FUNGSI SOSIAL TRADISI PAMBAKAAN DALAM UPACARA
KEMATIAN DI KELURAHAN BATIPUH PANJANG, KECAMATAN
KOTO TANGAH, KOTA PADANG SUMATERA BARAT
JURNAL
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (Strata 1)
FENI AZRI
NPM: 11070183
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
STKIP PGRI SUMATERA BARAT
PADANG
Fungsi Sosial Tradisi Pambakaan Dalam Upacara Kematian
Di Kelurahan Batipuh Panjang, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang
Sumatera Barat
Feni Azri
1Firdaus, M.Si
2Adiyalmon, S.Ag, M.Pd
3Program Studi Pendidikan Sosiologi
STKIP PGRI Sumatera Barat
ABSTRACT
Pambakaan tradition is a tradition that is carried out in a hundred days after the bodies were buried. Pambakaan tradition is an item of equipment provided by the family sorrow in a hundred days. The aim of this study is to describe the implementation process tardisi pambakaan funerals in the village Batipuh length and to determine the social function of tradition pambakaan funerals in the village Batipuh length. The theory used in this research is the structural functionalism theory proposed by Robert. K. Merton. From the results of this study concluded that the stages in the implementation of pambakaan tradition there are five stages, 1). Mangatoan urang (let me know), 2). Manyadioan (supply), 3). Mamasak (cooking), 4). Manaikkan urang siak (raising expert zikir), 5). Maantaan pambakaan (delivering pambakaan). The social function of this tradition for the community are: 1). Manifest functions (last respects to the family of the services of people who died during his life). 2) latent function for praise or reward, promote solidarity between members of the public and establish silahturahmi, 3) dysfunction burden for law and law.
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk hidup akan mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangan kehidupannya. Tahapan itu dimulai dari masa kelahiran, masa anak-anak, masa remaja, masa perkawinan, dan akhirnya menemui masa kematian. Proses kehidupan ini dikenal dengan tahap-tahap pertumbuhan atau tingkat-tingkat lingkaran hidup (stage a long life cycle) (Izati dkk, 2011: 1).
Tahap-tahap pertumbuhan hidup manusia secara umum dapat ditemui dalam setiap masyarakat dan pada umumnya masyarakat melakukan upacara-upacara tertentu pada saat siklus kehidupan seperti ; upacara pada masa kelahiran, upacara masa anak-anak, upacara masa remaja, upacara perkawinan dan upacara kematian (Koentjaraningrat, 1987:74).
Salah satu upacara dalam tahap kehidupan manusia adalah upacara kematian. Upacara ini menjadi penting karena tidak semua manusia mengalami atau melalui seluruh proses tahapan pertumbuhan kehidupan tersebut dari awal sampai akhir,
masa kematian mengakhiri proses tersebut (Izati dkk, 2011:2).
Di Minangkabau upacara kematian ialah kegiatan-kegiatan upacara yang dilakukan sebelum dan sesudah penguburan dilakukan. Dalam melaksanakan upacara peringatan kematian tidak terlepas dari syariat Islam dan adat istiadat Minangkabau, sesuai dengan pepatah adat Minangkabau yaitu “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Maksudnya adalah bahwa orang-orang Minangkabau berpedoman kepada aturan-aturan yang bersumber pada ajaran agama Islam yaitu Al-Quran dan Hadist. Hukum adat Minangkabau terdapat persamaan dengan hukum Islam mengenai proses penyelenggaraan jenazah (Sri Rohani 2010: 2).
Upacara kematian dalam masyarakat Minangkabau dilakukan dengan dua cara, yaitu upacara kematian secara religi dan upacara kematian secara adat istiadat. Didalam penyelenggaraan upacara kematian secara religi dilaksanakan melalui beberapa tahap. Tahap pelaksanaanya harus berurutan yaitu mulai dari upacara kematian (mayat terbujur), upacara memandikan,
upacara mengafani, upacara mensholatkan, dan sampai upacara penguburan (Izati dkk 2011:86). Adapun pelaksanaan upacara kematian secara adat dilakukan dalam tiga bentuk yaitu, upacara kematian besar-besaran seperti membuat alek mengundang semua kerabat yang dikenal untuk melakukan pengajian dirumah duka, upacara kematian menengah, dan upacara kematian kecil yakni dengan takziah yang diisi dengan pengajian dan pembacaan ayat suci Al-Quran tanpa ada acara makan dan minum di tempat orang yang meninggal (Amir, BCs, 1985:23-29).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Ameta Devi, 2010:3) upacara peringatan kematian yang lazim dilakakukan oleh masyarakat Minangkabau antara lain yaitu :
1. Manigo hari dilaksanakan setelah tiga hari orang tersebut meninggal.
2. Manujuah hari dilaksanakan setelah tujuh hari orang tersebut meninggal. 3. Manduo kali tujuh dilaksanakan setelah
empat belas hari orang tersebut meninggal.
4. Maampek puluh ampek dilaksanakan setelah empat puluh empat hari orang tersebut meninggal.
5. Manyaratuih hari dilaksanaan setelah seratus hari orang tersebut meninggal.
Demikian pula masyarakat di Kelurahan Batipuh Panjang yang merupakan bagian masyarakat Minangkabau secara keseluruhan juga memiliki tradisi dalam upacara adat kematian. Setelah jenazah dimakamkan keluarga yang ditinggal memperingati hari kematian seperti hari pertama mengundang murid TPA/TPSA di Mushola atau Masjid beserta dengan buya atau guru ngaji mereka untuk takziyah dirumah duka sampai manigo hari (3 hari), setelah itu di ikuti dengan upacara kematian
manujuah hari (7 hari), maampek puluh ampek (44 hari) sampai dengan manyaratuih
hari (100 hari). Adapun pelaksanaan upacara kematian yang diperingati oleh masyarakat Batipuh Panjang yang sampai saat sekarang masih dijalani oleh masyarakatnya yaitu pada upacara peringatan kematian dalam
manyaratuih hari. Didalam pelaksanaan manyaratuih hari terdapat tradisi yang
dilaksanakan oleh masyarakat Batipuh Panjang yaitu tradisi pambakaan. Tradisi
pambakaan ini diadakan dalam manyaratuih
hari (100 hari) orang yang telah meninggal. Tradisi pambakaan merupakan tradisi yang dilaksanakan dalam
manyaratuih hari (100 hari) setelah jenazah
dikuburkan. Pambakaan merupakan barang perlengkapan yang disediakan oleh keluarga duka dalam manyaratuih hari. Barang yang disediakan tersebut terdiri dari peralatan sholat, peralatan tidur, dan peralatan minum. Peralatan sholat yang disediakan oleh keluarga duka berupa sajadah, kain sarung dan mukenah bagi perempuan, disamping itu peralatan untuk tidur yang disediakan berupa bantal dan kasur. Adapun peralatan untuk minum yang disediakan terdiri dari gelas dan teko, mereka juga menyediakan payung hitam. Disamping itu mereka tidak hanya menyediakan barang perlengkapan tetapi mereka juga menyediakan makanan, minuman, buah dan aneka macam lauk pauk. Makanan tersebut terdiri dari kue pinyaram, minuman seperti air lemon, buah-buahan berupa pisang dan tebu. Semua peralatan, makanan, minuman, buah dan lauk-pauk tersebut diletakan diatas dulang (nampan) yang dinamakan dengan pambakaan. Semua peralatan yang disediakan oleh keluarga duka tersebut dinamakan pambakaan
sehingga disebut dengan tradisi pambakaan. Tradisi pambakaan di Batipuh Panjang ini telah berlangsung sejak zaman dahulu. Sampai saat ini tetap berlangsung, karena adanya keharusan bagi masyarakat Batipuh Panjang untuk melakukan tradisi
pambakaan dalam manyaratuih hari. Tradisi pambakaan dalam manyaratuih hari sudah
menjadi kebiasaan bagi mayarakat Batipuh Panjang yang sampai saat sekarang masih dilakukan dan dipertahankan oleh mayarakat setempat. Sekarang ini masih dilaksanakannya tradisi pambakaan oleh mayarakat tersebut karena mereka memiliki asumsi karena mempunyai fungsi bagi masyarakat Batipuh Panjang.
Dalam pelaksanaan tradisi
pambakaan dalam manyaratuih hari tersebut
membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar. Kalau kita lihat dari situasi kondisi perekonomian masyarakat pada saat ini, pastilah sangat memberatkan. Terutama bagi mayarakat yang berpendapatan kecil untuk melaksanakan pambakaan ini, sementara dana yang dibutuhkan sangat banyak terutama dalam pembelian
perlengkapan pambakaan dan jamba
makanan untuk menjamu orang kampung dalam acara makan bajamba (bersama). Apabila yang meninggal berasal dari keluarga yang tidak mampu mereka tetap menjalankan pambakaan tersebut, yang dibantu dari pihak bako ataupun kerabat yang lain.
Dalam manyaratuih hari tersebut keluarga duka mengundang ninik mamak,
urang sumando, tetangga, menantu dan
keluarga yang memiliki hubungan dengan keluarga duka. Ninik mamak didalam manyaratuih hari ini diundang karena dia bertugas sebagai pengatur jalannya pelaksanaan pambakaan tersebut, kemudian
urang sumando bertugas sebagai menjamu
atau menyambut orang-orang yang datang kerumah duka. Para tetangga, kerabat dan sanak famili datang kerumah duka dengan membawa makanan atau kue yang disebut dengan dulang tinggi (nampan) yang dibawa oleh menantu perempuan, dulang tinggi (nampan) itu berupa makanan yang terdiri dari berbagai jenis makanan dengan jumlah piring sebanyak 50 atau 100 piring. Bagi tetangga atau kerabat lain membawa beras dengan panci yang dibalut dengan sapu tangan, telur ayam yang belum dimasak, sebagian kerabat lain juga membawa makanan yang telah dimasak. Peralatan tersebut dimasukan ke dalam bakul kemudian diantarkan secara adat ke rumah duka untuk dimanfaatkan dalam upacara kematian 100 hari di rumah duka. Setiap orang yang datang tersebut disambut oleh
urang sumando dan dipersilahkan untuk
masuk kedalam rumah.
Disamping itu keluarga duka juga mengundang ahli zikir guna untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Quran bagi orang yang sudah meninggal tersebut. Acara pelaksanaan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran itu dimulai setelah sholat Isya sampai pada datangnya waktu sholat Shubuh. Dimana ahli zikir itu membaca ayat suci Al-Quran dengan cara bersalawat dan tahlillan.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai “Fungsi
Sosial Tradisi Pambakaan Dalam Upacara Kematian Di Kelurahan Batipuh Panjang Kecamatan Koto Tangah”.
TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan pambakaan dalam upacara kematian di Kelurahan Batipuh Panjang.
2. Untuk mengetahui fungsi sosial tradisi pambakaan dalam upacara kematian di Kelurahan Batipuh Panjang.
TEORI PENELITIAN
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori fungsional menurut Rober K. Merton. Merton menyoroti tiga asumsi atau postulat yang terdapat dalam teori fungsionalisme. Ketiga postulat itu sebagai berikut. Pertama, kesatuan fungsioanal masyarakat merupakan suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial saling bekerja sama dalam tingkat keselarasan yang memadai, tanpa menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Kedua, postulat fungsionalisme universal. Postulat ini menganggap bahwa “seluruh bentuk kebudayaan sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif”. Ketiga. Postulat indispensability, bahwa “dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaa, ide, objek material, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan” (IB. Wirawan, 2011:48-49). Konsep utamanya adalah fungsi manifest, fungsi laten dan disfungsi (Ritzer, 2013:21).
JENIS DATA DAN METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif dan tipe penelitian ini adalah deskritif. Metode pemilihan informan dalam penelitian ini adalah dengan cara purposive
sampling (Sangadji, 2010: 300). Informan
dalam penelitian ini berjumlah 18 orang, yang terdiri dari 3 urang siak (ahli zikir), 1 orang tokoh adat, 1 orang niniek mamak, 1 orang sumando, 1 orang minantu, 1 orang
mintuo, 2 orang yang melaksanakan tradisi pambakaan dan 7 orang masyarakat
Kelurahan Batipuh Panjang. Dalam penelitian ini, penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara dan studi dokumen. Model analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis data Miles dan Huberman analisis data tersebut terdiri dari alur kegiatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data (display), dan penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992: 15-16).
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Proses Pelaksanaan Tradisi
Pambakaan
1. Mangatoan Urang (Memberi Kabar)
Sebelum pelaksanaan pambakaan dalam manyaratuih hari dilakukan, tahapan pertama yang dilakukan oleh keluarga adalah memberi kabar. Mangatoan urang adalah mengundang atau memberi kabar kepada masyarakat dan kerabat lain kapan hari pelaksanaan tradisi pambakaan. Orang yang dikatoan (diundang) ninik mamak dan urang sumando beserta istrinya, masyarakat yang diundang adalah kerabat dekat, kerabat jauh, tetangga dekat, tetangga jauh. Yang
mangatokan (memberi kabar) adalah
sipangka (tuan rumah) yang melaksanakan
tradisi pambakaan. Mangatoan urang
(memberi kabar) 15 hari sebelum pelaksanaan tradisi pambakaan.
2. Manyadioan (Menyediakan)
Tahapan yang kedua dilakukan adalah manyadioan (menyediakan) barang perlengkapan. Barang perlengkapan yang disediakan itu seperti peralatan sholat, peralatan tidur, peralatan minum. Tidak hanya peralatan sholat, peralatan minum dan peralatan tidur saja yang disediakan tetapi juga minuman, buah-buahan kue, payung dan lauk pauk. Orang yang menyediakan semua barang perlengkapan itu adalah
sipangka (tuan rumah). Semua barang
perlengkapan ini sudah disiapkan tiga hari sebelum pelaksanaan pambakaan.
3. Mamasak (Memasak)
Tahapan ketiga yang dilakukan adalah mamasak (memasak). Memasak dilakukan pada pagi hari oleh keluarga dengan kaum ibu-ibuk yang lain untuk para tamu yang datang pada sore harinya. Orang yang ikut membantu dalam kegiatan memasak adalah sipangka (tuan rumah) dan tetangga-tetangga perempuan yang berdekatan rumah dengan keluarga yang akan melaksanakan tradisi pambakaan. Kegiatan memasak dilakukan dirumah orang yang akan melaksanakan tradisi pambakaan. Bahan untuk memasak ini telah disediakan oleh keluarga satu hari sebelum pelaksanaan tradisi pambakaan.
4. Manaikkan Urang Siak (Menaikkan Ahli Zikir)
Pada tahap keempat ini sipangka (tuan rumah) manaikkan urang siak
(menaikkan ahli zikir). Manaikan urang siak merupakan keluarga menaikkan ahli zikir kedalam rumah. Manaikkan urang sisak
(menaikkan ahli zikir) ini dilakukan setelah
sholat isya. Urang siak (ahli zikir) ini disuruh membacakan ayat-ayat suci Al-Quran untuk orang yang meninggal. Acara pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran ini berakhir sebelum masuknya waktu shubuh. Setelah shubuh tiba urang siak (ahli zikir) pulang dengan diberikan amplop oleh
sipangka (tuan rumah) yang berisikan uang
sebangya Rp. 150.000 pada tiap-tiap urang siak.
5. Maantakan Pambakaan
(Mengantarkan Pambakaan)
Pada tahap kelima ini, sipangka (tuan rumah) maantakan pambakaan
(mengantarkan pambakaan) kerumah tukang
dikie. Tukang dikie (ustad) adalah orang
yang mensholatkan dan memandikan jenazah sekaligus orang yang menerima
pambakaan. Orang yang mengantarkan pambakaan kerumah tukang dikie (ustad)
berjumlah 5 orang, yang terdiri dari 1 orang
sipangka (tuan rumah) dan 3 orang lainnya
adalah kakak, dan adik dari orang yang menyelenggarakan tradisi pambakaan, 1 orang niniek mamak, tetapi sipangka (tuan rumah) memberi kepercayaan kepada niniek
mamak orang yang akan menyerahkan pambakaan kepada tukang dikie (tuan rumah). Pambakaan diantarkan setelah sholat shubuh. Sebelum menyerahkan
pambakaan tersebut keluarga yang mengantarkan pambakaan mendoa terlebih dahulu dirumah tukang dikie (ustad) dengan membawa masakan yang telah disediakan dirumah tadi. Setelah mendoa selesai barulah ninik mamak menyerahkan
pambakaan tersebut.
B. Fungsi Sosial Tradisi Pambakaan
1. Fungsi Manifest (Fungsi Nyata)
(Penghormatan Terakhir Keluarga Terhadap Jasa-Jasa Orang Yang Meninggal Selama Hidupnya).
Tradisi pambakaan yang dilakukan oleh masyarakat Batipuh Panjang memiliki fungsi-fungsi positif salah satu fungsi positifnya adalah sebagai penghormatan terakhir untuk orang yang telah meninggal dunuia. Sehingga tradisi pambakaan ini sangat penting dilakukan oleh masyarakat apabila salah satu dari keluarga mereka yang meningga dunia maka wajib baginya untuk melaksanakan tradisi pambakaan dalam
manyaratuih hari. Apabila tidak dilakukan
maka orang tersebut akan mendapatkan sanksi berupa gunjingan dan cemooh oleh masyarakat.
2. Fungsi laten (fungsi yang
tersembunyi)
2.1. Untuk Mendapat Pujian Atau Penghargaan.
Didalam melaksanakan tradisi
pambakaan ini para menantu dan mintuo
diwajibkan membawa dulang tinggi (nampan) yang berisikan aneka macam kue yang terdiri dari 50 piring atau 100 piring. Apabila bagi menantu dan mintuo yang mampu memenuhi kewajibannya sebagai menantu dan mintuo yang membawakan makanan tersebut maka mereka akan mendapat pujian atau penghargaan baik bagi kerabat maupun dari masyarakat, memiliki kebanggaan tersendiri bagi mereka karena mereka telah mampu memenuhi kewajiban sebagai mintuo dan menantu.
2.2. Meningkatkan Solidaritas Antar Anggota Masyarakat
Didalam melaksanakan tradisi
pambakaan dalam manyaratuih hari adanya
bentuk kerja sama dan sikap partisipasi yang dilakukan individu yang satu dengan individu yang lain. Bentuk kerjasama dalam masyarakat ini berupa sifat tolong menolong dan saling peduli satu samal ain dalam hal kegiatan.
Hal ini dapat diliha tdari tahapan pelaksanaan tradisi pambakaan, dalam persiapan pelaksanaan tradisi pambakaan sudah terlihat bentuk kerjasama masyarakat dan bisa meningkatkan solidaritas antar anggota masyarakat, hal ini juga terlihat dari kerabat yang datang kerumah yang membawa beras, masakan yang telah selesai dimasak dan telur ayam yang belum dimasak dan sebagian kerabat lain membawa makanan yang telah dimasak. Semua yang dibawa oleh masyarakat tersebut bisa dimanfaatkan oleh keluarga dan dapat membantu meringankan dari biaya yang dikeluarkan.
2.3. Menjalin Silahturahmi Antar
Anggota Masyarakat.
Tradisi pambakaan yang dilakukan masyarakat Batipuh Panjang merupakan bagian dari kebudayaan sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif salah satunya menjalin silahturahmi antar anggota masyarakat. Hal itu terlihat dari kerabat, sanak, saudara family yang jarang sekali berkumpul atau kerabat yang perantau pulang dan menghadiri pelaksanaan tradisi
pambakaan tersebut. Tradisi pambakaan ini
sudah menjadi kebiasaan masyarakat karena tradisi ini untuk mempererat tali silahturahmi antar masyarakat.
3. Disfungsi Pambakaan
3.1. Tradisi Pambakaan Menjadi
Beban Bagi Mintuo
Didalam tradisi pambakaan
seorang mintuo diwajibkan untuk membawa
dulang tinggi (nampan) yang berjumlah 50
dan 100 piring. Dulang tinggi (nampan) merupakan aneka macam jenis kue yang diletakkan didalam piring dengan jumlah 50
sampai 100 piring yang disusun dan ditata secara rapi dan diletakkan di atas dulang
tinggi (nampan) yang ditutup dengan daun lamak (kain kaca benang emas). Sebaiknya
di dalam tradisi pambakaan ini seharusnya tidak ada unsur paksaan, karena tidak semua orang memiliki ekonomi yang baik, seandainya dapat mintuo yang kurang mampu maka mereka merasa keberatan karena tidak ada uang untuk membelikannya tetapi harus juga dilaksanakan karena merupakan kewajiban dari seorang mintuo istri dari ninik mamak untuk membawa
dulang tinggi (nampan) tersebut.
3.2. Tradisi Pambakaan Menjadi Beban Bagi Minantu
Didalam tradisi pambakaan tidak hanya mintuo saja yang merasa terbebani dalam membawa dulang tinggi (nampan), hal tersebut juga beban bagi minantu, sebagai seorang istri dari urang sumando juga diwajibkan dalam membawa dulang
tinggi (nampan) tersebut karena merupakan
tugas dari mereka sebagai seorang istri dari
urang sumando.
Apabila sebagai seorang menantu tidak membawa dulang tinggi (nampan) dalam manyaratuih hari akan mendapat sindirian atau gunjingan oleh kerabat yang lain. Bagaimanapun caranya dia tetap membawa dulang tinggi walaupun meminjam uang pada orang lain, disini tampak sekali bahwasanya dalam membawa
dulang tinggi ini ada yang namanya unsur
paksaan. Dimana menantu atau mintuo yang kaya akan lebih dihargai jika dibandingkan dengan minantu dan mintuo yang kurang mampu, selain itu juga lebih dihormati di dalam keluarga maupun kerabat yang lain. Disini terlihat sekali menjadi beban bagi menantu dalam membawakan dulang tinggi (nampan) tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Berdasrkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses pelaksanaan tradisi pambakaan dalam upacara kematian di Kelurahan Batipuh Panjang Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang Sumatera Barat.
Tahapan pertama yaitu, mangatoan
urang (memberi kabar), tahapan yang ke
dua manyadioan (menyediakan), tahapan ke tiga mamasak (memasak), tahapan ke empat manaikan urang siak (menaikan alim ulama) dan tahapan ke lima
maantaan pambakaan (mengantarkan pambakaan).
2. Berdasarkan hasil temuan penulis, dapat disimpulkan bahwa fungsi sosial tradisi
pambakaan adanya fungsi manifest,
fungsi laten dan disfungsi. Fungsi manifest dalam penelitian ini adalah penghormatan terakhir terhadap jasa-jasa orang yang meninggal selama hidupnya, fungsi laten dalam penelitian adalah untuk mendapat pujian atau penghargaan, meningkatkan solidaritas anggota masyarakat dan menjalin silaturahmi antar anggota masyarakat, disamping itu adanya disfungsi yaitu beban bagi mintuo, dan beban bagi menantu.
B. Saran
saran yang penulis kemukakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
a. Saran untuk pelaksanaan:
1. Disarankan kepada tokoh masyarakat dan tokoh adat agar tradisi
pambakaan dalam upacara kematian
untuk harus tetap melestarikan nilai-nilai adat dan juga memperkenalkan adat pada generasi muda sehingga mereka dapat mengenal adat istiadat di Kelurahan Batipuh Panjang. 2. Disarankan kepada masyarakat agar
tradisi upacara kematian tetap dilestarikan dan disosialisasikan pada generasi penerus sebagai penerus budaya agar mereka mengetahui tata cara jalannya upacara dan fungsi apa saja yang terkandung dari tradisi ini sehingga generasi muda ini tidak hanya jadi penonton tapi juga pelaku sesuai dengan kesanggupan.
b. Saran untuk topik penelitian berikutnya: 1. Bagi peneliti agar bisa pedoman
penulisan skripsi selanjutnya.
2. Seharusnya kalau ada peneliti lain atau peneliti selanjutnya tentang tradisi yang ada di Kelurahan Batipuh Panjang, yaitu tentang tradisi
lebih dalam lagi, yaitu tentang makna dari setiap tahapan dari tadisi
pambakaan, karena hal tersebut yang
belum diungkapkan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Buku
Amir B.Cs 1985. Upacara Kematian
Daerah Sumatera Barat. Jakarta:
Depdikbud.
Izati dkk, 2011. Upacara Kematian Di
Minangkabau. Sumatera Barat:
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Bbarat. UPTD Museum Nagarai.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia.
Milles, B. Matthew dan A. Michel Huberman. 1992. Analisis Data
Kualitatif. (ter). Jakarta: UI Press.
Ritzer, George. 2013. Sosiologi Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers.
Sangadji, dkk. 2010. Metode Penelitian. Yogyakarta: CV. Andi.
Wirawan, I.B. 2012. Teori-teori Sosial
dalam Tiga Paradigma Fakta Sosial, Defenisi Sosial, dan Perilaku Sosial. Jakarta: Kencana Prenadamedia.
Skripsi
Rohani, Sri. 2010. Pelaksanaan upacara Kematian Adat Jawa Di Kenagarian Parik Rantang Kabupaten Sijunjung. Skripsi. FIS: UNP.
Tresia, Devi Ameta. 2010. Tradisi Manyaratuih Hari Pada Peringatan Kematian Di Kenagarian Toboh Gadang Kec. Sintuk Kab. Padang Pariaman.