• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Religiusitas dengan Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental T1 802007090 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Religiusitas dengan Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental T1 802007090 BAB I"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang

Setiap orang selalu mengharapkan kehidupan yang bahagia. Salah satu bentuk kebahagiaan itu adalah memiliki anak yang sehat dan normal, baik secara fisik maupun mental. Tetapi tidak sedikit orangtua yang dikaruniai anak yang tidak normal. Anak-anak tidak normal dapat juga dikatakan sebagai anak cacat atau yang lebih familiar di kehidupan masyarakat adalah anak berkebutuhan khusus (ABK). Mereka yang disebut anak berkebutuhan khusus ini berbeda dari kebanyakan anak karena diantara mereka memiliki kekurangan seperti keterbelakangan mental, kesulitan belajar, gangguan emosional, keterbatasan fisik, gangguan bicara dan bahasa, kerusakan pendengaran, kerusakan penglihatan, ataupun memiliki keberbakatan khusus. Beberapa karakteristik ini dapat menghambat anak berkebutuhan khusus mengembangkan diri secara optimal. Dalam hal ini retardasi mental atau keterbelakangan mental dapat dijadikan contoh dalam karakteristik anak berkebutuhan khusus yang memang dapat menghambat anak untuk mengembangkan diri (Mangunsong, 2012).

(2)

DSM-IV-TR (2000) juga menjelaskan mengenai beberapa klasifikasi retardasi mental yaitu: Retardasi mental ringan (IQ 50-55 hingga 70), penderita retardasi mental ringan merupakan kelompok dari penderita retardasi mental yang tidak memperlihatkan kelainan fisik mencolok. Retardasi mental sedang (IQ 35-40 hingga 50-55), adalah mereka dengan kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat ketrampilan motorik normal, seperti memegang dan mewarnai di dalam garis serta ketrampilan motorik kasar seperti berlari dan memanjat. Retardasi mental berat (IQ 20-25 hingga 35-40), mereka memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensor motor. Retardasi mental sangat berat (IQ di bawah 20-25) sebagian besar dari mereka memiliki abnormalitas fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan sendiri kemanapun.

Dalam pengklasifikasian seperti di atas, jelas terlihat yang banyak menuntut perhatian dari banyak pihak ataupun orang tua dari anak retardasi mental adalah retardasi mental sedang sampai dengan retardasi mental sangat berat. Peran dan ketahanan orang tua khususnya ibu akan lebih besar bila mereka memiliki anak dengan kondisi retardasi mental sedang sampai dengan retardasi mental sangat berat dibandingkan dengan anak retardasi mental ringan. Hal ini dikarenakan kondisi psikis dan fisik anak retardasi mental sangat lemah dan memang membutuhkan penanganan khusus sehingga peran orangtua akan dilibatkan secara optimal.

(3)

anaknya. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi perkembangan anak tersebut Oleh sebab itu diperlukan penerimaan diri dan ketahanan yang lebih dari orang tua untuk merawat, supaya anak yang cacat dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga dapat diterima oleh lingkungan sosialnya (Desi Warih, 2004).

Menurut Hurlock (1956) orangtua yang menerima anaknya akan menempatkan diri dalam suatu posisi yang penting di rumah dan orang tua akan mengembangkan suatu hubungan emosional yang hangat dengan anaknya. Secara khusus, dalam sebuah keluarga, ibu adalah sosok yang memiliki peran yang sangat besar dan penting dalam proses tumbuh kembang anak. Kepada ibu, anak pertama kali berinteraksi. Ibulah yang paling dekat dengan anaknya.

Menurut Moeljono dan Latipun (2001) ibu yang menyusui anaknya pada dasarnya adalah melatih anak dalam proses sosialisasi. Ibu juga memiliki peranan penting dalam perkembangan emosi dan rasa simpati dalam memupuk sense of belonging pada anaknya ini akan memperkuat perasaan anak untuk hidup bermasyarakat. Selain itu peran ibu dalam pendidikan anak tidaklah tergantikan. (Surat Ibu kepada Putranya, 2011). Peran wanita sebagai seorang ibu merupakan sumber stres sendiri, dan stres itu akan semakin besar jika ibu memiliki anak penyandang cacat (Bania, 2008). Stres pada ibu yang memiliki anak penyandang cacat, khususnya retardasi mental berhubungan dengan masalah perilaku anak. Hal ini diperkuat oleh Walker (1989) bahwa permasalahan perilaku penyandang retardasi mental dapat menyebabkan ibu mengalami stres.

(4)

mental baik beban secara fisik, psikis dan sosial. Menurut Friedrich (dalam Perry, 2004) bahwa salah satu beban fisik penyebab stres pada ibu dari anak retardasi mental berkaitan dengan ketidakmampuan anak dalam melakukan aktivitas sehari-hari membuat ibu harus selalu membantu dan mendampingi anaknya. Hal itu tentu saja menyebabkan ibu mengalami kelelahan fisik. Sedangkan beban psikis yang dirasakan ibu, berkaitan dengan proses penerimaan mulai dari rasa kaget, kecewa, rasa bersalah atas kondisi anak, serta ada tidaknya dukungan dari keluarga.

Ada faktor yang dirasa dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya tingkat stres pengasuhan khususnya pengasuhan ibu yang memiliki anak retardasi mental yaitu jaringan sosial dan dukungan, problem solving dan coping skill, dan religious affiliation (Johnston dkk, 2003). Dalam hal ini religious affiliation dapat dilakuan dengan cara lebih mendekatkan diri pada Tuhan melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keagamaan (dalam Faridi, 2002). Dengan mendekatkan diri pada Tuhan, seseorang akan senantiasa merasa tentram, tenang, penuh pertimbangan dan perhitungan yang matang, ikhlas, sabar dan lapang dada (Adz-Dzaky, 2002).

(5)

ketegangan-ketegangan akibat permasalahan yang dirasakan berat dan menekan. Hal itu sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Kumar (2008) bahwa dalam mengatasi stres pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan mental dipengaruhi oleh sumber daya/kualitas pribadi orang tua, meliputi kesehatan fisik, moral yang baik, kepercayaan/religiusitas, pengalaman dalam menangani masalah, ketrampilan pengasuhan, kecerdasan, dan karakteristik kepribadian orang tua.

Dalam konsep religiusitas, penghayatan dan pelaksanaan terhadap nilai-nilai keagamaan secara menyeluruh akan memunculkan ketenangan batin sehingga mampu meningkatkan daya tahan seseorang dalam mengatasi ketegangan-ketegangan akibat permasalahan yang dirasakan berat dan menekan (Adz-Dzaky, 2002). Daya tahan yang dimaksudkan dalam hal ini berkaitan dengan definisi dari resiliensi itu sendiri yaitu kemampuan yang dimiliki individu untuk mampu bertahan dan berkembang secara positif dalam situasi yang penuh tekanan (Davis, 1999). Adapun definisi resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002) yaitu kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya.

(6)

analysis, empathy, self-efficacy dan reaching out. Masing–masing individu memiliki kekuatan yang berbeda–beda pada setiap faktor (Reivich and Shatte, 2002). Perbedaan kekuatan pada setiap faktor resiliensi yang terdapat pada masing-masing individu akan mempengaruhi kemampuan resiliensi seorang individu.

Resiliensi itu sendiri pun sepenuhnya berada dalam kontrol individu dan kemampuan ini dapat dikuasai oleh individu manapun melalui proses latihan (Reivich and Shatte, 2002). Ketika seorang ibu yang memiliki anak retardasi mental terus menerus berusaha untuk meningkatkan kemampuan tujuh faktor resiliensi yang ada pada dirinya, maka bersamaan dengan itu kemampuan resiliensi yang dimiliki dengan sendirinya akan meningkat.

Resiliensi tidak hanya ditekankan pada hasil akhir yang positif mengenai individu yang mampu bertahan dan pada akhirnya mampu berkembang secara positif. Resiliensi juga harus dilihat secara utuh sebagai proses, dengan melihat faktor-faktor pendukung yang berkontribusi dalam membentuk seorang individu yang resilien (Hjemdal, 2007). Tentunya mustahil bagi seorang ibu yang memiliki anak retardasi mental untuk menjadi resilien tanpa sebelumnya terdapat sebuah proses yang didalamnya melibatkan faktor-faktor pendukung baik yang datang dalam individu tersebut maupun dari lingkungan.

(7)

yang ditandai adanya pertalian diantara anggota keluarga; (3) jaringan sosial eksternal yang mendukung dan memperkuat cara coping yang adaptif.

Dalam hal ini ada beberapa contoh penelitian sebelumnya yang lebih menitikberatkan pada poin ke-2 dalam faktor-faktor protektif yaitu keluarga yang stabil dan memberikan dukungan yang ditandai adanya pertalian diantara anggota keluarga. Seperti contoh dalam penelitian King, King, Rosenbaun, dan Goffin (1999) yang melakukan penelitian mengenai hubungan antara perhatian dengan kesejahteraan pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental. Penelitian dilakukan pada 164 orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan mental. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa banyaknya perhatian yang diberikan oleh keluarga, merupakan prediktor yang kuat bagi kesejahteraan orang tua. King dkk, menyatakan bahwa hal ini merupakan salah satu bentuk resiliensi khususnya dalam keluarga.

Dari hasil penelitian tersebut, terlihat jelas bahwa peranan resiliensi juga berlaku dalam ruang lingkup keluarga. Pandangan yang sistematis mengenai resiliensi melalui konteks ekologis dan perkembangan mengidentifikasikan bagian-bagian yang dapat membuat suatu keluarga, khususnya peran sebagai ibu dapat menghadapi krisis secara lebih efektif dan tekanan secara persisten (Hawley & DeHaan, 1996).

Suatu bentuk ketahanan atau resiliensi bisa terlihat jelas dari tingkat religiusitas yang dimiliki individu. Hal ini karena faktor religiusitas berpengaruh penting dalam perilaku resiliensi tersebut. Sudah ada beberapa contoh penelitian yang meneliti tentang hubungan antara religiusitas dengan resiliensi, salah satu contohnya adalah dalam suatu penelitian yang berjudul “Faktor Protektif dan Faktor Resiko terhadap Dampak Psikologis pada

Penyintas Bencana Merapi” yang dilakukan oleh (Retnowati, 2011)

(8)

religiusitas dengan depresi dalam menghadapi para penyintas bencana merapi.

Dari contoh penelitian di atas, dapat dikatakan bahwa tingkah laku resiliensi yang muncul tentunya didasari oleh religiusitas yang kemudian berpengaruh pada tinggi atau rendahnya resiliensi. Dalam penelitian ini sendiri, penulis mengkhususkan pada hubungan religiusitas dan resilensi pada ibu yang memiliki anak retardasi mental. Penulis menemukan ada kesamaan karakteristik dari penelitian sebelumnya mengenai hubungan religiusitas dan resiliensi dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis sendiri. Karakteristik yang sama dalam kedua penelitian ini adalah kedua penelitian ini sama-sama membahas tentang adanya hubungan religisuitas dengan resiliensi yang dapat ditinjau dari permasalahan tingkat stres yang dialami pada masing-masing subjek dalam kedua penelitian ini, yaitu para korban penyintas bencana dan ibu dengan anak retardasi mental.

Jika dilihat dari fenomena yang ada di dalam masyarakat sendiri terdapat perbandingan dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa religiusitas dan resiliensi mempunyai hubungan positif yang signifikan. Sebagai contoh salah seorang ibu yang memiliki anak menderita retardasi mental menceritakan pengalamannya dalam sebuah pertemuan langsung dengan penulis.

“Mereka tidak tahu, bahwa ketika pertama kali saya menyadari anak saya memiliki kekurangan, ingin rasanya saya sembunyi di suatu

tempat dan tidak bisa diketemukan siapapun. Saya menghibur diri,

(9)

Dalam kutipan tersebut beliau tidak dapat menerima kehadiran anak yang mengalami kekurangan. Hal ini membuat beliau sering kali menyalahkan diri sendiri. Beliau dipenuhi oleh rasa bersalah atas kecacatan yang dialami oleh anaknya. Ia terkejut karena pada awal pemeriksaan medis terhadap janinnya tidak pernah menunjukan bahwa anaknya akan lahir cacat. Dalam kasus seperti ini, beliau mengalami proses penyangkalan yang cukup panjang hingga akhirnya ia dapat menerima kondisi anaknya. Proses penerimaan tersebut merupakan proses yang berat untuk dijalani oleh dirinya. Bila dilihat dalam rutinitas kesehariannya ia terbilang rajin mengikuti kegiatan keagamaan, contohnya rajin beribadah di gereja, rajin mengikuti kegiatan gereja, dan dia cukup terkenal di lingkungan gereja karena keaktifannya mengikuti kegiatan ibadah digereja. Namun dia tidak aktif untuk mengasuh anaknya yang mengalami retardasi mental. Anaknya dibiarkan sendiri dan hanya dititipkan di yayasan panti rehabilitasi anak cacat tanpa ikut serta dalam mengasuh.

Jelas terlihat bahwa orangtua seperti ini tidak memiliki ketahanan dalam mengasuh anaknya yang cacat walaupun rajin melakukan tugas dan tanggung jawab sebagai orang beragama. Fenomena seperti ini cukup menjadi bukti adanya pertentangan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa ada hubungan yang positif antara religiusitas dan resiliensi. Hal ini pun yang membuat peneliti semakin tertarik melakukan penelitian ini dan menjadikannya ciri khas dari penelitian ini sendiri.

B. Permasalahan penelitian

(10)

C. Tujuan Penelitian

Menemukan hubungan antara religiusitas dengan resiliensi pada ibu yang memiliki anak retardasi mental.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi yang lebih luas dalam bidang psikologi tentang hubungan antara religiusitas dan resiliensi pada ibu yang memiliki anak retardasi mental, khususnya Psikologi Perkembangan dan Psikologi Klinis.

2. Manfaat praktis

Referensi

Dokumen terkait

Kemandirian anak dengan retardasi mental yang tergolong cukup mandiri ini dapat disebabkan adanya pengetahuan orangtua yang baik tentang keadaan anak dengan

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah snowball sampling.Data penelitian diambil menggunakan skala resiliensi menggunakan skala Resilience Question yang

Variabel-variabel penelitian diukur dengan skala dukungan sosial teman sebaya yang disusun berdasarkan komponen-komponen dukungan sosial dari Cutrona (1994) dan

Alat ukur yang berupa skala psikologi ini terbagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu Skala Dukungan Sosial yang dimodifikasi berdasarkan komponen-komponen dukugan sosial dari

Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara Kompetensi sosial dengan Resiliensi siswa yang

Hasil yang didapat yaitu terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan penerimaan ibu dengan anak retardasi menal di SLB N Semarang.

Hasil Penelitian : Hasil uji Kendal Tau mengenai hubungan tingkat religiusitas dengan koping ibu didapatkan hasil p value 0,001 (p< 0,05) maka Ho ditolak dan Ha

Hasil penelitian, ditemukan bahwa masing-masing subjek orang tua mempunyai resiliensi yang berbeda selama membesarkan anak retardasi mental. Dalam aspek karakteristik