• Tidak ada hasil yang ditemukan

KINERJA SISTEM PENGKODEAN DENGAN MENGGUNAKAN KODE INNER DAN KODE OUTER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KINERJA SISTEM PENGKODEAN DENGAN MENGGUNAKAN KODE INNER DAN KODE OUTER"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

KINERJA SISTEM PENGKODEAN DENGAN MENGGUNAKAN

KODE

INNER

DAN KODE

OUTER

Sihar Parlinggoman Panjaitan

Staf Pengajar Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik USU

Abstrak: Kesalahan merupakan masalah pada sistem komunikasi. Untuk mengatasi masalah ini digunakan sistem pengkodean untuk dapat mengkoreksi kesalahan. Penelitian ini membuat model sistem kode inner dan

outer. Tolok ukuran kinerja sistem adalah Bit Error Rate dari kode inner dan outer kode Hamming dan kode Reed Salomon. Kinerja sistem pengkodean dengan menggunakan kode inner dan outer tersebut dibandingkan dengan kinerja sistem pengkodean dengan menggunakan kode tunggal.

Kata kunci: Kode Inner dan Outer, Bit Error Rate, Kode Hamming, Kode Reed Salomon, Pengkodean dan Pendekodean, Koding Gain

Abstract:The error represents a problem for the communications systems. In order to overcome this problem, systems coding are used to correct this error. This research makes model of the inner and outer code. The performance of the system is measured by Bit Error Rate By inner and outer Hamming code and Reed Salomon. The performance of coding system by using code is compared with the performace of coding system by using code.

Keywords: Inner and Outer Code, Bit Error Rate; Hamming Code, Reed Salomon Code, Coding and Decoding, Gain Coding

I. PENDAHULUAN

Beberapa studi mengatakan, jika menggunakan kode inner dan outer, di mana yang satu sebagai kode inner dan yang lainnya sebagai kode outer, maka dapat diperoleh kemampuan yang sangat andal, jika hanya menggunakan satu jenis pengkodean saja (Christian Thommesen, 1987).

Pola penggabungan kode yang dikombinasikan sebagai kode inner dan kode outer

sangat luas pemakaiannya pada sistem komunikasi digital, di mana tujuannya memperoleh kemampuan yang sangat andal guna mengoreksi kesalahan (Fazel K & Salembier P., 1989).

Kinerja dari suatu sistem pengkodean dengan menggunakan kode inner dan outer diukur dari besarnya kemampuan koreksi kesalahan dari kode tersebut. Di samping itu, tolok ukur kinerja dari suatu sistem pengkodean adalah Bit Error Rate, yaitu banyaknya bit yang salah dibagi dengan banyaknya bit yang dikirimkan dalam jumlah yang besar. Bit Error Rate dari sistem pengkodean dengan menggunakan kode inner dan outer tidak dapat dihitung secara teoretis. Oleh karena itu untuk memperoleh Bit Error Rate dilakukan simulasi.

II. MODEL SISTEM

Sistem yang diteliti adalah kinerja dari sistem kode inner dan outer dengan menggunakan metode simulasi. Oleh karena itu diperlukan model sistem. Cakupan pemodelan sistem terdiri dari 4 bagian yaitu:

1. Bagian pertama adalah pemodelan sumber data yang berupa bilangan binari 0 dan 1.

2. Bagian kedua adalah pemodelan pengkodean dari data yang hendak ditransmisikan.

3. Bagian ketiga adalah pemodelan dari medium transmisi yang meliputi pembangkitan sampel

noise Gaussian dan pembangkitan salah bit. 4. Bagian keempat adalah pemodelan

pengkodean dari stream bit yang diterima di sistem penerima.

Blok diagram model sistem diperlihatkan oleh gambar 1.

Model sistem sebagaimana diperlihatkan oleh gambar 1 diimplementasikan dalam bentuk program simulasi pada komputer yang terdiri dari program pembangkitan binari 0 dan 1, proses pengkodean, pembangkitan noise Gaussian dan pembangkitan salah bit serta proses pendekodean.

Sumber Data

Proses

Medium

Proses

Gambar 1. Blok Diagram Model Sistem

II 1 Algoritma Pembangkitan Binari 0 dan 1 Pada penelitian ini sumber diasumsikan sebagai sumber binari yang mempunyai peluang munculnya bit 1 dan peluang munculnya bit 0 adalah sama. Oleh karena itu dipakai satu

(2)

pembangkit yang dapat membangkitkan bit 0 dan

bit 1 dengan peluang yang sama.

Pembangkitan bilangan acak yang terdistribusi antara 0 dan 1 dimulai dari pembangkitan bilangan acak ke-i yaitu dari 1 sampai dengan bilangan acak ke-n di mana n, sejumlah perkalian antara panjang data dari kode. Bila jumlah bilangan acak yang dibangkitkan belum mencapai n, maka dibangkitkan bilangan acak berikutnya. Bila bilangan acak dibangkitkan lebih besar dari n maka proses pembangkitan bilangan acak berhenti.

Bilangan acak yang telah dibangkitkan (u) dibandingkan dengan 0,5. Bila bilangan acak yang dibangkitkan lebih kecil atau sama dengan 0,5 dibangkitkan bit 0 dan lebih besar dari 0.5 dibangkitkan bit 1.

11.2 Algoritma Pembentukan Kode Hamming dan Kode Reed Salomon

Bit stream dari sumber data yang masuk ke enkoder dikodekan dengan menggunakan suatu generator. Oleh karena itu dalam proses pengkodean diperlukan suatu generator, baik generator matriks, generator polinomial maupun generator sekuens. Pada penelitian ini kode-kode yang dipergunakan adalah kode Hamming (7,4) dan kode BCH (127,57) sebagai pembanding yang sifatnya sistematik. Kode Hamming. Dapat diperoleh dari hasil perkalian antara bit stream dengan generator matriks kode Hamming Generator matriks dari kode Hamming (Man Young Rhee, 1989):

=

1

0

0

0

0

1

0

0

0

0

1

0

0

1

0

1

0

1

1

1

0

1

1

0

1

0

1

1

G

……….(1)

Algoritma pembentukan kode Reed Salomon (15,11) dimulai dengan mengambil k bit data sebanyak 44 bit. Kemudian 44 bit ini, diubah kedalam bentuk simbol di mana tiap 4 bit menjadi satu simbol. Sehingga dari 44 bit diperoleh 11 simbol. Kemudian simbol tersebut dikalikan dengan generator polinomial. Hasilnya adalah kode Reed Salomon. Bentuk umum generator polinomial dari kode Reed Salomon [Blahut. Rhichard E. 1983].

k -n n 2 2 1 0

g

x

g

x

....

g

-

k

g

g(x)

=

+

+

+

+

. . ( 2 )

11.3 Algoritma Pembangkitan Salah Bit

Pada penelitian ini didefinisikan transmisi tanpa modulasi dan format sinyal adalah bipolar di mana bit 1 mewakili tegangan V volt dan bit 0 mewakili tegangan -V volt. Bila bit 1 dikirim error

terjadi jika noise negatif dengan tegangan lebih kecil dari --V. Bila bit 0 dikirim error terjadi jika

noise positif dengan tegangan lebih besar dari V. Bila bit 1 dikirim maka error akan terjadi jika

tegangan lebih kecil dari harga treshold-nya (0 volt). Tegangan akan lebih kecil dari 0 volt jika noise negatif dengan tegangan lebih kecil dari -V. Apabila bit 0 dikirim maka error akan terjadi jika tegangan lebih besar dari harga treshold-nya (0 Volt). Tegangan akan lebih besar dari 0 jika noise

positif dengan tegangan lebih besar dari +V.

Karena parameter yang dipakai di dalam program adalah Signal to Noise Ratio (SIN) dan yang akan dicari adalah tegangan (V), maka perlu dibuat suatu hubungan antara tegangan dan variansi dengan signalnoise. Didefinisikan tegangan kuadrat (V`) sama dengan daya sinyal (S) karena seolah-olah. tegangan dc dan

σ

2 sama dengan daya noise

(N).

Dari definisi tersebut dapat dibuat suatu persamaan yaitu:

N

S

V

2 2

=

σ

……… ……(3)

Bila

σ

2= 1 maka persamaan (3) menjadi: V 2 =

N

S

… … … . . ( 4 )

Pada penelitian ini diasumsikan noise adalah Gaussian dengan rataan 0 dan variansi

σ

2. Oleh karena asumsi noise adalah Gaussian maka dalam simulasi ini diperlukan pembangkit bilangan, acak Gaussian dengan rataan = 0 dan harga variansi = 1. Proses pembangkitan salah bit dimulai dengan memberikan nilai SignaltoNoiseRatio (SNR) yang diinginkan. Dari harga Signal to Noise Ratio

dihitung besarnya tegangan (V) dengan menggunakan persamaan (4). Kemudian dibangkitkan sample noise (u) yang berupa bilangan acak berdistribusi Gaussian dengan rataan 0 dan variansi = 1.

Setelah itu diambil bit-bit yang keluar dari

inner enkoder di mana tiap yang diambil dibandingkan dengan tiap sampel noise yang dibangkitan. Berdasarkan sampel noise dan bit-bit

yang keluar dari inner enkoder diputuskan apakah terjadi error atau tidak. Bila yang diambil adalah bit 1, error terjadi jika sampel noise negatif dengan tegangan lebih kecil dari -V. Bila yang diambil adalah bit 0, error terjadi jika noise positif dengan tegangan lebih besar dari +'V. Jika terjadi error, bit

tersebut di invert yakni bit 1 menjadi bit 0 dan bit 0 menjadi bit 1.

11.4 Algoritma Pendekodean Kode

Hamming

Algoritma pendekodean dari bit stream yang diterima oleh sistem penerima dengan menggunakan kode Hamming dimulai dengan menghitung sindrom dari kode yang diterima. Penghitungan sindrom ini untuk mengetahui apakah kode yang diterima benar atau tidak.

(3)

maka tidak ada error yang terdeteksi. Bila sindrom tidak bemilai nol maka ada error terdeteksi. Langkah selanjutuya adalah mencari posisi error. Setelah posisi error diketahui, dilakukan pengkoreksian terhadap bit-bit yang terkena error. Tahap terakhir dari proses pengdekodean adalah mengeluarkan bit-bit pariti.

Proses dimulai dengan membuat inisialisasi pada mark data dan markcode dengan nilai nol. Proses selanjutnya adalah mengambil 7 bit data. Kemudian sindrom dihitung dengan menggunakan persamaan berikut.

S = r HT...(5) di mana:

r = kode yang diterima.

HT = transposisi dari pariti check matriks. Jika sindrom sama dengan nol, dekoder tidak melakukan pengkoreksian, kemudian bit-bit pariti dibuang dan bit-bit data disimpan pada array. Jika sindrom tidak sama dengan nol, dicari posisi error

dengan membandingkan sindrom yang diperoleh dengan matriks pariti, yang mana posisinya diasumsikan sebagai posisi error.

Setelah diperoleh posisi error maka dilakukan pengkoreksian. Untuk mengkoreksinya, bit pada posisi ke-i tersebut di invert yakni bit 1 menjadi bit

0 dan bit 0 menjadi bit 1. Setelah dikoreksi, bit-bit

pariti dibuang dan bit-bit data disimpan pada array. 11. 5 Algoritma Pendekodean kode Reed

Salomon

Algoritma pendekodean dari bit stream yang diterima oleh sistem penerima dengan menggunakan kode Reed Salomon, dipilih algoritma Peterson Gorenstein Zieler (Wicker. Stephen B, 1995), Langkah-langkah dari algoritma adalah sebagai berikut:

1. Hitung sindrom dari bit stream yang telah melalui saluran transmisi.

2. Susun matriks sindrom P.

3. Hitung determinan matriks sindrom. Jika determinan tidak nol, lakukan langkah 5.

4. Jika determinan nol, susun matriks sindrom yang baru, dengan cara menghapus kolom paling kanan dau baris paling bawah dari matriks sindrom yang lama.

5. Hitung error locator

σ

dan susun error locatorpolinominal

σ

(x).

6. Hitung akar-akar persamaan error locator polinominal.

7. Hitung error magnitude. 8. Susun error polinomial.

9. Jumlahkan error polinomial dengan kode yang diterima.

10. Selesai.

Proses dimulai dengan membuat inisialisasi pada mark data dan markcode dengan nilai nol. Proses selanjutnya adalah mengambil sebanyak 60

bit data. Kode yang diterima diubah kedalam bentuk simbol di mana tiap 4 bit menjadi satu simbol. Sehingga dari 60 bit menjadi 15 simbol. Kemampuan koreksi kesalahan dari kode Reed Salomon (15,11) adalah 2. Banyaknya sindrom adalah dua kali kemampuan koreksi kesalahan. Sehingga sindromnya ada sebanyak 4, yang dihitung dengan persamaan berikut:

14 4 14 2 4 2 1 4 1 0 4 14 3 14 2 3 2 1 3 1 0 3 14 2 14 2 2 2 1 2 1 0 2 14 14 2 2 1 0 1

)

(

...

)

(

)

(

)

(

...

)

(

)

(

)

(

...

)

(

)

(

...

α

α

α

α

α

α

α

α

α

α

α

α

r

r

r

r

s

r

r

r

r

s

r

r

r

r

s

r

r

r

r

s

+

+

+

+

=

+

+

+

+

=

+

+

+

+

=

+

+

+

+

=

..(6)

Kemudian sindrom S1,S2,S3,S4 diuji. Jika semua nol, berarti tidak ada error deteksi. Dekoder tidak melakukan pengkoreksian. Kemudian bit-bit data disimpan pada array.

Jika sindrom tidak sama dengan nol, hitung determinasi matriks P, di mana:

=

3 2 2 1

S

S

S

S

p

………..(7)

II.5.1 Determinan Sama dengan Nol

Jika determinan sama dengan nol, hitung

error locator

σ

dengan menggunakan persamaan: 1 2

S

S

=

σ

………..(8)

Selanjutnya hitung error magnitude

1 i

e

, dengan menggunakan persamaan: 1 i

e

=

σ

1

S

………(9) Kemudian disusun error polynomial e(x)

n a

x

e

x

e

(

)

=

i1 log ……….(10) Misalkan

σ

=

α

5maka

x

loga

x

logaa5

x

5

=

=

σ

Untuk memperoleh kode yang sebenarnya c(x), jumlahkan kode yang diterima r(x) dengan error polinomial e(x).

c(x) = r(x) + e(x)………(11)

setelah kode diperoleh, maka bit-bit pariti dibuang, kemudian bit-bit data disimpan pada

(4)

II.5.2 Determinan Tidak Sama dengan Nol Bila determinan tidak sama dengan nol maka susun error locator polinomial dengan menggunakan persamaan: 2 2 1

1

)

(

x

σ

x

σ

x

σ

=

+

+

………..(12)

Di mana

σ

1 dan

σ

2diperoleh dari

=

4 3 1 2 3 2 2 1

S

S

S

S

S

S

σ

σ

……….(13)

Kemudian dicari akar-akar persamaan (8) yaitu

β

1dan

β

2. Selanjutnya akar-akar persamaan di invers sehingga diperoleh

1 1

β

− dan

β

2−1. Kemudian dihitung error magnitude 1 i

e

dan 2 i

e

dengan menggunakan persamaan.

=

− − − − 2 1 1 2 1 1 1 2 1 1 2 1 2 2

S

S

e

e

i i

β

β

β

β

……….(14)

Setelah diperoleh harga kesalahan

1

i

e

dan

2

i

e

maka disusun error polynomial e (x).

1 2 2 1 1 1 log log

)

(

x

=

e

x

aβ−

+

e

x

aβ−

e

i i ……….(15)

Untuk memperoleh kode yang sebenarnya c(x), jumlahkan kode yang diterima r(x) dengan error polinomial e(x).

c(x) = r(x) + e(x)………..…(16) setelah kode diperoleh, maka bit-bit parity

dibuang, kemudian bit-bit data disimpan pada

array

III. PELAKSANAAN PENELITIAN

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam bentuk program simulasi pada komputer yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mewakili hasil dari sistem yang sesungguhnya. Program komputer yang dibuat ditulis dalam bahasa Pascal versi 7.0.

III. I Proses Simulasi

Proses simulasi dimulai dengan membuat inisialisasi Jumlah bit (nbits) dan jumlah error

(nerror) dengan nilai nol. Kemudian memberikan harga Signal to Noise Ratio (SNR) yang diinginkan. Selanjutnya memberikan jumlah bit yang hendak dikirimkan (Nbit stream) kemudian

dibangkitkan bit stream oleh pembangkit bit. Bit stream yang dibangkitkan diambil sebagian-sebagian. Kemudian bit-bit tersebut dikodekan oleh outer enkoder. Hasilnya disimpan pada array codeoutouter. Hasil pengkodean outer enkoder ini merupakan bit stream bagi inner enkoder, untuk selanjutnya dikodekan oleh inner enkoder menjadi kode gabungan yang disimpan pada array codeoutinner. Kemudian bit-bit tersebut dikirimkan ke inner dekoder melalui kanal di mana pada kanal dibangkitkan salah bit. Bit-bit yang telah melalui kanal disimpan pada array codechannel. Kemudian bit-bit tersebut didekodekan oleh inner dekoder.

Hasil pengdekodean disimpan pada array datoutinner. Selanjutnya bit-bit tersebut didekodekan oleh outer dekoder. Hasil pengdekodean disimpan dalam array data out

Kemudian dihitung jumlah bit yang error dengan cara membandingkan bit pada arraydatain dan bit

pada arraydataout.

111. 2 Pengujian Algoritma Yang Disusun Pengujian algoritma yang disusun bertujuan untuk menunjukkan bahwa algoritma tersebut dapat diterapkan dan dapat berfungsi sesuai dengan perancangannya.

Pengujian dilakukan dengan menerapkan algoritma dalam bentuk program simulasi komputer, kemudian menguji masing-masing prosedur di dalam program tersebut. Setiap prosedur yang dibuat diuji secara terpisah dengan cara memberikan data masukan tertentu, kemudian membandingkan data keluarannya dengan data yang diproses secara manual. Setelah semua prosedur diuji, maka dilakukan pengujian gabungan seluruh prosedur.

111. 3 Hasil-Hasil Penelitian

Pada penelitian ini percobaan dilakukan dengan sepuluh kali pengamatan. Data yang diperoleh berdasarkan hasil rata-rata dari kesepuluh pengamatan tersebut.

Adanya beberapa angka desimal di belakang koma disebabkan tidak tepatnya jumlah bit

masukan dengan datanya. Misalnya untuk jumlah

bit masukan sebanyak 100000 bit, datanya menjadi 100100 bit. Untuk bit masukan sebanyak 1000000

bit, datanya menjadi 1000076 bit dan untuk bit

masukan sebanyak 10000000 bit, menjadi 10000144 bit.

(5)

Tabel 1. Kinerja Kode Inner dan Outer Hamming– Reed Solomon Efisiensi: 0,4191

Kemampuan Koreksi Kesalahan: 7 BER masukan BER keluaran 9.4879 x 10-3 1,9691 x 10-4 7,0121 x 10-3 8,697 x 10-5 5,0484 x 10-3 3,626 x 10-5 3,5320 x 10-3 1,48 x 10-5 2,3948 x 10-3 5 ,65x 10-6 1,5691 x 10-3 2,01 x 10-6 Tabel 2. Kinerja Kode Inner dan Outer Reed

Salomon-Hamming. Efesiensi: 0,4191 Kemampuan Koreksi Kesalahan: 7 BER masukan BER keluaran 9,4879 x 10-3 6,2131 x 10-4 7,0121 x 10-3 2,9015 x 10-4 5,0484 x 10-3 1,3292 x 10-4 3,5320 x 10-3 5,765 x 10-5 2,3948 x 10-3 2,341 x 10-5 1,5691 x 10-3 8,81 x 10-6 Tabel 3. Kinerja Kode BCH (127,57)

Efisiensi: 0,4488

Kemampuan Koreksi Kesalahan: 11 BER masakan BER keluaran 9,4879 x 10-3 1,2420 x 10-2 7,0121 x 10-3 4,7622 x 10-3 5,0484 x 10-3 1,4873 x 10-3 3,5320 x 10-3 3,71102 x 10-4 2,3948 x 10-3 7.2555 x 10-5 1,5691 x 10-3 1.0921 x 10-5

IV. ANALISIS HASIL PENELITIAN

Analisis hasil penelitian mencakup pengaruh parameter signal to Noise Ratio terhadap koding gain dari sistem yang diteliti. Besarnya koding gain (marving et. al. 1995):

Koding gain = S/N tanpa pengkode-S/N dengan pengkode……….(10)

Tabel 4. Koding Gain Kode Inner dan Outer Hamming-Reed Salomon Efiensi: 0,4191 Kemampuan Koreksi Kesalahan: 7 S/N tanpa pengkode (dB) S/N dengan pengkode (dB) Koding Gain (dB) 7,9800 4,4 3,5800 8,4826 4,8 3,6826 8,9608 5,2 3,7608 9,4038 5,6 3,8038 9,8403 6 3,8403 10,2664 6,4 3,8664 Tabel 5. Koding Gain Kode Inner dan Outer Reed

Salomon–Hamming Efisiensi: 0,4191 Kemampuan Koreksi Kesalahan: 7 S/N tanpa pengkode (dB) S/N dengan pengkode (dB) Koding Gain (dB) 7,1708 4,4 2,7708 7,7225 4,8 2,9225 8,2272 5,2 3,0272 8,7122 5,6 3,1122 9,1836 6 3,1836 9,645 1 6,4 3,2451

Tabel 6. Koding Gain kode BCH (127,57).

Efisiensi: 0,4488

Kemampuan Koreksi Kesalahan: 11 S/N tanpa pengkode (dB) S/N dengan pengkode (dB) Koding Gain (dB) 4,0097 4,4 -0,3903 5,2645 4,8 0,4645 6,4459 5,2 1,2459 7.5515 5,6 1,9515 8,5838 6 2,5838 9,5476 6,4 3,1476

(6)

Grafik 2. Koding Gain terhadap Signal to Noise Ratio Inner dan Outer Hamming-Reed Salomon, Reed Salomon-Hamming serta Kode BCH (127,57).

Pada gambar 2, terlihat bahwa Koding Gain

inner dan outer code Hamming-Reed Salomon dan Reed Salomon-Hamming lebih tinggi bila dibandingkan dengan kode BCH (127,57), Koding Gain inner dan outer Hamming Reed Salomon lebih tinggi, bila dibandingkan dengan inner dan

outercode Reed Salomon-Hamming. V. KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan antara lain:

1. Kinerja sistem pengkodean dengan menggunakan kode gabungan lebih andal dibanding dengan kinerja sistem pengkodean yang menggunakan kode tunggal pada Bit Error Rate masukan dari 10-2 sampai 10-3. 2. Kenaikan koding gain semakin kecil pada

signal to noise ratio yang semakin besar

3. Koding Gain Hamming sebagai inner code dan Reed Salomon sebagai outer code lebih tinggi dibandingkan dengan Reed Salomon sebagai

inner code dan Hamming sebagai outer code

4. Hasil pemodelan simulasi ini mendeksi hasil secara teoretis yakni dengan naiknya signal to noise ratio, maka Bit Error Rate cenderung semakin menurun. Dengan demikian model sistem yang dibuat dapat diyakini untuk mewakili sistem yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Blahut, R.E., (1983), Theory and Practice Of Error Control Codes, Addison-Wesley Pubishing Company Inc., New York.

Christian, T., (1987) Error Correcting Capabilities of Concatenated Codes With MDS Outer On Memoryless Channels with Maximum-Likelihood Decoding, IEEE Transactions on Information Theory, Vol. IT-33, No.5

Fazel, (1989), K., P. Salembier, Application of Error Modeling at The Output Maximum Likelihood Dekoder to Concatenated Coded 16 PSK, Laboratories d’Electronique Philips, 3 Avenue Descartes 94451 Limeil-Brevannes Cedex (France), IEEE, pq. 1528-1533.

Man Young Rhee, (1989), Error Correcting Coding Theory, Mc Graw-Hill., New York.

Wicker Stephen.B, Error Control Systems for Digital Communication and Storage, Prentice-Hall International Inc.,1995.

Gambar

Gambar 1. Blok Diagram Model Sistem
Tabel 1.  Kinerja Kode Inner dan Outer Hamming–
Grafik 2. Koding Gain terhadap Signal to Noise  Ratio Inner dan Outer Hamming-Reed Salomon,  Reed Salomon-Hamming serta Kode BCH  (127,57)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam upaya mencapai prestasi kerja karyawan yang tinggi, sangat diperlukan terjalinnya komunikasi yang baik antar unit yang ada dalam perusahaan tersebut, baik komunikasi

kabupaten,  Sengkang,  di  sebelah  barat  lembah  Cenrana.  Bukit  ini  dipercaya 

Pernyataan yang diungkapkan tersebut dapat digunakan sebagai dasar kebutuhan informasi responden dalam melakukan pertukaran informasi, dimana saat proses responden

8 Diisi dengan keterangan yang dianggap perlu terkait barang yang bersangkutan, misalnya: penyebab rusak, hilang dan sebagainya. di unduh dari

Tugas akhir merupakan mata kuliah wajib yang harus ditempuh dalam rangka menyelesaikan pendidikan kesarjanaan Strata I di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas

[r]

Liability based on fault in principle refers to Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code (KUHP) which explicitly states that an act can not be criminal,

tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. dengan cara mengungkap harta