

Blair, Dorothy S. African Literature in French. New York: Cambridge University Press, 1976.

Chevalier, Jean-Claude, et al. Grammaire Larousse du Française Contemporain. Paris: Libraire Larousse, 1988.

Creswell, John W. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Metode Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Diagne, Souleymane Bachir. Léopold Sédar Senghor: l’art africain comme philosophie. Paris: Riveneuve, 2007.

Dubois, Jean & Françoise Dubois-Charlier. Élements de Linguistique: Syntaxe. Paris: Larousse, 1970.

Egar, Emmanuel E. The Crisis of Negritude: A Study of the Black Movement Against Intellectual Oppression in the Early 20th Century. Florida: Brown Walker Press, 2008.

Hagreaves, John D. West Africa: The Former French States. New Jersey: Prentice-Hall, 1967.

Laufer, R. & B. Lecherbonier. Litterature et Langues 2. Le Conte et La Poésie. Paris: Édition Fernand Nathan, 1974.

(21)

Leusse, Hubert de. Léopold Sédar Senghor: L’Africain. Paris: Hatier, 1967.

Malmberg, B. La Phonetique. Paris: Presses Universitaires de France, 1973.

Offord, Malcolm, et al.,ed. Francophone Literature: A Literary and Linguistic Companion.

London: Routledge, 2001.

Schmitt, Michel P. & Alain Viala. Savoir-Lire. Paris: Didier, 1982.

Zaimar, Okke K. S. Majas dan Pembentukannya. Makara Seri Sosial Humaniora vol 6. Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2002.

Publikasi Elektronik

“Une Histoire de la Francophonie”. Organisation Internationale de la Francophonie, 2008. <

http://www.francophonie.org/Une-histoire-de-la-Francophonie.html?var_recherche=pays%20francophonie> (Diakses pada 27 Maret 2013 pukul 20.45 WIB)

“Léopold Sédar Senghor”. Assemblée Nationale, 2006.

<http://www.assemblee-nationale.fr/histoire/senghor/senghobiographie.asp> (Diakses pada 14 Februari 2013 pukul 06.05 WIB)

“Léopold Sédar Senghor”. The Poetry Foundation, 2013. <http://www.poetryfoundation.org/bio/leopold-sedar-senghor> (Diakses pada 17 Maret 2013 pukul 22.50 WIB)

Peter, Magelah. “Totem”. The Encyclopedia of Earth, 2007. <http://www.eoearth.org/article/Totem>

(Diakses pada 22 Juni 2013 pukul 23.05 WIB)

Sastriyani, Siti Hariti. “Dunia Sastra Francophone di Arab-Maghreb”. Humaniora, 2006. <i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=1573>

Referensi

Dokumen terkait

Sudah diterima secara luas bahwa tekanan diastolik diukur saat duduk lebih tinggi dari ketika diukur terlentang (dengan perbedaan ≥ 5 mmHg), meskipun ada yang kurang

Prestasi siswa SMA N 1 Donorojo tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan intensitas penggunaan situs jejaring sosial dengan koefisien signifikansi sebesar

PERENCANAAN REKONSTRUKSI JALAN ANGKUT SEPANJANG 1.267,9M BERDASARKAN DAYA DUKUNG TANAH DAN KEPMEN ESDM 1827K DIPIT ULAK PANDAN..

Sehingga pada makalah ini akan dijelaskan secara rinci tentang apa yang dapat terjadi pada molekul pada saat klimaks reaksi (keadaan yang mana akan mulai membentuk produk dalam

Dengan bantuan salah satu tombol fungsi Anda bisa beralih ke pengukuran kasar antena, pada tampilan yang diperluas yang menunjukkan noise offset, kualitas dan

Dari hasil tersebut didapatkan bahwa karakteristik hybrid optical amplifier dengan menggunakan FRA dan EDFA yang disusun secara parallel in-line, memiliki kerataan nilai gain

Dengan hasil tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa aplikasi pembelajaran sudah sesuai dengan yang diharapkan user untuk mengetahui seluk beluk kamera lubang

Pada pemberian darah yang telah terhemolisis disebabkan oleh ; Darah donor sudah terlalu lama disimpan, Cara penyimpanan yang kurang baik, sehingga eritrosit dapat membengkak atau