LAPORAN AKHIR
NASKAH AK ADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG
PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA
Disusun oleh Tim,
Dengan Ketua:
Dr. Ramelan, S.H., M.H.
PUSAT PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA R.I.
KATA PENGANTAR
Salah satu kegiatan Pusat Per encanaan Pemban gunan Hukum Nasioal, Badan
Pembinaan Hukum Nasional ( BPHN) - Kementer ian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Tahun An ggar an 2012 adalah kegiatan penyusunan Naskah Akademik
tentang Per ampasan Aset Tindak Pidana. Penyusunan naskah ini didasar kan pada Sur at
Keputusan Menter i Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. Nomor PHN-134-HN.01.03 Tahun
2012 tentang Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Und ang Tahun An ggar an
2012.
Penyusunan Naskah Akademik tentang Per ampasan Aset ber tujuan untuk
mer umuskan per masalahan yang ter kait dengan per ampasan aset tindak pidana;
per timbangan atau land asan filosofis, sosiologis, yur idis pembentukan Rancangan
Undang-Undang tentang Per ampasan Aset Tindak Pidana; dan sasaran yang akan
diwujudkan, r uang lingkup pengatur an, jangkauan, dan ar ah pengatur an sebagai upaya
untuk menekan tingkat kejahatan dan memenuhi kebutuhan hukum kar ena per atur an
per undang-undangan yang ada saat ini dinilai belum secar a kompr ehensif dan r inci
mengatur tentang per ampasan aset yang ter kait dengan tindak pidana. Kegunaan
penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai acuan atau r efer ensi penyusunan dan
pembahasan Rancangan Und ang-Undang tentang Per ampasan Aset Tindak Pidana.
Ad apun keanggotaan tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Und ang tentang
Per ampasan Aset adalah sebagai ber ikut:
Ketua : Dr . Ramelan, S.H., M.H.
Sekr etar is : Fabian Ad iasta Nusabakti Br oto, S.H.
An ggota : 1. Muhammad Yusuf, S.H., M.M.
2. Didiek Dar manto, S.H., M.H.
3. Sudar sono
4. Chatar ina Muliana, S.H., M.M.
5. Tongam Renikson Silaban, S.H., M.H.
6. Her u Baskor o, S.H., M.H.
7. Rahend r o Jati, S.H., M.Si.
An ggota Sekr etar iat:
1. M. Ilham, F. Putuhena, S.H.
Tim Penyusun menyadar i bahwa penyusunan Naskah Akademik ini masih jauh
dar i sempur na, oleh kar enanya kami ter buka untuk mener ima masukan dan sar an
penyempur naann ya.
Pada kesempatan ini, Tim Penyusun mengucapkan ter ima kasih kepada yang
ter hor mat Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasion al, Kementer ian Hukum dan Hak Asasi
Manusia R.I. atas keper cayaann ya member i tugas ini kepada kami. Demikian pula kepada
nar a sumber ser ta pihak-pihak yang ber par tisip asi mend ukung penyelesaian penyusunan
naskah akademik ini, kami Tim Penyusun menyampaikan penghar gaan dan ter ima kasih.
Jakar ta, Oktober 2012
A.n. Tim Penyusunan Naskah Akademik tentang Per ampasan Aset Tindak Pidana
Ketua,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……….. i
DAFTAR ISI ………. ii
BAB I : PENDAHULUAN ………. 1
A. Latar Belakang ………. 1
B. Identifikasi Masalah ……… 14
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik ……….. 19
D. Metode ……….……….. 20
BAB II : KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIS ……… 21
A. Kajian Teor itik……….………..……….….. 21
B. Kajian Asas/ Pr insip Penyusunan Nor ma…..……… 61
C. Pr aktik Penyelenggar aan Per ampasan Aset di Indonesia……….. 62
D. Kajian ter hadap Implikasi Pener apan NCBF ……….……… 67
BAB III : EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN UPAYA HUKUM PERAMPASAN ASET………. A. Peraturan Perundang-undangan Indonesia yang Terkait dengan Perampasan Aset 83 1. Kitab Undang-Und ang Hukum Pidana ( KUHP) ……… 83
2. Kitab Undang-Und ang Hukum Acar a Pidana ( KUHAP) ……… 83
3. Undang-Undang Tind ak Pidana Kor upsi ( UU TIPIKOR) ……… 85
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana ( UU MLA) ……… 91
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pember antasan Tindak Pidana Pencucian Uang ……. ……… 96
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Per ser ikatan Bangsa-bangsa Anti Kor upsi ( UNCAC)………..……. ……… 97
A. Landasan Filosofis ……….. 142
B. Landasan Yur idis ….……… 144
C. Landasan Sosiologis ..………..………… 160
BAB V : JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP PENGATURAN …….………... 162
A. Defin isi Istilah-ist ilah Khusus ……….……… 164
B. Substansi Pengatur an ... ……….……… 165
1. Aset yang Diper oleh atau Diduga Ber asal dar i Tind ak Pidana yang Dapat Dir ampas……… 165
2. Aset yang Tidak Seimbang dengan Penghasilan……… 166
3. Penelusur an Aset ……….……….. 166
4. Ketentuan Pemblokir an dan Penyitaan ……….. 167
5. Per ampasan Aset ……… 168
6. Per mohonan Per ampasan Aset ……… 169
7. Tata Cara Pemanggilan ………. 170
8. Wewenang Mengadili ……….. 170
9. Acar a Pemer iksaan di Sidang Pengadilan ……….. 171
10.Pembuktian dan Putusan Pengadilan ……….. 172
11.Pengelolaan Aset ……… 174
12.Tata Cara Pengelolaan Aset ………. 175
13.Ganti Rugi dan/ atau Kompensasi ……….. 176
14.Per lindungan Ter hadap Pihak Ketiga ………. 176
15.Ker jasama Inter nasional ……… 177
16.Pend anaan ………. 177
17.Ketentuan Per alihan ………. 177
18.Ketentuan Penutup ……… 178
BAB VI : PENUTUP ……….. 180
A. Kesimpulan ……….…. 178
B. Rekomend asi ……….……….. 181
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana dengan motif ekonom i yang awalnya ber sifat
konvensional seper ti pencur ian, penipuan dan penggelapan, kini ber kembang
menjadi semakin kom pleks kar en a melibatkan pelaku yang t er pelajar dan
ser ingkali ber sifat tr ansnasional atau lintas negar a. Jenis kejahatan ini selain
menghasilkan banyak har ta kekayaan sekaligus juga melibatkan banyak d ana
untuk membiayai per alatan-per alatan , sar ana dan pr asar an a yang mendukung
pelaksan aan tindak pidana ter sebut. Dengan kom pleksitas seper ti ini maka
penanganan tindak pidana menjadi semakin r umit dan sulit untuk ditangani
oleh penegak hukum .
Seper ti yang sudah kita pahami, tujuan utama par a pelaku tindak
pidana dengan motif ekonom i adalah untuk mendapatkan har ta kekayaan yang
sebanyak-banyakn ya. Secar a logika, har ta kekayaan bagi pelaku kejahat an
mer upakan dar ah yang menghidupi tindak pidana, sehingga car a yang paling
efektif untuk melakukan p ember antasan dan pencegahan ter hadap tindak
pidana dengan motif ekonom i adalah dengan membunuh kehidupan dar i
kejahat an dengan car a mer ampas hasil dan in tr umen tindak pidana ter sebut.
Ar gumen ini tentunya tidak mengecilkan ar t i dar i hukum an pidana badan
ter hadap par a pelaku tindak pidana. Namun, har us diakui bahw a sekedar
menjatuhkan pidana badan ter bukti tidak menimbulkan efek jer a bagi pelaku
tindak pidana.
Konstr uksi sist em hukum pidana yang dikembangkan akhir -akhir ini
di Indonesia masih ber tujuan untuk mengungkap tindak pidana yang ter jadi,
menemukan pelakunya ser ta menghukum pelaku tindak pidana dengan sanksi
pidana, ter utama ”pidana badan” baik pidana penjar a maupun pidana
inter nasional seper ti masalah penyitaan dan per ampasan hasil tindak pidana1
Per juangan r akyat ter sebut mer upakan suatu usaha dengan pengor banan yang
tak ter nilai har ganya dengan satu cita-cita untuk dapat ber sama-sama menjadi
suatu bangsa yang bebas dan mer deka dar i penjajahan bangsa lain. Dengan
bekal kemer dekaan yang telah diper olehnya, sebagaimana ter sur at dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negar a Republik Indonesia Tahun 1945,
dibentuklah suatu pemer intahan negar a Indonesia yang ber tujuan salah
satunya untuk memajukan kesejahter aan um um dengan ber dasar kan kep ada
keadilan sosial bagi selur uh r akyat Indonesia. Namun demikian, cita-cita
kemer dekaan yang mulia ter sebut dapat ter hambat atau bahkan t er ancam
dengan adanya ber bagai bentuk kejahatan. Setiap bentuk kejahatan, baik
secar a langsung maupun tidak langsung, akan mempengar uhi kesejahter aan
dan nilai-nilai keadilan dalam masyar akat.
Sebagai sebuah negar a yang ber dasar kan pada hukum (r echtstaat) dan tidak ber dasar kan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) maka upaya penegakan hukum ber pegang pada pr insip-pr insip r ule of law yaitu: adanya
supr emasi hukum , pr insip per samaan di depan hukum dan ter jaminnya
hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dan putusan pengadilan. Dalam
konteks ajar an negar a kesejahter aan pemer intah ber kewajiban untuk
mensiner gikan upaya penegakan hukum yan g ber landaskan pada nilai-nilai
1 Hasil tindak pidana atau pr oceeds of crime adalah har ta kekayaan yang secar a langsung maupun tidak langsung diper oleh dar i suatu tindak pidana ( “Pr oceeds of crime” shall mean any pr oper ty derived fr om or obtained, directly or indirectly, thr ough the commission of an offence) . Sedangkan penger tian har ta kekayaan adalah semua benda ber ger ak atau benda tidak ber ger ak, baik yang ber wujud maupun yang tidak ber wujud ( “Pr oper ty” shall mean assets of every kind, wheter cor por eal or incor poreal, movable or immovable, tangible or intangible, and legal documents or instr uments evidencing title to, or interest in, such assets) . Lihat Article 2 Use of Term, United Nations Convention Against Transnational Organized Crime 2000, hal. 2.
keadilan dengan upaya pencapaian tujuan nasional untuk mewujudkan
kesejahter aan um um bagi masyar akat. Ber dasar kan pemikir an seper ti ini,
penanganan tindak pidan a dengan motif ekonomi har us dilakukan dengan
menggunakan pendekatan yang ber keadilan bagi masyar akat melalui
pengembalian hasil dan instr um en tindak pidana kepada negar a untuk
kepentingan masyar akat.
Dar i kondisi di atas, t er lihat adanya kebutuhan yang nyata t er hadap
suatu sistem yang memungkinkan dilakukannya penyitaan dan per ampasan
hasil dan instr umen tindak pidana secar a efektif dan efisien. Tentunya hal
ter sebut dilakukan dengan tetap memper hatikan nilai-nilai keadilan dengan
tidak melanggar hak-hak per or angan. Pelaku tindak pidana, secar a cur ang dan
ber lawanan dengan nor m a dan ket entuan hukum , mengambil keuntungan
pr ibadi dengan mengor bankan kepentingan or ang lain atau kepentingan
masyar akat secar a keselur uhan. Kejah atan juga memungkinkan
ter akum ulasinya sumber daya ekonom i yang besar di tangan pelaku tindak
pidana yang ser ingkali digunakan untuk kepentingan yang ber tentangan
dengan kepentingan masyar akat secar a keselur uhan. Dengan kata lain ,
kejahat an ber potensi mer usak tatan an kehidupan ber m asyar akat yang
ber tujuan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahter aan di dalam suatu
masyar akat secar a keselur uhan.
Menyita dan mer ampas hasil dan intr um en tindak pidana dar i pelaku
tindak pidana tidak saja memindahkan sejum lah har ta kekayaan dar i pelaku
kejahat an kepada masyar akat tetapi juga akan memper besar kemungkinan
masyar akat untuk mewujudkan tujuan ber sam a yaitu ter bentuknya keadilan
dan kesejahter aan bagi semua anggota masyar akat. Undang-Undang Dasar
negar a r epublik Indonesia Tahun 1945 pasal 28D ayat 1 menyatakan bahw a
setiap or ang ber hak atas pengaku an, jaminan, per lindungan, dan kepastian
hukum yang adil ser ta per lakuan yang sama di hadapan hukum . Sementar a itu,
pasal 28H ( 4) menyat akan bahwa setiap or an g ber hak mempunyai hak milik
pr ibadi dan hak milik ter sebut tidak boleh diambil alih secar a
Pemer intah Indonesia telah mer atifikasi beber apa konven si
Per ser ikatan Bangsa-Bangsa antar a lain Konvensi Inter nasional
Pember antasan Pendanaan Ter or isme dan Konvensi ser ta Konvensi
Menentang Kor upsi. Konvensi ter sebut antar a lain mengatur mengenai
ketentuan-ketentuan yang ber kait an dengan upaya mengidentifikasi,
mendeteksi, dan membekukan ser ta per ampasan hasil dan instr um en tindak
pidana. Sebagai konsekuen si dar i r atifikasi ter sebut maka pemer intah
Indonesia har us menyesuaikan ket entuan-ketentuan per undang-undangan
yang ada dengan ket entuan-ketentuan di dalam konvensi ter sebut.
Ber dasar kan pengalaman Indonesia dan negar a-negar a lain
menunjukkan bahw a mengungkap tindak pidana, menemukan pelakunya dan
menempatkan pelaku tindak pidana di dalam penjar a ter nyata belum cukup
efektif untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak diser tai dengan upaya untuk
menyita dan mer ampas hasil dan instr umen tindak pidana. Membiar kan pelaku
tindak pidana tetap menguasai hasil dan instrumen tindak pidana member ikan
peluang kepada p elaku tindak pidan a atau or ang lain yang memiliki
keter kaitan dengan pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil tindak pidana
dan menggunakan kembali instr umen tindak pidana atau bahkan
mengembangkan tindak pidana yang per nah dilakukan.
Tambahan lagi, bentuk-bentuk kejahatan telah ber kembang dengan
adanya bentuk-bentuk kejahatan yang ter or ganisir atau organized crime.3
Bentuk kejahatan ini selain melibatkan seku mpulan or ang yang mempunyai
keahlian di dalam melaksanakan tindak pidana juga didukung oleh ber agam
instr umen tindak pidana sehingga mer eka bisa menghimpun hasil tindak
pidana dalam jumlah yang sangat besar . Upaya untuk melumpuhkan bentuk
kejahat an seper ti ini hanya akan efektif jika pelaku tindak pidana ditemukan
dan dihukum ser ta hasil dan instr um en tindak pidananya disita dan dir ampas
oleh negar a.
Di Indonesia, beber apa ketentuan pidana sudah mengatur mengenai
kemungkinan untuk menyita dan mer ampas hasil dan instr umen tindak
pidana.4 Namun demikian, ber dasar kan ketentuan-ketentuan ter sebut ,
per ampasan hanya dap at dilaksanakan setelah pelaku tindak pidana ter bukti di
pengadilan secar a sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana.5 Padahal,
ter dapat ber bagai kemungkinan yang dapat menghalangi penyelesaian
mekanisme penindakan sep er ti itu misalnya tidak ditemukannya atau
meninggalnya atau adanya halangan lain yan g mengakibatkan pelaku tindak
pidana tidak bisa menjalani pemer iksaan di pengadilan6 atau tidak
ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan dan
sebab yang lainnya.
Beber apa ketentuan tindak pidana kor upsi yang ber laku juga masih
memunculkan beber ap a per masalahan. Adanya substitusi dar i kehar usan
membayar uang pengganti dengan kur ungan badan yang lamanya tidak
melebihi ancaman hukum an maksim um pidana pokoknya menciptakan
peluang bagi pelaku kor upsi untuk memilih memper panjang masa hukum an
badan dibandingkan dengan har us membayar uang pengganti.7
4 Ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan KUHAP ser ta beberapa ketentuan per undang-undangan lainnya telah mengatur mengenai kemungkinan untuk menyita dan merampas hasil dan instr umen tindak pidana meskipun penger tiannya tidak sepenuhnya sama dengan penger tian hasil dan instr umen tindak pidana yang ber kembang pada saat ini.
5 Secar a teor itis Pompe mendefinisikan per buatan pidana sebagai suatu kelakuan yang ber tentangan dengan hukum (onrechmatig of weder rechtelijk) , yang diadakan kar ena pelanggar ber salah ( aan schuld van de over tr eder te wijten) dan yang dapat dihukum ( strafbaar ) . U. Utr echt, Hukum Pidana I, ( Bandung: Pener bitan Univer sitas, 1960), hal. 23. Bandingkan dengan Molejatno yang mendefinisikan per buatan pidana sebagai per buatan yang dilar ang oleh undang-undang dan adanya ancaman pidana bagi siapa yang melanggar nya. Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakar ta: Liber ty, 2000), hal. 54. Bandingkan juga dengan Ch.J. Enschede yang mengatakan per buatan pidana adalah suatu per buatan manusia yang termasuk dalam r umusan delik, melawan hukum, dan kesalahan yang dapat dicelakakan padanya ( “een menselijke gedraging die valt binnen de grenzen van delictsomschrijving wederr echtelijk is en aan schuld te wijten”) . Ch. J. Enschede, Beginselen van Starfrecht, ( Kluwer Deventer , 10e dr uk, 2002) , hal. 14.
6 Majelis Hakim Pengadilan Neger i Jakarta Selatan pada tanggal 28 September 2000 menetapkan bahwa penuntutan per kar a pidana ter hadap H.M. Soehar to, mantan presiden Republik Indonesia, tidak dapat diteruskan dan sidang dihentikan.
Kekelir uan par adigm a ter kait d engan uang pengganti kejahatan
kor upsi juga ter kandung dalam Pasal 18 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo.
Undang-undang No 20 Tahun 2001, di mana per ampasan har ta atau kekayaan
hanya ditujukan kepada ter pidana. Padahal modus menyembunyikan har ta
kekayaan hasil kor upsi biasanya dengan menggunakan san ak keluar ga, ker abat
dekat atau or ang keper cayaannya. Contoh yang paling nyata adalah kasus
kor upsi APBD yang melibatkan Hendy Boedor o, mantan bupati Kendal yang
telah divonis penjar a oleh pengadilan tipikor di tingkat kasasi MA selama tujuh
tahun beser ta uang denda ser ta uang penganti sebesar 13,121 miliar . Putusan
kasasi MA jatuh pada bulan juni 2008, akan tetapi hingga tahun 2010, Hendy
Boedor o belum membayar uang pengganti sebagaimana putusan kasasi MA.
Ir onisnya, pada Mei 2010 istr i Hendy Boedor o, Widya Kandi Susanti r esmi
megikuti pilkada Kendal dan menang. Padahal, untuk menjadi calon bupati,
dibutuhkan uang yang tidak sedikit. Sebagaimana ditutur kan oleh mantan
calon walikota Semar ang, Mahfud Ali, paling kur ang dir inya telah
mengeluar kan uang sebesar kur ang lebih Rp. 5 miliar untuk mengikuti
kontestansi pilkada.8
Per soalan lain yang menyulitkan usaha memaksimalkan pengembalian
uang kejahatan kor upsi kepada negar a adalah kar ena UU Tipikor telah
membatasi besar an uang pengganti yang bisa dijatuhkan sama dengan uang
yang diper oleh dar i kejahatan kor upsi atau sebesar yang bisa dibuktikan di
pengadilan.
Selain hambatan pada par adigm a hukum pember antasan Tipikor ,
usaha pengembalian uang negar a juga ter ganjal oleh kar akter istik tindak
pidana kor upsi yang pembuktiannya sangat detail dan memakan wktu yang
ter amat panjang. Sementar a di satu sisi, upaya kor uptor untuk
menyembunyikan har ta hasil tindak pidana kor upsi sudah dilakukan sejak
kor upsi itu ter jadi. Rata-r ata r entang waktu 2 hingga 3 tahun untuk
menyelesaikan sebuah kasus tindak pidana kor upsi member ikan waktu yang
ter amat longgar bagi pelakunya untuk menghilangkan jejak atas har ta yang
diper olehnya dar i tindak pidana kor upsi.9
Kesulitan untuk mendeteksi har ta tindak kejahatan kor upsi ( asset
tr acing) kian ber tambah jika kegiat an memindahkan har ta kekayaan ke negar a
lain sudah dilakukan. Belajar dar i pengalaman negar a lain yang
ber usahanuntuk mendapatkan kembali har ta hasil kejahat an kor upsi mantan
pr esidennya, dibutuhkan waktu yang panjan g dan usaha yang ser ius, baik
dalam skala domestik maupun inter nasional. Per u pada masa kekuasaan
Alber to Fujimor i selama 10 tahun, dir inya telah menggelapkan uang negar a
sebesar USD 2 miliar . Dar i proses asset tr acin g selama kur ang-lebih 5 tahun, Pemer intah Per u bar u ber hasil mendapatkan kembali kekayaan Alber to
Fujimor i sebesar USD 180 juta.10
Dalam sejar ah per ampasan aset kor upsi di Indonesia masih belum
membuahkan hasil yang signifikan. Aset-aset yang dibawa keluar neger i seper ti
dalam beber pa kasus Edy Tansil, Bank Global, kasus BLBI, dan
kasus-kasus lainnya sampai har i ini apar at penegak hukum masih mengalami
kesulitan pelacakan sampai per ampasannya. Hambatan itu bukan saja kar en a
per angkat hukum nya yang masih lemah, tetapi juga belum per angkat hukum
yang mengatur ker jasama dengan Negar a lain untuk per ampasan hasil
kejahat an.
Upaya untuk menekan kejahatan dengan men gandalkan penggunaan
ketentuan-ketentuan pidana juga masih menyisakan kendala lainnya. Ter dapat
beber apa tindak pidana atau pelanggar an hukum yang tidak dapat dituntut
dengan menggunakan ketentuan-ketentuan pidana. Sebagai contoh, pada saat
ini per buatan melawan hukum mater iel yang mengakibatkan ker ugian kepada
negar a tidak bisa dituntut dengan ketentuan tindak pidana kor upsi.11
9 Ibid. Hlm.588 10 Ibid. Hlm.591.
Pada tahun-tahun ter akhir , per kembangan hukum di dunia
inter nasional menunjukkan bahw a penyitaan dan per ampasan hasil dan
instr umen tindak pidana menjadi bagian penting dar i upaya menekan tingkat
kejahat an.12 Selain mengungkap tindak pidana dan menemukan pelakunya,
penyitaan dan per ampasan hasil dan instr um en tindak pidana menjadi bagian
utama dar i penyelidikan, penyidikan dan p enuntutan tindak pidana. Selain itu,
dalam r angka memper kuat ketentuan-ketent uan pidana yang sudah ada,
beber apa negar a mengadopsi ket entuan-ketentuan yang ber asal dar i
ketentuan-ketentuan per data untuk menuntut pengembalian hasil tindak
pidana.13 Penuntutan secar a per data ter sebut dapat dilakukan secar a t er pisah
dar i upaya penuntutan pidana ter hadap pelaku tindak pidana.14 Ber dasar kan
pengalaman yang ada, pener apan pendekatan seper ti ini di sejumlah negar a
ter bukti efektif dalam hal meningkatkan nilai hasil tindak pidana yang dapat
dir ampas.15
Negar a-negar a Pihak yang telah menandatangani dan mer atifikasi
UNCAC, sebagai n egar a kor ban pr aktik kor upsi memiliki hak untuk dapat
12 Per ser ikatan Bangsa-Bangsa telah menetapkan sejumlah konvensi yang memuat ketentuan mengenai asset recover y dan mutual legal assistance dalam r angka penyitaan dan per ampasan hasil dan instrumen tindak pidana.Konvesi ter sebut antar a lain United Nation Convention Against Illicit Trafic in Nar cotic Drugs and Phychotr opic Substances ( 1988) , United Nations Convention on Transnational Organized Cr ime/ UNTOC ( 2002), 13 UN Counter Terr orism Conventions dan United Nation Convention Against Cor r uption/ UNCAC ( 2003). Lihat Kimber ly Pr ost, “Inter nacional cooper ation under the United Nations Convention against Cor r uption”, paper presented at the 4th Master Training Seminar of the ADB/ OECD Anti-Cor r uption Initiative for Asia and the Pacific, Kuala Lumpur , Malaysia, 28-30 Mar ch 2006, dalam Denying Dafe Haven to the Corr upt and the Pr oceeds of Corr uption, ( Manila: ADB, 2006), hal. 6.
13 Inggr is dan Australia pada tahun 2002 menyusun undang-undang yang dikenal sebagai Pr oceed of Cr ime Act yang mengatur mengenai upaya penyitaan dan per ampasan hasil dan instr umen tindak pidana dengan mengadopsi ketentuan-ketentuan di dalam hukum per data. Amer ika Ser ikat pada tahun … mem per bar ui ketentuan ser upa. Selandia Bar u pada tahun 2005 juga menyusun undang-undang ser upa dengan judul Cr iminal Pr oceeds and Instruments Bill.
14 [Per lu penjelasan singkat mengenai non-conviction based forfeitur e…]
kekayaan) yang diper oleh secar a ilegal dan dilar ikan ke luar neger i. Dalam hal
ini, antar a lain ter m asuk16:
( 1)sebagai penggugat dalam gugatan perdata, di mana Negar a Pihak har us
meninjau per syar atan untuk dapat mengakses Pengadilan bilamana
penggugat adalah sebuah negar a asing, kar ena di banyak yur isdiksi hal ini
dapat memicu masalah yur isdiksi dan pr osedural.
( 2)sebagai negar a yang har us dipulihkan dar i ker usakan yang disebabkan oleh
tindak pidana ( kor upsi) . Pen er imaan dar i kor upsi har us dipulihkan hanya
dengan alasan penyit aan, dan Negar a Pihak diw ajibkan untuk
memungkinkan pengadilan mer eka untuk mengenali hak-hak kor ban
Negar a-negar a Pihak untuk mener im a kom pensasi. Hal ini r elevan d engan
pelanggar an ( tindak pidana) yang telah menyebabkan ker ugian di Negar a
Pihak lain.
( 3)sebagai pihak ketiga yang mengklaim hak kepemilikan dalam pr osedur
penyitaan, baik secar a per data maupun pidana. Sebagai negar a kor ban
mungkin saja tidak menget ahui secar a pasti pr osedur yang akan dilakukan ,
maka Negar a Pihak per lu member itahu negar a kor ban untuk mengikuti
pr osedur yang ber laku dan m embuktikan klaimnya.
Setelah dapat diidentifikasi, maka aset curian tersebut harus
dikembalikan. Namun untuk mewujudkannya dibutuhkan ker jasama
internasional yang efektif, adalah suatu kebutuhan mendasar , sebagaimana
tertulis dalam Pasal 54 UNCAC. Tantangannya adalah pengakuan terhadap
perintah penyitaan dari pihak asing. Secar a tradisional, elemen ekstra-teritorial
seperti perintah penyitaan sering ditolak karena menyir atkan nasionalisasi milik
pribadi. Dan secar a historis, hasil korupsi sangat er at kaitannya dengan kasus
pencucian uang dalam yurisdiksi tertentu di mana hasil-hasil kejahatan dapat
disembunyikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 54 ayat 1 (b) UNCAC
mengharuskan setiap Negara Pihak untuk menjamin kemampuan mereka dalam
menyita hasil tindak pidana dari negar a lain ter kait kasus pencucian uang. Selain
itu, ayat ini juga membuka kemungkinan bagi setiap Negar a Pihak untuk
menetapkan proses penyitaan aset secara in rem.17 Untuk itu, UNCAC
merekomendasikan pengadopsian dengan perbaikan prosedur untuk kasus-kasus
di mana keyakinan pidana tidak dapat diperoleh, yaitu ketika terdakwa telah
meninggal dunia, melarikan diri, dan karena hal-hal lainnya. Untuk kasus-kasus
seperti ini, penyusunan Undang-Undang Per ampasan Aset Sipil (Non-Conviction Based Asset Forfeiture/NCB) tampaknya menjadi solusi yang paling tepat.18
Ada dua hal yang fundamental ber hubungan dengan pengembalian
aset (asset r ecover y) yaitu19:
( 1)Menentukan har ta kekayaan apa yang har us
diper tanggungjawabkan untuk dilakukan penyitaan; dan
( 2)Menentukan dasar penyitaan suatu har ta kekayaan.
Metode-metode yang digunakan di Indonesia untuk menyembunyikan
uang hasil kejahatan oleh par a pelaku tindak pidana kor upsi di antar anya
adalah:
(1) Real Estate/ Har ta kekayaan tidak ber ger ak
Par a pejabat kor up atau pelaku kejahatan yang
menghasilkan banyak uang cender ung menggunakan dana-dana
yang didapat dar i hasil kejahatannya untuk membeli benda tidak
ber ger ak atas nama pemilik sebenar nya atau dengan
mengikut-ser takan pihak ketiga dalam nama seseor ang ker abat atau
sekutunya. Tr ansaksi-tr ansaksi pr oper ti dapat dim anipulasi untuk
menggunakan hasil-hasil modal yang tampak untuk menyamar kan
dana-dana gelap tesebut.
17 In r em maksudnya adalah suatu tindakan hukum untuk melawan aset ( pr oper ti) itu sendir i, bukan ter hadap individu (in per sonam) , misalnya, Negar a vs. $100.000. NCB Asset Forfeiture ini adalah tindakan hukum yang ter pisah dar i setiap pr oses pidana, dan membutuhkan bukti bahwa suatu aset (pr oper ti) ter tentu “ter cemar ” ( ter nodai) oleh tindak pidana. Lihat: Wor ld Bank, “Non-Conviction Based Asset For feitur e as a Tool for Asset Recover y”, http:/ / www1.wor ldbank. org/ finance/ star site/ documents/ non-conviction/ par t_a_03.pdf, diakses tanggal 12 Desember 2011.
18 Yar a Esquitel, Op.Cit., hlm. 121-122.
(2) Pembelian Bar ang-bar ang ber har ga ( emas)
Dana-dana kor upsi dapat digunakan untuk membeli bar
ang-bar ang ber har ga seper ti mobil, logam mulia dan per hiasan, sehingga
pihak penyidik dan penuntut har us menentukan kepemilikan, nilai
dan sum ber dana yang digunakan untuk membeli bar ang ter sebut.
(3) Saham-saham dom estik
Saham-saham domestik yang ter daftar secar a publik dapat
dibeli dan dijual seor ang pialang saham. Pesanan-pesanan dilakukan
dengan pialang yang mencar i mitr a yang menjual-belikan
saham-saham dengan klien. Bila dua pihak setuju untuk bejual-beli saham-saham,
pesanan beli/ jual ditanda tangani oleh par a pihak ber sangkutan.
Setelah tr ansaksi disepakati, satu dokum en didaftar kan pada bur sa
saham. Dokumen ber isi per incian mengenai pembeli dan penjual, dan
syar at-syar at dan ket entuan-ketentuan jual belinya. Ada juga akt a
penjualan ter pisah yang ditanda tangan penjual. Komisi wajar yang
dibayar kan kep ada par a pialang adalah 1,5 % dar i total haga
penjualan. Pajak mungkin juga per lu dibayar kan. Par a pemegang
saham akan mengeluar kan satu tanda ter im a baik kepada p embeli
maupun penjual yang menentukan per incian atas tr ansaksi ter sebut.
Dokumentasi yang ter libat dalam pr oses ini mencakup satu profil
ter per inci mengenai par a pembeli dan penjual. Per incian-per incian ini
mencakup sifat, alamat, tanda tangan, jabatan, nomor telpon dan nama
bapak dan kakek. Per usahaan menyimpan satu catatan ter per inci atas
par a pemegang sahamnya20.
Upaya p engembalian aset n egar a yang dicur i (stolen asset r ecover y) melalui tindak pidana kor upsi ( tipikor ) cender ung tidak mudah untuk
dilakukan. Par a pelaku tipikor memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit
dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang
(money launder ing) hasil tindak pidana kor upsinya. Per m asalahan menjadi
semakin sulit untuk upaya r ecover y dikar enakan tempat penyembunyian (safe haven) hasil kejahatan t er sebut yang melampaui lintas batas wilayah negar a di
mana tindak pidana kor upsi itu sendir i dilakukan21.
Dalam penelitian KHN22 memper lihatkan bahw a selain belum
ter bentuknya pr osedur dan mekanisme Stolen Aset Recover y ( StAR) ter dapat juga beber apa hambatan yang selama ini dialami dalam pengembalian aset
hasil kor upsi. Hambatan-hambatan ter sebut antar a lain23: ( 1) hambatan dalam
penyidikan24 ( 2) sistem hukum antar negar a yang ber beda25 ( 3) tidak
memadainya sar an a dan pr asar ana yang dim iliki oleh Indonesia26 ( 4) Tidak
mudah m elakukan ker jasama dengan n egar a lain baik d alam bentuk per janjian
ekstr adisi maupun MLA27. ( 5) masalah dual cr iminality28( 6) kekelir uan dalam
21 Saldi Isra, Asset Recover y Tindak Pidana Kor upsi Melalui Ker jasama Inter nasional, http:/ / www.saldiisr a.web.id/ index.php?option= com_content&view= ar ticle&id= 80:asset-r ecover y-tindak- idana-kor upsi-melalui-ker jasama-inter nasional&catid= 23:makalah&Itemid= 11 , diakses terakhir tanggal 05 Juni 2012.
22 Penelitian KHN, Stolen Aset Recover y ( STAR) initiatif, Tahun 2009.
23 Penelitian KHN, Stolen Aset Recover y ( STAR) initiatif, Tahun 2009. Basr ief Ar ief, disampaikan dalam diskusi ahli tentang Implementasi Stolen Asset Recovery ( StAR) dalam Pember antasan Tindak Pidana Kor upsi, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional, Jakar ta, 28 Januar i 2008
24 Kesulitan yang dialami oleh penyidik ialah bagaimana melacak aset ini, kar ena kor upsinya dilakukan tidak pada saat ini, tapi dalam waktu yang telah lama ar tinya cukup memakan waktu. Hampir r ata-r ata, tidak ada kasus koata-r upsi yang kita tangani yang baata-r u 1-2 tahun dilakukan. Sehingga menimbulkan kesulitan lebih lanjut, kar ena aset itu sudah ber ganti nama, di antar anya dilar ikan ke luar neger i. Oleh kar ena itu, kar ena kesulitan-kesulitan yang ditempuh, tepatnya pada Har i anti kor upsi sedunia, tanggal 9 Desember 2004, dicetuskan langkah-langkah mengamankan aset yang sudah dikorupsi dan mengoptimalkan mencar i ter pidananya. ibid
25 Sistem hukum yang ber beda juga mer upakan hambatan dalam mengejar ter pidana maupun aset hasil korupsi. Contoh: sulitnya mengekstradisi Hendra Rahar dja ( ter pidana kor upsi) dan asetnya dar i Austr alia, hingga yang ber sangkutan meninggal dunia. Untuk kasus David N. Widjaja, pemer intah Indonesia ber hasil menangkap David N. Widjaja di Amer ika karena secar a kebetulan hubungan kita baik dengan Amer ika yaitu kar ena Indonesia ser ing membantu informasi ter kait masalah ter oris, jadi Amer ika pun member i kesempatan kepada Indonesia untuk menangkap David N. Widjaja. Itu juga kar ena UU Imigrasi mer eka yang dilanggar . Kalau kar ena sekedar hubungan baik kedua negar a, tidak mungkin mereka mengijinkan. ibid
26 Sarana dan prasar ana yang dimaksud ter kait masalah logistik, kemudian perangkat hukum yang mendukung untuk itu. Hal ini mengakibatkan penyidik di Indonesia sulit untuk menangkap pelaku kor upsi dan mengejar asetnya di luar negeri, kar ena dana yang ada tidak memadai untuk melakukan pengejar an. ibid
27 Untuk Hongkong per lu waktu 3 tahun ( 2005-2008) hingga akhir nya MLA antar a Indonesia dan Hongkong bisa mer eka tanda tangani. ibid
melakukan tuntutan ber kaitan dengan uang pengganti dan putusan yang
kelir u oleh hakim29 ( 7) per m asalahan Centr al Author ity30
Mekanisme per data dalam pengembalian aset secar a t eknis-yur idis
ter dapat beber apa kesulitan yang akan dihadapi jaksa pengacar a n egar a dalam
melakukan gugatan per data. Antar a lain, hukum acar a per data yang digunakan
sepenuhnya tunduk pada hukum acar a per data biasa yang, antar a lain,
menganut asas pembuktian for mal. Beban pembuktian ter letak pada pihak
yang mendalilkan ( jaksa pengacar a negar a yang har us membuktikan)
keset ar aan p ar a pihak, kewajiban hakim untuk mendamaikan par a pihak, dan
sebagainya. Sedangkan jaksa pengacar a negar a ( JPN) sebagai penggugat har us
membuktikan secar a nyata bahw a telah ada ker ugian negar a. Yakni, ker ugian
keuangan negar a akibat atau ber kaitan dengan per buatan t er sangka,
ter dakwa, atau ter pidana; adanya har ta benda milik ter sangka, ter dakwa, atau
ter pidana yang dapat digunakan untuk pengembalian ker ugian keuangan
negar a, Selain itu, seper ti um um nya penanganan kasus per data, m embutuhkan
waktu yang sangat panjang sampai ada putusan hukum yang ber kekuatan
hukum tetap.31 Hambatan-hambatan ter sebut har us seger a diatasi untuk
mengoptimalkan pengembalian ker ugian negar a melalui pembuatan hukum
acar a per data khusus per kar a kor upsi, yang keluar dar i pakem-pakem hukum
acar a konvensional.32 Gugatan per data per lu ditempatkan sebagai upaya
hukum yang utama di samping upaya secar a pidana, bukan sekedar ber sifat
fakultatif atau kom plemen dar i hukum pidana, sebagaiman a diatur dalam UU
Pember antasan Tindak Pidana Kor upsi. Oleh kar ena itu, diper lukan konsep
pengembalian keuangan negar a yang pr ogr esif, misalnya dengan
29 Contohnya dalam kasus Kiki Har iawan, ter dapat 3 ter pidana dengan ker ugian negara ber jumlah 1,5 T. Penghitungan uang pengganti yang har us dibayar oleh 3 ter pidana masing-masing 1,5 T jadi semuanya 4,5T. Negara dalam hal ini memper oleh keuntungan 3 T. Padahal dalam 1,5 T itu sehar usnya ter pidana tanggung renteng. Sebaliknya, justru ada yang tidak diputus uang pengganti. Ibid
30 Dalam UU No.1 Tahun 2006, centr al author ity ber ada di Depar temen Hukum dan HAM. Sementar a sistem yang ada di Deplu untuk segala ur usan yang ber kaitan dengan sur at menyurat dengan negar a lain har us melalui Depar temen Luar Neger i. Masing-masing merasa ber hak. Hal ini menyebabkan bir okrasi menjadi panjang. ibid
31 Mujahid A Latief, Opini, Pengembalian Aset Kor upsi via Instrumen Per data,
http:/ / www.komisihukum.go.id/ index.php?option= com_content&view= ar ticle&id= 71%3Apengembalian-aset-kor upsi-via-instr umen-per data&catid= 38%3Aar tikel&Itemid= 44&lang= in, diakses ter akhir 06 Juni 2012.
menghar monisasikan p ada Konvensi Per ser ikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Kor upsi ( United Nations Convention Against Cor r uption/ UNCAC) Tahun 2003.
Dalam r angka pengembalian uang hasil kor upsi kepada negar a,
tampaknya ketentuan yang ter dapat dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nom or 20 Tahun 2001 tentang Pember antasan Tindak Pidan a Kor upsi
( UU TIPIKOR) tidaklah cukup memadai, dalam hal ini ber kenaan dengan
pener apan sanksi pengembalian ker ugian ( uang pengganti) atau denda.
Ketentuan t er sebut tidak mudah untuk diter apkan oleh hakim dan ser ing tidak
dilaksanakan kar ena pelaku lebih memilih dengan pidana atau kur ungan
pengganti atau kar ena keadaan har ta benda ter pidana tidak mencukupi.33
Ber dasar kan ur aian di atas, t er lihat adan ya kebutuhan untuk
mer ekonstr uksi sistem hukum pidana di Indonesia dengan mengatur mengenai
penyitaan dan per ampasan hasil dan instr umen tindak pidana di dalam suatu
undang-undang. Pengatur an ter sebut selain har us kom pr ehensif juga har us
ter integr asi dengan pengatur an lain agar undang-undang yang akan disusun
bisa dilaksan akan secar a efektif dan mampu member ikan kepastian hukum
ser ta jaminan per lindungan hukum kepada masyar akat. Pengatur an ter sebut
juga har us sejalan d engan pengatur an yang ber laku um um di dunia
inter nasional untuk memudahkan pemer intah Indonesia dalam meminta
bantuan ker jasama dar i pemer intahan negar a lain ber dasar kan hubungan baik
dengan ber landaskan pr insip r esipr ositas.
B. Identifikasi Masalah
Ketentuan mengenai per ampasan aset tanp a pemindanaan yang sejalan
dengan konvensi atau per jan jian inter nasional antar a lain:
1. Konvensi PBB Menentang Kor upsi Tahun 2003 (United Nation Convension
Against Cor r uption/UNCAC, 2003) yang telah dir atifikasi d engan UU
No.7/ 2006. Pasal 54 angka 1. hur uf ( c) UNCAC, 2003 dengan tegas meminta
negar a-negar a: “Consider taking such measur es as may be n ecessar y to allow confiscation of such pr oper ty without a criminal conviction in cases in which the offender cannot be pr osecuted by r eason of death, flight or absence or in other appropr iate cases”.
2. Konvensi PBB Menentang Kejahat an Tr ansnasional Ter or ganisir (United Nations Convention Against Tr ansnational Organized Cr im es/ UN-CATOC) yang sedang dalam pr oses r atifikasi. Pasal 12 UN-CATOC dengan
menyatakan , bahw a Negar a-negar a Anggota har us mener apkan
langkah-langkah ser upa di dalam sistem hukum dalam neger inya kear ah
pengembangan yang mungkin lebih luas selama diper lukan guna
memungkinkan penyitaan atas: ( a) Hasil-hasil kejahat an yang didapat dar i
pelanggar an-pelanggar an yang dicakup oleh Konvensi ini atau nilai
kekayaan yang ber hubungan dengan hasi-hasil ter sebut; dan ( b) Kekayaan ,
per lengkapan atau per alatan-per alatan lain yang digunakan pada atau
ditujukan bagi penggunaan dalam pelanggar an yang dicakup oleh Konvensi
ini.
3. Standar Internasional di bidang pencegahan dan pember antasan tindak pidana
pencucian uang atau Financial Action Task Force (FATF) Revised 40+ 9 Recommendations juga menggariskan pentingnya r ezim perampasan aset
tanpa pemidanaan. Rekomendasi No. 3 menyebutkan “Countries may consider
adopting measures that allow such proceeds or instrumentalities to be confiscated without requiring a criminal conviction, or which require an offender to demonstr ate the lawful origin of the property alleged to be liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with the principles of their domestic law”;
Sementar a itu, dalam per kembangan ter akhir di dunia inter nasional,
penyitaan dan per ampasan hasil dan instr um en tindak pidana menjadi bagian
penting dar i upaya menekan tingkat kejahatan. Hal ter sebut ter lihat dar i ur aian
§ Per ser ikatan Bangsa-Bangsa atau PBB, dalam kur un waktu 10 tahun
ter akhir , telah menyetujui dan menetapkan sejum lah konvensi yang
ber kaitan dengan upaya menekan tingkat kejahatan, yaitu United Nation Convention Against Illicit Tr afic in Nar cotic Dr ugs and Phychotropic Substances pada tahun 1988 dan United Nations Convention on Tr ansnational Or ganized Cr ime ( UNTOC) pada tahun 2000 ser ta United Nation Convention Against Corr uption ( UNCAC) pada tahun 2003. Salah satu bagian p enting dar i konvensi-konvensi PBB ter sebut adalah adanya
pengatur an yang ber kaitan d engan pen elusur an, penyitaan dan
per ampasan hasil dan in str um en tindak pidana ter masuk ker jasama
inter nasional dalam r angka pengembalian hasil dan instr um en tindak
pidana antar negar a.
§ Pemer intah Inggr is pada tahun 2002 menetapkan suatu undang-undang
Pr oceed of Cr im e Act ( POCA) yang antar a lain mengatur mengenai
penyitaan dan per ampasan hasil dan instr um en tindak pidana. Sejak
undang-undang ter sebut diber lakukan pada tahun 2003, apar at penegak
hukum di Inggr is telah ber hasil mer ampas sekitar 234 juta poundster ling
atau setar a dengan 4,38734 tr ilyun rupiah hasil dan instr um en tindak
pidana.
§ Pemer intah Austr alia pada t ahun 2002 juga menetapkan Pr oceed of Cr im e Act. Ket entuan bar u ini membuka kesempatan yang sangat luas bagi apar at penegak hukum untuk m enyita dan mer ampas aset hasil tindak pidana.
§ Pemer intah Selandia Bar u pada tahun 2005 juga menetapkan Cr im inal Pr oceeds and In str uments Bill setelah melihat keber hasilan Austr alia dan Inggr is mener apkan ketentuan yang ser upa.
§ Pemer intah Niger ia pada tahun 1998-2006 ber hasil menyita dan mer ampas
hasil tindak pidana kor upsi yang dilakukan oleh Jendr al Sani Abacha,
mantan pr esiden Niger ia, dalam jum lah 800 juta dollar AS dar i dalam neger i
dan 505,5 juta dollar AS dar i negar a Swiss.
§ Pemer intah Per u selama kur un waktu 2000-2001 melakukan r efor masi
hukum dan pengadilan yang secar a fundamental meningkatkan
kemampuan penyidikan, pengungkapan jar ingan pelaku tindak pidana
kor upsi, dan pengembalian hasil tindak pidan a kor upsi. Sebagai hasilnya,
pada tahun 2001 Per u mener ima kembali 33 juta dolar AS dar i Kepulauan
Cayman dan tahun 2002 mener im a 77,5 juta dollar dar i Swiss ser ta tahun
2004 mener im a 20 juta dollar dar i Amer ika Ser ikat. Dana t er sebut ber asal
dar i hasil kor upsi Vladim iro Montesinos, kepala intelejen polisi pada
pemer intahan Pr esiden Alber to Fujim or i.
§ Pemer intah Philippina selama 18 tahun antar a 1986-2004 ber hasil menyita
dan mer ampas 624 juta dollar AS dar i Swiss. Dana ter sebut ber asal dar i
hasil kor upsi Fer dinand Mar cos, mantan Pr esiden Philippina.
Pada saat ini, undang-undang yang memuat ketentuan-ket entuan
hukum yang ber kaitan dengan penyit aan dan per ampasan hasil dan instr um en
tindak pidana di Indonesia antar a lain adalah:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acar a Pidan a ( KUHAP)
2. Undang-Undang Nom or 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acar a Pidana ( KUHAP) .
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabean an sebagaiman a
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.
4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Nar kotika.
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pember antasan Tindak
Pidana Kor upsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001.
7. Undang-Undang Nom or 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
8. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pengesahan Per atur an
Pemer intah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pember antasan Tindak Pidan a Ter or isme sebagai Undang-Undang.
9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Per ikanan.
Dar i ur aian ter sebut di atas ter dapat beber ap a masalah dalam upaya
pengembalian ker ugian keuangan negar a melalui per ampasan aset yaitu:
1. Konstr uksi sistem hukum pidana di Indonesia belum menempatkan
penyitaan dan per ampasan hasil dan instr u men tindak pidana sebagai
bagian penting dar i upaya menekan tingkat kejahat an di Indonesia. Hal
ter sebut dapat ter lihat dar i ur aian ber ikut ini:
a. KUHP membagi dua kelompok sanksi pidana yaitu kelompok pidana
pokok dan pidana tambahan. Ber dasar kan pembagian ter sebut,
penyitaan dan per ampasan hasil dan instr umen tindak pidana35
dim asukkan ke d alam kelompok pidana tambahan dan bukan pidan a
pokok.
b. Definisi penyidikan di dalam KUHAP adalah ”untuk mencar i ser ta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat ter ang tentang tindak pidana yang ter jadi dan guna menemukan ter sangkanya”. Dar i definisi ter sebut ter lihat bahwa penelusur an hasil dan instr umen tindak
pidana, yang memungkinkan penyitaan dan per ampasan hasil dan
instr umen tindak pidana, belum merupakan bagian penting dar i
penyidikan tindak pidana di dalam KUHAP.
c. Kewenangan yang dim iliki penyelidik dan penyidik dalam di dalam
KUHAP belum memungkinkan par a penyelidik dan penyidik untuk
melaksanakan pen elusur an hasil dan instr um en tindak pidana dengan
baik. KUHAP, misalnya, belum mengatur secar a jelas mengenai
kewenangan penyelidik dan penyidik dalam mengakses sum ber -sum ber
infor masi yang diperlukan dalam r angka mengidentifikasi dan
menemukan hasil dan in str umen tindak pidana, ter utama akses
ter hadap sum ber -sumber infor m asi yang dilindungi dengan ketentuan
ker ahasiaan.
d. Dalam KUHAP, penger tian instr um en tindak pidana ter batas kep ada
benda yang telah diper gunakan secar a langsung untuk melakukan atau
untuk memper siapkan suatu tindak pidana.36 Padahal, konsep yan g
ber kembang saat ini, instr um en tindak pidana tidak hanya mencakup
sar ana yang secar a langsung diper gunakan dalam suatu tindak pidana
tetapi juga sar ana yang memungkinkan ter laksananya suatu tindak
pidana.
e. KUHAP tidak mengatur kemungkinan untuk mer ampas har ta dan
instr umen tindak pidana dalam hal ter dapat hambatan yang dapat
menghalangi pelaksanaan penyidikan, penuntutan, pemer iksaan di
pengadilan maupun eksekusi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
2. Dalam per kembangan ter akhir di dunia inter nasional, penyitaan dan
per ampasan hasil dan instr um en tindak pidana menjadi bagian penting dar i
upaya menekan tingkat kejahatan, seper ti yan g ter cantum dalam UNTOC,
UNCAC, yang keduanya telah dir atifikasi oleh Indonesia, namun Indonesia
belum memiliki per atur an per undang-undangan yang sejalan dengan
per ampasan aset ber dasar kan dua konvensi inter nasional ter sebut,
sehingga upaya pengembalian aset tindak pidana yang ber ada di luar neger i
menjadi sulit untuk diim plementasikan kar en a belum adanya ketentuan
yang sama.
3. Per atur an per undang-undangan yang ada saat ini dinilai belum secar a
kom pr ehensif dan r inci mengatur tentang per ampasan aset yang ter kait
dengan tindak pidana, dan masih memiliki banyak kekur angan (loophole) jika dibandingkan dengan Non-Conviction Based Asset For feitur e ( NCB)
yang dir ekom endasikan oleh PBB dan lembaga-lembaga inter nasional
lainnya. NCB digunakan ap abila pr oceeding pidana yang kemudian diikuti dengan pengambilalihan aset (confiscation) tidak dapat dilakukan, yang bisa diakibatkan oleh beber apa hal, antar a lain: ( i) pemilik aset telah
meninggal dunia; ( ii) ber akhir nya pr oses pidana kar en a ter dakwa bebas;
( iii) penuntutan pidana ter jadi dan ber hasil tetapi pengambilalihan aset
tidak ber hasil; ( iv) ter dakwa tidak ber ada d alam batas jur isdiksi, nama
pemilik aset tidak diketahui; dan ( v) tidak ada bukti yang cukup untuk
mengawali gugatan pidana.
Memper hatikan per kembangan hukum pidana inter nasional di atas,
maka konsekuensi dar i r atifikasi yang dilakukan oleh pemer intah Indonesia,
maka per lu dir umuskan ketentuan-ketentuan yang belum diatur dalam
per atur an per undang-undangan Indonesia dan bila sudah ada atur annya dalam
per atur an per undang-undangan Indonesia, maka p er lu disesuaikan dengan
hukum pidana inter nasional dengan per luasan, penambahan dan penyesuaian
ter hadap ketentuan-ketentuan hukum yang ber laku saat ini di Indonesia. Hal
inilah yang menjadi salah satu per tim bangan sehingga per lu dibuat
Undang-Undang ter sendir i yang secar a khusus digunakan untuk mer ampas aset yang
ter kait dengan tindak pidana.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan r uang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di
atas, tujuan pen yusunan Naskah Akademik tent ang Per ampasan Aset adalah:
1) Mer umuskan per masalahan yang ter kait dengan per ampasan aset tindak
pidana sebagai upaya untuk menekan tingkat kejahat an dan memenuhi
kebutuhan hukum kar ena per atur an per undang-undangan yang ada saat ini
dinilai belum secar a kom pr ehensif dan r inci mengatur tentang per ampasan
aset yang ter kait dengan tindak pidana, dan masih memiliki banyak
2) Mer umuskan per tim bangan atau landasan filosofis, sosiologis, yur idis
pembentukan Rancangan Undang-Undang tent ang Per ampasan Aset Tindak
Pidana.
3) Mer umuskan sasar an yang akan diw ujudkan, r uang lingkup pengatur an,
jangkauan, dan ar ah pengatur an dalam Rancangan Undang-Undang
tentang Per ampasan Aset Tindak Pidana.
Sementar a itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini adalah
sebagai acuan atau r efer ensi penyusunan dan pembahasan Rancangan
Undang-Undang tentang Per ampasan Aset Tindak Pidan a.
D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik tentang Per ampasan Aset Tindak Pidan a
didasar kan pada kegiatan penelitian melalui metode yur idis empir is, dan juga
didukung oleh studi per bandingan hukum37 dengan mengambil bahan hukum
sekunder yang tidak hanya dar i bahan pustaka Indonesia maupun asing, tetapi
juga bahan-bahan hukum pr imer seper ti per atur an per undang-undangan
nasional dan ketentuan-ketentuan inter nasional yang ber laku dan ter kait
dengan per ampasan aset hasil tindak pidana.
Pr oses p enyusunan Naskah Akad emik ini melibatkan ahli/ pakar dar i
kalangan industr i, teor itis, akademisi, pr aktisi hukum, pengusaha, pengur us
maupun kegunaan dar i Naskah Akademik ini pada gilir annya dapat
dir ealisasikan .
BAB II
KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIK
Melihat pada kenyataannya ter hadap apa yan g telah ditimbulkan oleh
tindak pidana kor upsi, maka diper lukan suatu upaya-upaya yang luar biasa
dalam hal penanggulangan ser ta pember antasannya. Salah satu upaya yang
dapat menghindar kan keter pur ukan Indonesia akibat pr aktik kor upsi adalah
dengan melakukan upaya p engembalian aset hasil tindak pidana kor upsi.
Untuk itu pemer intahan Indonesia t elah melakukan beber apa upaya untuk
melakukan pemulihan agar ter bebas dar i keter pur ukan yang ter jadi sebagai
akibat d ar i pr aktik kor upsi. Beber apa upaya ter sebut adalah pemer intah
Indonesia telah mer atifikasi UNCAC38 dalam Un dang-Undang Nomor 7 Tahun
2006 tentang Pengesahan Konven si Per ser ikat an Bangsa-bangsa Anti Kor upsi
pada tanggal 18 April 2006, dan membuat Undang-Undang tentang Bantuan
Hukum Tim bal Balik dalam Bidang Pidana (UU MLA), di mana salah satu pr insip dasar nya adalah asas r esipr okal ( tim bal-balik) .
Pada UNCAC 2003, per ampasan aset pelaku tin dak pidana kor upsi dapat
dilakukan melalui jalur pidana dan jalur per data. Pr oses p er ampasan aset
kekayaan pelaku melalui jalur pidana melalui 4 ( empat) tahapan, yaitu:
per tama, pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi, bukti
kepemilikan, lokasi penyimpanan har ta yang ber hubungan delik yang
dilakukan. Kedua, pembekuan atau per ampasan aset sesuai Bab I Pasal 2 huruf
( f) UNCAC 2003 di mana dilar ang sementar a menstr ansfer , mengkonver si,
mendisposisi atau memidahkan kekayaan atau untuk sementar a menanggung
beban dan t anggung jawab untuk mengur us dan memelihar a ser ta mengawasi
kekayaan ber dasar kan penetapan pengadilan atau penetapan dar i otor itas lain
yang ber kompeten. Ketiga, penyitaan aset sesu ai Bab I Pasal 2 huruf ( g) UNCAC 2003 diar tikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya ber dasar kan
penetapan pengadilan atau otor itas lain yang ber kompeten. Keempat,
pengembalian dan penyer ahan aset kep ada negar a kor ban. Selanjutnya, d alam
UNCAC 2003 juga diatur bahw a per ampasan har ta pelaku tindak pidana
kor upsi dapat melalui pengembalian secar a langsung melalui pr oses
pengadilan yang dilandaskan kepada sistem “negatiation plea” atau “plea bar gaining system”, dan melalui pengembalian secar a tidak langsung yaitu melalui pr oses penyitaan ber dasar kan keput usan pengadilan ( Pasal 53 s/ d
Pasal 57 UNCAC) .39
Tentunya keber adaan instr umen inter nasional ini sangat penting,
sebagai bukti adanya ker jasama intr nasional dalam pencegahan kejahatan dan
per adilan pidana. Ratifikasi atas intr um en inter nasional ter sebut sangat
penting mengingat semakin dir asakan kepr ihatinan di Indonesia maupun pada
negar a-negar a didunia ter hadap semakin meningkatnya dan semakin
ber kembangnya kejahatan baik secar a kuantitas maupun kualitasnya.
Per kembangan kejahatan saat ini bahkan telah ber sifat tr ansn asional, melewati
batas-batas negar a d an menunjukan adanya ker jasama kejahatan yang ber sifat
baik secar a r egional maupun inter nasional. Hal ini nampaknya mer upakan
hasil sampingan dar i ber kembangnya sar ana teknologi infor masi dan
kom unikasi moder n.40
Ber dasar kan titik tolak UNCAC sebagai sebuah intr umen inter nasional
dalam upaya pember ant asan ter hadap tindak pidana kor upsi yang semakin
har i semakin ber sifat multidim ensi dan kom pleksitas yang semakin r umit.
Pada titik mula UNCAC member ikan dasar acuan pada Pasal 54( 1) ( c) UNCAC,
yang mewajibkan semua Pihak Negar a untuk memper tim bangkan per ampasan
hasil tindak kejahatan t anpa melalui pemidanaan. Dalam hal ini UNCAC tidak
ter fokus pada satu tr adisi hukum yang telah ber laku ataupun member i usulan
bahw a per bedaan mendasar dapat menghambat pelaksanaannya. Dengan ini
UNCAC mengusulkan per ampasan aset Non-pidana sebagai alat untuk semua
yur isdiksi untuk memper tim bangkan dalam melakukan pember ant asan tindak
pidana kor upsi, sebagai sebuah alat yang melampaui per bedaan-per bedaan
antar sistem. Tentunya ber dasar kan keber lakukannya dalam r atifikasi yang
dilakukan oleh negar a-negar a yang mengikuti dalam konvensi UNCAC ter sebut,
PBB selaku pihak penyelenggar a dengan ini melanjutkan disposisional dalam
bentuk pembuatan pedoman-pedom an (guidelines) , standar -st andar maupun model tr eaties, yang mencakup substansi yang lebih spesifik dalam upaya melakukan pember ant asan tindak pidana kor upsi dan upaya pemulihan
ter hadap dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana kor upsi ter sebut.
Secar a metodologi liter atur e pedoman ini member ikan pendekat an
dalam bentuk 36 ( tiga puluh enam) konsep utama (Key Concept) , yang mer upakan r ekom endasi dar i tim ahli yang telah melakukan penelaahan dan
penelitian pada bidangnya masing-m asing. Kunci-kunci konsep (Keys Concept)
ini lah yang akan menjadi dasar acuan dan pet unjuk bagi negar a-negar a yang
telah melakukan r ativikasi ter hadap hasil konvensi UNCAC dalam melakukan
upaya pember antasan tindak pidana kor upsi dan pengembalian aset hasil
tindak pidana kor upsi.41
Ke-36 ( tiga puluh enam) konsep ter sebut disusun dalam 8 ( delapan)
section tittle sebagai penggolongan ruang lingkup penggunaan konsepnya,
yaitu; Pr ime Imper atives ( Acuan Utama) ter dir i dar i 4 ( empat) kunci konsep; Defining Assets and Offenses Subject to NCB Asset For feitur e ( Mendefinisikan Aktiva dan Pelanggar an Ber dasar kan Per ampasan Aset tanpa putusan Pidana)
ter dir i dar i 5 (lima) kunci konsep; Measur es for Investigation and Pr eser vation of Assets Langkah-langkah untuk Penyelidikan dan Pengelolaan Aset) ter dir i dar i 3 ( tiga) kunci konsep; Pr ocedur al and Evidentiar y Concepts ( Konsep Pr osedur al dan Pembuktian) ter dir i dar i 5 ( lima) kunci konsep; Par ties to Pr oceedings and Notice Requir ements ( Par a Pihak yang Dapat Tur ut-ser ta Dalam Pr oses dan Pengajuan Per syar at an) ter dir i dar i 5 (lima) kunci konsep;
Judgment Pr oceedings ( Pr osedur Putusan) ter dir i dar i 4 ( empat) kunci konsep; Or ganizational Consider ations and Asset Management ( Beber apa
Per timbangan ter kait Or ganisasi dan Pengelolaan Aset) ter dir i dar i 4 ( empat)
kunci konsep; Inter national Cooper ation and Asset Recover y ( Ker jasama inter nasional dan Pemulihan Aset) ter dir i dar i 6 ( enam) kunci konsep.42
Dalam per kembangan beber apa tahun ter akhir ini, menurut Theodor e S.
Gr eenber g, ter dapat beber ap a per janjian multilater al yang telah dilakukan
yang ber tujuan untuk melakukan ker jasama dan sepakat antar a negar a dengan
negar a lainnya dalam hal per ampasan (for feitur e) , pembagian aset (asset shar ing) , bantuan hukum (legal assistance) , dan kom pensasi kor ban (compensation of victims) . Di samping itu ter dapat pula beber apa konven si PBB dan per janjian multilater al yang mengandung ketentuan yang mengatur
tentang per ampasan, antar a lain43:
a) United Nations Convention against the Illicit Tr afficin Nar cotic Dr ugs and Psychotr opic Substances (Vienna Convention) , 1988.
b) United Nations Convention against Tr ansnational Or ganized Cr im e
( UNTOC) , 2000.
c) United Nations Convention against Cor r uption (UNCAC) , 2003.
d) Council of Eur ope Convention on Launder ing, Sear ch, Seizur e and Confiscation of the Pr oceeds fr om Cr im e and on the Financing of Ter r or ism,
2005.
e) Council of Europe, Convention on Launder ing, Sear ch, Seizur e and Confiscation of the Pr oceeds fr om Cr ime, 1990.
f) Inter nasional Or ganisation for Economic Co-oper ation and Developm ent
Convention on Com bating Br iber y of For eign Public Officials in Inter national Business Tr ansactions, 1997.
42 Ibid, hlm. 34.
Dar i beber ap a ketentuan di atas, UNCAC mer upakan per atur an yang
hanya memiliki ketentuan yang mengatur tent ang per ampasan in r em secar a khusus, dan member ikan dasar hukum sebagai acuan untuk negar a melakukan
ker jasama inter nasional dalam per masalahan kejahatan maupun keuangan
ser ta penggunaan teknologi antar a sesama dalam upaya pember antasan tindak
pidana kor upsi dalam hal upaya pengembalian aset. Ketentuan ter sebut
dituangkan pada Ar ticle 54 ( 1) ( c) of UNCAC: “Consider taking such measur es as may be necessar y to allow confiscation of such pr oper ty without a cr iminal conviction in cases in which the offender can not be pr osecuted by r eason of death, flight or absence or in other appr opr iate cases”. Pasal 54 angka 1 huruf ( c) UNCAC ini merupakan pasal yang member ikan dasar hokum dalam hal
penggunaan tindakan per ampasan secar a in r em pada tiap negar a-negar a yang melakukan ker jasama inter nasional dalam hal upaya melakukan pengembalian
aset. 44
Secar a pr insip inter nasional sebagaimana yan g diter angkan di dalam
guideline StAR ter sebut ter hadap tindakan per am pasan diken al dengan 2 ( dua) jenis per ampasan: per ampasan in r em dan per ampasan pidana. Mer eka ber bagi tujuan yang sama, yaitu per ampasan oleh negar a dar i hasil dan sar ana
kejahat an. Keduanya memiliki kesamaan dalam 2 (dua) hal. Per tama, mer eka yang melakukan kegiatan melanggar hukum sehar usnya tidak diper bolehkan
untuk mendapatkan keuntungan dar i kejahat an mer eka. Hasil kejahatan har us
dir ampas dan digunakan untuk kom pensasi kepada kor ban, apakah itu negar a
atau individu. Kedua, mer upakan upaya efek jer a ter hadap siapa saja yang melanggar hukum. Tindakan per ampasan dilakukan untuk memastikan bahw a
aset ter sebut tidak akan digunakan untuk tujuan kr im inal lebih lanjut, dan juga
ber fungsi sebagai upaya pencegahan ( pr eventif) .45 Secar a konsepsi dalam
pener apannya, per ampasan in r em mer upakan upaya yang dilakukan untuk menutupi kelemahan dan bahkan kekur angan yang ter jadi dalam tindakan
per ampasan pidana ter hadap upaya pember antasan tindak pidana. Pad a
44 Wahyudi Hafiludin Sadeli, Op.Cit., hlm. 35.
beber apa per kar a, tindakan per ampasan pidana tidak d apat dilakukan dan
pada per kar a ter sebut per ampasan in r em dapat dilakukan, yaitu dalam hal46 :
a. Pelaku kejahatan melakukan pelar ian ( bur onan) . Pengadilan pidana tidak
dapat dilakukan jika si ter sangka adalah bur on atau dalam pengejar an.
b. Pelaku kejahatan telah meninggal dunia atau meninggal sebelum
dinyatakan ber salah. Kematian menghentikan pr oses sistem p er adilan
pidana yang ber langsung.
c. Pelaku kejahatan memiliki kekebalan hukum (Imm une) .
d. Pelaku kejahatan memiliki keuatan dan kekuasaan sehingga pengadilan
pidana tidak dapat melakukan pengadilan ter hadapnya.
e. Pelaku kejahatan tidak diketahui akan tetapi aset hasil kejahatannya
diketahui/ ditemukan.
f. Aset kejahatan dikuasai oleh pihak ketiga yang dalam kedudukan secar a
hukum pihak ketiga ter sebut tidak ber salah dan bukan pelaku atau ter kait
dengan kejahat an utamanya.
g. Tidak adanya bukti yang cukup untuk diajukan dalam pengadilan pidana.
Pada beber ap a per kar a, p er ampasan in r em dapat dilakukan
dikar enakan p ada dasar nya mer upakan tindakan in r em yang mer upakan tindakan yang ditujukan kepada objek benda, bukan ter hadap per sona/ or ang,
atau dalam hal ini tidak diperlukannya pelaku kejahatan yang didakwakan
sebelumnya dalam per adilan. Dengan p er ampasan yang ditujukan kepad a aset
itu sendir i maka tidak adanya subjek pelaku kejahatan yang dilihat pada hal ini
membuat kedudukan pihak-pihak yang ter kait dengan aset ter sebut atau
bahkan pemilik aset t er sebut ber kedudukan sebagai pihak ketiga. Kar enanya
dalam hal ini sebagai pihak per tama adalah negar a melalui apar atur nya, pihak
kedua adalah aset t er sebut dan pihak ketiga adalah pemilik aset atau yang
ter kait dengan aset t er sebut. Dalam beber apa per kar a, per ampasan in r em
memungkinkan untuk dapat dilakukan kar ena itu adalah tindakan in r em
ter hadap pr oper ti, bukan or ang, dan pembuktian pidana tidak diper lukan,
ataupun keduanya. Per ampasan aset in r em juga dapat ber guna dalam situasi
seper ti ber ikut47:
a) Pelanggar telah dibebaskan dar i tuntutan pidana yang mendasar sebagai
akibat dar i kur angnya alat bukti yang diajukan atau gagal untuk memenuhi
beban pembuktian. Hal ini ber laku dalam yur isdiksi di mana per ampasan
aset in r em diter apkan pada bukti standar yang lebih r endah dar ipada standar pembuktian yang ditentukan d alam pidana. Meskipun mungkin ada
cukup bukti untuk tuduhan pidana tidak bisa dir agukan lagi, tetapi
pelanggar memiliki cukup bukti untuk menunjukkan aset ter sebut ber asal
bukan dar i kegiatan ilegal dengan didasar kan asas p embuktian ter balik.
b) Per ampasan yang tidak dapat di sanggah. Dalam yur isdiksi di mana
per ampasan aset secar a in r em dilakukan sebagai acar a ( hukum) per data, standar pr osedur penilaian digunakan untuk penyitaan aset, sehingga dapat
dilakukan penghematan waktu dan biaya.
Per ampasan aset in r em sangat efektif d alam pemulihan ker ugian yang tim bul dan pengembalian dana hasil kejahatan baik kepada Negar a ataupun
kepada pihak yang ber hak. Sementar a per ampasan aset in r em sehar usnya
tidak per nah menjadi pengganti bagi penuntutan pidana, dalam banyak kasu s
( ter utama dalam konteks kor upsi) , per ampasan aset in r em mungkin
satu-satunya alat yang ter sedia untuk mengembalikan hasil kejahatankejahatan
yang tepat dan adan ya jaminan keadilan. Pengar uh pejabat kor up dan r ealitas
pr aktis lainnya dapat mencegah penyelidikan pidana sepenuhnya, atau sampai
setelah r esmi telah dinyatakan meninggal atau melar ikan dir i. Hal ini tidak
biasa bagi pejabat yang kor up yang mer ampas suatu kekayaan negar a yang
juga ber usaha untuk mendapatkan kekebalan dar i tuntutan. Kar ena sebuah
konsep per ampasan aset in r em tidak ter gan tung pada tuntutan pidana, itu