• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENDEKATAN FLOOR TIME TERHADAP KEMAMPUAN BERBAHASA PADA ANAK AUTISTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENDEKATAN FLOOR TIME TERHADAP KEMAMPUAN BERBAHASA PADA ANAK AUTISTIK"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENDEKATAN FLOOR TIME TERHADAP

KEMAMPUAN BERBAHASA PADA ANAK AUTISTIK

Vidya Pangestika

Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang E-mail: phe_dya@yahoo.com

ABSTRAK: Autistik merupakan suatu gangguan perkembangan dengan ciri-ciri yang

tampak mencakup bahasa, komunikasi, dan perilaku ritualistik/stereotip. Dalam mengatasi keterbatasan kemampuan pada anak autistik, beberapa ahli mengembangkan pendekatan pembelajaran, salah satunya adalah pendekatan floor time. Pendekatan dengan metode interaktif atau bermain dengan anak yang berlandaskan pada ikatan relasi dan difokuskan pada minat anak. Penelitian ini menggunakan desain repeated measures pada 3 subjek dengan usia 3-5 tahun. Hasil penelitian ini dengan uji Wilcoxon 2-related samples adalah pendekatan floor time memberikan pengaruh terhadap kemampuan berbahasa anak autistik. Peningkatan rata-rata kemampuan berbahasa yaitu engagement 8,20, imitasi 2,07, bahasa reseptif 6,53, bahasa ekspresif 4,00. Peningkatan kemampuan berbahasa juga dipengaruhi oleh kontinuitas dan kehadiran orang tua terutama ibu. Kedua hal ini cukup membantu dalam meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak autistik.

Kata kunci: pendekatan floor time, kemampuan berbahasa, anak autistik

ABSTRACT: Autistic is developmental disorder with characteristics include language,

communication, and ritualistic/stereotype. To involve skill limitation in autistic children some experts develop learning approach, one of it is floor time approach. This approach use interactif metode or playing with children that based on relationship and focused on

children’s interests. This study use repeated measures design with 3 subject on 3-5 years old. The result of this study with Wilcoxon 2-related samples test is floor time approach give effects to language skills in autistic children. The increasing of language skill are engagement 8,20, imitation 2,07, reseptive language 6,53, and expressive language 4,00. The increasing of language skill is also influenced by continuity and presence of parents especially mother. Both of these are quite helpful to improving language skill in autistic children.

(2)

Anak-anak dengan autistik mengalami gangguan atau hambatan dalam berkomunikasi dan mengalami kelainan di pusat bahasanya. Sebagian besar anak autistik sering mengalami hambatan dalam berbahasa baik verbal maupun nonverbal. Bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak dapat berbicara (Irwanto dkk, 2011). Namun, terdapat pula anak memiliki ketrampilan berbahasa, tetapi biasanya digunakann secara tidak lazim seperti echolalia (mengulang kembali apa yang didengar dengan nada suara tinggi dan monoton), penggunaan kata ganti orang yang terbalik, menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti artinya oleh mereka yang kenal dekat dengan anak, dan kecenderungan untuk meninggikan nada suara di akhir kalimat (Leekan & Lopez dalam Nevid, 2003).

Manusia normal maupun yang mengalami gangguan seperti autisme sangat membutuhkan bahasa. Bahasa merupakan sarana komunkasi manusia dalam mengadakan hubungan dengan sesamanya. Dengan bahasa memungkinkan manusia untuk

mengekspresikan dan memahami sejumlah ungkapan-ungkapan unik yang tak terbatas yang dibuat pada suatu saat tertentu (Carole & Carol, 2007). Dengan bahasa pula, anak-anak dengan autistik akan lebih mudah dipahami dan memahami minat pada diri mereka.

Berkaitan dengan keterbatasan-keterbatasan yang dialami anak autistik seperti bahasa, para ahli telah mengembangkan pendekatan pembelajaran bagi anak autistik. Salah satunya adalah pendekatan The Developmental Individual Difference Relationship-Based (DIR) atau lebih dikenal dengan pendekatan floor time. Pendekatan ini dapat digunakan untuk

mengembangkan kemampuan berkomunikasi pada anak autistik (Surfas, 2004). Pendekatan ini ditekankan pada spontanitas dan suasana yang menyenangkan. Dalam pelaksanaannya menciptakan interaksi dan komunikasi yang berkesinambungan (Greenspan, 2010).

Model DIR berdasarkan tiga pemahaman utama yaitu untuk menciptakan program-program yang berlandaskan pada enam tahap perkembangan yang telah dicapai anak, profil pemrosesan individualnya, dan relasi interaktif yang paling mendukung perkembangannya. Oleh karena itu, model DIR memungkinkan orang tua, pendidik, dan praktisi klinis untuk membuat penilaian dan merencanakan program penanganan yang sesuai untuk setiap anak dengan gangguan autistik (Greenspan & Wieder, 2006).

DIR sering disebut sebagai floor time, yang sebenarnya floor time merupakan salah satu komponen dari program penanganan berbasis DIR yang terpadu. Floor time berfokus pada penciptaan interaksi pembelajaran yang bermakna secara emosional, yang mendorong enam kapasitas perkembangan dasar anak. Tujuan penanganan model floor time adalah membangun landasan-landasan untuk perkembangan yang sehat, alih-alih hanya mengelola

(3)

perilaku dan gejala permukaan. Dengan pendekatan ini anak belajar menguasai kemampuan-kemampuan penting.

Konsep dasar dalam pendekatan floor time adalah Circles of Communication (CoC). CoC mengacu pada komunikasi timbal-balik dengan dua partisipan yang saling menjawab satu sama lain secara verbal atau nonverbal (Greenspan dalam Dionne & Martin, 2011). Pendekatan floor time dapat meningkatkan beberapa kemampuan anak untuk berkomunikasi dan berbahasa secara mandiri dan bermakna serta meningkatkan pengalamanan-pengalaman timbal-balik sosial (the social reciprocity experiences) pada anak (Surfas, 2004). Pendekatan floor time menghasilkan kemajuan dalam kemampuan emosional dan kognitif pada anak autisme (Dionne & Martin, 2011).

METODE Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan desain repeated mesures (bagan 1) yaitu memberikan perlakuan pada satu kelompok dengan melakukan beberapa kali

pengukuran. Penelitian ini menerapkan pengukuran secara berulang pada kondisi awal subjek yaitu selama 5 kali pengukuran sebagai pretest. Selanjutnya, subjek diberi intervensi selama 5 kali dan selama pemberian intervensi, kondisi subjek juga turut diukur (posttest).

O1 - O2 - O3 - O4 - O5 X O6 - O7 - O8 - O9 - O10

Bagan 1. Desain Repeated Measures

Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini berjumlah 3 orang dengan karakteristik yaitu (1) berusia 3-5 tahun, (2) telah didiagnosis mengalami gangguan autistik dengan keterbatasan dalam

berbahasa baik verbal maupun nonverbal, (3) belum pernah mendapatkan intervensi apapun.

Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan checklist The Affect-Based Language Curriculum (ABLC): An Intensive Program For Families, Therapist, And Teachers yang dikembangkan oleh Stanley Greenspan (Greenspan,1998). Cheklist ini berisikan keterampilan-keterampilan perkembangan bahasa yang meliputi Engagement, Imitasi, Bahasa Reseptif, dan Bahasa Ekspresif. Checklist ini terdiri dari Instruksi Sistematik dan Applied Floor Time.

(4)

Tabel 1. Sasaran-sasaran Instruksi Sistematik

NO. SKILL TARGET KEMAMPUAN

1. Engagement

membentuk sebuah kedekatan dan hubungan yang menyenangkan dengan orang dewasa atau teman sebaya.

a.Anak terlibat dan memperhatikan orang dewasa dan/atau benda yang digunakan selama 10 detik. b.Anak terlibat dan memperhatikan orang dewasa

dan/benda yang digunakan selama 30 detik. c.Anak terkibat dalam pertukaran yang bermakna

antara dirinya dengan orang dewasa dalam satu waktu.

d.Anak menunjukkan ketertarikan pada orang dewasa dengan atau tanpa mainan, dengan sebuah maksud, ingin sekali, pandangan atau gesture yang mengharapkan sesuatu (misal, menyentuh, menggelengkan kepala, menatap, dan lain-lain). e.Anak menggunakan gerakan sederhana dan penuh

arti, seperti pandangan yang mengharap, menjangkau, atau gerak-gerik untuk berinteraksi. f.Anak melihat orang dewasa saat berinteraksi. g.Anak menyampaikan/ menyuarakan dengan

mulutnya saat anak lapar, senang/ menikmati kegiatan, marah atau memprotes yang terjadi, menarik perhatian orang dewasa

2. Imitasi Kemampuan anak

untuk melihat apa yang orang lain lakukan dan

menirukannya dengan tubuh anak.

a.Anak merespon suara orang dewasa dengan suara mereka sendiri.

b.Anak berhenti membuat suara untuk

mendengarkan orang dewasa ketika orang dewasa mulai meniru atau bergabung dalam permainan suara.

c.Anak terus membuat suara setelah dia berhenti merespon orang dewasa.

d.Anak menirukan ekspresi wajah orang dewasa. e.Anak menirukan vokal atau konsonan tertentu.

3. Bahasa Reseptif Kemampuan

anak untuk mendengarkan dan mengerti apa yang dikatakan, yang diperintahkan atau mempelajari konsep baru.

a.Anak kaget ketika anak mendengar suara keras. b.Anak menghentikan kegiatan ketika didekati oleh

sesuatu yang menimbulkan suara, misalnya suara orang dewasa.

c.Anak merespon suara yang tidak terlihat, seperti suara bel pintu, mesin mobil di depan rumah, dan lain-lain.

d.Anak menghadapkan wajahnya untuk mendengarkan orang yang sedang bicara dengannya dan menunjukkan ekspresi. e.Anak menoleh ke sumber suara.

4. Bahasa Ekspresi

Kemampuan anak untuk menggabungkan kata-kata dalam frase dan kalimat, merespon pertanyaan konkret dan abstrak.

a.Anak tersenyum merespon orang dewasa atau membuat suara lain dari kesenangan ketika berinterkasi dengan orang dewasa.

b.Anak menghasilkan vokal seperti [ah], [oh], atau [oo] ketika orang lain berinteraksi dengan dia. c.Anak menghasilkan konsonan seperti [m], [b], [p],

(5)

dia.

d.Anak menggabungkan lebih dari satu vokal atau konsonan bersama-sama.

e.Anak merepon secara vokal saat dipanggil orang lain.

f.Anak membuat suara dengan mulutnya untuk merespon nyanyian terapis.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam 10 sesi. Durasi pemberian intervensi ± 45 menit setiap sesi. Lima sesi di minggu pertama untuk mengukur kemampuan berbahasa awal subjek dan minggu kedua (mulai sesi keenam) subjek mulai diberikan intervensi sekaligus diukur kemampuan berbahasanya. Hingga sesi kesepuluh.

1. Langkah-Langkah Intervensi a. Observasi

Pada tahap ini, peneliti melakukan pengamatan terhadap subjek. Proses pengamatan ini dilakukan dengan mengamati saat anak beraktivitas. Tahap observasi ini bertujuan untuk menentukan subjek yang sesuai dengan karakteristik dan level perkembangan bahasa anak. b. Penentuan Instruksi Sistematik

Instruksi sistematik adalah ketika peneliti mengajarkan anak keterampilan baru sambil mempertahankan kesenangan atau minat dan keterlibatan anak. Instruksi sistematik ini mengacu pada Developmental Level. Dengan kata lain, dalam tahap ini peneliti menentukan goals yang akan dicapai anak sesuai dengan tahap perkembangannya.

Tahap ini peneliti mengajarkan ketrampilan-ketrampilan untuk kemampuan berbahasa. Awalnya peneliti melakukan

1. Foundation (Dasar): proses memperkenalan semua pengajaran Instruksi sistematik pada anak. Disini, peneliti harus memastikan bahwa merasa nyaman, senang dan menikmati materi-materi yang diberikan peneliti.

2. Physical Prompt (Arahan Fisik): peneliti akan menyajikan tugas yang harus diselesaikan anak. jika anak tidak merespon dalam waktu yang diberikan, peneliti akan mengambil tangan anak dan memindahkannya pada tugas dan mendukungnya dengan respon emosional yang positif.

(6)

3. Model (Contoh): peneliti akan memberikan demontrasi kepada anak tentang apa akan anak lakukan untuk tugas yang diberikan

4. Cue (Petunjuk): peneliti hanya memberikan petunjuk saja.

5. Independent (Mandiri): anak mampu menyelesaikan tugas tanpa model atau physical prompt. Respon pada tingkat ini harus dimediasi melalui bahasa dan/atau gestur. Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Wilcoxon 2-related sampel (Sunyoto, 2012). Uji ini untuk mengetahui efektifitas pengaruh pendekatan floor time terhadap kemampuan berbahasa dengan membandingkan hasil kemampuan berbahasa sebelum intervensi dengan hasil kemampuan berbahasa selama intervensi. Uji ini digunakan karena jumlah sampel yang digunakan berjumlah kecil yaitu n = 3, distribusi data tidak normal dan tidak homogen. Pengolahan dan analisis data penelitian tentang pengaruh pendekatan floor time akan menggunakan bantuan program SPSS 17.0 for Windows.

HASIL

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Pengaruh Pendekatan Floor Time Terhadap Kemampuan Berbahasa Pada Anak Autistik Pengaruh pendekatan floor time dianalisis dengan Uji Wilcoxon 2-related samples yaitu dengan membandingkan hasil kemampuan berbahasa subjek pada prestest dan posttest. Hasil dari uji tersebut adalah 0,043 (p<0,05) dan mean rank pada positive rank yaitu 3,00 maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis penelitian yaitu adanya pengaruh pendekatan floor time terhadap kemampuan berbahasa pada anak autistik diterima. Artinya pendekatan floor time berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak autistik.

2. Gambaran Rata-Rata Kemampuan Berbahasa Pada Ketiga Subjek

Kemampuan berbahasa rata-rata awal ketiga subjek sebelum pemberian intervensi adalah engagement 79,33, imitasi 68,33, bahasa reseptif 32,33, dan bahasa ekspresif 101,67. 3. Gambaran kemampuan berbahasa pada masing-masing subjek

a. Subjek Na : kemampuan engagement (14,60), imitasi (12,80), bahasa reseptif (7,00) dan bahasa ekspresif (21,80). Kemampuan subjek Na termasuk kemampuan berbahasa rendah (< rata-rata kelompok).

b. Subjek Wi : kemampuan engagement (19,20), imitasi (15,40), bahasa reseptif (6,80), bahasa ekspresif (21,60). Kemampuan subjek Wi termasuk kemampuan berbahasa rendah (< rata-rata kelompok).

(7)

c. Subjek Ja : kemampuan engagement (13,80), imitasi (12,80), bahasa reseptif (6,20), bahasa ekspresif (17,60). Kemampuan berbahasa Ja termasuk dalam kemampuan berbahasa yang rendah (< rata-rata kelompok).

4. Peningkatan Kemampuan Berbahasa Pada Setiap Subjek

Setelah mendapatkan intervensi kemampuan berbahasa pada subjek mengalami peningkatan yaitu:

a. Subjek Na pada engagement (13,6%), imitasi (3,4%), bahasa reseptif (5,4%), dan bahasa ekspresif (2%).

b. Subjek Wi pada engagement (5%), imitasi (1%), bahasa reseptif (13,6%), dan bahasa ekspresif (3,2%).

c. Subjek Ja pada engagement (6%), imtasi (1,8%), bahasa reseptif (0,6%), dan bahasa ekspresif (7%).

Bagan 2. Perbandingan Kemampuan Bagan 3. Perbandingan Kemampuan

Berbahasa Subjek Na Sebelum Berbahasa Subjek Wi Sebelum

(8)

Bagan 2. Perbandingan Kemampuan

Berbahasa Subjek Na Sebelum

dan Setelah Intervensi

Ketiga bagan di atas menunjukkan hasil pengaruh pendekatan floor time terhadap peningkatan kemampuan berbahasa yang berbeda-beda pada setiap subjek. dan pada setiap komponen bahasa juga menunjukkan peningkatan yang berbeda-beda. Dari hasil analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini maka adanya peningkatan kemampuan berbahasa pada anak autistik setelah mendapatkan intervensi. Dengan demikian, terdapat pengaruh kemampuan berbahasa pada anak autistik dan pengaruh yang diberikan berbeda-beda baik pada setiap subjek dan komponen bahasa.

DISKUSI

Pada pendekatan floor time terdapat 5 tahap awal perkembangan yang seharusnya dikuasai oleh anak yaitu tahap 1: regulasi dan minat pada dunia, tahap 2: terlibat dan berelasi, tahap 3: komunikasi 2 arah yang bertujuan, tahap 4: penyelesaian pemahaman diri, dan tahap 5: menciptakan simbol dan menggunakan kata serta gagasan (Greenspan & Wieder, 1998).

Subjek-subjek penelitian pada baseline menunjukkan belum memiliki tahap awal perkembangan yang diungkapkan Greenspan. Subjek tidak menunjukkan regulasi dan minat pada lingkungan sekitarnya. Hal ini terlihat dari minimnya kontak mata, ekspresi wajah (senyuman) selama kegiatan (APA, 2000). Subjek lebih banyak berminat pada diri sendiri, tidak adanya usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain-asyik bermain sendiri seperti berputar-putar. Subjek juga tidak merespon sentuhan, godaan dari terapis (meniupkan bubble ke badan subjek).

Kemampuan komunikasi dua arah subjek pun sangat kurang. Subjek tidak respon gesture, pujian, dari terapis. Anak hanya sesekali menunjukkan protes atau marah ketika hal

(9)

tidak menyenangkan terjadi pada subjek. Misalnya, terapis mengambil kue atau mainan dari subjek. Subjek juga jarang menggunakan kata dalam menyampaikan keinginannya atau ketidaksukaannya lebih banyak dengan gerakan-gerakan yang tidak bermakna.

Subjek sering kali berkomunikasi dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang lain baik dengan vokal ataupun isyarat tubuh. Subjek sangat jarang berbicara, tidak menengok ketika orang lain memanggilnya, dan tidak adanya keinginan atau usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain-lebih asyik bermain sendiri (DSM IV-TR). Menurut Towne (dalam Soetjiningsih, 2005), dalam perkembangan bicara dan berbahasa anak usia dini (0-1 tahun), anak akan reflek merespon suara yang ia dengar. Misalnya menoleh ke sumber suara, menghentikan kegiatan saat didekati suara, atau anak tersenyum ketika orang tua mengajak bercanda. Namun, respon-respon itu tudak terjadi pada subjek. Subjek tidak menunjukkan respon terhadap suara, ucapan, sentuhan dari orang lain, anak sulit menirukan atau melanjutkan kata sederhana yang diucapkan ibu dan subjek tidak bisa menyebutkan namanya sendiri.

Di samping itu, subjek memperlihatkan cara-cara berkomunikasi dengan cara physical manipulation yaitu menggunakan anggota tubuh orang lain untuk memenuhi keinginannya. Misalnya, subjek menarik-narik tangan ibu sambil berteriak dengan tujuan ibunya

mengambilkan kue di dalam tas.

Selama penerapan intervensi, ibu subjek turut serta terlibat dalam kegiatan bermain bersama subjek. Kehadiran sosok orang tua terutama ibu juga ikut mempengaruhi

peningkatan kemampuan berbahasa subjek. Hal ini terlihat pada subjek yang menunjukkan respon berbeda saat ibu tidak hadir dalam kegiatan. Subjek menjadi lebih aktif dan terlibat saat ibu hadir di sekitar anak, meskipun ibu hanya melihat saja. Respon subjek tersebut menandakan bahwa ada keterikatan antara subjek dengan ibu yaitu pola keterikatan yang aman atau secure attachment (Mary Ainsworth,1979 dalam Santrock, 1995:197). Keterikatan ini digunakan subjek sebagai landasan yang aman untuk mengeksplorasi lingkungannya. Subjek yang merasa aman dapat merespon secara positif stimulus-stimulus yang disampaikan terapis sehingga membantu dalam peningkatan kemampuan berbahasa subjek.

Dominingue (2001), intervensi pendekatan floor time yang berbasis family therapy yang berpusat pada hubungan orang tua dan anak membantu dalam pengembangan interaksi komunikasi dengan anak. Dengan kata lain, kelekatan (attachment) antar orang tua dan anak autistic sangat diperlukan dalam perkembangan-perkembangan anak termasuk perkembangan kemampuan berbahasanya. Attachment membantu orang tua mengerti kebutuhan dan

(10)

kesenangan anak sehingga orang tua dapat memberikan perlakuan yang tepat pada anak autistik.

Pemberian intervensi secara berkelanjutkan pendekatan floor time dapat memperluas lingkaran komunikasi dengan anak yang didiagnosis dengan autisme (Dionne & Martin, 2011). Pemberian intervensi ini dilatihkan kepada baik di tempat terapi dan di rumah. Terapis menerapkan setiap hari dengan durasi waktu sekitar 30 menit atau disesuaikan dengan

kondisi anak. Begitu pula di rumah, orang tua mengajak anak berinteraksi, berkomunikasi dan menjalin kedekatan dengan media yang mudah diterima oleh anak.

Kontinuitas dari pelaksanaan intervensi dalam penelitian ini yaitu selama 5 hari berturut-turut cukup mampu memberikan dampak pada kemampuan berbahasa subjek. Perkembangan subjek terlihat sedikit lebih mau melibatkan diri dengan orang lain (di luar orang tua), mau memunculkan minatnya dengan penyampaian secara verbal yang sederhana.

Pemberian intervensi secara berkelanjutan ini cukup efektif dalam melatihkan dan mengembangkan keterampilan-keterampilan berbahasa baru bagi subjek. Subjek mulai memperlihatkan peningkatan dan menguasai keterampilan-keterampilan yang dilatihkan terapis (sesi ke-3 intervensi). Subjek mulai bisa menyampaikan keinginan dan ketertarikan dengan gesture dan kata sederhana.

Di samping itu, kontinuitas ini menjadikan keterampilan-keterampilan berbahasa baru sebagai rutinitas sehingga subjek akan terbiasa dan dapat secara mandiri dalam berbahasa.

PENUTUP

Pendekatan floor time memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan berbahasa pada anak autistik. Pengaruh pendekatan ini dapat dilihat dari perbedaan

kemampuan berbahasa ketiga subjek saat sebelum intervensi dan setelah intervensi. Pengaruh pendekatan berbeda pada setiap subjek dan pada setiap komponen kemampuan berbahasa.

Saran atau rekomendasi yang diajukan adalah sebagai berikut: Pendekatan floor time dapat dijadikan sebagai refensi terapi yang cukup efektif menangani anak autistik yang memiliki masalah dalam berbahasa. Pendekatan ini lebih menyenangkan dan lebih mudah untuk diterima oleh anak. kegiatan bermain yang bermakna, dengan mengajak anak

berinteraksi secara kontinu dan rutin. Selain itu, orang tua sangat perlu untuk mendampingi anak selama proses kegiatan, terutama pada anak usia 0-5 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia itu anak memiliki kelekatan dengan orang tua dan masih sangat membutuhkan kehadiran orang tua dalam hal membantu penyesuaian diri anak.

(11)

DAFTAR RUJUKAN

American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disordes. 4thEdition, Text Revision. Washington, D.C.:, Author.

Dionne, Maryse & Martini, Rose. 2011. Floor Time Play with a Child autism: A Single subject study. Canadian Journal of Occupation Therapy, 78(3): 196-203.

Domingue, B, Cultler, B. & Mc Tarnaghan J. 2001. The Experience of Autism in The Lives of Families in A.M Wetherby & B.M Prizant (Eds). Autism Spectrum Disorders a Transoctional Developmental Perspective (pp. 369 393) Baltimore, MD: Paul H. Brookes.

Greenspan, Stanley, Lewis, Diana. The Affect-Based Language Curriculum (ABLC): An Intensive Program For Families, Therapist, And Teachers.

Greenspan, Stanley & Wieder, Serena. 2010. Enganging Autism: Melangkah Bersama Autisme. Jakarta: Yayasan Ayo Main.

Irwanto, Setiadi, Rudy, dkk. 2011. Austime Dari A Sampai Z: Edisi Khusus Majalah Anak Spesial. Jakarta: CV. Anak Spesial Mandiri.

Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly. 2003. Psikologi Abnormal-Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Surfas, Sean. 2004. The Developmental, Individual Difference, Relationship Based“DIR” Therapy With Older Students With Severe Developmental Disabilities including Autism.

Santrock, W. John. 1995. Life-Span Developmental: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.

Soetjiningsih & Ranuh, IG. N Gede. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sunyoto, Danang. 2012. Statistika Non Parametrik untuk Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Gambar

Tabel 1. Sasaran-sasaran Instruksi Sistematik

Referensi

Dokumen terkait

Puji Syukur kepada Tuhan yang telah memberkati Pembinaan Pelayanan Kepemimpinan Gereja secara khusus selama 2 (dua) kali dan pada hari ini, Minggu, 16 Oktober 2011 akan

SMK3 adalah ialah singkatan dari Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang merupakan bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur

Sutrisno (2012) juga menyatakan bahwa antara QCC dan jumlah kerusakan memiliki hubungan negatif, yaitu QCC akan meningkat apabila jumlah produk rusak menurun begitu

Hasil uji simultan dengan F-Test (Anova b ) digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen, apakah variabel komitmen organisasi (X 1 ) dan

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Marlina (2010) yang melakukan penelitian terhadap petugas laboratorium mengenai prosedur mutu laboratorium di balai teknik

Tämän tutkimuksen asiasanoja ovat terveyden edistäminen, terveysneuvonta, nuoret, terveydenhoitaja sekä ammatillinen oppilaitos.. Aiheeseen liittyviä aiempia tutkimuksia

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis

Setelah dilakukan observasi dan wawancara, diketahui beberapa penyebab perusahaan melakukan pemesanan ketika persediaan material pada gudang tersedia dalam jumlah