• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. semula (Poerwadarminta, 1982). Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. semula (Poerwadarminta, 1982). Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Resiliensi

1. Definisi Resiliensi

Secara etimologis resiliensi diadaptasi dari kata dalam Bahasa Inggris resilience yang berarti daya lenting atau kemampuan untuk kembali dalam bentuk semula (Poerwadarminta, 1982). Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.

Grotberg (dalam Schoon, 2006) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan.

Jadi, dapat disimpulkan resiliensi adalah suatu kemampuan untuk bertahan dan bangkit dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup.

(2)

2. Faktor-faktor Pembentuk Resiliensi

Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching out.

a. Regulasi Emosi

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang yang pemarah (Reivich dan Shatte, 2002).

Greef (dalam Reivich dan Shatte, 2002) menyatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk mengatur emosinya dengan baik dan memahami emosi orang lain akan memiliki self-esteem dan hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Tidak semua emosi yang dirasakan oleh individu harus dikontrol. Tidak semua emosi marah, sedih, gelisah dan rasa bersalah harus diminimalisir. Hal inidikarenakan mengekspresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruksif dan sehat, bahkan kemampuan untu mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi. (Reivich dan Shatte, 2002).

(3)

b. Pengendalian Impuls

Pada tahun 1970, Goleman (dalam Reivich dan Shatte, 2002), penulis dari Emotional Intelligence, melakukan penelitian terkait kemampuan individu dalam pengendalian impuls.

Penelitian dilakukan terhadap 7 orang anak kecil yang berusia sekitar 7 tahun. Dalam penelitian tersebut anak-anak tersebut masing-masing ditempatkan pada ruangan yang berbeda. Pada masing-masing ruangan tersebut telah terdapat peneliti yang menemani anak-anak tersebut. Masing-masing peneliti telah diatur untuk meninggalkan ruangan tersebut untuk beberapa selang waktu. Sebelum peneliti pergi, masing-masing anak diberikan sebuah Marshmallow untuk dimakan oleh mereka. Namun peneliti juga menawarkan apabila mereka dapat menahan untuk tidak memakan Marshmallow tersebut sampai peneliti kembali ke ruangan tersebut, maka mereka akan mendapatkan satu buah Marshmallow lagi. Setelah sepuluh tahun, peneliti melacak kembali keberadaan anak-anak tersebut dan terbukti bahwa anak-anak yang dapat menahan untuk tidak memakan Marshmallow, memiliki kemampuan akademis dan sosialisasi yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang sebaliknya (Goleman dalam Reivich dan Shatte (2002).

Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat

(4)

mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain (Reivich dan Shatte, 2002).

Individu dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang ada. Pencegahan dapat dilakukan dengan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Individu dapat melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang ditujukan kepada dirinya sendiri, seperti ‘apakah penyimpulan terhadap masalah yang saya hadapi berdasarkan fakta atau hanya menebak?’, ’apakah saya sudah melihat permasalahan secara keseluruhan?’, ’apakah manfaat dari semua ini?’, dll (Reivich dan Shatte, 2002).

Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Seorang individu yang memiliki skor Resilience Quotient yang tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki skor Resilience Quotient pada faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte , 2002).

(5)

c. Optimisme

Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang optimis (Reivich & Shatte, 2002). Siebert (2005) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara tindakan dan ekspektasi kita dengan kondisi kehidupan yang dialami individu.

Peterson dan Chang (dalam Siebert, 2005) mengungkapkan bahwa optimisme sangat terkait dengan karakteristik yang diinginkan oleh individu, kebahagiaan, ketekunan, prestasi dan kesehatan. Individu yang optimis percaya bahwa situasi yang sulit suatu saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik. Mereka memiliki harapan terhadap masa depan mereka dan mereka percaya bahwa merekalah pemegang kendali atas arah hidup mereka.

Individu yang optimis memiliki kesehatan yang lebih baik, jarang mengalami depresi, serta memiliki produktivitas kerja yang tinggi, apabila dibandingkan dengan individu yang cenderung pesimis. Sebagian individu memiliki kecenderungan untuk optimis dalam memandang hidup ini secara umum, sementara sebagian individu yang lain optimis hanya pada beberapa situasi tertentu (Siebert, 2005).

Optimisme bukanlah sebuah sifat yang terberi melainkan dapat dibentuk dan ditumbuhkan dalam diri individu (Siebert, 2005). Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Orang yang resilien adalah orang yang optimis. Mereka percaya bahwa hal tersebut dapat mengubah ke arah yang lebih baik. Mereka mempunyai

(6)

harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa mereka mengontrol kehidupan mereka. Jika dibandingkan terhadap orang yang pesimis, optimis secara fisik lebih sehat, lebih sedikit mengalami depresi, lebih baik di sekolah mereka, lebih produktif dalam pekerjaan mereka, dan lebih banyak memenangkan dalam keolahragaan. Hal ini merupakan hasil dari ratusan studi yang terkontrol dengan baik (Reivich & Shatte, 2002).

Optimisme, tentunya, berarti bahwa kita melihat masa depan kita relatif cerah. Implikasi dari optimisme adalah kita percaya kita mempunyai kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi di masa depan (Reivich & Shatte, 2002).

d. Causal Analysis

Causal Analysis merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama (Reivich & Shatte, 2002).

Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).

Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya),

(7)

hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu), serta permasalahan yang ada akan mempengaruhi seluruh aspek hidupnya (Semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasahalan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (Tidak semua) (Reivich & Shatte, 2002).

Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi. Individu yang terfokus pada “Selalu-Semua” tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak selalu-Tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada (Reivich & Shatte, 2002)..

Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yag resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang

(8)

ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

e. Empati

Secara sederhana empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan memiliki kepedulian terhadap orang lain (Greef, 2005). Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte, 2005).

Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatte, 2002).

Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain.

Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola

(9)

yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).

f. Self-efficacy

Efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self-Efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

Self-efficacy adalah perasaan kita bahwa kita efektif dalam dunia. Telah dihabiskan banyak waktu untuk mendiskusikan tentang self-efficacy, karena melihat betapa pentingnya hal tersebut dalam dunia nyata. Dalam pekerjaan, orang yang memiliki keyakinan terhadap kemampuan mereka untuk memecahkan masalah, muncul sebagai pemimpin, sementara yang tidak percaya terhadap kemampuan diri mereka menemukan diri mereka “hilang dalam orang banyak”. Mereka secara tidak sengaja memperlihatkan keraguan mereka, dan teman mereka mendengar, dan belajar untuk mencari nasehat dari yang lainnya (Reivich & Shatte, 2002)..

g. Reaching Out

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu faktor yang terakhir dari resiliensi adalah reaching out. Reaching out adalah kemampuan individu meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat

(10)

mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebihlebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini memberikan batasan bagi diri mereka sendiri, atau dikenal dengan istilah Self-Handicaping (Reivich & Shatte, 2002).

Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang mencakup pula keberanian seseorang untuk mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya (Reivich & Shatte, 2002).

3. Fungsi Fundamental Resiliensi

Menurut Reivich & Shatte (2002), resiliensi memiliki empat fungsi fundamental dalam kehidupan manusia yaitu:

a. Mengatasi hambatan-hambatan pada masa kecil

Melewati masa kecil yang sulit memerlukan usaha keras, membutuhkan kemampuan untuk tetap fokus dan mampu membedakan mana yang dapat dikontrol dan mana yang tidak.

(11)

Setiap orang membutuhkan resiliensi karena dalam kehidupan ini kita diperhadapkan oleh masalah, tekanan, dan kesibukan-kesibukan. Orang yang resilien dapat melewati tantangan-tantangan tersebut dengan baik. Penelitian menunjukkan hal esensi yang paling penting untuk menghadapi tantangan adalah self-efficacy, yakni suatu kepercayaan bahwa kita dapat menghadapi lingkungan dan menyelesaikan masalah.

c. Bangkit kembali setelah mengalami kejadian traumatik atau kesulitan besar Beberapa kesulitan tertentu dapat membuat trauma dan membutuhkan resiliensi yang lebih tinggi dibanding tantangan kehidupan sehari-hari. Kejatuhan yang kita alami sangat ekstrem, yang membuat kita secara emosional hancur, keadaan yang seperti ini membutuhkan pantulan resiliensi untuk pulih.

d. Mencapai prestasi terbaik

Beberapa orang memiliki kehidupan yang sempit, mempunyai kegiatan yang rutin setiap harinya. Merasa nyaman dan bahagia ketika segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Sebaliknya, ada juga orang yang marasa senang ketika bisa menjangkau orang lain dan mencari pengalaman baru. Sebagaimana resiliensi dibutuhkan untuk mengatasi pengalaman negatif, mengatasi stres, pulih dari trauma, resiliensi juga dibutuhkan untuk memperkaya arti kehidupan, hubungan yang dalam, terus belajar dan mencari pengalaman baru.

(12)

B. Narkoba

1. Definisi Narkoba

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1982) narkoba adalah akronim dari Narkotika dan Obat Berbahaya. Narkoba mempunyai banyak macam, bentuk, warna dan pengaruh terhadap tubuh. Tetapi dari sekian banyak macam, bentuk, dan lain-lain tersebut narkoba mempunyai banyak persamaan, salah satunya adalah sifat ketergantungan terhadap obat tersebut. Sifat ketergantungan tersebut dapat menimbulkan berbagai macam dampak yang merugikan akibat dari adanya pengaruh zat-zat yang terkandung didalam zat narkotik tersebut (Adisti, 2007).

Istilah narkoba muncul sekitar tahun 1998 karena pada saat itu banyak terjadi peristiwa pemakaian atau pengunaan barang-barang yang termasuk narkotika dan obat-obatan aditif yang terlarang. Istilah ini digunakan untuk memudahkan orang berkomunikasi tanpa menyebutkan istilah yang tergolong panjang (Supramono, 2004).

2. Jenis-Jenis Narkoba

Istilah narkoba sudah banyak dikenal oleh masyarakat, namun belum semua orang tahu zat-zat apa saja yang termasuk dalam narkoba. Begitu pula tentang barangnya seperti apa wujudnya tidak dikenal karena memang barang ini adalah barang yang terlarang di masyarakat (Supramono, 2003).

(13)

a. Narkotika b. Psikotropika c. Alkhohol

d. Zat pelarut lainnya. a. Narkotika

Narkotika secara umum dapat diartikan sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkannya ke dalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah narcotics pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan drug. Drug adalah sejenis zat yang apabila digunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu: mempengaruhi kesadaran, memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia (menenangkan, merangsang), dan menimbulkan halusinasi (Makarao, 2003).

Menurut UU 22./Th. 1992 pengertian narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (dalam Supramono, 2003).

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka obat-obat semacam narkotika berkembang pula cara pengolahannya. Namun belakangan ini diketahui pula bahwa zat-zat narkotika tersebut memiliki daya kecanduan yang

(14)

bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya terus menerus pada obat-obat narkotika itu. Dengan demikian, maka jangka waktu yang mungkin agak panjang si pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan, dan pengendalian guna disembuhkan (Makarao, dkk, 2003).

Jenis-jenis narkotika secara umum dapat dibagi menjadi opium, ganja, dan kokain (Sasangka, 2003).

1. Opium

Opium merupakan sumber utama dari narkotika alam. Kline (dalam Sasangka, 2003) menjelaskan gejala putus obat (withdrawal) dari opium adalah gugup, cemas, gelisah, pupil mengecil, bulu roma berdiri, sering menguap, mata dan hidung berair, berkeringat, badan panas dingin, kaki dan punggung terasa sakit, diare, muntah-muntah, berat badan dan nafsu makan berkurang, tidak bisa tidur, pernafasan semakin kencang, temperatur dan tekanan darah bertambah, dan perasaan putus asa.

2. Ganja

Ganja berasal dari tanaman Cannabis Sativa, Cannabis Indica, dan Cannabis Americana. Menurut Bergel (dalam Sasangka, 2003) penggunaan ganja memiliki efek baik secara fisik maupun psikologis. Efek pemakaian secara fisik dapat menyebabkan timbulnya ataxia yaitu hilangnya koordinasi kerja otot dengan syaraf sentral, hilang atau kurangnya kedipan mata, gerak refleks tertekan, menyebabkan kadar gula darah turun naik, nafsu makan bertambah, mata menyala dan merah.

(15)

Efek secara psikologis dapat menimbulkan sensasi psikologis, gembira, tertawa tanpa sebab, lalai, malas, senang dan banyak bicara, terganggunya daya sensasi dan persepsi, khususnya terhadap ruang dan waktu, lemahnya daya pikir dan daya ingatan, cemas dan sensitif, bicaranya ngelantur. Bahaya pemakaian ganja secara sosial adalah a motivational syndrome: menarik diri dari aktivitas sosial, dan perhatian terhadap sekolah, pekerjaan, dan pencapaian tujuan menurun.

3. Kokain

Kokain berasal dari daun Erythroxylon Coca L. Gejala putus obat dari penggunaan Cocain ditandai dengan disporia (lawan euforia), depresi, rasa mengantuk yang hebat, dan kelelahan. Efek penggunaan kokain dapat membuat euforia, suka bercakap-cakap, aktivitas motorik meningkat, mencegah kelelahan, perilaku stereotip (berulang-ulang), bertambah cepat denyut nadi dan pernafasan, bertambah aktifnya kerja mental. Apabila kokain dipakai sebagai obat perangsang secara kronis, maka akan menyebabkan halusinasi, tidak bisa tidur, tidak bergairah bekerja, bekerja dan berpikir tanpa tujuan, tidak nafsu makan, dan tidak punya ambisi.

b. Psikotropika

Dalam undang-undang Nomor 5/Tahun 1997 tentang psikotropika dalam pasal 1 pengertian psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Pengertian tersebut menekankan adanya pembatasan ruang lingkup

(16)

psikotropika yang dipersempit, yaitu zat atau obat yang bukan narkotika, dengan maksud agar tidak berbenturan dengan ruang lingkup narkotika. Karena apabila tidak dibatasi demikian, nantinya akan mengalami kesulitan untuk membedakan mana zat atau obat yang tergolong psikotropika dengan mana yang tergolong narkotika (Supramono, 2003).

Obat-obatan sebagaimana dimaksud memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat, dan mempunyai hubungan kausalitas pada aktivitas mental dan perilaku penggunaannya. Mental dan perilaku pengguna menunjukkan adanya perubahan yang khas dibandingkan yang bersangkutan mengkonsumsi psikotropika (Supramono, 2003).

Jenis-jenis psikotropika secara umum adalah stimulansia, depresiva, dan halusinogen (Sasangka, 2003).

1. Stimulansia

Obat-obatan yang digolongkan stimulansia adalah obat-obat yang mengandung zat-zat yang merangsang terhadap otak dan syaraf. Obat-obat yang termasuk golongan stimulansia adalah amfetamine beserta turunannya. Stimulansia dapat meningkatkan kinerja sistem saraf pusat sehingga merangsang dan meningkatkan kemampuan fisik, meningkatkan konsentrasi, dan mampu membuat kerja tanpa istirahat. Namun, karena dipaksa lambat laun akan menimbulkan efek yang tidak baik. Dikalangan olahragawan ada yang secara tersembunyi menggunakannnya yang disebut dengan dopping.

(17)

Pemakaian amfetamin secara terus menerus dalam waktu yang cukup lama akan menimbulkan ketergantungan terhadap zat tersebut secara fisik dan psikis. Selain itu juga akan mengakibatkan toleransi dan bila dihentikan akan menimbulkan gejala putus obat, yakni: depresi, merasa sangat lelah, bosan dan sering lapar.

Amfetamin dalam dosis tinggi akan menimbulkan delusi, halusinasi, dan perasaan ingin menyakiti diri sendiri. Terkadang berlanjut ke arah gangguan jiwa. Efek-efek penggunaan amfetamin dalam jangka panjang adalah timbulnya paranoid, mudah panik, malnutrisi, kurang gizi, mudah ken ainfeksi, rusaknya sel-sel otak, dan menjadi gila.

b. Ekstasi

Ekstasi bukan merupakan nama obat yang dikenal dalam ilmu kedokteran, karena tidak digunakan sebagai obat, serta tidak terdaftar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Efek yang ditimbulkan akibat pemakaian ekstasi adalah mulut kering, kejang, jantung berdenyut labih cepat, keringat keluar lebih banyak, mata kabur, demam tinggi paranoid, sulit berkonsentrasi, seluruh otot merasa nyeri hampir seminggu lebih. Apabila penggunaannya dihentikan akan mengakibatkan merasa lelah, tidur panjang, dan depresi berat.

c. Shabu

Nama shabu adalah julukan terhadap zat metamfetamin yang mempunyai sifat stimulansia lebih kuat dari amfetamin yang lainnya. Penggunaan shabu dalam jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan serius kejiwaan dan mental,

(18)

denyut jantung tidak teratur, pembuluh darah rusak, rusaknya ujung syaraf dan otot, turun berat badan secara drastis, terjadi radang hati.

2. Depresiva

Depresiva adalah obat-obatan yang bekerja mempengaruhi otak dan sistem saraf pusat yang didalam pemakaiannya dapat menyebabkan timbulnya depresi pada si pemakai. Jadi, depresiva di dalam bekerjanya mempunyai efek mengurangi kegiatan dari susunan syaraf pusat, sehingga dipergunakan untuk menenangkan syaraf atau membuat seseorang mudah tidur. Efek yang dicari dalam penggunaan depresiva adalah rasa susah hilang, ada rasa tenang, dan nyaman yang kemudian membuat seseorang tidur. Psikotropika golongan depresiva dalam istilah populer di masyarakat dikenal sebagai obat tidur atau obat penenang.

3. Halusinogen

Halusinogen adalah obat-obatan yang dapat menimbulkan daya khayal (halusinasi) yang kuat, salah persepsi tentang lingkungan dan dirinya baik yang berkaitan dengan pendengaran, penglihatan, maupun perasaan. Dengan kata lain obat-obatan dengan jenis halusinogen memutar balikkan daya tangkap kenyataan objektif. Halusinasi atau khayalan adalah merupakan penghayatan semu, sehingga apa yang dilihat tidaklah sesuai dengan bentuk dan ruang yang sebenarnya (Sasangka, 2003).

Bahaya yang biasa terjadi dengan pemakaian obat-obatan ini adalah penilaian yang salah dan mengakibatkan orang akan memberikan keputusan yang salah dan

(19)

gegabah sehingga menyebabkan kecelakaan misalnya. Efek-efek setelah pemakaian halusinogen adalah rasa khawatir yang akut, gelisah dan tidak bisa tidur, biji mata yang membesar, suhu badan meningkat, tekanan darah meningkat, gangguan jiwa berat. Suatu penggunaan yang berulang-ulang menyebabkan toleransi yang condong mendorong seorang pengguna untuk menggunakan obat-obatan tersebut dalam jumlah yang meningkat atau lebih besar (Sasangka, 2003).

c. Zat-zat lainnya

Zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis, (Pasal 1 angka 12 UU 23. /Th. 1992). Zat-zat lainnya yang termasuk dalam narkoba adalah alkhohol dan zat pelarut (Sasangka, 2003).

1. Alkhohol

Alkhohol adalah etanol atau etilalkhohol yang dapat diminum secara terbatas tanpa akibat yang merusak. Alkhohol merupakan cairan bening yang mudah menguap dan mudah begerak, tidak berwarna, berbau khas, rasa panas, mudah terbakar, dan nyala berwarna biru tidak berasap. Alkhohol merupakan popular recreational drug yang dalam pengetahuan penyalahgunaana obat-obatan disebut dalam golongan depresan.

2. Pelarut

Selain obat-obatan narkotika, psikotropika, dan alkhohol ada obat-obat bebas dan bahan lain yang dapat disalahgunakan pemakainnya yaitu: obat CTM, Dextromethorphan HBr, dan bahan pelarut (solvent). Pada umumnya yang disebut

(20)

pelarut adalah pelarut organik dan bersifat mudah menguap, seperti pelarut dalam lem, penghapus cat kuku, bensin, dan sebagainya.

Kebiasaan menghirup uap zat-zat pelarut dapat menimbulkan reaksi yang sama seperti seseorang yang meminum-minuman keras. Tentu saja kebiasaan menghirup uap zat-zat pelarut, dilihat dari segi biaya adalah yang paling murah. Di dalam pemakaian, seseorang harus meningkatkan konsentrasi gas atau mengeluarkan udara atau bisa kedua-duanya. Cara yang biasa dilakukan adalah dengan jalan menghisap uap zat-zat beracun dalam kantong plastik yang ditutupkan kepala.

3. Ketergantungan Narkoba

a. Definisi Ketergantungan Narkoba

Adiksi adalah suatu keadaan yang terjadi setelah penggunaan narkoba secara berkala dan terus-menerus, apabila pemberian atau penggunaan obat tersebut dihentikan, maka menimbulkan gejala ketergantungan psikis dan jasmani (Sasangka, 2003).

Karena menimbulkan ketergantungan, maka WHO (World Helath Organization) Expert Commite pada tahun 1964, menganjurkan penggunaan istilah ketergantungan. Pada tahun 1970 istilah ketergantungan obat didefinisikan sebagai suatu keadaan, psikis kadang-kadang juga fisik, yang diakibatkan oleh interaksi antara suatu makhluk hidup dengan suatu obat, yang ditandai oleh kelakuan-kelakuan yang didorong oleh suatu hasrat yang kuat untuk terus menerus atau secara periodik menggunakan sesuatu dengan tujuan untuk

(21)

menyelami efek-efeknya dan kadang-kadang untuk menghindarkan gejala-gejala tidak enak (discomfort) yang disebabkan obat tersebut tidak digunakan. Toleransi terhadap obat bisa timbul atau tidak timbul, sedangkan seseorang bisa tergantung pada lebih dari satu obat (Supramono, 2003).

Jadi ketergantungan obat secara singkat adalah suatu keadaan yang timbul karena penggunaan jenis-jenis narkoba secara berkala dan terus menerus, yang berakibat merusak diri si pengguna. Pengguna adalah orang yang menggunakan narkoba yang dalam penelitian ini akan disebut pecandu nakoba.

b. Dampak Ketergantungan Narkoba

Penggunaan Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan, yakni ketergantungan psikis dan fisik (Sasangka, 2003).

a. Ketergantungan psikis

Seseorang menggunakan narkoba, biasanya bertujuan untuk menghindari persoalan hidup yang dihadapi dan melepaskan diri dari suatu keadaan atau kesulitan hidup. Setiap kali keadaan atau kesulitan tersebut datang kembali, pengguna harus menggunakan narkoba kembali. Kedaan terus-menerus terjadi atau berulang kembali. Akibatnya pengguna narkoba sudah tergantung dengan narkoba yang dikonsumsinya. Penggunaan narkoba tersebut yang semula dalam waktu-waktu tertentu, akhirnya menjadi kebiasaan yang tidak dapat dilepaskan (drug habitual).

(22)

b. Ketergantungan fisik

Penghentian penggunaan narkoba akan menimbulkan gejala-gejala abstinensi (suatu rangkaian gejala yang hebat). Misalnya pada obat-obata turunan morfin akan mengakibatkan ketakutan, berkeringat, mata berair, gangguan lambung, dan usus, sakit perut dan lambung, tidak bisa tidur dan sebagainya.

Gejala-gejala abstinensi tersebut dapat diatasi, jika menggunakan narkoba yang sejenis. Keadaaan tersebut bisa menimbulkan kematian. Rasa khawatir mendalam akan timbulnya gejala-gejala abstinensi mendorong seorang pengguna narkoba untuk menggunakan narkoba lagi (physical dependence). Jadi, keadaan jasmani pengguna akan terus menerus membutuhkan narkoba dan jika berhenti akan menimbulkan gejala-gejala abstinensi.

Penggunaan narkoba (dalam Sasangka, 2003) memiliki dampak tidak baik bagi individu itu sendiri maupun masyarakat. Narkoba yang disalahgunakan dapat membawa efek-efek terhadap tubuh si pemakai, yakni sebagai berikut:

a. Euphoria, yakni suatu perasaan riang gembira (well being), efek ini ditimbulkan dalam dosis yang tidak begitu tinggi.

b. Delirium, yaitu menurunnya kesadaran mental si pemakai disertai kegelisahan yang hebat yang terjadi secara mendadak, yang menyebabkan gangguan koordinasi otot-otot gerak motorik (mal coordination). Efek delirium ini ditimbulkan oleh pemakai dosis yang lebih tinggi dibanding dosis pada euphoria.

(23)

c. Halusinasi, yaitu suatu kesalahan persepsi panca indera, sehingga apa yang dilihat, didengar tidak seperti kenyataan sesungguhnya.

d. Drowsiness, yaitu kesadaran yang menurun, atau kesadaran antara sadar dan tidak sadar, seperti keadaan setengah tidur disertai fikiran yang sangat kacau dan kusut.

e. Collapse, yaitu keadaan pingsan dan jika si pemakai over dosis, dapat mengakibatkan kematian.

Bagi individu tersebut mental dan fisik adalah dua hal yang langsung terkena dampaknya (Adisti, 2003).

1. Mental

a. Terganggunya daya pikir dan persepsi b. Timbulnya sindrom motivasional

c. Tumbuhnya perilaku yang tidak lumrah/tidak wajar

d. Timbulnya keinginan untuk bunuh diri, stress dan perasaan depresi 2. Fisik

a. Gangguan pada fungsi ginjal, lever, dan pendarahan pada otak b. Impotensi

c. Konstipasi kronis d. Kanker usus

e. Perforasi sekat hidung f. Gangguan pada jantung

(24)

h. HIV/AIDS dan Hepatitis akibat alat suntik yang tidak steril

Alasan atau latar belakang pengguna zat adiktif berbeda-beda, namun biasanya akibat interaksi beberapa faktor. Beberapa orang memiliki resiko lebih besar menggunakannya karena sifat atau latar belakangnya yang disebut faktor risiko tinggi atau faktor kontributif, yang dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor individu dan faktor lingkungan (Konsensus, 2002).

1. Faktor individu meliputi:

a. Faktor konstitusi atau faktor biologik dan genetik. Peran faktor genetik pada ketergantungan belum dapat dibuktikan.

b. Faktor kepribadian, yaitu mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu:

1. Impulsif, diekspresikan dalam bentuk tidak dapat menunda keinginan 2. Tidak mampu mengatasi perasaan-perasaan tidak enak

3. Perasaan rendah diri, tidak mempunyai keyakinan diri, kesulita mengungkapkan perasaan,

4. Toleransi terhadap frustasi yang rendah

5. Menghindar dari tanggung jawab tetapi menuntut hak 6. Mengalami depresi

2. Faktor lingkungan meliputi:

a. Mudah diperolehnya zat adiktif

b. Komunikasi orang tua dengan anak yang kurang efektif c. Tekanan dari teman sebaya

(25)

e. Orangtua atau anggota keluatga lainnya menggunakan zat adkitif f. Lingkungan sekolah yang tidak tertib

g. Lingkungan sekolah yang tidak memberi fasilitas bagi penyaluran minat dan bakat para siswanya.

c. Mantan Pecandu Narkoba

Menurut Kamus umum Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1982) arti pecandu adalah pemakai/penggemar. Sedangkan menurut istilah narkotika (Adisti, 2003) pecandu diartikan sebagai addict, yaitu orang yang sudah menjadi “budak dari obat”, dan tidak mampu lagi menguasai dirinya apapun melepaskan diri dari cengkraman obat yang sudah menjadi tuannya. Secara fisik dan psikis seperti didorong untuk kembali lagi menggunakan obat tersebut.

Proses pemulihan pecandu narkoba bukanlah suatu proses yang singkat dan dapat dilakukan dengan mudah. Sebelum benar-benar dikatakan lepas dari narkoba maka dalam perjalanannya ada saat-saatnya pecandu relapse. Relaps adalah kembali pada perilaku sebelumnya, dalam hal ini menggunakan narkoba. Relapse sangat tinggi kemungkinannya terjadi pada minggu atau bulan pertama berhenti dari penggunaan narkoba (Sarafino, 2006).

Menurut WHO (World Health Organization) seseorang dapat dikatakan sebagai mantan pecandu narkoba jika telah berhasil bersih dari obat atau abstinesia minimal selama 2 (tahun). (Konsensus, 2002).

(26)

C. Dinamika Resiliensi pada Mantan Pecandu Narkoba

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1982) narkoba adalah akronim dari Narkotika dan Obat Berbahaya. Narkoba mempunyai banyak macam, bentuk, warna dan pengaruh terhadap tubuh. Akan tetapi dari sekian banyak macam, bentuk dan lain-lain tersebut narkoba mempunyai banyak persamaan. Salah satunya adalah sifat ketergantungan terhadap obat tersebut. Sifat ketergantungan tersebut dapat menimbulkan berbagai macam dampak yang merugikan akibat dari adanya pengaruh zat-zat yang terkandung didalam zat narkotik tersebut (Adisti, 2007).

Darmono (2009) menyatakan penggunaan narkoba sangat membahayakan karena dapat mempengaruhi pikiran yang menyebabkan korban tidak sadar apa yang sedang dilakukannya. Karena efeknya yang menyebabkan adiksi maka obat tersebut harus dikonsumsi terus-menerus oleh penderita kecanduan, semakin lama semakin meningkat dosisnya. Apabila hal tersebut tidak segera ditangani akan menyebabkan overdosis yang berakhir dengan kematian si penderita.

Salah satu cara untuk memulihkan pecandu narkoba adalah dengan terapi, namun terapi terhadap kasus penyalahgunaan narkoba sering kali tidak membawa hasil. Kadang-kadang justru pasien yang diterapi kembali ke panti rehabilitasi dalam keadaan lebih parah. Seseorang yang sudah dinyatakan pulih seringkali kambuh karena terpengaruh dari lingkungan (Sasangka, 2003).

(27)

Thombs (dalam W.Amita, 2001) menyatakan bahwa seorang pecandu narkoba tidak mampu melewati stres dan tekanan atas simptom disfungsi otak seperti penurunan daya ingat, penurunan daya konsentrasi serta sugesti (physical craving) yang dialaminya. Sebagian dari mereka juga sering merasa kesulitan memaksimalkan perawatan yang mereka jalani dan merasa tidak yakin bahwa mereka dapat pulih dan terlepas dari ketergantungan narkoba yang ia alami.

Proses pemulihan pecandu narkoba bukanlah suatu proses yang singkat dan dapat dilakukan dengan mudah. Sebelum benar-benar dikatakan lepas dari narkoba maka dalam perjalanannya ada saat-saatnya pecandu relapse. Relapse adalah kembali pada perilaku sebelumnya, dalam hal ini menggunakan narkoba. Relapse sangat tinggi kemungkinannya terjadi pada minggu atau bulan pertama berhenti dari penggunaan narkoba (Sarafino, 2006).

Witkiewitz & Marlatt (dalam Sarafino, 2006) menyatakan beberapa hal yang menyebabkan pecandu relapse adalah self-efficacy rendah, reinforcement kenikmatan, craving yang tinggi (sugesti yang sangat kuat untuk selalu menggunakan), motivasi yang rendah, hubungan interpersonal yang tidak baik, emosi negatif dan koping yang buruk (Sarafino, 2006).

Russel et al., 2001 (dalam Sarafino, 2006) perbedaan dari pengguna yang dapat berhenti dan tidak dapat berhenti adalah mereka yang berhasil berhenti memiliki self-esteem yang lebih tinggi, memiliki pengalaman intoksikasi yang lebih sedikit, dan memiliki jaringan sosial yang sedikit dengan para pengguna.

Menurut World Health Organization (WHO) (dalam Konsensus, 2002), seseorang dikatakan pulih dari ketergantungan narkoba apabila sudah bebas atau

(28)

bersih dari narkoba selama minimal 2 (dua) tahun. Tidak semua pecandu narkoba berhasil pulih dan mendapat gelar menjadi mantan pecandu narkoba.

Pengguna narkoba harus berjuang keras untuk bisa tetap bertahan tidak menggunakan narkoba di tengah-tengah banyaknya godaan yang memicu mereka relapse. Kemampuan seseorang untuk tetap berdiri teguh di tengah-tengah banyaknya kesulitan yang dihadapinya ini disebut dengan resiliensi. Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi terdiri dari tujuh faktor yakni, regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, causal analysis, efikasi diri, dan reaching out.

Faktor-faktor resiliensi ini sebenarnya dimiliki oleh setiap orang namun yang membedakan antara satu orang dengan yang lainnya adalah bagaimana orang tersebut mempergunakan dan memaksimalkan faktor-faktor dalam dirinya sehingga menjadi sebuah kemampuan yang menonjol (Reivich & Shatte, 2002).

Berdasarkan penelitian Reivich dan Shatte selama lima belas tahun di universitas Pennsylvania, faktor-faktor resiliensi dapat membantu pemulihan seseorang dari adiksi. Dengan adanya faktor-faktor resiliensi dalam diri seorang pecandu narkoba, maka hal ini akan membantu mereka untuk bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan yang dialami, masa-masa krisis, dan mengatasi hal-hal yang dapat memicu stres pada saat dalam proses pemulihan. Selain itu juga memberikan kemampuan untuk bangkit lebih baik melebihi keadaan sebelumnya (Reivich dan Shatte, 2002).

Berdasarkan uraian di atas dinamika faktor-faktor resiliensi pada mantan pecandu narkoba.

(29)

D. Paradigma Penelitian

Ada Faktor-faktor yang membentuk

resiliensi

Tidak ada Faktor-faktor yang membentuk resiliensi Maintenance Maintenance Relapse

Tidak ada Faktor-faktor yang membentuk resiliensi Ada Faktor-faktor yang membentuk resiliensi Pasrah Ada niat berhenti Belum ada niat berheti Action Abstinensia Kecanduan psikologis Kecanduan fisik

Merasa terikat pada narkoba Faktor risiko

-faktor individu

-faktor lingkungan Coba-coba

Penyalahgunaan

Kecanduan

= saling berhubungan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses produksi berdasarkan karakteristik kualitas, mengetahui kemampuan proses water treatment dalam memenuhi batas spesifikasi

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data yang jelas, lengkap dan benar mengenai: (1) Apakah melalui kegiatan ekstrakurikuler seni lukis cat minyak dapat

Sebagian IPCLN dibeberapa ruang rawat inap yang adalah surveilans aktif dengan sasaran khusus (target sudah pernah mendapatkan pelatihan dan sosialisasi

Kesan negatif bencana ini kepada manusia bukan sahaja memusnahkan harta benda dan kawasan kediaman, malahan turut mengancam nyawa penduduk yang mendiami kawasan

perusahaan, yaitu rasio leverage perusahaan.Dengan demikian, hutang adalah unsur dari struktur modal perusahaan.Struktur modal merupakan kunci perbaikan produktivitas

Dalam SOP Penerbitan KTP Elektronik, sebagaiman dijelaskan juga oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bulungan berkaitan dengan disposisi, sikap dan

program terkait khusus untuk Bidang Cipta Karya yang tercantum pada Perda.. RTRWK, Perda Perbup/Perwali RPJMD, RPI2-JM Bidang PU, dan Perda

World Health Organization (WHO) telah menegaskan bahwa harga air harus terjangkau. Namun di Cochabamba, Bolivia seorang warga harus mengeluarkan sekurangnya 25%