• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKSANAAN SOSIO-POLITIK

Dalam bagian ini t erdapat t iga garis kebij aksanaan Orde Baru yang sangat menar i k. Per t ama, per umusan i deol ogi negar a menangani masa depan polit ik Indonesia, kedua, cara-cara negara menangani “ orang Tionghoa” : baik yang W.N.I. maupun yang asing,

13 Sikap semacam ini bukan berarti tanpa nuansa. Adalah keliru bila menganggap kebijaksanaan Orde Baru sebagai „politik pintu terbuka“ yang sesungguhnya. Dalam hal ini baik untuk diingat kembali upaya selama duapuluh tahun dari tanam-paksa-nya negara pejabat melawan modal swasta kolonial (1848-1868); juga upaya berbagai monopoli dan sikap mendua dari negara kolonial, dalam hubungannya dengan konglomerat bukan Belanda di abad ke duapuluh ini.

dan ket iga, kait an negara dengan landasan “ kelas sosial” nya. Adalah menyolok sekali, bahwa pemerint ahan Orde Baru t idak pernah secara t erbuka memaklumkan diri sebagai suat u rezim yang sif at nya dadurat , pemerint ahan peralihan at au perwalian. Ar t i nya, Or d e Bar u t i d ak p er nah m em b ent angk an suat u pemandangan ke depan yang mengandung j anj i akan “ kembali ke suat u pemerint ahan sipil” at au akan “ memugar pemerint ahan parlement er represent at if . ” Dalam art ian ini, Orde Baru t ergolong dalam kat egori pemerint ahan yang oleh Nordlinger disebut “ t ipe penguasa Pret orian” : t ipe ini merupakan ket egori kecil yang t ersendiri (diduga t idak lebih dari 10%), sebab, kebanyakan rezim yang didominasi milit er, menampilkan j anj i-j anj i yang demikian (Nordlinger, 1977: 26). Pimpinan negara Orde Baru selalu berupaya m e m b u j u k p u b l i k , b ah w a m asa d e p an r e zi m ( si st e m pemerint ahan) “ t ak akan berubah, ” bahwa “ kesinambungan at au pelest arian kuasa“ ini sudah absah, dengan menandaskan, bahwa sist em ini sesuai dengan t at anan demokrasi yang khas Indonesia yang sekarang berlangsung, yait u, Demokrasi Pancasila. Dikat akan, bahwa pemilihan umum t elah t erselenggarakan secara t erat ur, part ai-part ai oposisi t elah t erwakili dalam parlemen pusat dan daer ah, dan Suhar t o sendi r i di anggap menj abat kedudukan resminya (secara t idak langsung) melalui mekanisme pemilu. Namun sebenarnya, pemilihan umum selalu dimanipulasi secara r api dengan car a-car a yang cukup mat ang dan l i ci n, hi ngga menghasilkan kemenangan Golkar (part ai negara): 62, 8% suara dalam pemilu 1971, 62, 1% pada 1977, dan sekit ar 64% pada 1982 (perinciannya lihat Nishihara, 1972, Ward, 1974, Liddle, 1978 dan F. E. E. R. 14-20 Mei 1982, hal. 15).

Set elah pimpinan part ai-part ai oposisi dikebiri oleh ulah Opsus (Operasi Khusus)nya j enderal Al i Murt opo, mereka kemudian nongkrong saj a di dalam lembaga-lembaga perwakilan bersama dengan kekuat an-kekuat an yang oleh lembaga negara sebenarnya t elah dit et apkan menj adi suara mayorit as yang permanen (Crouch, 1978: bab 10, Heri Akhmadi, 1981: 58-76). Tak ada seorang pun

pernah mencal onkan diri menghadapi Suhart o dal am pemil u presiden. Lebih l anj ut dicanangkan dokt rin Dwi Fungsi, yang sekarang diabadikan sebagai salah sat u aspek dasar dari Demokrasi Pancasila. Dokt rin ini melimpahkan t anggung j awab kenegaraan yang sif at nya per manen dalam bidang keamanan nasional dan pembangunan sosi al -ekonomi , dan pol i t i k, kepada Angkat an Bersenj at a. Dengan dal ih ini, kaum mil it er dal am skal a l uas memasuki semua j enj ang aparat negara dan nyaris segala aspek kehi dupan masyar akat . (Dat anya Emer son, 1978: 101-105, dit egaskan analisa kuant it at ifnya MacDougall, 1982). Dan, akhirnya, t er dapat dokt r i n set engah r esm i “Fl oat i ng Mass” ( Massa Mengambang, dikumandangkan pada 1971), yang pada ef eknya menandaskan, bahwa part ai-part ai polit ik t idak boleh mengalihkan perhat ian massa pedalaman yang masih bodoh, dari t ugas-t ugas pembangunan, kecuali pada masa kampanye pemilu yang singkat dan dit et apkan oleh negara. Menurut sebuah undang-undang yang di umumkan pada 1975, par t ai -par t ai secar a r esmi di l ar ang mendirikan cabang di bawah t ingkat kabupat en, dan dengan demikian, “ kegiat an parpol pada prakt eknya dibat asi di lingkungan kot a” (MacDonald, 1980: 109, bandingkan Mackie, 1976: 119). Semua i ni mer upakan per umusan i deol ogi s t er ut ama unt uk melayani kepent ingan-kepent ingan kuasa pucuk pemerint ah selaku lembaga negara.

Dewasa ini, masyarakat luas di Indonesia beranggapan, bahwa “ orang Tionghoa mendominasi perekonomian domest ik di bawah perlindungan lembaga negara, dengan dit unj ang modal Tionghoa di Taiwan, Hongkong dan Singapura maupun modal raksasa kapit alis lainnya. Anggapan ini, unt uk sebagian besar, memang t epat . Namun demikian, negara pimpinan Suhart o j uga menindas kebudayaan Ti onghoa, m enut up sekol ah- sekol ah Ti onghoa, m el ar ang penerbit an-penerbit an berbahasa Tionghoa, dan, yang pal ing pent ing, meresmikan ist il ah “ Cina” yang berbau penghinaan rasialis, sebagai penggant i ist ilah “ Tionghoa” yang net ral dan t elah lazim. Lebih lanj ut , belum pernah sej ak 1945, para warga Tionghoa dikucilkan dari kancah polit ik resmi secara drast is sepert i dewasa

ini. Selama 14 t ahun Suhart o menj adi presiden, konon belum pernah ada seorang Tionghoa menj abat ment eri, padahal hal ini seringkali t erj adi pada masa Revolusi, masa sist em parlement er maupun pada masa Demokrasi Terpimpin.14 Dan t ak ada seorang j enderal at au pej abat sipil t inggi yang j elas ket urunan Tionghoa. Ini semua berart i W. N. I. Tionghoa mendapat kedudukan ist imewa dalam perekonomian, t et api dikucilkan dari kancah polit ik. Proses peng-ghet o-an Tionghoa ini mengingat kan kit a akan zaman kolonial dan konsep Furnivall “ Masyarakat Maj emuk” dan mirip j uga dengan kedudukan orang-orang Yahudi, ket ika di bawah pemerint ahan ot okrat is pada abad ke-19 di Eropa Timur. Sekalipun sudah sering t imbul pergolakan masyarakat (huru hara rasial yang meluas pada 1980), namun polit ik pengkot akkan Tionghoa dij alankan secara konsist en sepanj ang masa Orde Baru. Oleh karena it u, haluan ini harus dipandang sebagai unsur pokok dalam st rat egi pucuk negara. Apabila pengist imewaan ekonomis dit erapkan pada semua orang Tionghoa, baik yang W. N. I. maupun yang warga asing, maka t ent u sul i t unt uk menganggap hal uan t er sebut demi kepent i ngan “ nasional. ” Akan t et api, dari sudut pandang negara, haluan it u j auh l ebih mengunt ungkan, karena memperkaya sumberdaya ekonomi yang t er sedi a bagi l embaga negar a, t anpa per l u menyerahkan sebagian porsi kuasa. Sebab, semakin menj adi paria, “ orang Tionghoa” semakin bergant ung pada aparat negara. (Dan, dengan demikian, perasaan ant i-asing dapat dibelokkan dari sasaran ke perusahaan-perusahaan mult inasional Barat dan Jepang). Akan hal nya, dasar-dasar kel as sosial dari Orde Baru, hal ini memang belum dit elit i secara sist emat ik, dengan kekecualian bagian-bagian di dalam karya Robison (1978) dan Magenda (akan t erbit ). Namun demikian, t ak ada alasan baik unt uk mengat akan, bahwa selama kurun, kat akanlah, sej ak 1955 hingga 1975, t elah t erj adi perubahan dramat is dalam st rukt ur kelas sosial. Pada

14 Secara tidak resmi, sejumlah W NI keturunan Tiongkok, seperti Lim Bian Kie, Herry Tjan Silalahi dan Panglaykim, melalui aparat Opsusnya Ali Moertopo, mempunyai pengaruh politik yang cukup besar. Dalam rezim lain, orang-orang dengan kemampuan seperti mereka mungkin sudah lama menjadi anggota kabinet.

umumnya para penelit i berpandangan bahwa kelas sosial yang dominan di Jawa sej ak dulukala masih t et ap kaum pr i yayi, yang nenek moyangnya berasal dari kalangan elit desa, daerah dan ist ana Jawa pada masa prakol onial . Pada abad ini, kel as ini sebagian t erbesar melekat pada kedudukan kepej abat an. Sepert i disebut di muka, di berbagai t empat di luar Jawa, kaum bangsawan kecil sampai masa set elah kemerdekaan, j uga masih t et ap ut uh. Selama t ahun 1950-an, kelas-kelas bangsawan ini di Jawa (sepert i sej ak dulukala) maupun di luar Jawa, (mulai) mempersiapkan anak-anak mereka ke dalam lembaga negara. Tapi kelemahan negara dihadapan kekuat an masyarakat —t erut ama parpol—pada masa it u, j uga m endor ong m er eka m em asuki dan m er ebut pel uang kepemimpinan parpol. Yang paling hakiki dalam hubungan ini ialah perkembangan P. N. I. : pimpinan part ai ini dikuasai kelas priyayi, t api lambat laun berhasil menyerap bagian-bagian dari kalangan et il di luar Jawa (Magenda, akan t erbit , Mocamora, 1974: bab 4-5) . Fakt or - f akt or j asa per j uangan nasi onal dar i ber bagai pimpinannya, simpat i presiden Sukarno, pemanf aat an pamor sosial dan j aringan hubungan pat ronase di dalam kelas-kelas sosial yang dominan, ini semua, membuat P. N. I. menj adi parpol yang paling sukses dalam pemilihan umum t ahun 1955, sat u-sat unya pemilu nasional yang bebas (Feit h, 1957, t ent ang peran P. N. I. l ihat Rocamora, 1974: bab 4-5). Akan t et api, j umlah suara P. N. I. yang sebanyak 22, 3% pada 1955, merosot hebat pada pemilu Orde Baru 1971, menj adi 6, 9%. Enam t ahun kemudian, pada 1977, set elah pemerint ahan Suhart o memaksakan P. N. I. berf usi dengan dua part ai Krist en dan beberapa part ai kecil non-Islam, “ part ai“ yang baru hanya merebut 8, 6% suara (MacDonald, 1980: 107, 239), dan pada pemilu t ahun 1982, hanya mendapat sekit ar 8% suara. Ada pun yang menarik keunt ungan paling besar dari runt uhnya P. N. I. ialah GOLKAR, sebuah part ai negar a yang dicipt akan unt uk pemilu 1971. Sukses elekt oral golkar pada 1971, 1977 dan 1982 pada prinsipnya dimungkinkan oleh kegiat an dua aparat negara pal ing kuat , yait u, Depart emen Hankam (yang menggunakan j aringan organisasi komando daerah), dan Depart emen Dalam

Negeri.15 Dari uraian di at as saya berkesimpulan, bahwa dasar kelas sosial dari P. N. I. dan Golkar sebenarnya serupa: oleh karena it u, penghancurleburan P.N. I. yang menghasilkan kej ayaan Golkar, bukanlah sebuah proses perubahan kelas sosial di dalam part ai-part ai it u. (Selain menyerap para bekas anggot a P. N. I. , Golkar j uga memanf aat kan sisa-sisa bekas pendukung P.K. I. yang mencari perlindungan dengan mengabdi pada aparat kepej abat an resmi). Maka j elas, bahwa perbedaan kunci ant ara kedua organisasi it u, yang sekaligus menj adi dasar kemenangan dari yang sat u t erhadap yang lain, ialah, Golkar mengej awant ahkan kepent ingan pej abat pemerint ah selaku penguasa negara, secara keseluruhan (t he st at e qua st at e), sedang P.N.I. hanya mewakili kepent ingan –kepent ingan dar i gol ongan yang diser ap ke dal am l embaga negar a. Pada ef eknya, ini berart i, bahwa kelas pej abat ini t unduk pada lembaga negara, dan kepent ingan-kepent ingannya hanya dapat dipenuhi melalui mediasi (peran perant ara) negara selaku sang aparat .

Dokumen terkait