• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESAIN KURIKULUM YANG RELEVAN UNTUK PENDIDIKAN KARAKTER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DESAIN KURIKULUM YANG RELEVAN UNTUK PENDIDIKAN KARAKTER"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

UNTUK PENDIDIKAN KARAKTER Anik Ghufron

FIP Universitas Negeri Yogyakarta (e-mail: anikghufron@uny.ac.id; HP: 08122757309)

Abstract: A Curriculum Design Relevant to Character Education. One of the problems that Indonesia has to solve today is that of the character education implementation, which is not optimal yet. At present, education is oriented to the development of the cognitive aspect at the low level. Parameters of students’ learning achievement are focused on the academic domain. Instructional activities focus more on the transfer of knowledge than on the process of transmitting moral values. The character education implementation is a complex process, especially in terms of the content organization. Should character education contents be separated from the subject curriculum or integrated in it? To solve this problem, it is necessary to develop a curriculum design relevant to character education.

Keywords: curriculum design, character education

PENDAHULUAN

Pendidikan karakter menjadi salah satu solusi alternatif bagi upaya pe-mecahan masalah dekadensi moral bangsa.Banyak pihak yakin bahwa pen-didikan karakter dapat mengatasi per-soalan moral bangsa, bahkan dapat me-ningkatkan atau memberi nilai tambah bagi capaian prestasi akademik peserta didik. Jacques S. Benninga, et.al. (Forrest W Parkay, Eric J. Anctil, and Glen Hass, 2010) menyatakan:

“In our sample, elementary schools with solid character education pro-grams showed positive relationship bet-ween the extent of character education implementation and academic achieve-ment not only in a single year but also across the next two years”.

Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter di negara kita? Pendidikan karakter belum diimplementasikan se-cara memadai. Pendidikan karakter masih terkesan diwacanakan. Walau-pun demikian, kita patut bersyukur karena pada saat ini pihak Kemendik-nas telah menetapkan pendidikan ka-rakter sebagai program nasional (Kom-pas, 2 Mei 2011). Kemendiknas juga sedang menyusun rumusan dan strategi implementasi pendidikan karakter se-hingga pendidikan karakter benar-benar membumi di dalam sistem pen-didikan nasional, baik melalui pem-biasaan maupun intervensi.

Apa yang dapat kita lakukan untuk merealisir program nasional Kemendik-nas di bidang pendidikan karakter ter-sebut? Salah satu cara yang bisa dilaku-kan adalah mengembangdilaku-kan desain

(2)

kurikulum yang relevan bagi imple-mentasi pendidikan karakter. Cara ini dipandang relevan digunakan karena efektivitas implementasi kurikulum selalu berkaitan dengan desain kuri-kulum. Ornsteins A.C dan Hunkins F.P (2004) menyatakan “…, design refers to the arrangement of the elements of a curri-culum into a substantive entity”. Dengan cara demikian, pihak sekolah perlu ter-lebih dahulu memikirkan desain kuri-kulum mana yang dipandang relevan untuk implementasi pendidikan karak-ter di sekolah.

Tulisan ini memuat tiga hal esen-sial. Pertama, makna pendidikan karak-ter. Kedua, pendekatan budaya untuk pengembangan pendidikan. Ketiga, de-sain kurikulum berbasis budaya. Ke-empat, pola pengembangan kurikulum berbasis budaya.

PENDIDIKAN KARAKTER

Sebelum membahas pendidikan ka-rakter, kita perlu mengetahui terlebih dahulu makna karakter. Bertitik tolak dari pengertian karakter yang disepa-kati, kemudian kita dapat mengkaji dan mengembangkan lebih lanjut hakiki dan ruang kajian pendidikan karakter.

Apa yang dimaksud dengan karak-ter? Karakter berarti tabiat atau kepri-badian. Hill (Chrisiana, 2005) mengata-kan, “Character determines someone’s pri-vate thoughts and someone’s action done. Good character is the inward motivation to do what is right, according to the highest standard of behavior in every situation”. Dalam konteks ini, karakter dapat di-artikan sebagai identitas diri seseorang. Menurut Ekowarni (2010), pada tatanan mikro, karakter diartikan (a)

kualitas dan kuantitas reaksi terhadap diri sendiri, orang lain, maupun situasi tertentu; atau (b) watak, akhlak, ciri psi-kologis. Ciri-ciri psikologis yang di-miliki individu pada lingkup pribadi, secara evolutif akan berkembang men-jadi ciri kelompok dan lebih luas lagi menjadi ciri sosial. Ciri psikologis in-dividu akan memberi warna dan corak identitas kelompok dan pada tatanan makro akan menjadi ciri psikologis atau karakter suatu bangsa. Pembentukan karakter suatu bangsa berproses secara dinamis sebagai suatu fenomena sosio-ekologis.

Berdasarkan pengertian di atas, da-pat dikatakan bahwa karakter merupa-kan jati diri, kepribadian, dan watak yang melekat pada diri seseorang. Karakter selalu berkaitan dengan di-mensi fisik dan psikis individu. Karak-ter bersifat kontektual dan kultural.

Karakter merupakan jati diri sese-orang yang merupakan kumulasi dari karakter-karakter pada setiap diri ma-nusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Ekowarni (2010) bahwa karakter me-rupakan nilai dasar prilaku yang men-jadi acuan tata nilai interaksi antar-manusia (when character is lost then

everyting is lost). Secara universal,

ber-bagai karakter dirumuskan seber-bagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect), kerjasama (cooperation), kebebasan

(free-dom), kebahagiaan (happinnes),

kejujur-an (honesty), kerendahkejujur-an hati (humility), kasih sayang (love), tanggung jawab (responsibility), kesederhanaan

(simplic-ty), toleransi (tolerance), dan persatuan

(3)

Dengan batasan demikian, para pengambil kebijakan atau pihak-pihak penyelenggara pendidikan perlu mem-perhatikan dan mengetahui makna ka-rakter dan kaka-rakter setiap individu. Hal ini perlu dilakukan karena kesalahan atau perbedaan makna tentang karakter seseorang berpengaruh terhadap keter-capaian tujuan pendidikan nasional yang memuat nilai-nilai luhur suatu bangsa.

Nilai-nilai apa saja yang terkandung di dalam karakter seseorang? Berdasar-kan makna karakter yang dipaparBerdasar-kan di atas, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah nilai-nilai yang ber-kembang, berlaku, diakui, diyakini, dan disepakati untuk dilaksanakan oleh se-tiap warga masyarakat atau negara. Nilai-nilai tersebut, menurut Ekowarni (2010) tidak lain adalah nilai-nilai luhur (supreme values) yang merupakan pe-doman hidup (guiding principles) yang digunakan untuk mencapai derajat ke-manusiaan yang lebih tinggi, hidup yang lebih bermanfaat, kedamaian dan kebahagiaan.

Kemanusiaan yang dimaksud ada-lah umanitarianisma (perikemanusiaan) yang meliputi solidaritas sesama ma-nusia, menghormati hakikat dan mar-tabat manusia, kesetaraan dan tolong menolong antarmanusia, menghormati perbedaan dalam berbagai dimensi an-tarmanusia, menciptakan kedamaian. Budi pekerti sebagai nilai luhur adalah pilihan perilaku yang dibangun ber-dasarkan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga sering diposisikan sebagai nilai instrumental atau cara mencapai sesuatu atau sikap terhadap sesuatu. Dengan budi pekerti, kita akan

berbak-ti, mengabdi dengan sepenuh jiwa raga kepadabangsa dan kita bukan bangsa pencaci ataupun penghujat.

Ekowati (2010) juga mengatakan bahwa bangsa Indonesia yang bersifat multi etnis memiliki khasanah ajaran,

wewarah, tuntunan yang sangat kaya

mengenai budi pekerti. Bagi masyara-kat Jawa, wewarah budi pekerti banyak diwarnai dari para pujangga seperti Ki Ageng Soerjomentaram dengan ajaran bahwa dalam menjalani hidup sebaik-nya menghindari perilaku:

ngangsa-angsa; ngaya-aya; golek benere dhewe.

Raden Mas Sosrokartono (saudaranya Raden Ajeng Kartini) adalah sarjana sastra pertama dari negeri Belanda yang mengajarkan sikap batin utama untuk menghadapi berbagai situasi konflik. Ajaran beliau adalah sugih tanpo bandha;

digdaya tanpo aji; nglurug tanpo bala; menangtanpo ngasorake.

Menurut Persyarikatan Muhamma-diyah (Hadisaputra, 2010), di antara nilai-nilai keutamaan atau karakter yang perlu dimiliki bangsa Indonesia, baik secara individual maupun kolektif sebagai berikut. Pertama, nilai-nilai spi-ritualitas. Kedua, nilai-nilai solidaritas. Ketiga, nilai-nilai kedisiplinan. Keempat, nilai kemandirian. Kelima, nilai-nilai kemajuan dan keunggulan.

Dalam konteks implementasi kuri-kulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), sesungguhnya nilai-nilai terse-but dapat dimasukkan menjadi isi atau muatan kurikulum untuk memperkaya kajian materi pembelajaran pokok. Hal ini selasar dengan salah satu prinsip implementasi KTSP, yaitu proses pem-belajaran adalah kreasi lingkungan yang dapat membentuk atau mengubah

(4)

struktur kognitif peserta didik, berhu-bungan dengan tipe pengetahuan yang harus dipelajari, dan harus melibatkan peran lingkungan sosial (Sanjaya, 2005: 81-82).

Pertanyaan berikutnya, apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter? Pendidikan karakter diartikan secara beragam oleh para ahli. Misalnya, T. Lickona (1991) menyatakan:

“In character education, it’s clear we want our children are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right-even in the face of pressure form without and temptation from within”.

Parkey, F.W, Hass, G.L. dan Anctill E.J (2011) menyatakan;

“character education can be defined in terms of relationship virtues (e.g., res-pect, fairness, civility, tolerance), self-oriented virtues (e.g., fortitude, self-di-cipline, effort, perseverance) or combi-nation of the two”.

Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pen-didikan Nasional, termuat pernyataan: “Pendidikan nasional berfungsi me-ngembangkan kemampuan dan mem-bentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka men-cerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang ber-iman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, ber-ilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan men-jadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Pernyataan tersebutsemakin menguatkan pandang-an bahwa di dalam proses pendidikpandang-an

terdapat proses pembentukan karakter hasil pendidikan berupa lulusan yang berkarakter.

Dari tiga contoh pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter merupakan model pendidikan pembentukan watak dan kepribadian peserta didik sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Watak dan kepribadian yang diharapkan dimiliki peserta didik, antara lain kejujuran, kedisiplinan, ke-tertiban, kemerdekaan, kemandirian, to-leransi, ketaatan, dan keadilan.

Pendidikan karakter tidak sama dengan pendidikan moral. Pendidikan karakter memiliki tingkatan lebih tinggi dan lebih kompleks daripada pendidik-an moral. Pendidikpendidik-an karakter bukpendidik-an sekedar mengajarkan benar atau salah, tetapi berusaha menanamkan kebiasaan perbuatan baik, yang dapat menyebab-kan peserta didik memahami hal yang baik dan yang salah, mampu meng-hayati nilai-nilai dan dapat mengamal-kannya.

PENDEKATAN BUDAYA DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN

Penggunaan pendekatan budaya untuk memecahkan masalah kemanu-siaan telah dilakukan sejak zaman Aris-toletes (Djohar, 1999). Dalam konteks pemecahan masalah mutu pendidikan, pendekatan budaya dipandang relevan digunakan karena pendekatan struktu-ral disinyalir mengalami banyak ke-gagalan. Dengan pendekatan budaya, diharapkan peningkatan mutu pendi-dikan menjadi sebuah budaya yang ber-kembang di kalangan warga sekolah.

Pada hakikatnya, pendidikan me-rupakan proses budaya. Djohar (1999)

(5)

mengatakan bahwa pendidikan sebagai proses budaya bertujuan menyiapkan masyarakat agar mampu memasuki kehidupan pada zamannya. Peserta didik disosialisasikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam tatanan kehidupan pada zaman itu. Oleh karena itu, pendidikan berlaku bagi semua orang dan terjadi sepanjang masa.

Apa implikasi atas pernyataan ter-sebut, terutama dalam konteks pengem-bangan kurikulum? Mengacu pada pan-dangan bahwa kurikulum merupakan jantung kegiatan pendidikan, semes-tinya kurikulum perlu dikembangkan atas dasar-dasar nilai-nilai luhur bangsa yang telah disepakati dan berkembang di masyarakat. Visualisasinya dapat disajikan sebagai berikut.

KOMPONEN UTAMA PENDIDIKAN

Pendidik Terdidik Isi Proses Evaluasi Pendidikan Interaksi Tujuan Kurikulum

Alam, sosial, budaya, ekonomi, religi

Lingkungan

PENGERTIANDESAIN KURIKULUM

BERBASIS BUDAYA

Apa yang dimaksud desain kulum berbasis budaya? Desain kuri-kulum berbasis budaya merupakan sebuah desain kurikulum yang ber-orientasi pada penyiapan lulusan yang berbudaya. Berbudaya berarti setiap individu mampu menampilkan peri-laku yang sesuai dengan nilai-nilai ke-manusiaan yang berkembang di ma-syarakat. Nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku dan diakui masyarakat dijadi-kan acuan untuk menentudijadi-kan materi,

proses, dan sistem evaluas. Alaska Na-tive Knowledge Network (2004) menya-takan:

“…. scope and sequence of the curri-culum will be extended to include the interaction between content, process and context, and thus go beyond the usual culture-bound determinations that are associated with an emphasis on content alone”.

Ciri-ciri kurikulum berbasis buda-ya: (1) berorientasi pada pembentukan manusia berwatak, beradab, dan ber-Gambar 1. Komponen Utama Pendidikan

(6)

martabat; (2) materi pembelajaran di-kembangkan dari berbagai sumber; (3) menekankan pada pembudayaan se-genap potensi peserta didik; dan (4) sistem penilaiannya menekankan di-mensi proses dan hasil.

Kurikulum berbasis budaya dapat juga dipahami sebagai suatu bentuk inovasi kurikulum yang ingin menge-depankan pengembangan segenap po-tensi peserta didik atas dasar watak, peradaban, dan martabat. Kurikulum perlu dikaitkan dengan tatanan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku di ma-syarakat. Banyaknya materi pelajaran bukan lagi merupakan prioritas utama pengembangan, namun yang lebih pen-ting adalah bagaimana mengembang-kan dimensi-dimensi kurikulum yang mampu membuka pengekangan-pe-ngekangan yang menghalangi perkem-bangan potensi peserta didik (Tilaar, 1999).

Berdasarkan uraian di atas, sesung-guhnya kurikulum berbasis budaya dipandang relevan diterapkan dalam sisdiknas kita. Ditinjau dari sisi filosofi, kurikulum berbasis budaya sesuai de-ngan hakikat proses pendidikan yang pemanusiaan peserta didik. Proses pen-didikan merupakan proses pembudaya-an peserta didik. Dari sisi sosiologi, ku-rikulum berbasis budaya, sesungguh-nya merupakan suatu desain kuriku-lum yang menyiapkan warga masya-rakat yang menghargai nilai-nilai bu-daya yang berkembang di masyarakat. Lulusan suatu jenjang pendidikan di-harapkan tidak terasing dengan ling-kungannya. Ditinjau dari sisi psiko-logis, kurikulum berbasis budaya

me-ngutamakan pengembangan potensi peserta didik yang manusiawi.

POLA PENGEMBANGAN

Seperti model atau desain kuriku-lum pada umumnya, kurikukuriku-lum ber-basis budaya perlu dikembangkan. Sa-lah satu alasannya, supaya kurikulum yang masih bersifat dokumen tertulis dapat terealisasikan dalam bentuk ke-giatan pembelajaran di kelas. Murray Print (1993) mengatakan bahwa pe-ngembangan kurikulum merupakan “… the process of planning, implementing, and evaluating learning opportunities in-tended to produce desired changes in learn-ers”. Dengan demikian, tahap-tahap da-lam pengembangan kurikulum berbasis budaya meliputi tiga tahap, yaitu pe-rencanaan, implementasi, dan evaluasi.

Perencanaan

Kegiatan pokok yang perlu dilaku-kan pada tahap ini adalah merancang dan mengembangkan silabus yang men-jadi panduan penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Oliva (1992) menyatakan bahwa “a syllabus is an outline of topics to be covered in a single course or grade level”. Di sini, yang perlu dijabarkan dan di-kembangkan adalah aspek-aspek yang tercakup di dalam silabus tersebut, yang akan direalisasikan dalam me-nyelenggarakan kegiatan pembelajaran. Prinsip-prinsip yang dipakai untuk mengembangkan silabus tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip pe-ngembangan kurikulum pada umum-nya. Hal ini dikarenakan silabus me-rupakan salah satu produk kurikulum. Beberapa prinsip umum yang dipakai dalam pengembangan silabus, antara

(7)

lain relevansi, fleksibel, kontinuitas, praktis, dan efektivitas.

Selanjutnya, apabila disepakati bah-wa silabus merupakan salah satu pro-duk kurikulum sebagai pedoman tulis, tentu membawa konsekuensi ter-hadap aspek-aspek yang dikembang-kan. Artinya, aspek-aspek yang ada dalam silabus haruslah merupakan aspek-aspek yang terdapat dalam kuri-kulum.

Beberapa aspek pokok yang perlu ada dalam silabus sebagaimana aspek-aspek yang tercakup dalam kurikulum berbasis budaya adalah rumusan kom-petensi, hasil belajar, indikator keber-hasilan, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, evaluasi, alokasi waktu, dan sumber bahan. Hal yang penting bahwa dalam penyusunan silabus perlu diperhatikan aspek keterbacaan, keter-kaitan antarkomponen, dan kepraktisan penggunaan (Puskur Balitbang Depdik-nas, 2002).

Implementasi

Beauchamp (1975: 164) mengartikan implementasi kurikulum sebagai "A process of putting the curriculum to work". Fullan (Miller dan Seller, 1985: 246) mengartikan implementasi kurikulum sebagai "The putting into practice of an idea, program or set of activities which is new to the individual or organization using it". Berdasarkan atas dua pendapat ter-sebut, sesungguhnya, implementasi ku-rikulum merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mewujudkan atau melaksanakan kurikulum (dalam arti rencana tertulis) ke dalam bentuk nyata di kelas, yaitu terjadinya proses transmisi dan transformasi segenap

pe-ngalaman belajar kepada peserta didik. Beberapa istilah yang bisa disepadan-kan dengan istilah implementasi kuri-kulum adalah pembelajaran atau peng-ajaran atau proses belajar mengajar.

Dengan pengertian yang demikian, implementasi kurikulum memiliki po-sisi yang sangat menentukan bagi ke-berhasilan kurikulum sebagai rencana tertulis. Hasan (2000: 1) mengatakan "… jika kurikulum dalam bentuk rencana tertulis dilaksanakan, maka kurikulum dalam bentuk proses adalah realisasi atau implementasi dari kurikulum sebagai rencana tertulis". Bisa jadi, dua orang dosen yang sama-sama mengim-plementasikan sebuah kurikulum (mi-salnya, kurikulum mata kuliah Sosio-logi Pendidikan) akan diterima atau dikuasai anak secara berbeda bukan karena isi atau aspek-aspek kurikulum-nya yang berbeda, tetapi lebih disebab-kan perbedaan dalam implementasi kurikulum yang diupayakan dosen.

Begitu urgennya posisi implemen-tasi bagi terwujud atau tidaknya sebuah kurikulum. Sangat tepat manakala per-soalan implementasi kurikulum men-jadi persoalan esensial di kalangan pengembang dan pelaksana kurikulum. Terlebih lagi, jika sistem persekolahan yang ada lebih menekankan dimensi proses daripada hasil belajar. Oleh ka-rena itu, agar implementasi kurikulum dapat terwujud sesuai dengan kuriku-lum sebagai rencana tertulis, disaran-kan Hasan (2000:1) agar terlebih dahulu memahami secara tepat tentang filsafat dan teori yang digunakan.

Bagaimana implementasi desain ku-rikulum yang sedang berjalan? Apabila kita sepakat bahwa desain kurikulum

(8)

berbasis budaya sebagai alternatif, hal ini bukan berarti bahwa desain kuri-kulum yang ada dianggap tidak berlaku sama sekali. Di sini, diperlukan adanya berbagai modifikasi atas berbagai kom-ponen kurikulum, terutama yang ber-kaitan dengan implementasi kuriku-lum. Pola pengembangannya bersifat integrated.

Dua pola penerapan desain kuri-kulum berbasis budaya. Pertama, me-ngembangkan desain kurikulum (sila-bus atau rancangan pelaksanaan pem-belajaran) yang berwawasan budaya. Artinya, aspek-aspek kurikulum yang terkait dalam desain kurikulum dikem-bangkan dengan mengacu pada wawas-an budaya bwawas-angsa, misalnya; pengem-bangan materi pembelajaran dikaitkan dengan nilai-nilai luhur yang berlaku di masyarakat. Konsekuensinya, dalam implementasi tentu menggunakan mo-del-model pembelajaran berbasis bu-daya. Kedua, menggunakan desain ku-rikulum berbasis budaya dalam im-plementasi kurikulum yang sedang ber-jalan. Di sini, yang perlu ditekankan adalah penggunaan model-model pem-belajaran berbasis budaya dalam kegiat-an pembelajarkegiat-an sehari-hari. Model-model pembelajaran berbasis budaya yang dapat digunakan adalah model pembelajaran pemecahan masalah, mo-del pembelajaran inkuiri, momo-del pem-belajaran kontektual, dan lain-lain. Evaluasi

Desain kurikulum yang berlaku di suatu lembaga pendidikan sangat ber-pengaruhi terhadap sistem evaluasi yang digunakan. Hal ini sangat ber-alasan karena evaluasi merupakan

sa-lah satu komponen pokok kurikulum (Tyler, 1949). Dengan demikian, jika pihak sekolah menerapkan kurikulum berbasis budaya, sistem evaluasi yang digunakan akan berubah menyesuaikan dengan desain kurikulum.

Evaluasi kurikulum berbasis buda-ya, sebagaimana yang berlaku pada desain kurikulum lainnya bertujuan untuk mengetahui tentang kelayakan (feasibility) kurikulum berbasis budaya, baik dalam bentuk rancangan, imple-mentasi, maupun hasil. Hasil evaluasi digunakan untuk menetapkan nilai dan arti terhadap kurikulum berbasis bu-daya yang sedang berjalan.

Sasaran kegiatan evaluasi kuriku-lum berbasis budaya, sesuai dengan tu-juannya,meliputievaluasi terhadap ran-cangan, implementasi, dan hasil belajar. Pendekatan evaluasi yang digunakan dapat berbentuk pendekatan kuantitatif dan/atau kualitatif. Demikian pula, eva-luasi kurikulum dapat bersifat formatif maupun sumatif.

Evaluasi terhadap rancangan kuri-kulum ingin melihat kualitas substansi dan format rancangan. Evaluasi ter-hadap substansi rancangan kurikulum menitikberatkan pada aspek-aspek esensial rancangan kurikulum dan ke-terkaitannya di antara aspek-aspek esensial tersebut. Evaluasi terhadap for-mat rancangan lebih menekankan pada kecukupan dan fleksibitas penggunaan format dari rancangan kurikulum.

Evaluasi terhadap implementasi ku-rikulum berbasis budaya bertujuan un-tuk mengetahui kualitas proses imple-mentasi kurikulum (kegiatan pembe-lajaran) di sekolah (kelas dan luar ke-las). Fokus evaluasi diarahkan pada

(9)

langkah-langkah pembelajaran dan di-namika interaksi pendidik dengan pe-serta didik.

Evaluasi terhadap hasil belajar me-nekankan pada kualitas penguasaan peserta didik atas sejumlah pengalaman belajar yang terkandung dalam rumus-an kompetensi. Dengrumus-an demikirumus-an, mo-del evaluasi performansi diasumsikan relevan digunakan untuk menilai hasil belajar peserta didik yang mengikuti desain kurikulum berbasis budaya. Hal ini disebabkan kurikulum berbasis bu-daya mensyaratkan peserta didik mam-pu mendemontrasikan aplikasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pengalaman belajar pada rumusan kompetensi setiap mata pelajaran.

Apa yang dimaksud dengan eva-luasi performansi? Blank (1982) me-ngatakan:

“Essentially, a performance test does just what the term implies-it is an ins-trumen to help the instructor judge whether or not the student can actually perform the task in a job-like setting to some minimum level of acceptability”.

Secara khusus, Mehrens W.A dan Lehmann. I.J (Sudarsono, 2000) me-ngatakan, “A performance assessment is a procedure in which you use work assign-ments or tasks to obtain information about how well student has learned”. Evaluasi performansi merupakan bentuk eva-luasi yang bermaksud memberi pertim-bangan mengenai nilai dan arti dari hal-hal yang telah dipelajari peserta didik.

Evaluasi performansi didasarkan atas keyakinan bahwa peserta didik mampu mendemontrasikan terhadap hal yang mereka ketahui dan mampu

melakukannya (know and able to do) da-lam berbagai cara. Evaluasi performansi bertujuan menilai efektivitas penerapan pengetahuan dan keterampilan pada setting lapangan. Benner (Sudarsono, 2000) mengatakan bahwa evaluasi per-formansi berorientasi pada skill outcome. Artinya, keterampilan menggunakan proses dan prosedur yang merupakan hasil pembelajaran yang diharapkan dalam berbagai bidang akademik. Mi-salnya, sains menaruh perhatian ter-hadap keterampilan laboratori, bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya kepentingan dengan keterampilan ber-komunikasi, matematika berkaitan de-ngan keterampilan pemecahan masalah, dan lain-lain.

Meskipun demikian, evaluasi per-formansi seringkali diabaikan dalam penilaian hasil pembelajaran (outcomes instructional) karena dua alasan. Per-tama, evaluasi performansi lebih sulit dalam implementasinya daripada eva-luasi hasil belajar pengetahuan, ter-utama dalam persiapan, administrasi, dan skoring. Kedua, penggunaan pende-katan penilaian acuan patokan (PAP) untuk mengetahui taraf pencapaian tu-juan pembelajaran seringkali diyakini mampu menilai performansi pengalam-an belajar peserta didik sehingga tpengalam-anpa menggunakan evaluasi performansi pun seperangkat kompetensi yang di-kuasai peserta didik dapat diketahui.

Bagaimana cara pengembangkan alat evaluasi performansi peserta didik? Gronlund (1982) mengajukan empat langkah pengembangan, yaitu menen-tukan perolehan performansi (perfor-mance outcames) yang akan dinilai, me-nentukan standar pencapaian

(10)

perfor-mansi, membuat petunjuk pelaksanaan evaluasi, dan membuat pedoman obser-vasi untuk mengevaluasi performansi. Blank (1982) mengajukan tujuh langkah, yaitu menetapkan aspek-aspek apa saja yang akan dievaluasi, menetapkan apa-kah proses dan hasil pembelajaran yang merupakan prioritas evaluasi, mengem-bangkan butir-butir soal, menetapkan butir-butir soal secara khusus yang menjadi kata kunci dari aspek-aspek yang dinilai, menetapkan standar mi-ninal tingkat penguasaan kompetensi, menyusun petunjuk pelaksanaan eva-luasi, dan membuat naskah evaluasi dan mengujicobakannya.

Contoh, evaluasi hasil belajar dalam mata pelajaran matematika di sekolah dasar dengan kompetensi peserta didik mampu melakukan pembagian bilang-an di bawah sepuluh. Secara substbilang-ansi, materi diorganisir untuk kepentingan meningkatkan kemampuan peserta di-dik dalam pembagian bilangan. Dalam konteks kurikulum berbasis budaya, materi tersebut juga diarahkan pada penguatan aspek kejujuran.

Kegiatan evaluasi hasil belajar yang dilakukan, yaitu menetapkan komtensi minimal yang harus dikuasai pe-serta didik dalam melakukan pembagi-an bilpembagi-angpembagi-an dpembagi-an perilaku kejujurpembagi-an. Langkah selanjutnya, menetapkan indi-kator-indikator kompetensi yang mam-pu membagi bilangan dan kejujuran. Indikator-indikator tersebut menjadi bahan untuk menetapkan butir-butir pertanyaan (soal) guna menilai kom-petensi peserta didik.

Untuk menilai kompetensi dalam membagi bilangan dan kejujuran, pe-serta didik diminta mengerjakan

soal-soal tentang pembagian bilangan dan melakukan pengamatan perilaku ke-jujuran peserta didik sehari-hari. Di sini, yang ingin dilihat adalah realisasi konsep pembagian dengan kejujuran yang dilakukan peserta didik sehari-hari. Selanjutnya, hasil pekerjaan pe-serta didik dalam menyelesaikan soal-soal pembagian bilangan dan peng-amatan guru terhadap perilaku kejujur-an peserta didik digunakkejujur-an untuk me-netapkan nilai akhir.

PENUTUP

Desain kurikulum berbasis budaya dapat dijadikan desain kurikulum al-ternatif untuk pembangunan watak, peradaban, dan martabat bangsa. De-ngan desain kurikulum berbasis budaya diharapkan lulusan memiliki wawasan pengetahuan luas, tetapi tetap berwa-tak, bermartabat, dan beradab sesuai nilai-nilai yang berlaku di Indonesia. Pola pelaksanaannya dapat terjadi sejak pengembangan silabus dan rancangan pelaksanaan pembelajaran. Demikian pula, dapat terjadi dalam implementasi kurikulum yang sedang berjalan (kuri-kulum yang berlaku).

Kurikulum berbasis budaya me-rupakan sebuah desain kurikulum yang relevan diterapkan di sekolah dalam rangka menyiapkan bangsa yang ber-watak, beradab, dan bermartabat. Di sini, desain kurikulum berbasis budaya dapat dikatakan sebagai sebuah tuntut-an ytuntut-ang harus direalisir oleh pihak pe-nyelenggara pendidikan dan bukan se-bagai suatu bentuk kegagapan perubah-an.

Selanjutnya, agar kurikulum berba-sis budaya dapat optimal, maka perlu

(11)

didesain, diimplementasikan, dan di-evaluasi sesuai dengan prinsip-prinsip yang dikehendaki oleh kurikulum ber-basis budaya. Misalnya, kegiatan pem-belajaran berbasis pada student centered, pembelajaran bersifat pembiasaan, ma-teri diorganisir dalam tematik, dan lain-lain.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih diucapakan kepada semua pihak yang telah memberi kon-tribusi terhadap artikel ini, terutama Redaktur Jurnal Cakrawala Pendidikan. Terima kasih juga diucapkan kepada seluruh pengelola Jurnal Cakrawala Pen-didikan.

DAFTAR PUSTAKA

Assembly of Alaska Native Educators. 2003. Guidelines for Cross-Cultural Orientation Programs. www.ankn-.uaf.edu/standards/xcop.html Di-unduh Tanggal 2 Agustus 2004. Beauchamp, G. 1975. Curriculum Theory.

Willmette, Illionis: The Kagg Press.

Blank, W.E. 1982. Handbook for Deve-loping Competency-Based Training Programs. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Setiawan, Denny. 2011. Pendidikan Ka-rakter dan Implementasinya pada Pendidikan Anak Usia Dini”. http:-//pustaka.ut.ac.id/pdfartikel/TIG3 02.pdf. Diunduh Tanggal 27 Ma-ret 2011.

Djohar. 1999. Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia. Yogyakar-ta: Pustaka Pelajar.

Ekowarni, Endang. 2010. Pengembangan Nilai-nilai Luhur Budi Pekerti se-bagai Karakter Bangsa”. http://be-lanegarari.wordpress.com/2009/0 8/25/pengembangan-nilai-nilai- luhur-budi-pekerti-sebagai-ka-rakter-bangsa. Diunduh Tanggal 26 Maret 2010.

Forrest, W Parkay, Eric J. Anctil, and Glen Hass. 2010. Curriculum Lea-dership; Readings for Developing QualityEducational Program (Ninth edition). Boston: Pearson Edu-cation, Inc.

Gronlund, NE. 1982. Constructing Achievement Test (Third Edition). Englewood Cliffs: Prenctice-Hall. Hadisaputra. 2009. “Revitalisasi Karak-ter Bangsa”. Tribun Timur, 18 Juni 2009.

Hasan, Said Hamid. 2000. “Pengem-bangan kurikulum Berbasis Masyarakat”. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Program Pendidikan Berbasis Kewilayah-an Menyongsong DiterapkKewilayah-annya Otonomi Daerah. 31 Agustus 2000 di UPI Bandung.

Hasan, Said Hamid. 2002. “Kurikulum Berbasis Kompetensi Berdasar-kan SK Mendiknas 232/U/2000 dan Alternatif Pemecahannya”.

(12)

Makalah Seminar Nasional, tanggal 11 Mei 2002 di UNY.

Lickona, T. 1991. Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.

Longstreet, Wilma S & Shane, Harold G. 1993. Curriculum for a New Millen-nium. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon.

Oliva. 1992. Developing the Curriculum (Third Edition).UnitedStates: Har-perCollins Publishers.

Print, Murray. 1992. Curriculum Develop-ment and Design (Second Edition). Sidney: Allen & Unwin.

Puskur. 2001. Kebijaksanaan Umum Kuri-kulum Berbasis Kompetensi Pendi-dikan Dasar dan Menengah (Bahan Revisi). Jakarta: Balitbang Dep-diknas.

Saylor J.G. et.al. 1981. Curriculum Plann-ing for Better TeachPlann-ing and LearnPlann-ing (Fourth Edition). Japan: Holt, Ri-nehart and Winston.

Sudarsono. 2000. “Penyusunan Soal Tes Kinerja (Performance-Test) sebagai Langkah Awal Pembentukan Bank Soal”. Makalah Workshop tentang Performance-Based Eva-luation dan Bank Soal Program Meas-Lab Due-Like Universitas Negeri Yogyakarta, 28-29 Juli 2000.

Tilaar. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Ban-dung: PT Remaja Rosdakarya. Tyler. 1949. Basic Principles of

Curri-culum. Chicago: The University of Chicago Press.

Chrisiana, Wanda. 2005. “Upaya

Pe-nerapan Pendidikan Karakter bagi Mahasiswa: Studi Kasus di Jurusan Teknik Industry UK Petra”. Jurnal Teknik Industri. Vol. 7. No. I. Juni 2005. Surabaya: Universitas Kristen Petra.

Referensi

Dokumen terkait

Seperti halnya pada ranah kekeluargaan, secara keseluruhan, pada ranah kekariban juga dwibahasawan Sunda-Indonesia berbahasa pertama Sunda di kabupaten Bandung lebih

BSRE1 - BSR

Teriring doa dan terucap syukur kepada Sang Maha Pencipta yang telah memberikan nikmat dan kekuatan kepada peniliti sehingga bisa menyelesaikan skripsi yang

Bagi guru, tujuan keterampilan mengelola kelas adalah untuk melatih keterampilannya dalam mengembangkan pengertian dan keterampilan dalam

Hipotesis ketiga pada penelitian ini yang menyatakan bahwa Gender tidak berpengaruh pada hubungan antara Faktor Produk ( Performance, Recomendation, Operating

terendah dari apeks trigonum adalah bagian kandung kemih yang membuka menuju leher masuk kedalam uretra posterior, dan kedua ureter memasuki kandung kemih dengan sudut tertinggi

Cardiovascular System (Heart). virtualmedical centre.com/anatomy/cardiovascular-system-heart /16#. World Health Organization. Farmakoterapi Pada Klien dengan Gangguan

Tujuan Penelitian ini adalah untuk menguji kefektifan bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama untuk meningkatkan perilaku prososial pada peserta didik kelas VII SMP N