• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Jurnal Pendidikan Islam | Makalah Dan Jurnal Gratis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Contoh Jurnal Pendidikan Islam | Makalah Dan Jurnal Gratis"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI NORMATIF PE NDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL

Isrofil A mar*

Abstract: This paper basically argues that the many social problems that we are now faced are in fact product of the system of our religious education. The educational system of our Madrasas has not thus far shown its ability to address the spiritual needs of our students. This resulted in students absorbing the physical and at best the intellectual dimension of education by ignoring the moral and behavioral aspects of it. On this ground –the paper argues- the system of our religious education must be revisited and reevaluated. Such system must not only indoctrinate students to learn about heaven, hell, what is lawful and lawful, belief and infidelity and the lik e, but must also teach them about tolerance, understanding and other social values. Our religious education must teach students conceptual k nowledge but also educate them about how to respect others and live in a plural society. It is about these that this paper is concerned with. It is about the scheme of religious education for pluralism or multiculturalism.

Keywords: religious education, multicultural education, normative foundation

Pendahuluan

Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari aspek keagamaan yang memang menjadi bagian dari

sifat manusia. Manusia di samping bersifat jasmani (al-fit} rah al-jismiyah), juga ruhani-spiritual (al-fit} rah

al-ruh} i> yah).1 Pada konteks ini kehidupan keagamaan merupakan refleksi dari sifat ruhani-spiritual manusia. Jadi, faktor agama merupakan bagian integral pada diri manusia, terlepas apakah pemeluk itu taat atau tidak.

Namun demikian, masalah keagamaan ini pada kenyataannya mengandung paradoks. Dalam arti, bahwa kadangkala masalah agama bisa merekatkan hubungan antara manusia, tetapi ia juga bisa menimbulkan permusuhan antar manusia karena perbedaan (pemahaman) agamanya, tidak hanya antar agama, tetapi juga internal agama. K onflik keagamaan tersebut begitu nyata menghiasi sejarah kemanusiaan dari dahulu hingga sekarang, seperti tragedi perang Salib, konflik Islam-Hindu di India, konflik sekte Sunni-Shi> ‘ah di Pakistan, konflik Ambon, terorisme dan sejenisnya.

Problema keagamaan dan moralitas masyarakat begitu kompleks, terutama akar-akar kekerasan

sehingga harus ditelusuri. Charles Kimball,2 pakar sejarah dan perbandingan agama

(Yahudi-Kristen-Islam), berusaha menelusuri dan memetakan problem/konflik berbasis keagamaan tersebut. Dengan peta analisisnya, pengarang tersebut berhasil menjelaskan fenomena kekerasan religius dewasa ini.

Sebagai jalan keluarnya, Kimball3 menghimbau kita agar kembali ke agama otentik. Yakni, modus

keberagaman yang tidak sekedar setia dengan doktrin skriptual yang statis, tetapi sebuah iman yang hidup dan menghidupi kemanusiaan universal.

Melihat fakta sosial dimana banyak konflik bernuansa agama, maka pendidikan agama harus

*Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Jombang, Jawa Timur

1 Dalam konteks filsafat manusia hakekatnya merupakan makhluk psiko-fisik yang memiliki jiwa dan tubuh. Gabungan kedua

unsur inilah yang mewujudkan menjadi manusia. Sifat-sifat jasmaniah manusia (al-fit} rah al-jismiyah), bahwa tubuh manusia tersusun atas alam materi yang memiliki sifat-sifat fisika, yaitu: air, api, tanah dan angin. Sedangkan jiwa atau ruhiyah (al-fit} rah al-ruh} iyah) adalah sifat-sifat jiwa manusia dan sekaligus merupakan inti hakekat manusia. Lihat Asril Dt.Paduko Sindo, “Konsep Islam tentang Fitrah Manusia dan Implikasinya dalam Pendidikan”, dalam Didak tik a Islamik a, Jurnal Keislaman, Kependidik an dan Kebahasaan. Vol 1 No. 3 Agustus 2000, 13-15.

(2)

3 2 1

direvisi dari konsep indoktrinasi menjadi relevansi. Artinya, pendidikan agama harus dikembangkan bukan hanya indoktrinasi berupa ajaran surga-neraka, baik-buruk, halal-haram, mukmin-kafir, tetapi juga relevansinya terhadap kehidupan sehari-hari sehingga akan bisa dihayati dan diamalkan. Pendidikan agama harus mengajarkan pengetahuan konseptual menjadi pengetahuan yang fungsional-kontekstual. Artinya, pengetahuan yang membantu orang untuk menanggapi, menilai, dan menentukan sikap dalam hidup. Oleh karena itu, pengajaran agama sebagai satu bagian dari pendidikan agama sebaiknya bertitik dari dan dikaitkan dengan situasi hidup konkret sehari-hari, seperti bagaimana berpikir dan bertindak baik untuk diri sendiri maupun orang lain, berhubungan dengan orang lain, bermasyarakat, toleransi, hidup dan masyarakat plural, dan sejenisnya.

Sejalan dengan itu, maka metode pengajaran pendidikan agama yang inklusif, hendaknya hubungan guru dan peserta didik bersifat dialogis-komunikatif. Guru tidak dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar, demikian juga peserta didik bukan sebagai obyek pengajaran. Namun guru dan peserta didik sama-sama sebagai subyek belajar sehingga suasana belajar di kelas akan dinamis dan hidup. Jadi,

pengajaran pendidikan agama tidak hanya dipahami hanya sebagai transfer pengetahuan (transfer of

k nowledge) saja, tetapi juga penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran agama pada gilirannya mencapai relevansinya dengan alam nyata, bukan hanya alam akhirat (ghaib).

Para pemikir keagamaan berusaha meramu formula yang tepat bagaimana mengurangi konflik berbasis agama tersebut, tidak hanya Islam, tetapi juga Kristen, Hindu, Budha, Yahudi dan agama lainnya. Sehingga memunculkan ide toleransi, kerukunan, pluralisme, dan sejenisnya sebagai upaya untuk mencegah/mengurangi konflik yang besifat keagamaan yang kadangkala begitu dahsyat, brutal dan berdarah. Upaya menciptakan kehidupan yang plural, namun tetap rukun, damai, toleran menjadi penting.

Terlepas dari paradoks tersebut, senyatanya agama senantiasa dapat menjaga dan menegakkan moralitas iman dan tingkah laku yang luhur bagi umatnya. Ketika telah terjadi internalisasi nilai ajaran-ajaran agama kepada hati nurani dan merasuk di dalamnya, maka ia akan menjadi pegangan dan pedoman kehidupan sehari-hari. D alam konteks sosial dapat dilihat bahwa kelompok keagamaanlah yang senantiasa menjaga kehidupan masyarakat sampai kehidupan kenegaraan agar tetap berjalan dalam

koridor nilai-nilai agama dan tidak menyimpang darinya.4

Jadi fungsi agama sebagai penjaga moral/etika masyarakat yang adiluhur inilah yang harus senantiasa dan dipelihara dengan baik sehingga perilaku warga masyarakat tetap dalam koridor moralitas dan iman yang benar. Maka di sinilah pendidikan agama sebagai media pewarisan nilai-nilai menjadi penting dan bermakna bagi manusia dan kemanusiaan serta tidak bisa dihilangkan begitu saja. Hal ini sesuai dengan pendapat Christoper J.Lukas (1984) bahwa :

Pendidikan (agama) tidak hanya terkait dengan aspek transfer of k nowledge (pengalihan

pengetahuan), tetapi juga terkait aspek yang lebih luas, yakni aspek perubahan nilai dan pandangan hidup. Dengan demikian, melalui pendidikan diharapkan dapat terjadi perubahan secara mendasar

pada aspek moralitas, budaya, kesejahteraan, dan sebagainya.5

Lembaga pendidikan Islam di era sekarang diharapkan mengarah kepada perubahan yang

4 Didik Komaidi, “Pendidikan Agama di Tengah Pluralisme Bangsa dari Paradigma E ksklusif ke Inklusif,” dalam Afif HM

dan Haidlor Ali Ahmad (E d.), Bunga Rampai Pendidik an A gama Islam (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI, 2005), 48.

(3)

mendasar, terutama mempersiapkan siswa yang nantinya akan berintegrasi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai macam latar belakang budaya dan agama. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari sebuah proses pendidikan agama, ada dua hal sebagai Pekerjaan Rumah (PR) lembaga tersebut, terutama pendidik/guru agama Islam, yakni: para pendidik tersebut sudah saatnya butuh pengertian yang mendalam dan harus merasa peka terhadap isu-isu pemahaman keagamaan yang sedang berkembang dalam masyarakat umum. Baru kemudian, para pendidik ini harus bisa membantu siswanya untuk jadi sadar akan pentingnya memahami budaya yang bermacam-macam dalam masyarakat,

khususnya di bidang keagamaan.6

Jika tidak demikian, tampaknya lembaga pendidikan, khususnya Islam, sulit berpartisipasi dalam menengahi model-model pemahaman Islam radikal yang sering dituduh sebagai penyulut munculnya ketidaknyamanan dalam masayarakat beragama. Lembaga-lembaga pendidikan, terutama di masa yang akan datang, harus bisa memproduksi sarjana Islam yang berpikiran moderat untuk mewadahi berbagai macam pemahaman yang cenderung radikal itu. Untuk mewujudkan itu, seluruh unsur sistem pendidikan Islam, khususnya pembelajaran agama Islam, sebaiknya ditelaah kembali.

Bagaimanakah sebenarnya Islam melihat paradigma kemajemukan dalam konsep pendidikan itu sendiri, sehingga ditemukan suatu formula yang cocok untuk kondisi Pendidikan Agama Islam dalam konteks ke-Indonesia-an. Berangkat dari gagasan tersebut tulisan ini mengkaji landasan normatif terkait dengan ayat-ayat al-Qur’a> n sebagai inspirasi Pendidikan Agama Islam di era multikultural.

Pendidikan Agama dan Problematika Kultural

Manusia merupakan makhluk yang dinamis dalam memaknai hidup dan lingkungannya. Dengan bekal fitrah untuk selalu mencari kebaikan, kebenaran dan keindahan, manusia terus berupaya membangun peradaban. Melalui peradaban ini manusia menjalani hidupnya secara terhormat dan saling menghargai yang kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Yang Maha Pencipta. Kecerdasan majemuk

(multiple intelligence) dianugerahkan Tuhan kepada manusia sebagai potensi dasar untuk tumbuh dan berkembang. Meski demikian di sisi lain, perkembangan dapat bergerak dalm sumbu garis negatif

maupun positif. Dalam sumbu negatif, sebagaimana dikemukakan oleh Sigmund Freud,7 bahwa manusia

merupakan makhluk yang memiliki kecenderungan bertindak negatif, dan jahat. Bahkan, sisi negatif

manusia ini dalam Al-qur’an dapat menyamakan keadaannya seperti hewan bahkan lebih rendah lagi.8

Berdasarkan alasan tersebut, maka manusia harus selalu dikontrol, ditata sedemikian rupa, dan dikuasai agar dapat betul-betul menjadi manusia yang baik. Disini relasi faktor pendidikan agama memainkan peran yang sangat penting. Artinya, bahwa pendidikan agama perlu diarahkan untuk memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya kecerdasan majemuk agar peserta didik menjadi manusia yang mampu menerapkan nilai-nilai keyakinan dan etikanya untuk dapat hidup berdampingan dengan individu lain yang memiliki nilai keyakinan dan etika berbeda secara terhormat dan saling menghormati. Problematika keagamaan yang terjadi dalam ranah kebangsaan dewasa ini pada dasarnya tidak

6 Diskusi tentang peran guru sebagai yang terpenting dari seluruh sistem pendidikan dapat dibaca dalam H.A.R. Tilaar,

“Multicultural E ducation and Its Challenges in Indonesia”. Makalah pada International Seminar on Multicultural E ducation. Cross Cultural Understanding for Democracy and Justice. Yogyakarta 25-26 Agustus 2005, 8.

(4)

3 2 3

lepas dari permasalahn pendidikan agama. Artinya, bahwa model pembelajaran pendidikan agama bagi peserta didik pada pendidikan formal (Madrasah/Sekolah) belum menyentuh dimensi nurani. Sehingga pesrta didik hanya menyerap aspek pengetahuan saja, belum sampai moral dan perilaku dalam bersikap dan bertindak. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Agus salim, bahwa:

Permasalahan pendidikan agama bagi siswa adalah kurang terinternalisasinya nilai-nilai agama. Maka untuk mengatasi permasalahan tersebut selain pendekatan yang selama ini telah dicobakan untuk dilakukan seperti, perbaikan dan penyesuaian kurikulum, juga perlu adanya solusi alternative yang lebih bersifat penyadaran dan pemahaman kembali secara komprehensif makna dan aplikasi inti

pelajaran agama dan cara beragama.9

Sementara menurut Muhammad Turhan Yani, bahwa:

Realitas di lapangan menunjukkan terdapat salah satu kelemahan pembelajaran PAI, yakni sebagian guru tidak memiliki strategi penyusunan dan pemilihan materi yang tepat...dan hanya memenuhi tuntutan aspek kognitif atau belajar ilmu agama saja, tetapi tidak mempraktekkannya. Kenyataan

yang demikian itu, menjadi salah satu penyebab merosotnya moral.10

Apa yang dikemukakan diatas tentu saja bertolak belakang dengan landasan filosofis dan juga tujuan utama dari pendidikan agama itu sendiri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh J. Reberu (2001) :

Pendidikan agama merupakan sarana utama, dan dengannya nilai-nilai agama diperkenalkan baik kepada individu maupun kepada masyarakat. Di samping itu, pendidikan agama juga menciptakan iklim, suasana, bahkan rangsangan nilai konkret didalam hidup untuk mengalami atau menghayati nilai-nilai tertentu. Lewat pengajaran dan penghayatan, pendidikan agama berusaha membina mentalitas

iman dalam diri para penganut.11

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Muhammad Turhan Yani dan M. Husni Abdullah, bahwa :

Pendidikan agama (Islam) menempati posisi penting karena memberi dan menumbuhkan spirit pada peserta didik. Kompetensi utama yang dituntut dalam mata pelajaran PAI bersifat terpadu

(integrated), yakni memadukan secara komprehensif dan simultan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh karena itu mata pelajaran PAI diharapkan menjai spirit dan inspirasi dalam menumbuhkan karakter dan watak peserta didik agar dimasa depan dapat menjadi orang

yang memiliki kepribadian (akhlak mulia).12

Berdasarkan konsepsi tersebut, maka supaya bisa membina mentalitas dan mempengaruhi iman,

pendidikan agama tidak boleh hanya berbentuk pengajaran agama atau pengalihan pengetahuan (transfer

of k nowledge) tentang agama semata. Pengalihan pengetahuan agama bisa menghasilkan pengetahuan dan ilmu dalam diri orang yang diajar, tetapi pengetahuan ini belum menjamin pengarahan manusia

Pendidik an A gama Islam (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI, Jakarta, 2005), 103.

8 QS. 7 (al-A‘ra> f): 179.

9 Agus Salim. “Menawarkan Konsep Tauhid sebagai solusi Problematika Pendidikan Agama pada Siswa di Madrasah Aliyah”,

dalam Afif HM dan Haidlor Ali Ahmad (E ds), Bunga Rampai Pendidik an A gama Islam (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI, 2005), 33.

10 Muhammad Turhan Yani, “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum”, Jurnal Ilmu

Pengetahuan Islam “E l-Jadid,” Program Pascasarjana UIN Malang Vol. 10 No. 03 2004, 35.

11J. Riberu, Pendidik an : Kegelisahan Sepanjang Zaman (Yogyakarta: K anisius, 2005), 16.

12 Yani, dan Abdullah, M.Husni. “Telaah Materi Ajar PAI dalam KBK di SD Ditinjau dari Struktur Keilmuan Islam dan

(5)

yang bersangkutan untuk hidup sesuai dengan pengetahuan tersebut. Sebaliknya pengalihan pengetahuan agama seringkali hanya berbentuk pengalihan rumus-rumus doktrin (teori) dan dan kaidah-kaidah susila. Oleh karena itu, pengajaran agama menghasilkan pengetahuan hafalan yang melekat pada bibir dan hanya mewarnai kulit, tetapi tidak mampu mempengaruhi jiwa dan hati orang yang mempelajarinya.

Untuk menghindari itu, lebih lanjut J. Riberu (2001) menyarankan :

Pendidikan agama yang otentik, selain menyajikan bahan-bahan pengetahuan juga mengusahakan

pengalaman dan penghayatan nilai-nilai (reasoning of value) didalam situasi dan lingkungan hidup

sehari-hari. D alam penghayatan, orang dibina untuk mengalami secara sadar suatu nilai

(werterlebnis). Dari pengalaman yang sadar, orang akan terajak untuk menghargai nilai yang dijumpai

(wetschatzung). Karena yakin akan harga nilai tersebut, orang mulai menerima nilai bagi dirinya

sendiri (wetbejaung). Dalam setiap situasi hidup orang akan mengambil sikap yang positif terhadap

nilai yang telah diterimanya itu (wertenscheidung) dan mencoba mengejawantahkan nilai tersebut

(werbestatigung).13

Melihat fakta sosial dimana banyak konflik bernuansa agama, maka pendidikan agama harus direvisi dari konsep indoktrinasi menjadi relevansi. Artinya, pendidikan agama harus dikembangkan bukan hanya indoktrinasi berupa ajaran surga-neraka, baik-buruk, halal-haram, mukmin-kafir, tetapi juga relevansinya terhadap kehidupan sehari-hari sehingga akan bisa dihayati dan diamalkan. Pendidikan agama harus mengajarkan pengetahuan konseptual menjadi pengetahuan yang fungsional-konseptual. Artinya, pengetahuan yang membantu orang untuk menanggapi, menilai dan menentukan sikap dalam hidup. Oleh karena itu, pengajaran agama sebagai satu bagian dari pendidikan agama sebaiknya bertitik tolak dari dan dikaitkan dengan situasi hidup konkret sehari-hari, seperti bagaimana berpikir dan bertindak untuk diri sendiri maupun orang lain, berhubungan dengan orang lain, bermasyarakat, toleransi, hidup dalam masyarakat plural, dan sejenisnya.

Sejalan dengan itu, maka metode pengajaran pendidikan agama yang inklusif, hendaknya hubungan guru dan peserta didik bersifat dialogis-komunikatif. Guru tidak dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar, demikian juga peserta didik bukan sebagai obyek pengajaran. Namun guru dan peserta didik sama-sama sebagai subyek belajar sehingga suasana belajar di kelas akan dinamis dan hidup. Jadi,

pengajaran pendidikan agama tidak hanya dipahami hanya sebagai transfer pengetahuan (transfer of

k nowledge) saja, tetapi juga penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Dimana ajaran agama pada gilirannya mencapai relevansinya dengan alam nyata, bukan hanya alam akhirat (ghaib).

Pendidikan Agama dan Islam Multikultural

Sebelum kita lebih jauh membahas mengenai pendidikan agama Islam multikultural sebaiknya kita lebih dahulu membatasi konteks pembahasan. Mengawali hal ini sejenak kita simak apa yang dikemukakan oleh Marwan Saridjo, bahwa apabila kita berbicara pendidikan agama dalam konteks dunia pendidikan di Indonesia, maka pengertian mencakup dua hal: pertama, lembaga pendidikan

agama atau perguruan agama; dan kedua, isi atau program.14 Pendidikan perguruan/lembaga pendidikan

Psikologi Pengembangan Anak”, dalam Jurnal Pendidik an Islam “Nizamia” Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol. 10. No 02 Desember 2007, 121-121.

13 Riberu, Pendidik an: Kegelisahan Sepanjang Zaman, 16.

(6)

3 2 5

agama (yang Islam) yang lazim dikenal masyarakat dan menjadi binaan Departemen Agama meliputi Raudatul Athfal/Bustanul Athfal (setingkat TK), Madrasah (terdiri dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah

dan Aliyah15 Negeri dan swasta).

Pendidikan agama dalam arti isi atau program, adalah pendidikan agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas negeri. Jadi berdasarkan konteks tersebut, maka kita membahas dua aspek sekaligus yaitu pendidikan agama dalam arti lembaga dan isi atau program.

Dalam konteks Indonesia yang majemuk dari segi suku, agama, budaya, bahasa dan kepentingan politik, kurikulum pendidikan agama harus memberikan materi pendidikan multikultural, yakni materi yang memberikan landasan pengetahuan tentang bagaimana seorang individu hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk (plural) tersebut. Generasi muda harus dijabarkan bagaimana cara hidup seorang warga di tengah pluralisme bangsanya. Artinya, ia mampu hidup baik dalam internal kelompoknya maupun dalam eksternal kelompok lain ia selalu bisa hidup damai dalam lingkungannya. Dalam konteks pengajaran, peserta didik harus diajarkan tentang bagaimana memaknai perbedaan (pluralisme) dalam bingkai bhineka tunggal ika secara bijaksana dan tepat. Sebuah generasi yang mampu memahami jati dirinya dalam lingkup internal golongan, agama, budaya, kepentingan politik dan sebagainya. Dengan kata lain bahwa pembelajaran pendidikan agama Islam harus dikemas dalam dimensi tanpa diskriminasi (multicultural).

Pendidikan multikultural merupakan strategi pembelajaran yang menjadikan latar belakang budaya siswa yang bermacam-macam digunakan sebagai usaha untuk meningkatkan pembelajaran siswa di kelas dan lingkungan sekolah. Yang demikian dirancang untuk menunjang dan memperluas

konsep-konsep budaya, perbedaan, kesamaan dan demokrasi.16 Ada pula yang mengatakan pendidikan

multikultural adalah sebuah ide atau konsep, sebuah gerakan pembaharuan pendidikan dan proses. Konsep ini muncul atas dasar bahwa semua siswa, tanpa menghiraukan jenis dan statusnya, punya

kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah formal.17

Dua definisi diatas tampaknya lahir pada setting historis khusus, yakni pada lembaga-lembaga pendidikan tertentu di wilayah Amerika yang pada awalnya diwarnai oleh sistem pendidikan yang

mengandung diskriminasi etinis, yang belakangan hari mendapat perhatian serius dari pemerintah.18

Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan (Islam) yang ditemukan di Asia, terutama Indonesia, yang sejak awal tidak begitu menampakkan diskriminasi radikal di dalam kelas. Perbedaan ruang kelas antara pria dan wanita pada lembaga-lembaga tertentu pada lembaga pendidikan Islam misalnya, tidak bisa langsung diartikan sebagai tindakan diskriminatif, karena yang demikian lebih dimaknai sebagai antisipasi terhadap pelanggaran moral baik dalam pandangan Islam dan kultur masyarakat. Oleh karena itulah, pendidikan Islam multikultural disini lebih diartikan sebagai sistem pengajaran yagn lebih memusatkan perhatian kepada ide-ide dasar Islam yagn membicarakan betapa pentingnya memahami dan menghormati budaya dan agama orang lain. Secara konseptual, rumusan pendidikan islam

(E d). Bunga Rampai Pendidik an A gama Islam (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI, 2005), 36-37.

15 Di era Kurikulum 1975 sampai Kurikulum 1984 dikenal lembaga Pendidikan bernama Pendidikan Guru Agama (PGA),

yaitu lembaga pendidikan setingkat Madrasah Aliyah yang khusus mencetak guru-guru Pendidikan Agama Islam Madrasah Ibtidaiyah (MI)/Sekolah Dasar (SD)

16 Donna, M. Gollnick dan Phillip C. Chinn, Multicultral E ducation in a Pluralistic Society, edisi ke 5 (New Jersey, Columbus :

(7)

multikultural belum menunjukkan jati dirinya secara maksimal, khususnya di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam formal. Bukan hanya pendidikan Islam multikultural yang belum dikembangkan, tetapi juga pendidikan agama multikultural saja belum ditemukan bentuknya seperti apa. Barangkali pada lembaga-lembaga tertentu sudah ada, tetapi dalam status mata pelajaran muatan lokal.

Tinjauan Normatif Pendidikan Islam Multikultural

Ada 4 (empat) isu pokok yang dipandang sebagai dasar pendidikan Islam multikultural, khususnya di bidang keagamaan, yaitu 1) kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pesan-Nya (wahyu); 2) kesatuan kenabian; 3) tidak ada paksaan dalam beragama; dan 4) pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Semua yang demikian disebut normatif karena sudah merupakan ketetapan Tuhan. Masing-masing klasifikasi didukung oleh teks (wahyu), kendati satu ayat dapat saja berfungsi untuk justifikasi yang lain.

Dari aspek kesatuan ketuhanan, pendidikan Islam mendasarkan pandangannya dari al-Qur’a> n surat 4 (al-Nisa> ’):131,19 QS, 3 (Ali Imran): 64.20

Dari aspek kesatuan pesan ketuhanan (wahyu) dapat dilihat dalam QS, 4 (al-Nisa> ’): 16321 Dari aspek kesatuan kenabian, al-Faruqi mendasarkan pandangannya dari QS, 21 (al-Anbiya> ’):

73,22 dan QS, 3 (Ali Imran): 84.23

Pandangan Islam yang terkait dengan kebebasan menganut agama didasarkan kepada QS, 2

(al-Baqarah): 256.24

Mengenai pengakuan akan eksistensi agama-agama lain adalah QS, 5 (al-Maidah): 69, 82.25

Semua ayat tersebut dipahami dalam perspektif teologis-normatif, yaitu dengan pengertian, di dalamnya tidak ada keraguan sedikitpun dan bersifat mutlak. Pemahaman dari ayat-ayat tersebut tetap diletakkan dalam konteksnya sebagai yang mutlak. Karena bersifat mutlak, maka cara kerja yang ditempuh seorang guru agama harus selalu berusaha mengkaji ulang untuk membuktikan substansi kebenarannya. Dalam mengkaji ulang itu, teknis yang dilakukan sebaiknya dengan menjelaskan konsep-konsep hubungan berbagai agama dengan narasi atau logikanya sendiri, kemudian semua disimpulkan dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’a> n yang relevan. Jadi model untuk menjelaskan sesuatu, pada dasarnya sudah dibungkus paradigma teologis lebih awal, sehingga apa yang disampaikan kepada siswa, sesungguhnya merupakan penjelasan logis saja dari wahyu. Oleh karena itu, di sini dapat dikatakan bahwa gagasan tentang pengetahuan (kebenaran wahyu) tidak seperti dalam halnya dalam pengetahuan positivistik yang berkeyakinan bahwa gagasan tentang pengetahuan direduksi menjadi pengetahuan ilmiah, dan gagasan mengenai pengetahuan ilmiah direduksi menjadi intelegensia. Jadi, “mengetahui”

Merill an imprint of Prentice Hall, 1998), 3.

17 Jack Levy, “Multicultural E ducation and Democracy in the United States”. Makalah pada International Seminar on Multicultural

Education Cross Cultural Understanding for Democracy and Justice, Yogyakarta 26- 26 Agustus 2005, 8.

18 Endang Turmudi. “Pendidikan Multikultural di Indonesia dan Tantangannya” Makalah pada International Seminar on Multicultural

Education Cross Cultural Understanding for Democracy and Justice, Yogyakarta 26- 26 Agustus 2005, 81.

19Dan milik A llah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh k ami Telah memerintahk an k epada orang-orang yang diberi Kitab

sebelum k amu dan (juga) k epada k amu; bertak walah k epada A llah. tetapi jik a k amu k afir Mak a (k etahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah k epunyaan A llah dan A llah Maha Kaya dan Maha Terpuji.

20Katak anlah: “Hai ahli k itab, marilah (berpegang) k epada suatu k alimat (k etetapan) yang tidak ada perselisihan antara k ami dan k amu,

(8)

3 2 7

harus berarti mengekspresikan relasi-relasi yang bisa diamati (observable) antara fakta yang ada dalam

konteks relasi matematis.26

Jadi, dalam perspektif ini, sudah diyakinkan terlebih dahulu bahwa terdapat sekumpulan kebenaran adikodrati yang statis yang diwahyukan oleh Tuhan kepada manusia, dan proses sejarah dalam pewahyuan, di era ini, tidak begitu penting. Bila cara seperti ini yang ditempuh, maka seluruh pengetahuan yang terkait dengan isu-isu hubungan antara agama menurut pandangan Islam terkesan semua baik. Mungkin ada yang mengatakan bahwa cara ini apologis. Tetapi tidak mengapa, terutama bagi siswa yang baru saja memahami sistem pembelajaran agama model ini. Barangkali, relevan dengan apa yang pernah ditulis Al- Faruqi bahwa konseptuasi atas inti kedua agama itu berbeda satu sama lain dan sesuai dengan sejarahnya. Oleh sebab itu, tidak mungkin untuk melakukan identifikasi antara masing-masing agama tersebut, karena masing-masing lengket dengan sejarahnya. Seseorang dapat melihat Islam dan Kristen sebagai dua agama yang berbeda, akan tetapi, ada kemungkinan besar untuk keluar dari perbedaan ini, yaitu dengan melihat inti asli (substansi) agama tersebut, memusatkan

perhatian secara penuh terhadapnya dan membangun berbagai argumentasi di atasnya.27

Aspek normatif ini juga dapat dilihat pada ayat-ayat sebagai dasar umum hubungan antara agama, pada surat Ali Imron: 113 yang berisikan pujian atas ahli kitab yang bersifat jujur; surat al-Tawbah: 31 yang berisikan kepercayaan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengatakan ‘Uzair dan al-Masih itu putra Allah, bahkan mereka mempertuhan rahib-rahib dan orang alim mereka sendiri, padahal mereka disuruh hanya menyembah Allah; surat al-Hadid: 27 yang berisikan bahwa mereka yang mengikuti Kitab Injil, yang diturunkan Nabi Isa, memiliki hati penuh dengan rsa santun dan kasih sayang; surat al-Nisa> ’: 71 yang berisikan pandangan al-Qur’a> n terhadap Nabi Isa, yang menyebutkan bahwa al-Masih, Isa putra Maryam itu utusan Tuhan, dan larangan untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tiga; surat al-Ankabut: 47 yang berisikan bahwa bagi orang-orang yang diturunkan kepada mereka kitab Taurat, juga beriman kepada al-Qur’a> n. Secara doktrinal, seluruh bentuk hubungan itu tidak

pernah berubah, kecuali setelah memasuki wilayah historis (konteks) yang cukup panjang.28

orang Muslim21

22Sesungguhnya k ami Telah memberik an wahyu k epadamu sebagaimana k ami Telah memberik an wahyu k epada Nuh dan nabi-nabi yang

k emudiannya, dan k ami Telah memberik an wahyu (pula) k epada Ibrahim, Isma’il, Ishak , Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan k ami berik an Zabur k epada Daud

23Dan Kami menjadik an merek a itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah k ami dan Telah k ami wahyuk an

k epada, merek a mengerjak an k ebajik an, mendirik an sembahyang, menunaik an zak at, dan Hanya k epada k amilah merek a selalu menyembah

24Katak anlah (Muhammad), Kami beriman k epada Allah dan k epada apa yang diturunk an k epada k ami dan yang diturunk an k epada Ibrahim,

Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak -anak nya, dan apa yang diberik an k epada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan merek a. k ami tidak membeda-bedak an seorangpun di antara merek a dan Hanya k epada-Nyalah k ami menyerahk an diri

25Tidak ada pak saan untuk (memasuk i) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar dengan jalan yang sesat

26Sesungguhnya orang-orang muk min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara merek a) yang benar-benar

saleh, Mak a tidak ada k ek hawatiran terhadap merek a dan tidak (pula) merek a bersedih hati. Sesungguhnya k amu dapati yang paling dek at persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berk ata: “Sesungguhnya k ami Ini orang N asrani”. yang demik ian itu disebabk an Karena di antara merek a itu (orang-orang Nasrani) yang demik ian itu k arena diantara merek a terdapat terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) Karena Sesungguhnya merek a tidak menymbongk an diri.

27 E tienne Gilson, Tuhan di Mata Para Filsuf, (terj) Silvester Goridus Sukur (Bandung: Mizan. 2004), 168. Dalam buku ini ditulis

mengenai pendekatan Imamnuel Kant dan Auguste Comte tentang pengetahuan.

28 Al-Faruqi, “Islam and Christianty : Diatribe or Dialogue” dalam Jurnal of E cumenical Studies, Vol. 5 No. 1 Winter. 1968, 45. 29 Ibid., 49.

30Terma h} ani> f identik dengan “agama tanpa nama” seandainya hal ini diartikan secara harfiyah dengan terma A nonymous

(9)

Hubungan yang dimaksud di sini meliputi hubungan yang bernuansa positif dan bernuansa negatif, yaitu dalam pengertian kritik. Proses kritik kelihatan berjalan dengan baik, karena tiga agama, Yahudi, Kristen dan Islam, merupakan tiga agama yang bersaudara, yang sudah barang tentu bertugas saling mengingatkan. Dalam paradigma inklusif, kritik adalah sesuatu yang penting dilakukan. Hal ini berbeda dengan paradigma pluralis yang bersifat lebih “membiarkan”. Oleh sebab itu tidak salah jika seorang guru Agama Islam memasukkan ayat-ayat (teks) yang mengkritik keyakinan dan sikap penganut Kristen dan Yahudi sebagai dasar hubungan agama-agama. Kritik di sini tidak dipahami sebagai sebuah cacian hinaan maupun sebuah vonis, akan tetapi lebih merupakan sebuah peringatan yang menantang untuk melakukan dialog. Di samping menjelaskan wahyu melalui pendekatan rasional sebagai bukti otentik hubungan antara agama, unsur normatif pendidikan Islam juga bisa memusatkan kajiannya terhadap

apa yang disebut oleh al-Qur’a> n sendiri sebagai h} ani> f29, yang dipandang sebagai sebuah perkembangan

pemikiran dan cenderung filosofis. Terma h} ani> f merupakan terma yang banyak ditemui dalam

al-Qur’a> n, bahkan bisa dijadikannya sebagai “alat perekat” hubungan berbagai agama dalam sejarah. Di

sini perlu digambarkan h} ani> f sebagai orang yang bersandar kepada tradisi Ibrahim, menolah

tuhan-tuhan palsu (shirk), menolak tradisi pa gan, cinta kepada pengetahuan dan penemu kebenaran. Semua

ini merupakan ciri khas kebenaran sebuah agama. Terma h} ani> f dijadikan alat perekat terhadap

berbagai tradisi keagamaan atau sebagai titik temu antara agama-agama Semitik, dan karenanyalah isu-isu besar tentang kesatuan kebenaran dalam agama-agama akan mungkin diwujudkan. Berbeda memang dengan pemikiran pluralis yang didasari oleh tradisi perenial yang lebih memusatkan perhatiannya kepada aspek esoteris agama-agama sebagai muara bertemunya kebenaran masing-masing. Pengakuan Islam terhadap Tuhan agama Yahudi dan agama K risten sebagai Tuhannya sendiri, pengakuannya terhadap nabi-nabi mereka sebagai nabinya sendiri, komitmennya dengan ajakan Ilahi terhadap ahli kitab untuk bekerjasama dan hidup bersama di bawah genggaman Allah, merupakan satu-satunya langkah yang pertama dan nyata menuju persatuan dari dua agama dunia yang besar.

K aren Armstrong mengatakan: dikatakan h} ani> f sebagai tradisi Ibrahim berarti menyingkirkan semua

pandangan khusus tentang Tuhan dan berpegang teguh pada sebuah keimanan yang murni dan tidak

bercampur dengan konsep apa pun30.

Bersamaan dengan h} ani> f, paham monoteisme dan etika agama pra Islam Arab, Yahudi, Nasrani

dan Islam membentuk sebuah kesadaran agama yang esensi dan pusatnya satu. Kesatuan agama-agama ini, dengan mudah, dapat ditemukan para sejarawan dalam kebudayaan Timur Dekat Purba. Yang demikian masih berbekas dalam literatur-literatur kuno, dan kesamaan tradisi tersebut didukung oleh kesatuan geografi, bahasa (Semit) dan kesatuan ekspresi artistik mereka31.

Kesatuan kesadaran agama Timur Dekat ini terdiri dari 5 (lima) prinsip utama yang sekaligus mencirikan tradisi penduduknya. Lima prinsip tersebut diringkaskan sebagai berikut:

First: The reality of God’s existence, the distinct pisition of Creator from His creatures, unlik e the atributes of A ncient E gypt and A ncient Greece on one side, and Hinduism dan Taoism on the other.. Second: The

kelihatan sama, kendati al-faruqi mengatakan berbeda. Menurutnya, hanif adalah kategorisasi yang dibuat al-Qur’a> n, sedangkan

Kristen tanpa nama adalah hasil sebuah intelektualisasi manusia (teologi modern).

31 K aren Amstrong, A History of God : the 4000 Year Quest of Judaism. Christianty and Islam (New York : Ballantine Books, 1993),

165.

(10)

3 2 9

purpose of man’s creation is neither God’s Self-contemplation nor man’s enjoyment, but unconditional service of God on eart, His own ‘mannor’.. Third: The relevance of Creator to creature, or the Will of God is the content of revelation and it is expressed in terms of law, of ought an moral imperatives.. Fourth: Man, the servant, is master of the ‘mannor’ under God, capable of transforming it through his own efficacious action into what God desire it to be.. Fifth: Man’s obedience to and fulfillment of the Divine commands result in happiness and felicity, opposite of which is suffering32.

Prinsip-prinsip ini membedakan antara orang-orang Arab dari lainnya di seluruh dunia. Semua ini merupakan dasar tempat bersatunya agama Yahudi, Nasrani dan Islam, sekaligus membuat mereka menjadi sebuah gerakan dalam sejarah kemanusiaan kendati mereka berbeda. Kesatuan kesadaran keagamaan dan kultur semitik tersebut bukan pengaruh tradisi Mesir Kuno (1465-1165 BC), tidak juga oleh orang-orang Philistin, bangsa Hitti, K assit dan orang Aria, yang juga sebenarnya telah mengalami Semitisasi dan asimilasi (semitized dan assimilated) lewat penaklukan para militer mereka.33

D alam teori progresif agama-agama tersebut, apakah dapat dikatakan satu agama yang belakangan adalah pinjaman dari yang sebelumnya? Al- Faruqi, seorang tokoh Islam, pernah mengkritik Barat yang sering mengatakan Islam telah banyak meminjam dari tradisi Yahudi dan Kristen. Dia mengatakan ko-eksisten dan penyamaan berbagai tradisi agama, tidak dipandang sebagai saling meminjam. Dia menekankan bahwa adalah suatu yang naif dan memalukan untuk menggunakan istilah “pinjam meminjam” di antara dua gerakan besar, yang di dalamnya juga ditemukan kelanjutan dan perbaikan terhadap pendahulunya. Yang aneh lagi, menurut Al-Faruqi, kebanyakan sarjana Barat justru tidak pernah mengatakan bahwa Kristen sebagai pinjaman dari Yahudi, Buddha pinjaman dari Hindu dan Protestan pinjaman dari K atholik. Demikian Islam menyebutnya identik dengan Yahudi dan Kristen,

tetapi tetap direformasi dari penyimpangan-penyimpangan yang pernah terjadi.34

Berdasarkan bacaan terhadap ayat-ayat al-Qur’a> n, agama-agama lain bisa dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu:

(1) Agama Yahudi dan Nasrani (Kristen)

(2) Seluruh bentuk agama/kepercayaan masyarakat yang dipandang sebagai sebuah ekspresi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan

(3) Manusia secara umum (Humans Uberhaupt)

Hubungan Islam dengan agama-agama lain tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Islam memberikan status istimewa kepada agama Yahudi dan Nasrani. Hal ini karena secara tekstual al-Qur’a> n menyebut kedua agama tersebut agama Tuhan. Para pendiri agama ini adalah Ibrahim, Musa, Daud dan Isa sebagai nabi-nabi Tuhan dan kitab-kitab yang mereka bawa seperti, Taurat, Injil, dan Zabur juga merupakan wahyu Tuhan. Untuk alasan ini, ia mengutip ayat-ayat al-Qur’a> n di bawah ini.35

Jadi, secara teologis, penghormatan Islam terhadap agama Yahudi dan Nasrani, pendiri dan kitab

Historical A tlas of The Religious of the World (New York: Mcmillan Co. 1974).

33 Lihat al-Faruqi, Historical A tlas dalam pembahasan “The Ancient Near E ast”, 1-34. 34 Ibid., 76.

35 Ibid., xx.

36Surat al-Ankabut ayat 46: “Tuhan k ami dan Tuhan k amu adalah satu dan k ami hanya k epada-Nya berserah diri”. Surat al-Shura ayat

15 yang menyatak an: “A k u beriman k epada semua k itab yang diturunk an A llah dan ak u diperintahk an agar berlak u adil diantara k amu. A llah Tuhan k ami dan Tuhan k amu. Bagi k ami perbuatan k ami dan bagi k amu perbuatan k amu. Tidak perlu ada pertengk aran antara k ami dan k amu. A llah mengumpulk an antara k ita dan k epada-Nya lah k ita k embali”.

(11)

sucinya bukanlah sebuah penghormatan biasa, akan tetapi atas dasar kebenaran agama-agama tersebut, bahwa semua juga dari Tuhan yang sama. Islam memandang agama-agama tersebut tidak hanya sebagai pandangan yang lain yang harus dihadapi dengan toleran, akan tetapi sebagai agama yang sah atas kebenaran dari Tuhan. Dengan demikian, statusnya yang sah tidaklah dalam pengertian sosial politik, budaya atau peradaban, akan tetapi keagamaan. Oleh karena itu, Islam dipandang begitu unik, karena tidak ditemukan agama lain di atas dunia ini yang percaya kepada kebenaran agama lain sebagai syarat

utama pada kebenaran kepercayaan agamanya dan kesaksiannya.36

Secara konsisten, Islam melanjutkan dan mengakui kebenaran agama Yahudi dan Nasrani dalam mengidentifikasikan diri dengannya. Di sini ditemukan sebuah hubungan teologis dan ideologis yang erat antara Islam, Kristen dan Yahudi, yaitu tiga agama ini mengakui Tuhan yang satu. Pengakuan bersama ketiga agama tersebut atas Tuhan yang satu membawa konsekuensi bahwa wahyu dan agama-agama ini pada hakikatnya satu. Islam tidak memandang dirinya lahir dari kondisi keagama-agamaan yang

kosong (ex nihilo), tetapi sebagai penegasan kembali atas kebenaran yang pernah datang lewat para

nabi sebelumnya. Mereka semua dipandang Muslim, dan wahyu mereka satu dan serupa dengan wahyu Islam. Dalam menerjemahkan Hadith Nabi Muhammad SAW. tentang kelahiran manusia yang fitrah, ia menulis: A ll men are born Muslims (in the sense of being endowed with religio naturalis). It is their parents (tradition, history, culture, nurture as opposed to nature) that turn them into Christians and Jews. On this level of nature, Islam holds the believer and non-believer as equal partak ers of the religion of God.37

Apresiasi Islam terhadap agama lain, seperti yang terlihat dalam perspektif teologis di atas, dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap hubungan antara penganut agama-agama dalam perspektif

Islam. Yang demikian dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, pernyataan tersebut memberikan

dasar yang baik bagi sebuah ek umene dunia di bidang keagamaan, yang di dalamnya agama-agama saling

menghormati klaim masing-masing, tanpa membantah klaim mereka sendiri. Kedua, pandangan ini

akan memberikan suatu dasar yang sah untuk mencari kesatuan agama-agama yang diperuntukkan bagi umat manusia. Jika dialog agama yang diinginkan bukan hanya sekedar basa-basi atau saling tukar informasi, maka dialog itu harus mempunyai sebuah norma keagamaan yang dapat mendamaikan berbagai perbedaan di antara agama-agama. Penganut sebuah agama yang terlibat dalam sebuah dialog agama harus memiliki norma tersebut dan selalu memosisikan diri di atasnya. Islam menemukan norma

ini di dalam agama fit} rah. D engan norma ini pihak-pihak yang mengikuti dialog merasa merdeka

untuk menghadapi tradisi-tradisi agama historis lainnya. Jadi, tidak ada ide yang lebih merangsang kemerdekaan ini daripada ajaran Islam, bahwa suatu tradisi agama adalah sebuah perluasan manusiawi

dari agama fitrah yang primal itu. Ketiga, pandangan ini sangat erat hubungannya dengan agama lain,

terutama Yahudi dan Kristen yang tidak dianggapnya sebagai “agama-agama lain” akan tetapi sebagai dirinya sendiri. Pengakuannya terhadap Tuhan agama Yahudi dan Kristen sebagai Tuhannya sendiri, pengakuannya terhadap nabi-nabi mereka sebagai nabinya sendiri, dan komitmennya terhadap ajakan

Surat al-Baqarah ayat 140:

“A tauk ah k amu (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berk ata bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani? Katak anlah: “Kamuk ah yang lebih tahu atau A llah?”.”

Surat Ali Imran ayat 84:

(12)

membeda-3 membeda-3 1

Ilahi terhadap ahli-ahli kitab untuk bekerjasama dan hidup bersama di bawah sabda Allah merupakan satu-satunya langkah yang nyata menuju persatuan dari tiga agama besar dunia tersebut. Di samping dua agama Yahudi dan Nasrani, secara normatif Islam juga sudah membina hubungan dengan tradisi. Cara yang ditempuh untuk mendekatkan pengikut agama-agama lain kepada Islam mungkin berbeda dengan cara yang ditempuh terhadap agama Yahudi dan Nasrani. Ini bisa saja terjadi, terutama seorang guru kesulitan dalam melacak cerita wahyu (sejarah sakral) tentang hubungan Islam dengan penganut agama selain Yahudi dan Nasrani tersebut. Ada cara praktis yang bisa ditempuh, seperti halnya yang dilakukan Al-Faruqi, yaitu dengan mengajukan konsep yang ia sebut ‘fenomena kerasulan’, kendatipun sebenarnya, secara tekstual, al-Qur’a> n menyebut golongan-golongan lain seperti: orang-orang Sabiin,

orang Majusi, ‘Ad dan T hamud.38 Hal ini dilakukannya, paling tidak, atas dasar bahwa di samping

golongan-golongan tersebut tidak dikelompokkan kepada agama-agama Ibrahim, juga data atas golongan tersebut relatif sulit ditemukan. Menurut Al-Faruqi, fenomena kerasulan itu universal, ia berlangsung melewati semua ruang dan waktu. Al-Qur’a> n surat al-Isra> ’ ayat 15 menyebutkan: Barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk Allah, maka sesungguhnya itu untuk keselamatan dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum K ami mengutus seorang rasul. Jadi fenomena kerasulan itu sebenarnya merupakan konsep yang mengandung pengertian bahwa pada setiap umat, Tuhan mengutus seorang nabi untuk membimbing

mereka. Sebagian para nabi itu diketahui dan sebagian yang lain tidak.39

Penyampaian dan penyebaran perintah Tuhan yang demikian disebut sebagai fenomnea kerasulan. Sarana pemersatu umat beragama di sini tidak dilihat dari geneologi agama-agama dan pernyataan Tuhan secara tekstual, akan tetapi dilihat dari pesan semua nabi itu sama. Menurut Al-Faruqi, universalitas dan absolusitas yang egaliterian ditemukan dalam konsep tersebut. Fenomena kerasulan itu bukan hanya dipandang universal, tetapi isi dari masing-masing juga harus dipandang sama secara mutlak. Islam mengajarkan bahwa ajaran para nabi yang ditemukan pada setiap waktu dan tempat pada dasarnya adalah satu. Tuhan tidak pernah membeda-bedakan utusan-Nya, sebab, jika hukum-hukum Tuhan yang disampaikan kepada umat itu berbeda-beda pada setiap tempat, maka fenomena

bedak an seorangpun diantara merek a dan hanya k epada-Nya k ami berserah diri.”

Surat al-Nisa> ’ ayat 163: “Sesungguhnya Kami mewahyuk an k epadamu (Muhammad) sebagaimana k ami telah mewahyuk an k epada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan k ami telah mewahyuk an pula k epada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan k ami berik an Zabur k epada Dawud.”

Surat Ali Imran ayat 2 dan 3: “A llah, tidak ada Tuhan selain Dia.Yang Maha Hidup, Yang terus-menerus mengurus mak hluk -Nya. Dia menurunk an A l-Kitab (A l_Qur’an) k epadamu (Muhammad) yang mengandung k ebenaran, membenark an k itab-k itab sebelumnya dan menurunk an Taurat dan Injil.”

Surat Al-Maidah ayat 69:”Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, barang siapa beriman k epada Allah, k epada hari k emudian dan berbuat k ebajik an, mak a tidak ada rasa k hawatir padanya dan merek a tidak bersedih hati.”

37 Ibid., 75.

38 Al-Faruqi, “Islam and Christianty, 94. 39al-Qur’a> n Surat al-Hajj ayat 17 dan 42

(13)

kerasulan itu akan kurang efektif. Dari pandangan tersebut, secara doktrinal-teologis, dapat dipahami bahwa Islam memiliki akar yang kuat untuk melihat adanya hubungan yang erat antara setiap umat manusia yang mengaku dirinya beragama, yang menurutnya juga atas dasar kebenaran wahyu. Mereka juga disebut muslim dan harus dihormati sebagai manusia yang memiliki kebenaran, kewajiban, tanggung jawab sistem peribadatan yang semuanya ditujukan kepada Tuhan. K arena kebenaran hubungan ini bersumber dari informasi wahyu, tidak ada sarana lain yang memperteguhnya kecuali iman sebagai sebuah sikap yang tidak menuntut pembuktian. Di samping membina hubungan dengan kelompok umat yang disebut beragama, Islam juga dasar normatif tersebut dapat dilihat dari Hubungan Islam

dengan Umat Manusia (all Humans Uberhaupt).

Dalam pandangan berikutnya, Islam menetapkan adanya hubungan dengan manusia secara umum, sekalipun mereka ini disebut sebagai umat tidak bertuhan (areligionists dan atheist), yakni atas dasar adanya tanggung jawab untuk mengembalikan mereka sebagai anggota integral masyarakat, manusia

universal. Di atas akar inilah ditemukan raison d’etre penciptaan manusia. Dinyatakan dalam surat

al-Baqarah ayat 30: D an (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Mereka berkata: “Apakah E ngkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman: “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Oleh karena manusia dalam al-Qur’a> n dipandang sebagai khalifah, maka secara adikodrati dan teologis, seorang Muslim wajib melaksanakan tugasnya untuk memperbaiki alam, termasuk menjaga dan melestarikan hubungannya dengan manusia lain. Menjaga hubungan di sini tidak berdasarkan tuntutan sosial, akan tetapi atas dasar perintah Tuhan. Jadi, dalam perspektif ini, menjaga keselarasan hidup umat manusia, membantu dan menjaga hak orang lain dipahami dalam kerangka teologis. Doktrin tentang kesatuan eksistensial yang timbul dari keesaan Tuhan, membiarkan sesuatu pada posisinya masing-masing, tetapi melihatnya sebagai satu kesatuan. K eseluruhan masyarakat manusia merupakan bagian dari keharmonisan global. Dalam gambaran tersebut di atas, umat tersebut merupakan satu kesatuan. Jadi dengan pandangan tersebut, era teologis normatif ternyata dapat melahirkan kesadaran akan adanya keteraturan. Keteraturan sosial adalah keteraturan masyarakat dalam mendapatkan hak dan kewajiban yang sama, sehingga dapat menjamin kehidupannya sebagai manusia. Ide ketuhanan bukan tidak bisa menjadi justifikasi untuk faham-faham modern, seperti: humanisme, demokrasi, kesamaan dan kebebasan.

Penutup

(14)

3 3 3

yang secara hukum alam punya budaya sendiri-sendiri. Salah satu Pekerjaan Rumah (PR) yang mendesak dikerjakan adalah mengkaji ulang mata-mata pelajaran seperti kurikulum Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), atau yang terkait dengan proses pembelajaran mata pelajaran tersebut di kelas. Sering ditemukan dalam pembelajaran SK I ini ialah bahwa sejarah Islam itu selalu saja dimulai dari periode Nabi Muhammad, tanpa melihat pada genetika maupun sejarah pada nabi (Musa, Isa) yang membawa agama besar lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani.

Daftar Rujukan:

Ahmed, Akbar S. L iving Islam, from Samark and to Stornoway. New York: Fact on File Inc., 1994.

Amstrong, K aren. A History of God: the 4000 Year Quest of Judaism. Christianty and Islam. New York : Ballantine Books. 1993.

Al-Faruqi. Historical A tlas of the Religions of the World.> New York: the MacMillan Co., 1974.

———————. “Islam and Christiany: Diatribe or Dialogue” dalam Journal of E cumenical Studies,

volume 5, no. 1, winter, 1968.

Al-Faruqi, Ismail Raji. “On the Nature of Islamic Da’wah” dalam International Review of Mission, Vol.

LXV. No. 260 October 1976.

———————. “The Role of Islam in Global Inter-Religious Defendence” dalam Makalah Siddiqui.

Islam and Other Faiths. Horndon USA: The International Institute of Islam Thought, 1998. Gilson, E tienne. Tuhan di Mata Para Filosuf, (terj) Silvester Goridus Sukur. Bandung: Mizan, 2004.

Gollnick, Donna M dan Phillip C. Chinn, Multicultural E ducation in a Pluralistic Society, edisi ke-5. New

Jersey, Columbus: Merril an Imprint of Prentice Hall, 1998. Ismail. The Cultural Atlas of Islam. New York : Mcmillan, 1986.

Yani, Muhammad Turhan. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi

Umum. Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam “E l-Jadid,” Malang: Program Pascasarjana UIN Malang

Vol. 10 No. 03 2004.

Kimball, Charles. K ala Agama Jadi Bencana. Bandung: Mizan, 2004.

Komaidi, Didik. “Pendidikan Agama di Tengah Pluralisme Bangsa dari Paradigma E ksklusif ke Inklusif,”

dalam Bunga Rampai Pendidik an A gama Islam, Afif HM dan Haidlor Ali Ahmad (E d). Jakarta:

Balitbang Agama Depag RI, 2005.

Levy, Jack. “Multicultural E ducation and Democracy in the United States”. Makalah pada International Seminar on Multicultural E ducation Cross Cultural Understanding for Democracy and Justice. Yogyakarta 26- 26 Agustus 2005.

Naim, Ngaimun. “Krisis Moralitas dan Tanggungjawab D unia Pendidikan”. MPA E disi Juli 2004.

Surabaya : 2004.

Riberu, J. Pendidik an. Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta : K anisius, 2000.

Salim, Agus. “Menawarkan Konsep Tauhid sebagai Solusi Problematika Pendidikan Agama pada Siswa

di Madrasah Aliyah” dalam Bunga Rampai, Pendidik an A gama dan Keagamaan, Afif HM dan Ahmad,

Haidlor Ali (eds). Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Depag RI, 2005). Saridjo, Marwan. “Pendidikan Agama Membentuk Manusia Takwa dan Menghilangkan Dikotomi”,

dalam Bunga Rampai Pendidik an A gama Islam, Marwan Saridjo (E d). Jakarta: Balitbang Agama

Depag RI, 1999.

Sindo, Asril DT. Paduko. “Konsep islam tentang fitrah manusia dan implikasinya dalam pendidikan”,

(15)

dalam Didak tik a Islamik a, Jurnal Keislaman, Kependidik an dan Kebahasaan, Vol. 1 No. 3 Agustus 2000.

Tilaar, H.A.R. “Multicultural E ducation and Its Challenges in Indonesia,” Makalah pada International

Seminar on Multicultural E ducation Cross Cultural Understanding for Democracy and Justice. Yogyakarta 26- 26 Agustus 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Layanan Pengadaan Kementerian Perindustrian mengumumkan ipemenang untuk ー・ォ・セ。。ョ@ Lelang Ulang..

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga

Praktik mengajar ke-4 ini dirancang dengan model pembelajaran kontekstual dengan metode ceramah dan tanya jawab dengan alokasi waktu 1 x 45 menit. Adapun materi untuk pertemuan ke-4

[r]

[r]

petrografi yang akan memberikan data yang lebih detil, akan diberikan informasi mengenai jaringan pori, tekstur batuan, komposisi kimia, komposisi mineral (%) dari

Pada dasarnya tidak ada air yang 100% murni dalam arti sesuai dengan benar dengan syarat air yang sesuai untuk kesehatan, maka biar bagaimanapun harus diusahakan air yang ada

The changes in the participation rate are related to the growth in part-time work, the changing shift in the industrial and occupational composition of new jobs (and the