• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Itik di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Itik di Indonesia"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Itik di Indonesia

Berdasarkan sejarahnya, itik pertama kali didomestikasi di China (Cherry & Morris 2008). Meskipun demikian, ada pendapat yang menyatakan bahwa sejarah domestikasi itik dilakukan di dua tempat, yaitu China dan Eropa Barat (Clayton 1984). Selanjutnya disebutkan bahwa Asia Tenggara merupakan pusat utama domestikasi, seperti pada berbagai jenis ayam. Berdasarkan data-data arkeologi, lingkungan pertanian yang disukai oleh itik telah ditemukan di daratan China Selatan. Oleh karena itu, kemungkinan besar itik didomestikasi di daerah tersebut sebelum dikembangkan khusus di Eropa Barat.

Pada musim dingin, itik-itik bermigrasi dari wilayah utara ke tempat-tempat terbuka dengan lingkungan yang tersedia banyak air dan pakan melimpah, terutama air dangkal sebagai area sumber pakannya. Dalam hal bersarang, itik lebih menyukai tempat yang kering, seperti rerumputan di dataran tinggi, di rawa-rawa kering, atau daerah persawahan yang banyak jerami (Crawford 1993). Salah satu tempat migrasi itik adalah wilayah Indonesia karena memiliki daerah perairan lebih besar jika dibandingkan dengan daratannya. Daerah perairan merupakan tempat paling disukai oleh itik yang dikenal sebagai unggas air (water fowl). Oleh karena itu, keberadaan itik di Indonesia merupakan ternak pendatang. Itik dikelompokkan sebagai ternak lokal, karena daya adaptasinya yang tinggi pada lingkungan di Indonesia selama bertahun-tahun dan mampu berkembang biak (Hardjosworo 1995).

Itik domestik diturunkan dari wild mallard (Anas platyrhynchos) dengan ciri-ciri, antara lain warna bulu cokelat pada tubuhnya, terutama itik betina, leher dan kepala berwarna hijau terang mengkilap, paruh dan kakinya berwarna kuning terang, dan warna bulu sayap adalah biru terang (Crawford 1993). Warna-warna terang dan mengkilap tersebut diduga membantu sebagai petunjuk kontak visual ketika sedang bermigrasi (Ogilvie & Pearson 1994). Selain warna bulu, karakteristik khusus pada Anas platyrhynchos jantan adalah adanya empat helai bulu ekor yang mencuat ke atas, dan ini hanya dapat ditemukan pada itik liar (wild mallard) sebagai Anas platyrhynchos (Cherry & Morris 2008).

(2)

Karakterisasi terhadap sifat fenotipik kualitatif itik-itik lokal, yaitu itik alabio, mojosari, cihateup, magelang, tegal, dan damiaking diperoleh hasil pola warna bulu yang hampir sama dengan itik Mallard dengan empat helai bulu ekor jantan yang mencuat ke atas (Susanti & Prasetyo 2007a). Berdasarkan kesamaan ciri-ciri tersebut diduga bahwa itik-itik lokal Indonesia merupakan keturunan itik Mallard (Anas platyrhynchos).

Itik Alabio

Salah satu rumpun itik lokal di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor : 19/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Penetapan dan Pelepasan Rumpun dan Galur Ternak adalah itik alabio yang berasal dari Kalimantan Selatan, dan saat ini banyak diintroduksi ke daerah-daerah lain di wilayah Indonesia. Rumpun itik alabio memiliki potensi yang tinggi, baik sebagai produsen telur maupun daging (Hetzel 1985). Potensi itik alabio sebagai galur petelur unggul menjadikannya sebagai tetua dalam program persilangan untuk meningkatkan produktivitas itik-itik lokal lain. Prasetyo dan Susanti (2000) melakukan persilangan antara itik alabio dengan itik mojosari yang menghasilkan itik petelur unggul yang disebut itik MA. Itik hasil persilangan tersebut memiliki rataan produksi telur sebanyak 74.22 butir selama periode produksi 12 minggu, dan memiliki nilai heterosis produksi telur mencapai 11.69%. Selain itu, itik MA memiliki umur pertama bertelur yang lebih cepat dan kualitas telur yang lebih baik daripada induk-induk tetuanya (alabio dan mojosari).

Selain sebagai petelur unggul, itik alabio berpotensi pula menjadi itik pedaging. Matitaputty et al. (2011) melakukan persilangan itik alabio (A) dan itik cihateup (C) dengan hasil yang diperoleh menunjukkan nilai persentase heterosis itik persilangan CA lebih unggul dari AC dalam bobot hidup akhir (7.05%), pertambahan bobot hidup (7.32%), bobot karkas (9.24%), dan persentase karkas (2.55%). Pada potongan karkas bagian paha, persentase tertinggi diperoleh itik persilangan AC (10.13%), sementara potongan karkas bagian dada itik tetua murni AA lebih unggul (6.13%). Itik persilangan CA memiliki sifat-sifat unggul lebih banyak dan bernilai ekonomis dibandingkan dengan itik persilangan AC. Berdasarkan performans dapat disimpulkan bahwa hasil persilangan terbaik untuk

(3)

menghasilkan performans dan produksi karkas yang baik adalah itik persilangan cihateup jantan x alabio betina (CA).

Keunggulan lain dari itik alabio adalah memiliki ciri-ciri warna bulu hampir seragam yang didominasi oleh warna cokelat, hijau, dan hitam keabu-abuan pada sebagian besar tubuhnya, yaitu leher, kepala, punggung, dan dada. Suryana et al. (2010) mengidentifikasi warna bulu itik alabio dan menyimpulkan bahwa itik alabio jantan memiliki warna bulu hijau mengkilap pada kepala, biru mengkilap pada sayap, dan hitam keabu-abuan pada bagian dada dan ekor. Bulu itik alabio betina didominasi warna cokelat bintik-bintik hitam. Bagian tubuh paruh, paha, dan kaki itik alabio didominasi warna kuning dan oranye.

Berdasarkan potensi-potensi tersebut tampak bahwa itik alabio mampu mengekspresikan keunggulannya sehingga dalam penelitian ini digunakan itik alabio yang diharapkan mampu mencapai tujuan penelitian ini, yaitu menginisiasi terbentuknya populasi itik yang berproduksi telur tinggi dengan kejadian rontok bulunya yang sudah terkendali.

Itik Peking

Itik peking merupakan keturunan itik Mallard (Anas plathyrhynchos). Hasil penelusuran sejarah domestikasi itik peking dengan menggunakan analisis penanda mikrosatelit dan mitokondria menunjukkan bahwa itik peking memiliki sekuens yang sama dengan itik Mallard (Qu et al. 2009). Saat ini performans itik peking, dengan postur besar dan berbulu putih, berbeda dari keturunan itik Mallard yang lainnya, dengan postur ramping dan berbulu cokelat kombinasi warna hitam, hijau, dan abu-abu. Hal ini terjadi akibat dari seleksi yang relatif lama terhadap itik peking sehingga menjadi strain atau galur pedaging dengan warna bulu putih dan bobot dewasa 2.7 sampai 3.8 kg (Cherry & Morris 2008; Rouvier 1999).

Produksi telur itik peking relatif rendah dibandingkan itik-itik tipe petelur lain yang mempunyai bentuk tubuh ramping. Rata-rata produksi telur itik peking adalah 210 butir per 500 hari atau 42% (Pingel 1990). Itik peking yang dikembangbiakkan di Eropa ternyata mampu menghasilkan telur sebanyak 175-226 butir dalam 40 minggu dengan cara dipelihara secara intensif (terkurung). Rata-rata pengamatan dilakukan selama 40 minggu, karena setelah 40 minggu itik

(4)

peking mengalami rontok bulu sehingga berhenti produksi telurnya. Itik peking mengalami rontok bulu pada akhir periode produksi sehingga dikelompokkan sebagai itik late molting. Sifat rontok bulu dengan kategori late molting merupakan salah satu keunggulan itik tersebut sehingga digunakan dalam penelitian ini untuk disilangkan dengan itik lokal dengan harapan dapat dipelajari pewarisan sifat rontok bulu yang late molting tersebut, sekaligus mengurangi kejadian rontok bulu pada itik lokal.

Persilangan dan Heterosis

Prasetyo dan Susanti (1997) menyatakan bahwa program kawin silang telah umum digunakan dalam industri peternakan, jika fenotipe yang diinginkan merupakan kombinasi dari galur-galur yang ada, atau untuk memperbaiki efisiensi produksi melalui penggunaan galur jantan dan betina yang spesifik. Perkawinan antarkelompok genotipe yang berbeda dapat dilakukan, antargalur, antarrumpun, maupun antarbangsa dengan tujuan untuk pembentukan bangsa baru dengan menggabungkan sifat-sifat menguntungkan ke dalam ternak silangan untuk mempercepat peningkatan produktivitas ternak (Martojo 1992; Warwick et al. 1995).

Persilangan dilakukan sebagai strategi untuk pemanfaatan keunggulan hibrida yang disebut heterosis. Tejadinya heterosis diduga sebagai akibat dari aksi gen non-aditif seperti efek dominan, overdominan, dan epistasis (Falconer & Mackay 1996; Noor 2010). Besarnya heterosis bergantung pada dominansi dari semua pasangan gen yang mempengaruhinya dan rataan perbedaan frekuensi gen antara kedua tetuanya untuk semua pasangan gen yang ada sehingga semakin jauh perbedaan frekuensi gen antara kedua tetuanya akan semakin tinggi heterosisnya.

Heterosis paling baik pada persilangan tunggal antarpopulasi dengan jarak genetik yang jauh akan diperoleh pada generasi pertama, kemudian menurun secara gradual dari F1, F2, F3, dan seterusnya akan hilang pada generasi tertentu. Nilai heterosis umumnya mempunyai nilai yang berlawanan dengan nilai heritabilitas. Noor (2010) mengungkapkan bahwa semakin tinggi nilai heritabilitas suatu sifat akan semakin kecil nilai heterosis. Hal ini disebabkan

(5)

heritabilitas dikontrol oleh aksi gen aditif, sedangkan heterosis dipengaruhi oleh aksi gen nonaditif.

Romanov et al. (2002) mempelajari gen major sex-linked dan gen dominan autosomal sebagai gen yang mempengaruhi sifat mengeram melalui persilangan ayam white leghorn yang tidak mengeram dengan ayam bantam yang mengeram. Prasetyo dan Susanti (2000) melakukan persilangan itik alabio dengan mojosari untuk meningkatkan produksi telur pada hasil persilangannya. Huang et al. (2009) mempelajari peta genetik itik melalui AFLP fingerprinting dengan melakukan persilangan antara itik brown tsaiya, sebagai galur petelur lokal di Taiwan, dengan itik peking, yang dikenal sebagai galur pedaging. Berdasarkan uraian di atas, program persilangan dilakukan untuk berbagai tujuan. Pada penelitian ini pun digunakan program persilangan yang serupa, yaitu antara itik peking dan itik lokal alabio untuk mempelajari sifat-sifat rontok bulu secara genetis.

Upaya peningkatan produktivitas ternak melalui persilangan biasanya dikombinasikan dengan seleksi. Suksesnya suatu program persilangan bergantung pada materi genetik individu-individu yang disilangkan, metode seleksi dan sistem perkawinan yang digunakan (Warwick et al. 1995).

Seleksi

Seleksi berperan dalam pengubahan frekuensi gen yang mengatur sifat kualitatif dan kuantitatif (Falconer & Mackay 1996; Noor 2010). Kegiatan seleksi merupakan aktivitas paling penting bagi pemulia dan sebagai dasar utama dalam pemuliaan ternak (Warwick et al. 1995). Tujuan seleksi adalah memilih ternak-ternak dengan sifat yang diinginkan untuk dijadikan tetua dan dihasilkan generasi berikutnya. Pada sektor peternakan, sifat-sifat yang diinginkan adalah sifat unggul yang berhubungan dengan produktivitas dan biasanya adalah sifat kuantitatif. Di tingkat peternak, seleksi biasanya dilakukan berdasarkan sifat kualitatif yang diduga berhubungan dengan produktivitas karena pada umumnya peternak tidak memiliki catatan produksi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dicoba mencari peubah dari rontok bulu yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif dan berhubungan dengan produksi telur. Sifat-sifat tersebut diharapkan dapat

(6)

dijadikan sebagai kriteria seleksi sehingga dapat dimanfaatkan oleh peternak secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Seleksi yang paling banyak dan mudah dilakukan adalah berdasarkan catatan atau fenotipe individu yang bersangkutan sehingga disebut seleksi individu atau seleksi massa (Noor 2010). Seleksi ini hanya efektif untuk sifat-sifat yang terdapat pada kedua jenis kelamin, namun kurang akurat untuk sifat-sifat yang hanya muncul pada salah satu jenis kelamin saja. Seleksi berdasarkan sifat rontok bulu sebagai peubah sifat kualitatif dapat dilakukan dengan seleksi individu ini. Pada sifat yang hanya muncul pada ternak betina saja, seperti produksi telur, memerlukan metode seleksi yang lain, yaitu seleksi berdasarkan catatan keturunan (progeny test), tetua (silsilah), atau kerabatnya (kolateral), terutama untuk ternak-ternak yang hanya menghasilkan satu keturunan per tahun dengan interval generasi yang panjang. Pada unggas, dengan interval generasi yang relatif singkat, yaitu sekitar 1 tahun, metode seleksi berdasarkan progeny kurang efektif karena ketika informasi tetua unggul diperoleh, tetua tersebut sudah memasuki masa tidak produktif. Oleh karena itu, pemilihan pejantan untuk dikawinkan dengan betina terseleksi dapat memanfaatkan itik-itik jantan yang berasal dari keturunan betina-betina terseleksi segenerasi, dengan asumsi bahwa pejantan tersebut mempunyai sifat unggul yang diinginkan karena berasal dari induk-induk betina terseleksi.

Sistem perkawinan dengan memanfaatkan pejantan dan induk dari generasi yang sama dikenal dengan perkawinan interse (Martojo 1992). Perkawinan interse biasanya dilakukan dalam upaya untuk pemantapan galur dengan sifat yang diinginkan sudah terfiksasi. Perkawinan interse akan mengurangi nilai keragaman sifat yang diinginkan tersebut dan galur dikatakan “mantap” atau stabil apabila nilai keragamannya kurang dari 5%.

Pertumbuhan Bulu

Pertumbuhan bulu pada hewan unggas dimulai sejak tahapan embrio (Bellairs & Osmond 2005). Folikel-folikel bulu tumbuh pada batas tertentu di permukaan kulit dan disebut pterylae yang tampak pada daerah tulang belakang memanjang dari leher sampai ekor dan sekitar dada. Penampakan pterylae secara

(7)

ventral dan lateral terdapat pada paha, sayap, dan kepala. Pterylae pada itik hampir menyebar di seluruh tubuh, sedangkan pada ayam hanya ada di bagian-bagian tertentu dari bagian-bagian tubuhnya (Gambar 2).

Gambar 2 Penyebaran pterylae pada itik (a) dan ayam (b).

Pada Gambar 2 tampak bahwa folikel bulu itik menyebar hampir di seluruh permukaan kulit sehingga pterylae pun tampak pada seluruh permukaan kulit, sedangkan folikel bulu ayam hanya tumbuh pada bagian tertentu di permukaan kulit sehingga pterylae tampak jelas membatasi folikel-folikel bulu ayam. Hal ini menyebabkan perbedaan ketika proses membului. Itik memerlukan perlakuan khusus, biasanya menggunakan lilin untuk melepaskan bulunya, sedangkan pada ayam pencabutan bulu dapat dilakukan dengan mudah hanya dengan mencelupkannya pada air panas.

La Bonde (1998) menyatakan bahwa fungsi bulu pada spesies unggas sangat penting, yaitu sebagai insulator, pelindung terhadap suhu lingkungan yang ekstrim, untuk terbang, dan memperindah penampilan. Selanjutnya, Bellairs dan Osmond (2005) menyatakan bahwa bulu pada itik dewasa yang menentukan plumage terdapat tiga tipe, yaitu :

1. Bulu kontur (contour feather), yaitu bulu penutup tubuh itik yang terdapat pada sayap dan ekor. Bulu kontur terdiri atas batang atau rachis dengan percabangan (vane) di luar dan di dalam yang disusun parallel seperti duri dan disebut barb yang ditutupi semuanya oleh barbules.

b a

Comment [T4]: Cek: contour atau countour

(8)

2. Bulu bagian bawah (down feather) yang terdapat di bawah bulu kontur dengan tekstur bulu halus dan lembut. Bulu-bulu tersebut hanya mempunyai batang yang pendek dengan barb dan barbules yang menyebar bebas.

3. Tipe bulu yang ketiga adalah filoplumae dengan bentuk batang pendek, fleksibel, seperti rambut dengan dibatasi barb sampai ke puncak.

Itik yang baru menetas mempunyai bulu penutup dari down feather halus dan pendek, hampir mirip dengan plumule dewasa. Pertumbuhan bulu down feather pada anak itik terjadi selama 10 hari sejak menetas, kemudian bulu-bulu tersebut akan tumbuh dengan cepat menjadi bulu kontur selama 50 sampai 60 hari, termasuk bulu sayap primer maupun sekunder yang tumbuh dengan cepat pada umur 24 sampai 56 hari. Pada molting pertama, bulu-bulu muda muncul dari folikel-folikel yang sama. Bulu-bulu muda yang paling luar mirip dengan bulu kontur pada unggas dewasa, tetapi mempunyai tekstur yang lebih halus. Bagian-bagian bulu tersebut tercantum

pada Gambar 3.

Sumber : Bellairs & Osmond (2005)

Gambar 3 Bagian-bagian bulu itik dewasa terdiri atas bulu kontur (a) dan bulu halus (down feather) (b).

(9)

Pertumbuhan bulu baru distimulir oleh hormon tiroksin dan prolaktin (Steven 1996). Setiap folikel bulu mengalami siklus perubahan pertumbuhan dengan merujuk pada fase anagen, bergiliran dengan periode istirahat (fase telogen). Istilah anagen dan telogen diadopsi dari pertumbuhan rambut (Spearman 1971). Fase pertumbuhan folikel bulu terjadi sebelum molting plumage tua yang terjadi setiap tahun. Sekali terjadinya molting, maka feather yang lengkap akan tumbuh pada tempat melekatnya folikel yang rontok tersebut. Pada akhir periode pertumbuhan telogen, folikel sel semula sekali lagi masuk ke dalam periode anagen yang pendek. Seperti halnya pertumbuhan, bulu baru akan tumbuh ke atas mengarah pada permukaan kulit. Bulu-bulu tua didorong ke luar kanal, namun masih tersisa folikel yang ada di dalam pembungkus berbentuk tanduk sebagai tempat tumbuhnya bulu-bulu baru. Ketika pembungkus ini terbuka untuk mendapatkan bulu baru, maka bulu-bulu tua akan jatuh sehingga peristiwa molting adalah murni proses mekanis dari tumbuhnya bulu-bulu generasi baru (Spearman 1971). Proses pertumbuhan bulu baru dan lepasnya bulu lama tercantum pada Gambar 4.

Sumber : Spearman (1971)

Gambar 4 Siklus pertumbuhan bulu yang dimulai pada (a) fase istirahat (fase telogen), (b) fase anagen awal (pertumbuhan bulu baru), dan (c) fase

anagen akhir (lepasnya bulu lama dan munculnya bulu baru pada epidermis).

(10)

Sifat Rontok Bulu

Rontok bulu adalah proses lepasnya bulu-bulu lama karena terdorong oleh pertumbuhan bulu-bulu baru (Spearman 1971). Kejadian rontok bulu berkaitan dengan peremajaan saluran reproduksi sehingga masa rontok bulu disebut juga masa istirahat memproduksi telur (Berry 2003).

Setiap tahun kebanyakan unggas secara alami mengalami penurunan bobot badan hampir 40% yang berhubungan dengan lepasnya bulu-bulu sayap dan menurunnya aktivitas reproduksi (Brake & Thaxton 1979; Mrosovsky & Sherry 1980). Biasanya hewan liar mengatur sendiri untuk mengambil masa istirahat bertelur pada musim-musim tertentu, terutama ketika kurangnya ketersediaan pakan sehingga kejadian rontok bulunya hanya satu kali dalam setahun (Bell 2003). Pada ternak domestik, banyak hal pemicu munculnya sifat rontok bulu. Setioko (2005) mengungkapkan faktor-faktor penyebab rontok bulu adalah kurangnya ketersediaan pakan, perubahan susunan ransum pada itik yang dikandangkan, perpindahan kandang, adanya hewan pengganggu, dan lingkungan yang tidak nyaman dapat menyebabkan itik mengalami rontok bulu. Banyaknya faktor pemicu tersebut mengakibatkan munculnya rontok bulu dapat terjadi setiap saat secara spontan bersama-sama atau bersifat sporadis. Hal tersebut mengindikasikan bahwa munculnya rontok bulu adalah akibat stress dan kejadiannya bergantung pada ketahanan masing-masing individu terhadap stress tersebut (Webster, 2000; Duncan, 2001). Ketahanan individu terhadap stress dikontrol oleh gen, sehingga munculnya kejadian rontok bulu pun diduga dipengaruhi oleh gen, dan penanganan terhadap rontok bulu dapat dilakukan secara genetis pula.

Berry (2003) menyatakan bahwa kejadian mengeram merupakan faktor utama yang menginisiasi rontok bulu secara alami. Hampir semua unggas mengalami penurunan konsumsi pakan dan bobot badan selama masa mengeram (Sherry et al. 1980). Perubahan-perubahan fisiologis ini menyebabkan berhentinya sistem reproduksi sehingga akan menghentikan produksi telur (Park et al. 2004). Unggas-unggas yang telah mengalami masa rontok bulu akan menunjukkan produksi telur yang lebih tinggi, efisiensi pakan yang lebih baik, dan kualitas kerabang yang lebih baik (Lee 1982).

Comment [T5]: Terjadi bersamaan tanpa ada hubungan fungsional atau memang harus rontok bulu dulu untuk meremajakan saluran reproduksi?

(11)

Kejadian rontok bulu yang bersifat alami pada unggas ini membuat para peternak berupaya dengan berbagai cara agar ternak peliharaannya mengalami rontok bulu secara serempak atau forced molting yang biasanya dilakukan dengan pengambilan pakan dari kandang atau feed withdrawal, yaitu memuasakan ternak dengan hanya diberi air minum atau pemberian pakan dengan jumlah yang sangat terbatas dan kualitas rendah (Setioko 2005). Kegiatan forced molting banyak ditentang oleh para pencinta binatang karena termasuk kegiatan penyiksaan yang merupakan pelanggaran terhadap animal welfare. Hal ini memerlukan upaya dari bidang ilmu lain untuk mengatasi rontok bulu. Salah satunya dari ilmu genetika yang akan memberikan dampak yang lebih permanen.

Rontok bulu dapat dibagi dua, yaitu rontok bulu kecil apabila bulu badan rontok dan rontok bulu besar, yaitu bila bulu sayap yang rontok. Sebelum rontok bulu besar, biasanya itik akan mengalami rontok bulu kecil terlebih dahulu atau terjadi secara bersamaan. Kadang-kadang itik langsung mengalami rontok bulu besar tanpa harus melalui rontok bulu kecil. Rontok bulu besar ialah lepasnya bulu sayap, baik primer maupun sekunder. Andrews et al. (1987) dan Herremans et al. (1988) menyatakan bahwa rontoknya bulu sayap primer berpengaruh pada penampilan reproduksi setelah molting. Hilangnya bulu sayap primer dengan jelas disebabkan oleh tidak adanya pengaruh oestrogenic pada papilla bulu (Peczely 1992). Oleh karena itu, produksi estrogen mencapai titik paling rendah selama terjadinya rontok bulu sayap primer (Park et al. 2004), sedangkan menurut Setioko (2005) rontok bulu besar ditandai dengan lepasnya bulu sayap sekunder ke 12, 13 dan 14 yang akan rontok terlebih dahulu sebelum bulu sayap yang lain. Pada penelitian ini digunakan kategori rontok bulu sayap primer dan sekunder, karena rontoknya kedua jenis bulu tersebut berkaitan dengan berhenti bertelur. Tanda-tanda lain yang perlu mendapat perhatian pada itik yang rontok bulu ialah produksi telur. Gejala penurunan produksi yang tajam tanpa ada alasan atau sebab (biasanya sampai 20-30%) mengindikasikan itik akan segera rontok bulunya.

Pada saat rontok bulu, ovarium unggas mengalami pengecilan (regress) sehingga produksi telur secara otomatis akan berhenti. Berry (2003) menyatakan bahwa kejadian mengeram dikontrol oleh hormon prolaktin.

(12)

Hormon Prolaktin

Kejadian rontok bulu merupakan hasil interaksi yang sangat kompleks dengan melibatkan peranan hormon gonadotropin dan hormon lain, yaitu tiroksin dan prolaktin (Steven 1996; Berry 2003). Hormon prolaktin terlibat pula dalam pembentukan telur, yaitu dalam proses pembuatan kerabang dalam saluran shell gland (Hazelwood 1983). Berdasarkan fungsi ganda dari hormon prolaktin tersebut maka diduga rontok bulu berkaitan erat dengan berhentinya produksi telur akibat kerja hormon prolaktin. Oleh sebab itu, diduga bahwa gen pengontrol sifat rontok bulu adalah gen prolaktin (Bhattacharya et al. 2011; Alipanah et al. 2011; Cui et al. 2006).

Hormon prolaktin adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh hipofisa anterior, bersama-sama dengan hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH untuk merangsang kelenjar saluran reproduksi agar menghasilkan hormon seks, yaitu estrogen, progesterone, dan androgen. Hazelwood (1983) menyatakan bahwa hormon prolaktin terlibat dalam pembentukan telur, yaitu ketika proses pembuatan kerabang di saluran shell gland. Efek kerja hormon adalah negative feedback mechanism (Djojosoebagjo 1996), sehingga bila kadar hormon prolaktin di dalam peredaran darah mencapai suatu keadaan yang telah melebihi dari yang diperlukan maka produksi yang terus menerus akan mengacaukan keseimbangan. Konsentrasi prolaktin di dalam darah meningkat setelah masa produksi telur. Level hormon prolaktin yang tinggi akan menurunkan pengeluaran gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus, selanjutnya akan menurunkan pengeluaran luteinizing hormone (LH) dari hipofisis sehingga tidak ada telur yang diovulasikan (Tabibzadeh et al. 1995). Pada spesies unggas yang menunjukkan sifat mengeram, seperti ayam hutan ataupun ayam-ayam domestik lainnya, perubahan hormon endokrin yang terjadi pada saat induksi molting dimulai dengan meningkatnya level prolaktin. Sastrodiharjo (1996) menyatakan bahwa sifat mengeram dikontrol oleh hormon prolaktin. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ayam kampung yang dimandikan setiap dua hari sekali pada saat mengeram akan menurun hormon prolaktinnya dibandingkan dengan yang tidak dimandikan, yaitu masing-masing sebesar 2.66 ng/mL dan 4.17 ng/mL plasma darah. Menurunnya hormon prolaktin ini berkaitan dengan lamanya

(13)

istirahat produksi telur. Istirahat produksi telur pada ayam yang dimandikan adalah 12.7 hari, sedangkan pada ayam yang tidak dimandikan adalah 41.2 hari. Kejadian rontok bulu pada itik-itik lokal juga menyebabkan berhentinya produksi telur sehingga diduga bahwa sifat rontok bulu juga berhubungan dengan hormon prolaktin.

Sekresi hormon-hormon reproduksi yang mempengaruhi rontok bulu tersebut diduga dikontrol oleh gen-gen tertentu sehingga kejadian rontok bulu berbeda pada setiap spesies dan jenis unggas. Purba (2005) menyatakan bahwa lamanya rontok bulu pada itik alabio lebih cepat daripada itik mojosari. Hal ini mengindikasikan bahwa sifat rontok bulu dipengaruhi oleh bangsa ternak atau gen.

Pola Pewarisan Sifat Rontok Bulu

Upaya untuk mengatasi sifat rontok bulu pada itik dapat didekati dengan mempelajari kejadian mengeram pada ayam dengan asumsi bahwa mekanisme genetisnya dikontrol oleh gen yang sama karena proses fisiologisnya yang sama, yaitu terkait dengan kelangsungan produksi telur. Sartika (2005) menyatakan bahwa sifat mengeram merupakan sifat yang diwariskan. Tinggi rendahnya sifat mengeram bergantung pada faktor genetik, seperti bangsa atau strain ayam. Lessons dan Summer (2000), menyatakan bahwa sifat mengeram memiliki nilai heritabilitas relatif tinggi sehingga sifat ini dapat digunakan sebagai kriteria seleksi.

Pengamatan secara genetik atas sifat rontok bulu masih jarang dilakukan. Pendekatan dengan sifat mengeram mungkin akan memberikan hasil yang sama. Berdasarkan hasil penelitian Dunn et al. (1998) diperoleh bahwa sifat mengeram dikontrol oleh gen utama yang terpaut kelamin (major gen sex-linked). Dinyatakan pula bahwa lokasi gen mayor sifat mengeram ini terletak pada kromosom Z. Romanov et al. (2002) menegaskan bahwa secara genetik sifat mengeram tidak hanya dipengaruhi oleh gen sex-linked, akan tetapi dipengaruhi pula oleh adanya aksi gen dominan autosomal tidak lengkap pada satu lokus dengan genotipe AA, sedangkan pada ayam yang tidak mengeram dikontrol oleh gen dominan autosomal tidak lengkap sebagai inhibitor dengan genotipe BB.

(14)

Artinya bahwa paling sedikit terdapat 3 pasang gen yang mempengaruhi sifat mengeram, yaitu 1 gen terpaut kelamin pada kromosom Z dan 2 gen autosomal yang terdiri atas 1 penyebab dan 1 penghambat sifat mengeram, dan keduanya mempunyai pengaruh yang sama. Pendugaan pola pewarisan sifat mengeram tersebut dilakukan pada persilangan resiprokal (F1) dan backcross (F2) antara ayam white leghorn yang tidak mengeram dengan ayam bantam yang mempunyai sifat mengeram tinggi. Pola pewarisan sifat rontok bulu diduga sama dengan pola pewarisan sifat mengeram pada ayam. Ilustrasi pola pewarisan tersebut tercantum pada Gambar 5.

Sumber : Romanov et al. (2002)

Gambar 5 Pola pewarisan sifat mengeram pada persilangan resiprokal antara ayam white leghorn jantan dengan bantam betina (a), bantam jantan dengan white leghorn betina (b), dan persilangan backcross F1 jantan dengan white leghorn betina (c).

♂ WL X ♀ B aaBB AAbb F1 : AaBb; AaBb ♂ B X ♀ WL AAbb aaBB F1 : ♂ AaBb; ♀ AaBb a b ♂ F1(♂ WL X ♀ B) X ♀ WL AaBb aaBB

F2 : ♂ ¼ AaBB, ¼ AaBb, ¼ aaBB, ¼ aaBb; ♀ ¼ AaBB, ¼ AaBb, ¼ aaBB, ¼ aaBB

Gambar

Gambar 2  Penyebaran pterylae pada itik (a) dan ayam (b).
Gambar 4  Siklus pertumbuhan bulu yang dimulai pada (a) fase istirahat (fase                      telogen), (b) fase anagen awal (pertumbuhan bulu baru), dan (c) fase
Gambar 5 Pola pewarisan sifat mengeram pada persilangan resiprokal antara  ayam  white leghorn jantan dengan bantam betina (a), bantam jantan  dengan white leghorn betina (b), dan persilangan backcross F1 jantan  dengan  white leghorn betina (c)

Referensi

Dokumen terkait

Pemeliharaan saluran tepi jalan, saluran penghubung dan kelengkapannya di wilayah Jakarta Selatan 3 Pasar Minggu Pejaten Timur 8 Lingkungan gelap dan rawan

Restoran yang dibuat dengan konsep fast food itu pun diberi nama Lim Resto mengunakan ayam panggang oven sebagai produk utama.dengan menggunakan metode observasi, metode

Berdasarkan beberapa kriteria dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa kriteria pemilihan media ada beberapa hal yang perlu diperhatian, yaitu: aspek kesesuaian

Dari berbagai latar belakang di atas peneliti ingin mengetahui bagaimana kualitas pelayanan yang di lakukan oleh Primkopal juanda dari pandangan para karyawan dan

Berdasarkan hasil yang diperoleh selama penelitian, kandungan gas dengan menggunakan kromatografi gas didapatkan bahwa pada minyak jarak nilai fault gas yang

Pada laras pelog , lagu-lagu campursari Manthous hanya menggunakan satu macam pathet , yaitu pathet 6 dengan do sama dengan 6 (nem), sedangkan pada laras slendro, pathet yang

Hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan pada siswa SD kelas V dengan menerapkan strategi SQ3R (survey, question, read, recite, review) pada judul

Kesimpulan dari hasil uji validitas dan reliabilitas ini menunjukkan bahwa skala-skala yang ada dalam penelitian ini telah memenuhi syarat sebagai alat ukur yang digunakan