• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJANJIAN JUAL BELI KAVLING OLEH PENGEMBANG PERUMAHAN (STUDI DI KOTA MEDAN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERJANJIAN JUAL BELI KAVLING OLEH PENGEMBANG PERUMAHAN (STUDI DI KOTA MEDAN)"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

LINAWATY 107011009/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

LINAWATY 107011009/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 06 Juli 2012

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1.Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

2. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

(5)

Nama : LINAWATY

Nim : 107011009

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PERJANJIAN JUAL BELI KAVLING OLEH PENGEMBANG PERUMAHAN (STUDI DI KOTA MEDAN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : LINAWATY Nim : 107011009

(6)

pendaftaran pengalihan hak. Disebabkan badan hukum tidak dibenarkan menjual tanah kavling matang tanpa rumah kepada pihak lain. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang diteliti dalam penulisan tesis ini adalah kekuatan hukum perjanjian jual beli kavling tanah matang tanpa rumah yang dibuat dibawah tangan antara pengembang perumahan dan pembeli, hambatan juridis dalam pengalihan jual beli kavling tanah matang tanpa rumah serta perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian jual beli kavling tanah matang tanpa rumah dari pengembang apabila dirugikan.

Penulisan tesis ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan titik tolak penelitian dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perumahan dan perjanjian jual beli.

Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan yakni dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif.

Hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak memberikan perlindungan hukum bagi konsumen. Adapun hambatan dalam pengalihan jual beli kavling adalah harus dibuatnya perjanjian dalam bentuk akta otentik dengan Akta Jual Beli dihadapan PPAT. Selain itu hambatan lainnya yakni dalam tahap pemasaran (pra penjualan) tanah kavling matang tanpa rumah minimal harus telah dibangun 25% dan perlindungan yang dapat diberikan terhadap konsumen adalah melalui UU konsumen yakni UU no.1 tahun 2011, UU no.26 tahun 2007 dan UU no. 8 Tahun 1999.

Terhadap konsumen yang membeli properti perumahan dalam tahap pra penjualan sebaiknya lebih berhati-hati. Hal ini disebabkan tidak sedikitnya pengembang yang tidak konsekwensi melindungi hak-hak pembeli dan banyak dijumpainya kasus dimana akta jual beli belum dibuat pengembang telah tutup, sehingga sebelum membeli perumahan sebaiknya mencari informasi sebanyak- banyaknya mengenai pengembang tersebut.

Kata Kunci : Perjanjian Jual Beli, Kavling, Pengembang Perumahan

(7)

the form Trading Agreement. The problem found in Trading Agreement is about the registration of the transfer of right to land because a legal entity is not allowed to sell a plot of land without any house on it to the other party. Based on that issue, the purpose of this study was to look at the legal power of the lot of land without house trading agreement made underhanded between the real estate developer and the buyer, the juridical constraint in transfer of the plot of land without house trading, and the legal protection for the parties in the trading agreement of plot of land without house from the developer if it inflicts loss to one party.

The data for this legal study with normative juridical approach were primary, secondary and tertiary legal materials related to the regulation of legislation in the field of housing trading agreement obtained through library research. The data obtained were analyzed through qualitative analysis method.

The result of this study showed that the Trading Agreement did not provide any legal protection to the consumers. The constraints in transfer of plot of land trading were that the agreement must be in the form of authentic trading deed made before the Land Certificate Issuing Official and during its marketing stage, the plot of land without house must have been built at least 25%. The legal protection that could be given to the consumers was through Law No.1/2001, Law No.26/2007, and Law No.8/1999.

Consumers who buy housing property during the pre-sale stage should be more careful because many developers who are not consequence in protecting the rights of their buyers and it is common to find the cases where the trading deed has not been issued yet but the developer has closed. Therefore, before buying a house through a real estate company, consumers should seek as much information as possible about the developer.

Keywords: Trading Agreement, Plot of Land, Housing Developer

(8)

memberikan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul “PERJANJIAN JUAL BELI KAVLING OLEH PENGEMBANG PERUMAHAN (Studi di Kota Medan)”.

Disadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, baik secara substansi materi maupun metodologinya. Karena itu peneliti mohon masukan dari pembaca untuk penyempurnaannya.

Didalam penyelesaian tesis ini peneliti banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak. Jadi tepatlah kiranya pada kesempatan ini peneliti menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada peneliti untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(9)

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H, M.S, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai dosen pembimbing utama yang memberikan masukan dan kritikan serta dorongan kepada peneliti.

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, selaku dosen pembimbing II, yang telah memberikan perhatian dengan penuh ketelitian, mendorong serta membekali peneliti dengan nasehat dan ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi.

5. Bapak Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku dosen pembimbing III, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan membina Peneliti dalam penyelesaian studi dan sekaligus pada kesempatan ini dipercayakan menjadi dosen penguji.

7. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan kritikan kepada peneliti.

8. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Dosen serta sengenap civitas akademis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

Universitas Sumatera Utara Khususnya kelas Reguler angkatan 2010 yang selalu memberikan semangat dan inspirasi, terima kasih atas kekompakannya selama ini.

11. Dan semua pihak yang telah membantu penulisan yang tidak dapat disebut satu persatu.

Akhir kata, peneliti berharap tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan dan wacana bagi kita semua.

Medan, Juli 2012 Peneliti

Linawaty NIM 107011009

(11)

I. DATA PRIBADI

Nama : LINAWATY

Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 10 Agustus 1988 Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Karyawan Kantor Notaris

Agama : Buddha

Status : Belum Menikah

Alamat Kantor : Jalan Padang Golf Telepon Kantor : 061-76677172

Alamat Rumah : Jalan Irian Barat No.55, Medan

Telepon/HP : 081375769919

II. PENDIDIKAN FORMAL

SD SUTOMO 1 Medan Lulus tahun 2000

SLTP SUTOMO 1 Medan Lulus tahun 2003

SLTA SUTOMO 1 Medan Lulus tahun 2006

S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan Lulus tahun 2009 S-2 MKn Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Lulus tahun 2012

(12)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

DAFTAR ISTILAH ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Kerangka Konsepsi ... 16

G. Metode Penelitian ... 21

BAB II KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI KAVLING YANG DIBUAT DIBAWAH TANGAN ANTARA PENGEMBANG PERUMAHAN DENGAN PEMBELI ... 26

A. Subjek Hukum Perjanjian Jual Beli ... 26

1. Manusia... 26

2. Badan Hukum ... 28

3. Subjek Hukum Penyelenggara Lisiba ... 29

B. Syarat Sahnya Perjanjian ... 31

C. Isi/Klausul Jual Beli ... 35

D. Larangan Jual Beli Kaveling ... 37

(13)

2. Akta dibawah tangan... 45

BAB III HAMBATAN DALAM PENGALIHAN JUAL BELI KAVLING YANG DILAKUKAN OLEH PENGEMBANG 50 A. Proses Pengurusan Izin Kawasan Perumahan Permukiman 50 B. Penyerahan Fasilitas Umum dan Sosial ... 57

C. Persyaratan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman... 60

D. Syarat Pendaftaran Tanah ... 62

E. Hambatan dalam Pengalihan Jual Beli Kavling oleh Pengembang ... 66

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI KAVLING PERUMAHAN BILA DIRUGIKAN ... 72

A. Bentuk-bentuk Kewajiban Pembeli Kavling dan Developer ... 73

B. Hak Konsumen... 74

C. Kontrak Baku ... 78

D. Perlindungan terhadap Pembeli Kavling ... 84

1. Sanksi berdasarkan UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman... 85

2. Sanksi berdasarkan UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen... 86

3. Sanksi berdasarkan UU Penataan Ruang... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

A. Kesimpulan ... 88

B. Saran... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 90 LAMPIRAN

(14)

KASIBA : Kawasan Siap Bangun

KTM : Kaveling Tanah Matang

LISIBA : Lingkungan Siap Bangun

KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

UUD : Undang-Undang Dasar

UU : Undang-Undang

PP : Peraturan Pemerintah

Stbl : Staatsblad

PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah

PPJB : Perjanjian Pengikatan Jual Beli

UUJN : Undang-Undang Jabatan Notaris

(15)

untuk rumah sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan rencana rinci tata ruang serta rencana tata bangunan dan lingkungan.

Lisiba : sebidang tanah yang fisiknya serta

prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dengan batas- batas kaveling yang jelas dan merupakan bagian dari kawasan siap bangun sesuai dengan rencana rinci tata ruang.

Kasiba : sebidang tanah yang fisiknya serta

prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk pembangunan lingkungan hunian skala besar sesuai dengan rencana tata ruang.

Perjanjian Pengikatan/ Jual Beli (PPJB) : Perjanjian yang isinya menyebutkan akan dilakukannya jual beli antara developer (pelaku usaha) dan konsumen.

(16)

A. Latar Belakang.

Manusia dalam menjalani kehidupan tidak pernah terlepas dari hal yang berhubungan dengan tempat dimana manusia tersebut tinggal. Kebutuhan manusia terhadap tempat berteduh merupakan suatu kebutuhan yang primer di samping kebutuhan terhadap sandang dan pangan.1Peran tempat tinggal bagi kelangsungan kehidupan sangatlah mutlak karena tempat tinggal bukan lagi sekedar tempat untuk bernaung, tetapi juga merupakan tempat untuk melindungi diri dari kondisi alam yang tidak menguntungkan.2Hak setiap warga untuk dapat hidup sejahtera lahir dan batin diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa :

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapat pelayanan kesehatan”.

Bentuk manifestasi dari tempat tinggal adalah pembangunan perumahan.

Pembangunan perumahan ini perlu mendapat perhatian yang serius agar tujuan pembangunan dapat tercapai dengan adil dan merata.3

1 Harun Al Rashid, Upaya Penyelesaian Sengketa Sewa Menyewa Perumahan menurut Ketentuan Peundang-undangan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal 9

2 Suparno Sastra M dan Endy Marlina, Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006, hal 2

3Ibid., hal 1

(17)

Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria yang sedang membangun kearah perkembangan industri. Tanah yang merupakan kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal seperti keterbatasan tanah baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi.

Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting serta telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi, di lain pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.4

Dalam Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar- besarnya kesejahteraan rakyat. Dari ketentuan Pasal 33 tersebut dapat dikemukakan bahwa sumber daya alam merupakan hak bersama seluruh rakyat dan dalam pengertian hak bersama tersebut terdapat dua hak yang diakui yakni hak kelompok dan hak perorangan. Dalam hak bersama tersebut terdapat kewenangan negara terhadap pengaturan sumber daya alam yang terbatas. Hak bersama tersebut dibatasi oleh UUD dan dibatasi oleh tujuannya yakni untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Serta terdapat hubungan antara negara dan rakyat, yakni menjamin apa yang menjadi hak setiap orang merupakan kewajiban negara.5

Pentingnya hak milik atas tanah yang dimiliki oleh perorangan telah disertai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang merupakan syarat

4Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal .1

5Ibid., hal 20-21

(18)

formal bagi adanya perlindungan hukum dalam praktiknya. Benturan antara hak milik atas tanah dengan maraknya pembangunan ekonomi mulai banyak terjadi di dalam penguasaan dan penggunaan tanah sebagai akibat akumulasi kapital yang semakin kuat serta semakin tidak dapat dikendalikan.6

Adapun salah satu landasan dalam kebijakan pembangunan perumahan dan penyediaan tanah-tanah guna menjawab tuntutan kebutuhan perumahan dan pemukiman serta digunakan untuk meningkatkan peran kelembagaan dalam pembangunan perumahan dan pemukiman adalah berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 1964 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 6 tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2611)7yang kemudian diubah dengan Undang-Undang nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang sekarang terakhir telah diubah dengan Undang- Undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Undang- Undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman selanjutnya disebut Undang-Undang perumahan dan pemukiman. Undang-Undang sebagai landasan hukum dan penjabaran kebijaksanaan pemerintah baik yang langsung maupun tidak langsung dengan pengadaan perumahan ditingkat nasional

6Ibid., hal 11-12

7Suparno Sastra M dan Endy Marlina, op.cit, hal 33

(19)

maupun daerah, sangat diperlukan dalam memberikan arahan dan rambu-rambu dalam pelaksanaan di lapangan.8

Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman menyebutkan bahwa perumahan berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan sedangkan pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan hutan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.9

Penyediaan tanah untuk pemenuhan kebutuhan penduduk untuk jangka pendek, menengah dan panjang, perlu dilakukan melalui pengembangan permukiman skala besar melalui kawasan siap bangun, dan kaveling tanah matang yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten dan Kota. Pengembangan permukiman skala besar tersebut di samping bertujuan untuk membatasi kemungkinan terjadinya spekulasi tanah, dimaksudkan pula untuk mendorong pemanfaatan tanah, memudahkan penyediaan prasarana, sarana dan utilitas lingkungan yang efisien.

Perbuatan hukum seperti jual beli tidak dapat dipungkiri sering dilakukan dalam penyediaan tanah untuk kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada hakekatnya perjanjian jual beli ini bertujuan untuk memindahkan hak milik atas suatu barang yang diperjualbelikan, karena dalam jual beli pihak penjual wajib menyerahkan

8Bambang Panudju, Pengadaan Perumahan Kota Dengan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah. PT. Alumni, Bandung, 2009, hal 20

9Ibid., hal 4

(20)

barang yang dijualnya itu kepada pembeli, sedangkan pihak pembeli mempunyai kewajiban untuk membayar harga dari barang itu kepada pihak penjual. Namun perjanjian jual beli sendiri belum memindahkan hak milik. Hak milik baru berpindah dengan dilakukannya levering atau penyerahan.10

Peralihan/pemindahan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak atau barang/benda, bergerak atau tidak bergerak. Perbuatan hukum itu dapat meliputi antara lain jual beli, hibah, hibah wasiat, tukar menukar, pemisahan dan pembagian harta bersama/warisan, pemasukan harta ke dalam perseroan terbatas (inbreng), untuk memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah harus diwujudkan suatu perbuatan hukum berupa perjanjian dengan akta PPAT.11

Jual beli tanah adalah salah satu bentuk hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak yang telah bersepakat untuk saling meletakkan hak dan kewajiban secara timbal balik yang lazimnya disebut dengan perjanjian yang menganut asas obligator (Pasal 1313 KUH Perdata). Di lain pihak, UUPA sebagai landasan yuridis yang mengatur masalah agraria di Indonesia tidak mengatur secara tegas tentang jual beli tanah, baik pengertiannya maupun prosedurnya. Dalam hal ini Pasal 26 ayat (1) UUPA hanya menyebutkan bahwa :

“… jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

10R. Wiryono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, Sumur, Bandung, 1983, hal 56

11Jhon Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal.37

(21)

Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemeritah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang dalam Pasal 19 disebutkan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak milik atas tanah, memberikan hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungannya harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria.

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ini kemudian dicabut dan disempurnakan aturannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang ditetapkan pada tanggal 8 Juli 1997. Dalam ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut ditentukan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga berdasarkan pasal ini jelas bahwa hak atas tanah berpindah karena jual beli setelah dilakukan peralihan hak dihadapan PPAT.12

Bentuk Perjanjian jual beli yang dilakukan ketika Pra-jual beli dihadapan PPAT adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang isinya menyebutkan akan dilakukannya jual beli antara developer (pelaku usaha) dan konsumen. Perjanjian pengikatan jual beli ini tidak pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan

12Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal.90

(22)

yang berkaitan dengan hak atas tanah, sehingga kedudukan serta bagaimana kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli terkadang masih dipertanyakan terhadap pelaksanaan jual beli hak atas tanah.13 Dokumen ini merupakan dokumen yang membuktikan adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual) antara developer (pelaku usaha) dan konsumen dan umumnya merupakan perjanjian standar (kontrak baku). PPJB ini umumnya tidak dibuat dalam bentuk akta otentik dihadapan notaris, namun hanya dilegalisasi atau bahkan hanya dibuat dalam surat dibawah tangan.

Proses terjadinya perbuatan hukum jual-beli tersebut diawali dengan penawaran oleh pihak developer atau yang biasanya juga disebut dengan koordinator kavling, yang dalam hal ini dapat berupa orang atau badan hukum resmi baik berupa Perseroan Terbatas maupun Comanditaire Venootchaap (CV) yang memiliki ijin untuk itu kepada masyarakat luas. Umumnya mereka memiliki lahan (tanah) pada suatu areal/kawasan lingkungan tertentu yang siap untuk dibangun rumah hunian dengan penataan sedemikian rupa sehingga apabila semua bagian/kavling telah dibangun rumah maka akan membentuk suatu lingkungan pemukiman baru. Dalam penawaran awal/pengalihan tanah kavling muncul permasalahan bagi pengembang dengan adanya ketentuan dalam Pasal 146 ayat 1 Undang-Undang perumahan dan pemukiman nomor 1 tahun 2011 yang menyebutkan bahwa :

“Badan hukum yang membangun Lisiba dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah”.

13Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1998, hal .75

(23)

Tanah matang adalah tanah yang telah diproses dengan pekerjaan pembersihan atau diratakan permukaan tanahnya, ditata ruang dengan rapi atau dinamakan Land Clearing dan dipersiapkan untuk dijual kepada pembeli dalam bentuk ukuran yang tertentu atau kavling. Yang dimaksud dengan “menjual kaveling tanah matang tanpa rumah” adalah suatu kegiatan badan hukum yang dengan sengaja hanya memasarkan kaveling tanah matang kepada konsumen tanpa membangun rumah terlebih dahulu. Penjualan kaveling tanah matang kepada konsumen hanya dapat dilakukan apabila badan hukum tersebut telah membangun perumahan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari rencana pembangunan perumahan di lingkungan siap bangun dan dalam keadaan terjadi krisis moneter nasional yang berakibat pada kesulitan likuiditas pada badan hukum tersebut.14

Pengalihan tanah kavling matang tanpa rumah terdapat permasalahan dan pendaftaran pengalihan hak. Disebabkan badan hukum tidak dibenarkan menjual tanah kavling matang tanpa rumah kepada pihak lain. Terlihat dari tindakan Badan Pertanahan Nasional yang menolak pendaftaran pengalihan Akta Jual Beli yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap penjualan kavling tanah matang tanpa rumah yang dilakukan oleh badan hukum apabila objek yang diperjualbelikan berupa tanah kosong.

Timbulnya masalah tanah tersebut bukan disebabkan karena tidak ada peraturan yang memadai, bukan karena tidak ada manusia yang mampu

14Penjelasan Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan pemukiman.

(24)

melaksanakannya, melainkan lebih banyak disebabkan karena kurangnya menguasai dan menghayati bidang agraria/pertanahan.

Berdasarkan dari latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk menyusun penelitian dalam bentuk Tesis dengan judul “Perjanjian Jual Beli Kavling oleh Pengembang Perumahan (studi di Kota Medan)”.

B. Perumusan Masalah.

1. Bagaimana kekuatan hukum perjanjian jual beli kavling tanah matang tanpa rumah yang dibuat dibawah tangan antara pengembang perumahan dan pembeli?

2. Apakah hambatan juridis dalam pengalihan jual beli kavling tanah matang tanpa rumah yang dilakukan oleh pengembang perumahan?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pembeli kavling tanah matang tanpa rumah dari pengembang apabila dirugikan?

C. Tujuan Penelitian.

Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis.15Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kekuatan hukum perjanjian jual beli kavling tanah matang tanpa rumah yang dibuat dibawah tangan antara pengembang perumahan dengan pembeli.

15Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1998, hal .3

(25)

2. Untuk mengetahui hambatan juridis dalam pengalihan jual beli kavling tanah matang tanpa rumah yang dilakukan oleh pengembang perumahan.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian jual beli kavling tanah matang tanpa rumah dari pengembang apabila dirugikan.

D. Manfaat Penelitian.

Dalam penelitian ini kegunaan utama dari penelitian ini diharapkan tercapai, yaitu:

1. Kegunaan secara teoritis.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta sebagai referensi tambahan pada program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, khususnya mengenai perjanjian jual beli kavling oleh pengembang perumahan.

2. Kegunaan secara praktis.

Manfaat penelitian yang bersifat praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama.

E. Keaslian Penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik berdasarkan penelitian sebelumnya, khususnya pada Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dan sejauh yang telah diketahui bahwa belum ditemui adanya penelitian yang berkaitan dengan judul tesis ini yaitu “Perjanjian Jual Beli

(26)

Kavling Oleh Pengembang Perumahan (studi di kota Medan)” belum pernah diteliti oleh para Mahasiswa Kenotariatan yang lain, oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan aktual sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis ilmiah.

Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan sebelumnya dengan judul penelitian tesis ini adalah:

Tesis saudara Stephanus Elgin, Mahasiswa Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, NIM 017011057, dengan judul: “Tanggung jawab perusahaan pengembang perumahan terhadap konsep pengembangan pemukiman terpadu yang berwawasan lingkungan (studi terhadap perusahaan pengembang perumahan di kota Medan)”.

Adapun permasalahannya yang dibahas adalah :

a. Apakah konsep wawasan lingkungan telah termasuk dalam peraturan perusahaan pengembang perumahan dan permukiman?

b. Apakah perusahaan pengembang telah melaksankan konsep pengembangan perumahan dan pemukiman terpadu?

c. Bagaimana penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan pengembang dan bentuk sanksinya?

Pada dasarnya penelitian terdahulu yang dilakukan oleh para peneliti tersebut diatas tidak sama dengan penelitian ini baik dari segi judul maupun pokok permasalahan yang dibahas. Oleh karena itu secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

(27)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi.

1. Kerangka Teori.

Menurut M. Solly Lubis yang menyatakan konsep teori merupakan:

“Kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya merupakan masukan eksternal bagi peneliti”.16

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. 17 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.18

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.19

Oleh sebab itu, teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:20

16M. Solly Lubis (I), Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80

17Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal 254

18Ibid., hal. 253

19M. Solly Lubis, Op.Cit, hal 80

20Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 121

(28)

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi;

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor- faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Menurut Mukti Fajar, teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.21 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu22.Oleh karena itu maka terdapat beberapa teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori fiksi hukum dan teori negara hukum (rechtstaat).

Teori fiksi hukum yang menyatakan bahwa diundangkannya sebuah peraturan perundang-undangan oleh instansi yang berwenang mengandaikan semua orang mengetahui peraturan tersebut. Dengan kata lain tidak ada alasan bagi pelanggar hukum untuk menyangkal dari tuduhan pelanggaran dengan alasan tidak mengetahui hukum atau peraturannya. Menurut teori fiksi hukum, kewajiban untuk mempublikasikan peraturan yang dibuat dengan sendirinya gugur ketika peraturan

21Mukti Fajar et al ., Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, PT. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal.134

22Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum,Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal.19

(29)

tersebut resmi diundangkan oleh pemerintah. Sebagai contoh, pengundangan sebuah undang-undang di Indonesia dilakukan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara. Dengan pengundangan itu undang-undang resmi berlaku dan dengan sendirinya masyarakat dianggap mengetahuinya. Perintah pengundangan terdapat dalam tubuh undang-undang itu sendiri. Biasanya perintah pengundangan yang ditempatkan di bagian penutup suatu undang-undang itu berbunyi: agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Teori fiksi hukum mengasumsikan bahwa pengundangan peraturan mempunyai kekuatan mengikat, mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensi peraturan tersebut.23

Teori negara hukum yaitu suatu teori mengenai sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional, tanpa memandang perbedaan warna kulit, ras, gender, agama, daerah dan kepercayaan, dan kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-

23 Riana Kusuma Ayu, fiksi hukum, http://riana.tblog.com/post/1970029891 diakses pada tanggal 14 Nopember 2011

(30)

wenang dan tidak boleh melanggar hak-hak rakyat, karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan peranannya secara demokratis.24

Ungkapan teori ini berkaitan dengan filsafat hukum pada masa Yunani yang diungkapkan W. Friedmann:

“Kalau diperhatikan undang-undang, memberi keadilan yang sama kepada semua, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di antara pribadi-pribadi itu, kalau tidak ada kedudukan sosial, kemajuan dalam hidup dapat dicapai bukan atas dasar reputasi melainkan karena kapasitas, kelas-kelas dalam masyarakat bukan faktor yang menentukan dalam soal jasa”.25

Ketentuan di atas merupakan landasan hukum dalam upaya melindungi segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi orang-orang yang melakukan perbuatan hukum seperti jual beli. Dalam melakukan perbuatan hukum seperti perjanjian jual beli, para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang seluas- luasnya tanpa memperhatikan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesewenangan, dan penyalahgunaan keadaan.

Pasal 1339 KUHPerdata juga disebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatuhan, kebiasaan atau undang-undang serta ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dalam hubungan ini, dapat dilihat bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum

24Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.3

25Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hal 14

(31)

dan kesusilaan serta harus dapat memberi rasa keadilan pada masyarakat. Sehingga suatu perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan harus dapat memberi rasa keadilan dan perlindungan. Di sinilah letak korelasi antara persoalan kepastian hukum yang merupakan salah satu tujuan hukum dengan peranan negara.

2. Kerangka Konsepsi.

Sejalan dengan landasan teori tersebut, maka dalam penulisan hukum diperlukan kerangka konsepsional. Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.

Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.26 Kerangka konsep mengandung makna adanya stimulasi dan dorongan konseptualisasi untuk melahirkan suatu konsep baginya atau memperkuat keyakinannya akan konsepnya sendiri mengenai sesuatu permasalahan.27

Kerangka konsepsional dalam penelitian hukum, diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu, maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan

26Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 132

27M. Solly Lubis, Op.Cit, hal 80

(32)

pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.28

Oleh karena itu, untuk menghindarkan terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk mendefinisikan beberapa konsep penelitian agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan makna variabel yang ditetapkan dalam topik, yaitu :

a. Perjanjian

Perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.

b. Jual Beli

Jual beli menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang sedangkan pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

c. Perjanjian Jual Beli

Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibentuk karena pihak yang satu telah mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak kebendaan dan pihak yang lain bersedia untuk membayar harga yang diperjanjikan (Pasal 1457 KUHPerdata).

28Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal137

(33)

d. Akta Dibawah Tangan

Akta Dibawah Tangan adalah tulisan dibawah tangan yang ditandatangani tidak dihadapan pejabat umum (Pasal 1874 ayat 1 KUHPerdata).

e. Kaveling

Dalam kamus besar disebutkan kaveling adalah bagian tanah yang sudah dipetak-petak dengan ukuran tertentu untuk bangunan atau tempat tinggal.29

Menurut Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan untuk rumah sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, rencana rinci tata ruang, serta rencana tata bangunan dan lingkungan.

f. Perumahan dan kawasan pemukiman

Dalam UU perumahan dan pemukiman, Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat.

g. Perumahan

Dalam UU perumahan dan pemukiman disebutkan perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun

29Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hal 518

(34)

perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.

h. Pemukiman

Dalam UU perumahan dan pemukiman juga disebutkan pemukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.

i. Lingkungan Siap Bangun yang selanjutnya disebut Lisiba

Menurut UU nomor 1 tahun 2011, Lisiba adalah sebidang tanah yang merupakan bagian dari Kasiba ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling tanah matang.

j. Kelembagaan Kasiba

Lembaga atau badan yang dibutuhkan untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengendalikan penyiapan maupun pelaksanaan pengisian Kasiba tersebut, yang melibatkan lembaga-lembaga terkait, diantaranya : i. Pemerintah, yang berwenang melakukan penunjukkan BUMN, BUMD

atau badan usaha lain yang akan menjadi Badan Pengelola Kasiba

(35)

ii. Badan Pengelola, adalah Badan Usaha Milik Negara dan Badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi sebagai pengelola Kasiba termasuk Badan Usaha Milik Daerah;

iii. Badan Usaha, adalah badan yang kegiatan usahanya di bidang pembangunan perumahan dan permukiman yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia

iv. Penyelenggara, adalah kelompok masyarakat pemilik tanah atau badan usaha yang ditetapkan oleh Badan Pengelola untuk membangun Lisiba atau ditunjuk oleh Pemerintah Daerah untuk membangun Lisiba yang berdiri sendiri.

k. Pengelola perumahan

Dalam Surat Edaran Menteri Nomor : 01/SE/DK/ 2005 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang Berdiri Sendiri disebutkan badan pengelola adalah Badan Usaha Milik Negara dan atau Badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi sebagai Pengelola Kawasan siap bangun termasuk Badan Usaha Milik Daerah. Badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah dimaksud adalah Badan Usaha swasta yang bergerak di bidang perumahan dan permukiman yang menjalankan misi dan bekerjasama dengan Pemerintah.

l. Pengembang perumahan (developer)

(36)

Istilah developer berasal dari bahasa asing yang menurut kamus bahasa Inggris artinya adalah pembangun perumahan. Sementara itu menurut Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974, disebutkan pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula masuk dalam pengertian developer. Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar di atas suatu areal tanah yang akan merupakan suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat penghuninya.

Developer dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen masuk dalam kategori sebagai pelaku usaha. Pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

G. Metode Penelitian.

Metode penelitian berasal dari kata “Metode dan Logos”. Metode yang artinya adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dan logos yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian adalah suatu kegiatan

(37)

untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya.30

Penelitian sebagai suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten karena melalui proses penelitian tersebut dilakukan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.31 1. Spesifikasi Penelitian.

Spesifikasi penelitian dalam proposal ini merupakan penelitian hukum.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya juga diadakan pelaksanaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan suatu pemecahan atau permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.32Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas.

Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang

30Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hal 1

31Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-suatu tinjauan singkat, Rajawali Pres, Jakarta, 1985, hal 1

32Ibid, hal 43

(38)

seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.33

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif,34 dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Metode pendekatan hukum normatif dipergunakan dengan titik tolak penelitian dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perumahan dan perjanjian jual beli.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder. Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan yakni dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan Hukum primer berupa dokumen-dokumen maupun peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan perumahan dan perjanjian jual beli. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu pandangan para ahli hukum. Selanjutnya bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

33Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal 38

34Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal 14

(39)

3. Alat Pengumpulan Data.

Penelitian ini dilakukan dengan metode pengumpulan data, yaitu studi pustaka/studi dokumen (documentary study) dan didukung oleh penelitian lapangan (Field Research). Studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study) ini dimaksudkan untuk memperoleh data, berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier, dengan memperhatikan beberapa karakteristik, yaitu mempunyai relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan, akurasi datanya serta aktualitas. Untuk melengkapi data sekunder, maka penelitian ini juga didukung oleh data primer yang diperoleh melalui penelitian lapangan (Field Research).35

4. Analisis Data.

Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif, 36 yaitu metode yang lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas. Metode ini akan menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data yang dihasilkan berupa data deskriptif mengenai subjek yang diteliti.37 Lexy J. Moleong dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif, menjelaskan bahwa penelitian yang menggunakan metode ini memakai logika berpikir induktif, suatu logika yang berangkat dari kaidah-kaidah khusus ke kaidah yang bersifat umum.

35Burhan Ashshofa, Op.Cit, hal 91

36Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1992, hal 15-20

37Ibid., hal 15

(40)

Dengan demikian rangkaian kegiatan analisis data yang diperlukan dalam penelitian penulis adalah sebagai berikut : semua data yang telah diperoleh terlebih dahulu diolah agar dapat memberikan gambaran yang sesuai kebutuhan, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, dimana data-data yang diperlukan guna menjawab permasalahan, baik data primer maupun data sekunder, dikumpulkan untuk kemudian diseleksi, dipilah-pilah berdasarkan kualitas dan relevansinya untuk kemudian ditentukan antara data yang penting dan data yang tidak penting untuk menjawab permasalahan. Dipilih dan disistematisasi berdasar kualitas kebenaran sesuai dengan materi penelitian, untuk kemudian dikaji melalui pemikiran yang logis induktif, sehingga akan menghasilkan uraian yang bersifat deskriptif, yaitu uraian yang menggambarkan permasalahan serta pemecahannya secara jelas dan lengkap berdasarkan data-data yang diperoleh dari penelitian sehingga hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diajukan.38

38Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal 32

(41)

BAB II

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI KAVLING YANG DIBUAT DIBAWAH TANGAN ANTARA PENGEMBANG PERUMAHAN DENGAN

PEMBELI

Hukum tentang Perjanjian diatur dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Hukum perjanjian mempunyai sifat sistem terbuka.

Maksudnya dalam hukum perikatan/perjanjian memberikan kebebasan yang seluas- luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.39

Peraturan khusus tentang jual beli diatur dalam bab kelima KUHPerdata.

Dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa :

“Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.”

A. Subjek Hukum Perjanjian Jual Beli.

Subjek Hukum dalam jual beli adalah penjual dan pembeli. Subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum terdiri dari manusia pribadi dan badan hukum. Manusia pribadi adalah subjek hukum dalam arti biologis sedangkan badan hukum adalah subjek hukum dalam arti yuridis.40

1. Manusia.

39R.Subekti, Aneka Perjanjian cetakan kesepuluh, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 2

40Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 27

(42)

Berlakunya manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban dimulai saat dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia.41Subjek yang berupa manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yakni harus sudah dewasa, sehat pikiran dan tidak dilarang atau dibatasi dalam melakukan suatu perbuatan hukum.42

Menurut Pasal 1330 KUHPerdata pribadi yang dianggap tidak cakap melakukan tindakan hukum adalah :43

a. Orang yang belum dewasa;

Orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

Hal ini diatur dalam Pasal 433-462 KUHPerdata tentang pengampuan.

Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak dalam segala hal cakap untuk bertindak sendiri di dalam lalu lintas hukum, karena orang tersebut oleh putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu. Sifat- sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap menurut Pasal 433 KUHPerdata adalah:44

41Komariah, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2008, hal 22

42Djoko Prakoso dan Bambang Riyaldi Lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal 6

43Komariah, Op.cit, hal 24

44Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogjakarta, 2009, hal 47

(43)

i. Keadaaan dungu;

ii. Sakit ingatan/gila/mata gelap.

iii. Pemboros dan pemabuk.

c. Orang perempuan yang sudah berkeluarga

Hal ini telah dicabut berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 3 tahun 1963.45

2. Badan Hukum.

Perusahaan pengembang umunya berbentuk badan hukum yakni perseroan terbatas ataupun commanditaire vennootschap (CV) dan pertama kali didirikan berdasarkan akta pendirian perusahaan yang tercantum dalam anggaran dasar yang kegiatan pokok usahanya antara lain melakukan usaha pengembangan lokasi permukiman bagi masyarakat yang membutuhkan perumahan.

Pasal 1653 KUHPerdata menyatakan terdapat tiga klasifikasi badan hukum yakni :46

a. Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah seperti badan-badan pemerintahan, perusahaan-perusahaan Negara. Badan hukum ini dibentuk oleh pemerintah untuk kepentingan Negara dengan undang-undang atau dengan peraturan pemerintah.

b. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah seperti perseroan terbatas, koperasi. Badan hukum ini dibentuk oleh swasta atau pribadi warga Negara untuk kepentingan pribadi pembentuknya sendiri. Tetapi badan hukum itu mendapat pengakuan dari pemerintah menurut undang-undang. Pengakuan itu diberikan karena isi anggaran dasarnya tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak akan melanggar undang-undang. Pengakuan dari pemerintah tersebut diberikan melalui pengesahan anggaran dasarnya.

c. Badan hukum yang diperbolehkan untuk suatu tujuan tertentu yang bersifat ideal seperti yayasan (pendidikan, sosial dan keagamaan). Badan ini tidak

45R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 152

46Handri Raharjo, op.cit, hal 29-30

(44)

dibentuk oleh pemerintah dan tidak diperlukan pengakuan pemerintah berdasarkan undang-undang. Namun untuk mengetahui anggaran dasar yayasan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang maka akta pendiriannya harus dibuat di muka notaris, karena notaris adalah pejabat resmi menurut undang-undang.

3. Subjek Hukum Penyelenggara Lisiba

Subjek hukum yang menyelenggarakan lisiba atau kasiba berdasarkan UU nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman dan PP nomor 80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap bangun yang berdiri sendiri adalah pemilik tanah dan badan usaha dan pemerintah yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Badan pengelola. Badan pengelola dapat berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan badan lain yang dibentuk oleh pemerintah termasuk Badan Usaha Milik Daerah. 47 Penunjukkan badan pengelola untuk menyelenggarakan kasiba/lisiba dilakukan oleh kepala daerah.48Pengelolaan lisiba dapat dilakukan oleh penyelengara lisiba yang terdiri dari masyarakat pemilik tanah atau badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman.

Dalam pelaksanaan pembangunan perumahan dan pemukiman sebagaimana diatur dalam UU No.4/1992 ada 3 bentuk pelaksana, yaitu :

a. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara atau badan lain yang dibentuk oleh pemerintah. (pasal 20 ayat 2 UU No.4/1992).

47Pasal 3 ayat (1) dan (2) PP No. 80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap bangun yang berdiri sendiri

48Pasal 4 PP No. 80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap bangun yang berdiri sendiri

(45)

b. Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh badan usaha dibidang pembangunan perumahan yang ditunjuk pemerintah. (pasal 21 ayat 1 UU No.4/1992)

c. Penyelenggaraan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah dapat dilakukan oleh orang perorangan dengan cara usaha bersama. (pasal 1 angka 11 UU No.4/1992)

Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia nomor 33/PERMEN/M/2006 menyebutkan Kasiba atau lisiba yang berdiri sendiri menurut kepemilikan mayoritas lahan dapat dibedakan :

1. Kasiba/lisiba yang mayoritas tanahnya dikuasai oleh pemerintah daerah sehingga kaveling tanah matang yang dikuasai oleh pemerintah daerah telah mencapai lebih dari 50 % luas kasiba yang diusulkan;

2. Kasiba/lisiba yang mayoritas tanahnya dikuasai oleh swasta atau perorangan.

Dalam penyiapan lokasi untuk kasiba, harus diperhatikan :49

1. Jumlah unit rumah yang dapat ditampung dalam 1 (satu) kasiba sekurang- kurangnya 3000 (tiga ribu) unit rumah dan sebanyak-banyaknya 10.000 (sepuluh ribu) unit rumah;

49Pasal 9 PP no. 80 tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap bangun yang berdiri sendiri

(46)

2. Jumlah unit rumah yang dapat ditampung dalam 1 (satu) lisiba sekurang- kurangnya 1000 (seribu) unit rumah dan sebanyak-banyaknya 3000 (tiga ribu) unit rumah.

Subjek hukum yang menyelenggarakan lisiba setelah keluarnya Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman Nomor 1 tahun 2011 yakni Badan hukum yang didirikan oleh warga negara Indonesia yang kegiatannya di bidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Hal ini juga ditegaskan pada Pasal 145 dalam Undang- Undang Perumahan dan Pemukiman Nomor 1 tahun 2011 disebutkan orang perseorangan dilarang membangun Lisiba.

B. Syarat Sahnya Perjanjian.

Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat yaitu:

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Hukum perjanjian mengenal asas konsensualitas yang memberi arti sepakat atau consensus tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Sepakat (Toestemming) artinya kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak- pihak. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan dan kekhilafan.50 Unsur kesepakatan terdiri dari unsur Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak

50Handri Raharjo, op.cit, hal 47

(47)

yang menawarkan dan Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran.

Kesepakatan penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam teori yaitu :51

i. Teori pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.

ii. Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

iii. Teori pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.

iv. Teori penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

b. kecakapan untuk melakukan suatu pengikatan;

Yang dimaksud dengan cakap adalah sehat pikiran untuk mengadakan/membuat suatu perjanjian. Kewenangan memiliki/ menyandang hak dan kewajiban tersebut disebut kewenangan hukum, karena sejak lahir tidak semua subjek hukum memiliki kewenangan hukum, cakap atau dapat bertindak sendiri. Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum.52

c. suatu hal tertentu;

Suatu hal tertentu disini tentang objek perjanjian (Pasal 1332 sampai dengan 1334 KUHPerdata). Syarat–syarat yang diperjanjikan harus dicantumkan dengan jelas dalam akta jual belinya misalnya luas tanah, letaknya, sertifikat, hak yang melekat. Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut:

51Ibid.

52Abdoel Djamali, op.cit, hal 163

(48)

i. Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.

ii. Objek yang dapat diperdagangkan (barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).53

d. suatu sebab yang halal.

Sebab yang dimaksud disini adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian (Pasal 1337 KUHPerdata). Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.54 Syarat pertama dan kedua mengenai subjek atau pihak-pihak dalam perjanjian disebut syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena mengenai objek perjanjian. Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subjektif dan syarat objektif. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak, namun apabila tidak memenuhi syarat objektif maka perjanjian batal demi hukum, artinya bahwa dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan dari pengadaan perjanjian untuk melahirkan suatu perikatan adalah gagal. Dengan demikian maka tidak adanya dasar untuk saling menuntut didepan hakim.55

Perbedaan antara “batal” dan “dapat dibatalkan” adalah melibatkan hak dari pihak ketiga. Jika perjanjian jual beli barang batal, hak milik atas barang yang dijual tidak akan berpindah kepada pembeli dan ia tidak dapat menjualnya kepada pihak

53Handri Raharjo, loc.cit.

54Ibid.

55Jhon Salindeho, Op.Cit, hal 93

(49)

lain. Sedangkan “dapat dibatalkan” maka perjanjian tersebut tetap berlaku kecuali jika pihak yang tidak bersalah itu memilih untuk mengakhiri perjanjian itu. Oleh karena itu, jika pembeli itu menjual kembali barang itu sebelum perjanjian itu dibatalkan, pembeli berikutnya merupakan pemiliknya dan dapat mempertahankan haknya dengan ketentuan bahwa pembelian itu dilakukan dengan itikad baik.56

Meskipun pihak-pihak didalam persetujuan jual beli mempunyai kebebasan untuk membuat ketentuan tentang kewajiban yang hendak dibebankan kepada pembeli, namun isi dari persetujuan tidak boleh bertentangan dengan pasal 1339 KUHPerdata, yaitu tidak boleh bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Selain harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, menurut Pasal 1339 KUHPerdata juga disebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal- hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatuhan, kebiasaan atau undang-undang serta ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dalam hubungan ini, dapat dilihat bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Terhadap perjanjian formil bila tidak dipenuhi formalitasnya yang telah ditetapkan undang- undang maka perjanjian itu juga batal demi hukum.

56S.B. Marsh and J.Soulsby diterjemahkan oleh Abdulkadir Muhammad, Business Law Hukum Perjanjian, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal 96

(50)

Ketentuan mengenai wanprestasi tidak serta merta memutuskan perjanjian, hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor:

9/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah. Pada Bab XI Penyelesaian Perselisihan, angka ke 2 (dua) disebutkan “jika penyelesaian secara musyawarah tidak membawa hasil, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi melalui Badan Arbitrasi Nasional Indonesia (BANI)”. Apabila kita cermati ketentuan pasal di atas, pembatalan perjanjian secara sepihak oleh kreditur akibat adanya wanprestasi oleh debitur adalah tidak dibenarkan. Mekanisme pertama yang harus ditempuh untuk menyelesaikan perselisihan adalah melalui musyawarah, namun apabila dengan musyawarah tidak mampu menyelesaikan perselisihan, maka diperintahkan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui BANI.57

C. Isi/Klausul Jual Beli.

Isi perjanjian jual beli kavling secara umum tidak berbeda dengan isi perjanjian jual beli umumnya. Hanya saja proses jual belinya yang berbeda, yakni dapat dilaksanakan ketika telah diselesaikannya pembangunan perumahan sekurang- kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari rencana pembangunan perumahan di Lisiba.

Isi/klausul dalam perjanjian jual beli secara umum terbagi tiga yakni :

57http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=Dwi+Agus+Prianto&source=web&cd=1&ved=

0CEkQFjAA&url=http%3A%2F%2Flontar.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigital%2F131168- T%252027450-Analisis%2520yuridis-

Abstrak.pdf&ei=DkzPT5KyL46rrAeU87HVDQ&usg=AFQjCNFflUtBf82enC1TBRIn2kg8fVV4fQ&

cad=rja , diakses tanggal 6 Juni 2012

(51)

1. Bagian pembuka;

2. Bagian isi, dan 3. Bagian penutup

Hal – hal yang menjadi prinsip dasar mengenai PPJB adalah :58 1. Uraian obyek pengikatan jual – beli, meliputi :

a. Luas bangunan disertai dengan gambar arsitektur dan gambar spesifikasi teknis.

b. Lokasi tanah sesuai dengan pencantuman nomor kavling.

c. Mengenai luas tanah beserta perizinannya.

2. Kewajiban dan jaminan penjual

Pihak penjual wajib membangun dan menyerahkan unit rumah / kavling sesuai dengan yang ditawarkan kepada pembeli, sehingga PPJB menjadi pegangan hukum untuk pembeli.

3. Kewajiban bagi pembeli

Kewajiban pembeli adalah membayar cicilan rumah / kavling dan sanksi dari keterlambatan berupa denda. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995 menjelaskan bahwa besar denda keterlambatan adalah 2/1000 dari jumlah angsuran per hari keterlambatan.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) berisi kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan prestasi masing-masing dikemudian hari, yakni pelaksanaan jual beli antara developer (pelaku usaha) dan konsumen. Dokumen ini merupakan dokumen yang membuktikan adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual) antara developer (pelaku usaha) dan konsumen.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 disebutkan Perjanjian Pendahuluan Jual Beli” adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang. Perjanjian pendahuluan jual beli

58 Hukum Properti, http://www.hukumproperti.com/tag/perjanjian-pengikatan-jual-beli/, diakses pada tanggal 25 Mei 2012

Referensi

Dokumen terkait

Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan yang berada di BPLH Karawang dengan sampel mengambil 3 orang di UPTD Laboratorium untuk mewakili yang ahli di

("yang kami maksudkan dengan tindakan penyelamatan muka adalah tindakan yang "memberikan muka" kepada lawan tutur, yang berusaha untuk menangkal

Numeričke simulacije vlastitog pogona su provedene metodom s variranjem opterećenja vijka, tj. za željenu brzinu broda je procijenjen broj okretaja brodskog vijka te je broj

Data hasil analisis pengaruh berbagai jenis pestisida nabati terhadap jumlah imago yang hidup 8 MSI dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa berbagai

Kedua, pembaharuan pembuktian dalam alat bukti dalam penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dimasa yang akan datang dapat dilakukan, seperti LHA

Agar budaya sosialisi di dunia nyata tidak berkurang intensitasnya” Maharina mengharapkan peran bijak user dalam bermedia sosial, bahwa ia jangan digunakan secara berlebihan,

merupakan salah satu atribut produk yang.. dievaluasi konsumen saat membeli. Merk sebuah atribut dalam hirarki yang mesti bersaing dengan atribut-atribut lain dalam