• Tidak ada hasil yang ditemukan

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

POLICY

BRIEF

Ringkasan

Eksekutif

Peraturan Menteri Kehutanan No.57/Menhut-II/2008 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SARK) orangutan Indonesia 2007-2017 menyatakan bahwa orangutan hasil tangkapan yang ada di pusat rehabilitasi harus dilepasliarkan untuk meningkatkan populasinya di alam. Namun seringkali program pelepasliaran mengalami kegagalan karena habitat barunya tidak mampu mendukung proses adaptasi dan perkembangan kehidupan orangutan. Penyusunan kriteria ini dimaksudkan untuk menjadi bahan acuan kebijakan dalam penyempurnaan peraturan tersebut dan mengevaluasi program pelepasliaran orangutan di TN. Bukit Tigapuluh (TNBT).

Pengumpulan data dilakukan dengan cara review dan study of the art terhadap terhadap

hasil-hasil penelitian dan berbagai literatur terkait dengan analisis menggunakan

indeks HSI (Habitat Suitability Index) dan secara deskriptif. Kriteria yang dapat

menjadi bahan acuan dalam pemilihan lokasi pelepasliaran satwaliar, terutama orangutan sedikitnya terdapat 18 kriteria yang meliputi aspek ekologi, aspek sosial dan aktivitas masyarakat serta aspek kelembagaan. Aspek ekologi meliputi 11 kriteria dengan bobot/nilai 60%, aspek sosial masyarakat meliputi 5 kriteria dengan bobot 30 % dan aspek kelembagaan meliputi 2 kriteria dengan bobot 20%. Kriteria tersebut diantaranya adalah status kawasan, habitat, kerapatan vegetasi, pohon pakan, ancaman perburuan, aktivitas masyarakat dan manajemen kawasan. Hasil analisis HSI di TNBT secara keseluruhan dari tiga aspek (ekologi, sosial dan kelembagaan) diperoleh nilai rata-rata nilai HSI sebesar 56,3% yang berarti kawasan TNBT termasuk kurang sesuai untuk lokasi pelepasliaran orangutan, dibawah 60%. Rekomendasi untuk meningkatkan keberhasilan program pelepasliaran adalah penetapan lokasi harus berdasarkan hasil

Volume 11 No. 05 Tahun 2017

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM

Wanda Kuswanda

Kriteria Penilaian Cepat Kesesuaian Habitat Untuk Lokasi

Pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson):

Taman Nasional Bukit Tigapuluh

(2)

Pernyataan Masalah

Orangutan Sumatera (Pongo abelii) telah

dilindungi oleh undang-undang dan telah dijadikan simbol pelestarian hutan di Indonesia (Departemen Kehutanan,

1990). Pada daftar IUCN Red List of

T h re a t e n e d S p e c i e s Ta h u n 2 0 0 2 , orangutan Sumatera dikategorikan sebagai satwa yang kritis terancam punah

secara global (critically endangered).

P e r a t u r a n M e n t e r i K e h u t a n a n No.57/Menhut-II/2008 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SARK) o r a n g u t a n I n d o n e s i a 2 0 0 7 - 2 0 1 7 menyatakan bahwa untuk meningkatkan populasi orangutan di alam liar dapat d i l a k u k a n m e l a l u i p e l e p a s l i a r a n kembali/reintroduksi orangutan hasil rehabilitasi. Namun demikian, pada Peraturan tersebut secara tertulis belum disusun kriteria dan indikator untuk menilai kelayakan suatu kawasan sebagai calon atau lokasi pelepasliaran secara konprehensif berdasarkan kajian ilmiah. Padahal kriteria dan indikator tersebut s a n g a t p e n t i n g a g a r p r o g r a m p e l e p a s l i a r a n s a t w a , k h u s u s n y a orangutan dapat berhasil.

Permasalahan saat ini yang terjadi adalah banyak orangutan yang dilepasliarkan mati atau gagal sebagai akibat tidak

mampu atau sulit beradaptasi dengan habitat barunya, seperti di Kawasan Bohorok, TN. Gunung Leuser dan TN. Bukit Tigapuluh (TNBT). Walaupun program reintroduksi orangutan telah banyak dilakukan, sejak tahun 1970 an, masih dinilai kurang berhasil karena pertumbuhan populasi orangutan tidak sesuai dengan harapan. Disisi lain juga, semakin banyaknya orangutan yang diserahkan oleh masyarakat, hasil sitaan Polisi Kehutanan maupun orangutan binaan hasil rehabilitasi yang sudah siap dilepasliarkan, akan tetapi sering mengalami kesulitan dalam penentuan area yang sesuai dan diharapkan mampu mendukung proses adaptasi dan breeding bagi orangutan.

Untuk mendukung keberhasilan program pelepasliaran orangutan dan sebagai bahan masukan untuk evaluasi Peraturan Menteri Kehutanan No.57/Menhut-I No.57/Menhut-I / 2 0 0 8 y a n g s e d a n g d i b a h a s d i Kementerian LH dan Kehutanan untuk tahun 2017-2027, maka dibutuhkan kriteria dan indikator untuk penilaian calon lokasi maupun strategi peningkatan kesesuaian habitat pada area lokasi pelepasliaran yang sudah ada, seperti di TNBT.

kajian ilmiah, nilai HSI kawasan minimal 70-80%, habitat baru atau kawasan yang menjamin tidak adanya interaksi antara orangutan, pemanfaatan ekowisata terbatas, membangun komitmen para pihak dan menyempurnakan Permenhut N o . 5 7 / M e n h u t - I I / 2 0 0 8 . I m p l i k a s i kebijakan untuk peningkatan kesesuaian

habitat di TNBT adalah pengkayaan habitat dengan pohon pakan orangutan, membentuk Tim Unit Monitoring Orangutan, pengembangan alternatif sumber ekonomi masyarakat, seperti peternakan dan lebah madu, sosialisasi dan peningkatan SDM petugas untuk penanggulangan konflik orangutan.

(3)

A. Ambang Kepunahan Orangutan

Orangutan menyukai hutan hujan tropis, terutama hutan dataran rendah sebagai tempat hidupnya. Orangutan umumnya hanya mampu bertahan hidup dan berkembangbiak pada habitat tropis yang masih primer. Pemanfaatan kawasan hutan hujan tropis, seperti di Pulau Sumatera yang tidak memperhatikan prinsip keseimbangan ekosistem tentunya berdampak sangat buruk bagi kehidupan orangutan. Penyusutan dan kerusakan kawasan hutan tropis di Sumatera telah menurunkan luasan habitat orangutan sebesar 1-1,5% per tahunnya sehingga populasinya semakin terancam punah. Saat ini kerusakan hutan tropis di Sumatera sangat mengkwatirkan, baik di dalam maupun di luar kawasan lindung, yang telah mencapai lebih dari 60% sampai tahun 2010.

Orangutan adalah primata jenis kera besar Asia yang penyebarannya hanya tersisa di Indonesia dan terbatas di Pulau Sumatera

(Pongo abelii Lesson) dan Kalimantan

(Pongo pygmaeus Linnaeus). Orangutan adalah satwaliar yang menarik sehingga banyak diburu dan dijadikan binatang peliharaan. Populasi orangutan dalam 30 tahun terakhir terus berkurang karena u p a y a u n t u k m e n g h e n t i k a n l a j u k e r u s a k a n h u t a n s e b a g a i h a b i t a t o r a n g u t a n m a s i h k u r a n g e f e k t i f . P e m b u r u a n l i a r u n t u k k e b u t u h a n subsistensi atau religius, perdagangan satwaliar dan konversi hutan untuk perkebunan, pertanian, dan industri pun t e r u s m e n j a d i a n c a m a n b a g i kelangsungan hidup orangutan.

Fakta atau

Kondisi Saat ini

Saat ini, orangutan sudah berada di ambang kepunahan. Degradasi dan fragmentasi hutan sebagai habitat orangutan masih sulit untuk dihentikan. Perlindungan terhadap habitat orangutan d i d a l a m m a u p u n l u a r k a w a s a n konservasi masih sangat rendah. Begitu pula, upaya program pelepasliaran orangutan masih jauh dari berhasil. Apabila degradasi hutan terus berlanjut seperti saat ini dan upaya konservasi orangutan masih dilakukan setengah hati maka orangutan sumatera mungkin menjadi kera besar pertama yang akan punah dari alam liar.

B. Kehidupan Orangutan

Orangutan sebenarnya bukan merupakan s a t w a a s l i I n d o n e s i a . O r a n g u t a n diperkirakan berasal dari daratan Asia, di sepanjang Pegunungan Himalaya. Orangutan diperkirakan telah bermigrasi ke Daratan Sunda sekitar 2 juta-22,000 tahun yang lalu. Orangutan di sebagian dataran Asia diperkirakan punah sekitar Abad ke-16 dan satu-satunya populasi yang tersisa sampai awal Abad ke-20 adalah populasi orangutan di Sumatera dan Kalimantan.

Orangutan Sumatera berwarna lebih merah dan cerah dibanding orangutan Kalimantan dan kadang-kadang terdapat warna putih pada bagian muka. Pada

jantan dewasa memiliki cheek pad dan

kantung suara yang kecil, warna janggut agak kekuningan dan wajah berbentuk berlian. Orangutan betina berkisar 35-55 kg sedangkan yang jantan berkisar 85-110 kg. Orangutan betina diperkirakan pertama melahirkan setelah berumur 14 tahun dan terakhir melahirkan

(4)

diperkirakan setelah berumur 43-50 tahun. Jarak kelahiran pada orangutan berkisar antara 8-10 tahun atau rata-rata 9 tahun. Diperkirakan selam hidupnya orangutan hanya mampu melahirkan 4-5 kali dan umumnya hanya satu anak setiap melahirkan.

C. Populasi dan Habitat Orangutan Tersisa

Populasi orangutan Sumatera pada tahun 2004 diperkirakan sekitar 7.500 ekor (PHVA, 2004) dan pada tahun 2007 diduga berkurang menjadi 6.667 ekor. Populasi tersebut saat ini tersebar pada berbagai habitat yang terisolasi oleh kehidupan manusia. Populasi orangutan yang diperkirakan lebih dari 1.000 ekor d a l a m s a t u h a b i t a t y a n g berkesinambungan hanya terdapat di Propinsi Aceh (bagian Utara – Timur), Leuser bagian Barat dan Bagian Timur. Pada habitat lainnya, seperti di Hutan Batang Toru, yang diduga secara genetik lebih mirip orangutan Kalimantan, populasinya di bawah 400 ekor sehingga dikhawatirkan akan cepet mengalami kepunahan lokal.

Sebaran orangutan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas komponen habitatnya. Habitat orangutan tersisa saai ini diperkirakan tersisa sekitar 8.900 km2. Orangutan cenderung menempati hutan dataran rendah karena pohon-pohonnya menyediakan sumber pakan buah yang merupakan makanan utamanya. Namun untuk orangutan Sumatera banyak pula yang hidup dan menempati habitat dataran tinggi (lebih dari 1000 m dpl), seperti di kawasan Hutan Batang Toru. Pada habitat alaminya, orangutan

merupakan satwaliar tipe pengumpul atau p e n c a r i m a k a n a n y a n g o p o r t u n i s ( m e m a k a n a p a s a j a y a n g d a p a t diperolehnya). Distribusi jumlah dan kualitas makanan, terutama buah-buahan sebagai makanan pokok orangutan sangat mempengaruhi perilaku pergerakan, kepadatan populasi dan organisasi sosialnya.

D. Perilaku Orangutan

Orangutan merupakan satwaliar diurnal (aktif siang hari) yang hidup dan mencari makan pada tajuk pohon (arboreal). Orangutan Sumatera jarang atau mungkin tidak pernah ditemukan mencari makan di atas permukaan tanah. Makanan utama orangutan buah, daun atau pucuk daun, umbut, kulit kayu. Pergerakan orangutan dari suatu pohon ke pohon yang lainnya dalam mencari makan sering dilakukan d e n g a n c a r a b e r a y u n d e n g a n menggunakan cabang-cabang pohon yang kuat untuk menyangga tubuhnya. Orangutan mempunyai arena sosial dalam sisitem perkawinannya. Arena sosial ini biasanya terdapat pada habitat yang k e a n e k a r a g a m a n d a n j u m l a h makanannya tertinggi. Pemerkosaan sering terjadi pada betina pra dewasa dan dewasa muda yang baru bertemu atau bertemu lagi setelah lama berpisah dengan jantan remaja atau dewasa. Perilaku sosial yang sering dilakukan terutama pada individu dewasa adalah b e r s u a r a . S a a t m e r a s a t e rg a n g g u orangutan membuat bunyi kecupan dan dengusan sambil mematah-matahkan ranting/dahan. Orangutan selalu membuat sarang baru setiap hari. Orangutan membuat sarang dari ranting-ranting yang daunnya masih segar dengan

(5)

cara mematahkan dan menumpukan daun-daunnya.

E. Program Pelepasliaran Orangutan

Program rehabilitasi dan reintroduksi o r a n g u t a n h a s i l t a n g k a p a n t e l a h dilakukan Sejak 1973, seperti di Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser. Namun berbagai program pelepasliaran seringkali dinilai kurang berhasil karena kekurangtepatan dalam

memilih lokasi untuk pelepasliaran. Kasus di TNBT yang sudah berjalan dari tahun 2002 diperkirakan hanya 65% individu yang mampu bertahan hidup dan yang lainnya mengalami kesulitan beradaptasi bahkan kematian. Data tahun 2015 menunjukan bahwa dari sekitar 150 an orangutan yang dilepasliarkan di TNBT hampir 50% tidak terpantau keberadaannya dan lebih dari 20 individu dinyatakan gagal dan mati.

Metode kesesuaian habitat lokasi pelepasliaran

orangutan di TNBT sehingga diperoleh r e k o m e n d a s i u n t u k m e n g e v a l u a s i p e n g e l o l a a n u n t u k m e n d u k u n g keberhasilan program pelepasliaran orangutan. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan selanjutnya ditabulasi dalam bentuk tabel yang berisikan tentang kriteria dan indikator untuk penilaian cepat calon lokasi pelepasliaran maupun a r e a y a n g s u d a h m e n j a d i l o k a s i pelepasliaran, dengan studi kasus di TNBT. Penilaian tingkat kesesuaian habitat dianalisis menggunakan nilai HSI

(Habitat Suitability Index) dengan kriteria : a) habitat sangat sesuai apabila nilai HSI > 80%, b) sesuai 60-80% dan c) kurang sesuai <60%.

Penyusunan kriteria dan indikator penilaian cepat kesesuaian habitat sebagai calon atau yang sudah menjadi lokasi pelepasliaran orangutan dilakukan dengan cara review dan study of the art

terhadap hasil-hasil penelitian penulis dan berbagai literature terkait, seperti journal penelitian, buku teks dan penelusuran i n t e r n e t s e r t a p u b l i k a s i l a i n n y a . Penyusunan kriteria dan indikator dibagi menjadi tiga aspek yang secara umum merupakan aspek penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan satwa liar yang meliputi aspek ekologi/habitat, s o s i a l e k o n o m i m a s y a r a k a t d a n kelembagaan

Kriteria dan indikator yang telah disusun, selanjutnya diaplikasikan untuk menilai

(6)

Pilihan dan

Rekomendasi

kebijakan

A. Kriteria dan Indikator Penilaian C e p a t K e s e s u a i a n H a b i t a t Pelepasliaran Orangutan

Penyusunan kriteria dan indikator meliputi tiga aspek utama yang meliputi aspek ekologi, aspek sosial dan aktivitas masyarakat serta aspek kelembagaan. Aspek ekologi meliputi 11 kriteria dengan bobot 60%, aspek sosial masyarakat meliputi 5 kriteria dengan bobot 30 % dan Aspek kelembagaan meliputi 2 kriteria dengan bobot 20%. Kriteria dan indikator tersebut sebagai berikut :

1. Aspek Ekologi

Aspek ekologi dinilai merupakan aspek y a n g c u k u p p e n t i n g y a n g a k a n menentukan pertumbuhan populasi satwaliar di alam, terutama orangutan. Kriteria dan indikator pada aspek ekologi adalah :

No Kriteria

Bobot

(%) Indikator/ (Parameter) Nilai 1 Status kawasan hutan 5 a. Hutan konservasi 7 b. Hutan lindung 5 c. Hutan produksi 3 d. APL/ Lahan budidaya 1 2 Kondisi

habitat

5 a. Baru (bukan habitat

orangutan) 5

b.Berdekatan dengan habitat

alami 3

c. Habitat alami (terdapat orangutan liar) 2 3 Tipe

penutupan lahan

5 a. Hutan primer 7 b. Hutan campuran (primer dan sekunder) 5 c. Hutan sekunder/sisa penebangan 3 d. Kebun campur 1 4 Tipe ekosistem hutan

5 a. Hutan dataran rendah (< 600 meter dpl) 7 b. Hutan Sub Pengunungan (600-900 meter dpl) 5 c. Hutan Pengunungan (900-1.200 meter dpl) 3 c. Hutan dataran tinggi

(>1.200 meter dpl) 1 5 Luasan kawasan hutan 5 a. Diatas 50.000 ha (500 km2) 7 b. 35.000-50.000 ha 5 c. 20.000-35.000 ha 3 d.< 20.000 ha (200 km2) 1 6 Kerapatan vegetasi tingkat pohon (diameter pohon > 10 cm) 5 a. Diatas 400 ind/ha 7 b. 300 - 400 ind/ha 5 c. 200 - < 300 ind/ha 3

d. Kurang dari 200 ind/ha 1 7 Kerapatan tumbuhan pakan (diameter pohon > 10 cm) 10 a. Diatas 280 ind/ha 7 b.200 - 280 ind/ha 5 c. 120 - < 200 ind/ha 3

d. Kurang dari 120 ind/ha 1

8 P ersentase jenis tum buhan pakan

5 a. D iatas 60% dari total jenis vegetasi 5 b. 40 - 60% dari total jenis vegetasi 3 c. K urang dari 40% dari total jenis vegetasi 1 9 Jenis pohon

sarang

5 a. D iatas 40% dari total jenis vegetasi 5 b. 20 - 40% dari total jenis vegetasi 3 c. K urang dari 20% dari total jenis vegetasi 1 10 Jenis pohon

sum ber obat orangutan

5 a. Sangat T inggi (diatas 8

jenis) 7 b.T inggi (6 - 8 jenis) 5 c. Sedang (3 - 5 jenis) 3 d. R endah (2 jenis) 1 11 P eluang persaingan (intra m aupun antar spesies)

5 a. T idak ada/rendah (dengan 1 spesies) 5 b. A da/sedang (2 spesies) 3 c. T inggi (3 spesies atau

lebih) 1

2. Aspek Sosial dan Ekonomi Masyarakat A s p e k i n i s a n g a t p e n t i n g u n t u k dipertimbangkan karena sampai saat ini hampir seluruh kawasan hutan masih merupakan sumber kehidupan manusia, terutama bagi masyarakat tradisional atau pedesaan. Berbagai kriteria yang termasuk dalam aspek kehidupan dan sosek masyarakat sebagai berikut :

No Kriteria

Bobot

(%) Indikator/ (Parameter) Nilai 1 Ancaman

Perburuan Satwa

5 a. Tidak ditemukan aktivitas perburuan satwa 7 b. Rendah (Ditemukan 1

aktivitas perburuan per tahun) 5 c. Sedang (Ditemukan 2 aktivitas perburuan per tahun) 3 d. Tinggi (Ditemukan > 2

aktivitas perburuan per tahun) 1 2 Ancaman

Perubahan habitat

10 a. Tidak ada (tidak ada aktivitas masyarakat di kawasan) 7 b. Rendah (ditemukan bekas penebangan liar skala kecil) 5 c. Sedang (ditemukan bekas

penebangan liar skala kecil) 3 d. Tinggi (ditemukan bekas

aktivitas perambahan hutan) 1 3 Ancaman aktivitas

masyarakat

5 a. Tidak ada masyarakat

beraktivitas dalam kawasan 7 b. Rendah (1-2 kali per bulan memasuki kawasan) 5 c. Sedang (3-4 kali per bulan memasuki kawasan) 3 d. Tinggi (Banyak masyarakat beraktivitas kawasan) 1 4 Potensi konflik 5 a. Tidak ditemukan konflik

manusia dengan satwa 5 b. Terdapat indikasi/peluang

konflik 3

c. Sudah terjadi konflik manusia dengan satwa 1 5 Persepsi

masyarakat/kelem bagaan terkait

5 a. Tinggi (Lebih dari 60% setuju program pelepasliaran) 5 b. Ragu-ragu (hanya 40-60% masyarakat yang setuju) 3 c. Tidak setuju (kurang dari 40% masyarakat yang setuju) 1

B. Kesesuaian Habitat TNBT sebagai Lokasi Pelepasliaran

Hasil analisis HSI di TNBT diperoleh untuk ekologi sebesar 0,718 atau 71,8%, aspek sosek dan aktivitas ancaman masyarakat sebesar 23,8% dan dari aspek kelembagaan sebesar 75,0%. Secara

(7)

keseluruhan dari tiga aspek tersebut maka diperoleh nilai rata-rata nilai HSI sebesar 56,3% yang berarti kawasan TNBT termasuk kurang sesuai untuk lokasi pelepasliaran orangutan, dibawah 60%, seperti disajikan pada Lampiran 1.

Secara ekologi dinyatakan bahwa k a w a s a n T N B T s e s u a i u n t u k pelepasliaran orangutan. Hal ini didukung karena TNBT merupakan hutan konservasi, habitat baru bagi orangutan, hutan dataran rendah dan luas kawasan yang cukup besar. Namun demikian, untuk meningkatkan kesesuaian habitat (nilai HSI >80) perlu dilakukan upaya peningkatan daya dukung habitat. Kriteria lain, seperti kerapatan dan p e r s e n t a s i j e n i s t u m b u h a n p a k a n danpohon sarang yang secara spesifik dibutuhkan oleh orangutan masih rendah dibandingkan pada habitat alaminya. Peningkatan kualitas dan kuantitas pohon pakan melalui program pengkayaan h a b i t a t p e r l u m e n j a d i p r i o r i t a s dilaksanakan terutama pada area yang terdegradasi atau yang sudah menjadi lahan perkebunan. Program ini bertujuan j u g a u n t u k m e n g u r a n g i p e l u a n g persaingan pakan dengan jenis primata lain yang secara alami sudah menghuni kawasan TNBT, seperti siamang, owa, beruk dan monyet.

Berdasarkan aspek sosek dan aktivitas ancaman masyarakat dinyatakan kawasan TNBT sangat tidak sesuai untuk lokasi pelepasliaran orangutan. Masih banyak ditemukannya aktivitas masyarakat, seperti perambahan dan pembukaan perkebunan, perburuan satwa liar dan terjadinya konflik orangutan yang tinggi akan berpengaruh negatif terhadap proses adaptasi dan dapat menjadi sumber penyakit bagi orangutan rehabilitasi yang ditularkan oleh manusia. Kawasan TNBT merupakan tempat tinggal dan sumber kehidupan masyarakat tradisional, seperti Suku Talang Mamak dan Suku Melayu, yang secara turun termurun hidup nomaden dan mamanfaaatkan hasil hutan, seperti jernang, jengkol dan durian

sebagai sumber kehidupannya. Kriteria aspek ini yang memiliki nilai tinggi hanya p e r s e p s i d a r i m a s y a r a k a t d a n kelembagaan terkait yang setuju adanya program pelepasliaran orangutan dengan catatan dapat dikembangkan menjadi obyek dan destinasi ekowisata sehingga a k a n m e n j a d i a l t e r n a t i f s u m b e r pendapatan bagi masyarakat lokal.

Dari aspek kelembangaan dinyatakan bahwa kawasan TNBT sesuai untuk lokasi pelepasliaran orangutan. Secara kelembagaan kawasan TNBT sudah dikelola oleh UPT dari Kementerian LH dan Kehutanan dan berbagai lembaga terkait akan mendukung program ini apabila dikelola secara manajemen kolaboratif. Kondisi ini dapat menjadi k e k u a t a n d a n p e l u a n g u n t u k memudahkan dalam mengembangkan program pelepasliaran secara terpadu di masa mendatang. Berdasarkan analisis HSI secara keseluruhan dari ketiga aspek tersebut dinyatakan bahwa kawasan TNBT kurang sesuai sebagai lokasi pelepasliaran orangutan sehingga perlu a d a p r o g r a m u n t u k p e n i n g k a t a n kesesuaian habitatnya.

C. Rekomendasi

U n t u k m e n i n g k a t k a n p e l u a n g keberhasilan program pelepasliaran satwaliar, baik untuk tujuan konservasi m a u p u n d i m a n f a a t k a n u n t u k pengembangan ekowisata pada hutan konservasi, terutama orangutan direkomendasikan sebagai berikut : 1. Penetapan area untuk pelepasliaran

satwa liar, terutama orangutan harus dikaji secara cermat dan berdasarkan informasi ilmiah, baik potensi ekologi, kondisi kehidupan dan sosial ekonomi m a s y a r a k a t s e t e m p a t m a u p u n k e l e m b a g a a n y a n g a k a n mengelolanya.

2. Area yang akan dipilih sebagai lokasi pelepasliaran minimal memiliki nilai HSI di atas 70-80 % untuk lebih memudahkan orangutan beradaptasi dan mendukung proses

(8)

perkembangbiakannya.

3. Apabila kesulitan mencari habitat baru (belum terdapat jenis satwa yang akan dilepasliarkan), setidaknya dapat d i p i l i h k a w a s a n h u t a n y a n g berdekatan namun memiliki rentan jarak di atas 8-10 km atua dapat menjamin tidak adanya interaksi antara satwa yang dilepasliarkan dengan yang hidup alami.

4. Apabila lokasi pelepasliaran akan dimanfaatkan sebagai destinasi ekowisata maka harus dipilih model ekowisata sangat terbatas untuk menjamin tidak adanya interaksi langsung antara orangutan dengan pegunjung untuk meminimalisasi p e n y e b a r a n p e n y a k i t d a n ketergantungan orangutan pada manusia.

5. Kementerian LH dan Kehutanan mendorong komitmen para pihak terkait, tingkat nasional maupun d a e r a h , u n t u k m e m b a n g u n m a n a j e m e n k o l a b o r a t i f k a r e n a pelaksanaan pelepasliaran tidak bisa dilakukan oleh satu kelembagaan dan membutuhkan anggaran biaya yang b e s a r d a n b e r k e s i n a m b u n g a n . Kesamaan komitmen pihak sangat penting karena permasalahannya bukan hanya pada orangutan itu sendiri tetapi juga menyangkut kehidupan masyarakat sekitar hutan. 6 . K r i t e r i a d a n i n d i k a t o r d i a t a s

diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dalam menyempurnakan P e r a t u r a n M e n t e r i K e h u t a n a n No.57/Menhut- I I /2008 tentang strategi dan rencana aksi konservasi (SARK) orangutan Indonesia

2007-2017 agar lebih mudah diaplikasikan petugas di lapangan.

7. Pelaksanaan program pelepasliaran orangutan di TNBT perlu dikaji ulang u n t u k m e m i n i m a l i s a s i p e l u a n g kematian atau gagal setelah orangutan dilepasliarkan. Apabila program p e l e p a s l i a r a n o r a n g u t a n a k a n d i l a n j u t k a n m a k a p e r l u pengembangan program pendukung yang lebih optimal, seperti :

a. Pengkayaan habitat dan jenis

p a k a n u n t u k m e n g u r a n g i orangutan yang keluar dari kawasan TNBT untuk mencari m a k a n s e h i n g g a t i d a k menimbuklakn konflik dengan masyarakat.

b. Peningkatan alternative sumber

pendapatan masyarakat untuk mengurangi perambahan untuk dijadikan kebun sawit dan karet yang membutuhkan lahan yang l u a s , s e p e r t i p e t e r n a k a n , perikanan, lebah madu dan ekowisata.

c. Membentuk Unit Khusus untuk monitoring dan penanggulangan konflik orangutan. Peningkatan jumlah pengawas juga penting agar monitoring orangutan lebih optimal.

d. Sosialisasi gabungan antara pihak T N B T dengan F Z S kepada masyarakat dan Pembentukan pos jaga pengaduan konflik orangutan e. Pelatihan untuk peningkatan SDM p e t u g a s t e r k a i t m i t i g a s i p e n a n g g u l a n g a n k o n fl i k satwaliar, khususnya orangutan.

(9)

1. Pemberdayaan masyarakat sekitar h u t a n b u k a n s e m a t a - m a t a pemberdayaan ekonomi semata, tetapi j u g a p e m b e r d a y a a n s o s i a l d a n sekaligus pemberdayaan lingkungan. Dalam prakteknya motif-motif ekonomi mempunyai banyak benturan dengan motif lingkungan, sehingga tugas yang diemban KLHK menjadi lebih berat dibanding kegiatan-k e g i a t a n p e m b e r d a y a a n p a d a umumnya, sehingga dukungan dari Pemerintah Daerah dan Kementerian t e r k a i t ( K e m e n t e r i a n D e s a , K e m e n t e r i a n P e r i n d u s t r i a n , Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Dalam Negeri) menjadi penting.

2. Program perhutanan sosial yang dipilih masyarakat tidak sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi serta b i o fi s i k m a s y a r a k a t s e t e m p a t . Masyarakat harus diberi informasi yang benar terkait karakteristik berbagai program Perhutanan Sosial yang ada agar bisa memilih program yang tepat.

3. Diperlukan kehati-hatian dalam alokasi PIAPS di hutan produksi konversi, k a r e n a a k a n m e n i m b u l k a n kecemburuan sosial di PIAPS di kawasan hutan lainnya ketika terjadi pelepasan kawasan hutan. Lokasi P I A P S sebagian besar di hutan

lindung dan hutan produksi terbatas sehingga perlu dipastikan program Perhutanan Sosial yang dipilih aturan pemanfaatan hutannya disesuaikan dengan fungsi kawasan. Selain itu pemerintah juga perlu memerhatikan sebaran lokasi PIAPS (sporadis/ tidak kompak), lokasi P I A P S yang diajukan di luar kawasan hutan yang

telah digarap, dan kawasan high

conservation value forest (HCVF). 4. Selama ini aturan terdapat perbedaan

aturan perhutanan sosial di masing-masing fungsi hutan. Hutan lindung dan hutan konservasi mempunyai banyak larangan yang membatasi masyarakat mengelola hutannya, perlu ada insentif untuk menjamin masyarakat taat pada aturan tersebut. 5 . U n t u k m e m a s t i k a n p r o g r a m

perhutanan sosial tepat sasaran perlu dibuat kriteria dan verifier seperti terlihat pada Tabel 4 berikut.

No Kriteria Verifier 1. Tinggal di sekitar kawasan hutan KTP setempat 2. Bermukim di dalam kawasan hutan

Riwayat penggarapan kawasan hutan (umur tanaman berkayu)

Pernah terdata dalam survei yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan/ KPH/ UPT KLHK

3. Tergantung pada SDH Sebagian besar pendapatannya dari usaha tani di dalam kawasan hutan Tidak mempunyai mata pencaharian lain yang kontinyu

4. Aktivitasnya berpengaruh terhadap ekosistem hutan

Perubahan kawasan hutan berubah menjadi lahan garapan

Tabel 4. Kriteria dan Verifier Sasaran Program Perhutanan Sosial

Pilihan dan

Rekomendasi

Kebijakan

Rujukan

Untuk

Konsultasi

Wanda Kuswanda (wkuswan@yahoo.com; wkuswan@gmail.com), 082165986846

Peneliti Utama pada Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli

Referensi

Alikodra, H. S. 2010. Teknik pengelolaan satwaliar d a l a m r a n g k a m e m p e r t a h a n k a n keanekaragaman hayati Indonesia. Edisi ke-2. IPB Press. Bogor. Hal 1- 270.

Ancrenaz, M. 2004. Orangutan nesting behavior in disturbed forest of Sabah, Malaysia : Implications for nest sensus. Journal Primatol 25 (5) : 983- 1000.

Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh. 2014. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Kementerian Kehutanan. Rengat.

Bismark, M. dan Sawitri, R. 2014. Nilai Penting Taman Nasional. FORDA PRESS. Bogor. Hal 1-307. Campbell-Smith, G., Campbell-Smith, M., Singleton

and I., Linkie, M., 2011. Apes in space: saving an imperilled orangutan population in Sumatera. PLoS ONE 6,e17210.

Departemen Kehutanan. 1999. Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan, tanggal 30 September

1999. Departemen Kehutanan. Jakarta Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana

Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007- 2017. Departemen Kehutanan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam. 2006. Kebijakan dan strategi pemerintah dalam konservasi in-situ orangutan Sumatera. Makalah pada Lokakarya ”Masa Depan Orangutan dan Pembangunan di Kawasan Hutan DAS Batang Toru”, 17-18 Januari 2006. Sibolga. Djojoasmoro, R., C.N. Simanjuntak, B.M.F. Galdikas

a n d T. Wi b o w o . 2 0 0 4 . O r a n g u t a n Distribution in North Sumatera. Jurnal Primatologi Indonesia 4(1): 2-6.

Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika :Membicarakan alam ekologi tropika Afrika, Asia, Pasifik, dan Dunia Baru. Terjemahan Usman Tabuwidjaja. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

(10)

Kawasan TNMB dan TNAP Yang Terganggu Satwaliar Terhadap Konservasi Banteng. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 12 No.2. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Ginting, Y. WSB. 2006. Studi Reintroduksi orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson) yang Dikembangkan di Stasion Karantina Medan dan di Stasiun Reintrodeksi Jambi. Skripsi Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Grundmann, E. (2006). Back to the wild: will re-introduction and rehabilitation help the long-t e r m c o n s e r v a long-t i o n o f o r a n g u long-t a n s i n Indonesia? Social Sciences Information, 45(2), 265–284.

Hardus M E, AR Lameira, SBJ Menken, SA Wich.2012. Effects of logging on orangutan behavior. B i o l o g i c a l C o n s e r v a t i o n 1 4 6 ( 2 0 1 2 ) 1 7 7 – 1 8 7 . j o u r n a l h o m e p a g e : www.elsevier.com/ locate/biocon.

IUCN. 2002. 2002 IUCN Red List of Threatened Species. http ://www.redlist.org/. Diakses tanggal 15 Pebruari 2005.

Kelle D, Fechter D, Singer A, Pratje PH, Storch I. 2013. Determining sensitive parameters for the population viability of reintroduced Sumatran orangutans (Pongo abelii). Int J Primatol. doi 10.1007/s1076401396712.

K u s w a n d a , W . 2 0 0 7 . A n c a m a n Te r h a d a p Kelangsungan Hidup Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. IV No. 4. Departemen Kehutanan.

Kuswanda, W. 2014. Orangutan Batang Toru : Kritis diambang Punah. Forda Press. Bogor Marshall, A.J., Lacy, R., Ancrenaz, M., Byers, O.,

Husson, S.J., Leighton, M., Meijaard, E., Rosen, N., Singleton, I., Stephens, S., Traylor-Holzer, K., Utami Atmoko, S.S., van Schaik, C.P., Wich, S.A., 2009. Orangutan population biology, life history, and conservation. In: r a n g u t a n s : G e o g r a p h i c Va r i a t i o n i n Behavioral Ecology and Conservation. Oxford Univ. Press, New York, pp. 311–326. Meijaard, E., H.D. Rijksen dan S.N. Kartikasari. 2001.

Diambang kepunahan ! : Kondisi orangutan liar di awal abad ke – 21. Publikasi The Gibbon Foundation Indonesia. Jakarta. Hal.: 1-389.

Population and Habitat Viability Assessment. 2004. Orangutan. Laporan Akhir Workshop tanggal 15-18 Januari 2004. Jakarta.

Pratsetyo, D., M. Ancrenaz, C. Helen, Morrogh-Bernard, S.S.U. Atmoko, S.A. Wich and C.P. van Schaik. 2009. Nest building in Orangutan dalam Orangutans Geographic Variation in Behavioral Ecology and Conservation. Oxford University Press. New York.

Sinaga, T. 1992. Studi Habitat dan Perilaku Orangutan (Pongo abelii) di Bohorok Taman Nasional Gunung Leuser. Thesis Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan

Siregar, J. P. 2015. Tingkat Keberhasilan Pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson 1827) Ex-captive di Pusat Reintroduksi Orangutan Sumatera Provinsi Jambi. Thesis Institut Pertanian Bogor. Bogor

Sudirman, S dan G.L. Shapiro. 2007. Mengenal Orangutan Sumatera. Sumatera Orangutan Consorsium. Jakarta.

Sugardjito, J. 1986. Ecological Constrains on the Behaviour of Sumatran Orangutan in the Gunung Leuser National Park, Indonesia. Thesis Utrecht.

Suporahardjo, 2005. Manajemen Kolaboratif : M e m a h a m i P l u r a r i s m e M e m b a n g u n Konsensus. Pustaka Latin. Bogor.

Suzuki, M. 1989. Socio-ecological studies of orangutans and primates in Kutai national Park, East Kalimantan in 1988-89. Overseas Res. Rep. of studies on Asian Non-Human Primates 7: 1-42.

Tirpak, JM., D. T.J. Farrand, F. R. Thomson, D. J. Twedt, C. Harles, K. Baxter, J. A. Fitzgerald and W. B. Vihlein. 2009. Assessing eco regional-scale habitat suitability index models for priority land bird. Journal of Wild Life Management 73 (8) : 1307-1315.

Van Noordwijk, M. A., Sauren, S. E. B., Nuzuar, Abulani, A., Morrogh-Bernard, H. C., Utami A t m o k o . 2 0 0 9 . D e v e l o p m e n t o f independence. In S. A. Wich, S. S. Utami Atmoko, T. Mitra Setia, & C. P. van Schaik (Eds.), Orangutans: Geographic variation in behavioral ecology and conservation Oxford University Press. Oxford: (pp. 189–203). van Schaik, C. 2006. Diantara Orangutan : Kera merah

dan bangkitnya kebudayaan manusia. Ya y a s a n P e n y e l a m a t a n O r a n g u t a n Kalimantan (BOS). Jakarta.

Van Schaik, C.P. van, 1996. Orangutan Rehabilitation. Hal. 264-268 dalam Schaik, C.P. van dan Supriatna, J. (eds). Leuser: A Sumatran Sanctuary. Yayasan Bina Sains Hayati Indonesia, Depok, Indonesia.

Wich, S., Riswan, J. Jonsen, J, Refisch dan C. Nellemann (Editor). 2011. Orangutan dan Ekonomi Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia. Alih Bahasa : Gunung Gea. UNEP. Penerbit Barragraphia. Hal : 1-83.

Wich, S.A. I. Singleton, M. G. Nowak, S. C. U. Atmoko, G. Nisam, S. M. Arif, R. H. Putra, R. Ardi, G. Fredriksson, G. Usher, D. L. A. Gaveau and H. S. Küh. 2016. Land-cover changes predict steep declines for the Sumatran orangutan (Pongo abelii). Sci. Adv. 2016; 2 : e1500789.

Wich, S.A., E. Meijaard, A.J . Marshall, S. Husson, M. Ancrenaz, R.C. Lacy, C.P. van Schaik, J. Sugardjito,T. Simorangkir, K.T. Holzer, M. Doughty, J. Supriatna, R. Dennis, M. Gumal, C.D. Knott and Ian Singleton. 2008. Review : Distribution and conservation status of the orang-utan (Pongo spp.) on Borneo and Sumatra: how many remain?. Oryx, 42(3): 329-339.

(11)

Hasil penilaian kesesuaian TNBT sebagai habitat pelepasliaran orangutan : A. Aspek Ekologi

No Kriteria Kawasan TNBT (Hasil

penelitian2015-2016) Nila i TN BT SI Value 1 Status kawasan hutan Hutan konservasi 7 0,090

2 Kondisi habitat Habitat baru 5 0,064

3 Tipe penutupan

lahan

Hutan campuran 5 0,064

4 Tipe ekosistem

hutan

Dominan hutan dataran rendah 7 0,090 5 Luasan kawasan hutan Luas TNBT sekitar 144 ribu ha 7 0,090 6 Kerapatan vegetasi tingkat pohon

Kerapatan vegetasi rata-rata 458,3 ind./ha

7 0,090

7 Kerapatan

tumbuhan pakan

Kerapatan tumbuhan pakan rata-rata 209,7 ind./ha

5 0,128

8 Persentase jenis

tumbuhan pakan

Persen jenis tumbuhan pakan sebanyak 110 jenis pakan dari 301 jenis vegetasi =36,5%

1 0,013

9 Jenis pohon sarang Persen jenis pohon sarang teridentifikasi sebanyak 76 jenis dari 301 jenis vegetasi =25,3%

3 0,038

10 Jenis pohon sumber obat orangutan

Teridentifikasi 3-5 jenis tumbuhan sumber obat, seperti torop.

3 0,038

11 Peluang persaingan (intra maupun antar spesies)

Ditemukan jenis primata lain pemakan daun dan buah, seperti siamang, monyet, beruk dan lutung

1 0,013

Lampiran

(12)

B.

Kehidupan dan Sosial Ekonomi

No

Kriteria

Kawasan TNBT (Hasil

penelitian2015-2016)

Nilai

TNB

T

SI

Value

1

Ancaman

Perburuan Satwa

Tinggi, diatas 2 laporan

per tahun

1

0,024

2

Ancaman

Perubahan

hutan/habitat

Ditemukan

aktivitas

perambahan

1

0,048

3

Ancaman aktivitas

masyarakat

Tinggi, banyak aktivitas

masyarakat

dalam

kawasan

zona

pemanfaatan, rimba dan

inti.

1

0,024

4

Potensi konflik

Sudah terjadi konflik

manusia dengan satwa,

termasuk orangutan

1

0,024

5

Persepsi

masyarakat/

kelembagaan

terkait

Tinggi: 77,8 % lembaga

terkait setuju program

pelepasliaran orangutan

5

0,119

C.

Aspek Kelembagaan

No

Kriteria

Kawasan TNBT (Hasil

penelitian2015-2016)

Nilai

TNBT

SI

Value

17

Peranan

kelembagaan

terkait

Sekitar 2-3 kelembagaan

sudah terlibat namun

lebih

dari

70%

kelembagaan

terkait

bersedia berperan serta

dalam

program

konservasi orangutan

3

0,375

18

Manajemen

kawasan

Sudah ada manajemen

pengelola kawasan/UPT,

yaitu Balai TNBT.

3

0,375

Gambar

Tabel 4. Kriteria dan Verifier Sasaran  Program Perhutanan Sosial

Referensi

Dokumen terkait

Kontribusi sub sektor kehutanan dalam program tersebut antara lain yaitu mengoptimalkan manfaat ekonomi pengusahaan budidaya tanaman penghasil energi,

Hasil perhitungan evaluasi awal aplikasi Hestibell memiliki mean tidak mencapai 1 sehingga termasuk dalam “Buruk” dengan rata-rata indikator keseluruhan tidak

Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah strategis untuk mendukung percepatan realisasi program Perhutanan Sosial antara lain melalui pendekatan pro-aktif dari pihak pengelola

Arsitektur REDD+; Strategi Nasional (Stranas) REDD+, Reference Emission Level (REL), Measurement, Reporting, Verification (MRV), safeguard, pendanaan REDD+ dan

yang akan diajukan dalam skema perhutanan sosial, perlu diawali dengan proses identifikasi, verifikasi dan klasifikasi areal (FPIC/free prior informed concent) agar

Lokasi PIAPS sebagian besar (63%) di hutan lindung dan hutan produksi terbatas sehingga perlu dipastikan program Perhutanan Sosial yang dipilih aturan pemanfaatan

Hasil dari pengerjaan tes dapat diketahui nilai rata-rata kemampuan critical thinking siswa pada keseluruhan aspek sebesar 46.9 yang termasuk kategori rendah, sedangkan nilai

Dapat disimpulkan berdasarkan keseluruhan rata- rata dari nilai kurtosis sedimen perairan sungai Desa Sungai Duri adalah 0,79 yang termasuk dalam Dari Tabel 5