• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Agustus 1945, pemerintah bersama masyarakat mulai mengisi kemerdekaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Agustus 1945, pemerintah bersama masyarakat mulai mengisi kemerdekaan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah bersama masyarakat mulai mengisi kemerdekaan dengan usaha pembangunan di berbagai bidang. Hal itu dilakukan karena kemerdekaan sebenarnya bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan jembatan emas dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia, yaitu untuk membangun masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur baik materiil maupun spiritual. Namun kenyataannya, akibat krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997, sebagian besar penduduk Indonesia kini hidup di bawah garis kemiskinan yang penyebab utamanya adalah karena mereka tidak memiliki pekerjaan (Sudrajad, 1999). Krisis ekonomi telah menyebabkan tutupnya sejumlah besar perusahaan dan menyebabkan terjadinya peningkatan angka pengangguran secara drastis (Hidayat, 2000).

Indonesia, sampai saat ini, masih belum mampu secara maksimal untuk keluar dari krisis ekonomi. Bahkan secara nasional, krisis ini terkesan semakin memburuk. Hal ini mengakibatkan semakin tingginya jumlah pengangguran seiring dengan makin sempitnya lapangan pekerjaan untuk menampung para tenaga kerja baru. Padahal dari waktu ke waktu jumlah pencari kerja semakin banyak (Nasution, dkk., 2001).

Tobing (2006) mengatakan bahwa pertambahan angkatan kerja baru jauh lebih besar dibanding pertumbuhan lapangan kerja produktif yang dapat diciptakan

(2)

setiap tahun. Hingga akhir tahun 2005 diperkirakan ada 12 juta orang yang menganggur, yang berarti naik hampir 11 % dari tahun sebelumnya. Ironisnya, dari total pengangguran tersebut sekitar 10 % atau hampir 1 (satu) juta orang adalah kaum intelektual yang menyandang gelar sarjana (Kasmir, 2006).

H. Gamawan Fauzi, selaku gubernur Sumatera Barat, membenarkan bahwa masalah paling berat yang tengah dihadapi bangsa Indonesia adalah masalah kemiskinan, pengangguran dan sempitnya lapangan pekerjaan. Secara nasional jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 12 juta orang. Jumlah tersebut setiap tahun terus bertambah, sementara pemerintah belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan untuk mengurangi angka pengangguran itu (”Gubernur”, 2007).t Pemerintah membutuhkan adanya gerakan kemasyarakatan yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat sendiri yang dapat memberikan sumbangan positif dalam rangka mengurangi angka pengangguran ini. Fenomena pengangguran ini akan terus berkembang selama pencari kerja tetap berpikir bahwa mereka seharusnya memperoleh lapangan kerja dan tidak berpikir secara lebih bijaksana dan futuristis untuk membuka lapangan kerja sendiri, yakni dengan berwirausaha (Yulia, 2005). Menurut Ifham (2002) pemikiran yang kreatif dan inovatif dari para pencari kerja harus lebih banyak dikembangkan guna menciptakan lapangan pekerjaan.

Dunia wirausaha adalah pilihan yang paling rasional dalam kondisi perekonomian yang sedang dilanda krisis dan untuk mengatasi besarnya jumlah pengangguran seperti yang terjadi sekarang ini (Hidayat, 2000). Astamoen (2005) menuturkan bahwa salah satu penyebab dari lemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah karena masih sedikitnya jumlah wirausahawan sebagai pelaku

(3)

ekonomi, antara lain sebagai pengusaha, pedagang, industrialis, dan lain-lain. Dengan banyaknya jumlah wirausahawan, dua indikator penting dalam suatu negara maju dan makmur secara ekonomi akan terpenuhi, yaitu rendahnya angka pengangguran dan tingginya devisa yang dihasilkan.

Santoso (dalam Widiarto, 2004) menegaskan bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang bisa maju dan berkembang tanpa dukungan dunia usaha yang kuat. Kemapanan negara-negara yang ekonominya kuat tidak terlepas dari keberhasilan membangun kekuatan wirausaha karena para wirausahawan itulah yang menjadi pelaku sekaligus penggerak roda perekonomian. Rachbini (dalam Iwantono, 2002) menyebutkan bahwa suatu negara akan mencapai tingkat kemakmuran apabila jumlah wirausahawannya paling sedikit 2,5 % dari total jumlah penduduknya. Di Indonesia sendiri, keberadaan wirausahawannya diperkirakan baru sekitar 0,2 % dari jumlah penduduk. Itu artinya, Indonesia masih memerlukan banyak penggerak ekonomi di segala bidang dalam rangka mencapai kemakmuran yang dicita-citakan rakyatnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu terobosan yang menggerakkan munculnya wirausahawan baru. Gerakan itu dapat mulai diwujudkan dalam suatu lingkungan yang kecil terlebih dahulu, misalnya dari lingkungan rumah, perusahaan, pondok pesantren, dan tanpa terkecuali perguruan tinggi (Astamoen, 2005).

Gerakan kewirausahaan di Indonesia sebenarnya sudah mulai digalakkan sejak tahun 1995 lalu. Pemerintah melalui INPRES No.4 tahun 1995 telah mencanangkan sebuah Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan (GNMMK) yang tujuannya adalah menumbuhkembangkan budaya kreatif, inovatif, di masyarakat baik kalangan dunia usaha, pendidikan

(4)

maupun aparatur pemerintah. Namun dalam perjalanannya, gerakan tersebut kurang mendapat dukungan. Memang ketika itu pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tinggi dan dukungan kepada pembentukan wirausahawan baru serta Usaha Kecil dan Menengah (UKM) hanya bersifat politis. Meski banyak seminar, rakor, lokakarya diadakan, namun pada akhirnya Inpres tersebut tidak lebih dari sekedar retorika (Silalahi, 2005).:r : Jangan Bang

Apalagi dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak orang yang menafsirkan dan memandang wirausaha identik dengan kemampuan yang dimiliki atau yang dilakukan “pengusaha” semata. Pandangan itu tidaklah tepat karena jiwa dan sikap wirausaha tidak hanya dimiliki pengusaha tetapi dapat dimiliki oleh setiap orang yang berpikir kreatif dan bertindak inovatif, menyukai perubahan, kemajuan serta tantangan baik di kalangan pengusaha maupun masyarakat umum seperti petani, karyawan, pegawai pemerintahan, guru dan lain sebagainya termasuk di dalamnya mahasiswa, yang merupakan kaum intelektual bangsa (Suryana, 2003).

Mahasiswa dapat menjadi pionir dalam gerakan menumbuhkan kewirausahaan di Indonesia. Dengan demikian, di masa depan, akan terjadi keseimbangan antara bertambahnya pencari pekerjaan dan bertambahnya lapangan pekerjaan baru (Astamoen, 2005). Menurut Iwantono (2002) mahasiswa berwirausaha adalah salah satu antisipasi pengangguran di masa depan. Pengangguran bertitel sarjana menjadi suatu masalah karena mereka adalah kelompok cerdik pandai yang pertumbuhannya setiap tahun jauh lebih besar daripada kesempatan kerja yang sesuai dengan pendidikan mereka. Dengan berwirausaha, maka mahasiswa kelak

(5)

akan siap bersaing dalam pasar kerja tidak sebagai pencari kerja tetapi pencipta kerja sehingga dapat mengurangi angka pengangguran.

Baumassepe (dalam Ifham, 2002) berpendapat adalah sangat masuk akal bagi mahasiswa dengan atribut yang dimilikinya untuk berpola pikir sebagai seorang wirausahawan. Mahasiswa memiliki sikap berkorban dan berani mengambil resiko terhadap cita-cita yang diperjuangkannya, juga berpengetahuan dan berpandangan luas. Mahasiswa adalah golongan intelektual karena lahir dari tempat-tempat yang menjadi sumber ilmu pengetahuan (perguruan tinggi). Dengan bekal pengetahuan dan ilmu yang dimiliki setidaknya menjadi embrio untuk lahir menjadi wirausahawan sejati. Inilah saatnya, mahasiswa ditantang untuk menjadi agen perubahan di bidang ekonomi maupun di berbagai bidang kehidupan masyarakat lainnya.

Lebih lanjut Ifham (2002) mengatakan bahwa kewirausahaan merupakan alternatif pilihan yang tepat bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensinya. Malah sebenarnya, mahasiswa telah melakukan kegiatan atau perilaku yang sesuai dengan ciri-ciri seorang wirausahawan. Perilaku mahasiswa yang mencerminkan kewirausahaan tersebut bisa dilihat pada saat mahasiswa melakukan kegiatan-kegiatan dalam organisasi kemahasiswaan, yang terkait dengan kemahasiswaan maupun dengan pihak luar, misalnya saat ia harus memutuskan sesuatu untuk kegiatannya, mengadakan kegiatan seminar atau workshop, memutuskan untuk mendirikan unit kegiatan tertentu, tentunya dengan segala resiko yang harus ditanggungnya.

Munculnya para wirausahawan muda Indonesia yang merintis usahanya sejak masih menjalani pendidikannya di perguruan tinggi juga membuktikan bahwa

(6)

mahasiswa dapat berwirausaha. Anne Ahira Dewi, seorang pakar Internet Marketing Muda Indonesia adalah cerminan wirausahawan Indonesia yang memulai usaha Internet Marketing-nya sejak ia masih berstatus mahasiswa. Usaha ini dipelajarinya secara otodidak pada awal masa kuliahnya di perguruan tinggi. Begitu pula dengan Freddy Mudjianto, direktur PT. Vilour Promo Indonesia yang juga alumni dari Universitas Parahyangan ini mulai berwirausaha pada saat ia masih menjadi mahasiswa. Bermula ketika ia diminta menyediakan kaos untuk kegiatan perpeloncoan mahasiswa baru di kampusnya. Komisi yang ia terima dari pemilik toko konveksi ternyata membuatnya semakin giat untuk mencari order pesanan. Setelah lulus kuliah, ia memutuskan untuk berusaha sendiri dengan mendirikan perusahaan konveksi yang khusus memproduksi kaos untuk kegiatan promosi. Produknya sendiri kini sudah diekspor hingga ke mancanegara (Setiati, 2005).

Fenomena mahasiswa berwirausaha dapat pula diamati pada mahasiswa/i Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Pada saat acara Dies Natalis mahasiswa mengadakan kegiatan berwirausaha dengan membentuk kelompok-kelompok usaha, membuka stand, menawarkan produk/jasa dalam segala bentuk usaha inovatif dan kreatif yang diharapkan dapat memberikan keuntungan. Kegiatan kewirausahaan ini telah menjadi agenda rutin tahunan yang dilakukan oleh para mahasiswa. Selain pada acara tahunan tersebut, berbagai jenis usaha dilakukan oleh sejumlah mahasiswa, di antaranya usaha yang menawarkan jasa terjemahan, fotokopi harga mahasiswa, rental buku, berjualan buku dengan sistem bayar angsuran serta pemberian diskon; menjual pakaian, alat elektronik, voucher pulsa, sampai pada bisnis Multi Level Marketing (MLM). Mahasiswa mulai

(7)

menjalankan ide usahanya karena jeli melihat peluang dan kesempatan untuk menawarkan produk/jasa tersebut di lingkungan kampus. Produk/jasa yang ditawarkan umumnya adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh konsumen yang notabene adalah para mahasiswa namun tidak menutup kemungkinan untuk ditawarkan kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Astamoen (2005) bahwa setiap kegiatan wirausaha yang dilakukan harus disesuaikan dengan kebutuhan atau keinginan konsumen, peluang yang dapat diraih dan lingkungan yang dihadapi.

Namun meski begitu, contoh-contoh di atas tidak cukup mewakili ribuan mahasiswa di seluruh Indonesia. Kenyataannya mahasiswa yang berwirausaha masih terlalu sedikit jumlahnya (Hidayat, 2000). Padahal kewirausahaan sangatlah baik bila dikembangkan oleh mahasiswa mengingat munculnya aneka ragam kesempatan berusaha di era perkembangan teknologi ini (Sutanto, 2002). Sayangnya, pola pikir mahasiswa kebanyakan adalah ingin menyelesaikan kuliahnya dengan cepat lalu menjadi pegawai sampai pensiun. Hal ini bisa saja dikarenakan berkembangnya mitos-mitos negatif seputar kewirausahaan, seperti mitos terlalu muda untuk mulai menjalankan usaha, berwirausaha butuh modal yang besar, tidak punya bakat, tidak punya pengalaman dan takut gagal (Astamoen, 2005). Seperti yang dikatakan oleh Hidayat (2000) bahwa mitos-mitos negatif kewirausahaan belum terhapus dari skema kognitif sivitas akademika

Winardi (2003) menjelaskan bahwa kewirausahaan merupakan perilaku dinamik, mengandung resiko, kreatif serta berorientasi pada pertumbuhan. Seorang wirausahawan merupakan seorang individu yang menerima resiko, dan

(8)

yang melaksanakan tindakan-tindakan untuk mengejar peluang-peluang dalam situasi dimana pihak lain tidak melihat atau merasakannya, bahkan ada kemungkinan bahwa pihak lain tersebut menganggapnya sebagai problem atau ancaman. Wirausahawan adalah orang yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa berani mengambil resiko, artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi yang tidak pasti. Nasution dkk (2001) menyatakan bahwa wirausahawan selalu berusaha mencari peluang yang bisa diambil dari kemampuan yang ada pada dirinya maupun dengan cara menjalin kerjasama dengan orang lain serta memanfaatkan kebutuhan dari lingkungan sekitar.

Chandra (2001) mengatakan bahwa seorang wirausahawan adalah orang yang berani untuk mencoba. Wirausahawan tidak mudah percaya sebelum mencoba, membuka mata dan telinga terhadap suatu kesempatan atau peluang, memiliki keberanian untuk mengambil resiko, tidak takut membuat kesalahan sehingga punya keberanian membuka usaha. Dalam situasi sesulit apa pun, wirausahawan akan semakin tertantang untuk tidak berhenti mencoba, ia tidak mudah terpuruk dalam keputusasaan sampai akhirnya meraih kemenangan atau kesuksesan. Obsesi dalam menekuni usahanya bukan selalu karena uang. Banyak dari mereka yang maju karena visi dan mendapat dampak sosial yang positif. Dengan memiliki visi itu, maka meskipun usaha yang dijalankan tidak mendapat untung, tetapi tetap diusahakan berjalan.

Drucker (1985) mengartikan kewirausahaan sebagai semangat, kemampuan, sikap dan perilaku individu dalam menangani usaha/kegiatan yang mengarah pada

(9)

upaya mencari, menciptakan menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar.

Untuk menjadi wirausahawan memang tidaklah mudah, karena penuh tantangan dan mengandung resiko. Masrun (1986) mengatakan agar manusia dapat menghadapi tantangan dan mampu memainkan perannya, dalam hal ini menjadi seorang wirausahawan, perlu adanya peningkatan kualitas kepribadian. Sejalan dengan itu, Drucker (1985) menyatakan bahwa seorang wirausahawan memiliki kepribadian dan sifat spesifik. Hidayat (2000) menyebutkan ada beberapa karakteristik kepribadian yang mempengaruhi seseorang untuk menjadi wirausahawan, yaitu motif (dorongan) berprestasi, kemandirian, toleransi terhadap perubahan, serta sikap terhadap uang.

Motif berprestasi merupakan komponen yang penting dalam kepribadian yang membuat individu berbeda satu sama lain (Morgan, 1986). Mc. Clelland (1987) menyatakan bahwa motif (dorongan) berprestasi adalah unsur kepribadian yang menyebabkan seseorang ingin selalu berbuat lebih baik dan terus maju, selalu berpikir untuk berbuat lebih baik dan memiliki tujuan yang realistik. Individu dengan motif berprestasi menyukai situasi-situasi kerja yang dapat mereka ketahui apa akan mengalami kemajuan atau tidak dan guna mengoptimalkan kepuasannya individu akan cenderung menetapkan tujuan untuk dirinya sendiri yang harus dicapai. Dengan kata lain, motif berprestasi merupakan keinginan individu untuk meraih sukses yang optimal dan bertanggung jawab dalam mencapai tujuan hidupnya.

(10)

Motif berprestasi membuat individu mengembangkan keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik dan lebih efisien dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan sebelumnya. Individu merasa bertanggungjawab secara pribadi atas keberhasilan maupun kegagalan yang dialaminya. Oleh karena itu, individu dengan motif berprestasi yang tinggi cenderung meningkatkan kinerja dan produktivitasnya serta terus melakukan evaluasi terhadap performansi kerjanya dengan cara membandingkan performansinya dengan orang lain atau standarisasi tertentu (Mc. Clelland, 1987).

Motif berprestasi biasanya dikaitkan dengan sikap positif dan keberanian mengambil resiko yang diperhitungkan untuk mencapai suatu sasaran yang telah ditentukan. Menurut Mc. Clelland (1987) karakteristik yang menonjol pada individu dengan motif berprestasi yang tinggi adalah mereka bekerja dengan memperhitungkan resiko. Mereka tidak suka mengerjakan tugas yang terlalu mudah atau tugas-tugas rutin, karena hal itu tidak banyak memberikan tantangan dan kepuasan. Akan tetapi, mereka juga tidak suka mengerjakan tugas yang terlampau sukar karena kemungkinan berhasil kecil dan tugas itu di luar jangkauan kemampuannya. Oleh sebab itu, mereka akan cenderung menetapkan tujuan menengah (moderate) yang sebanding dengan kemampuannya sendiri. Pada mereka juga tampak keinginan untuk selalu mengetahui hasil nyata dari tindakannya sebagai umpan balik, sehingga dengan segera mereka dapat memperbaiki kesalahan serta mendorong untuk bekerja lebih baik dengan menggunakan cara-cara baru yang dia peroleh (As’ad, 1995).

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa kewirausahaan merupakan pilihan yang tepat dan rasional untuk perekonomian bangsa Indonesia yang

(11)

sedang dilanda krisis. Kewirausahaan dapat juga dilakukan oleh mahasiswa (Suryana, 2003). Untuk menjadi seorang wirausahawan, dipengaruhi oleh beberapa faktor kepribadian yang salah satunya adalah motif berprestasi (Hidayat, 2000). Motif berprestasi adalah unsur kepribadian yang akan mendorong individu untuk terus maju, melakukan sesuatu dengan lebih baik dan lebih efisien, bertanggungjawab dan berani mengambil resiko yang merupakan sesuatu yang diperlukan dalam berwirausaha (Mc.Clelland, 1987). Atas dasar itulah, maka peneliti tertarik untuk mengetahui seberapa besar pengaruh motif berprestasi terhadap kecenderungan berwirausaha pada mahasiswa. Penelitian ini akan dilakukan pada mahasiswa/i Fakultas Psikologi USU karena kegiatan kewirausahaan sudah tidak asing lagi di dalam lingkungan Fakultas Psikologi USU.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan kajian permasalahan yang dikemukakan dalam latar belakang masalah, maka motif berprestasi yang dimiliki individu dapat menunjukkan potensi untuk menjadi seorang wirausahawan. Motif berprestasi merupakan unsur kepribadian yang diperlukan seseorang, dalam hal ini mahasiswa, untuk menjadi wirausahawan. Hal inilah yang menyebabkan peneliti tertarik untuk mengetahui seberapa besarkah pengaruh motif berprestasi terhadap kecenderungan berwirausaha pada mahasiswa.

(12)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari motif berprestasi terhadap kecenderungan berwirausaha pada mahasiswa Fakultas Psikologi USU.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan membawa 2 (dua) manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan bidang ilmu Psikologi terutama Psikologi Industri dan Organisasi.

b. Memperkaya kajian empiris mengenai kecenderungan berwirausaha dalam kaitannya dengan motif berprestasi.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai gambaran kecenderungan berwirausaha dan gambaran motif berprestasi pada mahasiswa Fakultas Psikologi USU.

b. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang kewirausahaan, serta mau dan mampu untuk mewujudkannya.

c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada perguruan tinggi dan mahasiswa tentang pentingnya motif berprestasi terutama untuk mampu berwirausaha sehingga mahasiswa dapat terus menumbuhkan motif berprestasi di dalam dirinya.

(13)

E. Sistematika Penulisan

Proposal penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Dalam latar belakang masalah dibahas tentang krisis ekonomi yang semakin parah melanda Indonesia, yang menyebabkan angka pengangguran meningkat. Solusi yang terbaik adalah dengan menggalakkan wirausaha. Namun untuk menjadi seorang wirausahawan dipengaruhi oleh faktor kepribadian, yang salah satunya adalah motif berprestasi, karena individu dengan motif berprestasi adalah individu yang selalu berpikir untuk terus maju, bertanggungjawab dan berani mengambil resiko. Motif berprestasi merupakan unsur kepribadian yang diperlukan seseorang, dalam hal ini mahasiswa, untuk menjadi wirausahawan.

Bab II : Landasan Teori

Landasan teori berisi uraian teoritik variabel-variabel penelitian yang meliputi landasan teori tentang kewirausahaan, motif berprestasi dan hubungan antara motif berprestasi dengan kecenderungan berwirausaha pda mahasiswa. Bab ini juga mengajukan hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan pengaruh motif berprestasi terhadap kecenderungan berwirausaha pada mahasiswa.

(14)

Bab III : Metode Penelitian.

Bab ini berisi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel, subjek penelitian, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisis yang digunakan untuk mengolah data penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah motif berprestasi sebagai variabel bebas dan kecenderungan berwirausaha sebagai variabel tergantung. Alat ukur yang digunakan adalah skala, yang terdiri dari 2 (dua) buah skala, yaitu skala kecenderungan berwirausaha dan skala motif berprestasi yang daya beda aitemnya akan diuji dengan menggunakan Pearson Product Moment dan uji reliabilitas dengan metode koefisien Alpha Cronbach. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linier. Sementara untuk teknik pengambilan sampel adalah dengan teknik nonrandom secara incidental.

Bab IV : Analisis Data dan Interpretasi

Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisis data dan interpretasi hasil sesuai dengan data yang diperoleh. Pembahasan diawali dengan gambaran umum subjek penelitian, yang meliputi gambaran mengenai ciri-ciri demografi, yakni usia, dan jenis kelamin kemudian dilanjutkan dengan hasil utama penelitian dan hasil analisis tambahan atas data yang ada.

Bab V : Diskusi, Kesimpulan dan Saran

Referensi

Dokumen terkait

Ada tiga faktor yang menimbulkan minat yaitu “Faktor yang timbul dari dalam diri individu, faktor motif sosial dan faktor emosional yang ketiganya mendorong timbulnya

Aktiva tetap merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam suatu neraca yang bersifat permanen dan dapat dipergunakan terus menerus selama taksiran umur ekonomis aktiva

Dorongan atau motivasi belajar tersebut bisa dirangsang dari luar individu (ekstrinsik) maupun dari dalam individu (instrinsik). Guru perlu mendorong siswa

berupa kesimpulan bahwa Lembaga Bantuan Hukum masih memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi tersangka atau terdakwa sesuai dengan ketentuan pasal 56 ayat

Pelaksanaan otonomi desa akan mendorong pemerintah dan masyarakat desa Nanganesa untuk lebih mandiri dalam mengatur dan mengurus rumah tangga desa, termasuk dalam hal ini

Hal-hal yang telah penulis kemukakan di atas mendorong penulis untuk mengambil judul skripsi “Pelaksanaan Perjanjian Medis Transplantasi Organ Tubuh antara

Untuk menguji secara empiris bagaimana pengaruh characteristic of entrepreneur (percaya diri, inisiatif, motivasi prestasi, kepemimpinan, berani mengambil risiko)

pemasukan barang secara gelap untuk menghindari bea masuk atau karena menyelundupkan barang terlarang. Jadi yang di maksud dengan “Peranan Penyidik Pegawai Negeri