• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini, studi tentang perilaku kewargaan organisasional orientasi-pelayanan (PKO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini, studi tentang perilaku kewargaan organisasional orientasi-pelayanan (PKO"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini, studi tentang perilaku kewargaan organisasional orientasi-pelayanan (PKO O-P) mulai diminati, karena perusahaan jasa mendominasi bisnis abad 21 dan karyawan kontak pelanggan harus memberikan pelayanan prima, serta berkesan bagi para pelanggannya (Wang, 2009a). Kualitas pelayanan menjadi tantangan utama yang harus dihadapi oleh perusahaan jasa, sehingga berbagai perusahaan menggunakan banyak strategi untuk menjamin pelayanan yang baik dari para karyawannya (Ma, Qu, Wilson, & Eastman, 2013). Pelayanan yang baik membutuhkan persyaratan perilaku atau kinerja karyawan lini depan yang fleksibel dan inovatif untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan, dan terkadang cara memberikan pelayanan dilakukan melalui upaya “di atas atau melebihi” deskripsi kerja dan secara sukarela. Oleh karena itu, perilaku kewargaan organisasional-orientasi pelayanan (PKO O-P) sebagai bentuk pengembangan perilaku kewargaan organisasional (PKO) yang disesuaikan untuk sektor jasa (Bettencourt & Brown, 1997; Bettencourt, Gwinner, & Meuter, 2001) dianggap sebagai salah satu faktor penting untuk menciptakan kepuasan pelanggan.

Secara umum, perilaku kewargaan organisasional orientasi-pelayanan/PKO O-P (service-oriented organizational citizenship behavior) didefinisikan sebagai perilaku loyal terhadap organisasi yang secara aktif berpartisipasi dalam berbagai aktivitas dan menawarkan layanan yang sempurna (Bettencourt et al., 2001). Berdasarkan definisi tersebut, PKO O-P merupakan tiga dimensi yang mengarahkan karyawan agar “loyal” pada

organisasi, “berpartisipasi secara aktif” dalam berbagai kegiatan, serta menawarkan “pelayanan” yang sempurna (Bettencourt et al., 2001; Sun, Aryee, & Law , 2007; Tang &

(2)

Tang, 2012; Wang, 2009a). Loyalitas (loyalty) merupakan perilaku bertindak sebagai penasehat pelanggan tidak hanya terhadap produk dan jasa melainkan juga pada citranya. Partisipasi (participation) merupakan perilaku karyawan kontak pelanggan dalam mengambil inisiatif secara individu, khususnya dalam komunikasi, meningkatkan pelayanan melalui organisasi, rekan kerja, dan dirinya sendiri – merupakan dasar kemampuan perusahaan untuk mempertemukan perubahan kebutuhan para pelanggannya. Sedangkan, pelayanan (service delivery) adalah perilaku melebihi persyaratan normal yang diharapkan dalam aktivitas di sekitar pelayanan pada pelanggan.

Penelitian PKO O-P relatif masih sedikit yang dapat diketahui melalui jumlah publikasi (hanya 13 publikasi international selama 16 tahun (1997-2013)) dan menurut peneliti topik PKO O-P sangat penting bagi peningkatan efektivitas organisasi jasa (Podsakoff & MacKenzie, 1997). Terdapat sejumlah isu penting sebagai bentuk kesenjangan penelitian (research gap) dalam mengembangkan penelitian PKO O-P: 1. Isu keragaman istilah, definisi dan dimensi PKO O-P. Keragaman istilah PKO O-P dalam berbagai penelitian yang ditunjukkan oleh Tabel 1.1. merupakan perkembangan dari istilah perilaku pelayanan prososial (prososial service behavior) yang merujuk perilaku menolong yang

diarahkan pada organisasi dan individu lainnya dalam upaya meningkatkan pelayanan (Bettencourt & Brown, 1997).

Terdapat berbagai istilah lain yang digunakan untuk menyatakan perilaku kewargaan berorientasi pelayanan. Merujuk Bettencourt dan Brown (1997), setiap istilah mempunyai definisi yang berbeda, tetapi mirip satu dengan lainnya. Perbedaan istilah dan definisi tersebut dipengaruhi oleh dimensinya. Kelley dan Hoffman (1997) menggunakan istilah perilaku organisasional prososial (prosocial organizational behaviors) dan setahun

kemudian Williams dan Sanchez (1998) menggunakan istilah perilaku berorientasi pelayanan pelanggan (customer service-oriented behavior) untuk menyatakan PKO O-P.

(3)

Selain itu, masih terdapat beberapa istilah perilaku kewargaan orientasi pelayanan lainnya, seperti: perilaku melampaui batas – berorientasi pelanggan (customer oriented

boundary-spanning behaviors; Bettencourt, Brown, & MacKenzie, 2005); definisi peran – perilaku kewargaan organisasional orientasi pelayanan (service-oriented organizational citizenship

behavior – role definition; Wang, 2009b), dan perilaku kewargaan organisasional berfokus

pelanggan (customer-focused organizational citizenship behavior; Ma et al., 2013).

Penelitian PKO O-P satu dengan yang lain menggunakan jumlah dimensi yang berbeda. Perbedaan dimensi penelitian PKO O-P ditunjukkan sebagai berikut: satu dimensi (Wu, Tse, Fu, Kwan & Liu, 2013), dua dimensi (Kelley & Hoffman, 1997; Hsu, Chang, Huang, & Chiang, 2011; Williams & Sanchez, 1998) dan tiga dimensi (Ackfeldt & Wong, 2006; Bettencourt & Brown, 1997; Bettencourt, Brown, & MacKenzie, 2005; Bettencourt, Gwinner, & Meuter, 2001; Ma et al., 2013; Sun et al., 2007; Tang & Tang, 2012; Wang, 2009a; Wang, 2009b). Penggunaan dimensi yang berbeda menimbulkan tumpang tindih dalam dimensionalitas (LePine, Erez, & Johnson, 2002), yaitu pada dasarnya terdapat tiga dimensi besar dalam PKO yaitu PKO level individu (PKO-I), PKO level organisasi (PKO-O), dan PKO level pelanggan (PKO-P). Setiap dimensi dibagi menjadi beberapa dimensi yang tidak dapat dipandang sebagai orde yang lebih rendah dari ketiga level perilaku, sehingga semakin banyak hal-hal yang dianggap sebagai PKO dalam organisasi maka semakin banyak dimensi (Ariani, 2011:12). Hal ini yang menjadi alasan para peneliti hanya memilih beberapa dimensi yang mewakili ketiga level perilaku. Jika terjadi pengujian melalui hubungannya dengan anteseden dan konsekuen, maka masing-masing dimensi PKO O-P mempunyai hasil pengukuran yang berbeda. Sebagai misal, masing-masing dari ketiga dimensi PKO O-P (loyalitas, pelayanan, dan partisipasi) mempunyai hasil pengukuran yang berbeda dalam berhubungan dengan sikap, kepribadian, dan pengetahuan (Bettencourt et al., 2001).

(4)

Perbedaan hasil pengukuran dalam satu variabel dengan dimensi lebih dari satu juga terjadi pada penelitian lain, misalnya penelitian Bettencourt et al. (2005) menunjukkan tiga keadilan organisasional (distributif, prosedural, dan interaksional) mempunyai hubungan signifikan dengan external representation Organisasi) dan internal influence (PKO-Individu), tetapi tidak signifikan berhubungan dengan service delivery (PKO-Pelanggan). Selain itu, penelitian Payne dan Weber (2006) menunjukkan bahwa kepuasan karyawan berhubungan signifikan dengan PKO berorientasi loyalitas, tetapi tidak signifikan berhubungan dengan PKO berorientasi altruism.

Perbedaan istilah (label) dan pendefinisian PKO O-P cenderung menurut perhatian penelitian dan tradisi intelektual, meskipun unsur perilaku yang dimasukkan sebagai dimensinya relatif sama (Motowidlo, 2000). Secara konseptual, perbedaan istilah dan dimensi PKO O-P akan menimbulkan bahaya yang cukup serius. Perbedaan istilah mengakibatkan pertentangan konotasi konseptual bagi orang yang berbeda dan keterkaitan perilaku tersebut dengan berbagai disiplin ilmu akan mempersulit pengembangan literatur (Podsakoff, MacKenzie, Paine, & Bachrach, 2000). Selain itu, peran dimensi sebagai variabel yang berdiri sendiri dan perbedaan jumlah dimensi akan menimbulkan keraguan dalam pengukuran PKO O-P. Oleh karena itu, penelitian di masa mendatang memerlukan ukuran dan istilah PKO O-P yang robust dengan memperhatikan teori-teori yang menjadi acuan PKO O-P.

Tabel 1.1.

Jenis Konstruk PKO O-P dan Dimensinya

No. Penulis Jenis PKO O-P & Definisi Dimensi PKO O-P berdasar orientasi pada Pelanggan Organisasi Individu 1 Bettencourt &

Brown (1997); Ackfeldt & Wong (2006)

Prososial Service Behaviors – merujuk

perilaku menolong yang diarahkan pada organisasi dan individu lainnya dalam upaya meningkatkan pelayanan.

Extra-role customer service Role-prescribed customer serviceCooperation 2 Kelley & Hoffman (1997)

Prososial Organizational Behaviors – adalah perilaku yang ditampilkan oleh anggota organisasi dengan niat meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, atau organisasi lain, sementara itu harus memenuhi perannya sebagai anggota organisasi.

Customer-oriented behaviorAltruistic organizational citizenship behavior

(5)

Tabel 1.1. (Lanjutan)

Jenis Konstruk PKO O-P dan Dimensinya

No. Penulis Jenis PKO O-P & Definisi Dimensi PKO O-P berdasar orientasi pada Pelanggan Organisasi Individu 3

Williams & Sanchez (1998)

Customer Service-Oriented Behavior – perilaku dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan sesuai dengan ketentuan detail berkenaan dengan hal-hal yang menyangkut sesuai dan tidak sesuai dalam melayani pelanggan, serta perilaku lain dengan keleluasaan dalam menangani permintaan pelanggan.

Extra-RoleRole-Prescribed

4 Bettencourt, Gwinner, & Meuter (2001); Sun, Aryee, & Law (2007); Tang & Tang (2012); Wang (2009a)

Service-Oriented Organizational Citizenship Behavior – perilaku loyal

terhadap organisasi yang secara aktif berpartisipasi dalam berbagai aktivitas dan menawarkan layanan yang sempurna

Service deliveryLoyaltyParticipation 5 Bettencourt, Brown, & MacKenzie (2005) Customer Oriented Boundary-Spanning Behaviors (COBSBs) - dampak sikap dan perilaku

karyawan melampaui batas yang berorientasi pelanggan Service deliveryExternal representationInternal influence 6 Payne & Webber (2006) Service-Oriented Organizational Citizenship Behavior - perilaku loyal

terhadap organisasi yang secara aktif berpartisipasi dalam berbagai aktivitas dan menawarkan layanan yang sempurna

Loyalty-service deliveryAltruism

7 Wang (2009b) Service-Oriented Organizational Citizenship Behavior – Role Definition –

merujuk pada perluasan Service-Oriented

Organizational Citizenship Behavior

menjadi bagian dari pekerjaannya atau definisi perannya Service deliveryLoyaltyParticipation 8 Hsu, Chang, Huang, & Chiang (2011)

Customer-Oriented Prososial

Behavior-seperangkat keyakinan bahwa mengutamakan kepentingan pelanggan akan meningkatkan keuntungan jangka panjang bagi perusahaan

Extra-role customer serviceRole-prescribed customer service 9 Ma, Qu, Wilson & Eastman (2013) Customer-focusedOrganizational Citizenship Behavior - perilaku loyal

terhadap organisasi yang secara aktif berpartisipasi dalam berbagai aktivitas dan menawarkan layanan yang sempurna

OCB -CustomerOCB -OrganizationalOCB -Individual

10 Wu, Tse, Fu, Kwan & Liu (2013)

Customer-Oriented OCB - perilaku

karyawan lini depan yang bekerja melebihi deskripsi kerja.

OCB -Customer

Sumber: Rangkuman hasil penelitian PKO O-P sebelumnya

2. Isu eksplorasi anteseden PKO O-P. Menurut teori atribusi (Heider, 1958),

seseorang berperilaku disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari diri individu dan faktor eksternal atau situasional berasal dari lingkungan kerja. Berdasarkan penelitian-penelitian PKO O-P yang berkembang saat

(6)

ini, sebagian besar anteseden PKO O-P adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal). Faktor-faktor internal yang mempengaruhi peningkatan dan efektivitas PKO O-P, antara lain: perbedaan individu (disposisional) dan sikap kerja.

Faktor perbedaan individu ditunjukkan oleh faktor-faktor seperti afek (Bettencourt et

al., 2001; Kelley & Hoffman, 1997) dan kepribadian (Bettencourt et al., 2001; Williams &

Sanchez, 1998). Sedangkan, sikap kerja ditunjukkan dalam bentuk kepuasan kerja (Ackfeldt & Wong, 2006; Bettencourt & Brown, 1997; Bettencourt et al., 2005; Bettencourt et al., 2001; Payne & Webber, 2006) dan komitmen (Ackfeldt & Wong, 2006; Bettencourt et al., 2005; Hsu et al., 2011;Payne & Webber, 2006; Wang, 2009b).

Hasil penelitian hubungan antara faktor internal individu dan PKO O-P menunjukkan bahwa, empati afektif hanya berhubungan dengan dimensi loyalitas (Bettencourt et al., 2001) dan afektif positif karyawan berhubungan dengan ketiga dimensi PKO O-P (Kelley & Hoffman, 1997). Tidak semua faktor dalam kepribadian (orientasi pelayanan, empati kognitif, dan empati afektif) mempunyai hubungan signifikan dengan ketiga dimensi PKO O-P (Bettencourt et al., 2001), demikian juga tidak semua 5 (lima) besar faktor kepribadian (extraversion, agreeableness, dan conscientiousness) berhubungan signifikan dengan

role-prescribed behavior dan faktor kepribadian (extraversion, agreeableness, dan openness to experience) berhubungan signifikan dengan extra-role behavior (Williams & Sanchez, 1998).

Hasil penelitian kepuasan kerja menunjukkan hubungannya secara signifikan dengan perilaku pelayanan prososial (Ackfeldt & Wong, 2006); tidak ada hubungan signifikan dengan ketiga dimensi PKO O-P (Bettencourt & Brown, 1997; Bettencourt et al., 2005); hanya berhubungan signifikan dengan dimensi loyalitas dan pelayanan (Bettencourt et al., 2001); serta berhubungan signifikan dengan dimensi PKO-berorientasi loyalitas tetapi tidak dengan PKO-berorientasi altruisme (Payne & Webber, 2006). Hasil penelitian komitmen

(7)

organisasional menunjukkan hubungannya secara signifikan dengan perilaku pelayanan prososial (Ackfeldt & Wong, 2006); berhubungan dengan dimensi external representation dan internal influence, tetapi tidak berhubungan dengan service delivery (Bettencourt et al., 2005); berhubungan dengan kedua dimensi perilaku prososial orientasi pelanggan yaitu

role-prescribed customer services dan extra-role customer services (Hsu et al., 2011); tidak

berhubungan signifikan dengan kedua dimensi PKO O-P yaitu PKO-orientasi loyalitas dan PKO-orientasi altruism (Payne & Webber, 2006); serta berhubungan signifikan dengan ketiga dimensi PKO O-P (Wang, 2009b).

Hasil penelitian hubungan antara faktor internal individu (afek, kepribadian, kepuasan kerja, dan komitmen organisasional) dengan PKO O-P menunjukkan bahwa, sebagian besar faktor internal individual tidak mempunyai hubungan signifikan atau mempunyai korelasi yang rendah dengan PKO O-P. Hal ini disebabkan lingkungan atau situasi mempunyai peranan yang lebih besar dalam mempengaruhi PKO (George, 1991; Konovsky & Organ, 1996; Organ, 1994). Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Mischell (dalam Beaty, Cleveland, Murphy, 2001) bahwa situasi yang kuat akan menghambat ekspresi kepribadian karena perilaku akan lebih merupakan fungsi situasi daripada kepribadian.

Kritikan tentang anteseden disposisional juga disampaikan oleh Davis-Blake dan Pfeffer (1989) yang menyatakan bahwa, mekipun terdapat pengaruh faktor disposisional pada sikap dan perilaku dalam organisasi, tetapi pengaruh faktor disposisional tidak sama pentingnya dengan pengaruh faktor situasional. Beberapa peneliti menyatakan bahwa, pengaruh faktor disposisional akan menjadi sangat mendukung dalam situasi (faktor organisasional) yang lemah, sebaliknya pengaruh faktor disposisional akan menjadi tidak mendukung dalam situasi yang relatif sangat kuat (Bem & Allen, 1974; Bem & Funder, 1978; Mischel, 1968, 1977; Monson, Hesley, & Chernick, 1982; dalam Davis-Blake dan Pfeffer, 1989). Hal ini disebabkan sebagian besar tatanan organisasional adalah situasi yang

(8)

kuat, faktor disposisional hanya mempunyai dampak yang terbatas pada reaksi individu dalam organisasi. Kondisi ini juga dapat dijelaskan melalui affective events theory yang dikembangkan oleh Weiss dan Cropanzano (Pinder, 1998:115). Teori ini menyatakan bahwa, individu memiliki reaksi emosional sebagai bentuk tanggapan afektif yang berasal dari peristiwa-peristiwa di tempat kerja. Peristiwa-peristiwa di tempat kerja berasal dari ciri-ciri lingkungan kerja. Reaksi emosional (reaksi afektif) bersama-sama dengan ciri-ciri lingkungan kerja menentukan sikap kerja individu. Selain itu, reaksi emosional atas peristiwa-peristiwa di tempat kerja mempengaruhi secara langsung perilaku kerja individu. Model konseptual dari affective events theory menguatkan pernyataan bahwa sikap dan perilaku individu lebih dahulu dan lebih banyak ditentukan oleh lingkungan kerja daripada faktor disposisional.

Sebagai perbandingan, penelitian-penelitian faktor eksternal individu menunjukkan hubungan positif dengan PKO O-P. Studi Wang (2009b) menunjukkan hubungan positif antara dukungan organisasional persepsian dengan ketiga dimensi PKO O-P (loyality,

service delivery, participation). Studi lainnya menunjukkan bahwa, variabel high-performance human resource practices (Sun, Aryee, & Law, 2007), dukungan organisasional persepsian (Wang, 2009a), iklim keadilan (Tang & Tang, 2012), dan iklim pelayanan (Tang & Tang, 2012) mempunyai hubungan positif dengan PKO O-P. Hal ini menunjukkan bahwa, faktor di luar individu atau situasional lebih mampu mempengaruhi PKO O-P.

Perkembangan penelitian PKO O-P di atas juga menunjukkan bahwa, PKO O-P tidak hanya dipengaruhi oleh persepsi lingkungan kerja level individu, melainkan juga persepsi lingkungan kerja level unit (misalnya iklim organisasional). Tang dan Tang (2012) menggunakan variabel iklim organisasional karena para karyawan di hotel yang sama akan membagikan pesan bagaimana suatu hotel dioperasikan dan membentuk kognisi bersama tentang model operasi suatu hotel. Kognisi bersama diciptakan dari proses interaktif di antara

(9)

para anggota organisasi yang disebut iklim sosial organisasional (Schneider & Reichers, 1983). Kognisi bersama merupakan stimulasi dari lingkungan eksternal yang menjadi alasan mengapa karyawan tidak segera mengambil tindakan, melainkan mempersepsikan dan menginterpretasikan stimulasi dari lingkungan eksternal. Sikap karyawan secara individual akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana dia berada, yang mempunyai konsekuensi mempengaruhi ekspresi keperilakuannya (Tang & Tang, 2012).

Penelitian Wang (2009a) menyatakan bahwa, karakteristik organisasional memainkan peranan penting bagi pengembangan PKO O-P. Mendasarkan pada teori peran (Biddle, 1979), perilaku seseorang dapat diprediksi dalam konteks spesifik, berdasarkan pada posisi dan situasi sosialnya. Artinya, karyawan lini depan akan lebih berperilaku kewargaan orientasi-pelayanan ketika terdapat stimulasi dari faktor kontekstual berupa iklim dalam unit kerja atau organisasi (iklim organisasional).

Wang (2009a) juga menyarankan perlunya kontribusi organisasi dalam

mendukung karyawan dan mencari jalan keluar meneruskan hubungan pertukaran sosial dengan karyawan. Hal ini disebabkan dukungan organisasi merupakan faktor penting mengapa karyawan lini depan berperilaku kewargaan orientasi-pelayanan. Berdasarkan hal tersebut diperlukan pengujian hubungan antara PKO O-P dengan anteseden yang berkaitan dengan faktor karakteristik organisasional, selain faktor disposisional, yang lebih dinamis dan kompleks.

3. Isu interaksi sosial dalam organisasi. Penelitian-penelitian faktor-faktor yang

mempengaruhi PKO O-P masih mendasarkan pada konteks kerja individual dan mengukurnya dengan level individu, meskipun pada kenyataannya konteks kerja seseorang lebih pada struktur berdasarkan kelompok/tim (Colquitt, Noe, & Jackson, 2002; Cropanzano & Schminke, 2001; Konovsky, 2000) dan terjadi interaksi sosial diantara para anggotanya. Sebagai misal, dua penelitian yang dilakukan oleh Bettencourt dan Brown (1997) dan

(10)

Bettencourt et al. (2005) tentang pengaruh keadilan organisasional pada PKO O-P mengandung unsur evaluasi kerjasama diantara para karyawan dan antara karyawan dengan supervisor dalam pengambilan sampelnya. Kerjasama diantara karyawan mempunyai peluang terjadinya pembentukan persepsi bersama tentang lingkungan kerja.

Organisasi merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang saling berinteraksi dan menjadi melekat satu dengan lainnya (Pinder, 1997). Dalam setiap organisasi atau kelompok, terdapat proses belajar dan interaksi sosial yang akan membentuk persepsi bersama di antara karyawan/ individu. Para karyawan akan saling membagikan informasi dan membentuk kognisi/ kesadaran bersama tentang model operasional organisasi yang disebut iklim sosial organisasional (Schneider & Reichers, 1983; Tang & Tang, 2012) yang akan mempengaruhi terbentuknya PKO O-P.

Isu interaksi sosial dalam organisasi mendasarkan pada teori kognisi sosial (Bandura, 1986), teori pemrosesan informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1978), perspektif ASA (Schneider, 1987), serta pendekatan interaksi dan konstruksi sosial (Colquitt, 2001; Kulik & Ambrose, 1992). Teori kognisi sosial adalah nama baru dan merupakan pengembangan teori pembelajaran sosial (Bandura, 1977). Menurut teori kognisi sosial, seseorang belajar dengan cara mengamati perilaku orang lain. Secara khusus dalam lingkungan kerja, individu akan melihat rekan kerjanya sebagai model perilaku dan akan belajar perilaku apa yang cocok/tepat dan tidak bagi dirinya (Wood & Bandura, 1989).

Teori pemrosesan informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1978) mengasumsikan bahwa, individu-individu saling berbagi informasi dalam lingkungan sosialnya. Perilaku kewargaan individual merupakan hasil pengaruh informasional dan keyakinan yang dibagi-bagikan oleh para anggota dalam kelompok, atau dengan kata lain perilaku individu akan dipengaruhi oleh anggota kelompok lainnya. Teori ini menekankan pada arti penting pranata sosial dalam membentuk sikap diri seseorang. Jika sikap individu terhadap organisasi menjadi lebih

(11)

banyak di antara para anggota kelompok, maka anggota kelompok individual akan menjadi lebih berpandangan bahwa sikap terhadap organisasi tersebut yang akan diterima dan diharapkan oleh individu. Pendekatan iklim ingin menunjukkan bahwa, iklim organisasional memainkan peranan penting dalam memotivasi karyawan untuk menampilkan praktik-praktik yang berhubungan dengan harapan, dukungan, dan imbalan.

Konsep dasar perspektif ASA (Schneider, 1987) adalah proses menciptakan kesamaan atau homogenitas tipe orang yang dipekerjakan oleh organisasi. Proses ini melalui kesamaan nilai, sikap, dan kepribadian dalam suatu kelompok. Konsep pendekatan interaksi dan konstruksi sosial (Colquitt, 2001; Kulik & Ambrose, 1992) adalah kondisi individual dan sosial dalam organisasi yang akan membuka peluang terjadinya interaksi sosial dan pertukaran di antara individu, serta memungkinkan terbentuknya pemaknaan sosial bersama. Konsekuensi dari interaksi sosial adalah interaksi individu dengan individu lainnya, saling berbagi informasi dan pengalaman yang akan membentuk konsensus dan persepsi bersama di antara anggota dalam kelompok.

Iklim secara luas didefinisikan sebagai “persepsi kebijakan, praktik, prosedur, dan rutinitas organisasi baik formal maupun informal” (Schneider, Ehrhart, & Macey, 2011). Litwin dan Stringer (1968) mendefinisikan iklim organisasional sebagai seperangkat properti pengukuran lingkungan kerja yang secara langsung atau tidak langsung dipersepsikan oleh karyawan, sehingga mempengaruhi motif dan perilakunya. Konsep iklim organisasional berusaha mengidentifikasi lingkungan yang mempengaruhi perilaku karyawan. Hal ini merupakan cara karyawan memahami lingkungannya (Reichers & Schneider, 1990) yang dipelajari melalui proses sosialisasi dan interaksi simbolik di antara para anggota dalam organisasi (Holloway, 2012).

Menurut Schneider (1975), istilah “iklim organisasional” dikembangkan dengan

(12)

sebagai contoh: iklim pelayanan (Zeithaml, Berry, & Parasuraman, 1988), iklim etikal (Victor & Cullen, 1988), iklim keadilan organisasional (Li & Cropanzano, 2009), dan lain-lain. Iklim adalah abstraksi lingkungan berdasarkan pola pengalaman dan perilaku yang berasal dari persepsi karyawan dalam situasi tertentu (Schneider, Ehrhart, & Macey, 2011). Pengertian ini didasarkan oleh pendapat bahwa, iklim lebih menaruh perhatian pada dampak sistem organisasional pada kelompok dan individu (Ekvall, 1987; Joyce & Slocum, 1984; Koyes & DeCotiis, 1991; dalam Denison, 1996). Pengertian iklim tersebut menekankan pada persepsi praktik dan prosedur yang teramati oleh para anggota organisasi yang lebih dekat dengan situasi kehidupan organisasi (Guion, 1973; James & Jones, 1974; dalam Denison, 1996).

Pemikiran tentang iklim organisasional didasarkan pada karakter lingkungan kerja internal organisasi yang telah lama dikenal sebagai pengaruh potensial kognisi, afek, dan perilaku karyawan (Ashforth, 1985). Iklim merujuk pada persepsi karyawan di tempat kerja yang mempunyai kesatuan psikologikal berdasarkan peristiwa-peristiwa, praktik-praktik, dan prosedur-prosedur yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sebuah sistem (Schneider, 1975). Setiap organisasi kerja menciptakan sejumlah perbedaan jenis iklim, (a) jenis perilaku luaran yang mengarah pada kepemimpinan, kreatifitas, atau menampilkan perbedaan individual, sedangkan lainnya, (b) menyangkut unit analisis (kelompok kerja, posisi, fungsi, organisasi) kepentingan. Konsep iklim digunakan sebagai salah satu solusi untuk memahami bagaimana praktik dan prosedur organisasi direfleksikan dalam perilaku manusia. Konsep ini merupakan domain teori kognitif yang menjelaskan manusia sebagai makhluk berpikir yang mengorganisasikan dunianya secara bermakna dan perilakunya berdasarkan persepsi dan apa yang diciptakannya (Schneider, 1975).

Penelitian Tang dan Tang (2012) mengenai hubungan antara iklim keadilan dan PKO O-P telah memberikan nuansa baru. Penelitian ini telah mempertimbangkan interaksi sosial

(13)

para karyawan dalam organisasi untuk mengalisis persepsi individu terhadap lingkungan kerjanya. Sebagaimana penelitian PKO (misal: Liao & Rupp, 2005; Naumann & Bennett,

2000), penelitian PKO O-P mulai memfokuskan evolusi dan kemampuan

menggeneralisasikan konstruk iklim. Pada persoalan iklim keadilan prosedural, Lind, Kray, dan Thompson (1998) (dalam Naumann & Bennett, 2002) mencatat bahwa, sebagian besar informasi potensial tentang keadilan yang diberikan oleh manajemen atau lembaga berlandaskan informasi kolektif, bukan pengalaman individual. Iklim keadilan prosedural didefinisikan sebagai perbedaan kognisi level kelompok tentang bagaimana kelompok kerja secara keseluruhan diperlakukan (Naumann & Bennett, 2002). Berdasarkan perbedaan penelitian antara Bettencourt dan Brown (1997) dan Bettencourt et al. (2005) dengan Tang dan Tang (2012) tentang faktor organisasional (keadilan) sebagai anteseden PKO O-P,

penelitian berikutnya perlu mempertimbangkan faktor “iklim” pada anteseden tersebut.

4. Isu integrasi konsep PKO O-P dengan variabel-variabel anteseden. Integrasi ini

untuk menjelaskan mekanisme pengaruh variabel-variabel anteseden terhadap PKO O-P dengan teori pertukaran sosial sebagai teori dasar yang dipergunakan sebagai model penelitian. Isu integrasi mendasarkan pada saran penelitian lanjutan dari Wang (2009a) yang menyatakan bahwa, diperlukan pengaruh berbagai dukungan sosial seperti dukungan atasan atau rekan kerja pada PKO O-P. Wang (2009a) juga memberi contoh seperti yang disampaikan oleh Hofmann et al. (2003) tentang pentingnya pertukaran pemimpin-anggota untuk membentuk PKO O-P. Hal ini membawa konsekuensi integrasi beberapa teori seperti teori pertukaran sosial dan teori-teori konsep PKO O-P.

Mengacu pada teori pertukaran sosial, Organ (1977, 1988) menduga bahwa ketika karyawan merasa diperlakukan tidak adil, mereka membalas perlakuan tersebut melalui pengurangan perilaku kewargaan. Sebaliknya, ketika mereka diperlakukan secara adil mereka membalas perlakuan dengan perilaku yang lebih terbuka. Dukungan teori pertukaran sosial

(14)

pada PKO O-P terdapat pada literatur dukungan organisasional persepsian (Bettencourt & Brown, 1997; Bettencourt et al., 2001), pertukaran pemimpin-anggota (Wu et al., 2013), dan keadilan organisasional (Bettencourt et al., 2005). Integrasi ketiga variabel tersebut diperlukan untuk menjelaskan pembentukan PKO O-P secara luas.

Konsep PKO O-P dapat dijelaskan melalui beberapa teori, antara lain: (a) teori peran, (b) teori identitas peran, (c) teori atribusi, serta (d) teori kualitas pelayanan. Ketiga teori pertama merupakan teori PKO, sedangkan teori keempat terkait dengan pelayanan yang dilakukan oleh karyawan lini depan. a. Teori peran (role theory) berkaitan dengan interaksi sosial karyawan lini depan dengan pelanggan baik internal maupun eksternal. Katz dan Kahn (1966) menyatakan bahwa fungsi peran sebagai pola perilaku dalam suatu sistem sosial. Peran memberikan sebuah fungsi bagi karyawan untuk berpartisipasi bagi organisasi dalam aktivitas atau pekerjaan sehari-hari. Kontribusi teori ini adalah mengidentifikasikan tiga peran fundamental PKO O-P (Bettencourt et al., 2001). Pertama, para karyawan bertindak sebagai wakil perusahaan dalam berhubungan dengan pihak luar yang akan berdampak meningkatkan/menurunkan citra organisasional (Bowen & Schneider, 1985; Schneider & Bowen, 1993). Kedua, karyawan menjalin hubungan strategik antara lingkungan eksternal dan kegiatan operasi internal melalui pemberian informasi tentang kebutuhan pelanggan dan saran yang membangun dalam pemberian pelayanan (Schneider & Bowen, 1984; Zeithamlet al., 1988). Ketiga, memberikan pelayanan yang berkualitas dan berhati-hati bagi pelanggan terutama menyangkut perilaku yang berdampak langsung pada pelanggan. Pelayanan harus handal, responsif, dan sopan (Parasuraman, Zeithaml, &Berry, 1988)

b. Teori identitas peran (role identity theory) menyatakan bahwa individu akan

menjadi relawan, mempunyai komitmen pada organisasi, dan bertindak atas nama organisasi (Penner & Finkelstein, 1998). Semakin terpusat pada identitas peran individu, semakin tinggi probabilitas bahwa perilaku individu akan konsisten dengan identitasnya (Farmer, Tierney, &

(15)

Kung-Mcintyre, 2003). Terkait dengan PKO O-P, teori ini menjelaskan bahwa karyawan kontak langsung pelanggan akan memiliki tingkat PKO O-P tinggi karena identitas yang melekat pada perannya dalam melayani pelanggan. Teori identitas peran dalam konsep PKO O-P dapat diketahui melalui penelitian dengan anteseden faktor individual, yaitu: kepuasan kerja (Ackfeldt & Wong, 2006; Bettencourt & Brown, 1997; Bettencourt et al., 2005; Bettencourt et al., 2001; Payne & Webber, 2006); dan komitmen (Ackfeldt & Wong, 2006; Bettencourt et al., 2005; Hsu et al., 2011;Payne & Webber, 2006; Wang, 2009b).

c. Teori atribusi (attribution theory) dikemukakan oleh Heider (1958) yang

menyatakan bahwa manusia menginterpretasikan kejadian-kejadian dan menghubungkannya dengan pemikiran dan perilaku. Teori ini menjelaskan mengapa seseorang berperilaku, serta menjelaskan faktor penyebab seseorang berperilaku baik dari internal dan eksternal. Penyebab internal merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi, dan penyebab eksternal berasal dari lingkungan atau situasi. Berdasarkan teori atribusi, faktor pembentukan PKO O-P adalah faktor perbedaan individu (misal kepribadian dan affect) dan situasional (sikap terhadap pekerjaan dan kontekstual, misal keadilan organisasional dan iklim pelayanan). Teori atribusi tersirat dalam penelitian Ackfeldt dan Wong (2006); Bettencourt et al. (2001); Bettencourt et al. (2005); Hsu et al. (2011); dan Wang (2009b).

d. Teori kualitas pelayanan, yang dikembangkan oleh Parasuraman et al. (1988), didefinisikan sebagai pertimbangan atau sikap global yang berhubungan dengan prioritas pelayanan, dan menjelaskannya dengan melibatkan evaluasi outcome (seperti apa yang sesungguhnya diterima oleh pelanggan dari pelayanan yang diberikan) dan proses tindakan pelayanan (cara penyampaian layanan). Ketiga peneliti tersebut kemudian mengoperasikan kualitas pelayanan sebagai perbedaan antara harapan pelanggan (what they want) dan persepsinya (what they get). Berdasarkan hal tersebut, mereka mengusulkan skala pengukuran kualitas pelayanan yang disebut SERVQUAL. Karyawan kontak langsung yang

(16)

memiliki PKO O-P tinggi akan berusaha melayani pelanggan melebihi harapan mereka terkait dengan lima dimensi yang dikembangkan yaitu: tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy.

Akhir-akhir ini model penelitian PKO O-P lebih kompleks dan membutuhkan integrasi teori yang lebih luas, serta memerlukan variabel yang lebih banyak. Penelitian Wang (2009a) mengintegrasikan teori pertukaran sosial (Blau, 1964), teori peran (Katz & Kahn, 1966), dan pendekatan iklim pelayanan (Schneider, 1990). Teori pertukaran sosial digunakan untuk menguji hubungan antara dukungan organisasional persepsian (DOP) dengan PKO O-P. Penggunaan teori peran dalam penelitian ini untuk menjelaskan pilihan anggota organisasi untuk berperilaku kewargaan, apakah akan menggunakan intra-peran atau ekstra-peran. Hal ini menyangkut ekspektasi peran anggota organisasi yang dituntut berkompetisi dalam mencapai tujuannya melalui efisiensi, kualitas, dan orientasi pelanggan. Pendekatan iklim pelayanan merupakan variabel konteks yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ketika menghadapi tuntutan pelanggan yang tidak dapat diprediksi dan berperan sebagai moderator. Wang (2009a) menyarankan bahwa penelitian selanjutnya perlu mempertimbangkan interaksi dan dukungan sosial lainnya sebagai misal dukungan supervisor atau rekan kerja untuk mempengaruhi PKO O-P.

Menindaklanjuti usulan Wang (2009a), penelitian Tang dan Tang (2012) mengintegrasikan teori pertukaran sosial (Blau, 1964), teori pemrosesan informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1978), dan pendekatan iklim organisasional (Schneider, 1990). Teori pemrosesan informasi sosial dan pendekatan iklim organisasional dipergunakan untuk menjelaskan persepsi bersama para karyawan dalam suatu unit terhadap fenomena tertentu, sehingga menimbulkan suatu iklim yang memfokuskan pada persepsi konteks sosial dan dampaknya (Denison, 1996). Integrasi ketiga teori ini dipergunakan untuk menjelaskan pengaruh persepsi karyawan secara kelompok (dalam suatu unit) atas perlakuan organisasi

(17)

dan pemimpin terhadap perilaku karyawan. Tang dan Tang (2012) menggunakan ketiga teori tersebut untuk menjelaskan hubungan antara variabel high-performance human resource practices dan PKO O-P melalui mediasi iklim keadilan dan iklim pelayanan.

Penelitian ini telah menggunakan variabel iklim keadilan dan iklim pelayanan sebagai implementasi teori pemrosesan informasi sosial dan pendekatan iklim organisasional, tetapi dalam analisisnya masih menggunakan level analisis individu. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini belum sepenuhnya didukung dari sisi metodologis.

Penelitian PKO O-P ke depan memerlukan integrasi teori dan pengembangan model penelitian yang mampu menjelaskan hubungan sosial dalam variabel anteseden. Integrasi teori yang lebih luas akan membawa konsekuensi pada model penelitian dan metode analisis yang berbeda.

Penelitian tentang PKO O-P masih berkembang, meskipun sampai saat ini jumlah penelitian tersebut relatif masih sedikit. Penelitian dan pengembangan konsep PKO O-P masih perlu dilakukan lebih lanjut. Penelitian ini bertitik-tolak pada keempat isu di atas agar memberikan kontribusi secara teoritis, metodologis, dan praktis. Terdapat sejumlah permasalahan penelitian (research problem) yang dapat dijadikan titik perhatian penelitian dan pengembangan konsep PKO O-P, yaitu: 1. Mengacu pada isu pertama, pertanyaan

yang timbul: Apakah istilah, definisi, dan jumlah dimensi PKO O-P perlu disamakan? Sebenarnya konstruk PKO O-P tidak identik dengan dimensi orientasi pelanggan pada PKO (PKOrientasi Pelanggan). Perilaku kewargaan organisasional orientasi-pelayanan (PKO O-P) didefinisikan sebagai perilaku loyal terhadap organisasi yang secara aktif berpartisipasi dalam berbagai aktivitas dan menawarkan layanan yang sempurna (Bettencourt et al., 2001). Definisi tersebut merujuk satu kesatuan perilaku individu “di atas dan melebihi” yang

berorientasi pada organisasi dan individu dalam rangka memberi pelayanan pada pelanggan, oleh karena itu dimensi-dimensi dalam PKO O-P merupakan satu kesatuan yang tidak

(18)

terpisah satu dengan yang lain atas dasar orientasi. Kesatuan ketiga dimensi tersebut lebih mencerminkan konstruk PKO O-P karena diturunkan berdasarkan atas: dimensi loyalty (Van Dyne, Graham, & Dienesch, 1994), loyal boosterism (Moorman & Blakely, 1995), obedience (Van Dyne et al., 1994), personal industry (Moorman & Blakely, 1995), conscientiousness (MacKenzie, Podsakoff, & Fetter, 1993), service quality (Parasuraman et al., 1988),

participation (Van Dyne et al., 1994), dan individual initiative (Moorman & Blakely, 1995).

Perkembangan selanjutnya menunjukkan dimensi-dimensi PKO O-P diidentifikasi dalam kesatuan tiga orientasi yaitu PKO-Organisasi dan PKO-Individual (William & Anderson, 1991) dan PKO-Pelayanan Konsumen yang dikembangkan oleh Bettencourt et al. (2001) berdasarkan pengukuran kualitas pelayanan dari Parasuraman et al. (1988) seperti diuraikan oleh Ma et al. (2013). Identifikasi PKO O-P dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Segala tindakan karyawan merupakan representasi perusahaan dalam berhubungan dengan pihak luar, sehingga akan berpengaruh pada kenaikan atau penurunan citra perusahaan (Bowen & Schneider, 1985; Schneider & Bowen, 1993). Hal ini penting khususnya bagi karyawan bagian pelayanan pelanggan (customer service) untuk mengekspresikan loyalitasnya tidak hanya memberi advokasi kepada pelanggan mengenai produk dan jasa yang ditawarkannya, tetapi juga menjaga citra perusahaan. (2) Karyawan lini depan berpartisipasi menggunakan pengambilan inisiatif secara individu melalui komunikasi dengan pihak organisasi/ manajemen, dan rekan kerja untuk meningkatkan kualitas layanan, agar perusahaan mampu memenuhi perubahan kebutuhan pelanggannya. (3) Karyawan lini depan atau kontak pelanggan harus menjalin hubungan strategik antara lingkungan eksternal dan operasional internal melalui penyediaan informasi tentang kebutuhan pelanggan dan pemberian saran yang bermanfaat bagi pelanggan dalam pelayanannya (Schneider & Bowen, 1993; Parasuraman et al., 1988).

(19)

Mendasarkan pada uraian tentang PKO O-P di atas, penelitian ini lebih condong menggunakan istilah service oriented organizational citizenship behavior yang dikembangkan oleh Bettencourt et al. (2001) dengan kesatuan tiga dimensi (loyalty, service

delivery, participation) dalam bentuk dimensi tunggal (unidimensional) PKO O-P. Penelitian

ini sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Ackfeldt dan Wong (2006), Sun et al. (2007), Wang (2009b), dan Tang dan Tang (2012) untuk mengatasi polarisasi dimensi-dimensi dalam PKO O-P.

2. Eksplorasi anteseden PKO O-P menimbulkan pertanyaan: Apakah dasar

pemilihan anteseden PKO O-P dalam lingkungan organisasi? Menurut teori identitas peran, perilaku individu akan konsisten dengan identitasnya (Farmer et al., 2003). Karyawan kontak langsung pelanggan akan memiliki tingkat PKO O-P tinggi, karena identitas yang melekat pada perannya dalam melayani pelanggan. Penjelasan ini didukung juga oleh teori peran (Katz & Kahn, 1966) yang menyatakan bahwa, fungsi peran dalam suatu sistem sosial mempengaruhi pola perilaku baik intra peran maupun ekstra peran, sehingga organisasi sebagai suatu sistem sosial akan berpengaruh pada perilaku individu.

Mengacu pada teori identitas peran dan teori peran di atas, penelitian ini berusaha menggali faktor lingkungan (organisasional) sebagai anteseden PKO O-P. Hal ini juga didukung oleh pendapat Wang (2009a) tentang kontribusi organisasi yang mendukung PKO O-P karyawan lini depan. Hubungan antara organisasi dan para anggotanya ditunjukkan oleh adanya pertukaran sosial di antara keduanya. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini berpijak pada teori pertukaran sosial (Blau, 1964).

Menurut teori pertukaran sosial (Blau, 1964; Gouldner, 1960), karyawan lini depan akan bertanggung-jawab memuaskan kebutuhan pelanggan melebihi tugas yang ditentukan, sebagai tanggapan atas perlakuan adil yang diterima dari organisasi (Tang & Tang, 2012). Persepsi dan sikap positif terhadap keadilan yang berasal dari perlakuan organisasi, akan

(20)

mendorong karyawan dan organisasi menumbuhkan hubungan pertukaran yang lebih baik (Tang & Tang, 2012). Pendapat ini sesuai dengan kajian-kajian Organ berkaitan dengan pertukaran sosial yang menyatakan bahwa karyawan akan berperilaku secara positif ketika keadilan (fairness) dijalankan/dipraktikkan (Asgari, Silong, Ahmad, & Samah, 2008a; Giap, Hackermeier, Jiao, & Wagdarikar, 2005). Ekspektasi hubungan pertukaran sosial berlanjut ketika terjadi keadilan, tetapi ketika terjadi ketidakadilan hubungannya menjadi lebih bersifat pertukaran ekonomi daripada sosial (Colquitt, Conlon, Wesson, Porter, & Ng, 2001).

Berangkat dari kajian Organ (1990) dan Colquitt et al. (2001) di atas, penelitian ini mempertimbangkan dampak keadilan organisasional terhadap PKO O-P, karena penelitian hubungan antara keadilan organisasional dengan PKO O-P masih sangat sedikit yaitu hanya penelitian Bettencourt dan Brown (1997) dan Bettencourt et al. (2005). Menurut Fassina, Jones, dan Uggerslev (2008), di antara berbagai prediktor PKO, keadilan organisasional adalah prediktor yang paling kokoh (robust). Selain itu, perhatian pada keadilan organisasional mendasarkan pada pemikiran bahwa keadilan organisasional menjadi isu besar dan sangat dipedulikan oleh para karyawan (Forret & Love, 2008), dan perlakuan adil akan

mempunyai “spillover effects” yaitu meningkatkan komitmen karyawan yang mengarah

pada perilaku berorientasi pelanggan dan berakibat pada kepuasan pelanggan (Bowen, Gilliland & Folger, 1999).

Terdapat kebutuhan eksplorasi mekanisme hubungan antara variabel indepeden (anteseden) dengan PKO O-P. Sebagian besar penelitian PKO O-P masih merupakan hubungan langsung antara variabel anteseden dengan PKO O-P. Teori pertukaran sosial (Blau, 1964) menunjukkan bahwa karyawan akan mengembangkan hubungan pertukaran sosial dengan organisasi, atasan, dan rekan kerja. Kualitas hubungan pertukaran sosial ini akan mempengaruhi perilaku (kewargaan) para karyawan melalui implementasi organisasi

(21)

yang akan mendukung karyawan dalam memberikan pelayanan terbaik dan memuaskan pelanggan.

Teori pertukaran sosial selalu dikaitkan dengan keadilan, kepercayaan, pertukaran antara pekerja dengan organisasi dan atasannya. Jenis pertukaran pertama adalah pertukaran antara pekerja dengan organisasi yang mempekerjakan dan lazim disebut perceived

organizational support (POS) atau dukungan organisasi persepsian (DOP) (Eisenberger,

Huntington, Hutchison, & Sowa, 1986). Dukungan organisasional meyakini bahwa dalam memenuhi kebutuhan sosio-emosional dan menilai manfaat peningkatan unjuk kerja, para karyawan mengembangkan persepsi umum atau keyakinan global berkenaan dengan penilaian organisasi terhadap kontribusi mereka dan kepedulian organisasi terhadap kesejahteraannya (Eisenberger et al., 1986; Shore & Shore, 1995; Rhoades & Eisenberger, 2002), sehingga dapat dikatakan bahwa dukungan organisasional persepsian menaruh perhatian pada hubungan pertukaran antara karyawan dengan organisasi.

Pertukaran kedua adalah antara pekerja dengan atasannya (penyelia) yang dirujuk sebagai leader-member exchange (LMX) atau pertukaran atasan-anggota (PAA) (Graen & Scandura, 1987). Pertukaran pemimpin-anggota memusatkan perhatian pada kualitas pertukaran antara karyawan dan manajer yang berdasarkan derajat dukungan emosional dan pertukaran sumberdaya berharga (valued resources) (Wayne, Shore, Bommer, & Tetrick, 2002).

Penelitian ini akan menggali mekanisme teori pertukaran sosial dalam kaitannya pengaruh keadilan organisasional (sebagai anteseden) pada PKO O-P. Mekanisme hubungan antara keadilan organisasional dengan PKO O-P menjadi tidak sederhana dan tidak berhubungan langsung, oleh karena itu diperlukan pemediasi hubungan tersebut. Mengacu pada penelitian Masterson, Lewis, Goldman, dan Taylor (2000); Rupp dan Cropanzano (2002); Settoon, Bennett, dan Liden (1996); dan Wayne et al. (2002), penelitian ini

(22)

menggunakan dua faktor eksternal yaitu karakteristik organisasional (ditunjukkan dengan dukungan organisasional persepsian/DOP) dan perilaku kepemimpinan (ditunjukkan dengan pertukaran pemimpin-anggota/PPA) sebagai pemediasi hubungan antara keadilan organisasional.

3. Permasalahan yang timbul dalam isu ketiga adalah penelitian variabel iklim pada

anteseden PKO O-P masih menggunakan analisis level individu. Beberapa penelitian iklim pada dimensi organisasional PKO O-P telah dilakukan (Tang & Tang, 2012; Wang, 2009a; Wu et al., 2013). Di antara ketiga peneliti tersebut Wang (2009a) dan Wu et al., (2013) telah menganalisis iklim pelayanan pada level analisis kelompok atau unit. Sementara itu, penelitian Tang dan Tang (2012) menggunakan dimensi iklim pelayanan dan iklim keadilan untuk menjelaskan pengaruhnya pada PKO O-P, tetapi masih menggunakan level analisis individu.

Para peneliti telah menggali fenomena organisasional dalam cakupan yang lebih luas tidak hanya level individual, melainkan pada level yang berbeda seperti kelompok/tim dan organisasi, yaitu dengan cara mengagregasi persepsi anggota (khususnya tentang keadilan) (Spell & Arnold, 2007). Kelompok kerja merupakan kumpulan karyawan yang saling bergantung dalam tugas mereka, yang membagi tanggung jawab atas outcomes level kelompok, dan satu dengan yang lain sebagai entitas sosial (Cohen & Bailey, 1997; Guzzo & Dickson, 1996; Hackman, 1987; Sundstrom, DeMeuse, & Futrell, 1990).

Mengacu pada pendekatan interaksi dan konstruksi sosial, persepsi keadilan individu tidak terlepas dari faktor lingkungan. Penelitian sebelumnya masih menitikberatkan interaksi sosial pada pembentukan persepsi individual khususnya keadilan organisasional (Kulik & Ambrose, 1992), sehingga perlu kajian konteks sosial di tempat kerja yang ditandai oleh fenomena relasional yang tidak dipahami oleh individu secara independen (Cappelli & Sherer, 1991). Penelitian-penelitian telah mencatat bahwa dampak keadilan adalah lebih kuat

(23)

ketika semua atau sebagian besar anggota kelompok diperlakukan tidak adil, dibandingkan hanya satu atau sedikit anggota yang diperlakukan tidak adil (Naumann & Bennett, 2000). Dampak positif keadilan prosedural adalah lebih memungkinkan ketika keadilan prosedural ditingkatkan dan diaplikasikan secara konsisten pada para anggota organisasi (Colquitt, 2004).

Penelitian ini mempertimbangkan iklim keadilan organisasional sebagai anteseden PKO O-P dengan mengacu pendapat Mussholder, Bennett, & Martin (1998) sebagai penguji keadilan prosedural pertama yang menggunakan level analisis unit. Penelitian ini juga merujuk pada konsensus kognisi level kelompok yang merepresentasikan persepsi keadilan individu dalam kelompok (Colquitt, Noe, & Jackson, 2002; Roberson, 2006; Simons & Roberson, 2003). Konstruk iklim keadilan organisasional dianggap penting dalam penelitian ini karena belum pernah didiskusikan dalam literatur Manajemen Pelayanan Industri Perhotelan (Tang & Tang, 2012).

4. Permasalahan dalam integrasi teori adalah bagaimana mekanisme hubungan

antara anteseden dengan PKO O-P dan apakah metode yang digunakan untuk menganalisis. Bertolak dari penelitian Wang (2009a) dan Tang dan Tang (2012), penelitian ini mengembangkan hubungan antara keadilan organisasional dengan PKO O-P mengacu pada teori keadilan organisasional dan teori pertukaran sosial. Sebagai pengembangan model hubungan tersebut, keadilan organisasional dikembangkan menjadi iklim keadilan organisasional dengan menggunakan teori pemrosesan informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1978), teori interaksi dan konstruksi sosial (Colquitt, 2001; Kulik & Ambrose, 1992), perspektif ASA (Schneider, 1987), dan teori kognisi sosial (Wood & Bandura, 1989).

Keempat teori di atas memberikan kontribusi pembentukan iklim keadilan sebagai usaha karyawan dalam memahami keadilan di lingkungannya dan pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku. Sesuai dengan penelitian Liao dan Rupp (2005); Masterson et al. (2000);

(24)

Rupp dan Cropanzano (2002); Settoon, Bennett, & Liden (1996); dan Wayne et al. (2002), penelitian ini berusaha mengembangkan faktor keadilan (perseptual dan level analisis individu) menjadi iklim keadilan (konteks sosial dan level analisis kelompok), serta pengaruhnya terhadap sikap (ditunjukkan oleh dukungan organisasional persepsian dan pertukaran pemimpin-anggota) dan perilaku (ditunjukkan oleh PKO O-P) dalam pertukaran sosial. Iklim keadilan organisasional merupakan integrasi antara konsep keadilan dan iklim organisasional, yang didefinisikan sebagai kognisi level kelompok rata-rata tentang bagaimana sebuah kelompok kerja secara keseluruhan diperlakukan (Naumann & Bennett, 2000).

Pertanyaan yang muncul adalah, apakah metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan yang berbeda level antara iklim keadilan organisasional (level kelompok) dengan PKO O-P (level individu)? Sesuai dengan pendapat Liao dan Rupp (2005), bahwa terdapat kebutuhan besar penelitian lintas level untuk menggali pengaruh persepsi keadilan level kelompok (dikenal dengan iklim keadilan) terhadap variabel dependen (outcomes) dengan level individu. Analisis lintas level (cross-level) menjelaskan bahwa perlakuan yang muncul dalam iklim keadilan mempunyai perbedaan pengaruh pada sikap dan perilaku individu di tempat kerja daripada persepsi keadilan level individu. Hal ini merefleksikan pengaruh

setting sosial pada individu, yaitu dimulai dari sesuatu yang luas untuk menjelaskan

karakteristik perilaku yang lebih sempit. Alasan menggunakan analisis lintas level adalah penelitian ini memerlukan analisis yang kokoh (robust) dan jumlah penelitian yang menggunakan analisis lintas level relatif sedikit.

Sebagai catatan, dalam hubungannya dengan PKO O-P, iklim keadilan organisasional memfokuskan pada iklim keadilan prosedural dan interaksional (Liao & Rupp, 2005; Simons & Roberson, 2003). Iklim keadilan distributif tidak digunakan dalam penelitian ini karena keadilan distributif mengacu pada teori equity yang menyatakan bahwa individu

(25)

mendefinisikan keadilan hanya pada perbandingan outcomes yang diterima, sehingga hubungannya cenderung pada pertukaran ekonomi yang lebih sesuai disebut kontrak yaitu persetujuan untuk menciptakan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Rousseau & Parks, 1993). Jika karyawan mendefinisikan hubungannya dengan atasan sekedar pertukaran ekonomi, maka keadilan distributif akan berdampak rendah pada PKO (Niehoff & Moorman, 1993). Resiprokasi pertukaran ekonomi akan terbatas pada perilaku

in-role, karena karyawan hanya melihat sedikit kemungkinan melakukan hal yang melebihi dari

perjanjian kontrak khusus. Sebaliknya, jika karyawan mendefinisikan hubungannya dengan atasan adalah pertukaran sosial, maka resiprokasi pertukaran sosial memberi peluang melakukan perilaku di luar perjanjian atau kontrak. Seorang karyawan akan memberikan PKO karena konsisten dengan kualitas positif hubungan kerja, bukan karena kontrak kerja khusus.

Mengacu pada keempat isu dan persoalan pada penelitian PKO-OP di atas, penelitian ini berusaha menguji pengaruh keadilan organisasional pada perilaku kewargaan organisasional - orientasi pelayanan (PKO-OP), melalui teori pertukaran sosial (Blau, 1964). Model penelitian ini mendasarkan pada integrasi teori keadilan dan pertukaran sosial, serta mengembangkan penelitian sebelumnya (Liao & Rupp, 2005; Masterson et al., 2000; Rupp & Cropanzano, 2002; Settoon, Bennett, & Liden, 1996; dan Wayne et al., 2002). Penelitian Liao dan Rupp (2005) mengkaji pengaruh iklim keadilan organisasional pada komitmen, kepuasan kerja, dan PKO dengan analisis lintas level (cross-level analysis). Penelitian Rupp dan Cropanzano, (2002), Settoon, Bennett, dan Liden (1996), dan Wayne et al. (2002) mengkaji pengaruh keadilan organisasional pada PKO dengan mediasi dukungan organisasional persepsian dan pertukaran pemimpin-anggota. Integrasi keempat penelitian tersebut membuka peluang untuk penelitian selanjutnya.

(26)

Selama ini, penelitian tentang PKO O-P kurang menekankan pengaruh iklim keadilan organisasional pada PKO O-P dengan mediasi pertukaran sosial (dukungan organisasional persepsian dan pertukaran pemimpin-anggota) dan analisis lintas level. Penelitian ini mempertimbangkan faktor iklim, karena tren praktik dalam dunia kerja adalah kerja tim, sehingga karyawan dalam kelompok/unit selalu berinteraksi satu dengan lainnya. Interaksi antar karyawan akan dianalisis dengan teori pemrosesan informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1978), perspektif attraction-selection-attrition (ASA) (Schneider, 1987), pendekatan interaksi dan konstruksi sosial (Colquitt, 2001; Degoey, 2000; Kulik & Ambrose, 1992), dan teori kognisi sosial (Bandura, 1986). Penjelasan lebih lanjut tentang pembentukan PKO O-P juga akan dijelaskan melalui teori peran (Biddle, 1979), teori identitas peran (Burke, 1980), teori atribusi (Heider, 1958), dan teori kualitas pelayanan (Parasuraman et al., 1988). Penelitian ini akan memberikan kontribusi menjembatani kesenjangan penelitian-penelitian PKO O-P dalam hal: (a) istilah dan unidimensionalitas PKO O-P, (b) menggali faktor anteseden PKO O-P yang kokoh, sehingga menjadi perhatian dan pertimbangan pemimpin organisasi dalam upaya mendorong terbentuknya PKO O-P individu karyawan, (c) meletakkan analisis yang tepat dan memberi nuansa baru tentang iklim keadilan organisasional, (d) memanfaatkan analisis lintas level untuk menjelaskan hubungan antara iklim keadilan organisasional dengan PKO O-P secara individual. Penggunaan konsep iklim keadilan organisasional diharapkan akan memberikan pengaruh keadilan organisasional terhadap PKO O-P secara signifikan.

1.2. Perumusan Permasalahan

Mengacu pada teori pertukaran sosial (Blau, 1964) dan penelitian Masterson et al. (2000), model penelitian ini ditunjukkan oleh hubungan antara keadilan organisasional (diwakili keadilan prosedural dan interaksional) dengan PKO O-P yang dimediasi oleh dukungan

(27)

organisasional persepsian dan pertukaran pemimpin-bawahan. Pemediasian ini juga sesuai dengan rekomendasi Bettencourt et al. (2005) untuk mengembangkan dua bentuk pertukaran sosial yaitu: (a) karyawan dengan organisasi, dan (b) karyawan dengan atasan. Selain itu, Bettencourt et al. (2005) juga merekomendasikan pemediasi hubungan keadilan organisasional dan PKO O-P selain kepuasan kerja dan komitmen. Hal ini disebabkan terdapat hubungan langsung antara ketiga keadilan organisasional (distributif, prosedural, interaksional) dengan salah satu dimensi PKO O-P yaitu service delivery, melalui kedua variabel pemediasian tersebut.

Perkembangan penelitian saat ini cenderung menggunakan struktur kerja dalam tim, sehingga penelitian keadilan organisasional menganggap dampak keadilan organisasional adalah setting tim kerja (Colquitt, 2001; Kirkman, Jones, & Shapiro, 2000; Korsgaard, Schweiger, & Sapienza, 1995; Phillips, Douthitt, & Hyland, 2001). Oleh karena itu, keadilan organisasional memusatkan perhatian pada konteks dan iklim yang merepresentasikan persepsi yang dibagikan di antara para anggota atas perlakuan pihak yang berwenang di unit kerja (Colquitt, Noe, & Jackson, 2002; Mossholder, Bennett, & Martin, 1998; Naumann & Bennett, 2000). Iklim keadilan prosedural adalah kognisi level kelompok para anggota unit kerja tentang keadilan prosedural (Naumann & Bennett, 2000). Dengan kata lain, iklim keadilan dikonseptualisasikan sebagai kesamaan persepsi keadilan individual dengan fokus pada unit sebagai rujukan (Roberson & Colquitt, 2005).

Selain itu juga diperlukan analisis lintas-level (cross-level analysis) untuk menguji iklim keadilan yang telah memiliki validitas dalam memprediksi sikap dan perilaku individu level-individual, melebihi persepsi keadilan level-individual (Mossholder, Bennett, & Martin, 1998; Naumann & Bennett, 2000). Sikap dan perilaku individual tidak hanya dipengaruhi oleh keadilan yang dialaminya, tetapi juga oleh pengetahuan tentang orang lain bagaimana mereka diperlakukan oleh organisasi dan atasan. Iklim keadilan organisasional

(28)

sebagai bagian konteks level kelompok akan mempunyai pengaruh menurun (top down) pada sikap dan perilaku para anggota (Liao & Rupp, 2005). Mengacu pada psikologi ekologikal (Barker, 1968), penelitian lintas level diarahkan oleh para psikolog dengan menggabungkan faktor situasional ke dalam model keperilakuan, oleh karena itu teori lintas level cenderung ditujukan dampak karakteristik level lebih tinggi pada proses level lebih rendah.

Kajian berbagai hasil penelitian hubungan antara keadilan organisasional dan PKO dipengaruhi oleh perlakuan atasan dan organisasi (Cohen-Charash & Spector, 2001). Terkait dengan perlakuan pemimpin terhadap perilaku bawahan, keadilan prosedural dianggap sebagai faktor untuk memahami bagaimana pemimpin memberdayakan dan merangsang PKO para karyawannya (van Dijke, Cremer, Mayer, & Van Quaquebeke, 2012). Keadilan prosedural merujuk pada konsekuensi sosial psikologis dengan penekanan khusus pada dampak prosedural terhadap pertimbangan keadilan (Thibaut & Walker, 1975).

Persoalan yang timbul, apakah PKO para bawahan hanya ditentukan oleh faktor sosio-psikologis yang berasal dari aspek prosedural yang dilakukan oleh atasan? Selain persepsi keadilan prosedural, Moorman (1991) juga menekankan secara khusus bahwa persepsi keadilan interaksional merupakan alat penting untuk memprediksi praktik PKO. Keadilan interaksional merupakan perluasan dari keadilan prosedural yang menyinggung sisi kemanusiaan pada praktik organisasional yang mana merupakan cara manajemen memperlakukan penerima keadilan (Cohen-Charash & Spector, 2001). Keadilan interaksional berhubungan dengan aspek proses komunikasi antara sumber dan penerima keadilan, misalnya kesopanan, kehangatan, kejujuran, dan rasa hormat (Bies & Moag, 1986; Tyler & Bies, 1990), dan merujuk pada kualitas interaksi antar personal di antara individu dan merupakan prediktor yang signifikan atas reaksi terhadap atasan (Masterson et al., 2000). Hal ini disebabkan keadilan interaksional ditentukan oleh perilaku antar personal yang mewakili manajemen, sehingga keadilan interaksional dianggap berhubungan dengan reaksi

(29)

kognitif, afektif, dan keperilakuan terhadap yang mewakili manajemen yaitu atasan langsung atau sumber keadilan (Bies & Moag, 1986; Cropanzano & Prehar, 1999; Masterson

et al., 2000; Cohen-Charash & Spector, 2001). Ketika karyawan mempersepsikan

ketidakadilan interaksional, maka reaksi secara negatif ditujukan kepada atasan langsung, karena yang bisa memberikan penjelasan secara santun dan ramah adalah atasan langsung, bukan organisasi. Dapat dikatakan, atasan langsung merupakan representasi dari organisasi. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pengujian pengaruh iklim keadilan prosedural dan interaksional terhadap PKO O-P.

Menanggapi hal tersebut, diperlukan pemahaman tentang anteseden dan mekanisme yang menyebabkan karyawan berperilaku kewargaan dalam melayani pelanggan sesuai standar kualitas dari organisasi. Berdasarkan teori pertukaran sosial, keadilan organisasional tidak secara langsung mempengaruhi perilaku individu, melainkan melalui pembentukan sikap tertentu seperti dukungan organisasional persepsian (perceived organizational support), pertukaran pemimpin-anggota (leader-member exchange), dan kepercayaan (trust) (Aryee, Budhwar, Chen, 2002; Masterson, Lewis, Goldman, & Taylor, 2000; Settoon, Bennett, & Liden, 1996; Wayne, Shore, & Liden, 1997; Wayne et al., 2002). Justifikasi konseptual faktor dukungan organisasional persepsian memediasi hubungan antara keadilan organisasional dan PKO adalah ketika persepsi keadilan membangun kepercayaan di antara karyawan dan organisasi (Aryee et al., 2002; Chen, Lam, Naumann, & Schaubroeck, 2005; Shore & Shore, 1995). Pertukaran sosial terjadi karena adanya hubungan timbal balik satu pihak dengan lainnya dan dilandasi oleh rasa saling percaya (Blau, 1964). Jika organisasi berlaku adil dengan karyawan, maka akan memprakarsai hubungan pertukaran sosial dengan karyawan. Karyawan mempunyai kewajiban membalas perlakuan adil melalui peningkatan kinerjanya sebagai bentuk kepercayaan pada organisasi.

(30)

Penelitian Wayne et al. (1997) mencoba melihat perilaku kerja karyawan dihubungkan dengan sifat hubungannya dengan atasan. Hubungan atau pertukaran antara atasan-bawahan didasarkan pada rasa saling percaya, loyalitas, hubungan antar personal, dan saling menghormati agar kinerja bawahan sesuai yang diharapkan atau melebihi. Hasil penelitian menunjukkan baik dukungan organisasional persepsian (DOP) maupun pertukaran pemimpin-anggota (PPA) berhubungan secara signifikan dengan PKO. Hubungan antara DOP dan PKO mengarah pada hubungan antara organisasi dengan karyawan, sedangkan hubungan antara PPA dengan PKO mengarah pada hubungan antara atasan dengan karyawan. Khusus PKO O-P, penelitian sebelumnya telah menggunakan anteseden PKO O-P seperti dukungan organisasional persepsian (Bettencourt et al., 2001; Wang, 2009a; Wang, 2009b), pertukaran pemimpin-anggota (Bettencourt, 2004; Wu, Tse, Fu, Kwan & Liu, 2013), kepuasan kerja karyawan (Ackfeldt & Wong, 2006; Bettencourt, 2004; Bettencourt et al., 2005; Payne & Webber 2006), komitmen (Ackfeldt & Wong, 2006; Bettencourt & Brown, 1997; Bettencourt, 2004; Bettencourt et al., 2005; Payne & Webber 2006; Wang, 2009b; Hsu

et al., 2011), dan kepemimpinan (Wu et al., 2013). Penelitian ini mengusulkan penggunaan

dukungan organisasional persepsian dan pertukaran pemimpin-anggota untuk memediasi hubungan antara keadilan organisasional dengan PKO O-P dengan alasan penelitian ini lebih memusatkan perhatian pada interaksi sosial di antara para anggota yang terjadi dalam organisasi. Interaksi sosial ini akan menumbuhkan persepsi bersama para anggota terhadap situasi dan kondisi dalam organisasi, serta menimbulkan pertukaran sosial antara organisasi dan para anggota yang terekspresi dalam bentuk sikap dan perilaku para anggota (dalam hal ini PKO O-P). Selain itu masih terdapat keterbatasan jumlah penelitian tentang hubungan antara iklim keadilan organisasional dengan PKO O-P.

Untuk menangkap kompleksitas fenomena hubungan antara iklim keadilan organisasional (ditunjukkan dengan iklim keadilan prosedural dan interaksional), mediator

(31)

(dukungan organisasional persepsian dan pertukaran pemimpin-anggota) dan PKO O-P, maka dilakukan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1.2.1. Apakah iklim keadilan prosedural mempengaruhi perilaku kewargaan

organisasional-orientasi pelayanan (PKO O-P) secara positif?

1.2.2. Apakah iklim keadilan interaksional mempengaruhi PKO O-P secara positif?

1.2.3. Apakah iklim keadilan prosedural mempengaruhi dukungan organisasional persepsian secara positif?

1.2.4. Apakah iklim keadilan prosedural mempengaruhi pertukaran pemimpin-anggota secara positif?

1.2.5. Apakah iklim keadilan interaksional mempengaruhi pertukaran pemimpin-anggota secara positif?

1.2.6. Apakah iklim keadilan interaksional mempengaruhi dukungan organisasional persepsian secara positif ?

1.2.7. Apakah dukungan organisasional persepsian memediasi pengaruh iklim keadilan prosedural terhadap PKO O-P?

1.2.8. Apakah dukungan organisasional persepsian memediasi pengaruh iklim keadilan interaksional terhadap PKO O-P?

1.2.9. Apakah pertukaran pemimpin-anggota memediasi pengaruh iklim keadilan prosedural terhadap PKO O-P?

1.2.10. Apakah pertukaran pemimpin-anggota memediasi pengaruh iklim keadilan interaksional terhadap PKO O-P?

1.3. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk menguji : 1.3.1. Pengaruh iklim keadilan prosedural terhadap PKO O-P.

(32)

1.3.2. Pengaruh iklim keadilan interaksional terhadap PKO O-P.

1.3.3. Pengaruh iklim keadilan prosedural terhadap dukungan organisasional persepsian. 1.3.4. Pengaruh iklim keadilan prosedural terhadap pertukaran pemimpin-anggota . 1.3.5. Pengaruh iklim keadilan interaksional terhadap pertukaran pemimpin-anggota. 1.3.6. Pengaruh iklim keadilan interaksional terhadap dukungan organisasional persepsian. 1.3.7. Peran mediasi dukungan organisasional persepsian pada pengaruh iklim keadilan

prosedural terhadap PKO O-P.

1.3.8. Peran mediasi dukungan organisasional persepsian pada pengaruh iklim keadilan interaksional terhadap PKO O-P.

1.3.9. Peran mediasi pertukaran pemimpin-anggota pada pengaruh iklim keadilan prosedural terhadap PKO O-P.

1.3.10. Peran mediasi pertukaran pemimpin-anggota pada pengaruh iklim keadilan interaksional terhadap PKO O-P.

1.4. Kontribusi Penelitian

1.4.1. Perspektif teoritis : Penelitian ini menawarkan sebuah model pengembangan

pengaruh iklim keadilan prosedural dan interaksional (pada level unit) sebagai kerangka untuk memahami perilaku kewargaan organisasional orientasi-pelayanan (PKO O-P) pada level individu. Penelitian ini mendasarkan pada teori pertukaran sosial untuk mengintegrasikan teori keadilan dan konsep PKO O-P. Penelitian ini juga melibatkan teori pemrosesan informasi sosial, pendekatan interaksi dan konstruksi sosial, perspektif ASA, dan teori pembelajaran sosial untuk menjelaskan fenomena iklim keadilan organisasional. Selain itu, penelitian ini juga melibatkan teori peran, teori identitas, teori atribusi, dan pendekatan kualitas pelayanan untuk menjelaskan fenomena konsep PKO O-P.

(33)

1.4.2. Perspektif metodologis: Model penelitian ini diusulkan dan diujikan dengan

menggunakan sebagai berikut,

a. Agregasi persepsi keadilan prosedural dan interaksional (level individu) menjadi iklim keadilan prosedural dan interaksional (level kelompok/ unit). Dalam model statistik yang diagregasi, variasi within-group diabaikan dan individu diperlakukan sebagai entitas yang homogen (Woltman, Feldstain, MacKay, & Rocchi, 2012). Penggunaan agregasi dengan tiga pertimbangan (Roberts, 2004), yaitu sebagai berikut,

 Model statistik yang tidak hirarkis kadang-kadang mengabaikan struktur data dan

akibatnya standar laporan menganggap remeh kesalahan (tanpa variasi within unit), dengan demikian akan menghasilkan peningkatan kesalahan tipe I (kesalahan yang terjadi jika menolak Ho, padahal Ho benar).

 Teknik multilevel secara statistik lebih efisien daripada teknik lainnya, karena tidak

mengisyaratkan estimasi seluruh dampak perbedaan.

 Teknik multilevel diasumsikan sebagai model linear umum yang dapat melakukan

beberapa jenis analisis yang menyediakan perkiraan lebih konservatif melalui kemungkinan untuk berhubungan dengan tanggapan dalam kelompok.

b. Pengujian lintas level (cross level): pengaruh iklim keadilan prosedural dan interaksional (level kelompok/ unit) terhadap PKO O-P (level individu)

c. Untuk pengujian lintas level menggunakan alat analisis Hirarchical Linear Modeling (HLM)

1.4.3. Perspektif praktis: Temuan-temuan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai

pengetahuan dan pedoman untuk memahami peranan iklim keadilan organisasional, dukungan organisasional, dan pertukaran pemimpin-anggota dalam meningkatkan PKO O-P. Model penelitian ini berguna khususnya bagi para pemimpin perusahaan atau organisasi untuk berperilaku adil terhadap para karyawannya dan mengarahkan seluruh anggota

(34)

organisasi untuk memelihara iklim kerja yang nyaman dan kinerja yang melebihi standar formal.

1.5. Keaslian Penelitian

Sepengetahuan peneliti, penelitian tentang perilaku kewargaan organisasional orientasi-pelayanan (PKO O-P) belum banyak dilakukan (Tabel 1.2.). Alasan meneliti topik hubungan antara iklim keadilan organisasional dengan PKO O-P, karena belum ada penelitian sebelumnya. Penelitian ini menggunakan analisis lintas level untuk menguji pengaruh iklim keadilan organisasional (level analisis unit) pada PKO O-P (level analisis individu), karena selama ini penelitian hubungan antara keadilan organisasional dengan PKO O-P (Bettencourt & Brown,1997;Bettencourt, et al., 2005) masih menggunakan level analisis individu.

Kelebihan pengaruh variabel iklim keadilan organisasional (yang ditingkatkan menjadi level unit) terhadap variabel sikap dan perilaku (level individu) ditunjukkan oleh beberapa peneliti. Hasil penelitian Mossholder et al. (1998) menunjukkan bahwa variabel keadilan (level unit) mempunyai pengaruh terhadap variabel kepuasan kerja (level individu) melebihi pengaruh variabel keadilan (level individu) terhadap variabel kepuasan kerja (level individu). Hal yang sama terjadi pada pengaruh iklim keadilan (level unit) melebihi persepsi keadilan (level individu) terhadap perilaku menolong (level individu) (Naumann & Bennett, 2000) dan kinerja dan absensi (level individu) (Colquitt et al., 2002). Sebagai pendukung penelitian ini, tabel 1.2. dan tabel 1.3. meringkas penelitian sebelumnya tentang hubungan antara keadilan organisasional dengan PKO O-P.

Referensi

Dokumen terkait

(Karim Helmi, 2000 :76) Selain itu, masalah kemantangan fisik, mental dan emosional dari masing-masing pasangan akan dapat menghasilkan keturunan yang baik dan

Sedangkan pada waktu ada ang- gota keluarga yang mengidap penyakit cacing, sikap responden berbeda (p<0,05) Orang tua murid SD program sebagian be- sar memberikan

Dinding Exterior adalah dinding yang letaknya di luar ruangan. Karena terletak di luar ruangan maka dinding exterior harus kuat, indah, dan tahan cuaca,

language and culture. Teachers' beliefs and educational research: Cleaning up a messy construct. Research methods in language learning. Cambridge: Cambridge University

[r]

The writer conducted a pragmatic study to answer the two research questions. Data used in this research were collected from 166 pages of The Great Debaters

Dalam pelaksanaan geladi ini, dapat memberikan nilai tambahan bagi mahasiswa Universitas Telkom untuk mengenali lingkungan dan suasana kerja. 4.1.2

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sistem dan prosedur pada penjualan kamar dan restoran di UB Hotel beberapa aspek sudah mendukung pengendalian