• Tidak ada hasil yang ditemukan

ben anderson negara kolonial dalam baju orde baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ben anderson negara kolonial dalam baju orde baru"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

Negara Kolonial Dalam

Baju Orde Baru

*

B. R. O. G. Ander s on

D

ewasa ini, pada zaman yang mengenal lembaga-lembaga sepert i Perserikat an Bangsa-Bangsa (Unit ed Nat ions), barangkali t erlalu bersahaj a unt uk mengart ikan kat a “ bangsa“ sebagai ist ilah mudah unt uk mengungkapkan konsepsi „ negara-modern, “ dan dengan demikian, mel upakan sel aput t ipis yang menghubungkan dua konsep yang sebenarnya sangat berlainan, yait u, “bangsa“ (nat ion) dan “ lembaga negar a-moder n berdasarkan asas kesat uan bangsa“ (nat i on- st at e) . Padahal , kedua konsep i ni m asi ng- m asi ng mempunyai ci r i - ci r i kesej ar ahan, i si , ser t a „ kepent i ngan-kepent ingan“ yang berbeda. Dan, dengan meninj au sepint as pun dapat kit a lihat bahwa perkawinan kedua konsep t ersebut baru t erj adi pada masa mut akhir, dan wuj ud perpaduannya seringkali t idak serasi. Sampai 1914, misalnya, bent uk “ negara“ berupa keraj aan-dinast ik masih “ galib“ di mana-mana: “ negara“ yang demikian bukan dit ent ukan oleh persamaan bahasa, adat -ist iadat , kenangan umum, t apal-bat as permanen, melainkan dibent uk oleh pusat -pusat monarki; karena it u, kaisar-kaisar yang berkuasa di Rusia, Tiongkok, dan Inggris, misalnya, menyebut diri sebagai “ Tsar dari Rakyat Rusia, “ “ Put ra Langit , “ “ Gerbang yang Sahdu“ dan “ Rat u Seluruh Inggris dan Hindia.“ Kebanyakan negara-modern yang ada dewasa ini (nat ion st at e), “ lahir“ dalam kurun-wakt u sej ak 1800 hingga, kat akanlah, 1975, dari t engah kemelut sengket a besar-besaran ant ar a berbagai “ bangsa, “ yait u, ket ika “ bangsa-bangsa“ it u bermunculan dalam bent uk gerakan-gerakan solidarit as masyarakat yang bergerak di luar aparat negara, at au, dalam

* Diterjemahkan dari “Old State New Society: Indonesia’s New Order in Comparative

(2)

bent uk “ negar a-negar a“ di nast i k at au kol oni al . Jadi , bol eh dikat akan, kebanyakan bangsa pada masa muda belianya, t idak mengalami kehidupan-bernegara-modern.

Sebaliknya, kebanyakan (aparat ) negara modern menurut riwayat asal-usulnya, berumur lebih t ua daripada bangsa-bangsa yang kini mer eka hi mpun menj adi t empat l embaga negar a ber pi j ak. Kebenaran pendapat ini dapat dit erangkan dengan cont oh-cont oh keganj ilan (anomali) menarik yang ada dewasa ini. Misalnya, pemerint ahan “ revolusioner“ dan “ sosialis“ di Uni Soviet dan di Re p u b l i k Rak y at Ti on gk ok , t i d ak m e r asa j an ggal u n t u k menyelesaikan sengket a perbat asan dengan menghimbau pet a-pet a dan perj anj ian-perj anj ian kuno yang dulukala dicipt akan oleh dinast i absolut Romanov dan dinast i “ f eodal“ Chi’ ing dari zaman Manchu. Begit u pula, ada selusin kasus negara bekas j aj ahan yang menj alankan haluan polit ik luar-negeri yang t ernyat a serupa dengan yang d i j al ank an ol eh p em er i nt ahan k ol oni al , sek al i p un “ kepent ingan-kepent ingan nasional“ (dari dalam masyarakat selaku sat u bangsa) yang bert olak-belakang, secara f ormal diwakili dalam bent uk negara-modern. (Lihat misalnya st udinya Maxwell yang cermat dan j eli mengenai polit ik luar negeri India set elah merdeka t erhadap soal perbat asan Ut ara, 1970). Selain it u, kit a ket ahui pula bahwa di kebanyakan negara modern di Dunia Ket iga (dan j uga di benua lain, walau kurang begit u j elas), t erdapat j ej akj ej ak dan gubahan dari warisan bent uk negara lama (negara kolonial) yang masih t ampak j el as sekal i: yait u, dal am ihwal st rukt ur organisasi pembagian f ungsi dan personalia penyelenggara negara sert a pelembagaan kenangan umum dalam bent uk berkas-berkas administ rasi dan arsip, dan lain sebagainya.

(3)

dengan legit imasi (keabsahan) sert a hak menent ukan-nasib-sendiri yang t elah menj adi kaidah-kaidah yang dit erima dalam kehidupan moder n, kemudian mengukur dan mewuj udkan hak ot onomi modern it u dengan “ mencipt akan“ sebuah lembaga negara “ -nya sendiri. “ Di lain pihak, oleh karena harus hidup dengan bert umpu pada t unt ut an-t unt ut annya t erhadap t enaga-kerj a, wakt u dan kemakmuran masyarakat , maka negara-modern ini t idak dapat mengabsahkan eksist ensinya hanya berdasarkan t unt ut an-t unt ut an t er sebut . Akan t et api , l embaga negar a dapat ber anj ak dar i kenyat aan bangsa (adanya aspirasi bangsa dalam masyarakat luas) sebagai landasan keabsahan modernnya.

(4)

ambisi-ambisi pribadi personalia yang kebet ulan berperan.

Dengan kondisi l embaga-modern yang demikian, maka dapat diduga, dalam kenyat aannya, negara-negara-kebangsaan akan menj alankan kebij aksanaan yang merupakan sebuah paduan yang berubah-ubah dari dua j enis kepent ingan umum, yang dapat kit a sebut “ kepent ingan negara“ dan “ kepent ingan bangsa“ ; keduanya p an t as d i p an d an g m asi n g- m asi n g seb agai “ k ep en t i n gan represent at if “ dan “ kepent ingan part isipat oris. “ Jadi, dapat kit a gambarkan semacam spekt rum yang menghubungkan dua kut ub, at au dua sit uasi yang berbeda. Ini adalah variasi dari pembedaan menarik yang dikembangkan dengan daya-imaj inasi oleh Alers (1956). Salah sat u sit uasi yang demikian ialah kondisi pendudukan at au penj aj ahan, misal nya ket ika Perancis diduduki Jerman, Jepang diduduki Amerika, at au “ Indonesia“ dij aj ah Belanda dan “ Viet nam“ dij aj ah Perancis. Dal am kasus-kasus ini, l embaga “ negara“ t et ap menj alankan f ungsi-f ungsi modernnya sepert i: memungut paj ak, menyaj ikan j asa-j asa administ rat if , mencet ak uang, mengat ur pr oses per adi l an, dsb. , sedangkan sebagi an t erbesar pegawai at au penyelenggara „ negara“ ialah orang-orang “ pribumi. “ Pat ut dicat at , bahwa kondisi-kondisi ini sama sekali t idak dengan sendirinya menj amin t ingkat kesej aht eraan yang bagaimanapun dari penduduk yang dikuasai. Di bawah pendudukan Amerika Serikat , masyarakat Jepang mengalami suat u kebangkit an yang mengagumkan dar i pui ng-pui ng per ang, dan t ak dapat di bant ah, bahw a dal am i hw al -i hw al t er t ent u, r ezi m-r ezi m kolonial di Indonesia dan Viet nam t urut menyumbang kemaj uan b agi p end ud uk yang d i j aj ah. Nam un j el as p ul a, b ahw a kepent ingan-kepent ingan “ nasional “ yang part isipat oris (dari penduduk set empat ) hampir sepenuhnya diabaikan at au dit indas. Sedang kut ub at au sit uasi lain dari spect rum di at as ialah sit uasi pada awal mula revolusi, yait u ket ika lembaga negara t engah ber ant akan dan pusat -kuasa dengan t egas ber al i h ke pi hak or gani sasi -or gani sasi di l uar negar a yang di bent uk mel al ui penggalangan massa secara sukarela.

(5)

kebij aksanaan dari negara-negara-kebangsaan modern lazimnya (dengan kekecualian sit uasi yang ist imewa) akan mencerminkan sebuah pergeseran lembaga ant ara dua j enis “ kepent ingan yang digambarkan di at as. Menurut pendapat saya, kerangka ini berguna unt uk mengembangkan sebuah pemandangan dalam menaf sirkan kehi dupan pol i t i k m oder n di Indonesi a. Khususnya, saya berpendapat bahwa hasil-hasil kebij aksanaan negara “ Orde Baru” (sej ak seki t ar 1866 sampai ki ni ) dapat di pandang sebagai perwuj udan maksimal dari j enis kepent ingan negara; dan daya l aku ar gument asi i ni dapat di uj i dengan meni nj au sej ar ah kehidupan (ber)negara di Indonesia. Tuj uan t ulisan ini bukanl ah

pert ama-t ama unt uk menimbang unt ung-rugi dari berbagai rezim y an g si l i h - b e r gan t i b agi p e n d u d u k , m e l ai n k an u n t u k mengembangkan sebuah kerangka pemikiran yang cocok bagi st udi perbandingan yang hist oris.

I. NEGARA KOLONIAL SEBAGAI NENEK- MOYANG APARAT NEGARA-MODERN

(6)

dewasa ini merupakan hasil cet akan dari perluasan kekuat an polit ik-milit er yang luar biasa dari ibukot a Bat avia pada masa 1850-1910 (Vlekke, 1959: bab 14, “ The Unif icat ion of Indonesia” ). Dipandang dari segi keunt ungan ekonomis, malahan j uga dari segi sekurit i milit er, t indakan perebut an dan penaklukkan wilayah it u banyak y an g k u r an g m asu k ak al .1 Beber apa di ant ar anya m al ah mengakibat kan negara bangkrut . Seringkali, keput usan-keput usan yang menent ukan diambil di Bat avia, bukan di Den Haag, dan dengan alasan-alasan (r ai son d’ est at) yang sif at nya lokal. Sebuah cont oh bagus ialah Perang Aceh, 1873-1903 (Vlekke, 1959, hal. 320-1).

Pada 1910, dengan mengandalkan kekuat an milit ernya sendiri, yai t u ‘Koni nkl i j k Neder l andsch-Indi sch Leger’ (sel anj ut nya disingkat K. N. I. L. ), negara kolonial berhasil mencanangkan “r ust en orde” (ket ent raman dan ket ert iban, at au dalam ist ilah sekarang: kamt i b: keamanan dan ket er t i ban) di sel ur uh wi l ayah yang dikuasainya; sebuah sist em pengendalian-kuasa yang t idak pernah t ergoyahkan, dan baru hancur dalam beberapa pecan pada 1942 ket ika diserbu t ent ara Jepang. Bila ekspansi horizont al pada awal abad ini berakhir, dalam hal ekspansi vert ikal yang t erj adi adalah kebalikannya. Dengan dilaksanakannya “ kebij aksanaan Et ika, ” aparat negara mengal ami perl uasan besar-besaran yang j auh merasuki kehidupan masyarakat set empat , dan f ungsi kepej abat an berkembang-biak.2 (Mengenai proses ini, st udi yang klasik adalah karya Furnival l , 1944). Pendidikan, kegiat an rel igius, irigasi, perbaikan pert anian, peningkat an kebersihan (hygini), eksploit asi pert ambangan dan pengawasan polit ik, ini semua semakin menj adi kegiat an pemerint ahan negara yang semakin luas. Dan perluasan

1 Dalam artian ini, usaha pencaplokan Timor Timur setelah serbuan pada 7 Desember

1975 merupakan garis kelanjutan dari pelebaran wilayah rezim kolonial.

2 Hasilnya dilukiskan dengan tepat dalam Rumah Kaca, karya dengan judul bergaya

(7)

ini berlangsung bukan pert ama-t ama karena menanggapi t unt ut an-t unan-t uan-t an organisasi masyarakaan-t di luar negara, melainkan karena desakan hasrat dari dalam lembaga negara.

Apakah lat ar belakang penggalakan aparat ini? Jawabnya akan j elas bila kit a t engok kebij aksanaan perpaj akan dan personalia pemerint ahan ket ika negara colonial semakin mapan. Pada 1928 t ahun t erbaik sebelum Depresi t iba, pendapat an negara berkisar sekit ar 10% dari masing-masing monopoli negara dalam pembuat an garam, pegadaian dan penj ualan opium (yang harga j ualnya 10 laki lipat harga di pasar t erbuka di Singapura, lihat misalnya Rush, 1977: hal 278); 20% dari keunt ungan perusahaan-perusahaan milik

negar a dalam bidang pert ambangan, perkebunan dan indust ri; 16% dari bea cukai; 19% dari paj ak usaha; 6% dari penyewaan t anah; dan 9% dari paj ak pendapat an. Sisanya t erdiri dari hasil berbagai pungut an dan paj ak-paj ak t idak langsung yang regresif (Dat a di at as berdasarkan dat a dalam Van den Bosch, 1944: hal. 290- 305) . Ji ka ki t a i ngat bahw a per ekonom i an m asa i t u menghasilkan produk-produk dunia yait u: 90% unt uk kina, 80% unt uk merica, 37% unt uk karet , dan 18% unt uk t imah—belum lagi hasil produksi minyak—, maka j elas bahwa sumber kekuat an negara kol oni al pada masa mat angnya—seper t i negar a V. O. C. yang mendahuluinya—sebagian t erbesar bert umpu pada kegiat an sendiri

yang bersif at monopolist is sert a pada eksploit asi secara t epat -guna dari berbagai sumberdaya alam dan manusia set empat .

(8)

penduduk di Jawa, (lihat Fasseur, 1975: hal. 9). Namun demikian, ket ika it u pun j umlah pej abat Eropa hanya sekit ar 10% dari seluruh aparat negara. Pada 1928, j umlah pej abat ket urunan pribumi yang digaj i negara hampir mencapai seper empat j ut a orang (Van den Bosch, 1944: hal. 171), dengan kat a lain, 90% dari birokrasi negara-kolonial t erdiri dari “ orang-orang Indonesia, “ dan negara ini t ak mungkin berf ungsi t anpa peransert a mereka. Sit uasi ini, sepert i dit ulis oleh Benda, merupakan t ahap t erakhir dari proses panj ang sej ak pert engahan abad ke-19, yang menyerap dan mencengkeram berbagai lapisan penguasa pribumi (kebanyakan orang Jawa) ke dalam mekanisme beamt enst aat, yait u, sebuah aparat negar a-pej abat yang semakin digariskan dan dikendalikan dari pusat pemerint ahan kolonial set empat . (Mengenai birokrasi t erit orial pej abat Jawa lihat st udi bagus oleh Sut herland, 1979).

(9)

yang relat if kurang pengalaman, dan oleh orang-orang Indonesia yang t i ba-t i ba di pr omosi kan, t i mbul kekacauan kehi dupan masyarakat dan berkurangnya sumber kebut uhan hidup akibat sit uasi perang. Akhirnya, kebij aksanaan pemerint ah-pendudukan yang sangat ganas dan menindas di belakang hari menimbulkan kebencian rakyat , dan perasaan benci ini t erut ama diarahkan kepada para pej abat pribumi (pamongpraj a) yang makin dianggap sebagai kaum pengkhianat ibu pert iwi. Jadi, dengan t akluknya Jepang pada bulan Agust us 1945, maka di berbagai t empat di Jaw a d an Sum at er a, l em b aga negar a nyar i s m engi l ang, kekuasaannya pudar dihadapan berbagai gerakan rakyat yang bermunculan. (Anderson, 1972: bab 6, 7 dan 15). Sedang di bagian lain dari “ Indonesia, “ f ragmen-f ragmen dari aparat beamt enst aat yang lama (Hindia Belanda), berlangsung t erus sesuka sendiri.

II. NEGARA DAN KEKUATAN MASYARAKAT, 1945-1965

Pada 17 Agust us 1945, dua t okoh polit ik nasionalis yang t ermasyhur, yait u Sukarno dan Hat t a, mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dalam suat u upacara singkat di pekarangan di depan rumah pribadi Sukarno di Jakart a. Apabila boleh disebut punya “ kedudukan resmi, “ kedudukan mereka saat it u hanyalah selaku Ket ua dan Wakil Ket ua Panit ia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, sebuah badan yang dibent uk t ergesa-gesa oleh Jepang beberapa hari sebelumnya. Pada hari berikut nya, dua puluh orang anggot a panit ia it u “ memilih“ Sukarno unt uk menempat i suat u kedudukan yang sama sekali baru, yait u kepresidenan. Dengan demikian, Sukarno secara f ormal menyat ukan kepemimpinan bangsa yang baru ini dengan kepemimpinan dari suat u lembaga negar a yang l ama (Ander son, 1972: bab 4). Maka, unt uk per t amakal i nya kepem i m pi nan negar aki ni di r um uskan dal am m akna yang

r epr esent at i f; bahwasanya set el ah it u Sukarno t idak pernah menyelenggarakan pemilihan presiden, hal ini t idak merubah art i bahwa pucuk negara yang dipimpinnya ini mengandung makna represent at if .

(10)

berlangsung di l uar l i ngkup negar a, dan hal ini secara simbolis m en gi n gat k an k i t a ak an k ar i r t er d ah u l u Su k ar n o, y an g keseluruhannya dibangun melalui penggalangan kekuat an rakyat (gerakan nasional), dan melalui oposisi berkurun panj ang melawan negara kolonial. Sukarno t idak pernah menj adi pej abat di dalam pemerint ahan negara kol onial , ia diint ai, dit angkap, diadil i, dipenj ara dan diasingkan (selama hampir 11 t ahun) oleh mat a-mat a, polisi, hakim dan pej abat penguasa negara it u (Legge, 1972, khusus bab 5 dan 6). Dan di kalangan mereka yang mengint ai, menangkap sert a mengucilkannya—belum lagi yang dengan gigih merusak pekerj aan polit iknya semasa ia masih bebas—adalah orang-orang „ Indonesia“ yang t urut dalam aparat negara it u.

Selama empat t ahun gej olak Revolusi (1945-49) yang kemudian menyusul, sebenarnya ada dua lembaga negara yang berf ungsi di Nusant ara: Republik yang masih j abang bayi dan Hindia Belanda yang hendak kembali. Walau diperlemah oleh kedudukan NAZI Jerman semasa perang dan oleh kehancuran ekonomi, Negeri Belanda saat it u mempunyai kekuat an milit er maupun sumber dana yang t oh masih j auh lebih besar daripada kekuat an nasionalis Indonesia. Pada akhir 1946, Belanda berhasil menguasi seluruh kawasan Nusant ara bagian t imur, dan pada t ahun berikut nya prakt is menduduki semua daerah ut ama penghasil komodit i ekspor di Jawa dan Sumat era. Dengan kekuat an aparat ‚ beamt enst aat ’ -nya. Menyusul “ Aksi Pol i si oni l “ kedua yang di l ancar kan pada 19 Desember 1948 negara kolonial berhasil merebut kot a-kot a pent ing dan menawan Sukarno, Hat t a dan pucuk pimpinan Republik yang lain (Kahin, 1952; Alers, 1956; Reid, 1974).

(11)

kedudukan di dalam negara t anpa pernah membayangkan akan menempuh karir kepej abat an di masa depan. Maka kohesi at au ket erikat an di dalam t ubuh negara Republik sebenarnya t idaklah t angguh dan kemiskinan masyarakat makin memperlemahnya. Sej auh negara (lama) mempunyai cit ra berwibawa, ot orit as ini sebagian besar diperolehnya berkat peran bekas musuhnya, yait u, pemimpinpemimpin nasionalis.3 Para pemimpin ini pada gilirannya kini berkepent ingan unt uk mengamankan aparat negara karena t i ga al asan t akt i s: per t ama, mer eka i ngi n sej auh mungki n menj auhkan negara “ Beamt enst aat “ dari pengaruh Belanda, karena aparat ini dianggap lebih berguna bagi musuh daripada bagi mereka sendiri, kedua, aparat negara it u kadangkala berguna dalam rangka pert arungan-kuasa di dalam kalangan mereka sendiri, dan ket iga, mereka bert ekad memperoleh pengakuan int ernasional sebagai suat u bangsa yang berdaulat , sedang pengkuan demikian hanya diberikan kepada bangsa-bangsa yang mempunyai aparat negara.

Jadi, ket ika Bel anda akhirnya t erpaksa mengakui kekal ahan, penyebabnya yang ut ama bukan t erlet ak pada peran lembaga Republik. Fakt or ut ama ialah adanya perlawanan rakyat yang sifat nya sangat lokal, t erut ama di Jawa dan Sumat era, sebagaimana t erungkap dalam gerak aneka ragam organisasi polit ik dan milit er di luar negara, yang dihimpun, dibiayai dan dipimpin oleh kekuat an masyarakat di pelbagai t empat (ini semua dilukiskan dengan indah dalam karya A. Kahin, 1979). Yang mengkait kan berbagai gerakan perlawanan ini bukanlah suat u lembaga negara, melainkan sebuah pandangan bersama unt uk mewuj udkan suat u bangsa yang bebas dan merdeka.4 Selanj ut nya, pihak Belanda makin let ih perang

3 Lihat Anderson, 1972: 113-4, untuk sebuah penjelasan mengenai perundingan yang

berat sebelah antara para pemimpin nasionalis dengan wakil-wakil pucuk negara pada 30 Agustus 1945, dan lihat bab 15 untuk sebuah analisa mengapa pamor Sukarno dan para pembantu sekitarnya turut membantu menghidupkan kembali wibawa bekas aparat resmi kolonial.

4 Keadaan ini dapat dilambangkan dengan peranan Aceh. Aceh, daerah yang setelah

(12)

dan mengalami t ekanan berat di bidang diplomat ik dan keuangan dar i Am er i ka Ser i kat . Hal i ni t ur ut m endor ong t i m bul nya perubahan dramat is, hingga pada akhir 1949, Belanda secara resmi menyerahkan kedaulat an ke t angan Republik Indonesia Serikat (R. I. S. ) yang menghimpun berbagai negar a di Nusant ara.

R. I. S. , l embaga baru ini, di dunia l uar mendapat pengakuan int ernasional, t api di dalamnya, sebenarnya merupakan sebuah campuran yang rawan ant ara dua lembaga negara yang selama empat t ahun sebelumnya bermusuhan—rawan, baik dalam kekuat an milit ernya maupun dalam birokrasi, perundang-undangan yang muda, dalam kemampuan sumber keuangannya yang ant ara lain dibebani warisan hut ang H. B. sebesar 1. 130 j ut a dollar Amerika (G. Kahin, 1952: 433-53), dan rawan karena warisan berbagai kenangan yang t elah melembaga. R. I. S. t erbelah dalam dua aparat negara, sisa Hindia Belanda (H. B. ) dan Republik. Di dalam R. I. S. , kedua belahan ini mempunyai kelemahan masing-masing. Belahan “ H. B. ” secara polit ik cemar oleh noda persekongkolan dengan Belanda, dan sekaligus kehilangan int i kekuat an pemerint ahan H. B. Sedang belahan “ Republik“ belum pulih dari kehancurannya selama 1948-49. Dan pada 1950, ket ika negara f ederal R. I. S. dirubah menj adi negara kesat uan Republ ik Indonesia, akibat desakan dan agi t asi kekuat an di dal am masyar akat , maka kerawanan it u pun t et ap melanda lembaga-negara campuran ini.

Maka cukup beralasan unt uk mengat akan dengan mudah, bahwa sist em demokrasi parlement er bisa hidup sampai sekit ar 1957, karena memang t ak mungki n ada bent uk r ezi m l ai n sebagai al t er nat i f. Karena t ak ada birokrasi sipil yang t angguh, t ak ada part ai sipil yang t angguh, t ak ada part ai polit ik yang dominant pada t ingkat nasional, dan t ak ada angkat an bersenj at a professional dan t erorganisasi-sent ral (t ak ada j uga “ indust ri” yang menopang mariner dan angkat an udara unt uk mengendalikan seluruh Nusant ara) yang berpot ensi mengambil alih kuasa negara. Dengan demikian,

(13)

sist em demokrasi parlement er yang menandaskan perwakilan rakyat dan menyaj ikan ruang bagi kegiat an organisasi polit ik di luar negara, boleh dikat a “ cocok” dengan sit uasi yang menggej ala, yait u, kehidupan masyarakat dan bangsa l ebih berbobot dan mendesak kehidupan aparat negara.

Dengan él an (semangat ) perj uangan kemerdekaan yang makin pudar dan t enggelam ke dalam kenangan, maka kelemahan negara makin menyolok dan t ampak dalam t iga demensi: milit er, ekonomi, dan administ rasi pemerint ahan.

Kelemahan sisi milit er t ampak pada 1950, ket ika permusuhan ant ara dua komponen milit er dari lembaga campuran t adi, pecah menj adi pert empuran ant ara bekas t ent ara Republik lawan bekas t ent ara K. N. I. L. Ini t er j adi di Jawa dan di Sul awesi , dan kemudi an menimbulkan usaha separat is “ Republik Maluku Selat an” (lihat penj elasan Feit h t ent ang “ Kasus West erling” di Jawa Barat dan “ Kasus Andi Aziz” di Sulawesi Selat an, dalam bukunya, 1962: 62, 66-68). Tidak l ama kemudian, berkecamuk apa yang disebut “ pemberont akan daerah,” t erut ama di kawasan-kawasan yang dulu menj adi basis kekuat an t ent ara Republik. Akhirnya, pada 1958, berkobar perang saudara besar-besaran ant ara Republik Indonesia dan P. R. R. I. / Permest a, yang dipimpin oleh beberapa t okoh milit er dan polit ik yang t erkenal di masa revolusi. Kesemua sengket a ini dimungkinkan, oleh karena Revolusi di t ahun-t ahun sebelumnya diperj uangkan oleh kekuat an-kekuat an gerilya yang sif at nya local dengan st af pimpinan yang kecil, t idak berpengalaman kemilit eran dan hanya mengandalkan wibawa moral t ert ent u. Alhasil, uj ung-ekornya sepert i yang t erj adi di Birma sej ak usai perang: negara Indonesia yang t elah merdeka selama bert ahun-t ahun t ak mampu mencanangkan kendal i mil it ernya di sebagian besar wil ayah negara.

(14)

sampai 1957, perusahaan-perusahaan raksasa Belanda, yait u “ Lima Besar, ” t et ap mendominasi sebagian besar sect or pendapat an negara dan perhubungan laut . Indust ri perminyakan berada di t angan Belanda, Amerika dan Inggris. Maka t idak mengherankan, perkembangan perekonomian negara pascakolonial ibarat sinar pelit a yang redup.

Pada sisi administ rasi negara, ket angguhan dan disiplin aparat birokrasi sipil yang t elah runt uh, melanj ut kan proses ini selama t ahun 1950-an. Unt uk sebagian, hal ini merupakan akibat dari permusuhan ant ara dua belahan dalam aparat negara campuran pasca-1950. Unt uk sebagian lagi, karena kenangan akan gej olak nasib pamongpraj a selama Revolusi (main pecat , culik, dan bunuh) melemahkan semangat kerj a dan mendorong sikap pasif demi perlindungan diri sendiri. Namun, yang paling pent ing adalah gej ala penet rasi (perasukan pengaruh) masyarakat ke dalam lembaga negara. Konon, kalangan orang yang pada masa kolonial dij auhkan dari f ungsi dan j abat an di dalam beamt enst aat, sudah semenj ak masa Revol usi mengambil -al ih posisi t ersebut : kiyai-kiyai t ua menj adi pegawai kecamat an, muda-mudi menyelenggarakan j asa-j asa umum berupa pelayanan kesehat an dan kenyediaan pangan, orang-orang but a-huruf menj adi komandan milit er di desa-desa, dsb. Unsur-unsur masyarakat ini “ memasuki” lembaga negar a, namun kait an dasar dan loyalit as mereka t et ap bert umpu pada

(15)

t ent u t idak berdaya menggaj i secara memadai para pegawai birokrasi yang menggelembung ini, apalagi unt uk menj aga t araf disiplin t ert ent u. Akibat -akibat nya t ak t erelakkan lagi korupsi (unt uk kant ong pribadi maupun kas part ai) mearj alela dan daya-kerj a merosot . Dan j ika pemerint ahan selama periode 1950-57 t erbent uk oleh koalisi part ai, maka pembagian f ungsi dan j abat an depar t emen menur ut pat r onase pol i t ki k (hubungan bapak— anakbuah) membuat sit uasi makin gawat . Sebuah pet unj uk bagus bet apa “ rapuh” aparat negara adalah kalimat dalam U. U. No. 1/ 1957 yang mewaj ibkan kepala-daerah dipilih melalui pencalonan (oleh pendukung part ai), bukan diangkat oleh pusat (Legge, 1961: bab 9).

Tet api bukan hanya part ai polit ik yang merasuki t ubuh apar at

negara. Baik pada masa Revolusi maupun set elahnya, banyak kalangan elit e t radisional yang semula bersekongkol dengan Belanda di daerah-daerah yang t erbelakang di luar Jawa, kehilangan (at au t akut kehilangan) kedudukan dan hart a-benda mereka. Merasa lemah dalam kancah pemilihan umum, maka mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah kepegawaian. Kelompok bangsawan muda dar i suku-suku mi nor i t as i ni kemudi an memper kaya per put ar an negar a dengan di mensi “ et ni k“ yang ber gai r ah konservat if dan cenderung kesukuan (lihat Magenda, akan t erbit ).

(16)

suat u kekuat an operasional yang mampu bergerak cepat ; komando khusus ini pada t ahun 1960-an t elah mat ang dan dikenal sebagai Komando Cadangan St rat egis Angkat an Darat , KOSTRAD. Terut ama berkat bant uan Uni Sovyet , ABRI membangun marinir dan angkat an udara yang kuat (angkat an-angkat an ini membut uhkan modal besar, j adi—lain dengan TNI/ AD—t ak mungkin t umbuh dari kekuat an geril ya yang menyebar di masa Revol usi). Maka, pada 1962, pimpinan TNI/ AD cukup berhasil memberant as pembangkangan perwira daerah, dan unt uk pert ama kali sej ak 1942 sebuah aparat milit er dari lembaga negara menyat ukan seluruh bekas wilayah Hindia Belanda di bawah sat u kendali sent ral. Dalam proses ini, set i ap keber hasi l an suat u oper asi mi l i t er menyi si hkan par a pet anding-kuasa di dalam perebut an-kuasa ant ar-milit er. Dengan basis kekuat an di Jawa, para perwira t inggi memberkuat kendali komando, sement ara pasukan-pasukan dari Jawa secara de f act o

menduduki dan menguasai berbagai kawasan di luar Jawa.

(17)

sendiri, dan dengan demikian, unt uk pert ama kali pula, melekat kan

suat u kepent i ngan ekonomi kor por at (usaha dagang yang t er or gani sasi kan) pada lembaga ABRI secara keseluruhan, sebagai suat u sekt or ekonomi t ersendiri di dalam masyarakat Indonesia. Jadi, pada 1957, unt uk pert ama kali sej ak 1942, sumbersumberdaya

ekonomi yang ut ama (bagi seluruh bangsa) j at uh ke t angan suat u kendali-t unggal (dari sat u aparat di dalam negara).

Dalam proses t adi, t okoh Sukarno yang kharismat is menj alin sekut u dengan pimpinan TNI/ AD. Menghadapi ket egangan regional yang kemudian memuncak dengan pecahnya perang saudara pada Pebruari 1958, Sukarno melihat bahaya perpecahan bangsa semakin besar. Ancaman ini dianggapnya semakin gawat , karena Amerika Serikat (at au, paling t idak, Dinas Rahasia C. I. A. ) menyokong para pembangkang daerah dengan persenj at aan dan uang. Mengingat pengalaman masa lampau, Sukarno makin yakin, bahwa kabinet koal isiant ar part ai—bahkan j uga pamornya pribadi—t ak akan berdaya memadai unt uk mencegah bahaya nasional t ersebut . Hanya TNI/ AD yang mampu menghadapinya. Oleh karena it u, bagi Sukarno, pent ing unt uk memberi pimpinan TNI/ AD hal-hal yang menurut mereka sangat dibut uhkan yait u, U. U. Darurat , kekangan t erhadap parpol, kendali at as perusahaan-perusahaan Belanda, dan pencabut an U. U. No. 1/ 1957. Besar kemungkinan, Sukarno belakangan pun yakin bahwa cit a-cit a mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Republik hanya dapat diwuj udkan dengan membangun suat u kekuat an milit er yang t angguh, yang oleh Belanda (dan Amerika Serikat ) dianggap serius.

Kendat i demikian, Sukarno j uga menyadari sepenuhnya, bahwa konsolidasi TNI/ AD unt uk pert ama kali dalam sej arah membuka peluang suksesnya suat u kudet a dan t egaknya suat u rezim yang didominasi kaum milit er. Karena it u, dengan cepat ia menggunakan wibawa polit ik dan wewenang legal-nya berdasarkan U. U. D. 1945 (yang diberlakukan kembali melalui suat u dekrit pribadi presiden pada 1959) unt uk mencegah t ent ara menindas parpol dan ormas.5

(18)

pembatasan-Koalisi ant ara pimpinan TNI/ AD dan Sukarno selanj ut nya relat if m eud ahk an p er al i han d ar i “ Dem ok r asi Par l em ent er “ k e “ Demokrasi Terpimpin. “ Koalisi ini memang bermanf aat t ert ent u, t api mulai berant akan ket ika kepent ingan-kepent ingan langsung kedua pihak t idak lagi sej alan. Sengket a-sengket a ant ara kedua part ner dan ant ara kekuat an-kekuat an yang menj agokan masing-masing pihak, semula menimbulkan gej olak polit ik hingga akhirnya, pada t ahun 1965-66, pecah bencana besar.

Pada hakekat nya, t uj uan pokok koalisi ini ialah, unt uk menyerap seluruh bekas wilayah Hindia Belanda ke dalam Republik, dan menegakkan kembali wibawa pusat negara di seant ero Nusant ara. Bagi Sukarno, sasaran ini t elah t ercapai pada awal 1963, ket ika kombinasi siasat diplomasi dan gebrakan milit er Indonesia akhirnya ber hasi l m engger akkan Am er i ka Ser i kat , unt uk m engat ur kembalinya Irian Barat ke pangkuan R. I. (melalui pemerint ahan ad int erim P. B. B. ). Akan t et api, ini semua harus dibayar mahal. Pert ama-t ama, Angkat an Darat semakin kuat , t angguh dan kuasa.

Selain it u, hubungan TNI/ AD dan Amerika Serikat semakin akrab dan menghasil kan buahnya: kekuat an mil it er asing (Amerika Serikat ) yang dominan di kawasan (Asia Tenggara) ini sekarang punya bat u penunj ang (TNI/ AD) yang berakar di dalam t ubuh negara Indonesia, yang berart i suat u sumber pengaruh yang berbahaya.6 Dalam pandangan Sukarno, perasukan pengaruh ini sangat membat asi kedaulat an bangsa Indonesia dan daya-mampu

pembatasan yang dikenakan padanya oleh UUD sistem parlementer 1950, juga tidak disangkal bahwa Sukarno menikmati keleluasaan kekuasaan kepresidenan sebagaimana ditetapkan oleh UUD 1945. Selain itu, dalam memberikan perlindungan kepada partai-partai dan organisasi-organisasi masa (kecuali bagi PSI dan Masyumi yang ia bubarkan karena terlibat dalam PRRI), ia jelas didorong oleh kebutuhan akan dukungan politik yang terorganisasi, sebagai imbangan bagi TNI/AD. Memang sedemikian kuatirnya Sukarno terhadap pamrih TNI/AD sehingga ia bertindak sebegitu jauh dengan memamerkan pilih-kasihnya pada AL, AU dan Polri.

6 Hal ini dengan halus digambarkan oleh Dubes kawasan Amerika di Indonesia

(19)

negara unt uk membenahi masalah dalam negeri dengan ot onomi yang maksimal . Lebih l anj ut , dengan penguasaan at as bekas perusahaan-perusahaan Belanda, maka pucuk pimpinan TNI/ AD kini berada dalam kedudukan yang langsung bert olak belakang (ant agonist is) dengan kekuat an rakyat —t erut ama para buruh dan pet ani yang bekerj a di t ambang, perkebunan dan perusahaan-per usahaan dagang pent i ng l ai nnya. Jadi , sel ai n menyadar i kedudukan pribadinya makin t erancam, Sukarbo j uga melihat bahaya mengancam t uj uan-t uj uan gerakan nasionalis yang semula (Legge, 1972: bab 12-13; Hauswedell, 1973).

(20)

bidang kehidupan. Dengan demikian, arus pengaruh masyarakat ke dalam lembaga negara yang dulu pernah dibendung, bahkan dibalikkan sej ak diberlakukannya U.U. Keadaan Darurat pada 1957, kini (sej ak 1963), berulang kembali. Bahkan ABRI j uga didesak pengaruh masyarakat , ket ika Sukarno melancarkan kampanya “ Nasakomisasi” (mengikut sert akan unsure nasionalis, komunis dan agama ke dalam) semua aparat negara, dan pada 1965, kampanye pembent ukan sebuah Angkat an Kelima (selain keempat angkat an bersenj at a yang t elah ada: darat , laut , udara dan polisi) yang dihimpun dari t enaga sukarela rakyat .

Komponen kedua i al ah usaha Sukar no menggar i skan hal uan ekonomi yang aut arki (“ berdikari” ) dan polit ik luar negeri yang ant i imperialisme. Lat ar belakang arus yang sangat nasionalis ini perlu dit inj au secara lengkap dalam kesempat an lain. Dalam t ulisan ini, cukup kit a cat at bahwa haluan it u dimaksud unt uk, pert ama, menggalakkan penggalangan massa rakyat di bawah bimbingan langsung Sukarno pribadi, dan, kedua, menekan set iap pot ensi per pecahan bangsa.7 Hal uan Negara t ersebut j uga bert uj uan mengekang kedudukan t akt i s Amer i ka Ser i kat yang sangat mengunt ungkan (melalui TNI/ AD) di dalam imbangan kuasa polit ik dalam negeri Indonesia. Baik presiden maupun para pendukung polit iknya sangat menyadari bet apa pent ing pengaruh “ American Connect i on” ( per sekongkol an m el al ui pendi di kan m i l i t er, penyediaan dana dan persenj at aan sert a melalui dinas int elej en) bagi pimpinan TNI/ AD. Kampanye mengalakkan ot onomi polit ik dan ekonomi dipandang sebagai suat u cara yang halus dan t epat sasaran unt uk memat ahkan persekongkolan ini.8

Tet api, perkembangan selanj ut nya membukt ikan bahwa polit ik

7 Lihat Hindley (1962). Meminjam kata-kata Hindley, orang bisa mengatakan bahwa

Sukarno sesungguhnya bermaksud menjinakkan semua kekuatan politik di Indonesia. Bandingkan Anderson (1965).

8 Tak mengherankan, tak dilancarkan kampanye serupa terhadap “Sovyet Connection”—

(21)

yang dij alankan Sukarno it u, paling t idak mengingat kondisi-kondisi saat it u, t idak dapat bert ahan lama. Penyebab dasarnya t erlet ak pada perkembangan ekonomi: Indonesia t erlampau miskin dan lemah unt uk dapat membangun angkat an bersenj at a yang besar dan kuat dan sekaligus menj alankan polit ik luar negeri yang milit ant dan mant ap;9 unt uk dapat mewuj udkan perekonomian aut arki yang hendak mengusir sebagian besar modal asing, t api melepas sekt or produksi modern di bawah kelola para perwira milit er yang t idak berpengal aman dan mudah disuap; dan sekal igus menggerakkan mobil isasi gerakan-gerakan rakyat yang sal ing bert anding sengit . Maka, sat u-sat unya cara unt uk menanggulangi t ekanan keuangan ialah mencet ak uang dalam j umlah yang main besar. Seolah sepert i zaman pendudukan Jepang berulang (dengan penyebab-penyebab st ruct ural yang serupa), nilai rupiah merosot dahsyat : dalam pasar gelap, nilai t ukar dollar Amerika ant ara awal 1962 s/ d akhir 1965, naik dari Rp. 470, menj adi Rp. 50. 000, -sebuah kurva yang makin menj ulang t inggi sej ak pert engahan 1964 (lihat Mackie 1967, t able 3). Inf lasi yang menggila ini menyent uh segal a segi kehi dupan masyar akat , bangsa dan negar a, dan akhirnya, menj adi maut yang mencekik Demokrasi Terpimpin.

Yang perlu dicat at dari hyperinf lasi it u adalah dua dampaknya yang berikut . Per t ama, sepert i halnya pada zaman Jepang di masa belakangan, daya-kerj a aparat sipil negara makin berant akan, kar ena kor upsi dan pemi l i kan t anah mangki r (absent ei sme) meraj al el a, sedang prasarana komunikasi, pengangkut an dan perpaj akan parah. (Namun hal ini t idak menghal angi aparat birokrasi t et ap t umbuh—bahkan, boleh dikat a, membengkak j auh di luar proporsi). Sat u-sat unya aparat negara yang swa sembada, mampu bert ahan ialah TNI/ AD: unt uk sebagian (pada sisi polit ik) karena TNI/ AD secara “ legal“ t idak bisa disusupi pengaruh part ai, dan sebagian lagi (pada sisi ekonomi) karena TNI/ AD menguasai aset (kekayaan) nyat a negara, bukan sekedar aset f ormal. Jadi, t ahun-t ahun t erakhir Demokrasi Terpimpin di sat u pihak dit andai

9 Khususnya politik “konfrontasi” yang dilancarkan terhadap negara federasi yang baru

(22)

oleh aparat TNI/ AD yang semakin j aya dan menguasai aparat -aparat pemerint ahan lain.

Kedua, di l ai n pi hak i nf l asi yang dahsyat m em bakar api permusuhan dalam kancah polit ik dalam negeri, seolah t inggal menunggu saat meledak. Dengan semakin merosot nya t ingkat hidup kaum miskin, maka dari dalam t ubuh P. K. I. t imbul desakan kuat unt uk memperj uangkan kepent ingan-kepent ingan hidup mel al ui cara-cara yang l ebih mil it an. Perusahaan-perusahaan negara yang dianggap “ vit al “ (kunci) mengel uarkan l arangan mogok, dan hal ini sangat mempersulit serikat -serikat kerj a unt uk bergerak gigih.

Sedang, di kancah pedesaan, pel uang unt uk gerakan mil it an t ampaknya lebih baik: maka pada 1964, P. K. I. mulai melancarkan “Aksi Sepi hak“ unt uk memaksakan pelaksanaan Undang-Undang Land Ref orm dan Bagi Hasil 1959/ 1960, perombakan hak milik, dan sewa t anah yang agak lunak. (Mengenai kont eksnya lihat Mort imer, 1972). Tapi, saat yang dipilih unt uk gerakan ini sangat buruk, sebab hyperinf lasi j ust ru mengakibat kan orang ramai-ramai melepas uang kont an, j adi, kalangan yang cukup berada haus akan t anah dan kalangan pemilik t anah bersikeras mempert ahankan miliknya. Dalam kelompok t ersebut pert ama t erdapat banyak pej abat sipil dan milit er, sedang di ant ara kelompok t uan t anah banyak sekali t okoh-t okoh elit daerah dari part ai N. U. dan P. N. I. (lihat Mort imer, 1972, Lyon, 1971, Rocamora, 1974). Maka kemelut kekerasan ant i P. K. I. berkecamuk beberapa bul an menj el ang pecahnya G30S yang di pi m pi n l et kol . Unt ung. Hal m ana mempersiapkan medan bagi pimpinan TNI/ AD unt uk menggerakkan pembant aian 1965-66, yang akhirnya menyeret seluruh t at anan Demokrasi Terpimpin—dan kemudian j uga Sukarno—t enggelam ke dalam sej arah.

III. SUHARTO, APARAT NEGARA DAN HALUAN ORDE BARU

(23)

negara dan kemenangan t erhadap kekuat an masyarakat dan bangsa. Dasar-dasar kemenangan negara t erlet ak pada penghancuran f isik P. K. I. dan sekut u-sekut unya, penindasan gerakan-gerakan dari t engah masyarakat , pembersihan aparat negara (Orde Lama) dan penyingkiran presiden Sukarno sebagai kekuat an polit ik—ini semua dicapai dalam periode Okt ober 1965 s/ d April 1966. Akan t et api,

wat ak kemenangan it u hanya dapat dipahami dengan menyorot i karir awal j enderal Suhart o t erlebih dahulu, sebelum menunj au bagian-bagian haluan pemerint ahan yang dit empuh selama 15 t ahun t erakhir, sebab, kedua hal t ersebut —karir Suhart o dan haluan Orde Baru—sangat berkait an. (Sket sa biograf i yang berikut dipet ik dari berbagai sumber, yang t erbit maupun t idak t erbit , t ermasuk Roeder, 1969 dan Mc Donald, 1980: bab 1-2).

(24)

put ih. Set elah K. N. I. L. hancur, lalu bubar, Suhart o (selaku seorang bekas t ent ara K. N. I. L. ) masuk kepolisian di bawah Jepang. Begit u pula, andaikat a Jepang menang dalam Perang Pasif ik, karir Suhart o barangkali akan menanj ak, memasuki aparat sekurit i pemerint ahan kolonial Jepang. Tet api, ket ika menghadapi gerak maj u t ent ara Sekut u, pada pert engahan 1943, penguasa milit er Jepang di Jawa membent uk sebuah angkat an dar at pr i bumi sebagai t ent ar a cadangan, yang disebut PETA (Pembela Tanah Air: 66 bat alyon yang direkrut dan dilepas t ugas secara lokal, t anpa st af pimpinan pusat , dan dengan komandan bat alyon sebagai pangkat t ert inggi). PETA bert ugas membant u Jepang mempert ahankan pulau Jawa dari serbuan Tent ara Sekut u. Suhart o t urut dalam t ent ara-lokal ini, dan bel akangan, menj adi komandan sebuah kompi PETA (membawahi 100 t ent ara). Ket ika Jepang menyerah pada Agust us 1945, PETA dibubarkan. Sekali lagi, andaikat a Belanda bisa langsung mengambil-alih kuasa (sepert i Inggris di Malaya, at au Amerika di Filipina set elah Jepang kalah) maka mungkin sekali Suhart o akan t urut lagi, bila t ent ara K. N. I. L. at au polisi kolonial dilumpuhkan kembali.

Konon sat u hal yang dapat dipast ikan, yakni, sama sekal i t ak ada

bukt i bahwa Suhart o pernah t urut dalam suat u kegiat an kebangsaan ( per j uangan nasi onal i s) sebel um pr okl amasi kemer dekaan Indonesia.

(25)

berhasil dalam melawan Belanda di Irian Barat . Barangkali karena t ermasuk segelint ir perwira senior yang t idak t urut pendidikan kemil it eran di Amerika, maka Suhart o diangkat ol eh Sukarno menj adi pangl i ma yang per t ama dar i komando-el i t TNI/ AD, KOSTRAD. Beranj ak dari kedudukan ini, Suhart o menghancurkan Gerakan 30 Sept ember dan P. K. I. pada 1965-66. (Baru set elah

coup de f or ce at au perebut an kekuat an-kuasa pada 11 Maret 1966, i a memegang kekuasaan de f act o pr esi den, dan bar u r esmi menggant ikan Sukarno sebagai presiden pada 1968).

Perincian karir t ersebut memperlihat kan sebuah but ir pokok: perj alanan karir Suhart o berlangsung seluruhnya di dalam lembaga negara, t erut ama di dalam aparat sekurit i-int ernal (sedangkan Sukarno—sebelum menj adi presiden—t idak pernah menj abat apa pun di dalam aparat negara). Namun di lain pihak, pej abat ini (Suhart o) mengalami dan menghayat i dengan sangat mendalam runt uhnya kekuasaan rezim kolonial Belanda dan Jepang sert a pergolakan-pergolakan luar biasa di dalam lembaga negara set elah Indonesia merdeka. Tak ada modal pengalaman yang lebih bagus dar i pada i ni , unt uk memper si apkan per asaan yang sangat mendambakan pemant apan kamt ib (keamanan dan ket ert iban) lembaga negara. (Namun begit u kit a lihat pula, bahwa keunggulan Suhart o dimungkinkan j ust ru berkat kegoncangan di dalam lembaga negara—1965-66).10

Jadi, dapat dipahami bahwa garis perj al anan at au l ei t mot i f

konsist en selama pemerint ahan Orde Baru ialah t erus memperkuat

negar a i t u sendi r i sel aku l embaga penguasa dan pemer i nt ahan

(t he-st at e-qua- st at e). Pendapat ini dapat dibukt ikan dengan mendal ami ci r i -ci r i pokok hal uan Or de Bar u dal am bi dang ekonomi, sosio-polit ik dan kemilit eran.

10 Dengan menyatakan begini, saya tak bermaksud menyangkal kenyataan bahwa karir

(26)

KEBIJAKSANAAN EKONOMI

Sebagai pendahuluan perlu dikat akan, t ulisan ini t idak bermaksud menyangkal it ikad baik kebanyakan para t eknokrat perancang Indonesia, yang dengan t ulus bert uj uan meningkat kan t araf hidup p e n d u d u k , m e m p e r b ai k i k e se j ah t e r aan so si al d an memodernisasikan st rukt ur ekonomi (sepert i halnya orang t ak perlu menyangkal it ikad serupa dari banyak pej abat beambt enst aat kolonial, t erut ama yang cenderung berhaluan “ Et ika“ ). Namun demikian, pert anyaan yang menarik ialah, mengapa Suhart o sert a para pembant u t erdekat nya, dengan cepat merangkul “ st rat egi pembangunan“ yang diaj ukan oleh sang t eknokrat nomor wahid Prof esor Widj oj o Nit isast ro dan kelompoknya. Saya cenderung berpendapat , bahwa langkah-langkah awal yang mendasar yang diambil Orde Baru, bert uj uan menanggulangi berbagai masalah dahsyat yang t imbul akibat hyperinf l asi. Sebab, inf l asi yang menggila inilah—lebih dari segala f akt or lain—yang menghancurkan Demokrasi Terpimpin. Dalam kondisi demikian, st abilisasi harga mer upakan pr asyar at mut l ak bagi set i ap r ezi m bar u (dapat dipast ikan, P. K. I. , bila menang, j uga akan mengarah ke sasaran yang sama, walau dengan cara yang berlainan).

(27)

Maka, dengan cepat ber t ur ut -t ur ut di j al ankan hal uan yang menghancur kan pol i t i k “ Konf r ont asi Mal aysi a, “ pada 1966, mengakhiri polit ik f ormal pengendalian harga (yang t ent u saj a t idak pernah ef ekt if ), mengembalikan sebagian perusahaan yang t elah dinasionalisasikan ke t angan pemilik semula,11 pada 1967 memberlakukan sebuah Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang lunak dan mudah, dan pada 1968 mengat ur kembali perbankan dan suku bunga, dan ant ara 1968-71, mengakhiri nilai-t ukar j amak bagi devisa asing, dan sebagainya.

Maka, hasilnya pun segera t ampak: pada 1968 mengalir dana bant uan sebesar t idak kurang set engah milyar dollar, dan sej ak it u, “ dana t et ap t ahunan IGGI“ sekamin besar. Sampai menj elang pelimpahan rezeki besar dari OPEC pada akhir 1973, nilai bant uan asing berlipat ganda dan mencapai lebih dari 3 milyar dollar. Bet apa besar maknanya nilai bant uan ini dapat kit a lihat dengan membandingkan angka-angka berikut : (A) dana dari IGGI yang paling rendah sebelum 1974, yait u dana IGGI 1969, dengan (B) t ot al selisih bersih anggaran pengeluaran dan penerimaan negara pada 1957 (t ahun t erakhir sist em demokrasi konst it usional), dan (C) t ot al serupa pada 1960 (t ahun berunt ung semasa Demokrasi Terpimpin), yait u sbb. :

(A) (1969): US$ 534 j ut a (pemasukan bersih)

(B) (1957): US$ 660 j ut a dan US$ 500 j ut a (= def isit bersih US$ 110 j ut a) (C) (1960): US$ 200 j ut a dan US$ 180 j ut a (= def isit bersih US$ 20 j ut a) (Dat a B dan C didollarkan menurut nilai-t ukar di pasar gelap saat it u, dihit ung berdasarkan dat a dalam Mackie, 1967: 96-98 dan Weinst ein, 1976: 369-70, Appendix B).

Arus dana asing ini yang memungkinkan pemerint ahan Suhart o

11 Karena perusahaan-perusahaan jatuh dari tangan negara ke tangan asing, orang

(28)

sepanj ang 1970-an mampu membangun lembaga negara yang pal-ing kuat dan ampuh di bumi Indonesia sej ak zaman penj aj ahan Belanda. Bant uan IGGI misalnya dalam kurun beberapa t ahun saj a mampu membiayai lebih dari separuh ongkos seluruh nilai impor. Sedang rezeki penghasilan minyak dari OPEC (sej ak 1973) dan pulihnya ekspor bahan ment ah, walau bukan sumber penyebab kekuat an negara, t api mempercepat proses ini. Selain it u, arus dana asi ng t er sebut j uga m em ungki nkan Suhar t o m am pu menanggulangi beberapa konsekuensi polit ik j angka pendek akibat buyarnya persekut uan polit ik ant i-komunis yang dulu pert ama-t ama membanama-t unya mencapai kuasa.12

Sat u keunt ungan pokok yang lain yang t ak boleh dilupakan ialah, “ dana t et ap t ahunan IGGI” it u mengalir secara langsung dan eksklusif ke pusat negara, t anpa perlu mengeluarkan anggaran yang berart i dalam bent uk aparat perpaj akan. Dengan kat a lain, arus dana asing t idak saj a menunj ang kuat dominasi kekuasaan negara t erhadap masyarakat , t api j uga memperkuat pusat kuasa di dal am l embaga negara, hingga mampu menguasai perif eri (pinggiran) aparat negara.

Proses yang hampir sama berlangsung pula dalam hubungan Orde Bar u dengan per usahaan-per usahaan asi ng mono- maupun mult inasional. Orde Baru pada umumnya bersikap bersahabat t erhadap usaha-usaha asing, meskipun penanaman modal mereka menimbulkan kerugian polit ik yang t ampaknya cukup berart i— kerugian yang bukan saj a berupa “ alienasi mat erial” (kekandasan modal usaha dan unek-unek polit ik) dalam kalangan pengusaha pr i bumi yang i ndependen, t api j uga ket i dakpuasan dal am masyarakat luas, karena khawat ir akan dominasi ekonomi asing, dan karena perasaan nasionalisme yang t erwaris dari gerakan-gerakan perj uangan bangsa. Jadi, pucuk Orde Baru senant iasa t unduk dan pat uh13 t erhadap modal asing, karena kaum usaha mult inasional memperunt ungkan kekuasaan pemerint ah selaku

12 Untuk gambaran singkat mengenai unsur koalisi dan pembersihan dari

(29)

aparat negara. Berkat st rukt ur-st rukt urnya yang hirarkis, usaha asing ini menyaj ikan sumber penghasilan yang amat besar dan mudah diperoleh (berupa paj ak, komisi, dlsb. ) langsung bagi pusat

negara. Sampai t araf t ert ent u, modal asing pat uh membayar paj ak negara, karena, dengan demikian, mereka luput dari keharusan unt uk menarik penghasil an dari kal angan yang bol eh disebut “ wiraswast a kelas kambing (paria). ” Art inya, para pimpinan modal asing besar ini t idak punya kepent ingan at au pun daya mampu, unt uk mengembangkan ambisi polit ik di dalam kancah polit ik dalam negeri Indonesia. Karena it u, berlainan dengan suat u kelas bisnis pribumi yang kuat yang mungkin masih berpot ensi polit ik, usaha asing bukan suat u ancaman polit ik langsung bagi lembaga negara. Dan harus kit a ingat pula bahwa negara t idak menyerap seluruh arus kekayaan it u bagi diri sendiri: porsi sumber dana yang cukup besar disalurkan j uga ke t engah masyarakat dalam bent uk kont rak, bant uan Cuma-Cuma (gr ant s), pinj aman dsb. Jadi, bila di sat u pi hak, par a pengusaha pr i bumi por ak por anda kar ena ul ah mult inasional, di lain pihak, mereka bisa mengenyam laba yang cuk up m em i k at , d ar i si si l ai n—t et ap i , i ni sem ua hanya dimungkinkan berkat perkenan kuasa negara. Para pengusaha pribumi ini bisa saj a berkembang makmur, t api kemakmuran ini t idak akan menimbulkan t ant angan apa pun yang berart i bagi aparat kepej abat an resmi.

KEBIJAKSANAAN SOSIO-POLITIK

Dalam bagian ini t erdapat t iga garis kebij aksanaan Orde Baru yang sangat menar i k. Per t ama, per umusan i deol ogi negar a menangani masa depan polit ik Indonesia, kedua, cara-cara negara menangani “ orang Tionghoa” : baik yang W.N.I. maupun yang asing,

13 Sikap semacam ini bukan berarti tanpa nuansa. Adalah keliru bila menganggap

(30)

dan ket iga, kait an negara dengan landasan “ kelas sosial” nya.

Adalah menyolok sekali, bahwa pemerint ahan Orde Baru t idak pernah secara t erbuka memaklumkan diri sebagai suat u rezim yang sif at nya dadurat , pemerint ahan peralihan at au perwalian. Ar t i nya, Or d e Bar u t i d ak p er nah m em b ent angk an suat u pemandangan ke depan yang mengandung j anj i akan “ kembali ke suat u pemerint ahan sipil” at au akan “ memugar pemerint ahan parlement er represent at if . ” Dalam art ian ini, Orde Baru t ergolong dalam kat egori pemerint ahan yang oleh Nordlinger disebut “ t ipe penguasa Pret orian” : t ipe ini merupakan ket egori kecil yang t ersendiri (diduga t idak lebih dari 10%), sebab, kebanyakan rezim yang didominasi milit er, menampilkan j anj i-j anj i yang demikian (Nordlinger, 1977: 26). Pimpinan negara Orde Baru selalu berupaya m e m b u j u k p u b l i k , b ah w a m asa d e p an r e zi m ( si st e m pemerint ahan) “ t ak akan berubah, ” bahwa “ kesinambungan at au pelest arian kuasa“ ini sudah absah, dengan menandaskan, bahwa sist em ini sesuai dengan t at anan demokrasi yang khas Indonesia yang sekarang berlangsung, yait u, Demokrasi Pancasila. Dikat akan, bahwa pemilihan umum t elah t erselenggarakan secara t erat ur, part ai-part ai oposisi t elah t erwakili dalam parlemen pusat dan daer ah, dan Suhar t o sendi r i di anggap menj abat kedudukan resminya (secara t idak langsung) melalui mekanisme pemilu.

Namun sebenarnya, pemilihan umum selalu dimanipulasi secara r api dengan car a-car a yang cukup mat ang dan l i ci n, hi ngga menghasilkan kemenangan Golkar (part ai negara): 62, 8% suara dalam pemilu 1971, 62, 1% pada 1977, dan sekit ar 64% pada 1982 (perinciannya lihat Nishihara, 1972, Ward, 1974, Liddle, 1978 dan F. E. E. R. 14-20 Mei 1982, hal. 15).

(31)

pernah mencal onkan diri menghadapi Suhart o dal am pemil u presiden. Lebih l anj ut dicanangkan dokt rin Dwi Fungsi, yang sekarang diabadikan sebagai salah sat u aspek dasar dari Demokrasi Pancasila. Dokt rin ini melimpahkan t anggung j awab kenegaraan yang sif at nya per manen dalam bidang keamanan nasional dan pembangunan sosi al -ekonomi , dan pol i t i k, kepada Angkat an Bersenj at a. Dengan dal ih ini, kaum mil it er dal am skal a l uas memasuki semua j enj ang aparat negara dan nyaris segala aspek kehi dupan masyar akat . (Dat anya Emer son, 1978: 101-105, dit egaskan analisa kuant it at ifnya MacDougall, 1982). Dan, akhirnya, t er dapat dokt r i n set engah r esm i “Fl oat i ng Mass” ( Massa Mengambang, dikumandangkan pada 1971), yang pada ef eknya menandaskan, bahwa part ai-part ai polit ik t idak boleh mengalihkan perhat ian massa pedalaman yang masih bodoh, dari t ugas-t ugas pembangunan, kecuali pada masa kampanye pemilu yang singkat dan dit et apkan oleh negara. Menurut sebuah undang-undang yang di umumkan pada 1975, par t ai -par t ai secar a r esmi di l ar ang mendirikan cabang di bawah t ingkat kabupat en, dan dengan demikian, “ kegiat an parpol pada prakt eknya dibat asi di lingkungan kot a” (MacDonald, 1980: 109, bandingkan Mackie, 1976: 119). Semua i ni mer upakan per umusan i deol ogi s t er ut ama unt uk melayani kepent ingan-kepent ingan kuasa pucuk pemerint ah selaku lembaga negara.

(32)

ini. Selama 14 t ahun Suhart o menj adi presiden, konon belum pernah ada seorang Tionghoa menj abat ment eri, padahal hal ini seringkali t erj adi pada masa Revolusi, masa sist em parlement er maupun pada masa Demokrasi Terpimpin.14 Dan t ak ada seorang j enderal at au pej abat sipil t inggi yang j elas ket urunan Tionghoa. Ini semua berart i W. N. I. Tionghoa mendapat kedudukan ist imewa dalam perekonomian, t et api dikucilkan dari kancah polit ik. Proses peng-ghet o-an Tionghoa ini mengingat kan kit a akan zaman kolonial dan konsep Furnivall “ Masyarakat Maj emuk” dan mirip j uga dengan kedudukan orang-orang Yahudi, ket ika di bawah pemerint ahan ot okrat is pada abad ke-19 di Eropa Timur. Sekalipun sudah sering t imbul pergolakan masyarakat (huru hara rasial yang meluas pada 1980), namun polit ik pengkot akkan Tionghoa dij alankan secara konsist en sepanj ang masa Orde Baru. Oleh karena it u, haluan ini harus dipandang sebagai unsur pokok dalam st rat egi pucuk negara. Apabila pengist imewaan ekonomis dit erapkan pada semua orang Tionghoa, baik yang W. N. I. maupun yang warga asing, maka t ent u sul i t unt uk menganggap hal uan t er sebut demi kepent i ngan “ nasional. ” Akan t et api, dari sudut pandang negara, haluan it u j auh l ebih mengunt ungkan, karena memperkaya sumberdaya ekonomi yang t er sedi a bagi l embaga negar a, t anpa per l u menyerahkan sebagian porsi kuasa. Sebab, semakin menj adi paria, “ orang Tionghoa” semakin bergant ung pada aparat negara. (Dan, dengan demikian, perasaan ant i-asing dapat dibelokkan dari sasaran ke perusahaan-perusahaan mult inasional Barat dan Jepang).

Akan hal nya, dasar-dasar kel as sosial dari Orde Baru, hal ini memang belum dit elit i secara sist emat ik, dengan kekecualian bagian-bagian di dalam karya Robison (1978) dan Magenda (akan t erbit ). Namun demikian, t ak ada alasan baik unt uk mengat akan, bahwa selama kurun, kat akanlah, sej ak 1955 hingga 1975, t elah t erj adi perubahan dramat is dalam st rukt ur kelas sosial. Pada

14 Secara tidak resmi, sejumlah W NI keturunan Tiongkok, seperti Lim Bian Kie, Herry

(33)

umumnya para penelit i berpandangan bahwa kelas sosial yang dominan di Jawa sej ak dulukala masih t et ap kaum pr i yayi, yang nenek moyangnya berasal dari kalangan elit desa, daerah dan ist ana Jawa pada masa prakol onial . Pada abad ini, kel as ini sebagian t erbesar melekat pada kedudukan kepej abat an. Sepert i disebut di muka, di berbagai t empat di luar Jawa, kaum bangsawan kecil sampai masa set elah kemerdekaan, j uga masih t et ap ut uh. Selama t ahun 1950-an, kelas-kelas bangsawan ini di Jawa (sepert i sej ak dulukala) maupun di luar Jawa, (mulai) mempersiapkan anak-anak mereka ke dalam lembaga negara. Tapi kelemahan negara dihadapan kekuat an masyarakat —t erut ama parpol—pada masa it u, j uga m endor ong m er eka m em asuki dan m er ebut pel uang kepemimpinan parpol. Yang paling hakiki dalam hubungan ini ialah perkembangan P. N. I. : pimpinan part ai ini dikuasai kelas priyayi, t api lambat laun berhasil menyerap bagian-bagian dari kalangan et il di luar Jawa (Magenda, akan t erbit , Mocamora, 1974: bab 4-5) . Fakt or - f akt or j asa per j uangan nasi onal dar i ber bagai pimpinannya, simpat i presiden Sukarno, pemanf aat an pamor sosial dan j aringan hubungan pat ronase di dalam kelas-kelas sosial yang dominan, ini semua, membuat P. N. I. menj adi parpol yang paling sukses dalam pemilihan umum t ahun 1955, sat u-sat unya pemilu nasional yang bebas (Feit h, 1957, t ent ang peran P. N. I. l ihat Rocamora, 1974: bab 4-5). Akan t et api, j umlah suara P. N. I. yang sebanyak 22, 3% pada 1955, merosot hebat pada pemilu Orde Baru 1971, menj adi 6, 9%. Enam t ahun kemudian, pada 1977, set elah pemerint ahan Suhart o memaksakan P. N. I. berf usi dengan dua part ai Krist en dan beberapa part ai kecil non-Islam, “ part ai“ yang baru hanya merebut 8, 6% suara (MacDonald, 1980: 107, 239), dan pada pemilu t ahun 1982, hanya mendapat sekit ar 8% suara.

(34)

Negeri.15 Dari uraian di at as saya berkesimpulan, bahwa dasar kelas sosial dari P. N. I. dan Golkar sebenarnya serupa: oleh karena it u, penghancurleburan P.N. I. yang menghasilkan kej ayaan Golkar, bukanlah sebuah proses perubahan kelas sosial di dalam part ai-part ai it u. (Selain menyerap para bekas anggot a P. N. I. , Golkar j uga memanf aat kan sisa-sisa bekas pendukung P.K. I. yang mencari perlindungan dengan mengabdi pada aparat kepej abat an resmi). Maka j elas, bahwa perbedaan kunci ant ara kedua organisasi it u, yang sekaligus menj adi dasar kemenangan dari yang sat u t erhadap yang lain, ialah, Golkar mengej awant ahkan kepent ingan pej abat pemerint ah selaku penguasa negara, secara keseluruhan (t he st at e qua st at e), sedang P.N.I. hanya mewakili kepent ingan –kepent ingan dar i gol ongan yang diser ap ke dal am l embaga negar a. Pada ef eknya, ini berart i, bahwa kelas pej abat ini t unduk pada lembaga negara, dan kepent ingan-kepent ingannya hanya dapat dipenuhi melalui mediasi (peran perant ara) negara selaku sang aparat .

KEBIJAKSANAAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN

Orde Baru adalah suat u rezim yang didominasi kaum milit er, namun salah sat u aspek yang paling ganj il dalam kebij aksanaannya ialah, rezim ini j ust ru melalaikan ABRI sebagai suat u angkat an bersenj at a, art inya, mengabaikan penyediaan f asilit as (kenikmat an) hidup bagi lapisan bint ara, t amt ama dan praj urit rendahan, dan melalaikan penyedi aan per al at an, per senj at aan, ser t a per l engkapan pendidikan kemilit eran.16 Selama 1970-an, anggaran milit er selalu

15 Begitulah, Mendagri Jenderal Amir Machmud mengatur terbitnya Penpres no. 6/

1970, di mana pegawai negeri sipil dilingkari haknya untuk turut serta dalam kegiatan politik (baca: kegiatan partai) dan harus menunjukkan monoloyalitas kepada pemerintah (baca: GOLKAR) (Ememrson 1978: 106-107).Setelah Pemilu 1971, KORPRI, korps-nya semua pegawai negeri sipil, dibentuk untuk melaksanakan “mono-loyalitas“ secara organisatoris.

16 Ketika bangsawan Bugis, Jenderal Andi Muhammad Yusuf menggantikan Jenderal

(35)
(36)

Apar at mi l i t er i ni dapat ber t ahan dal am keadaan demi ki an sepanj ang masa, karena negara kolonial, unt uk pert ahanan dan p er l i nd ungan ek st er n, cuk up b er sand ar p ad a hub ungan persahabat annya dengan kekuat an marit im yang paling j aya pada masa it u, yait u, Inggris, sedang Inggris punya alasan geo-polit is t ersendiri unt uk menyaj ikan perlindungan (Inggris berkepent ingan membina persahabat an dengan kekuat an kecil di sekit ar pulau Inggris, yait u, Negeri Belanda dan Belgia, dan di sekit ar mulut kawasan Laut Tengah, yait u, Port ugal). Namun demikian, t ent ara K. N. I. L. cukup mampu menj aga ket ert iban int ernal di wilayah j aj ahan yang amat luas ini dengan dit unj ang suat u mekanisme kekuat an polisi dan j aringan mat a-mat a yang meluas.

Demikian pula halnya dengan segi hankam dari Orde Baru sebagai suat u beambt enst aat masa kini: keamanan ekst ernalnya dij amin oleh kekuat an raksasa berupa marit im dan angkat an udara modern Amerika Serikat yang, sepert i kit a l ihat di at as, t el ah l ama bersahabat erat dengan TNI/ AD. Lebih lanj ut , keamanan negara Orde Baru dit opang oleh perkembangan bert ahap sej ak 1971 yang membina pul ihnya rant ai persahabat an Washingt on—Beij ing— Tokyo. Dalam keadaan demikian, “ Indonesia“ t idak menghadapi suat u ancaman milit er yang nyat a dari luar, dan sit uasi ini t idak mungkin berubah, kecuali bila Jepang berkembang menj adi suat u kekuat an marit im dan ekonomis yang dapat menandingi Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara.

(37)

Bahkan, KOPKAMTIB masih dilengkapi lagi dengan aparat int elej en negara BAKIN yang meluas j aringan opsus (operasi khusus)nya Ali Moert opo, dan aneka ragam badan keamanan dan int el di dalam hirarki aparat negara.

Sep er t i hal nya K. N. I. L. k egi at an op er asi m i l i t er sel am a pemerint ahan Suhart o selalu bersifat gebrakan perluasan kekuasaan lokal. Serbuan ke Timor Timur merupakan sebuah cont oh yang kena. Dit inj au secara obyekt if , suat u pemerint ahan Timor Timur yang merdeka, bahkan pun bila berhaluan kiri, bukanlah suat u bahaya nyat a bagi Jakart a, sepert i hanya “ kelompok ulama fanat ik“ di Aceh pun t idak membahayakan negara Hindia Belanda seabad yang lampau. Dan, Timt im di uj ung Nusa Tenggara Timur maupun Aceh di uj ung Sumat era Ut ara, keduanya t idak menj anj ikan suat u keunt ungan ekonomi yang memikat pusat negara. Walau demikian, Timor Timur di mat a Jakart a, sepert i halnya Aceh di mat a Bat avia dulukala, t oh merupakan suat u duri yang lancang dan mengganggu pusat negara, hingga harus disapu bersih dengan cara-cara yang lazim dipakai unt uk membina kamt ib, yait u, manipulasi polit ik, pengendalian gerak penduduk, gebrakan-gebrakan ant i-kerusuhan, dan aksi t eror yang dipersiapkan.17 (Dalam kedua kasus di at as, sang“ musuh“ —Fret ilin—nya Timt im maupun Ulama Aceh—t ernyat a mampu bert ahan j auh t angguh daripada diduga semula).

KESIMPULAN

Pada awal art ikel ini saya mengaj ukan pendapat bahwa “nat i on st at e“ (negara kebangsaan modern) adalah suat u lembaga ramuan yang baru lahir di masa mut akhir, dan seringkali menggabungkan

17 Manipulasi-manipulasi rahasia yang dilancarkan oleh aparat Opsusnya Ali Moertopo

(38)

suat u perasaan kebangsaan dalam masyarakat luas (kepent ingan part isipat oris) ke dalam suat u lembaga negara lama yang dulukala memusuhi perasaan t ersebut . Apabila argument asi ini masuk akal, maka dapat diduga, ulah dan kebij aksanaan lembaga campuran ini sif at nya akan berubah-ubah, sesuai dengan susunan komponen-komponen yang t engah domi nan. Saya mencoba menunj ang ar gument asi ini secar a il ust r at if dengan menampil kan suat u penj elasan mengenai perj alanan dan pergolakan lembaga negara di Indonesia sej ak akhir masa kolonial sampai kini.

Pada bagian akhir, saya mencoba menguj i daya laku pembedaan dasar t ersebut dengan menampilkan suat u analisa dari aspek-aspek kunci dalam haluan kebij aksanaan negara sepanj ang pemerint ahan Orde Baru: aspek-aspek ini t ampaknya sukar unt uk dipahami dari sudut kepent ingan-kepent ingan suat u bangsa yang baru, akan t et api sangat rasional bila dikaj i dari sudut kepent ingan-kepent ingan lembaga negara yang dahulu. Argument asi ini diaj ukan dengan menyadar i sepenuhnya, bahwa suat u pandangan yang l ebi h berdasarkan suat u analisa kelas sosial sangat memikat nalar, t et api, perdebat an mendalam yang berkepanj angan mengenai “ lembaga negara“ di kalangan penyusun t eori Neo-Marxis selama belakangan ini, memberi kesan, di dalam perdebat an ini “ ada sesuat u“ yang t idak dapat “ dicocokkan“ begit u saj a ke dalam analisa kelas. Semoga karangan ini dapat menyumbang pada upaya menghimpun, merangkaikan dan menyusun kembali dat a dan wawasan dalam suat u pemandangan yang berguna.

Daft ar Pust aka

Alers, Henri. 1956. Um een r ode of gr oene Mer deka: Ti en Jar en Bi nnenl angse pol i t i ek: Indonesi a, 1943-1953, Eindhoven: Vulkaan.

Anderson, Benedict R. O’ G. 1985. “ Indonesia: Unit y vs Progress, ” Cur r ent Hi s-t or y 48: 75-81.

________, 1972. Java In Ti me of Revol ut i on. It haca, N. Y. : Cornell Universit y Press.

(39)

________, 1983. Imagined Communit ies: Ref l ect ions of t he Origins and Grouwt h of Nat i onal i sm. London: New Lef t Books.

Benda, Harry J. 1966. “ The Pat t ern of Ref orm In The Closing Years of Dut ch Rule In Indonesia, ” Jour nal of Asi an St udi es 25, no. 4: 509-605. Boxer, C. R. 1965. The Dut ch Seabor ne Empi r e, 1600-1800, London: Hut chison. Crouch, Harold. 1978. The Ar my and Pol i t i cs i n Indonesi a. It haca, N. Y. : Cornell

Universit y Press.

Emmer son, Donal d K. 1978. “ The Bur eaucr acy i n Cont ext : Weakness i n St rengt h. ” Pol i t i cal Power And Communi cat i ons In Indonesi a, ed. by Karl D. Jackson and Lucian W. Pye, hal. 82-136. Berkeley: Universit y of Calif ornia Press.

Fasseur, C. 1975. Kul t uur st el sel en Kol oni al e Bat en: De Neder l andsche Expl oi t at i e van Java, 1840-1860. Leiden: Universit y Pers.

Feit h, Herbert . 1957. The Indonesi a El ect i ons of 1955. It haca, N. Y. : Cornell Modern Indonesia Proj ect , Int erim Report s Series.

_______, 1962. The Decl i ne of Const i t ut i onal Democr acy i n Indonesi a. It haca, N. Y. : Cornell Univ Press.

Furnivall, John S. 1944. Net her l ands Indi a: A St udy of Pl ur al Economy. New York: Lacmillan.

Hauswedell, Pet er Christ ian. 1973. “ Sukarno: Radical of Conservat ive? Indone-sian Polit ics, 1964-65. ” Indonesi a 15, 53-82.

Heri Akhmadi, 1981. Breaking t he Chains of Oppression of t he Indonesian Peopl e. It haca, N. Y. : Cornell Modern Indonesia Proj ect , Translat ion Series. Hindley, Donald. 1962. “ President Sukarno and t he Communist : The Polit ics of

Domest icat ion. ” Amer i can Pol i t i cal Sci ence Revi ew 68, no. 4: 915-26. Jones, Howard P. 1971. Indonesi a: The Possi bl e Dr eam. New York: Harcourt

Brace Jovenovich.

Kahin, Audrey. 1979. “ St ruggle f or Independence: West Sumat ra in t he Indone-sian Nat ional Revolut ion. ” Ph. D. dissert at ion, Cornell Universit y. George McT. 1952. Nat ional ism and Revol ut ion in Indonesia. It haca, N.Y.: Cornell

Univ. Press.

(40)

_______, 1972. Sukar no: A Pol i t i cal Bi ogr aphy. New York: Praeger.

Lev, Daniel S. 1965. The Tr ansi t i on t o Gui ded Democr acy: Indonesi an Pol i t i cs, 1957-1959. It haca, N. Y. : Cornell Modern Indonesia Proj ect . Monograph Series.

Liddle, R. William. 1978. “ Indonesia 1977: The New Order’ s Second Parliamen-t ary ElecParliamen-t ion. ” Asi an Sur vey 18, no. 2: 175-85.

Lyon, Margo. 1971. Bases of Conf l i ct i n Rur al Java. Berkeley: Universit y of Calif ornia, cent er f or Sout h and Sout heast Asia St udies. Research Mono-graph No. 3.

McDonald, Hamish. 1980. Suhar t o’ s Indonesi a. Blackburn, Vict oria: Font ana. Macdougall, John A. 1982. “ Pat t erns of Milit ary Cont rol in t he Indonesian Higher

Cent ral Bureaucracy. ” Indonesia 33: 89-121.

Mackie, J. A. C. 1967. Pr obl ems of Indonesi an Inf l at i on. It haca, N. Y. : Cornell Modern Indonesia Proj ect . Monograph Series.

_______, 1978. “ Ant i-Chinese Out breaks in Indonesia 1959-1966. ” The Chi -nese i n Indonesi a: Fi ve Essays. ed. by. J. A. C. Mackie, hal. 111-28. Melbourne: Nelson.

McVey, Rut h T. 1971-72. “ The Post Revolut ionary Transf ormat ion of t he Indone-sian Army, ” (Pt s. I and II). Indonesi a 11: 131-76; 13: 147-82.

Magenda, Burhan. Fort hcoming: Unt it led Ph. D. disseert at ion, Cornell Univer-sit y.

Maxwell, Neville. 1970. Indi a’s Chi na War. New York: Pant heon.

Mort imer, Rex. 1972. The Indonesi an Communi st Par t y and Land Ref or m, 1959-1965. Clayt on, Vict oria: Monash Papers on Sout east Asia, No. 1. Nishihara, Masashi. 1972. Gol kar and The Indonesi an El ect i ons of 1971. It haca,

N. Y. : Cornell Modern Indonesia Proj ect . Monograph Series.

Nordlinger, Eric. 1977. Sol di er s i n Nuf t i : Mi l i t ar y Coups and Gouver ment s. Englewood Clif f s, N. J. : Prent ise-Hall.

Onghokham. 1978. “ The Inscrut able and The Paanoid: An Invest igat ion int o t he Sources of t he Brot odiningrat Af f air. ” Sout heast Asi an Tr ansi t i on: Ap-pr oaches t hr ough Soci al Hi st or y, ed. by. Rut h T. McVey, hal. 112-57. New Haven, Conn. : Yale Univ. Press.

Pramoedya Anant a Toer. N. D. Rumah Kaca. Unpublished.

(41)

Robison, Richard. 1978. “ Capit alism and t he Bureaucrat ic St at e in Indonesia: 1965-1978. ” Ph. D. dissert at ion, Sydney Universit y.

Rocamora, Jose Eliseo. 1974. “ Nat ionalism in Search of an Ideology: The Indo-nesian Nat ionalist Part y, 1945-1965. ” Ph. D. dissert at ion, Cornell Uni-versit y.

Roeder, O. G. 1969. The Smi l i ng Gener al. Jakart a: Gunung Agung.

Rush, James R. 1977. “ Opium Farms in 15t h Cent ury Java. ” Ph. D. dissert a-t ion, Yale Universia-t y.

Sut herland, Heat her. 1979. The Maki ng of a Bur eaucr at i c El i t e: The Col oni al Tr ansf or mat i on of t he Javanese Pr i yayi. Singapore: Heinemann. Vandenbosch, Amry. 1944. The Dut ch East Indi es: It s Gover nment , Pr obl ems,

and Pol i t i cs. Berkeley: Universit y of Calif ornia Press.

Vlekke, B. H. M. 1969. Nusant ar a: A Hi st or y of Indonesi a. Brussels: Edit ion Mant eau.

Walkin, Jacob. 1969. “ The Moeslem-Communist Conf ront at ion in East Java. ”

Or bi s, Fall, hal. 822-32.

Ward, Ken. 1974. The 1971 El ect i ons i n Indonesi a: An East Java Case St udy. Clayt on, Vict oria: Monash Papers on Sout heast Asia, No. 2.

Referensi

Dokumen terkait