• Tidak ada hasil yang ditemukan

CATATAN MENGENAI DEINDUSTRIALISASI (Referensi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CATATAN MENGENAI DEINDUSTRIALISASI (Referensi)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

CATATAN MENGENAI DEINDUSTRIALISASI (Referensi)

A. Pendahuluan

Secara konseptual, deindustrialisasi terjadi karena meningkatnya biaya produksi. Tingkat upah yang meningkat namun tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas pekerja, bahan baku industri yang sebagian besar (±70%) merupakan produk impor, ditambah dengan kemampuan SDM yang kurang mampu menguasai teknologi, keterbatasan berkreatif dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang seringkali dinilai menghambat pertumbuhan industri itu sendiri, menambah tingginya biaya produksi. Padahal pasar dunia mengharuskan harga yang kompetitif untuk mampu bersaing bahkan memenangkan persaingan. Kenaikan biaya produksi yang tidak dapat ditransmisikan ke harga pasar dunia pada akhirnya akan menekan sektor industri sehingga tidak ada lagi insentif bagi sektor ini untuk bergerak.

Namun tutupnya beberapa perusahaan tidak lantas dapat dikatakan sebagai gejala deindustrialisasi. Diperlukan penelaahan terhadap indikator-indikator lainnya dan kinerja industri secara keseluruhan.

B. Kondisi industri saat ini

Kondisi industri Indonesia yang dinilai beberapa kalangan berada di ambang deindustrialisasi mengundang pro dan kontra. Beberapa kalangan menilai bahwa sebenarnya gejala deindustrialisasi tersebut mulai terlihat dari tahun 2001 namun beberapa kalangan berpendapat bahwa deindustrialisasi belum terjadi pada industri nasional.

B.1. Fahmi Idris (Menteri Perindustrian)

Menegaskan bahwa industri nasional belum mengarah ke deindustrialisasi atau suatu keadaan yang memperlihatkan kinerja industri yang terpuruk. Hal ini disebabkan untuk bisa memenuhi kategori tersebut harus dilihat satu per satu variabel yang mendukung deindustrialisasi.

B.2. Rini MS Soewandi (Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan)

Menyatakan ketidaksetujuannya bila di Indonesia dianggap telah terjadi industrialisasi industri.

Deindustrialisasi dapat digambarkan sebagai suatu kondisi dimana industri tidak dapat lagi berperan sebagai basis pendorong utama perekonomian suatu negara atau dengan kata lain kontribusi sektor ini terhadap PDB nasional terus mengalami penurunan.

(2)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

B.3. Anton J Supit (Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia)

Tidak adil jika hanya karena dua pabrik tutup kemudian dikatakan terjadi deindustrialisasi di tanah air.

B.4. Mudrajad Kuncoro (Pengamat ekonomi dari Univ. Gajah Mada)

Telah terjadi gejala deindustrialisasi secara regional, terutama akibat bencana alam, seperti gempa bumi di Yogyakarta dan luapan lumpur Sidoarjo. Sedangkan deindustrialisasi secara nasional belum terjadi.

B.5. Muhammad Chatib Basri (Pengamat ekonomi dari LPEM Univ. Indonesia)

Indonesia sedang berada di ambang deindustrialisasi

B.6. Zulkieflimansyah (Ketua Dept. Kebijakan Ekonomi PKS)

...Sayangnya untuk kita di Indonesia, yang terjadi bukanlah sebuah proses re-industrialisasi yang lebih terencana dan terfokus untuk menangguhkan fondasi ekonomi dan kemudian berangsur-angsur pulih, tetapi sebuah proses yang kini populer disebut dengan deindustrialisasi.

B.7. Tim Bangkit Indonesia

Fenomena deindustrialisasi dalam perekonomian nasional yang mulai tampak sejak pergantian milenium lalu, kini telah mencapai titik nadir.

B.8. Aviliani (Pengamat ekonomi)

... Dipadu dengan matinya beberapa industri lain dan hengkangnya investor ke luar negeri, maka Indonesia sungguh tengah menghadapi gejala deindustrialisasi.

B.9. Rahardi Ramelan (Mantan Memperindag)

Sejak krisis moneter 1998, industrialisasi di Indonesia telah mengalami kemunduran atau deindustrialisasi.

B.10. Adig Suwandi (Pemerhati sosial-ekonomi dan kebijakan pembangunan)

Ancaman terjadinya deindustrialisasi tengah berlangsung. Dengan membandingkan angka pertumbuhan industri manufaktur di tahun 2001 dan 2002 yang menurun sebesar 13 persen, isyarat bakal terjadinya deindustrialisasi masih terbuka.

C. Indikator gejala deindustrialisasi

Terjadinya deindustrialisasi ditandai dengan beberapa hal seperti disebutkan oleh beberapa ekonom berikut.

C.1. Hendrawan Supratikno (Pengamat ekonomi)

Beberapa indikator untuk menilai terjadi atau tidaknya deindustrialisasi, yaitu membanjirnya produk impor di pasar, cukup banyaknya perusahaan yang melakukan relokasi pabrik atau pindah ke luar negeri, semakin menurunnya pertumbuhan industri manufaktur dan pembentukan nilai tambah sektor industri, dan menurunnya pekerja formal di sektor industri.

(3)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Catatan:

Membanjirnya produk impor di pasar juga mengindikasikan telah terjadi deindustrialisasi. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain pertama, harga produk impor lebih murah. Tidak dapat disalahkan jika masyarakat kita dengan daya beli yang lemah (dan semakin lemah dengan meningkatnya PHK) memilih untuk membeli produk dengan harga yang relatif lebih murah. Sehingga produk domestik semakin kehilangan pasarnya dan industri terpaksa menutup usahanya. Dalam tabel 2 terlihat bahwa kecuali barang yang tidak diklasifikasikan, setiap jenis produk mengalami peningkatan jumlah impor.

Tabel 1. Impor menurut Golongan Barang Ekonomi (juta US$)

No. Uraian 2003 2004 2005 2006 2007

1. Makanan &minuman (belum diolah) utk RT

345,1 451,7 419,3 600,4 813,6

2. Makanan&minuman (olahan) utk RT

797,7 827,6 1.085,7 1.215,7 1.946,6

3. Bahan bakar&pelumas (olahan) 432,6 757,0 1.294,9 836,4 1.197,8 4. Mobil penumpang 141,5 290,3 293,0 227,5 391,1 5. Alat angkutan bukan untuk

industri

25,6 43,5 44,3 84,1 93,1

6. Barang konsumsi tahan lama 256,6 314,6 342,1 351,4 414,3 7. Barang konsumsi setengah

tahan lama

312,3 357,7 395,9 591,9 686,9

8. Barang konsumsi tidak tahan lama

472,2 673,7 727,1 812,3 1.024,5

9. Barang yang tidak diklasifikasikan

79,0 70,5 18,3 18,6 136,5

Total barang konsumsi 2.862,8 3.786,5 4.620,4 4.738,2 6.704,3 Sumber : BPS diolah Dept. Perdagangan

Kedua, Hampir sebagian besar industri nasional bergantung pada bahan baku

impor. Kenaikan harga bahan baku impor menjadi salah satu sebab kenaikan biaya produksi yang harus dikeluarkan sementara pasar menginginkan harga yang lebih kompetitif. Hal ini menekan industri nasional. Ketergantungan industri nasional terhadap bahan baku impor tergambar dari peningkatan impor bahan baku impor untuk industri seperti dalam tabel berikut.

Tabel 2. Impor Bahan Baku Impor Untuk Industri

No. Uraian 2003 2004 2005 2006 2007

1. Makanan&minuman (belum

diolah) untuk industri 1.127,3 1.456,7 1.325,3 1.352,2 2.087,5 2. Makanan&minuman (olahan)

untuk industri 531,6 568,6 830,4 909,1 1.496,7 3. Bahan baku (belum diolah)

untuk industri 1.697,9 2.236,3 2.064,4 2.438,7 2.858,0 4. Bahan baku (olahan) untuk

industri 10.570,8 15.357,8 17.407,0 18.050,7 21.651,9 5. Alat angkutan untuk industri 523,2 832,3 1.525,2 2.707,7 2.644,1 Sumber : BPS diolah Dept. Perdagangan

C.2. Aviliani (Pengamat ekonomi)

Deindustrialisasi terlihat dari penurunan pertumbuhan industri pengolahan, penurunan kredit investasi, dan industri manufaktur yang tidak melakukan ekspansi, bahkan melakukan PHK.

(4)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

C.3. Muhammad Chatib Basri (Pengamat ekonomi dari LPEM Univ.

Indonesia)

Munculnya gejala deindustrialisasi bisa dilihat dari penurunan investasi dan ekspor yang mendorong kemunduran industri manufacturing.

C.4. Fahmy Radhi ( Tim ahli Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM)

Secara makro, indikasi deindustrialisasi akan tampak dari melambatnya pertumbuhan sektor industri dan menurunnya kontribusi sektor industri terhadap PDB, serta melemahnya sektor industri dalam menyerap tenaga kerja.

D. Solusi antisipasi kebijakan

Diluar pro dan kontra apakah industri Indonesia mengalami deindustrialisasi, diperlukan solusi pemecahan bagi kondisi industri Indonesia yang pertumbuhannya semakin turun.

D.1. Muhammad Chatib Basri (Pengamat ekonomi dari LPEM Univ. Indonesia)

a. Menciptakan pasar tenaga yang bersifat fleksibel tanpa mengorbankan buruh.

b. Menghapuskan ekonomi biaya tinggi dengan memangkas peraturan

c. Menurunkan berbagai biaya tinggi yang timbul karena tarif bea masuk yang diberlakukan untuk bahan baku.

d. Melihat potensi pasar negara berkembang dan juga peralihan pola produksi.

e. Perbaikan iklim investasi dan pembenahan industri.

D.2. Zulkieflimansyah (Ketua Dept. Kebijakan Ekonomi PKS)

a. Pemerintah mengkomunikasikan kepada masyarakat bahwa tak ada penyelesaian singkat dalam menyelesaikan kemelut ekonomi.

b. Terus menjaga momentum baiknya variabel-variabel makroekonomi demi terciptanya lingkungan yang kondusif bagi tersemainya bibit-bibit industri yang tangguh dan andal. Pada saat yang sama juga dilakukan reformasi dan vitalisasi sektor perpajakan.

c. Harus ada upaya dan perencanaan yang serius untuk membangun industrial

base yang tangguh.

d. Menciptakan lingkungan investasi yang atraktif dan hazard free kepada perusahaan-perusahaan asing yang mau melakukan alih teknologi di Indonesia.

D.3. Aviliani (Pengamat ekonomi)

Memberikan solusi berupa peningkatan kualitas produk domestik agar mampu menyaingi produk impor dan meningkatkan ekspor guna menambah devisa. Namun daya saing produk domestik masih rendah, selain kualitas yang belum mampu bersaing juga dikarenakan (1) biaya modal atas pinjaman bank yang tinggi; (2) Kebijakan ketenagakerjaan yang memperkuat eksistensi serikat buruh yang menyebabkan biaya tenaga kerja relatif mahal ketimbang produktivitas; (3) Tingginya tarif listrik, BBM dan telepon; (4) Biaya-biaya terkait pelaksanaan otonomi daerah yang kerap kali menimbulkan kenaikan pajak daerah, retribusi, dan biaya-biaya lain baik legal maupun ilegal.

(5)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

D.4. Fahmy Radhi (Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM,

Pengelola&Pengajar Program Diploma FE UGM)

Memberikan solusi untuk menghentikan atau setidaknya memperlambat akselerasi proses deindustrialisasi, khususnya pada tahun 2006, yaitu:

a. Mengembangkan kebijakan yang memberikan stimulus bagi sektor industri, diantaranya menurunkan bea masuk bagi impor bahan baku dan bahan penolong yang masih dibutuhkan industri dalam negeri.

b. Menciptakan iklim investasi kondusif yang memungkinkan peningkatan investasi, baik PMDN maupun PMA.

c. Mengupayakan adanya keseimbangan stabilitas ekonomi makro, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta menekan tingkat suku bunga dan tingkat inflasi.

E. Pertumbuhan industri manufaktur

E.1. Hendri Saparini (Managing Director Econit - Pengamat Ekonomi)

Mulai tahun 2006 pertumbuhan industri manufaktur terus menurun, ditunjukkan pada gambar 1. Pada tahun 2005, penurunan yang terjadi cukup signifikan. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan naiknya harga BBM pada Maret 2005 rata-rata sebesar 29% dan Oktober 2005 rata-rata sebesar 126%. Pasalnya kenaikan harga BBM ini otomatis menyebabkan kenaikan biaya produksi di sektor industri, sementara harga jual produk di pasar tidak dapat disetarakan dengan kenaikan harga BBM tersebut. Hal ini disebabkan menurunnya daya beli konsumen akibat kenaikan BBM itu sendiri dan akibat membanjirnya produk impor dengan harga yang lebih kompetitif.

Gambar 1. Pertumbuhan Industri Manufaktur

Sumber: Hendri Saparini

Demikian pula bila dibandingkan dengan pertumbuhan PDB (gambar 2), pertumbuhan sektor industri semakin melemah. Mulai tahun 2006 sampai dengan kwartal 2 tahun 2007 pertumbuhan industri masih menopang pertumbuhan PDB namun mulai kwartal 3 tahun 2007 pertumbuhan industri terus menurun.

7,20%

5.86%

5.27% 5.15%

5%

(6)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

Gambar 2. Pertumbuhan industri manufaktur dan PDB

Sumber : Hendri Saparini

Sedangkan, dilihat secara per sektor, sebagian besar sektor industri mengalami pertumbuhan yang menurun bahkan minus. Hanya sektor industri alat angkut, mesin dan kendaraan saja yang terus mengalami pertumbuhan positif, ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Pertumbuhan industri manufaktur per sektor

* Jan-Agt

Sumber : Hendri Saparini

F. Penyerapan tenaga kerja di sektor industri

F.1. Fahmi Radhy-Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM, Pengelola&Pengajar Program Diploma FE UGM

Kemampuan sektor industri dalam menyerap tenaga kerja semakin melemah. Selama periode sebelum krisis, penyerapan tenaga kerja di sektor industri mencapai rata-rata sebesar 7,1 persen per tahun. Sementara, selama periode setelah krisis hingga akhir tahun 2005 penyerapan tenaga kerja sektor industri hanya mencapai rata-rata 1,9 persen per tahun.

4.6 4.7 5.3 5.5 4.5 3.8 4.3 2.4 5.5 5.4 6 6.3 6.5 6.3 6.3 6.4 0 1 2 3 4 5 6 7 2006 2007 Q1-07 Q2-07 Q3-07 Q4-07 Q1-08 Q2-08 industri PDB 7.22 1.23 -0.66 2.09 4.48 0.53 4.73 7.55 3.62 5.05 -2.68 -1.74 5.79 5.69 3.4 1.69 9.73 -2.82 -2.36 -3.43 0.32 0.42 3.49 -0.48 2.98 15.82 -4.26 Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Kulit dan Alas Kaki

Barang Kayu dan Hasil Hutan Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia dan Barang Karet Semen dan Bahan Nonlogam Logam Dasar, Besi dan Baja

Alat Angkut, Mesin dan Peralatan Barang Lainnya 2006 2007 2008*

(7)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

F.2. Zulkieflimansyah (Ketua Dept. Kebijakan Ekonomi PKS)

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, terlihat bahwa dalam periode 1988-1997, pertumbuhan tenaga kerja di sektor manufaktur rata-rata 7,1 persen. Daya serap ini mengalami penurunan drastis setelah krisis (1998-2002) menjadi rata-rata 1,9 persen. Bahkan untuk tahun 2002, penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur hanya 0,2 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan penyerapan tahun 2001 (3,8 persen).

Catatan:

Namun data yang dirilis BPS menyebutkan bahwa mulai Februari 2005 sampai dengan Agustus 2008, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri semakin meningkat. Bahkan per-Februari 2007, industri merupakan salah satu sektor yang mengalami peningkatan jumlah pekerja dibandingkan keadaan Februari tahun sebelumnya. Jumlah pekerja di sektor industri per-Februari 2006 sempat mengalami penurunan dibanding Februari tahun 2005, namun untuk tahun selanjutnya terus meningkat, ditampilkan dalam tabel berikut.

Tabel 3. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama (dalam jutaan)

Lapangan Pekerjaan Utama

2005 2006 2007 2008

Februari Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus

Pertanian 41,81 42,32 40,14 42,61 41,21 53,69 41,33

Pertambangan 0,81 0,95 0,92 1,02

Industri 11,65 11,58 11,89 12,09 12,37 12,44 12,55

Listrik, gas, dan air 0,19 0,21 0,23 0,25 Konstruksi 4,42 4,37 4,70 4,40 5,25 4,73 5,44 Perdagangan 18,90 18,56 19,22 19,43 20,55 20,68 21,22 Transportasi 5,55 5,47 5,66 5,58 5,96 6,01 6,18 Keuangan 1,04 1,15 1,35 1,25 1,40 1,44 1,46 Jasa kemasyarakatan 10,58 10,57 11,36 10,96 12,02 12,78 13,10 Lainnya* 1,17 1,27 1,27 Total 94,95 95,18 95,46 97,58 99,93 102,05 102,55

* Lapangan pekerjaan utama/ sektor lainnya terdiri dari sektor pertambangan serta listrik, gas dan air Sumber : Berita resmi BPS

Berdasarkan data BPS tersebut, maka terjadi peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja di sektor industri dalam tiga tahun terakhir, karena secara logika jumlah tenaga kerja yang bekerja di satu sektor mencerminkan tingkat penyerapan sektor tersebut terhadap tenaga kerja.

G. Perusahaan yang merelokasi pabrik

G.1. Rahardi Ramelan (Mantan Memperindag)

Jumlah industri dari tahun ke tahun juga terus mengalami penurunan, jika pada tahun 1996 masih mencapai 22.997, tahun 2000 turun menjadi 22.174, tahun 2001 menjadi 21.398, dan di tahun 2002 tinggal 21.146 industri.

(8)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN

DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN

DPR

RI

H. Kesimpulan

H.1. Berdasarkan data yang diperoleh, pasar domestik memang tengah dibanjiri oleh produk impor. Hal tersebut disebabkan harga produk impor yang lebih kompetitif dan bahan baku industri nasional bergantung pada impor.

H.2. Berdasarkan data yang diperoleh, menurunnya penyerapan tenaga kerja di sektor industri tidak terjadi.

H.3. Terlepas dari telah atau belumnya deindustrialisasi terjadi pada sektor industri nasional, tetap dibutuhkan langkah untuk mengantisipasi dan mengatasi hal tersebut. Pertumbuhan sektor industri yang terus menurun beberapa tahun terakhir dan membanjirnya produk impor ke dalam negeri diharapkan sudah menjadi semacam warning bahwa sektor industri nasional tengah mengalami stagnasi.

Gambar

Tabel 1. Impor menurut Golongan Barang Ekonomi (juta US$)
Gambar 2. Pertumbuhan industri manufaktur dan PDB
Tabel 3. Penduduk Usia 15  Tahun ke  Atas  yang Bekerja menurut Lapangan  Pekerjaan  Utama (dalam jutaan)

Referensi

Dokumen terkait

Fenomena ketidakdisiplinan masyarakat dalam berlalu lintas ini salah satunya didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum,

(larut dalam garam) dan glutenin (Iarut dalam asid atau alkali). Beberapa penyelidik telah melaporkan kandungan protein di dalam biji nangka adalah dalam.. Walau

Penelitian ini mengetahui Pengaruh dana pengembangan usaha agribisnis perdesaan terhadap anggota kelompok pada Gapoktan di Kelurahan Rejosari Kecamatan Tenayan

Metode yang dikembangkan untuk mendukung pendataan di berbagai sektor keamanan, dibutuhkan teknologi yang mampu menyiapkan maupun memproses dan menampilkan informasi secara

Hipotesis tindakan dalam penelitian ini model pembelajaran problem solving dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, keterampilan pengelolaan pembelajaran guru, dan

Anda akan diberi waktu 20 menit setelah pembacaan kedua untuk menjawab Pertanyaan 2 dalam bahasa INDONESIA dalam buku tulis yang disediakan!. Apabila diperlukan, tersedia buku

Dari sudut pandang lingkungan hidup, sektor konstruksi merupakan pengguna sumberdaya alam yang sangat besar serta memproduksi limbah dan polusi dalam jumlah yang sangat

/E.. seluruh wilayah Kabupaten Brebes, baik yang berasal dari wilayah Jawa maupun Sunda. Budaya ini hingga kini masih cukup kuat di tengah masyarakat. Tilik, dalam bahasa