TESIS
Oleh
LINAWATY
107011009/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
LINAWATY
107011009/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota : 1.Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS
Nama : LINAWATY
Nim : 107011009
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PERJANJIAN JUAL BELI KAVLING OLEH PENGEMBANG PERUMAHAN (STUDI DI KOTA MEDAN)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama :LINAWATY
pendaftaran pengalihan hak. Disebabkan badan hukum tidak dibenarkan menjual tanah kavling matang tanpa rumah kepada pihak lain. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang diteliti dalam penulisan tesis ini adalah kekuatan hukum perjanjian jual beli kavling tanah matang tanpa rumah yang dibuat dibawah tangan antara pengembang perumahan dan pembeli, hambatan juridis dalam pengalihan jual beli kavling tanah matang tanpa rumah serta perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian jual beli kavling tanah matang tanpa rumah dari pengembang apabila dirugikan.
Penulisan tesis ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan titik tolak penelitian dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perumahan dan perjanjian jual beli. Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan yakni dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak memberikan perlindungan hukum bagi konsumen. Adapun hambatan dalam pengalihan jual beli kavling adalah harus dibuatnya perjanjian dalam bentuk akta otentik dengan Akta Jual Beli dihadapan PPAT. Selain itu hambatan lainnya yakni dalam tahap pemasaran (pra penjualan) tanah kavling matang tanpa rumah minimal harus telah dibangun 25% dan perlindungan yang dapat diberikan terhadap konsumen adalah melalui UU konsumen yakni UU no.1 tahun 2011, UU no.26 tahun 2007 dan UU no. 8 Tahun 1999.
Terhadap konsumen yang membeli properti perumahan dalam tahap pra penjualan sebaiknya lebih berhati-hati. Hal ini disebabkan tidak sedikitnya pengembang yang tidak konsekwensi melindungi hak-hak pembeli dan banyak dijumpainya kasus dimana akta jual beli belum dibuat pengembang telah tutup, sehingga sebelum membeli perumahan sebaiknya mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai pengembang tersebut.
the form Trading Agreement. The problem found in Trading Agreement is about the registration of the transfer of right to land because a legal entity is not allowed to sell a plot of land without any house on it to the other party. Based on that issue, the purpose of this study was to look at the legal power of the lot of land without house trading agreement made underhanded between the real estate developer and the buyer, the juridical constraint in transfer of the plot of land without house trading, and the legal protection for the parties in the trading agreement of plot of land without house from the developer if it inflicts loss to one party.
The data for this legal study with normative juridical approach were primary, secondary and tertiary legal materials related to the regulation of legislation in the field of housing trading agreement obtained through library research. The data obtained were analyzed through qualitative analysis method.
The result of this study showed that the Trading Agreement did not provide any legal protection to the consumers. The constraints in transfer of plot of land trading were that the agreement must be in the form of authentic trading deed made before the Land Certificate Issuing Official and during its marketing stage, the plot of land without house must have been built at least 25%. The legal protection that could be given to the consumers was through Law No.1/2001, Law No.26/2007, and Law No.8/1999.
Consumers who buy housing property during the pre-sale stage should be more careful because many developers who are not consequence in protecting the rights of their buyers and it is common to find the cases where the trading deed has not been issued yet but the developer has closed. Therefore, before buying a house through a real estate company, consumers should seek as much information as possible about the developer.
memberikan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan
dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara dengan judul“PERJANJIAN JUAL BELI KAVLING
OLEH PENGEMBANG PERUMAHAN (Studi di Kota Medan)”.
Disadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, baik secara
substansi materi maupun metodologinya. Karena itu peneliti mohon masukan dari
pembaca untuk penyempurnaannya.
Didalam penyelesaian tesis ini peneliti banyak memperoleh bantuan baik
berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak. Jadi
tepatlah kiranya pada kesempatan ini peneliti menyampaikan rasa terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K),
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada peneliti untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H, M.S, CN, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai dosen
pembimbing utama yang memberikan masukan dan kritikan serta dorongan
kepada peneliti.
4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, selaku dosen pembimbing II, yang telah
memberikan perhatian dengan penuh ketelitian, mendorong serta membekali
peneliti dengan nasehat dan ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi.
5. Bapak Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn,selaku dosen pembimbing III, yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti.
6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah membimbing dan membina Peneliti dalam penyelesaian studi dan
sekaligus pada kesempatan ini dipercayakan menjadi dosen penguji.
7. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan dan kritikan kepada peneliti.
8. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Dosen serta sengenap civitas akademis Program Studi
Universitas Sumatera Utara Khususnya kelas Reguler angkatan 2010 yang selalu
memberikan semangat dan inspirasi, terima kasih atas kekompakannya selama ini.
11. Dan semua pihak yang telah membantu penulisan yang tidak dapat disebut satu
persatu.
Akhir kata, peneliti berharap tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan
wawasan dan wacana bagi kita semua.
Medan, Juli 2012 Peneliti
I. DATA PRIBADI
Nama : LINAWATY
Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 10 Agustus 1988
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Karyawan Kantor Notaris
Agama : Buddha
Status : Belum Menikah
Alamat Kantor : Jalan Padang Golf
Telepon Kantor : 061-76677172
Alamat Rumah : Jalan Irian Barat No.55, Medan
Telepon/HP : 081375769919
II. PENDIDIKAN FORMAL
SD SUTOMO 1 Medan Lulus tahun 2000
SLTP SUTOMO 1 Medan Lulus tahun 2003
SLTA SUTOMO 1 Medan Lulus tahun 2006
S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan Lulus tahun 2009
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR SINGKATAN... ix
DAFTAR ISTILAH... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penelitian ... 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12
1. Kerangka Teori ... 12
2. Kerangka Konsepsi ... 16
G. Metode Penelitian ... 21
BAB II KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI KAVLING YANG DIBUAT DIBAWAH TANGAN ANTARA PENGEMBANG PERUMAHAN DENGAN PEMBELI... 26
A. Subjek Hukum Perjanjian Jual Beli ... 26
1. Manusia... 26
2. Badan Hukum ... 28
3. Subjek Hukum Penyelenggara Lisiba ... 29
B. Syarat Sahnya Perjanjian ... 31
C. Isi/Klausul Jual Beli ... 35
2. Akta dibawah tangan... 45
BAB III HAMBATAN DALAM PENGALIHAN JUAL BELI KAVLING YANG DILAKUKAN OLEH PENGEMBANG 50 A. Proses Pengurusan Izin Kawasan Perumahan Permukiman 50 B. Penyerahan Fasilitas Umum dan Sosial ... 57
C. Persyaratan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman... 60
D. Syarat Pendaftaran Tanah ... 62
E. Hambatan dalam Pengalihan Jual Beli Kavling oleh Pengembang ... 66
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI KAVLING PERUMAHAN BILA DIRUGIKAN ... 72
A. Bentuk-bentuk Kewajiban Pembeli Kavling dan Developer ... 73
B. Hak Konsumen... 74
C. Kontrak Baku ... 78
D. Perlindungan terhadap Pembeli Kavling ... 84
1. Sanksi berdasarkan UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman... 85
2. Sanksi berdasarkan UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen... 86
3. Sanksi berdasarkan UU Penataan Ruang... 87
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 88
A. Kesimpulan ... 88
B. Saran... 89
KASIBA : Kawasan Siap Bangun
KTM : Kaveling Tanah Matang
LISIBA : Lingkungan Siap Bangun
KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
UUD : Undang-Undang Dasar
UU : Undang-Undang
PP : Peraturan Pemerintah
Stbl : Staatsblad
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
PPJB : Perjanjian Pengikatan Jual Beli
untuk rumah sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan rencana rinci tata ruang serta rencana tata bangunan dan lingkungan.
Lisiba : sebidang tanah yang fisiknya serta
prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dengan batas-batas kaveling yang jelas dan merupakan bagian dari kawasan siap bangun sesuai dengan rencana rinci tata ruang.
Kasiba : sebidang tanah yang fisiknya serta
prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk pembangunan lingkungan hunian skala besar sesuai dengan rencana tata ruang.
pendaftaran pengalihan hak. Disebabkan badan hukum tidak dibenarkan menjual tanah kavling matang tanpa rumah kepada pihak lain. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang diteliti dalam penulisan tesis ini adalah kekuatan hukum perjanjian jual beli kavling tanah matang tanpa rumah yang dibuat dibawah tangan antara pengembang perumahan dan pembeli, hambatan juridis dalam pengalihan jual beli kavling tanah matang tanpa rumah serta perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian jual beli kavling tanah matang tanpa rumah dari pengembang apabila dirugikan.
Penulisan tesis ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan titik tolak penelitian dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perumahan dan perjanjian jual beli. Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan yakni dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak memberikan perlindungan hukum bagi konsumen. Adapun hambatan dalam pengalihan jual beli kavling adalah harus dibuatnya perjanjian dalam bentuk akta otentik dengan Akta Jual Beli dihadapan PPAT. Selain itu hambatan lainnya yakni dalam tahap pemasaran (pra penjualan) tanah kavling matang tanpa rumah minimal harus telah dibangun 25% dan perlindungan yang dapat diberikan terhadap konsumen adalah melalui UU konsumen yakni UU no.1 tahun 2011, UU no.26 tahun 2007 dan UU no. 8 Tahun 1999.
Terhadap konsumen yang membeli properti perumahan dalam tahap pra penjualan sebaiknya lebih berhati-hati. Hal ini disebabkan tidak sedikitnya pengembang yang tidak konsekwensi melindungi hak-hak pembeli dan banyak dijumpainya kasus dimana akta jual beli belum dibuat pengembang telah tutup, sehingga sebelum membeli perumahan sebaiknya mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai pengembang tersebut.
the form Trading Agreement. The problem found in Trading Agreement is about the registration of the transfer of right to land because a legal entity is not allowed to sell a plot of land without any house on it to the other party. Based on that issue, the purpose of this study was to look at the legal power of the lot of land without house trading agreement made underhanded between the real estate developer and the buyer, the juridical constraint in transfer of the plot of land without house trading, and the legal protection for the parties in the trading agreement of plot of land without house from the developer if it inflicts loss to one party.
The data for this legal study with normative juridical approach were primary, secondary and tertiary legal materials related to the regulation of legislation in the field of housing trading agreement obtained through library research. The data obtained were analyzed through qualitative analysis method.
The result of this study showed that the Trading Agreement did not provide any legal protection to the consumers. The constraints in transfer of plot of land trading were that the agreement must be in the form of authentic trading deed made before the Land Certificate Issuing Official and during its marketing stage, the plot of land without house must have been built at least 25%. The legal protection that could be given to the consumers was through Law No.1/2001, Law No.26/2007, and Law No.8/1999.
Consumers who buy housing property during the pre-sale stage should be more careful because many developers who are not consequence in protecting the rights of their buyers and it is common to find the cases where the trading deed has not been issued yet but the developer has closed. Therefore, before buying a house through a real estate company, consumers should seek as much information as possible about the developer.
A. Latar Belakang.
Manusia dalam menjalani kehidupan tidak pernah terlepas dari hal yang
berhubungan dengan tempat dimana manusia tersebut tinggal. Kebutuhan manusia
terhadap tempat berteduh merupakan suatu kebutuhan yang primer di samping
kebutuhan terhadap sandang dan pangan.1Peran tempat tinggal bagi kelangsungan
kehidupan sangatlah mutlak karena tempat tinggal bukan lagi sekedar tempat untuk
bernaung, tetapi juga merupakan tempat untuk melindungi diri dari kondisi alam yang
tidak menguntungkan.2Hak setiap warga untuk dapat hidup sejahtera lahir dan batin
diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
bahwa :
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapat pelayanan kesehatan”.
Bentuk manifestasi dari tempat tinggal adalah pembangunan perumahan.
Pembangunan perumahan ini perlu mendapat perhatian yang serius agar tujuan
pembangunan dapat tercapai dengan adil dan merata.3
1 Harun Al Rashid, Upaya Penyelesaian Sengketa Sewa Menyewa Perumahan menurut
Ketentuan Peundang-undangan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal 9
2 Suparno Sastra M dan Endy Marlina, Perencanaan dan Pengembangan Perumahan,
Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006, hal 2
Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, sangat penting bagi
negara, bangsa dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria yang sedang
membangun kearah perkembangan industri. Tanah yang merupakan kehidupan pokok
bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal seperti keterbatasan tanah baik
dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting serta
telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi, di lain pihak harus
dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.4
Dalam Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Dari ketentuan Pasal 33 tersebut dapat dikemukakan
bahwa sumber daya alam merupakan hak bersama seluruh rakyat dan dalam
pengertian hak bersama tersebut terdapat dua hak yang diakui yakni hak kelompok
dan hak perorangan. Dalam hak bersama tersebut terdapat kewenangan negara
terhadap pengaturan sumber daya alam yang terbatas. Hak bersama tersebut dibatasi
oleh UUD dan dibatasi oleh tujuannya yakni untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Serta terdapat hubungan antara negara dan rakyat, yakni menjamin apa yang
menjadi hak setiap orang merupakan kewajiban negara.5
Pentingnya hak milik atas tanah yang dimiliki oleh perorangan telah disertai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang merupakan syarat
4Adrian Sutedi,Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,
hal .1
formal bagi adanya perlindungan hukum dalam praktiknya. Benturan antara hak milik
atas tanah dengan maraknya pembangunan ekonomi mulai banyak terjadi di dalam
penguasaan dan penggunaan tanah sebagai akibat akumulasi kapital yang semakin
kuat serta semakin tidak dapat dikendalikan.6
Adapun salah satu landasan dalam kebijakan pembangunan perumahan dan
penyediaan tanah-tanah guna menjawab tuntutan kebutuhan perumahan dan
pemukiman serta digunakan untuk meningkatkan peran kelembagaan dalam
pembangunan perumahan dan pemukiman adalah berdasarkan Undang-Undang
nomor 1 tahun 1964 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor
6 tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962
Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2611)7yang kemudian diubah dengan Undang-Undang nomor 4 tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman yang sekarang terakhir telah diubah dengan
Undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
Undang-Undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
selanjutnya disebut Undang-Undang perumahan dan pemukiman. Undang-Undang
sebagai landasan hukum dan penjabaran kebijaksanaan pemerintah baik yang
langsung maupun tidak langsung dengan pengadaan perumahan ditingkat nasional
6Ibid., hal 11-12
maupun daerah, sangat diperlukan dalam memberikan arahan dan rambu-rambu
dalam pelaksanaan di lapangan.8
Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman menyebutkan bahwa perumahan
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi
dengan prasarana dan sarana lingkungan sedangkan pemukiman adalah bagian dari
lingkungan hidup di luar kawasan hutan lindung, baik berupa kawasan perkotaan
maupun kawasan pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan.9
Penyediaan tanah untuk pemenuhan kebutuhan penduduk untuk jangka
pendek, menengah dan panjang, perlu dilakukan melalui pengembangan permukiman
skala besar melalui kawasan siap bangun, dan kaveling tanah matang yang sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten dan Kota. Pengembangan permukiman
skala besar tersebut di samping bertujuan untuk membatasi kemungkinan terjadinya
spekulasi tanah, dimaksudkan pula untuk mendorong pemanfaatan tanah,
memudahkan penyediaan prasarana, sarana dan utilitas lingkungan yang efisien.
Perbuatan hukum seperti jual beli tidak dapat dipungkiri sering dilakukan
dalam penyediaan tanah untuk kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada hakekatnya
perjanjian jual beli ini bertujuan untuk memindahkan hak milik atas suatu barang
yang diperjualbelikan, karena dalam jual beli pihak penjual wajib menyerahkan
8Bambang Panudju, Pengadaan Perumahan Kota Dengan Peran Serta Masyarakat
Berpenghasilan Rendah. PT. Alumni, Bandung, 2009, hal 20
barang yang dijualnya itu kepada pembeli, sedangkan pihak pembeli mempunyai
kewajiban untuk membayar harga dari barang itu kepada pihak penjual. Namun
perjanjian jual beli sendiri belum memindahkan hak milik. Hak milik baru berpindah
dengan dilakukannyaleveringatau penyerahan.10
Peralihan/pemindahan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan
memindahkan hak atau barang/benda, bergerak atau tidak bergerak. Perbuatan hukum
itu dapat meliputi antara lain jual beli, hibah, hibah wasiat, tukar menukar, pemisahan
dan pembagian harta bersama/warisan, pemasukan harta ke dalam perseroan terbatas
(inbreng), untuk memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah harus diwujudkan
suatu perbuatan hukum berupa perjanjian dengan akta PPAT.11
Jual beli tanah adalah salah satu bentuk hubungan hukum antara dua orang
atau dua pihak yang telah bersepakat untuk saling meletakkan hak dan kewajiban
secara timbal balik yang lazimnya disebut dengan perjanjian yang menganut asas
obligator (Pasal 1313 KUH Perdata). Di lain pihak, UUPA sebagai landasan yuridis
yang mengatur masalah agraria di Indonesia tidak mengatur secara tegas tentang jual
beli tanah, baik pengertiannya maupun prosedurnya. Dalam hal ini Pasal 26 ayat (1)
UUPA hanya menyebutkan bahwa :
“… jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemeritah Nomor 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang dalam Pasal 19 disebutkan bahwa
setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak milik atas tanah, memberikan
hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah
sebagai tanggungannya harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan
dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ini kemudian dicabut dan
disempurnakan aturannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah yang ditetapkan pada tanggal 8 Juli 1997. Dalam
ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut ditentukan
bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga
berdasarkan pasal ini jelas bahwa hak atas tanah berpindah karena jual beli setelah
dilakukan peralihan hak dihadapan PPAT.12
Bentuk Perjanjian jual beli yang dilakukan ketika Pra-jual beli dihadapan
PPAT adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang isinya menyebutkan akan
dilakukannya jual beli antara developer (pelaku usaha) dan konsumen. Perjanjian
pengikatan jual beli ini tidak pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan
12
yang berkaitan dengan hak atas tanah, sehingga kedudukan serta bagaimana kekuatan
hukum perjanjian pengikatan jual beli terkadang masih dipertanyakan terhadap
pelaksanaan jual beli hak atas tanah.13 Dokumen ini merupakan dokumen yang
membuktikan adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual) antara developer
(pelaku usaha) dan konsumen dan umumnya merupakan perjanjian standar (kontrak
baku). PPJB ini umumnya tidak dibuat dalam bentuk akta otentik dihadapan notaris,
namun hanya dilegalisasi atau bahkan hanya dibuat dalam surat dibawah tangan.
Proses terjadinya perbuatan hukum jual-beli tersebut diawali dengan
penawaran oleh pihak developer atau yang biasanya juga disebut dengan koordinator
kavling, yang dalam hal ini dapat berupa orang atau badan hukum resmi baik berupa
Perseroan Terbatas maupun Comanditaire Venootchaap (CV) yang memiliki ijin
untuk itu kepada masyarakat luas. Umumnya mereka memiliki lahan (tanah) pada
suatu areal/kawasan lingkungan tertentu yang siap untuk dibangun rumah hunian
dengan penataan sedemikian rupa sehingga apabila semua bagian/kavling telah
dibangun rumah maka akan membentuk suatu lingkungan pemukiman baru. Dalam
penawaran awal/pengalihan tanah kavling muncul permasalahan bagi pengembang
dengan adanya ketentuan dalam Pasal 146 ayat 1 Undang-Undang perumahan dan
pemukiman nomor 1 tahun 2011 yang menyebutkan bahwa :
“Badan hukum yang membangun Lisiba dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah”.
Tanah matang adalah tanah yang telah diproses dengan pekerjaan
pembersihan atau diratakan permukaan tanahnya, ditata ruang dengan rapi atau
dinamakan Land Clearing dan dipersiapkan untuk dijual kepada pembeli dalam
bentuk ukuran yang tertentu atau kavling. Yang dimaksud dengan “menjual kaveling
tanah matang tanpa rumah” adalah suatu kegiatan badan hukum yang dengan sengaja
hanya memasarkan kaveling tanah matang kepada konsumen tanpa membangun
rumah terlebih dahulu. Penjualan kaveling tanah matang kepada konsumen hanya
dapat dilakukan apabila badan hukum tersebut telah membangun perumahan
sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari rencana pembangunan
perumahan di lingkungan siap bangun dan dalam keadaan terjadi krisis moneter
nasional yang berakibat pada kesulitan likuiditas pada badan hukum tersebut.14
Pengalihan tanah kavling matang tanpa rumah terdapat permasalahan dan
pendaftaran pengalihan hak. Disebabkan badan hukum tidak dibenarkan menjual
tanah kavling matang tanpa rumah kepada pihak lain. Terlihat dari tindakan Badan
Pertanahan Nasional yang menolak pendaftaran pengalihan Akta Jual Beli yang
dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap penjualan kavling tanah
matang tanpa rumah yang dilakukan oleh badan hukum apabila objek yang
diperjualbelikan berupa tanah kosong.
Timbulnya masalah tanah tersebut bukan disebabkan karena tidak ada
peraturan yang memadai, bukan karena tidak ada manusia yang mampu
14Penjelasan Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 2011 tentang perumahan dan
melaksanakannya, melainkan lebih banyak disebabkan karena kurangnya menguasai
dan menghayati bidang agraria/pertanahan.
Berdasarkan dari latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk
menyusun penelitian dalam bentuk Tesis dengan judul “Perjanjian Jual Beli
Kavling oleh Pengembang Perumahan (studi di Kota Medan)”.
B. Perumusan Masalah.
1. Bagaimana kekuatan hukum perjanjian jual beli kavling tanah matang tanpa
rumah yang dibuat dibawah tangan antara pengembang perumahan dan pembeli?
2. Apakah hambatan juridis dalam pengalihan jual beli kavling tanah matang tanpa
rumah yang dilakukan oleh pengembang perumahan?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pembeli kavling tanah matang tanpa
rumah dari pengembang apabila dirugikan?
C. Tujuan Penelitian.
Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk
lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis.15Adapun
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kekuatan hukum perjanjian jual beli kavling tanah matang
tanpa rumah yang dibuat dibawah tangan antara pengembang perumahan dengan
pembeli.
2. Untuk mengetahui hambatan juridis dalam pengalihan jual beli kavling tanah
matang tanpa rumah yang dilakukan oleh pengembang perumahan.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian
jual beli kavling tanah matang tanpa rumah dari pengembang apabila dirugikan.
D. Manfaat Penelitian.
Dalam penelitian ini kegunaan utama dari penelitian ini diharapkan tercapai,
yaitu:
1. Kegunaan secara teoritis.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah
pengetahuan dan wawasan serta sebagai referensi tambahan pada program studi
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, khususnya mengenai
perjanjian jual beli kavling oleh pengembang perumahan.
2. Kegunaan secara praktis.
Manfaat penelitian yang bersifat praktis hasil penelitian ini diharapkan
bermanfaat sebagai sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi
maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
ingin melakukan penelitian di bidang yang sama.
E. Keaslian Penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik
berdasarkan penelitian sebelumnya, khususnya pada Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, dan sejauh yang telah diketahui bahwa belum ditemui
Kavling Oleh Pengembang Perumahan (studi di kota Medan)” belum pernah diteliti
oleh para Mahasiswa Kenotariatan yang lain, oleh karena itu penelitian ini adalah asli
dan aktual sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis ilmiah.
Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan
sebelumnya dengan judul penelitian tesis ini adalah:
Tesis saudara Stephanus Elgin, Mahasiswa Kenotariatan Universitas Sumatera
Utara, NIM 017011057, dengan judul: “Tanggung jawab perusahaan
pengembang perumahan terhadap konsep pengembangan pemukiman terpadu
yang berwawasan lingkungan (studi terhadap perusahaan pengembang
perumahan di kota Medan)”.
Adapun permasalahannya yang dibahas adalah :
a. Apakah konsep wawasan lingkungan telah termasuk dalam peraturan
perusahaan pengembang perumahan dan permukiman?
b. Apakah perusahaan pengembang telah melaksankan konsep pengembangan
perumahan dan pemukiman terpadu?
c. Bagaimana penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan pengembang dan
bentuk sanksinya?
Pada dasarnya penelitian terdahulu yang dilakukan oleh para peneliti tersebut
diatas tidak sama dengan penelitian ini baik dari segi judul maupun pokok
permasalahan yang dibahas. Oleh karena itu secara akademik penelitian ini dapat
F. Kerangka Teori dan Konsepsi.
1. Kerangka Teori.
Menurut M. Solly Lubis yang menyatakan konsep teori merupakan:
“Kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun
permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan,
pegangan teori, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya merupakan
masukan eksternal bagi peneliti”.16
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat
jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya
yang tertinggi. 17 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari
mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita
merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.18
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat
jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya
yang tertinggi. Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari
mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita
merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.19
Oleh sebab itu, teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit
mencakup hal-hal sebagai berikut:20
16
M. Solly Lubis (I),Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80
17Satjipto Rahardjo,llmu Hukum,P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal 254 18Ibid., hal. 253
19
M. Solly Lubis,Op.Cit,hal 80
20
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi; c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui
serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.
Menurut Mukti Fajar, teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk
menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan
simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya
umum.21 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk
bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu22.Oleh karena itu
maka terdapat beberapa teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian
ini adalah teori fiksi hukum dan teori negara hukum (rechtstaat).
Teori fiksi hukum yang menyatakan bahwa diundangkannya sebuah peraturan
perundang-undangan oleh instansi yang berwenang mengandaikan semua orang
mengetahui peraturan tersebut. Dengan kata lain tidak ada alasan bagi pelanggar
hukum untuk menyangkal dari tuduhan pelanggaran dengan alasan tidak mengetahui
hukum atau peraturannya. Menurut teori fiksi hukum, kewajiban untuk
mempublikasikan peraturan yang dibuat dengan sendirinya gugur ketika peraturan
21Mukti Fajaret al.,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, PT. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010, hal.134
tersebut resmi diundangkan oleh pemerintah. Sebagai contoh, pengundangan sebuah
undang-undang di Indonesia dilakukan dengan menempatkannya dalam Lembaran
Negara. Dengan pengundangan itu undang-undang resmi berlaku dan dengan
sendirinya masyarakat dianggap mengetahuinya. Perintah pengundangan terdapat
dalam tubuh undang-undang itu sendiri. Biasanya perintah pengundangan yang
ditempatkan di bagian penutup suatu undang-undang itu berbunyi: agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Teori fiksi hukum
mengasumsikan bahwa pengundangan peraturan mempunyai kekuatan mengikat,
mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensi peraturan tersebut.23
Teori negara hukum yaitu suatu teori mengenai sistem kenegaraan yang diatur
berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu
konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun
yang memerintah, harus tunduk hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama
diperlakukan sama dan setiap orang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar
pembedaan yang rasional, tanpa memandang perbedaan warna kulit, ras, gender,
agama, daerah dan kepercayaan, dan kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan
suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak
sewenang-23 Riana Kusuma Ayu, fiksi hukum, http://riana.tblog.com/post/1970029891 diakses pada
wenang dan tidak boleh melanggar hak-hak rakyat, karenanya kepada rakyat
diberikan peran sesuai kemampuan dan peranannya secara demokratis.24
Ungkapan teori ini berkaitan dengan filsafat hukum pada masa Yunani yang
diungkapkan W. Friedmann:
“Kalau diperhatikan undang-undang, memberi keadilan yang sama kepada semua, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di antara pribadi-pribadi itu, kalau tidak ada kedudukan sosial, kemajuan dalam hidup dapat dicapai bukan atas dasar reputasi melainkan karena kapasitas, kelas-kelas dalam masyarakat bukan faktor yang menentukan dalam soal jasa”.25
Ketentuan di atas merupakan landasan hukum dalam upaya melindungi
segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi orang-orang yang melakukan
perbuatan hukum seperti jual beli. Dalam melakukan perbuatan hukum seperti
perjanjian jual beli, para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang
seluas-luasnya tanpa memperhatikan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hal
ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesewenangan, dan penyalahgunaan keadaan.
Pasal 1339 KUHPerdata juga disebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatuhan, kebiasaan
atau undang-undang serta ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata bahwa suatu
sebab adalah terlarang, apabila dilarang undang-undang atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dalam hubungan ini, dapat dilihat
bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum
24Munir Fuady,Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika Aditama, Bandung,
2009, hal.3
dan kesusilaan serta harus dapat memberi rasa keadilan pada masyarakat. Sehingga
suatu perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
harus dapat memberi rasa keadilan dan perlindungan. Di sinilah letak korelasi antara
persoalan kepastian hukum yang merupakan salah satu tujuan hukum dengan peranan
negara.
2. Kerangka Konsepsi.
Sejalan dengan landasan teori tersebut, maka dalam penulisan hukum
diperlukan kerangka konsepsional. Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.
Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu
abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri dinamakan fakta, sedangkan konsep
merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.26
Kerangka konsep mengandung makna adanya stimulasi dan dorongan konseptualisasi
untuk melahirkan suatu konsep baginya atau memperkuat keyakinannya akan
konsepnya sendiri mengenai sesuatu permasalahan.27
Kerangka konsepsional dalam penelitian hukum, diperoleh dari peraturan
perundang-undangan atau melalui usaha untuk merumuskan atau membentuk
pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari
peraturan perundang-undangan tertentu, maka biasanya kerangka konsepsional
tersebut sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan
pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan
konstruksi data.28
Oleh karena itu, untuk menghindarkan terjadinya perbedaan penafsiran
terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu
untuk mendefinisikan beberapa konsep penelitian agar secara operasional diperoleh
hasil penelitian yang sesuai dengan makna variabel yang ditetapkan dalam topik,
yaitu :
a. Perjanjian
Perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.
b. Jual Beli
Jual beli menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah suatu
perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang sedangkan pihak yang lainnya (si
pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang
sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
c. Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibentuk karena pihak
yang satu telah mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak kebendaan dan
pihak yang lain bersedia untuk membayar harga yang diperjanjikan (Pasal
1457 KUHPerdata).
d. Akta Dibawah Tangan
Akta Dibawah Tangan adalah tulisan dibawah tangan yang ditandatangani
tidak dihadapan pejabat umum (Pasal 1874 ayat 1 KUHPerdata).
e. Kaveling
Dalam kamus besar disebutkan kaveling adalah bagian tanah yang sudah
dipetak-petak dengan ukuran tertentu untuk bangunan atau tempat tinggal.29
Menurut Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Kaveling
tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan untuk rumah
sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah,
rencana rinci tata ruang, serta rencana tata bangunan dan lingkungan.
f. Perumahan dan kawasan pemukiman
Dalam UU perumahan dan pemukiman, Perumahan dan kawasan
permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan,
penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman,
pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap
perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan
sistem pembiayaan, serta peran masyarakat.
g. Perumahan
Dalam UU perumahan dan pemukiman disebutkan perumahan adalah
kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun
29Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai
perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum
sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
h. Pemukiman
Dalam UU perumahan dan pemukiman juga disebutkan pemukiman adalah
bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan
perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta
mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau
kawasan perdesaan.
i. Lingkungan Siap Bangun yang selanjutnya disebut Lisiba
Menurut UU nomor 1 tahun 2011, Lisiba adalah sebidang tanah yang
merupakan bagian dari Kasiba ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan
dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai dengan
persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang.
j. Kelembagaan Kasiba
Lembaga atau badan yang dibutuhkan untuk merencanakan, melaksanakan,
mengawasi dan mengendalikan penyiapan maupun pelaksanaan pengisian
Kasiba tersebut, yang melibatkan lembaga-lembaga terkait, diantaranya :
i. Pemerintah, yang berwenang melakukan penunjukkan BUMN, BUMD
ii. Badan Pengelola, adalah Badan Usaha Milik Negara dan Badan lain yang
dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi sebagai pengelola Kasiba termasuk
Badan Usaha Milik Daerah;
iii. Badan Usaha, adalah badan yang kegiatan usahanya di bidang
pembangunan perumahan dan permukiman yang didirikan berdasarkan
hukum Indonesia
iv. Penyelenggara, adalah kelompok masyarakat pemilik tanah atau badan
usaha yang ditetapkan oleh Badan Pengelola untuk membangun Lisiba atau
ditunjuk oleh Pemerintah Daerah untuk membangun Lisiba yang berdiri
sendiri.
k. Pengelola perumahan
Dalam Surat Edaran Menteri Nomor : 01/SE/DK/ 2005 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan
Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang Berdiri Sendiri disebutkan badan
pengelola adalah Badan Usaha Milik Negara dan atau Badan lain yang
dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi sebagai Pengelola Kawasan siap
bangun termasuk Badan Usaha Milik Daerah. Badan lain yang dibentuk oleh
Pemerintah dimaksud adalah Badan Usaha swasta yang bergerak di bidang
perumahan dan permukiman yang menjalankan misi dan bekerjasama dengan
Pemerintah.
Istilah developer berasal dari bahasa asing yang menurut kamus bahasa
Inggris artinya adalah pembangun perumahan. Sementara itu menurut Pasal 5
ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974, disebutkan
pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula masuk
dalam pengertian developer. Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah
suatu perusahaan yang berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari
berbagai jenis dalam jumlah yang besar di atas suatu areal tanah yang akan
merupakan suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan
prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan
oleh masyarakat penghuninya.
Developer dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen masuk dalam
kategori sebagai pelaku usaha. Pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka
3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia,
baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
G. Metode Penelitian.
Metode penelitian berasal dari kata “Metode dan Logos”. Metode yang artinya
adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dan logos yang artinya ilmu atau
pengetahuan. Jadi metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan
untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun
laporannya.30
Penelitian sebagai suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran
secara sistematis, metodologis dan konsisten karena melalui proses penelitian tersebut
dilakukan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.31
1. Spesifikasi Penelitian.
Spesifikasi penelitian dalam proposal ini merupakan penelitian hukum.
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya juga diadakan
pelaksanaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atau permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang
bersangkutan.32Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode
yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang
dibahas.
Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu
analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan
teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang
30Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi,Metodologi Penelitian, PT. Bumi Aksara, Jakarta,
2002, hal 1
31Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-suatu tinjauan singkat,
Rajawali Pres, Jakarta, 1985, hal 1
seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data
dengan seperangkat data yang lain.33
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif,34 dimana
dilakukan pendekatan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan
mempelajari ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas. Metode pendekatan hukum normatif dipergunakan dengan titik tolak
penelitian dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perumahan
dan perjanjian jual beli.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang
digolongkan sebagai data sekunder. Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil
penelitian kepustakaan yakni dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan Hukum
primer berupa dokumen-dokumen maupun peraturan-peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan berkaitan dengan perumahan dan perjanjian jual beli. Bahan hukum
sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, yaitu pandangan para ahli hukum. Selanjutnya bahan hukum tertier adalah
bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder.
33Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1997, hal 38
34Ronny Hamitijo Soemitro,Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia,
3. Alat Pengumpulan Data.
Penelitian ini dilakukan dengan metode pengumpulan data, yaitu studi
pustaka/studi dokumen (documentary study) dan didukung oleh penelitian lapangan
(Field Research). Studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study) ini
dimaksudkan untuk memperoleh data, berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan hukum tertier, dengan memperhatikan beberapa
karakteristik, yaitu mempunyai relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan,
akurasi datanya serta aktualitas. Untuk melengkapi data sekunder, maka penelitian ini
juga didukung oleh data primer yang diperoleh melalui penelitian lapangan (Field
Research).35
4. Analisis Data.
Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Metode penelitian
kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif, 36 yaitu metode yang lebih
menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas. Metode ini akan
menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data yang dihasilkan berupa
data deskriptif mengenai subjek yang diteliti.37 Lexy J. Moleong dalam bukunya
Metode Penelitian Kualitatif, menjelaskan bahwa penelitian yang menggunakan
metode ini memakai logika berpikir induktif, suatu logika yang berangkat dari
kaidah-kaidah khusus ke kaidah yang bersifat umum.
35Burhan Ashshofa, Op.Cit,hal 91
36Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1992, hal 15-20
Dengan demikian rangkaian kegiatan analisis data yang diperlukan dalam
penelitian penulis adalah sebagai berikut : semua data yang telah diperoleh terlebih
dahulu diolah agar dapat memberikan gambaran yang sesuai kebutuhan, kemudian
dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, dimana data-data yang
diperlukan guna menjawab permasalahan, baik data primer maupun data sekunder,
dikumpulkan untuk kemudian diseleksi, dipilah-pilah berdasarkan kualitas dan
relevansinya untuk kemudian ditentukan antara data yang penting dan data yang tidak
penting untuk menjawab permasalahan. Dipilih dan disistematisasi berdasar kualitas
kebenaran sesuai dengan materi penelitian, untuk kemudian dikaji melalui pemikiran
yang logis induktif, sehingga akan menghasilkan uraian yang bersifat deskriptif, yaitu
uraian yang menggambarkan permasalahan serta pemecahannya secara jelas dan
lengkap berdasarkan data-data yang diperoleh dari penelitian sehingga hasil analisis
tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diajukan.38
BAB II
KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI KAVLING YANG DIBUAT DIBAWAH TANGAN ANTARA PENGEMBANG PERUMAHAN DENGAN
PEMBELI
Hukum tentang Perjanjian diatur dalam buku III Kitab Undang-undang
Hukum Perdata tentang Perikatan. Hukum perjanjian mempunyai sifat sistem terbuka.
Maksudnya dalam hukum perikatan/perjanjian memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja,
asalkan tidak melanggar perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.39
Peraturan khusus tentang jual beli diatur dalam bab kelima KUHPerdata.
Dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa :
“Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.”
A. Subjek Hukum Perjanjian Jual Beli.
Subjek Hukum dalam jual beli adalah penjual dan pembeli. Subjek hukum
merupakan pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum terdiri dari manusia pribadi
dan badan hukum. Manusia pribadi adalah subjek hukum dalam arti biologis
sedangkan badan hukum adalah subjek hukum dalam arti yuridis.40
1. Manusia.
39
R.Subekti,Aneka Perjanjian cetakan kesepuluh, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 2
40
Berlakunya manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban dimulai saat
dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia.41Subjek yang berupa manusia,
harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara
sah, yakni harus sudah dewasa, sehat pikiran dan tidak dilarang atau dibatasi dalam
melakukan suatu perbuatan hukum.42
Menurut Pasal 1330 KUHPerdata pribadi yang dianggap tidak cakap
melakukan tindakan hukum adalah :43
a. Orang yang belum dewasa;
Orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
Hal ini diatur dalam Pasal 433-462 KUHPerdata tentang pengampuan.
Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang karena sifat-sifat pribadinya
dianggap tidak cakap atau tidak dalam segala hal cakap untuk bertindak
sendiri di dalam lalu lintas hukum, karena orang tersebut oleh putusan hakim
dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak dan lantas
diberi seorang wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu.
Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap menurut Pasal 433 KUHPerdata
adalah:44
41
Komariah,Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2008, hal 22
42Djoko Prakoso dan Bambang Riyaldi Lany,Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta, 1987, hal 6
43
Komariah,Op.cit, hal 24
44
i. Keadaaan dungu;
ii. Sakit ingatan/gila/mata gelap. iii. Pemboros dan pemabuk.
c. Orang perempuan yang sudah berkeluarga
Hal ini telah dicabut berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 3
tahun 1963.45
2. Badan Hukum.
Perusahaan pengembang umunya berbentuk badan hukum yakni perseroan
terbatas ataupun commanditaire vennootschap (CV) dan pertama kali didirikan
berdasarkan akta pendirian perusahaan yang tercantum dalam anggaran dasar yang
kegiatan pokok usahanya antara lain melakukan usaha pengembangan lokasi
permukiman bagi masyarakat yang membutuhkan perumahan.
Pasal 1653 KUHPerdata menyatakan terdapat tiga klasifikasi badan hukum
yakni :46
a. Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah seperti badan-badan pemerintahan, perusahaan-perusahaan Negara. Badan hukum ini dibentuk oleh pemerintah untuk kepentingan Negara dengan undang-undang atau dengan peraturan pemerintah.
b. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah seperti perseroan terbatas, koperasi. Badan hukum ini dibentuk oleh swasta atau pribadi warga Negara untuk kepentingan pribadi pembentuknya sendiri. Tetapi badan hukum itu mendapat pengakuan dari pemerintah menurut undang-undang. Pengakuan itu diberikan karena isi anggaran dasarnya tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak akan melanggar undang-undang. Pengakuan dari pemerintah tersebut diberikan melalui pengesahan anggaran dasarnya.
c. Badan hukum yang diperbolehkan untuk suatu tujuan tertentu yang bersifat ideal seperti yayasan (pendidikan, sosial dan keagamaan). Badan ini tidak
45
R.Abdoel Djamali,Pengantar Hukum Indonesia, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 152
46
dibentuk oleh pemerintah dan tidak diperlukan pengakuan pemerintah berdasarkan undang-undang. Namun untuk mengetahui anggaran dasar yayasan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang maka akta pendiriannya harus dibuat di muka notaris, karena notaris adalah pejabat resmi menurut undang-undang.
3. Subjek Hukum Penyelenggara Lisiba
Subjek hukum yang menyelenggarakan lisiba atau kasiba berdasarkan UU
nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman dan PP nomor 80 tahun
1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap bangun yang berdiri
sendiri adalah pemilik tanah dan badan usaha dan pemerintah yang
penyelenggaraannya dilakukan oleh Badan pengelola. Badan pengelola dapat berupa
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan badan lain yang dibentuk oleh pemerintah
termasuk Badan Usaha Milik Daerah. 47 Penunjukkan badan pengelola untuk
menyelenggarakan kasiba/lisiba dilakukan oleh kepala daerah.48Pengelolaan lisiba
dapat dilakukan oleh penyelengara lisiba yang terdiri dari masyarakat pemilik tanah
atau badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman.
Dalam pelaksanaan pembangunan perumahan dan pemukiman sebagaimana
diatur dalam UU No.4/1992 ada 3 bentuk pelaksana, yaitu :
a. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun dilakukan oleh Badan
Usaha Milik Negara atau badan lain yang dibentuk oleh pemerintah. (pasal 20
ayat 2 UU No.4/1992).
47Pasal 3 ayat (1) dan (2) PP No. 80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan
Lingkungan Siap bangun yang berdiri sendiri
48Pasal 4 PP No. 80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap bangun
b. Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri
yang bukan dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh badan
usaha dibidang pembangunan perumahan yang ditunjuk pemerintah. (pasal 21
ayat 1 UU No.4/1992)
c. Penyelenggaraan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang dilakukan
oleh masyarakat pemilik tanah dapat dilakukan oleh orang perorangan dengan
cara usaha bersama. (pasal 1 angka 11 UU No.4/1992)
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik
Indonesia nomor 33/PERMEN/M/2006 menyebutkan Kasiba atau lisiba yang berdiri
sendiri menurut kepemilikan mayoritas lahan dapat dibedakan :
1. Kasiba/lisiba yang mayoritas tanahnya dikuasai oleh pemerintah daerah
sehingga kaveling tanah matang yang dikuasai oleh pemerintah daerah telah
mencapai lebih dari 50 % luas kasiba yang diusulkan;
2. Kasiba/lisiba yang mayoritas tanahnya dikuasai oleh swasta atau perorangan.
Dalam penyiapan lokasi untuk kasiba, harus diperhatikan :49
1. Jumlah unit rumah yang dapat ditampung dalam 1 (satu) kasiba
sekurang-kurangnya 3000 (tiga ribu) unit rumah dan sebanyak-banyaknya 10.000
(sepuluh ribu) unit rumah;
49Pasal 9 PP no. 80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap bangun
2. Jumlah unit rumah yang dapat ditampung dalam 1 (satu) lisiba
sekurang-kurangnya 1000 (seribu) unit rumah dan sebanyak-banyaknya 3000 (tiga
ribu) unit rumah.
Subjek hukum yang menyelenggarakan lisiba setelah keluarnya
Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman Nomor 1 tahun 2011 yakni
Badan hukum yang didirikan oleh warga negara Indonesia yang
kegiatannya di bidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman. Hal ini juga ditegaskan pada Pasal 145 dalam
Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman Nomor 1 tahun 2011 disebutkan orang
perseorangan dilarang membangun Lisiba.
B. Syarat Sahnya Perjanjian.
Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa untuk
sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat yaitu:
a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Hukum perjanjian mengenal asas konsensualitas yang memberi arti sepakat
atau consensus tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Sepakat
(Toestemming) artinya kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang
mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara
pihak-pihak. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, kata sepakat harus diberikan secara
bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan dan kekhilafan.50 Unsur
kesepakatan terdiri dari unsur Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak
yang menawarkan dan Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang
menerima penawaran.
Kesepakatan penting diketahui karena merupakan awal terjadinya
perjanjian. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa
macam teori yaitu :51
i. Teori pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. ii. Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak
yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
iii. Teori pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
iv. Teori penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
b. kecakapan untuk melakukan suatu pengikatan;
Yang dimaksud dengan cakap adalah sehat pikiran untuk
mengadakan/membuat suatu perjanjian. Kewenangan memiliki/ menyandang
hak dan kewajiban tersebut disebut kewenangan hukum, karena sejak lahir
tidak semua subjek hukum memiliki kewenangan hukum, cakap atau dapat
bertindak sendiri. Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum.52
c. suatu hal tertentu;
Suatu hal tertentu disini tentang objek perjanjian (Pasal 1332 sampai dengan 1334 KUHPerdata). Syarat–syarat yang diperjanjikan harus dicantumkan dengan jelas dalam akta jual belinya misalnya luas tanah, letaknya, sertifikat, hak yang melekat. Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut:
51
Ibid.
52
i. Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.
ii. Objek yang dapat diperdagangkan (barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).53
d. suatu sebab yang halal.
Sebab yang dimaksud disini adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari
para pihak mengadakan perjanjian (Pasal 1337 KUHPerdata). Halal adalah
tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.54
Syarat pertama dan kedua mengenai subjek atau pihak-pihak dalam perjanjian
disebut syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat
objektif karena mengenai objek perjanjian. Dalam hal ini harus dibedakan antara
syarat subjektif dan syarat objektif. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka
perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak, namun
apabila tidak memenuhi syarat objektif maka perjanjian batal demi hukum, artinya
bahwa dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada
suatu perikatan. Tujuan dari pengadaan perjanjian untuk melahirkan suatu perikatan
adalah gagal. Dengan demikian maka tidak adanya dasar untuk saling menuntut
didepan hakim.55
Perbedaan antara “batal” dan “dapat dibatalkan” adalah melibatkan hak dari
pihak ketiga. Jika perjanjian jual beli barang batal, hak milik atas barang yang dijual
tidak akan berpindah kepada pembeli dan ia tidak dapat menjualnya kepada pihak
53Handri Raharjo,loc.cit. 54Ibid.
lain. Sedangkan “dapat dibatalkan” maka perjanjian tersebut tetap berlaku kecuali
jika pihak yang tidak bersalah itu memilih untuk mengakhiri perjanjian itu. Oleh
karena itu, jika pembeli itu menjual kembali barang itu sebelum perjanjian itu
dibatalkan, pembeli berikutnya merupakan pemiliknya dan dapat mempertahankan
haknya dengan ketentuan bahwa pembelian itu dilakukan dengan itikad baik.56
Meskipun pihak-pihak didalam persetujuan jual beli mempunyai kebebasan
untuk membuat ketentuan tentang kewajiban yang hendak dibebankan kepada
pembeli, namun isi dari persetujuan tidak boleh bertentangan dengan pasal 1339
KUHPerdata, yaitu tidak boleh bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan
undang-undang. Selain harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, menurut Pasal 1339
KUHPerdata juga disebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatuhan, kebiasaan atau undang-undang
serta ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata bahwa suatu sebab adalah terlarang,
apabila dilarang undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum. Dalam hubungan ini, dapat dilihat bahwa perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Terhadap
perjanjian formil bila tidak dipenuhi formalitasnya yang telah ditetapkan
undang-undang maka perjanjian itu juga batal demi hukum.
Ketentuan mengenai wanprestasi tidak serta merta memutuskan perjanjian, hal
ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor:
9/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah. Pada Bab XI
Penyelesaian Perselisihan, angka ke 2 (dua) disebutkan “jika penyelesaian secara
musyawarah tidak membawa hasil, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan
sengketa yang terjadi melalui Badan Arbitrasi Nasional Indonesia (BANI)”. Apabila
kita cermati ketentuan pasal di atas, pembatalan perjanjian secara sepihak oleh
kreditur akibat adanya wanprestasi oleh debitur adalah tidak dibenarkan. Mekanisme
pertama yang harus ditempuh untuk menyelesaikan perselisihan adalah melalui
musyawarah, namun apabila dengan musyawarah tidak mampu menyelesaikan
perselisihan, maka diperintahkan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa
melalui BANI.57
C. Isi/Klausul Jual Beli.
Isi perjanjian jual beli kavling secara umum tidak berbeda dengan isi
perjanjian jual beli umumnya. Hanya saja proses jual belinya yang berbeda, yakni
dapat dilaksanakan ketika telah diselesaikannya pembangunan perumahan
sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari rencana pembangunan perumahan di
Lisiba.
Isi/klausul dalam perjanjian jual beli secara umum terbagi tiga yakni :
57http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=Dwi+Agus+Prianto&source=web&cd=1&ved=
0CEkQFjAA&url=http%3A%2F%2Flontar.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigital%2F131168-