• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEDAGOGI BUDAYA DAMAI DI PESANTREN LDII SUMBER BAROKAH KABUPATEN KARAWANG J. SAEPUDIN. J. Saepudin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN HASIL PENELITIAN PEDAGOGI BUDAYA DAMAI DI PESANTREN LDII SUMBER BAROKAH KABUPATEN KARAWANG J. SAEPUDIN. J. Saepudin"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

1 LAPORAN HASIL PENELITIAN

PEDAGOGI BUDAYA DAMAI DI PESANTREN LDII SUMBER BAROKAH KABUPATEN KARAWANG

J. SAEPUDIN

J. Saepudin

BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN AGAMA JAKARTA TAHUN 2019

(2)

2 BAB I

PENDAHULUAN

Kekerasan telah menjadi roh dari dunia modern yang melanda seluruh dunia (Nuhamara, 2009). Dalam konteks Indonesia, awalnya kekerasan banyak dijumpai dalam kehidupan rumah tangga, lembaga pendidikan, tempat kerja, bahkan dalam hidup bermasyarakat melalui konflik-konflik sosial. Konflik yang terjadi biasanya dilatarbelakangi oleh perbedaan suku, ras, kepentingan, kesenjangan ekonomi, bahkan ada banyak konflik bernuansa agama berakhir dengan suatu tindakan anarkis yang merenggut nyawa.

Akhir-akhir ini kekerasan banyak ditemukan dalam dunia maya. Masyarakat Indonesia tidak lagi berperang secara nyata. Banyak orang secara terbuka berperang melalui media sosial. Mereka berlomba-lomba membuat pernyataan, yang kadangkala diikuti dengan gambar-gambar seperti meme, yang bertujuan merundung (bullying) orang atau kelompok lain, baik yang berbeda pandangan, kelompok sosial, kepentingan, dan keyakinan. Kebebasan berpendapat dan berekspresi seringkali disertai dengan kekerasan yang merupakan suatu tindakan amoral, yang tidak mencerminkan kepribadian bangsa. Meskipun tidak melakukan kekerasan secara fisik, namun kekerasan semacam ini juga membawa dampak yang bersifat destruktif dan memecahbelah kehidupan bangsa.

Banyak usulan yang telah dilakukan untuk mengatasi konflik yang berujung kekerasan dan budaya kekerasan itu sendiri. Misalnya, pemerintah berupaya melakukan mediasi dan menindak para pelaku kekerasan. Tidak hanya itu, masing-masing agama juga telah berusaha mengatasinya dengan dialog dan konseling. Beberapa hal tersebut bisa dikatakan sebagai upaya jangka pendek, karena sewaktu-waktu tindakan kekerasan dapat terjadi kembali.

Oleh sebab itu, diperlukan sebuah upaya untuk mencari solusi yang sifatnya jangka panjang yang tidak sekedar menyembuhkan atau memulihkan keadaan, namun juga mencegah agar hal tersebut tidak terulang pada generasi selanjutnya. Usulan jangka panjang yang cukup potensial dan yang juga gencar dipromosikan oleh

(3)

3 lembaga internasional seperti UNESCO dan UNICEF adalah melaksanakan pendidikan perdamaian (Apnieve, 2000).

Pendidikan menjadi pilar sangat strategis dalam proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai karena pendidikan bersentuhan langsung dengan aspek manusia yang di dalamnya terkandung kekuatan-kekuatan yang harus distimulasi, sehingga potensi-potensi yang dimiliki berkembang secara optimal, terutama dalam menghadapi berbagai bentuk tantangan di masa depan. Delors (1996) mengemukakan bahwa dalam menghadapi tantangan masa depan, kemanusiaan melihat pendidikan sebagai sesuatu yang berharga yang sangat dibutuhkan dalam usahanya meraih cita-cita perdamaian, kemerdekaan dan keadilan sosial.

Sosialisasi nilai melalui pendidikan memang merupakan jalur yang sangat tepat, karena satu di antara fungsi pendidikan adalah sebagai wahana tranformasi budaya dan nilai. Pendidikan untuk perdamaian, hak-hak asasi manusia, demokrasi dan pembangunan berkelanjutan berarti pembangunan suatu kesadaran atas nilai-nilai universal ini. Pendidikan perdamaian berpotensi menciptakan suatu budaya damai yang akan menjadi budaya tandingan bagi budaya kekerasan.

Menurut Page (2008), pendidikan perdamaian adalah suatu usaha untuk menumbuhkan prinsip dan komitmen, serta usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan, nilai, sikap, yang dapat mewujudkan perdamaian, sehingga mereka layak disebut sebagai agen-agen perdamaian. Ada dua poin penting yang ditekankan Page, yakni usaha menumbuhkan komitmen untuk senantiasa hidup dengan damai dan pemberian informasi tentang berbagai pengetahuan yang dapat menjadi bekal bagi para agen perdamaian.

Pendidikan perdamaian memang belum banyak dirasakan pengaruhnya di Indonesia. Pendidikan perdamaian sepertinya masih merupakan sebuah konsep yang abstrak. Kedalaman dan keluasan dari substansi pendidikan perdamaian, seperti definisi, pokok kajian, metode, konteks, subjek pembelajar, dan sebagainya membuatnya menjadi semakin kompleks. Banyak yang belum

(4)

4 memahami bagaimana seharusnya pendidikan perdamaian dilaksanakan, siapa yang paling efektif mempelajari pendidikan perdamaian, dan dalam konteks apa.

Pesantren adalah tempat untuk mencetak kader faqih fi ‘ulum al-din dan faqih fi mashalih al-ummah (Harningsih, 2008). Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tetap istiqamah dan konsisten melakukan perannya sebagai pusat pendalaman ilmu-ilmu agama dan lembaga dakwah islamiyah yang ikut serta mencerdaskan bangsa telah diakui oleh masyarakat, dibuktikan dengan keberhasilannya dalam mencetak tokoh-tokoh agama, pejuang bangsa serta tokoh masyarakat, baik di masa pra-kemerdekaan, setelah kemerdekaan maupun di zaman sekarang. Ini merupakan bukti nyata bahwa pondok pesantren telah banyak memberikan kontribusi dalam membangun Indonesia (Zarkasyi, 2005).

Dunia pesantren memegang saham terbesar dalam usaha membentuk dan mewarnai corak pemikiran dan sikap generasi muslim. Pembentukan karakter cinta damai dalam masyarakat Islam mustahil dilakukan secara instan tanpa usaha yang konsisten dan berkelanjutan (Bakar, 2015).20 Keterkaitan erat antara pesantren dengan komunitas lingkungannya yang dalam banyak hal terus bertahan hingga kini, pada segi lain, justru dapat menjadi beban bagi pesantren itu sendiri. Terlepas dari perubahan-perubahan sosio-kultural dan keagamaan yang terus berlangsung dalam kaum muslimin Indonesia sekarang ini, harapan masyarakat kepada pesantren tidak berkurang.

Dengan sistem pendidikan, pengajaran dan tradisinya yang khas, pesantren berpotensi meningkatkan keterbukaannya kepada dunia luas dan menawarkan agenda yang lebih universal termasuk dalam mendukung perdamaian dunia, resolusi konflik dan penegakan HAM. Tokoh-tokoh pesantren sadar betul bahwa mereka harus berperan penting dalam proses perubahan sosial dan menjaganya agar berjalan secara baik dan tidak merusak tatanan sosial yang bermoral. Bagi pesantren, kehidupan sosial yang damai lebih bermaslahah bagi kemajuan pesantren serta dakwah Islamiyah (Bamualim, 2015).

Pondok Pesantren LDII Sumber Barokah Kabupaten Karawang merupakan salah satu pesantren yang peduli dalam melestarikan cagar budaya dan persemayaman kader ulama yang berkualitas serta mengembangkan pedagogi

(5)

5 budaya damai. Di pesantren ini para santri digembleng dengan kajian keagamaan yang begitu luas dan dasar-dasar moral mulai ditanamkan. Jika disebut sebagai cagar budaya dan tempat persemayamannya kader ulama, maka Pesantren Sumber Barokah memiliki peranan yang penting dalam menanamkan nilai-nilai Islam yang damai dan sejuk.

Pesantren Sumber Barokah berupaya mengembangkan nilai-nilai universal, khususnya nilai-nilai toleransi, kebersamaan serta kepedulian terhadap sesama sebagai kerangka dasar bagi tumbuh suburnya nilai-nilai perdamaian dan harmoni. Pedagogi pesantren seperti ini menjadi jawaban kesalahfahaman terhadap anggapan bahwa pesantren adalah tempat yang subur dalam menanamkan paham radikalisme, karena pesantren adalah satu-satunya tempat yang paling identik dengan kajian keislaman secara ketat. Hal tersebut penting

untuk disikapi agar kita tidak menjadi “gelap”, karena isu radikalisme dan terorisme terhadap dunia pendidikan pondok pesantren dapat menimbulkan dampak yang besar di tengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan latar belakang di atas, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta memandang penting dilakukannya penelitian tentang pedagogi budaya damai yang dilakukan oleh Pesantren Sumber Barokah di Kabupaten Karawang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang model proses pelaksanaan pedagogi budaya damai di Pesantren Sumber Barokah. Hasil penelitian diharapkan berguna untuk memberi masukan bagi pemangku kebijakan dalam upaya merancang program pendidikan budaya damai di pesantren.

(6)

6 BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL Pendidikan Damai

Dalam pandangan Islam, persaudaraan, persatuan, kekeluargaan, dan perdamaian merupakan nilai-nilai yang harus diperjuangkan manusia dalam menjalani kehidupan bersama di dunia ini. Keharusan ini bukan semata dilandasi oleh kecondongan manusia pada nilai-nilai universal tersebut, tapi justru karena adanya tendensi alamiah manusia untuk mengabaikannya. Atas dasar itu, menjadi tugas moral manusia untuk memperbaiki hubungan yang terlanjur retak akibat konflik dan permusuhan (Abubakar, 2015).

Kata damai atau perdamaian dalam bahasa Al-Qur’an sebagaimana

pendapat Quraish Shihab yang dikutip oleh Nurzaman (2008) bisa ditunjuk dengan kata salam. Selanjutnya Quraish Shihab membagi makna damai menjadi dua macam, yaitu damai pasif dan damai aktif. Damai pasif seperti ucapan selamat kepada seseorang yang terlepas dari bahaya atau kecelakaan. Sedangkan damai aktif, seperti ucapan selamat kepada orang yang sukses dalam usahanya. Karena bukan saja ucapan selamat dari keburukan, tetapi lebih dari itu meraih suatu kebajikan (sukses) yang gemilang.

Sedangkan menurut Galtung dalam Tilahun (2015), memaknai kata

“perdamaian” dalam kaitannya dengan struktur sosial dan budaya sebagai perdamaian positif dan perdamaian negatif. Ada situasi atau kondisi tertentu yang menyebabkan perdamaian dapat disebut positif atau negatif. Menurut Galtung, perdamaian negatif adalah damai yang dipaksakan selama tidak ada kekerasan, seperti gencatan senjata, hidup terpisah, serta menjalin sebuah relasi yang tidak acuh satu dengan yang lain, sedangkan perdamaian positif berarti hadirnya keselarasan atau keharmonisan, keadilan secara struktural, sebagaimana makna damai yang sesungguhnya.

Pernyataan Galtung pada dasarnya menjadi hal yang cukup penting karena memberikan gambaran yang mendasar, bahwa perdamaian tidak selamanya dimaknai sebagaimana makna yang sesungguhnya. Sehingga pendidikan budaya

(7)

7 damai bertujuan untuk menciptakan perdamaian positif yakni sebagai suatu upaya pemberian keterampilan untuk mencegah konflik dan kekerasan melalui usaha merubah atau menciptakan tatanan sosial yang lebih adil, menyelesaikan akar masalah bukan hanya kulitnya, serta menciptakan suatu kehidupan damai secara nyata. Apabila terjadi konflik, perdamaian akan menjadi transformator bagi konflik untuk menciptakan tatanan baru yang lebih baik bagi semua.

Keberhasilan pendidikan budaya damai tidak ditunjukkan oleh angka-angka, melainkan mengacu pada kualitas kompetensi untuk merespon kesulitan hidup yang dihadapi bersama. Pendidikan damai memadukan beragam tradisi pedagogi dan teori-teori pendidikan secara bersamaan, sambil mengembangkan inisiatif untuk memajukan manusia melalui proses belajar. Pendidikan damai dilakukan secara dinamis, interdisipliner dan multicultural.

Dalam pendidikan damai, kondisi damai dipahami tidak sekedar sebagai tiadanya bentuk-bentuk kekerasan langsung, melainkan juga terwujudnya kondisi damai yang positif. Pendidikan damai dengan demikian mencakup seluruh aspek dalam perdamaian. Pendidikan damai diarahkan untuk menumbuhkan tiga aspek utama–pengetahuan (knowledge) sebagai cognitive domain, keterampilan (skill) sebagai psychomotoric domain, dan sikap (attitude) atau affective domain–yang untuk mengembangkan budaya damai secara global.

Dengan memusatkan pada pengembangan kemampuan para peserta didik seperti itu, pendidikan budaya damai menjadi relevan dalam berbagai latar belakang pendidikan yang berbeda, dari daerah pedesaan hingga perkotaan, dari pengelolaan pendidikan berbasis sekolah hingga manajemen pendidikan berbasis masyarakat, serta bagi kurikulum formal maupun non-formal. Secara lebih luas, melalui konteks sosial, budaya, ekonomi dan politik masing-masing para pendidik dapat membentuk materi dan metode yang spesifik dalam upaya pendidikan damai ini sehingga inti pengetahuan, keterampilan dan sikap dapat bervariasi dan berkesesuaian dengan berbagai lingkungan pendidikan.

(8)

8 Transformasi Budaya

Para pakar menyatakan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah seperangkat sarana yang diperoleh untuk membudayakan nilai-nilai budaya masyarakat yang dapat mengalami perubahan-perubahan bentuk dan model sesuai dengan tuntutan kebutuhan hidup masyarakat dalam rangka mengejar cita- cita hidup yang sejahtera lahir maupun batin (Azzafi, 2017).

Berdasarkan pendapat tersebut maka pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan budaya karena antara pendidikan dan budaya terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yaitu nilai-nilai. Dengan demikian tidak ada suatu proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tidak ada suatu pendidikan tanpa kebudayaan dan masyarakat.

Pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan adalah kebudayaan. Pendidikan bertujuan membentuk manusia agar dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahahankan kelangsungan hidup. Pendidikan berbasis budaya menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengatasi segala tantangan kehidupan yang berubah-ubah dan semakin berat.

Selain itu pendidikan memberikan jawaban dan solusi atas penciptaan budaya yang didasari oleh kebutuhan masyarakat sesuai dengan tata nilai dan sistem yang berlaku di dalamnya Pendidikan sebagai transformasi budaya dapat dikatakan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Seperti bayi lahir sudah berada di dalam suatu lingkungan budaya tertentu (Tilaar, 1991).

Proses transformasi budaya dapat di lakukan dengan cara mengenalkan budaya, memasukan aspek budaya dalam proses pembelajaran. Kebudayaan merupakan dasar dari praksis pendidikan maka tidak hanya seluruh proses pendidikan berjiwakan kebudayaan nasional saja, tetapi juga seluruh unsur kebudayaan harus di perkenalkan dalam proses pendidikan. Untuk membangun

(9)

9 manusia melalui budaya maka nilai-nilai budaya itu harus menjadi satu dengan dirinya, untuk itu di perlukan waktu panjang untuk transformasi budaya.

Pondok Pesantren

Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh dan berkembang serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) yang santri-santrinya menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan kepemimpinan seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal (Djamaluddin & Abdullah Aly: 1998).

Sejak awal pertumbuhannya, dengan bentuknya yang khas dan variatif, pondok pesantren terus berkembang. Namun perkembangan yang signifikan muncul setelah persinggungan dengan sistem persekolahan atau dikenal dengan sistem madrasi, yaitu sistem pendidikan dengan pendekatan klasikal sebagai lawan dari sistem individual yang berkembang di pondok pesantren sebelumnya.

Pesantren atau Pondok Pesantren seringkali kurang dipahami oleh masyarakat diluar lingkunganya, meski telah hadir sejak ratusan tahun silam. Padahal secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dikembangkan secara indigenous oleh masyarakat Indonesia. Karena sebenarnya pesantren merupakan produk budaya masyarakat Indonesia yang sadar sepenuhnya akan pentingnya arti sebuah pendidikan bagi orang pribumi yang tumbuh secara natural. Terlepas dari mana tradisi dan sistem tersebut di adopsi, tidak akan mempengaruhi pola yang unik (khas) dan telah mengakar serta hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Karel A. Steenbrink (1974) mengutip pendapat Amir Hamzah bahwa secara terminologi dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji bukanlah berasal dari istilah Arab melainkan dari India. Demikian

(10)

10 juga istilah pondok, langgar di Jawa, surau di Minangkabau dan rangkang di Aceh bukanlah istilah Arab, tetapi dari istilah yang terdapat di India.

Disamping itu, ada beberapa pendapat mengenai asal kata “pesantren”,

Prof. John berpendapat bahwa kata pesantren berasal dari terma “santri” yang diderivasi dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sementara itu C.C. Berg berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa India “shastri” yang berarti orang yang memiliki pengetahuan tentang buku-buku suci (kitab suci). Berbeda dengan keduanya, Robson berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa Tamil “sattiri” yang berarti orang yang tinggal di sebuah rumah gubuk atau bangunan keagamaan secara umum (Dawam dan Ta’arifin: 2005).

Sementara HA Timur Jailani memberikan batasan pesantren adalah gabungan dari berbagai kata pondok dan pesantren. Istilah pesantren diangkat dari kata santri yang berarti murid atau santri yang berarti huruf, sebab dalam pesantren inilah mula-mula santri mengenal huruf, sedang istilah pondok berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan atau hotel. Akan tetapi pondok di Indonesia khususnya di pulau jawa lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri (Jailani: 1983). Perkataan pesantren menurut Zamakhsyari Dhofier (1990) berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri.

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai asal muasal pesantren, tetapi pada hakekatnya mengandung pengertian yang sama. Perlu digaris bawahi adalah bahwa pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri sampai saat ini masih tetap konsisten dalam memegang nilai-nilai, budaya, serta keyakinan agama yang kuat. Bahkan, pesantren diakui sebagai lembaga pendidikan yang memiliki kemandirian dan independensi yang tinggi.

Malik Fadjar membanggakan kemandirian pesantren dengan mengatakan bahwa kalau ditinjau dari kemandirian, pesantren lebih unggul ketimbang

(11)

11 pendidikan yang paling bertanggung jawab terhadap membludaknya pengangguran.

(12)

12 BAB III

METODE PENELITIAN

Metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu “metha” berarti melalui atau melewati dan “hados” berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu (Zuhairini: 1993). Sedangkan menurut Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, metode adalah cara yang telah teratur dan terfikir baik-baik untuk mencapai sesuatu maksud; cara menyelidiki; atau cara belajar. Metode merupakan suatu cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (http://kbbi.web.id/metode).

Dalam bahasa Arab metode disebut manhaj, wasilah, kaifiyah, dan thoriqoh, semuanya adalah sinonim, namun yang paling populer digunakan dalam dunia pendidikan Islam adalah thoriqoh, bentuk jama’ dari thuruq yang berarti jalan atau cara yang harus ditempuh (Tauhied: 1990). Sedangkan dalam bahasa Inggris, metode di sebut method dan way, keduanya diartikan cara. Sebenarnya yang lebih layak diterjemahkan cara adalah kata way, bukan kata method. Karena

metode istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian “cara yang

paling tepat (efektif) dan cepat (efisien) dalam melakukan sesuatu”(Tafsir: 2004). Penelitian secara umum diartikan sebagai suatu proses pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan logis untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Pengumpulan dan analisis data menggunakan metode-metode ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, eksperimental ataupun noneksperimental, interaktif ataupun noninteraktif. Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Mc Millan dan Schumacher (1989) yang mendefinisikan penelitian sebagai suatu proses sistematik pengumpulan dan penganalisisan informasi (data) untuk berbagai tujuan (Wiersama, 1991).

Metode penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam pengumpulan data dan analisis data yang diperlukan, guna menjawab persoalan yang diselidiki dan diteliti (Furhan: 2007). Metode penelitian mengandung prosedur dan cara melakukan verifikasi data yang diperlukan untuk memecahkan dan menjawab

(13)

13 masalah penelitian. Metode penelitian akan memberikan petunjuk bagaimana penelitian itu dilaksanakan. Peran metode sangatlah diperlukan untuk menghimpun data dalam penelitian (Sudjana dan Ibrahim: 1989).

Berdasarkan hat tersebut di atas, metode penelitian akan memberikan petunjuk tentang bagaimana penelitian dilakukan. Metode penelitian menjadi bagian penting dalam proses penelitian karena berbicara mengenai cara peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dengan kata lain, metode penelitian merupakan alat yang digunakan untuk menentukan pendekatan penelitian, jenis penelitian, metode pengumpulan data, teknis analisis data, uji keabsahan data serta site penelitian dan batasan penelitian.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan fenomena aktual dan menganalisanya (Gunawan, 2013). Analisis data dalam penelitian ini diarahkan untuk menjawab rumusan masalah, tidak untuk menguji hipotesis. Dengan demikian data utama dari penelitian ini dapat diketahui dengan jelas dari analisis deskriptif. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif jenis studi kasus sebagai strategi penelitian.

Pengumpulan data dilakukan melalui teknik observasi, wawancara, studi dokumentasi dan angket. Observasi dilakukan dengan melakukan kunjungan langsung ke Pesantren Sumber Barokah Karawang. Wawancara dilakukan terhadap sejumlah narasumber baik pihak Pesantren (Pengurus Wilayah LDII Jawa Barat, Pengurus Daerah LDII Kabupaten Karawang, Pimpinan dan Pengurus Pondok Pesantren Sumber Barokah, Orang Tua Santri, dan Santri) maupun instansi terkait (Kasi PD Pontren Kemenag Kabupaten Karawang, Penyuluh Agama, Pengawas dan warga di sekitar Pesantren Sumber Barokah) ataupun lembaga terkait yang memiliki andil dalam proses kegiatan belajar di Pesantren Sumber Barokah. Studi dokumentasi dilakukan terhadap berbagai sumber informasi yang relevan dengan topik penelitian.

Selanjutnya, seluruh data yang telah terkumpul diolah dan dianalisis untuk menghasilkan gambaran deskriptif menyangkut Model Pedagogi Budaya Damai di Pesantren Sumber Barokah Kabupaten Karawang. Dengan analisis demikian, diharapkan penelitian ini akan melahirkan kesimpulan berupa proposisi-proposisi

(14)

14 yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Seluruh kegiatan yang dilakukan kemudian ditulis dalam suatu laporan yang rinci, sistematis dan sesuai dengan kaidah ilmiah.

(15)

15 BAB IV

LEMBAGA DAKWAH ISLAM INDONESIA

Dalam konsep masyarakat madani atau masyarakat yang beradab, terjadi pola kemitraan antara pemerintah/negara dengan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat diwakili oleh organisasi kemasyarakatan (Ormas). Mereka mempunyai peranan penting dalam mewujudkan tujuan dan sasaran pembangunan nasional. Di era demokrasi seperti saat ini, partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan bangsa merupakan suatu keniscayaan.

Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan dan tujuan, untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. LDII adalah organisasi kemasyarakatan atau ormas yang didirikan warga negara Republik Indonesia yang mempunyai kesamaan aspirasi, kebutuhan dan tujuan, untuk secara bersama-sama mencapai tujuan NKRI dengan cara bekerja sama dengan komponen masyarakat dan negara dalam naungan NKRI.

Sejarah LDII dimulai dengan lahirnya LEMKARI setelah Pemilu 1971 yang dimenangkan oleh Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar. Keberhasilan Golkar tersebut tak bisa dilepaskan dari jasa K.H. Nurhasan dan para santrinya, yang membantu mengkampanyekan Golkar.

Seperti diketahui sebelum Pemilu 1971, partai-partai Islam menghadapi masa-masa sulit karena tekanan dari Orde Baru yang ingin menegakkan ideologi Pancasila. Di saat gerakan umat Islam nyaris mati suri, tiba-tiba Mudijomo datang dengan ide menghidupkan sosialisme Islam. Mudijomo dan lainnya saat itu melihat umat Islam merupakan kelompok terbelakang sehingga tidak mampu berpikir kritis. Ia berpikir bahwa sosialisme harus menyentuh masyarakat. Oleh karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, logikanya aktivis sosialis

(16)

16 harus masuk ke dalam kelompok Islam. Bersama Soedirman , Mudijomo mengkritisi para santri yang hidupnya tradisionil dan tidak memiliki kendaraan politik. Pemerintah Orde Baru sendiri menekan ormas-ormas Islam untuk tidak mengurusi politik tetapi lebih fokus untuk mengurus agama atau hanya fokus ibadah. Dalam kondisi seperti itu Mudijomo membuat Islamic Study Club (ISC) dengan tujuan untuk membangun kesadaran umat Islam dalam berpolitik. Sementara itu Soedirman membentuk Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI). Namun demikian, antara Mudijomo dan Soedirman tidak mencapai titik temu. Mudijomo tidak sepakat gerakan membangun umat Islam diformalkan, karena sifatnya gerakan. Langkah yang diambil oleh Mudijomo selanjutnya adalah mencari guru untuk mengisi pengajian. Pada umumnya semua mubaligh yang melamar untuk mengajar di ISC meminta gaji. Mudijomo naik pitam, sebab menurutnya, ternyata umat Islam sulit diajak untuk maju. Umat Islam bagi Mudijomo tidak memiliki militansi untuk membangun kelompoknya.

Sekitar 1967 datanglah seorang mubaligh bernama Bronto yang ingin melamar menjadi pengajar di ISC. Mudijomo mengatakan kepada Bronto, bahwa dalam gerakan membangun umat Islam ini tidak ada bayaran. Bahkan, bila berdakwah di desa, mubaligh harus menghidupi diri sendiri dengan bekerja. Hal itu tidak menjadi masalah bagi Bronto. Mudijomo terpesona dengan keteguhan Bronto. Sejak pertemuan itu dimulailah serangkaian diskusi. Kompleksnya permasalahan agama dan politik dalam diskusi itu mendorong Bronto untuk memperkenalkan gurunya yang bernama K.H. Nurhasan kepada Mudijomo. Mudijomo mengungkapkan pandangan-pandangan politiknya kepada K.H. Nurhasan, bahwa umat Islam harus memiliki kesadaran berorganisasi untuk meraih cita-cita bersama. Mudijomo menginginkan umat Islam yang maju dan mandiri. Pandangan Mudijomo ini menjadi diskusi yang panjang, sebab K.H. Nurhasan mengimbanginya dengan sudut pandang ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits.

Setelah melakukan serangkaian pertemuan dan diskusi, Mudijomo menaruh simpati kepada K.H. Nurhasan. Mudijomo menyebut Pak Haji atau K.H. Nurhasan

(17)

17 itu oke. Di mata Mudijomo, sosok K.H. Nurhasan adalah ulama yang sangat toleran, yaitu menghargai perbedaan pendapat dan tidak suka memaksakan kehendak. Sebagai contoh, meskipun Mudijomo mendirikan ISC, dia tetaplah seorang sekuler yang tidak pernah salat, demikian pula keluarganya. Bahkan

ketika K.H. Nurhasan mengajaknya salat, dia menolak halus, “Nanti saja Pak Haji.”

K.H. Nurhasan tidak pernah membenci Mudijomo. Meskipun begitu, K.H. Nurhasan tidak pernah berhenti mengingatkan Mudijomo ketika waktu salat telah tiba.

Hubungan yang intensif dengan K.H. Nurhasan, membuat Mudijomo merasa ISC berjalan ke arah yang tepat. Sebaliknya di pengajian yang diselenggarakan oleh K.H. Nurhasan, Mudijomo berperan sebagai penasihat politik. Hubungan yang saling menguntungkan ini menjadi perbincangan di kalangan aktivis. Di mata koleganya, keterlibatan Mudijomo dalam pengajian K.H. Nurhasan menjadi semacam contoh konkrit gerakan sosialisme kerakyatan dengan mendekati kelompok Islam. Mudijomo memperoleh simpati dari aktivis lain perihal kesuksesannya itu. Selanjutnya Mudijomo mengajak koleganya, kader-kader muda meramaikan masjid K.H. Nurhasan. Dengan demikian kegiatan ISC di masjid K.H. Nurhasan di Burengan, Kediri semakin ramai. Meskipun demikian, ISC masih tetap merupakan sebuah gerakan yang bersifat nonformal sebagaimana yang dimaksudkan oleh Mudijomo.

Ketika kolaborasi K.H. Nurhasan dengan para aktivis seperti Edy Masiadi, Tri Dayat, Cak Kadarusman (seniman Surabaya), Sudiyono (Ketua PWI Kediri), dan Mudijomo, serta Kuntjoro dari PNI sedang dibuai semangat, tiba-tiba pada 1969 terdengar desas-desus bahwa pengajiannya akan diberangus oleh aparatur negara. Apalagi, sejak pembubaran JPID pada 1968, praktis kegiatan pengajian K.H. Nurhasan tanpa diwadahi dalam suatu organisasi. Hal itu bisa dianggap sebagai organisasi liar atau organsisasi tanpa bentuk, sehingga kegiatannya pun juga dianggap liar. Dengan demikian pemerintah atau intelijen memiliki dalih pembenar untuk membubarkan pengajiannya.

Sementara itu, Sekber Golkar membutuhkan bantuan umat Islam untuk memenangkan Pemilu yang waktu itu direncanakan akan dilaksanakan pada 1971.

(18)

18 Sekber Golkar sadar, mereka tidak akan menang di Jawa Timur karena wilayah itu adalah wilayah Soekarnois dan kelompok Islam.

Rupanya titik terang justru datang dari Sekber Golkar. Untuk kebutuhan menggandeng umat Islam, pada 1970 Bupati Nganjuk Soeprapto, BA dan Pangdam Brawijaya Mayjen Widjojo Soejono menawarkan kepada K.H. Nurhasan untuk bergabung ke Sekber Golkar. Untuk urusan bergabung ke Sekber Golkar, keduanya merekomendasi Mudijomo dan Edy Masiadi menemui Mayjen Amir Moertono. Mudijomo dan Edy Masiadi mendekati Mayjen Amir Moertono dengan pendekatan kekeluargaan, yaitu sebagai sesama warga Kertosono. Kebetulan, Amir Moertono berasal dari Desa Pelem, Kecamatan Kertosono, berdekatan dengan kampung halaman Edy Masiadi, di Desa Pujomarto, Kecamatan Purwoasri. Keduanya bahkan berkawan akrab. Rumah keluarga Amir Moertono bertetangga dengan keluarga K.H. Nurhasan. Bahkan keluarga Amir Moertono mengenal benar kakek hingga ayah K.H. Nurhasan. Mudijomo dan Edy Masiadi menyatakan kepada sang jenderal, bahwa pengajian K.H. Nurhasan tidak layak dibubarkan, sebab sama sekali jauh dari urusan politik. Keduanya juga meyakinkan Amir Moertono, bergabungnya K.H. Nurhasan bisa memperkuat Sekber Golkar untuk meraih suara sebanyak-banyaknya di Pulau Jawa.

Tawaran Mudijomo dan Edy Masiadi tidak bertepuk sebelah tangan. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa sejak 1967 Sekber Golkar ditinggalkan 13 ormas Islam . Dalam situasi seperti itu, dengan sendirinya Sekber Golkar akan kehilangan pemilih dari kalangan santri. Oleh sebab itu kehadiran K.H. Nurhasan yang juga memiliki para santri yang militan merupakan kekuatan yang potensial untuk mendulang suara dari sebagian kalangan santri.

Mayjen Amir Moertono menawarkan K.H. Nurhasan dan para santrinya masuk ke dalam Sekber Golkar, dengan syarat K.H. Nurhasan dapat menunjukkan loyalitas

Dalam buku Sejarah Golkar, 13 ormas Islam itu adalah Muhammadiyah, Al Jamiatul Wasliah,

Gasbiindo, Nahdlatul Wathan, Mathla’ul Anwar, Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII), Kongres Buruh Islam Merdeka (KBIM), Persatuan Umat Islam, Persatuan Organisasi Buruh Islam se-Indonesia (PORBISI), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Pembina Iman Tauhid Islam yang kemudian berubah menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Al Irsyad, dan Wanita Islam.

(19)

19 terhadap sekber Golkar, bukan sebagai oposisi. Permintaan ini direspons oleh K.H. Nurhasan dengan membantu pemenangan Golkar di Pulau Jawa. Komitmen ini ditunjukkan oleh K.H. Nurhasan saat menghadap Presiden Soeharto di Jakarta. Untuk imbalan membantu pemenangan Sekber Golkar, K.H. Nurhasan meminta pemerintah menjaga dan menjamin kebebasan untuk melaksanakan ibadah. Presiden Soeharto dan Sekber Golkar menyanggupinya.

Pemilu pertama di era Orde Baru dihelat pada 3 Juli 1971. Masa kampanye dilaksanakan sejak April 1971. Rentang waktu yang pendek antara diterimanya K.H. Nurhasan ke dalam Sekber Golkar dan masa kampanye menuntut K.H. Nurhasan untuk berpikir cepat mengenai apa yang harus ditampilkan di depan masyarakat untuk menarik perhatian massa. Selanjutnya terbetiklah keinginan untuk memanfaatkan ketrampilan bermotor dalam aksi akrobatik. Oleh karena ini merupakan aksi akrobatik, dibutuhkan motor lebih dari satu. K.H. Nurhasan selanjutnya mengkoordinir seluruh santrinya yang memiliki motor besar agar ikut berkampanye. Bahkan para santri yang tersebar di berbagai provinsi diajak untuk membeli Harley Davidson.

Wujud totalitas K.H. Nurhasan membantu kampanye Golkar tidak main-main, selain dukungan puluhan motor Harley Davidson, K.H. Nurhasan mengkampanyekan Orde Baru dan Sekber Golkar melalui radio swasta atau radio amatir yang disiarkan dari pesantren Burengan, yaitu Radio Amatir Barokah atau Radam Barokah. Radio yang biasanya menyiarkan nasehat agama dan pengajian, menyelipkan pula pesan-pesan memilih Sekber Golkar. K.H. Nurhasan juga mengerahkan drumband yang anggotanya terdiri dari para santri. Semetara itu murid-murid yang tersebar di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera dimobilisasi untuk mengkampanyekan Golkar. Atraksi K.H. Nurhasan dan para santrinya itu mengundang decak kagum bukan hanya dari masyarakat tetapi juga dari anggota Dewan Pembina Sekber Golkar, antara lain Sultan Hamengkubuwono IX dan Ketua Umum Sekber Golkar Letjen Suprapto Sukowati. Mereka memuji penampilan Djamaah Motor Club (DMC) yang dipimpin K.H. Nurhasan saat tampil dalam kampanye di Surabaya.

(20)

20 Hasil pemilu 1971 memang mencengangkan semua pihak. Persiapan Sekber Golkar yang hanya dua tahun itu berhasil memenangkan Pemilu dengang suara 62,7 persen atau 34.348.673 suara dari total 54.749.509 pemilih secara nasional. Di Jawa Timur yang menjadi basis Soekarnois (PNI) dan kelompok-kelompok Islam, Sekber Golkar meraih 54,91 persen suara. Peran K.H. Nurhasan mengangkat suara Sekber Golkar tidak bisa diabaikan.

Di saat kesehatan K.H. Nurhasan menurun, ia menyatakan mengundurkan diri atau menarik diri dari segala aktivitas pengajaran di Pesantren Burengan, Kediri. Kemudian kepengurusan pesantren diserahkan kepada Drs. Nurhasjim, R. Eddy Masiadi, Drs. Bahroni Hartanto, Soetojo Wirjoatmodjo B.A., dan Wijono B.A. Mereka membentuk organisasi untuk membina para santri K.H. Nurhasan. Kelompok pemuda inilah yang kemudian membentuk Yayasan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada 1 Januari 1972 dengan akta notaris Mudijomo tertanggal 3 Januari 1972 Nomor 1, yang kemudian diperbarui dengan Akta Notaris Mudijomo tanggal 27 Djuli 1972 tentang Pembetulan Akta Tanggal 3 Januari 1972 Berisi Pembentulan Tanggal Pendirian LEMKARI, menjadi tanggal 1 Juli 1972. Nama LEMKARI merupakan usulan Mayjen Wijojo Sujono yang kebetulan menjadi Ketua Umum Federasi Olahraga Karate Indonesia (FORKI) yang membawahi Lembaga Karate-Do Indonesia (Lemkari). Para santri K.H. Nurhasan sempat menyatakan

kebimbangan dengan nama Lemkari. Mayjen Widjojo Sujono menyatakan, “Agar

orang tahu juga, bahwa LEMKARI itu saya yang mendirikan yaitu Lembaga Karate-Do Indonesia yang juga disingkat Lemkari.”

Di dalam mottonya, LEMKARI menunjukkan sikap mereka dalam berdakwah yang lebih toleran dan menghargai keyakinan orang lain. LEMKARI membawa semangat baru, dakwah tanpa kekerasan atau tanpa menghujat pihak lain yang sering dituduhkan kepada K.H. Nurhasan dan para santrinya. Sikap ini juga sekaligus untuk menegaskan bahwa organisasi baru ini, adalah organisasi Islam yang nasionalis dan berasaskan Pancasila.

Lemkari Menjadi Organisasi Dakwah

Penataan diri untuk menyamakan persepsi bagaimana LEMKARI di masa mendatang menjadi ide dasar mengumpulkan para alumni Pesantren Banjaran

(21)

21 Burengan, Kediri. Perhelatan yang bertema temu kangen alumni Pondok Pesantren Banjaran Burengan itu diadakan pada 9 – 10 Februari 1975 di Pondok Pesantren Banjaran Burengan yang dihadiri oleh Mayjen TNI Amir Murtono, SH, Ketua Umum Golkar. Pertemuan ini dihadiri sembilan perwakilan provinsi dari seluruh Indonesia. Pada akhirnya, acara ini menjadi semacam rekonsiliasi berbagai perbedaan pendapat. Secara aklamasi para alumni Pesantren Banjaran Burengan, Kediri, menyatakan diri bergabung dengan LEMKARI.

Peristiwa tersebut menjadi Mubes (Musyawarah Besar) pertama bagi LEMKARI. Para peserta menyepakati memilih R. Eddy Masiadi sebagai Ketua Umum Direktorium Pusat dan M. Noer Ali terpilih sebagai sekretaris umum. Oleh karena para peserta Mubes berdatangan dari berbagai provinsi, keputusannya merupakan kebijakan organisasi seutuhnya. Akhirnya disepakati pula, LEMKARI dalam menjalankan fungsi dakwah dan pendidikan, bukan lagi bersifat kedaerahan tapi bersifat nasional, dengan perwakilan provinsi dan senat kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Meskipun demikian, direktorium pusat LEMKARI tetap berkedudukan di Pondok Pesantren Banjaran Burengan, Jalan HOS Cokroaminoto No. 195, Kediri, Jawa Timur. Dalam hal ini santri-santri K.H. Nurhasan tidak semuanya bergabung ke dalam LEMKARI. Di Jakarta misalnya, mereka membentuk Karyawan Dakwah Islam (Kadim), di Jawa Barat membentuk Lembaga Karyawan Dakwah Islam (LKDI), di Jawa Tengah dibentuk Yayasan Karyawan Islam (Yakari), dan di Kalimantan Selatan membentuk Karyawan Tabligh Islam (Karti).

Hubungan LEMKARI dan Golkar semakin dekat. Berdasarkan rekomendasi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Pangkopkamtibda) Jawa Timur No. STR 54/KAMDA/4/1973 yang resmi turun pada 2 April 1973 dan rekomendasi dari DPD Golkar Jawa Timur No. STR 01/GOLKAR/1974, LEMKARI secara resmi menjadi organisasi yang terhimpun dalam Golkar. LEMKARI merupakan organisasi kemasyarakatan Islam yang pertama kali masuk ke dalam tubuh Golkar.

Perkembangan selanjutnya pada 10 – 12 Juni 1981, diadakan Musyawarah Besar (Mubes) LEMKARI yang kedua bertempat di Gedung Granada, Jakarta, yang dihadiri 19 perwakilan daerah tingkat I (Provinsi). Para peserta Mubes pada akhirnya memutuskan untuk berdakwah dalam skala yang lebih luas. Artinya LEMKARI bukan

(22)

22 hanya milik para karyawan atau simpatisannya, namun berubah menjadi lembaga dakwah. Kepanjangan LEMKARI yang awalnya Lembaga Karyawan Islam diubah menjadi Lembaga Karyawan Dakwah Islam. Mubes ini memiliki semangat pembaharuan dalam metode dakwah. Para pengurus LEMKARI menyepakati tema

Mubes saat itu adalah “Peningkatan Metodologi Dakwah dalam Rangka Menunjang

Pembinaan Trilogi Kerukunan Hidup Beragama Serta Partisipasi Umat Beragama

dalam Menyukseskan Pembangunan Bangsa”.

Mubes saat itu kembali menegaskan, LEMKARI sebagai lembaga pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan terus menjaga citranya, yang dirumuskan ke dalam kerangka tri daya guna/fungsi. Fungsi pertama LEMKARI sebagai pendidikan dakwah keagamaan. Fungsi kedua sebagai pendidikan kemasyarakatan, menuntut agar senantiasa memberikan pendidikan nilai dan akhlak kemanusiaan yang luhur, meningkatkan kecerdasan dan kreativitas masyarakat, tanpa memandang golongan dan lapisan masyarakat, memberikan ilmu-ilmu yang dapat langsung diamalkan, melalui metode yang praktis, sehingga masing-masing warga LEMKARI dalam masyarakat tetap utuh dan terpelihara kepribadiannya selaku insan Pancasila. Ketiga, sebagai pengembang potensi Golkar, maka LEMKARI senantiasa berusaha untuk memperluas dan memasyaratkan gagasan-gagasan pembangunan, agar segenap lapisan masyarakat dapat mengerti, serta membina potensi budidaya masyarakat, bersatu dalam barisan Orde Baru dalam keluarga besar Golongan Karya.

LEMKARI menegaskan kembali, bahwa kerukunan antar umat beragama merupakan salah satu prinsip dakwah LEMKARI. Salah satu pokok pikiran dalam prinsip-prinsip dakwah itu, LEMKARI mengharapkan; (a) setiap umat Islam menghilangkan sikap fanatisme buta; (b) menghilangkan sikap tidak peduli atas hak dan perasaan orang lain; (c) membentuk sikap lapang dada, keterbukaan dan toleransi, tanpa harus menjadi sinkretis (pencampuradukan) yang dibuat-buat sehingga merusak nilai-nilai agama itu sendiri. Sebagai keluarga besar Golkar, dalam Mubes itu LEMKARI mengeluarkan pernyataan: siap mendukung dan memenangkan Golkar dalam Pemilu 1982.

Untuk menyesuaikan kebijakan organisasi yang bersifat nasional ini, direktorium pusat atau kantor pusat LEMKARI dipindah, dari Kediri ke Jakarta. Lokasi kantor pusat terletak di Jalan Tanah Abang IV/51, Jakarta Pusat. Mubes yang dihadiri

(23)

23 13 perwakilan provinsi ini kembali memilih R. H. Eddy Masiadi sebagai Ketua Umum dan Drs. H. Sjamsuddin Zahar sebagai Sekretaris Jenderal.

Pada 1986, sebanyak 19 perwakilan provinsi bertemu kembali mengadakan Mubes LEMKARI ketiga. Peristiwa ini terjadi pada 2 – 4 Mei 1986. Mubes kali ini menjadi penting karena lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 yang mengatur mengenai organisasi kemasyarakatan. Undang-undang ini mewajibkan semua ormas harus berasaskan Pancasila dalam anggaran dasar organisasi. Dalam mubes ini terpilih Drs. H. A. Suarno sebagai Ketua Umum dan Drs. H. Sjamsuddin Zahar sebagai Sekretaris Jenderal. Direktorium pusatnya pun berpindah dari Jalan Tanah Abang ke Jalan Tawakal IX/13-15, Jakarta Barat. Kelahiran LDII

Pada tahun 1990, Direktorium Pusat LEMKARI berencana menggelar Mubes ke empat yang dihadiri oleh 26 provinsi. Dengan berdiri di bawah naungan Golkar, tentu LEMKARI pada posisi berbeda dengan ormas Islam yang umumnya mendukung PPP. Masalah partisan terhadap partai inilah yang merupakan salah satu pemicu berkembangnya kontroversi dan kesan eksklusif. Pertimbangan-pertimbangan itulah yang membuat kepengurusan hasil Mubes LEMKARI yang ketiga menyelenggarakan Mubes keempat. Untuk itu pendekatan intensif dilakukan dengan Menteri Dalam Negeri Jenderal TNI (Purn) Rudini.

Diskusi dan konsultasi dengan Rudini membuahkan ide-ide segar untuk menyempurnakan keberadaan LEMKARI. Bahkan Rudini menganjurkan LEMKARI mengubah nama, karena nama LEMKARI mirip dengan Lembaga Karate-Do Indonesia yang juga disingkat dengan sebutan LEMKARI, di mana Rudini juga menjabat ketua umumnya. Perubahan nama itu sekaligus juga diupayakan untuk mengubah visi-misi LEMKARI agar lebih profesional, inklusif (terbuka), dan lebih berwawasan nasional. Hal ini sesuai dengan cakupan cabang LEMKARI yang telah tersebar di 26 provinsi di Indonesia. Usulan Rudini dalam pertemuan informal, menjadi pemikiran serius para pengurus LEMKARI saat itu, bahkan Drs. H. A. Suarno berpendapat pergantian nama LEMKARI adalah kehendak sejarah (takdir Allah). Perubahan nama ini menjadi pangkal evolusi organisasi bagi LEMKARI. Perubahan itu diharapkan membuat LEMKARI dapat melakukan lompatan besar memasuki fase kontribusi, menuruti

(24)

24 takdirnya sebagai organisasi kemasyarakatan dan ikut memberi pemikiran-pemikiran dalam pembangunan moral bangsa.

Dari pertemuan dengan Rudini itu, akhirnya lahirlah nama Lembaga Dakwah Islam Indonesia atau LDII. Nama itu segera mencuat dalam Mubes LEMKARI keempat yang digelar pada 19 – 20 November 1990 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. Mubes kali ini dihadiri Menteri Dalam Negeri Rudini dan Ketua Umum DPP Golkar, Wahono. Dalam Mubes itu, secara terbuka Suarno menyebut perkembangan yang sebelumnya memiliki 19 perwakilan menjadi 26 perwakilan di seluruh Indonesia bukan karena kehebatannya sebagai ketua umum atau pimpinan kolektif Dirpus LEMKARI, namun karena bantuan pemerintah. Posisi ini menunjukkan, Golkar memegang peranan dalam perkembangan LEMKARI. Saat itu LEMKARI menyadari benar hal ini sehingga ketika Suarno tidak berminat mencalonkan dirinya kembali, para pengurusnya memberi jaminan, siapapun ketua umum yang terpilih akan menyalurkan apirasinya ke Golkar. Barangkali hal ini bisa dikatakan sebagai balas budi LEMKARI atas kerjasamanya dengan Golkar. Rudini menyambut baik prakarsa pergantian nama dari LEMKARI menjadi LDII. Dengan harapan, pergantian nama tersebut semakin lebih sesuai dengan ruang lingkup kegiatan, yang diminati serta sifat kekhususan yang melekat pada organisasi, sekaligus juga menunjukkan keindonesiaannya.

Dalam sambutannya, ia menyatakan, “Saya menilai bahwa prakarsa itu sangat tepat agar dapat menghilangkan kerancuan dalam hal nama. Berhubung nama

“Lemkari” ini juga telah dipakai terlebih dahulu oleh organisasi kemasyarakatan lainnya, yang mempunyai kegiatan di bidang olahraga Karate. Karena organisasi ini mempunyai komitmen dengan kegiatan dakwah Islam, maka gagasan untuk menyempurnakan nama Lembaga Karyawan Dakwah Islam menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia akan semakin memperjelas identitas organisasi.”

Melalui Mubes LEMKARI ke empat inilah keputusan perubahan nama dari LEMKARI menjadi LDII dilakukan. Hal ini membawa konsekuensi logis, yakni perubahan susunan pengurus, AD/ART, dan program umum organisasi. Karena itu, para pengurus DIRPUS LEMKARI meminta para perwakilan yang telah membawa pemikiran-pemikiran yang sifatnya kedaerahan, harus meninjau ulang pemikirannya, agar pemikiran mereka menjadi program umum organisasi yang berwawasan

(25)

25 nasional. Dalam salah satu sidang untuk memilih ketua umum yang dipimpin oleh Prasetyo Soenaryo dan Kemal Taruc, salah seorang utusan Jawa Timur yang bernama Supriasto, SH, mengusulkan agar tata tertib Mubes yang mengatur pemilihan ketua umum secara sistem formatur, diubah menjadi pemilihan langsung ketua umum. Usul ini diterima secara bulat oleh peserta. Selanjutnya terpilihlah H. Hartono Slamet sebagai Ketua Umum dan H. Syamsuddin Zahar sebagai Sekretaris Jenderal DPP LDII.

Dengan demikian perubahan nama resmi dari LEMKARI menjadi LDII terjadi pada 20 November 1990. Perubahan nama juga berimplikasi pada perubahan struktur organisasi. Bila LEMKARI susunan organisasinya identik dengan dunia pendidikan, LDII mengubah struktur organisasinya menyesuaikan dengan UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyaratan. Di tingkat provinsi disebut Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I Provinsi (DPD I), yang dipilih oleh musyawarah daerah tingkat I, dan disahkan oleh Dewan Pimpinan Pusat. Demikian pula di kabupaten/kota disebut sebagai Dewan Pimpinan Daerah Tingkat II (DPD II) dan disahkan oleh Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I.

Dengan adanya semangat perubahan ini beberapa pejabat mulai menaruh simpati. Bahkan pada 8 Januari 1992, Mayor Jenderal TNI Sularso, Gubernur Jawa Timur, berkenan hadir dan memberi sambutan di Pondok Pesantren LDII di Kediri, mendampingi kunjungan kerja Rudini, Menteri Dalam Negeri, sekaligus meresmikan gedung Wali Barokah. Tiga tahun kemudian, pada 27 Juni 1995, DPD Tingkat I LDII Jawa Timur semakin mendapat legitimasi dengan kunjungan Panglima Kodam V Brawijaya yang diwakili Kasdam Brigadir Jenderal TNI Slamet ST, pada acara Perkemahan Cinta Alam Indonesia (CAI) yang digelar LDII di Bumi Perkemahan Kosambiwojo, Kombokarno, Wonosalam, Jombang, Jawa Timur.

Kontribusi LDII pada Era Reformasi

Munas V LDII baru terlaksana pada 24 Oktober 1998, atau kurang lebih delapan tahun setelah Munas LDII keempat pada 19 – 20 November 1990. Munas akhirnya menentukan Dr. K.H. Abdullah Syam, M.Sc menggantikan H. Hartono Slamet, dan H. R. Soenaryo, SH selaku Sekretaris Jenderal untuk kepengurusan DPP LDII periode 1998 – 2003. Pada Munas LDII kelima tersebut DPP LDII membawahi 27 DPD Tingkat I Provinsi, termasuk Timor Timur, yang terdiri dari 245 DPD Kabupaten/Kota, yang menampung jutaan anggota dan simpatisan. Di bawah

(26)

26 kepemimpinan Abdullah Syam, DPP LDII menerapkan catur sukses atau empat program pokok LDII. Program ini digadang-gadang akan meningkatkan kontribusi LDII terhadap pembangunan bangsa dan negara. Empat program itu meliputi organisasi, pendidikan dan pembangunan, pemberdayaan potensi LDII, dan peran serta sosial kemasyarakatan.

Baru sembilan bulan mengendalikan biduk organisasi, kepengurusan Abdullah Syam langsung disambut pekerjaan rumah luar biasa. LDII harus bersiap menghadapi Pemilu pada 7 Juni 1999. Pertanyaan yang muncul saat itu adalah: haruskah LDII tetap menyalurkan aspirasinya kepada Golkar? Pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Namun akhirnya terjawab pada kunjungan Ketua Umum Golkar di Pondok Pesantren Wali Barokah, Kediri. Merespons pidato sambutan Ketua Umum Golkar, Ir. Akbar Tanjung pada kunjungan tersebut tentang reformasi dalam tubuh Golkar, LDII memutuskan untuk tetap mendampingi Golkar pada Pemilu 1999. LDII memiliki keyakinan Golkar masih terus memegang komitmen persatuan dan kesatuan bangsa yang sejalan dengan visi dan misi LDII. Keputusan ini bukannya tidak beresiko. Imbas Golkar yang tengah dihujat, merambat kepada LDII yang dianggap ormas pro status quo. LDII dicatat dalam sejarah Golkar sebagai salah satu ormas yang tidak lari meninggalkan Golkar ketika partai itu sedang terpuruk.

Di era kepemimpinan Abdullah Syam, spektrum kegiatan LDII tidak hanya terbatas di bidang dakwah saja, tetapi juga pembinaan moral bangsa secara keseluruhan, termasuk moral dalam berpolitik dan berekonomi. Selain itu, LDII juga mulai menampakkan diri sebagai kekuatan yang aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Hal itu dilakukan pada saat terjadi bencana tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004. Selang dua hari, H Ahmad Kuntjoro, SE, MBA, salah satu Ketua DPP LDII, berangkat ke Aceh untuk mengkoordinir bantuan LDII tahap pertama. Keesokannya, warga LDII membuka posko peduli Aceh di seluruh Indonesia. Pada awal Januari, Abdullah Syam dan pengurus DPP LDII datang ke Aceh membawa bantuan, bersama paramedis, mubaligh, mubalighot, dan relawan LDII lainnya. Kepedulian ini juga diberikan oleh semua DPD LDII di seluruh Indonesia untuk memberikan bantuan kepada masyarakat Aceh.

Pada 11 Mei 2005 DPP LDII menyelenggarakan Munas VI di Hotel Millenium Jakarta. Seharusnya momen ini sudah dilaksanakan pada 2003, namun demikian

(27)

27 karena suasana krisis ekonomi maka pelaksanaannya menjadi mundur. Pelaksanaan Munas VI ini merupakan hasil kesepakatan Rapimnas 2004. Munas VI ini dihadiri DPD LDII dari 32 provinsi, 562 peserta mewakili DPD LDII Kabupaten/Kota, dan 70 peserta peninjau terdiri dari dewan guru pondok pesantren LDII.

Munas VI digelar dengan semangat civil society, kebangkitan kesadaran ormas untuk memenuhi panggilannya dalam rangka menciptakan masyarakat mandiri sebagai mitra pemerintah membangun bangsa dan negara. Inilah yang mendorong panitia mengundang beberapa narasumber yang bukan pejabat negara, misalnya Dr Komaruddin Hidayat, Guru Besar Filsafat dan Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Dr Yudi Latief Deputi Rektor Universitas Paramadina yang juga cendekiawan muslim, dan Dr Ir K.H. Andi Djamaro Dulung, MSc Ketua PBNU mewakili K.H. Hasyim Muzadi yang saat itu menjalani opname di Rumah Sakit Medistra. Pejabat negara yang hadir memberi materi adalah H. R. Agung Laksono Ketua DPR RI, Ferry Mursyidan Baldan Ketua Komisi II DPR RI, dan Dr Abdul Hakim Garuda Nusantara Ketua Komnas HAM.

Pada tanggal 6 hingga 8 Maret 2007, DPP LDII menyelenggarakan Rakernas di Mawar Conference Room, Balai Kartini, Jakarta. Rakernas ini dihadiri oleh 1.200 orang yang terdiri dari 800 pengurus LDII mulai tingkat DPP hingga DPD provinsi dan Kabupaten/Kota, dan 400 ulama yang terdiri dari guru pesantren dan pengurus pesantren. Acara ini dibuka oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Aburizal Bakrie.

Rakernas 2007 seperti menjadi tonggak agar LDII terus amar ma’ruf nahi

munkar. Abdullah Syam menyatakan, “Kami mengajak seluruh masyarakat terutama umat Islam mengelola bumi Allah SWT dengan cara halal, baik, barokah, dan bebas

dari riba.” Usai Rakernas ini DPP LDII melalui tim syariah menyusun kitab fiqih khusus ekonomi syariah, buku saku bermuamalah secara syariah, dan petunjuk mengenai tata cara pembentukan lembaga keuangan mikro syariah. Hingga saat ini, kontribusi nyata LDII dalam pembangunan berbagai sektor terekam, mulai dari pembangunan konstitusi bernegara seperti penegakan Pancasila, pembangunan kesehatan, lingkungan hidup, pemberdayaan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah), pembentukan karakter bangsa melalui pendidikan generasi muda, sampai pada pembangunan pemuda melalui gerakan Pramuka.

(28)

28 Saat itu LDII adalah satu-satunya ormas Islam yang menjadi pelopor penghijauan. Sejak 2007 DPD LDII Jawa Timur mulai melakukan gerakan penghijauan melalui program Go Green. Pada 2010 LDII memperluas menggelar gerakan secara nasional dan telah menanam 3,5 juta pohon.

Sementara di bidang politik, pada Pemilihan Umum Legislatif 2014, 323 warga LDII maju menjadi calon wakil rakyat, mulai dari DPRD Kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Untuk periode 2014-2019, terdapat empat warga LDII yang menjadi anggota DPR RI, sedangkan yang menjadi anggota DPRD provinsi dan kabupetan/kota tidak terhitung.

Selain itu LDII menggalang kerja sama dengan MUI, Departemen Agama, universitas Islam negeri dan swasta, NU, dan Polri menggelar pelatihan juru dakwah untuk menangkal gerakan radikalisme. Untuk penguatan ekonomi syariah, LDII mendirikan berbagai Baitul Maal wa Tanwil (BMT), dan pada 2015 menggelar ASEAN Small and Medium Enterprise Partnership (ASMEP) yang bertujuan membangun kemitraan UMKM se-Asia Tenggara, yang dimulai dengan konvensi dan diikuti gerakan nyata membuat jaringan kerja antar UMKM di negara-negara anggota ASEAN.

Pada periode kepemimpinan Abdullah Syam, legitimasi dan kontribusi LDII di mata pemerintah semakin meningkat, yang ditandai dengan dua kali diterima oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan telah tiga kali diterima oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Pada Munas VIII LDII yang dibuka oleh Menteri Agama dan dihadiri oleh Presiden RI, Prof. Dr. KH. Abdullah Syam, M.Sc terpilih kembali sebagai Ketua Umum DPP LDII, periode 2016-2021.

LDII dengan segala ciri khasnya, dalam akronim namanya mengandung kata

“dakwah”, sedangkan Islam hakikatnya adalah agama dakwah yang rahmatan lil'alamin. Maka dakwah LDII memiliki tiga indikator:

Pertama para pengurus dan warga LDII harus berupaya untuk mempunyai kompetensi dakwah. Kompetensi, membawa akibat setiap warga LDII harus berkemampuan untuk berdakwah, sesuai dengan kemampuannya masing-masing ( bil-hal, bil-kalam, bil-qalam).

Kedua, dalam mewujudkan lahirnya pendakwah, sebagai sebuah organisasi, LDII berkewajiban memberikan iklim yang kondusif bagi lahirnya pendakwah yang berlandaskan semangat amal sholih, dengan niat melaksanakan perintah Allah dalam

(29)

29 Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah SAW melalui Al-Hadits. Niat seperti ini mampu melahirkan pendakwah yang memiliki misi amal sholih sebagai juru dakwah (mubaligh/mubalighot), yang memiliki pengetahuan khusus. Mereka menjadi juru dakwah yang meyakini bahwa berdakwah adalah sebagai kewajiban atau panggilan hidup. Kompetensi seorang pendakwah dibangun dengan merujuk kepada karakter Rasulullah SAW sebagai suri teladan, baik dalam dakwah bil-hal, bil-kalam maupun dakwah bil-qalam. Mereka mengikuti metode dan prinsip-prinsip serta sifat-sifat Rasulullah SAW, yang merupakan indikator sekaligus rujukan utama dalam mencapai kompetensi sebagai seorang juru dakwah.

Selanjutnya, agar dakwah warga LDII dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, maka perlu dipenuhi indikator ketiga, yaitu adanya pengakuan (legitimasi de facto) oleh masyarakat di sekitar warga LDII. Legitimasi de facto mempunyai beberapa indikator: bisa sederhana, bisa bersifat simbolik. Dalam kehidupan masyarakat yang mayoritas beragama Islam, masing-masing kelompok yang mendirikan organisasi berbasis agama Islam tentu mempunyai semangat yang sama, yaitu menunjukkan bahwa agama Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin. Dengan demikian prinsip berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot) merupakan faktor penggerak terjadinya perkembangan dan dinamika internal umat Islam. Dalam prinsip tersebut LDII telah menentukan pilihan metode, yakni LDII fokus

menyiapkan warganya sebagai “insan pembelajar” agar terbangun semangat mencari

ilmu agama secara terus menerus, sehingga dalam melaksanakan ibadah telah memiliki landasan yang kuat dan rujukan yang sahih.

Untuk itu sebagai sebuah lembaga dakwah, yang harus melahirkan para juru dakwah, LDII perlu memenuhi syarat terkondisinya keadaan tersebut, yaitu melalui upaya pembangunan infrastruktur dakwah dan ibadah seperti masjid, mushola, pondok-pondok mini dan juga bekerja sama dengan berbagai pondok pesantren dalam aktivitas berbagai kegiatan keagamaan, agar berjalan beriringan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dengan pola dasar seperti ini, LDII dapat melahirkan juru dakwah dan di sisi lain dapat menumbuhkan wahana yang kondusif bagi aktivitas juru dakwah, untuk menyampaikan ilmu mereka sebagai bentuk kegiatan dakwah. Sebagaimana Motto LDII dalam Muqodimah AD/ART LDII,

(30)

30

ْلُق

ه

ِهِذ

ْيِبَس

ْوُعْدَأ ْيِل

َْيِصَب ىَلَع ِالله َلَِإ

ِْنَعَ بَّ تا ِنَمَو َنََأ ٍة

...

لآا

ةي

(

فسوي ةروس

١٠٨

)

Katakanlah Muhammad, inilah jalanku (agamaku), aku dan orang-orang yang mengikutiku

mengajak (manusia) ke jalan Allah dengan hujjah yang nyata.

ْيِبَس َلَِإ ُعْدا

ِْتَّلِبِ ْمُْلِْداَجَو ِةَنَسَْلْا ِةَظِعْوَمْلاَو ِةَمْكِْلِْبِ َكِ بَر ِل

ُنَسْحَأ َيِه

...

ةيلآا

(

لحنلا ةروس

١٢٥

)

Ajaklah (semua manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan jalan yang lebih baik.

َمْلِبِ َنْوُرُمَْيََو ِْيَْلْا َلَِإ َنْوُعْدَي ٌةَّمُأ ْمُكْنِم ْنُكَتْلَو

ِرَكْنُمْلا ِنَع َنْوَهْ نَ يَو ِفْوُرْع

َو ُأ و

ل

َكِئ

َنْوُحِلْفُمْلا ُمُه

(

نارمع لآ ةروس

١٠٤

)

Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang mengajak kepada

kebajikan dan menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,

merekalah orang-orang yang beruntung.

ٌلِماَع ْ ِ نِّإ ْمُكِتَناَكَم ىَلَع اْوُلَمْعا ِمْوَ ق َيَ ْلُق

...

ةيلآا

(

ماعنلأا ةروس

١٣٥

)

Katakanlah Muhammad, wahai kaumku beramallah sesuka hati kalian, sesungguhnya aku orang yang beramal.

ْوُّجاَُتَُأ ْلُق

ُّ بَر َوُهَو ِالله ِفِ اَنَ ن

ُهَل ُنَْنََو ْمُكُلاَمْعَأ ْمُكَلَو اَنُلاَمْعَأ اَنَلَو ْمُكُّبَرَو اَن

ْوُصِلُْمُ

َن

(

ةرقبلا ةروس

139

)

Katakanlah Muhammad, apakah kalian membantah kepadaku dalam urusan Allah, sedangkan Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian, dan bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian, dan kami adalah orang-orang yang mukhlis kepada Allah.

(31)

31 BAB V

PEDAGOGI BUDAYA DAMAI DIPESANTREN SUMBER BAROKAH Sejarah Pesantren Sumber Barokah

Pondok Pesantren Sumber Barokah Karawang adalah sekolah berbasis agama yang berlokasi di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Pondok pesantren ini dirintis pada tahun 1971 atas prakasa K.H. Matrohim, H. Sulaiman, KH. Moch. Mukri, KH. Dawud Abusamah, dan Ir. H. Fatah, dengan santrinya masih terbatas sekitar lingkungan pondok.

Semenjak tahun 2000 Pondok sumber barokah yang berada di bawah naungan LDII bekerja sama dengan Yayasan Al-Ulya mengembangkan system Boarding School, mulai tingkatan SMP dan terus berkembang sampai sekarang yang sudah meliputi SMA dan SMK. Tahun 2009 Pesantren ini membentuk Yayasan Sumber Barokah dan resmi terdaftar di Kementrian Agama Rebuplik Indonesia dengan Nomor statistik: 5 32 15 04407, seperti tertera dalam gambar di bawah ini:

Gambar 1

Nomor Statistik Pondok Pesantren Sumber Barokah

Gambar 2

(32)

32

Pondok Pesantren Sumber Barokah Karawang memiliki visi menjadi syi’ar

Islam dan juga lembaga pendidikan agama Islam yang berbasis cepat, tepat, dan effisien. dengan tetap menjaga kemurnian ajaran agama Islam. Sedangkan misi dari Pondok Pesantren Sumber Barokah Karawang dapat menghidupkan syiar Islam agar tetap luhur dan abadi sehingga menjadi kepribadian bangsa Indonesia dengan tetap memperhatikan norma pancasila sebagai azas negara dan bangsa Indonesia.

Pondok Pesantren Sumber Barokah Karawang memiliki sasaran strategis dalam menjalankan programnya, antara lain:

▪ Menjadikan santriwan-santriwati seorang yang berwawasan luas dan faham

Ilmu Alqur’an dan Sunah.

▪ Membentuk santriwan-santriwati yang berakhlaqul karimah serta menjadi suri tauladan bagi lingkungannya dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara serta taat kepada kedua orang tua.

▪ Membimbing santriwan-santriwati untuk mandiri dan mempunyai keterampilan yang handal sebagai bekal hidup di masyarakat.

▪ Menjadikan santriwan-santriwati sebagai juru da’wah yang unggul, semangat, tabah dan tahan uji dalam menyi’arkan syari’at Islam yang berpedoman pada

Al-Qur-an dan sunah secara haqiqi.

Penyelenggaraan pengajaran di Pondok Sumber Barokah Karawang tergolong unik, selain menggunakan istilah-istilah khusus, juga adanya pembedaan kelas antara santi mukim dan pribumi. Berikut ini data santri dan guru di Pondok Pesantren Sumber Barokah:

Tabel 1

Data Santri Pesantren Sumber Barokah Tahun Pelajaran 2019-2020

No Unit

Pendidikan Jenjang Kelas Jumlah

Dasar Lambatan 1 Lambatan 2 Cepatan 1 Cepatan 2 Saringan 1 SMA 0 206 0 172 39 21 438 2 SMK 0 136 67 72 0 29 304 3 SMP 0 94 78 60 0 15 247 4 NON PELAJAR 57 119 0 51 0 0 227 5 PRIBUMI 84 75 53 58 28 5 303

(33)

33 6 HADITS

BESAR

- - - 185 185

TOTAL 141 630 198 413 67 255 1704

Sumber: Bagian Sekretariat (2019).

Tabel 2

Data Guru Pesantren Sumber Barokah Tahun Pelajaran 2019-2020

NO GURU KBM PUTRA PUTRI JUMLAH

1 SMA 9 7 16 2 SMP 10 6 16 3 SMK 11 5 16 4 NON PELAJAR 12 4 16 5 PRIBUMI 15 9 24 6 HADITS BESAR 4 0 4 TOTAL 61 31 92

Sumber: Bagian Sekretariat (2019).

Model Pengembangan Pedagogi Budaya Damai

Pedagogi budaya damai yang dilakukan di Pesantren Sumber Barokah merupakan proses pembelajaran yang cukup kompleks dan menyeluruh. Pedagogi budaya damai disebut kompleks karena mencakup berbagai hal, mulai dari penumbuhan komitmen dan penanaman rasa cinta akan kedamaian sampai kepada analisis kritis dan penyelesaian konflik dengan cara damai.

Pembelajaran budaya damai diberikan kepada para santrinya untuk menanamkan, menumbuhkan, serta mengembangkan rasa cinta akan kedamaian, melalui berbagai upaya seperti pengajaran, pemberian keterampilan, terutama dalam mengidentifikasikan hal-hal yang menunjang dan menghambat perdamaian, analisis kritis, dan penyelesaian konflik sosial tanpa kekerasan, serta pembentukan sikap, baik untuk masalah-masalah kemanusiaan maupun dalam kaitannya dengan alam.

Pedagogi budaya damai disebut juga menyeluruh karena tidak hanya meliputi masalah relasi antar manusia, tetapi juga masalah relasi manusia dengan lingkungan, serta mencakup tidak hanya hal-hal kognitif yang mencoba membuka wawasan dan pengetahuan para santri terutama yang berkaitan dengan hal-hal filosofis seperti nilai-nilai keadilan dan anti kekerasan tetapi juga

(34)

34 afektif, yakni dengan menumbuhkan perasaan cinta, kehambaan dan komitmen untuk hidup dalam damai, serta psikomotorik, yang ditandai dengan perubahan perilaku yang menjunjung tinggi perdamaian.

Pedagogi budaya damai dalam konteks Pesantren Sumber Barokah disetting dalam tiga fase pembelajaran yang meliputi, fase penyadaran, fase penerapan, dan fase tindak lanjut.

Fase Penyadaran

Fase penyadaran merupakan tahap awal dalam proses pedagogi budaya damai di Pesantren Sumber Barokah, dikemas dalam berbagai kegiatan pembelajaran dan model dakwah yang khas. Pada tahap ini, baik dewan guru maupun para santri lebih banyak melibatkan kemampuan kognitifnya dalam proses pembelajaran budaya damai.

Pesantren Sumber Barokah berada dibawah binaan ormas LDII yang memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Dalam akronim namanya mengandung

kata “dakwah”, sedangkan Islam hakikatnya adalah agama dakwah yang

rahmatan lil'alamin. Dakwah sebagai bagian dari proses pengembangan budya damai di Pesantren Sumber Barokah memiliki tiga indikator: Pertama, baik guru maupun santri harus berupaya untuk mempunyai kompetensi dakwah, yang bisa membawa akibat setiap warga pesantren memiliki kemampuan untuk berdakwah, sesuai dengan kemampuannya masing-masing (bil-hal, bil-kalam, bil-qalam).

Kedua, dalam mewujudkan lahirnya pendakwah, Pesantren Sumber Barokah memberikan iklim yang kondusif bagi lahirnya pendakwah yang berlandaskan semangat amal sholih, dengan niat melaksanakan perintah Allah dalam Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah SAW melalui Al-Hadits. Niat seperti ini mampu melahirkan pendakwah yang memiliki misi amal sholih sebagai juru dakwah (mubaligh/mubalighot), yang memiliki pengetahuan khusus. Baik dewan guru maupun para santri di Pesantren Sumber Barokah meyakini bahwa berdakwah adalah sebagai kewajiban atau panggilan hidup. Model dakwah yang dibangun di Pesantren Sumber Barokah merujuk kepada karakter Rasulullah SAW sebagai suri teladan, baik dalam dakwah bil-hal (perbuatan), bil-kalam (lisan) maupun dakwah bil-qalam (tulisan) yang membawa misi pesan damai bagi seluruh alam.

(35)

35 Selanjutnya, agar dakwah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, maka perlu dipenuhi indikator ketiga, yaitu adanya pengakuan (legitimasi de facto) oleh masyarakat di sekitar warga pesantren. Dalam kehidupan masyarakat yang mayoritas beragama Islam, Pesantren Sumber Barokah berupaya menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang rahmatan lil’alamin, sehingga harus selalu membawa kedamaian dalam segala aspek kehidupan.

Seluruh dewan guru dan para santri di Pesantren Sumber Barokah diarahkan untuk mengikuti metode dan prinsip-prinsip serta sifat-sifat Rasulullah SAW, yang merupakan indikator sekaligus rujukan utama dalam mencapai kompetensi sebagai seorang juru dakwah, sekaligus pembawa risalah kedamaian. Dengan demikian prinsip berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot) merupakan faktor penggerak terjadinya perkembangan dan dinamika internal umat Islam. Dalam prinsip tersebut Pesantren Sumber Barokah telah menentukan pilihan metode, yakni pesantren fokus menyiapkan warganya sebagai “insan pembelajar yang membawa misi sebagai agen perdamaian”.

Sebelum seseorang menjadi agen perdamaian, mereka perlu mengawali prosesnya dengan sebuah kesadaran kritis bahwa perdamaian adalah hal yang positif bagi keberlangsungan hidup manusia. Kesadaran kritis akan menempatkan hal-hal dan fakta-fakta secara empiris sebagaimana adanya, baik dalam hubungan kausal maupun dalam hubungan tidak langsung (Freire, 2005). Kesadaran kritis dibutuhkan untuk mengemukakan fakta bahwa lingkungan di mana manusia tinggal saat ini berada pada kondisi darurat perdamaian. Oleh sebab itu, pendidikan budaya damai yang diajarkan di Pesantren Sumber Barokah dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut.

Pada dasarnya, tahap penyadaran merupakan tahap untuk membuat seluruh dewan guru dan santri di Pesantren Sumber Barokah memahami bukan hanya signifikansi perdamaian tetapi juga kekuatan dari perdamaian. Harris dan Morrison (2013) menyatakan bahwa, kekerasan berkembang pesat dalam dunia modern karena banyak orang melihat kekerasan sebagai hal yang kuat, sementara itu perdamaian terkesan lemah. Mereka tidak mau menggali potensi dari perdamaian dan menemukan kekuatannya dalam kehidupan. Banyak orang menganggap bahwa perdamaian adalah sesuatu yang idealis dan utopis. Oleh

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji litmus tes, strategi pengembangan pasar tradisional dengan skor tertinggi yaitu Optimalisasi Pembangunan dan revitalisasi pasar tradisional dengan

Bahkan, menurut Hidayat Nurwahid, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) daiam khotbahnya di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, 9 Maret 2007, semua musibah dan kecelakaan

Dalam sesuatu mesyuarat yang berkaitan dengan dasar negara, Yang di-Pertuan Agong akan diiringi oleh Perdana Menteri manakala raja-raja Melayu akan diiringi oleh

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka penelitian ini berfokus pada upaya pengembangan Madrasah Aliyah Negeri Model (dilihat dari program, strategi, dan

Surveilans filariasis yang berjalan di Kabupaten Bandung adalah kegiatan pemberian obat massal pencegahan (POMP) yang secara teknis sudah diatur dan

Dilihat dari sudut pandang fenomenologi maka fenomena tersebut berkaitan dengan bagaimana subjek yaitu perempuan yang berprofesi sebagai Female Disc Jockey

[r]

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang ingin diatasi melalui tugas akhir ini adalah bagaimana memberikan rekomendasi tindakan perawatan terhadap