• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN AGUS MUSTOFA DALAM MEMAKNAI TAKDIR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN AGUS MUSTOFA DALAM MEMAKNAI TAKDIR."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Ushuluddin Dan Filsafat

Oleh

Puput Mar’athus Solichah NIM. E01212034

PROGRAM STUDI FILSAFAT AGAMA JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vii

Takdir merupakan suatu problematika keislaman yang menjadi pembahasan serius sejak awal munculnya aliran-aliran klasik seperti Qodariyah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah. Dengan berpegang teguh pada pendapat masing-masing aliran, takdir memiliki variasi definisi yang luas dalam pembahasannya. Perbedaan itu terbawa hingga menginspirasi para pemikir setelahnya. Meskipun begitu banyak pembahasan yang muncul sebagai jawaban atas problematika tersebut, takdir selalu menyisakan suatu titik di mana akal dan intuisi manusia berhenti pada suatu keburaman yang tidak terjangkau. Dalam karya ini, penulis berupaya mengkomparasikan pemikiran Muhammad Abduh sebagai tokoh reformis mesir, seorang mufti dan teolog yang pemikirannya tentang pembaharuan telah menginspirasi tokoh-tokoh setelahnya, dengan Agus Mustofa seorang penulis yang karyanya bertemakan tasawuf modern dalam pembahasan mengenai takdir. Dalam pengkomparasian ini termuat persamaan dan perbedaan yang akan memaparkan kesesuaian takdir dari kedua tokoh tersebut. Abduh yang notabene hidup dalam masyarakat yang taklid buta dan Agus yang mengangkat problematika keengganan masyarakat untuk berusaha sama-sama mencoba merumuskan formulasi antara pengoptimalan akal dan usaha manusia dalam menentukan takdir. Tentunya takdir ini tidak terlepas dengan ketetapan Allah.

(7)

x

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Definisi Konsep ... 12

G. Metode Penelitian ... 13

H. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II : BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN

(8)

xi

D. Latar Belakang Kehidupan Agus Mustofa ... 37

E. Karya–karya Agus Mustofa ... 39

BAB III : PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN AGUS MUSTOFA TENTANG TAKDIR A. Takdir dalam Perspektif dasar Keilmuan ... 41

B. Konsep-konsep Takdir Muhammad Abduh dan Agus Mustofa ... 49

BAB IV : ANALISA TAKDIR MENURUT MUHAMMAD ABDUH DAN AGUS MUSTOFA A. Persamaan ... 63

B. Perbedaan ... 68

BAB V : Penutup A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(9)

1 A. Latar Belakang

Gerakan pembaruan Islam yang dalam literatur hadis disebut tajdid muncul sebagai predikat seperti: reformisme, modernisme sampai dengan puritanisme, revivalisme dan bahkan fundamentalisme sebenarnya memiliki dasar kuat pada warisan pengalaman sejarah kaum muslimin. Di antara unsur penting dari warisan ini adalah landasan teologis yang mendorong munculnya gerakan-gerakan tersebut.1

Gagasan gerakan pembaharuan Islam yang muncul pada abad ke-sembilanbelas dan ke-duapuluh, umumnya menyuguhkan formula tentang bagaimana menghasilkan wacana keislaman yang responsif terhadap kebutuhan kehidupan modern di bidang politik, sosial, dan ekonomi, bahkan gagasan tentang doktrin-doktrin teologis dalam perspektif dan alternatif terhadap pembaharuan teologi itu sendiri.2 Gerakan pembaharuan ini juga menyesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama pada awal abad ke-sembilanbelas yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme,

1 Achmad Jainuri,Orientasi Ideologi Gerakan Islam: Konservatisme, Fundamentalisme,

Sekularisme, dan Modernisme(Surabaya: LPAM, 2004), 5.

2 Nurhadi, “Harun Nasution: Islam Rasional Dalam Gagasan dan Pemikiran”, Jurnal

(10)

demokrasi dan sebagainya. Semua itu merupakan produk akal manusia dan aktivitasnya yang kreatif itu tampil transformasif sosial kultural yang akibatnya juga terasa dalam kehidupan agama. Semua ini menimbulkan persoalan baru dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan baru tersebut.3

Paradigma yang mendasari proses pembaruan di dunia Islam terutama didasarkan pada argumen bahwa prinsip dasar Islam mengandung benih-benih agama rasional, kesadaran sosial dan moralitas yang bisa menjadi dasar kehidupan modern. Rasionalitas juga dilihat mampu menciptakan sebuah elit keagamaan yang bisa mengartikulasikan dan menafsirkan makna nilai-nilai Islam yang sesungguhnya dan karenanya memberikan fondasi bagi lahirnya masyarakat baru. Dalam melakukan reformasi pemikiran, Muhammad Abduh berusaha menyeimbangkan antara kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan mereka yang berlebihan dalam mengikuti Barat baik itu pada budaya dan disiplin ilmu yang mereka miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh Abduh dalam metode pembaharuannya: sesungguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari ikatan belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful umat terdahulu. Hal yang dimaksud dengan salaful umat di sini adalah kembali kepada sumber-sumber yang asli yaitu Al-Qur'an dan Hadis sebagaimana yang dipraktikkan oleh para salafus shaleh terdahulu.4

3 Siswanto, “Rekonstruksi Pendidikan Islam: Menimbang Pemikiran Muhammad

Abduh”,Jurnal Pendidikan Islam Tadris, Vol 4 No. 1 (2009), 2.

4 Nurlaelah Abbas, “Muhammad Abduh: Konsep Rasionalisme Dalam Islam”, Jurnal

(11)

Kecenderungan melihat Islam sebagai rujukan utama bagi pemecahan setiap persoalan merupakan orientasi ideologi penting di antara kaum Muslimin. Dalam konteks abad ke-sembilanbelas dan ke-duapuluh, sebab utama munculnya orientasi ini adalah persoalan kemunduran yang dialami umat, dan perlunya reformasi internal. Reformasi ini tetap berpegang pada tradisi Islam dan pada waktu yang sama menunjukkan bahwa upaya reformasi tidak hanya sah tetapi merupakan refleksi implikasi ajaran sosial Islam berdasarkan asumsi ini, Abduh, seorang modernis terkenal pada abad ke-duapuluh, memahami kondisi kaum Muslim pada zamannya dan mencoba menwarkan beberapa ide yang diharapkan bisa menjawab beberapa tantangan yang dihadapi oleh dunia Islam.5

Nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh bin Hassan Khair Ullah (lahir di Desa Mahallat Nashr, Provinsi Gharbiyah, Mesir, pada 1265 H/1849 M).6

Abduh adalah seorang sarjana pendidik, Mufti, ‘Alim, teolog dan pembaru. Dia kontroversial dalam konteks operasinya. Dia terus berpengaruh pada murid-muridnya maupun pada mereka yang menganggap komprominya dengan Barat sudah terlalu jauh. Dalam banyak hal, dia mencerminkan kehidupan dan komitmen Abu Hamid Al-Ghazali. Ajarannya sangat mengingatkan orang akan ajaran Al-Ghazali.7

Keterkaitan antara Abduh dan Barat sendiri muncul karena di masa Abduh dan gurunya, Al-Afghani hidup dunia Islam mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Dunia Islam tercabik-cabik oleh penjajah. Wilayah Islam yang 5Jainuri,Orientasi Ideologi,41.

6 Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema

Insani Press, 2006), 225.

7Yvonne Haddad,“Muhammad Abduh: Perintis Pembaruan Islam”, dalamPara Perintis

(12)

sebelumnya berada di naungan Khilafah Utsmaniyah dipetak-petak oleh bangsa-bangsa Eropa. Inggris menduduki Mesir, Sudan, Pakistan dan Bangladesh (India), Malaysia, serta Brunei. Prancis menduduki Aljazair, Tunisia dan Maroko. Italia mendapat bagian Libya. Sedangkan Indonesia jadi jajahan Belanda. Di samping kekalahan politik dan militer, pemikiran Islam juga mengalami kemandegan.8 Menurut Abduh, sebab kemunduran umat Islam adalah kejumudan yang terdapat di kalangan umat Islam. Dalam kata jumud terkandung pengertian membeku, statis, tidak ada perubahan. Sikap ini, menurut Abduh, dimasukkan ke dalam Islam oleh orang-orang non-Arab yang ingin merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Sebagaimana pemikiran Al-Afgani, Abduh juga berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bid’ah ke dalam Islam merupakan penyebab umat Islam melupakan ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk menghilangkan bid’ah itu, umat Islam harus kembali ke ajaran Islam yang sejati, sebagaimana pada zaman salaf, yaitu zaman sahabat dan ulama besar. Baginya kembali ke ajaran asli saja (seperti diajarkan Muhammad Abdul Wahhab) tidaklah cukup. Ajaran Islam harus dikembalikan kepada aslinya dengan interpretasi yang disesuaikan dengan keadaan modern. Untuk itu, pintu ijtihad perlu dibuka. Dengan sendirinya taklid (tunduk membabi-buta) kepada pendapat ulama tidak perlu dipertahankan.9

Pendapatnya tentang pemberantasan taklid dan pembukaan pintu ijtihad itu didasarkan atas keyakinannya terhadap kemampuan akal. Menurutnya, Al-Qur’an

8Herry,Tokoh-Tokoh Islam, 227.

9Ahmad Tafsir,Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran Dan Peradaban, vol 4, ed.

(13)

bukan berbicara kepada hati manusia, melainkan kepada ‘aql (akal) manusia. Amat menarik pendapatnya yang mengatakan bahwa iman seseorang tidak sempurna jika tidak berdasarkan akal. Hanya dalam Islam, katanya, agama dan akal untuk pertama kali menjadi pengikat tali persaudaraan. Akal adalah pembantu paling utama dan naql menjadi sendi paling kokoh. Kepercayaannya kepada kemampuan akal membawa Abduh kepada paham kebebasan berkehendak dan bertindak. Ini merupakan paham Qadariyah. Ia juga setuju dengan analisa yang mengatakan bahwa umat Islam mundur karena paham Jabariyah.10

Selain Abduh, ada seorang penulis aktif yang selalu menerbitkan buku-buku yang bertemakan serial tasawuf modern. Ia adalah Agus Mustofa. Agus adalah salah satu penulis buku yang banyak melakukan diskusi umum di masjid-masjid, kampus dan tempat-tempat lainnya dengan berbagai tema keislaman. Menurutnya salah satu kajian yang selalu membuat antusias setiap kali ia melakukan diskusi adalah persoalan takdir. Takdir ini selalu memunculkan ranah diskusi yang menarik, di mana pendapat setiap orang bisa berbeda-beda tergantung dari apa yang selama ini ia percayai. Semua bentuk fenomena keislaman masa kini dibahasnya kembali menggunakan perspektif tasawuf modern. Ia sendiri adalah seorang lulusan Teknik Nuklir Universitas Gajah Mada, Yogyakarta yang memiliki background keagamaan yang didapatkan dari keluarganya, terutama ayahnya.

Agus Mustofa lahir di Malang, 16 Agustus 1963. Ayahnya seorang guru tarekat yang intens, dan pernah duduk dalam Dewan Pembina Partai Tarekat

(14)

Islam Indonesia (DPPTI), pada zaman Bung Karno. Maka sejak kecil ia sangat akrab dengan filsafat seputar pemikiran tasawuf. Tahun 1982 ia meninggalkan kota Malang, Jawa Timur, dan menuntut ilmu di fakultas teknik, jurusan Teknik Nuklir, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.11

Agus merumuskan beberapa keyakinan mengenai takdir yang ia temukan dalam masyarakat. Ia menemukan tiga asumsi mengenai takdir ini. Pertama, ada yang berpendapat bahwa takdir mengikuti hukum sebab akibat. Karenanya sangat ditentukan oleh perbuatan manusia. Sedangkan yang kedua berpendapat,bahwa takdir adalah ketetapan mutlak dari Allah yang tidak bisa dipengaruhi oleh makhluk. Karena itu, tak akan pernah bisa diubah. Namun ada juga yang mengambil sikap di tengah-tengah, antara usaha dan ketetapan mutlak. Menurut pemahaman ini, takdir bisa diubah, seiring dengan proses kehidupan.12 Dalam

menyikap esensi takdir yang berkembang di masyarakat ini Agus berpedoman pada ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah pentunjuk yang sekaligus berisi penjelasan-penjelasan atas petunjuk itu. Agus, dalam salah satu buku yang telah diterbitkannya, menekankan pentingnya suatu ikhtiar atau usaha sebelum akhirnya takdir itu terjadi.

Orang-orang yang beruntung bakal sukses di dunia dan di akhirat kelak akan masuk surga. Itulah kemenangan yang besar, sedangkan orang-orang yang celaka akan menemui problematika hidup yang rumit di dunia, sedangkan di akhirat masuk ke dalam neraka. Itulah orang-orang yang kalah. Orang yang paling banyak berbuat kebajikan itulah yang menang, sedangkan yang sedikit

(15)

kebajukannya adalah orang yang kalah. Hadiah atau pahala adalah surga, sedangkan yang kalah dapat neraka. Orang-orang yang banyak melakukan ibadah juga disebut sebagai orang yang menang.13

Takdir berhubungan dengan kehendak Allah, namun bukan berarti manusia tidak dapat bertindak. Seperti halnya sebuah hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash, ia bercerita, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamubersabda:

Allah telah menetapkan takdir makhluk ini sebelum Dia menciptakan langit dan bumi dalam jarak waktu lima puluh ribu tahun. Dan ‘Arsy-Nya di atas air.”14

Hadis di atas juga menunjukkan bahwa penciptaan qalam (pena) lebih awal daripada penciptaan “Arsy.15Bahwa Allah memang telah menetapkan takdir bagi manusia, namun ia juga menganugerahkan akal pada manusia untuk berpikir. Bahwa dalam setiap takdir, di dalam juga mengadung ikhtiar dan doa. Bahwa meskipun ditakdirkan untuk menjadi buruk namun kita masih bisa berlaku baik.

Menurut Agus, takdir bukanlah nasib. Takdir adalah takdir yang ditetapkan oleh Allah dengan usaha manusia. Allah sangat menghargai hamba-hamba-Nya yang berusaha keras untuk mengejar kualitas hidup yang lebih tinggi, dan tidak suka kepada orang-orang yang lalai, bermalas-malasan, apalagi berputus asa.16

13Agus Mustofa, Mengubah Takdir (Surabaya: PADMA Press, 2005), 62.

14Diriwayatkan Imam Muslim dalam buku Shahih Muslim, juz IV, kitab Al-Qadar, hadits

no. 2044. Dan Imam Tarmidzi, juz IV, hadits no.2156. dan Imam Ahmad, juz II, 169.

15Ibnu Qayyim Al Jauziyah,Qadha Dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir(Jakarta:

Pustaka Azzam, 2007), 1.

(16)

Permainan hidup ini adalah sebuah permainan untuk berkarya sebanyak-banyaknya, bahkan berlomba-lomba dalam kebajikan. Tidak ada tempat untuk orang yang bermalas-malasan, yang pasrah, yang berdiam diri. Allah menghargai orang-orang yang berusaha dan bekerja keras untuk kesuksesan hidupnya.17

Allah mengajarkan konsep takdir agar manusia proposional dalam menyikapi akibat perbuatan manusia itu sendiri. agar tidak gembira berlebihan ketika memperoleh rahmat, dan agar tidak putus asa ketika gagal. Itulah salah satu tujuan diajarkannya konsep takdir.18

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang pemikiran Muhammad Abduh dan Agus Mustofa?

2. Bagaimana komparasi pemaknaan takdir antara Muhammad Abduh dengan Agus Mustofa?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian skripsi ini akan memuat tentang:

1. Memaparkan latar belakang pemikiran Muhammad Abduh dan Agus Mustofa.

2. Memaparkan komparasi pemikiran takdir antara Muhammad Abduh dan Agus Mustofa.

(17)

D. Manfaat Penelitian

a. Secara Teoretis

Penelitian skripsi ini diharapkan menambah wawasan keilmuan dalam mengkaji makna takdir yang sering menjadi diskusi menarik dalam sebuah diskursus. Pemikiran takdir yang diusung oleh Muhammad Abduh yang hidup pada zaman pembaharuan Islam, serta takdir yang telah diperbincangkan dalam diskusi menarik oleh Agus Mustofa dewasa ini. Tentunya harapan penulis adalah munculnya pemikiran baru yang berkaitan tentang pembahasan yang diulas oleh penulis ini.

b. Secara Praktis

Hasil penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi salah satu informasi dalam mengembangkan pemahaman tentang takdir berlandasakan pemikiran Muhammad Abduh dan Agus Mustofa yang diusung oleh penulis. Selain itu penulis berkeinginan agar pemahaman yang telah didapat setelah membaca skripsi ini membawa hal positif pada diri penulis dan pembaca dalam memaknai takdir. Ada pun penyusunan penelitian skripsi ini guna memenuhi syarat kelulusan dan memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S-1) dalam bidang ilmu ushuluddin dan filsafat, pada prodi Filsafat Agama UIN Sunan Ampel Surabaya.

E. Tinjauan Pustaka

(18)

kesamaan dalam memilih topik pengkajian, juga sebagai bahan pertimbangan dalam membuat sebuah penelitian yang lebih baik lagi. Ada pula beberapa penelitian tersebut yaitu:

Skripsi karya Saifur Rahman dari jurusan Aqidah Filsafat yang berjudul “Konsep Takdir Menurut Muhammad Abduh: Telaah Kitab Risalah Al-Tauhid” telah diselesaikan dengan baik pada tahun 2012. Skripsi mahasiswa Fakultas Ushuluddin ini memaparkan pemikiran Muhammad Abduh tenteng konsep takdir yang diulas dalam buku Risalah Al-Tauhid. Buku Risalah Al-Tauhid dijadikan sumber utama penggalian data dalam mengetahui konsep takdir. Konsep takdir dalam pandangan Abduh bahwa tuhan tidak melakukan intervensi terhadap perbuatan manusia. Tuhan di sini mempunyai peran mengetahui atas apa yang telah diciptakan-Nya yang berbentuk sunnatullah yang tetap. Sedangkan manusia mempunyai tiga potensi untuk mewujudkan perbuatannya yaitu, akal, kemauan, dan daya. Tiga hal ini dapat digunakan sebebas-bebasnya. Oleh karena itu, pertemuan kedua hal di atas yakni perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia itulah kemudian yang menimbulkan konsep takdir.19

Ada pun skripsi yang berjudul “Eksistensi Tuhan Menurut Muhammad Abduh Dalam Risalah Tauhid” yang disusun oleh Lulis Setyawati, mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin ini memiliki sumber rujukan buku yang sama dengan skripsi sebelumnya, yakni buku Risalah Al-Tauhid, namun

19 Saifur Rahman, “Konsep Takdir Menurut Muhammad Abduh: Telaah Kitab Risalah

(19)

topik utama pembahasan dipusatkan dalam memahami pemikiran Abduh tentang eksistensi Tuhan.20

“Konsep Ketuhanan Dan Peranan Akal Dalam Pandangan Muhammad Abduh” adalah judul skripsi mahasiswa Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin. Penulis yang telah merampungkan skripsi tersebut bernama Nur Lailifiyah. Dalam pembahasan skripsi ini, mahasiswa tersebut memaparkan bahwa menurut Abduh, kesaan tuhan dalam zat ialah bahwa Dia (Allah) tidak menerima tarkib baik di luar maupun dalam akal sendiri. tentang esa dalam sifat, adalah bahwa tidak ada yang menyamai-Nya dalam sifat-sifat yang tetap bagi-Nya diantara yang maujud ini. Mengenai esa dalam perbuatan, ialah bahwa tak ada seorang pun di luar Dia (Allah) yang bisa campur tangan di dalam mengadakan segala sesuatu yang mungkin ada pada pandangan Abduh tentang konsep ketuhanan dan peranan akal. Seperti yang sudah diketahui, Muhammad Abduh terkenal dengan pemikirannya yang rasionalis, sehingga dalam memaknai konsep ketuhanan maka ia menggunakan peranan akal.21

Nur Chasanah adalah mahasiswa yang telah merampungkan skripsinya yang berjudul “Teologi Muhammad Abduh Tentang Kebebasan Manusia”. Ia adalah seorang mahasiswa jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin yang mengangkat tema kebebasan manusia dari sudut pandang pemikiran teologi

20 Lulis Setyawati, “Eksistensi Tuhan Menurut Muhammad Abduh Dalam Risalah

Tauhid” (Skripsi––IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2006), 97.

21 Nur Lailifiyah, “Konsep Ketuhanan dan Peranan Akal Dalam Pandangan Muhammad

(20)

Abduh. Berdasarkan pemikiran Abduh tersebut, dipaparkan juga beberapa sub tentang kebebasan manusia.22

Berdasarkan beberapa tinjauan pada skripsi terdahulu, tema yang diusung penulis tentang studi komparasi pemikiran Abduh dan Agus dalam memaknai takdir belum ada yang memaparkan, sehingga penulis yakin untuk mengerjakannya. Selain itu, pada pembahasan mengenai konsep takdir Abduh berfokus pada buku Risalah Al-Tauhid. Ada pula juga penulis skripsi lain yang memilih tokoh yang sama namun dengan pembahasan yang berbeda. Jadi, pengkomparasian dua tokoh yang digunakan untuk mengetahui makna takdir adalah terobosan pertama yang diusung oleh penulis.

F. DEFINISI KONSEP

Studi komparasi : Suatu usaha membandingkan sifat hakiki dalam obyek penelitian sehingga dapat menjadi lebih jelas dan lebih tajam. Justru perbandingan itu dapat menentukan secara tegas kesamaan dan perbedaan sesuatu sehingga obyek dapat dipahami dengan semakin murni.23

Muhammad Abduh : Seorang pemikir, teolog, mufti, dan pembaru Islam di Mesir pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia ingin menyegarkan kembali ajaran Islam di dunia modern. Sebagai seorang mufti, ia banyak

22 Nur Chasanah, “Teologi Muhammad Abduh Tentang Kebebasan Manusia” (Skripsi––

IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 1998), 98.

(21)

memperbarui hukum Islam. Ia mencoba mencairkan kekakuan dogma Islam dan memperbarui sistem pendidikan Islam, khususnya di Universitas al-Azhar.24

Agus Mustofa : Seorang penulis yang produktif. Setiap tiga bulan sekali selalu menerbitkan satu buku atau lebih. Dan itu sudah berjalan secara konsisten selama lebih dari 9 tahun. Alumnus Teknik Nuklir UGM Yogyakarta. Buku-bukunya dikenal secara populer sebagai serial diskusi tasawuf modern.25

Takdir : Ringkasan sunnatullah yang dirumuskan dalam sebuah konsep sederhana, agar manusia tahu apa yang harus dilakukan dalam hidupnya.26 merupakan suatu pembahasan menarik tentang suatu hal atas hidup setiap manusia. Takdir sangat berhubungan dengan intervensi Tuhan, di mana sebagian orang yakin bahwa segala takdir telah ditentukan oleh Tuhan, yang lainnya percaya bahwa takdir berjalan oleh hukum sebab akibat.

G. METODE PENELITIAN

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan atau lebih dikenal library research. Penelitian ini dilakukan dengan memfokuskan pada data kepustakaan tanpa diikuti dengan uji empirik seluruh substansinya, diolah secara filosofis atau teoritis.27 Penelitian

24 Ahmad Thib Raya,Ensiklopedi Islam,vol 7, ed. Nina M. Armando, et. al. (Jakarta: PT

Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 105.

25Agus Mustofa,Membongkar Tiga Rahasia(Surabaya: PADMA Press, 2009), 273. 26Agus,Mengubah Takdir, 56.

27 Noeng Muhajir,Metode Penelitian Kualitatif(Yogyakarta: Rakesa Rasia, 1996),

(22)

library research ini tentunya membutuhkan banyak sekali bahan bacaan yang mendukung dan sesuai dengan tema pembahasan yang dipilih oleh penulis.

Objek formal pada penelitian ini adalah pengkomparasian pemikiran dua tokoh yaitu, Muhammad Abduh dan Agus Mustofa. Selain objek formal yang terkandung di dalamnya, ada pula objek material yang mendukungnya. Objek materialnya adalah bagaimana kedua tokoh, yakni Muhammad Abduh dan Agus Mustofa dalam memaknai takdir.

b. Teknik Pengumpulan Data

Untuk menghasilkan sebuah penelitian yang nantinya akan bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca, tentunya penulis membutuhkan banyak sumber data yang relevan dan berkualitas sehingga pembahasan yang dipaparkan dapat memberikan keutuhan pemikiran kedua tokoh. Ada pula beberapa sumber yang digunakan dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder.

• Data Primer

Mengenai data primer yang digunakan penulis guna menunjang terselesaikannya penelitian ini, penulis menggunakan dua buku utama, yang pertama untuk menggali pemikiran Muhammad Abduh, penulis menggunakan bukuRisalah Tauhid dan untuk mendapati pemikiran Agus Mustofa, penulis menggunakan menggunakan buku Mengubah Takdir yang menjadi salah satu serial diskusi tasawuf hasil karya beliau.

• Data Sekunder

(23)

tesis dan disentasi yang telah dibukukan. Semua data-data tersebut tentunya relevan dengan pembahaan yang penulis yakni berkaitan dengan pemikiran Muhammad Abduh dan Agus Mustofa tentang memaknai takdir.

c. Metode Analisis Data

Sesuai dengan bidang keilmuan filsafat yang menjadi pokok utama dalam penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan metode-metode filsafat untuk mengurai pemahaman tentang tema yang diangkat. Metode adalah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu. Maksudnya adalah supaya kegiatan praktis terlaksana secara rasional dan terarah agar mencapai hasil optimal.28 Ada pun

metode yang penulis gunakan ialah:

1. Interpretasi: menafsirkan, membuat tafsiran, tetapi yang tidak bersifat subjektif, melainkan harus bertumpu pada evidensi objektif, untuk mencapai kebenaran yang otentik.29 Untuk memahami konsep makna takdir dari Muhammad Abduh dan Agus Mustofa tentunya penulis harus memposisikan diri objektif dalam memaparkan ide pemikiran kedua tokoh tersebut.

2. Koherensi Intern: untuk memahami secara benar guna memperoleh hakikat dalam menginterpretasikan pemikiran Muhammad Abduh dan Agus Mustofa, maka diperlukan pemaparan terhadap semua unsur yang melatarbelakangi pemikiran kedua tokoh, baik berupa struktur internal maupun hubungan internal.

28 Anton Baker dan Achmad Charris Zubair, Metode Penelitian Filsafat (Yogyakarta:

Kanisius, 1990), 163.

(24)

3. Holistik: agar mendapatkan sebuah interpretasi yang utuh dari pemaknaan takdir Muhammad Abduh dan Agus Mustofa dibutuhkan interaksi terhadap seluruh objek yang mendukungnya seperti latar pendidikan, kehidupan masyarakat, serta dengan siapa saja kedua tokoh berinteraksi yang nantinya mempengaruhi pola pemikirannya.

4. Kesinambungan Historis: dalam perkembangan hidupnya, manusia adalah makhluk historis. Manusia disebut demikian karena ia berkembang dalam pengalaman dan pemikiran bersama dengan lingkungan zamannya.

5. Komparasi: komparasi dapat diadakan dengan objek lain yang sangat dekat dan serupa dengan objek utama. Dengan perbandingan itu, dengan meminimalkan perbedaan-perbedaan yang masih ada, banyak ditemukan kategori dan sifat yang berlaku bagi jenis bersangkutan. Komparasi juga dapat diadakan dengan objek lain yang sangat berbeda dan jauh dari objek utama. Dalam perbandingan itu dimaksimalkan perbedaan-perbedaan yang berlaku untuk dua objek, namun sekaligus dapat ditemukan beberapa kesamaan yang mungkin sangat strategis.30 Teori komparasi yang penulis gunakan adalah komparasi dengan suatu objek yang sama, namun berbeda subjek lain dengan subjek utama.

6. Deskripsi: seluruh hasil penelitian harus dapat dideskripsikan atau dibahasakan, ada kesatuan mutlak antara bahasa dan pikiran seperti antara jiwa dan raga. Data yang dieksplisitkan memungkinkan dapat dipahami secara

(25)

mantap.31Metode deskripsi ini menekankan pentingnya pendeskripsian secara menyeluruh terhadap apa yang hendak dikaji dalam sebuah karya.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan adalah sebuah gambaran tentang beberapa bab dan subbab yang tersusun dalam penyelesaian skripsi ini. Bagian dari bab dan subbab ini menunjukkan kesinambungan dalam setiap detail penulisan. Berikut ini ialah pembagiannya:

Bab I merupakan pendahuluan yang memaparkan kerangka awal yang mewakili keseluruhan pembahasan dalam skripsi ini. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, definisi konsep, metode penelitian, dan yang terakhir adalah sistematika penulisan.

Bab II merupakan pengkajian riwayat hidup dari kedua tokoh yakni Muhammad Abduh dan Agus Mustofa. Dalam bab ini juga dijelaskan latar belakang kehidupan, ide-ide pembaharuan yang diusung, serta berbagai karya-karya yang telah dihasilkan kedua tokoh tersebut.

Bab III menjelaskan tentang makna takdir yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Agus Mustofa. Dimulai dengan pemaparan pemikiran dan konsep dari makna takdir dalam konsepsi dasar keislaman. Selanjutnya, adalah pemaparan takdir menurut Muhammad Abduh dan Agus Mustofa. Di sini penulis memaparkan dengan metode penggabungan atau komparasi.

(26)

Bab IV mengkaji tentang analisa dari komparasi pemikiran Muhammad Abduh dan Agus Mustofa dalam memaknai takdir. Analisa tersebut juga memaparkan persamaan dan perbedaan pemaknaan takdir kedua tokoh.

(27)

19

AGUS MUSTOFA

A. Latar Belakang Kehidupan Muhammad Abduh

Muhammad Abduh bernama lengkap Muhammad Abduh bin Hassan Khairullah. Ia lahir bertepatan dengan tahun 1849 M di Desa Mahallat Nashr, Provinsi Gharbiyah, dekat sungai Nil, Mesir.1 Ayah Abduh bernama Abduh

Hassan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Dia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan,2 Ibunya yang bernama Junaynah, seorang janda3 menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar ibn Al-Khattab. Abduh Hassan Khairullah menikah dengan ibu Abduh sewaktu merantau dari desa ke desa itu dan ketika ia menetap di Mahallat Nashr.4

Menjelang lahirnya Abduh, Mesir berada di bawah penguasa tunggal Muhammad Ali, raja yang absolut. Raja yang menguasai sumber kekayaan, terutama tanah yang ada di negeri itu, pertanian dan perdagangan. Di daerah-daerah, para pegawai Ali bersikap keras dalam melaksanakan kehendak dan

1 Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema

Insani, 2006), 225.

2 Andik Wahyun Muqoyyidin, “Pembaruan Pendidikan Islam Menurut Muhammad

Abduh”, Jurnal Pendidikan Islam, Media Pendidikan, Vol. XXVIII, No. 2 (Agustus 2013), 291.

3Ibid., 291.

4Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dan Gerakan(Jakarta:

(28)

perintahnya. Rakyat merasa tertindas. Untuk mengelakkan dari kekerasan yang dijalankan para pegawai Ali, rakyat di daerah ada yang terpaksa berpindah-pindah tempat. Keadaan demikian dialami pula oleh orang tua Abduh.5

Sejak kecil Abduh belajar membaca dan menulis Al-Qur’an. Setelah mahir ia diserahkan kepada seorang guru untuk dilatih menghafal Al-Qur’an. Ia dapat hafal dalam waktu dua tahun. Dalam usia 13 tahun Abduh dikirim ke Tanta untuk belajar agama di masjid Al-Ahmadi. Di sini ia belajar ilmu kalam, bahasa Arab, dan fikih. Setelah dua tahun belajar, ia merasa jenuh dan tidak mengerti apa-apa. Mungkin karena metode pengajaran bersifat hafalan, kemudian ia memutuskan pulang dengan cita-cita menjadi petani di desa.6

Di tahun 1865, sewaktu ia berumur 16 tahun ia pun menikah. Tapi, nasib rupanya akan menjadi orang besar. Niatnya untuk menjadi petani itu tidak dapat diteruskannya. Baru saja 40 hari menikah, ia dipaksa orang tuanya kembali belajar ke Tanta. Ia pun meninggalkan kampungnya, tapi bukan pergi ke Tanta justru untuk bersembunyi lagi di rumah salah satu pamannya. Di sini ia bertemu dengan seorang yang mengubah jalan riwayat hidupnya. Orang itu bernama Syekh Darwisy Khadr, paman dari ayah Abduh. Syekh Darwisy telah pergi merantau ke luar Mesir dan belajar agama Islam serta tasawuf (Tarekat Syadziliah) di Libya dan Tripoli. Setelah selesai pelajarannya ia kembali ke kampungnya.7

Syekh Darwisy kelihatannya tahu akan keengganan Abduh untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda itu supaya membaca buku bersama-sama.

5 Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam (Jakarta: Rajawali Press,

2014), 99.

6Ibid., 100.

(29)

Sebagai diceritakan Abduh sendiri, ia pada waktu itu benci melihat buku, dan buku yang diberikan Syekh Darwisy kepadanya untuk dibaca ia lemparkan jauh-jauh. Buku itu dipungut Syekh Darwisy kembali dan diberikan kepadanya, lalu akhirnya Abduh membaca juga beberapa baris. Setiap habis satu kalimat, Syekh Darwisy memberikan penjelasan luas tentang arti dan maksud yang dikandung kalimat itu. Setelah beberapa hari membaca buku bersama-sama dengan cara yang diberikan Syekh Darwisy itu, Abduh pun berubahlah sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Ia sekarang mulai mengerti apa yang dibacanya dan ingin mengerti serta mengetahui lebih banyak. Akhirnya ia pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajaran.8

Setelah mengalami perubahan mental terhadap pelajaran, pada tahun 1282 H (1866 M) ia kembali ke masjid Al-Ahmadi di Tanta. Ia telah mengerti yang diberikan guru dan apa yang dibacanya sendiri. Apa yang dipahaminya itu ia sampaikan kepada teman-temannya sepelajaran, sehingga ia akhirnya menjadi tempat mereka bertanya. Beberapa bulan kemudian ia pergi ke Kairo untuk meneruskan pelajaran di Al-Azhar.9 Di sini pun Abduh kembali kecewa, karena metode pelajarannya sama dengan yang ia dapatkan di Tanta. Maka, ia pun mencari guru di luar Al-Azhar. Dari sinilah Abduh belajar ilmu-ilmu non-agama yang tidak ia dapatkan dari Al-Azhar. Antara lain, filsafat, matematika, dan logika. Ia mendapatkan ilmu-ilmu tersebut dari Syekh Hasan At-Tawil.10 Tetapi pelajaran yang diberikan Syekh Hasan itu kurang memuaskan bagi Abduh.

8Harun,Pembaharuan Dalam Islam,51.

9 Harun Nasution, Muhammad Abduh Dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI

Press, 1987), 12.

(30)

Pelajaran di Al-Azhar juga kurang menarik perhatiannya dan ia lebih suka membaca kitab yang dipilhnya di perpustakaan Al-Azhar. Ia tidak tetap mengikuti kuliah dan kalaupun hadir ia membaca buku yang dibawanya dari rumah.11

Dunia pengabdiannya sebagai seorang pendidik ia rintis di Al-Azhar. Gebrakan pembaharuan pertamanya mengusulkan perubahan terhadap Al-Azhar. Ia yakin apabila Azhar diperbaiki, kondisi kaum muslimin akan membaik. Al-Azhar, dalam pandangan Abduh, sudah saatnya untuk berbenah, dan karena itu perlu diperbaiki. Terutama dalam masalah administrasi dan pendidikan di dalamnya, termasuk perluasan kurikulum tang mencakup ilmu-ilmu modern, sehingga Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan universitas-universitas lain serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum muslimin pada zaman modern.12

Ketika masih belajar di Azhar Abduh bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Al-Afghani sendiri merupakan seorang pemimpin pembaharuan Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah-pindah dari negara Islam ke negara Islam lain.13 Kedatangan Al-Afghani di Mesir membuka jalan ke arah pembaruan yang lahir bersama-sama dengan masa pemerintahan Ismail Pasha, keturunan Khadawiyah itu. Ia menginjakkan kakinya yang pertama kali di Mesir dalam tahun 1871 dan tinggal di sana sampai 1879. Keadaan di Mesir waktu itu memang meminta perubahan. Di antara sebab-sebabnya ialah pemerintahan yang kacau balau dari keturunan Khadawiyah tersebut. bahaya terhadap negara Mesir datangnya bertubi-tubi: Maskapai Suez Kanal kepada Inggris; dalam tahun 1876.

(31)

“Service dela dette publicue” yang menyebabkan keuangan negara Mesir jatuh sama sekali dalam jerat pengawasan Eropa, dan banyak lagi. sebagai akibat dari segala kekacauan ini lahir keinsyafan baru dari rakyat Mesir. Raja Ismail turun dari tahta kerajaan dan digantikan oleh raja Taufiq.14

Perjumpaan Al-Afghani dan Abduh pertama kali ketika ia bersama dengan mahasiswa lain pergi berkunjung ke tempat pengiapan Afghani di dekat Al-Azhar. Dalam pertemuan itu Al-Afghani mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka mengenai arti beberapa ayat Al-Qur’an. Kemudian ia berikan tafsirannya sendiri. perjumpaan ini meninggalkan kesan yang baik dalam diri Abduh.15 Al-Afghani mengisi jiwa baru kepada Abduh dalam pengetahuan-pengetahuan klasik, mengarahkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan-pengetahuan Barat, yang menyebabkan ia menerjemahkan beberapa kitab dan selanjutnya perhatian kepada soal-soal yang mengenai Negara Mesir dan agama Islam hangat tumbuhnya pada masa itu. Terlihat bahwa sosok Al-Afghani sangat menginspirasi pola pikir Abduh. Bahkan dalam karyanya yang berjudul “Risalah al Waridah” (1874) Al-Afghani disebut-sebut dengan penuh rasa khidmat sebagai gurunya. Dari uraian Abduh dalam karyanya yang kedua, yang bernama “Hasyiya ‘ala Syar ad-Dawani lil ‘aqaidil ‘adudiyah” (1876) pengaruh Al-Afghani kepada Abduh lebih nyata lagi kelihatan.16 Atas bimbingan dan motivasi yang kuat dari Al-Afghani, Abduh menjadi antusias mendidik rakyat Mesir supaya menguasai semua dimensi kemajuan Barat ketika itu.

14 Imam Munawir,Mengenal 30 Pendekar Dan Pemikir Islam(Surabaya: PT Bina Ilmu,

2006), 478.

(32)

Tahun 1877 Abduh menyelesaikan studinya di Al-Azhar dengan mendapat gelar Alim. Ia mulai mengajar dibeberapa tempat seperti Al-Azhar, kemudian Dar Al-Ulum dan juga di rumahnya sendiri. di antara buku-buku yang diajarkannya ialah buku akhlak karangan Ibn Miskawaih, Mukaddimah karangan Ibn Khaldun danSejarah Kebudayaan Eropakarangan Guizot, yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab tahun 1857.17 Saat Al-Afghani diusir dari Mesir di tahun 1879, karena dituduh mengadakan gerakan menetang Khadive Taufik. Abduh yang juga dipandang turut campur soal ini, diasingkan ke luar kota Kairo. Tetapi di tahun 1880 ia boleh kembali ke ibu kota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir, Al-Waqa’iMisriyah. Pada waktu itu perasaan kerasionalan Mesir telah mulai timbul. Di bawah pimpinan Abduh, Al-Waqa’i Misriyahbukan hanya menyiarkan berita-berita resmi, tetapi juga artikel-artikel tentang kepentingan-kepentingan nasional Mesir.18

Di dalam tentara, perwira-perwira yang berasal dari Mesir berusaha mendobrak kontrol yang diadakan oleh perwira-perwira Turki dan Sarkas yang selama ini menguasai tentara Mesir. Setelah berhasil dalam usaha ini, mereka di bawah pimpinan Urabi Pasya juga dapat menguasai pemerintahan. Pemerintahan yang berada di bawah kekuasaan golongan nasionalis ini, menurut Inggris adalah berbahaya bagi kepentingannya Mesir. Untuk menjatuhkan Urabi Pasya, Inggris di tahun 1882 mengebom Alexandria dari laut, dan dalam pertempuran yang kemudian terjadi, kaum nasionalis Mesir dengan lekas dikalahkan Inggris, dan

17 Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern dalam Islam

(Jakarta: PT RajaGrafindo, 1998), 51.

(33)

Mesir pun jatuh ke bawah kekuasaan Inggris. Dalam peristiwa ini yang disebut peristiwa “Revolusi Urabi Pasya”.19 Walaupun tidak aktif mengambil bagian

dalam pemberontakan Arab itu, Abduh tertuduh juga termasuk golongan revolusioner.20

Pemikiran Abduh semakin kritis terhadap metode dan tindakan pemimpin politik dan militer negeri ini, posisinya menjadi sangat terancam. Akhirnya ia dipaksa memilih antara sikap nasionalis dan kebijakan pro-Inggris Khadive. Abduh memilih yang pertama. Pilihan ini menyebabkan dirinya diasingkan dari Mesir selama tiga tahun. Ini dimulai pada 1882. Karena sangat kecewa melihat kegagalan nasionalisme, Abduh lalu memasuki periode hidupnya yang gelap. Ketika mencari perlindungan di Beirut, dia menerima undangan dari sahabat lamnya, Al-Afghani, untuk bergabung bersamanya di Paris. Di sana, mereka mendirikan organisasi yang sangat berpengaruh meski usianya pendek.Al-‘Urwat Al-Wutsqa’ (mata rantai terkuat). Tujuan organisasi ini adalah menyatukan umat Islam dan sekaligus melepaskannya dari sebab-sebab perpecahan mereka. Organisasi ini dan juga korannya yang bernama sama (Al-‘Urwat Al-Wutsqa’) didedikasikan untuk tujuan umum memberi peringatan kepada masyarakat non-Barat tentang bahaya intervansi Eropa dan tujuan khusus membebaskan Mesir dari pendudukan Inggris. Organisasi ini pada akhirnya bubar. Abduh pun kembali ke Beirut. Di Beirut dia menjadi guru di sebuah sekolah muslim. Rumahnya

19Ibid., 52.

(34)

menjadi pusat kaum muda dari berbagai keyakinan (Muslim, Kristen, Druze) yang terpesona oleh gaya mengajarnya.21

Di tahun 1888, atas usaha-usaha teman-temannya di antaranya ada seorang Inggris, ia diperbolehkan pulang kembali ke Mesir. Akan tetapi ia tidak diizinkan mengajar, karena pemerintah Mesir takut akan pengaruhnya kepada mahasiswa. Ia bekerja sebagai hakim di salah satu mahkamah. Di tahun 1894, ia diangkat menjadi anggota Majlis A’la dari Al-Azhar. Sebagai anggota dari majlis ini ia membawa perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan ke dalam tubuh Al-Azhar sebagai universitas. Di tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi ini dipegangnya sampai ia meninggal dunia di tahun 1905.22

B. Ide-Ide Pembaruan Muhammad Abduh

Abduh sebagai seorang intelektual dan sarjana muslim populer, hidupnya selalu diwarnai dengan gairah dalam menuntut ilmu. Ia juga pernah menjadi murid Al-Afghani seorang pendiri Pan Islamisme yang waktu itu sempat singgah di Kairo. Tak dipungkiri jika gagasan-gagasannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran gurunya itu.23

1. Membuka Pintu Ijtihad

Pemikiran Abduh sejalan dengan pemikiran Al-Afghani yakni penyebab kemunduran umat Islam pada akhir abad pertengahan adalah sikap jumud. Dalam

21Yvonne Haddad,“Muhammad Abduh: Perintis Pembaruan Islam”, dalamPara Perintis

Zaman Baru Islam,Ali Rahnema (ed.), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1996), 38-39.

22Harun,Pembaharuan Dalam Islam, 53.

23 Abdillah F. Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam (Surabaya: Jawara Surabaya,

(35)

sikap ini mengandung arti keadaan membeku, statis, berpegang teguh pada adat. Akibat dipengaruhi sikap jumud umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Timbulnya sikap jumud berawal dari tradisi orang-orang non-Islam dengan tetap membawa adat istiadat dan paham-paham animistis. Kelompok ini besar pengaruhnya terhadap umat Islam yang mereka perintah. Di samping itu, raja-raja dari Dinasti Mamluk menghindari ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan akan membuka mata rakyat yang dikhawatirkan akan memberontak.24

Menghadapi keadaan masyarakat yang jumud dan penuh khurafat tersebut, Abduh bangkit dengan ide kembali kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadis, sebagai ide pemurniannya Abdul Wahab.25 Bagi Abduh tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran yang asli itu, sebagai yang dianjurkan oleh Muhammmad Abd al-Wahab, karena zaman suasana umat Islam sekarang telang jauh berubah dari zaman dan suasana umat Islam zaman klasik, ajaran-ajaran asli itu perlu disesuaikan dengan keadaan modern sekarang. penyesuaian itu menurut Abduh dapat dijalankan. Paham Ibn Taimiyah bahwa ajaran-ajaran Islam terbagi dalam dua kategori, ibadat dan muamalah (hidup kemasyarakatan manusia) diambil dan ditonjolkan Abduh. Ia melihat bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis mengenai ibadat bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan umat hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum yang tidak terperinci. Seterusnya ia melihat bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan

(36)

hadis mengenai soal-soal kemasyarakatan itu, hanya sedikit jumlahnya. Karena prinsip-prinsip itu bersifat umum tanpa perincian. Abduh berpendapat bahwa semua itu dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman.26

Dalam gerakannya, ia sangat menentang taklid, karena taklid menurutnya adalah salah satu sebab penting yang membawa kemunduran umat Islam abad XIX dan XX. Ia mengkritik para ulama yang mengajarkan bahwa umat Islam belakangan wajib mengikuti hasil ijtihad ulama terdahulu, hal ini menurutnya, akan membawa kepada tidak berfungsinya akal, sehingga menghambat perkembangan bahasa, organisasi sosial, hukum, lembaga-lembaga pendidikan dan lain sebagainya.27

Alasan Abduh membuka pintu ijtihad dan memberantas taklid adalah karena ia percaya pada daya kekuatan akal. Menurutnya, Al-Qur’an berbicara bukan semata kepada hati manusia, tetapi juga pada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi. Allah menunjukkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya kepada akal. Oleh sebab itu, Islam baginya, adalah agama yang rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam. iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Dalam Islam-lah agama dan akal untuk pertama kali mebgikat tali persaudaraan. Bagi Abduh, akal mempunyai kedudukan tinggi. Wahyu tidak dapat membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. Kalau zahir ayat bertentangan dengan akal haruslah dicari interpretasi yang membuat ayat itu sesuai dengan pendapat akal.

26Harun,Pembaharuan Dalam Islam, 54.

27Makrum, “Teologi Rasional: Telaah atas Pemikiran Kalam Muhammad Abduh”,Jurnal

(37)

Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal yang terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan yang membawa kepada kemajuan dan ilmu pengetahuan.28

Untuk dapat menemukan formulasi dalam menyesuaikan ajaran-ajaran asli dengan situasi modern, maka perlu diadakan interpretasi baru dan perlu membuka pintu ijtihad. Ijtihad menurut pendapatnya bukan hanya boleh, justru penting dan perlu diadakan. Tetapi yang dimaksud bukan setiap orang boleh melakukan ijtihad. Hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat yang diperlukan yang boleh mengadakan ijtihad. Apabila tidak memenuhi syarat-syarat, maka harus mengikuti pendapat mujtahid yang ia setujui pahamnya. Ijtihad ini dijalankan langsung pada Al-Qur’an dan hadis, sebagai sumber yang asli dari ajaran-ajaran Islam. Dibukanya pintu ijtihad dengan sendirinya taklid kepada ulama tak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangi karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.29

Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid berdasarkan atas kepercayaanya pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya Al-Qur’an berbicara bukan semata kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi. Allah menunjukkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya kepada akal. Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Kepercayaan pada kekuatan akal membawa Abduh

(38)

selanjutnya kepada paham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan.30

Pembahasan tentang jumud mau tak mau akan menarik keluar persoalan tentang perkembangan pendidikan di Mesir itu sendiri. Sebagai konsekuensi dari pendapatnya bahwa umat Islam harus mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan, umat Islam harus pula mementingkan soal pendidikan. Sekolah-sekolah modern perlu dibuka, di mana ilmu-ilmu pengetahuan modern diajarkan di samping pengetahuan agama. Al-Azhar pun perlu dimasukkan ilmu-ilmu modern, agar ulama-ulama Islam mengerti kebudayaan modern dan dengan demikian dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan-persoalan yang timbul dalam zaman modern ini.31

2. Rekonstruksi Pendidikan

Terjadinya kontak hubungan antara Islam dengan Barat merupakan faktor eksternal pembaruan pendidikan Islam karena kaum muslimin dapat melihat kemajuan yang diraih Barat pada peralatan militer, ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, pendudukan atas Mesir oleh Napoleon pada tahun 1798 M., merupakan tonggak sejarah bagi umat Islam untuk mendapatkan kembali kesadaran akan kelemahan dan kemunduran mereka khususnya dalam bidang teknologi.32

Munculnya ide-ide pendidikan Abduh tampaknya lebih dilatarbelakangi oleh faktor situasi, yaitu situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan yang ada

30Ibid,. 56. 31Ibid,. 57.

32 Nasrudin Yusuf, “Perbandingan Pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha

(39)

pada saat itu. Yang dimaksud dengan situasi sosial keagamaan dalam hal ini adalah sikap yang umumnya diambil oleh umat Islam di Mesir dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sikap tersebut tampaknya tidak jauh berbeda dari apa yang dialami umat Islam di bagian dunia Islam lainnya. Pemikiran yang statis, taqlid, bid’ah, dan khurafat yang menjadi ciri dunia Islam saat itu juga berkembang di Mesir. Abduh memandang pemikiran yang jumud itu telah merambat dalam berbagai bidang, bahasa, syari’ah, akidah dan sistem masyarakat.33

Dunia pengabdiannya sebagai seorang pendidik ia rintis di Al-Azhar. Gebrakan pembaruan pertamanya mengusulkan perubahan terhadap Al-Azhar. Abduh berusaha untuk merombak sistem pendidikan yang ada saat itu, di mana terjadi dualisme sistem kependidikan, yaitu model pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah modern, baik yang dibangun oleh pemerintah Mesir maupun sekolah yang dibangun oleh bangsa asing, dan model sekolah agama yang bersifat doktrinal dan tradisional.34 Ia yakin, apabila Al-Azhar diperbaiki, kondisi kaum muslimin akan membaik. Al-Azhar, dalam pandangan Abduh, sudah saatnya untuk berbenah dan karena itu perlu diperbaiki, terutama dalam masalah administrasi dan pendidikan di dalamnya, termasuk perluasan kurikulum, mencakup ilmu-ilmu modern, sehingga Al-Azhar dapat berdiri sejajar dengan

33 Maslina Daulay, “Inovasi Pendidikan Islam Muhammad Abduh”, Jurnal Ilmu

Pendidikan dan KeislamanDarul ‘Ilmi, vol. 01 No. 02 (Juli 2013), 89-90.

34 Luk-Luk Nur Mufidah, “Konsep Pendidikan Islam Perspektif Filosof Muslim Dan

(40)

universitas-universitas lain serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum Muslimin pada zaman modern.35

3. Tafsir Al-Qur’an

Al-Qur’anul Karim adalah sumber tasyri’ pertama bagi umat Muhammad. Dan kebahagiaan mereka bergantung pada pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengalaman apa yang terkandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafaz dan ungkapan Al-Qur’an tidaklah sama. Padahal penjelasannya sedemikian gamblang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-maknanya yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedang kalangan cerdik cendekia dan terpelajar akan dapat menyimpulkan pula daripadanya makna-makna yang menarik.36

Rencana pembaharuan politik dan sosial Abduh adalah menjadikan reinterpretasi Qur’an untuk dunia modern sangat penting. Ia merasa bahwa Al-Qur’an harus memainkan peranan sentral dalam mengangkat masyarakat, memperbarui kondisi umat, dan menyodorkan peradaban Islam modern. Dengan demikian dia dapat menafsirkan Islam sebagai kampiun kemajuan dan pembangunan. Katanya kembali ke nash Al-Qur’an itu perlu, dengan melepaskan nash dari ulasan yang diulang-ulang dan terkadang bertentangan Abduh

35Maslina,Inovasi Pendidikan Islam,90.

36 Ilyas Daud, Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Al-Qur’an Tafsir”, Jurnal

(41)

memimpin upaya membuat nash dapat dimengerti oleh semakin banyak orang terdidik yang mampu membaca dan merenungkan makna serta pesannya.37

Tafsir al-Manar adalah salah satu tasfir al-Qur’an modern yang sangat terkenal di kalangan umat Islam. Kehadirannya bagaikan oase di tengah padang pasir nan tandus. Sejak awal kemunculannya ketika masih diterbitkan secara berkala dalam bentuk artikel di majalah selalu ditunggu oleh banyak pembaca yang haus siraman petunjuk al-Qur’an. Nama al-Manar sebenarnya bukan nama asli dari karya bersama Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha ini. Nama al-Manar adalah nama populer yang dinisbatkan kepada nama majalah di mana tafsir tersebut diterbitkan secara berkala. Nama yang diberikan ketika diterbitkan dalam bentuk tafsir adalah Tafsir al-Quran al-Hakim. Dalam muqaddimah Tafsir al-Manar diperkenalkan bahwa tafsir ini sebagai satu-satunya kitab tafsir yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal tegas yang menjelaskan hikmah syari’ah serta sunnatullah terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi Al-quran sebagai petunjuk (hidayah) untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat. Uraian dalam tafsir ini menggunakan redaksi atau kalimat-kalimat yang mudah dan berusaha menghindari istilah-istilah ilmu yang bersifat teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam tetapi juga dapat memenuhi kebutuhan dan dapat dikonsumsi oleh orang-orang khusus (cendekiawan).38

37Yvonne Haddad,“Muhammad Abduh”,54.

38 Imam Muhsin, “Perubahan Budaya dalam Tafsir Al-Qur’an: Telaah Terhadap

(42)

Dalam menafsirkan al-Qur’an Muhammad Abduh menggunakan metode (manhaj) tersendiri yang berbeda dengan metode tafsir yang digunakan para ahli tafsir dari kalangan salaf al-shalih (ulama salaf). Perbedaan tersebut terjadi pertama-tama karena pengaruh latar belakang kultural dan intelektual. Jika ulama salaf menafsirkan al-Qurân ketika umat Islam betul-betul menjadikan al-Qur’ân sebagai pedoman hidup (dustur) dalam kehidupan mereka, sehingga tafsir Qur’ân bagi mereka adalah tujuan (ghayâh). Sedangkan Abduh menafsirkan al-Qur’ân pada saat umat Islam tidak secara serius berhukum dengan hukum-hukum al-Qur’ân, sehingga tafsir al-Qur’an merupakan alat untuk perbaikan kondisi masyarakat (umat Islam), bukan sebagai tujuan itu sendiri.

(43)

penafsirannya berkaitan erat dengan usahanya untuk menciptakan keteraturan hidup masyarakat yang mengacu pada petunjuk-petunjuk kitab suci Al-Qur’an. Dalam hal ini Abduh berusaha mengaitkan penafsiran Al-Qur’an dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sosial dan berbagai perkembangannya.39

Bagi Abduh, prinsip yang menjadi dasar dari kebangkitan bangsa merupakan kepercayaan pokok bahwa risalah Al-Qur’an bersifat universal dan meliputi segalanya. Qur’an berbeda dengan kitab wahyu lainnya, karena Al-Qur’an tidak terbatas waktu, juga tidak untuk umat tertentu. Namun, Al-Al-Qur’an berbicara kepada semua manusia. Dia menekankan hal-hal berikut ini dalam kaitannya dengan Al-Qur’an:

• Maksud utama Qur’an adalah menegaskan tauhid, yaitu keesaan

Al-Qur’an merupakan wahyu yang lengkap; kaum mukminin tak boleh memilih bagian yang disukainya saja.

• Al-Qur’an merupakan sumber utama untuk membuat undang-undang bagi

masyarakat. Kalau Abduh mendukung penggunaan akal dan ilmu dalam memahami nash, dia sebenarnya menekankan bahwa kehidupan sosial haruslah ditata dengan ajaran Al-Qur’an.

• Kaum Muslim tak boleh menerima begitu saja leluhur mereka dalam

menafsirkan Al-Qur’an, namun harus otentik dan setia dengan pemahaman mereka sendiri.

• Akal dan nalar haruslah digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Abduh

melihat bahwa Al-Qur’an mendorong manusia untuk meneliti dan

(44)

memikirkan wahyu, dan juga untuk mengetahui hukum serta prinsip yang mengatur alam semesta. Al-Qur’an patut disebut kitab kebebasan berpikir, yang menghormati nalar dan menghormati pembentukan individu melalui penelitian, pengetahuan dan penggunaan nalar serta perenungan. Allah, dan segenap doktrin yang mengakui tindakan Allah menurunkan wahyu, mengutus para Nabi, dan realitas kebangkitan serta balasan bagi manusia.40

C. Karya-karya Muhammad Abduh

Karya-karya Abduh sangat banyak dan bervariasi tipologi pembahasannya. Selain karangan-karangannya yang terdapat dalam surat kabar dan majalah seperti harian resmi dari pemerintah Mesir al-Waqa’i Al Mishriyah, harian umum Al Ahram, Al Urwatul Wustqa, yang dipimpinnya sendiri ketika di Paris,Tsamaratul

Funun, yang terbit di Beirut, Al Muayyad dan Al Manar, di bawah pimpinan Rasyid Ridha.

Selain berupa majalah dan koran, Abduh juga menerbitkan buku-buku yang terkenal, yaitu:Risalah Al Waridah, Cairo 1874, tentang tasawuf dan mistik, Hasyiyah ala Syarh ad Dawani lil ‘aqaidil adudidyah, Cairo 1876-1904, Risalah

Ar Rad ‘alad Dahriyin, terjemahan dari karangan Al-Afghani, terbit di Beirut,

1886, di Mesir 1895, Syarh Nahjul Balaghah, uraian karangan Sayidina Ali, Khalifah ke IV, terbit di Beirut 1885, Syar Maqamat Badi’ Az Zaman al Hamadhani, Beirut 1889,Risalah At Tauhid, Cairo 1897, yang bercatatan Rasyid

(45)

Ridha, Cairo, 1908. Syarh Kitab Al Basier an-Nasyriah fi ‘ilmi al Mantiq, tentang pengetahuan dan logika, Cairo 1898, Taqrir fi Islah al-Mahakim asy-Syar’iyah, kehakiman di Mesir, karangan yang diterjemahkann dari A Mu’ajjad, yang ditujukan untuk menangkis serangan G. Hanotaux, diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dengan nama L’ Europe et L’ Islam, Cairo, 1905, oleh M. Thallat Harb Bey,Al Islam wa Nasraniya ma’al Ilm wal Madaniyah, beberapa kali terbit di Cairo 1902, kedua juga tahun 1905,Tafsir juz ‘Amma, Cairo 1904,Tafsir Surat Al-‘Ashr, sebagai kitab di Cairo, 1915, begitu juga kemudian diterbitkan oleh

Rasyid Ridha manuskrip-manuskrip yang tertinggal, seperti: Risalah Wahdatul Wujud,Tarikh Ismail Pasha, Filsafat Ijtima’i wat Tarikh, Nizamat-Tarbiyah

al-Misriyah, Tarikh Asbab As Tsaurah Al ‘Arabiyahdan lain-lain.41

D. Latar Belakang Kehidupan Agus Mustofa

Agus Mustofa lahir di Malang 16 Agustus 1963. Ayahnya bernama Djapri Karim, seorang guru tarekat yang intens dan pernah duduk dalam Dewan Pembina Partai Tarekat Islam Indonesia pada zaman Bung Karno. Maka sejak kecil ia sangat akrab dengan filsafat seputar pemikiran tasawuf. Pada tahun 1982 ia meninggalkan kota Malang, Jawa Timur dan menuntut ilmu di Fakultas Teknik Nuklir, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Selama kuliah itu ia banyak bersinggungan dengan ilmuan-ilmuan Islam yang berpemikiran modern, seperti: Prof. Ahmad Baiquni42dan Dr. Ir Sahirul Alim, MSc43yang menjadi dosennya.44

(46)

Perpaduan antara ilmu tasawuf dan sains itu telah menghasilkan tipikal pemikiran yang unik pada dirinya, yang disebutnya sebagai tasawuf modern. Kekritisannya dalam melakukan analisa semakin terasah sejak dia bergabung di Koran Jawa Pos, di mana ia pernah menjadi General Managernya. Kini, arek Malang berputra empat itu memutuskan untuk memfokuskan diri melakukan syiar ilmu-ilmu Allah di masjid, di universitas, dan berbagai instansi atau perusahaan serta berdiskusi dalam format yang khas, yaitu Islam, sains dan pemikiran modern. Demi syiar itu juga, ia bertekad untuk terus menulis buku serial diskusi tasawuf modern.45

Pemikiran Agus Mustofa tentang takdir ini ia peroleh dari diskusi intensif dengan teman-teman selama masa kuliahnya dan dengan jamaah-jamaah di masjid. Agus merumuskan beberapa keyakinan mengenai takdir yang ia temukan dalam masyarakat. Ia menemukan tiga asumsi mengenai takdir ini. Pertama, ada yang berpendapat bahwa takdir mengikuti hukum sebab akibat. Karenanya sangat

42 Prof. Dr. Achmad Baiquni MSc, Ph.D (lahir di Surakarta, 31 Agustus 1923

meninggal 21 Desember 1998 pada umur 75 tahun dan dimakamkan di Tonjong, Bogor) adalah Fisikawan Atom pertama di Indonesia. Dan termasuk dalam jajaran ilmuwan fisika atom internasional yang dihormati.Sejak kecil, ia sudah memperoleh pendidikan agama. Pada usia kanak-kanak, ahli fisika atom ini sudah mampu membaca juz ke-30 (juz terakhir Al Quran yang memuat sejumlah surah pendek), "sebelum saya bisa nembaca huruf Latin," katanya. Dan seperti kebiasaan anak-anak santri, ia pun masuk madrasah: belajar agama pada sore hari, setelah paginya bersekolah sekolah dasar. Malahan, ia melanjutkan menuntut ilmu agama di madrasah tinggi Mamba'ul Ulum, madrasah yang didirikan Paku Buwono X. Di situ Baiquni sekelas dengan Munawir Sjadzali, mantan Menteri Agama. Setelah lulus dari SMAN I Surakarta ia melanjutkan ITB Bandung dan

menjadi lulusan terbaik dengan predikat cum laude (1952). Lihat

http://www.dokumenpemudatqn.com/2014/08/achmad-baiquni-1923-1998-mahli-nuklir.html. Diakses pada 8-8-2016.

43Dr Ir Sahirul Alim MSc adalah dosen UGM MIPA kimia dan mantan pembantu rektor

UII. Lihat http://dikasistrandari.blogspot.co.id/2014/11/karya-karya-isiteks.html. Diakses 8-8-2016.

44 Agus Mustofa, Menyelam Ke Samudra Jiwa dan Ruh (Surabaya: PADMA Press,

2005), v.

(47)

ditentukan oleh perbuatan manusia. Sedangkan yang kedua berpendapat,bahwa takdir adalah ketetapan mutlak dari Allah yang tidak bisa dipengaruhi oleh makhluk. Karena itu, tak akan pernah bisa diubah. Namun ada juga yang mengambil sikap di tengah-tengah, antara usaha dan ketetapan mutlak. Menurut pemahaman ini, takdir bisa diubah, seiring dengan proses kehidupan.46 Dalam menyikap esensi takdir yang berkembang di masyarakat ini Agus berpedoman pada ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah pentunjuk yang sekaligus berisi penjelasan-penjelasan atas petunjuk itu. Agus, dalam salah satu buku yang telah diterbitkannya, menekankan pentingnya suatu ikhtiar atau usaha sebelum akhirnya takdir itu terjadi.

E. Karya-karya Agus Mustofa

Agus Mustofa terkenal semenjak karyanya yang bertajuk serial diskusi tasawuf mendapati respon yang baik bagi penikmat buku keislaman. Ia pun sampai sekarang berfokus pada kekonsistesiannya dalam menerbitkan buku setiap tiga bulan sekali. Kepandaiannya dalam meramu bahasa dan mengkontekstualkan hasil olah pikirnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an menghasilkan suatu karya yang sesuai dengan kaum modernis dewasa ini. Salah satu karya monumentalnya adalah Mengubah Takdir (2005), karya Agus ini memaparkan uraian tentang takdir melalui pemahaman pertahap sampai titik bahwa takdir merupakan sesuatu yang berbeda dengan nasib dan pentingnya suatu usaha dalam mendapatkan takdir yang sesuai dengan harapan.

(48)

Ada pula karya Agus yang lain seperti: Pusaran Energi Ka’bah (2003) yang menceritakan tentang kemustajaban berdoa di sekitar Ka’bah, Ternyata Akhirat Tidak Kekal (2005), membahas tentang perbandingan kekekalan akhirat dengan Allah. Karya-karya lainnya juga tidak kalah menarik seperti: Terpesona Di Sidratul Muntaha (2008), Untuk Apa Berpuasa? (2004), Menyelam Ke Samudra Jiwa Dan Ruh (2005), Bersatu Dengan Allah (2005), Tahajjud Sing Hari Dhuhur Malam Hari (2005), Dzikir Tauhid, Membonsai Islam (2006), Menghindari Abad Bencana, Tak Ada Azab Kubur?, Puyeng Karena Poligami,

Ternyata Adam Dilahirkan (2007),Adam Tak Diusir Dari Surga, Bersyahadat Di Dalam Rahim, Melawan Kematian, Metamorphosis Sang Nabi, Memahami

Al-Qur’an Dengan Metode Puzzle, Beragama Dengan Akal Sehat, Membongkar Tiga

Rahasia (2009), Heboh Spare Part Manusia, Berdoa Ataukah Menyuruh Tuhan, Menjadi Haji Tanpa Berhaji, Membela Allah, Khusyu’ Berbisik-Bisik Dengan

Allah, Perlukah Negara Islam, Salah Kaprah Dalam Beragama Islam, Mitos Dan

Anekdot Di Sekitar Umat Islam, Ma’rifat Di Padang Arafah, Lorong Sakaratul

Maut, Energi Dzikir Alam Bawah Sadar, Sang Pengantin Dan Generasi Cinta,

Mengarungi Arsy Allah, Ibrahim Pernah Atheis, Jangan Asal Ikut-Ikutan Hisab

Dan Rukyat, Menjawab Tudingan Kesalahan Saintifik Al-Qur’an, Pasukan Iblis

Vs Barisan Malaikat, Mengintip Bulan Sabit Sebelum Maghrib, Segalanya Satu,

Wormhole. Ada pula buku-buku yang berjudul Al-Qur’an Inspirasi Sains, Tafakur, Ternyata Akhirat Masih Tidak Kekal, Sang Atheis Pun Menerima

Konsep Takdir, Ketika Atheis Bertanya Tentang Ruh, Atheis Vs Tasawuf Modern

(49)

41

TENTANG TAKDIR

A. Takdir dalam Perspektif Dasar Keilmuan

Takdir dalam bahasa Arab berarti ketentuan, perkiraan, ukuran, atau keputusan. Dalam terminologi Islam, takdir adalah keputusan Tuhan yang berlaku bagi seluruh makhluk-Nya, termasuk manusia, atas dasar keyakinan akan adanya kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan serta status manusia.1

Tidak kurang dari 125 kali Al-Qur’an menyebut kata takdir atau qadar,

baik yang mengikuti pola

ﻞ ﻌﻓ

(fa’ala) maupun

ﻞ ﱠﻌﻓ

(fa’’ala) dengan berbagai

derivasi. Secara umum, al-Isfahani memahami kata tersebut sebagai al-qudrah (kemampuan). Apabila disandarkan kepada manusia, maka yang dimaksudkan adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu. Namun jika disandarkan kepada Allah, maka yang dimaksud adalah nafy al-ajz(peniadaan sifat lemah). Kalau ada ungkapan Allah adalah qadir (Maha Kuasa), maksudnya adalah kekuasaan-Nya tidak tersentuh sifat lemah sedikit pun, dan didasarkan atas hikmah (kebijaksanaan).2

1 Asmaran AS, Ensiklopedi Islam, Vol 7, ed Nina M. Armando, et. al. (Jakarta: Ichtiar

Baru Van Hoeve, 2005), 42.

2A. Husnul Hakim,Mengintip Takdir Ilahi: Mengungkap Makna Sunnatullah dalam

(50)

Sementara termqaddara-yuqaddiru-taqdir mengandung dua arti: pertama, memberi kemampuan. Kedua, menentukan sesuatu sesuai ukuran dan bentuk masing-masing berdasarkan hikmah. Contoh arti yang kedua ini: Allah menentukan pohon kurma berbuah kurma. Dengan demikian, pohon kurma tidak akan berbuah anggur atau lainnya. Dengan demikian, takdir Allah mengandung dua pengertian: pertama, ketentuan Allah yang terkait dengan sesuatu dalam wujud apapun, baik atas dasar kepastian atau kemungkinan. Inilah yang

dikehendaki oleh Allah dengan firman-Nya:

ار ﺪ ﻗ ء ﻰ ﺷ

ﻞ ﻜﻟ ﷲ ﻞ ﻌﺟ ﺪﻗ

(apa saja

yang ditetapkan oleh Allah selalu baik dan sesuai dengan kebijaksanaan-Nya). Pengertian yang kedua adalah memberikan kemampuan.3

Pembicaraan tentang qadar juga sering digandengkan dengan masalah qada’. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Satu versi berpendapat bahwa qadar adalah ketentuan Allah yang bersifat azali atau lebih dahulu dari qada’. Sementara versi yang lain berpendapat bahwa qada’ lebih dahulu daripada qadar. Bahkan ada yang tidak membedakan antara qada’ dan qadar. Menurut kelompok ini, keduanya merupakan ketetapan Allah yang termaktub diLauh Mahfuz. Kedua term ini sama-sama disebutkan di dalam Al-Qur’an. Dari beberapa ayat yang ada, mengindikasikan bahwa qada’ lebih dahulu daripada qadar. Jika qada’ merupakan ketetapan Allah pada zaman azali, maka qadar merupakan realisasi dari qada’. Dengan kata lain qada’ merupakan ketentuan Allah yang sudah sempurna.

(51)

Sedangkan qadar merupakan perwujudan dari ketetapan yang sudah mendahului (qada’), yang terkait dengan ilmu dan kehendak Tuhan.4

Menurut Abu ‘Audah, term qada’ dan qadar mengandung makna sebagai berikut:

a. (ketetapan dan kehendak).

b. (kemampuan dan keinginan) ––untuk melakukan

sesuatu.

c.

al-tauqit wa al-ihkam wa al-tadbir(pembatasan,

pelaksanaan, ketetapan, dan pengaturan).

Makna tersebut terkait dengan kata qadar yang dikaitkan dengan kata Allah, sebagai kehendak Allah dalam merealisasikan qada’-Nya. Sementara al-Razi membedakan qadar dalam tiga kategori:

a. Berartimiqdar(ukuran). Seperti dalam firman Allah,

“Dan tiap-tiap sesuatu di sisi-Nya terdapat ukuran.” (Qs. Ar Ra’d [13]: 8). Jadi, segala sesuatu telah diciptakan Allah sesuai dengan bentuk dan sifat-sifat yang terkait dengannya.

a. Berarti takdir (ketentuan / ketetapan). Artinya, Allah tidak akan menciptakan segala sesuatu kecuali disertai dengan takdirnya.

Lawan dari qada’. Artinya, qada’ merupakan ketetapan Allah yang berada dalam ilmu-Nya (berupa konsep), sementara qadar adalah ketetapan Allah yang sudah wujud menjadi iradah (kehendak)-Nya. Inilah yang dikehendaki oleh

(52)

firman-Nya:

Artinya: Sesungguhnya Kami ciptakan segala

sesuatu dengan qadar. (Qs. Al Qamar [54]: 49). Maksudnya ketentuan Allah

tersebut disertai dengan iradah-Nya.5

Adanya perdebatan tentang takdir adalah imbas dari zaman-zaman awal perkembangan Islam sesudah Rasulullah SAW wafat sampai abad pertengahan. Secara umum perdebatan tentang konsep takdir terbagi dalam 3 kutub. Kutub yang pertama adalah mereka yang memandang takdir sebagai kewenangan mutlak Sang Khaliq. Mereka diwakili oleh kelompok Jabariyah. Kelompok ini muncul pada abad ke 2 H. Tokohnya berasal dari kalangan Yahudi yang bermaksud merusak kepahaman umat Islam terhadap konsep takdir. Salah satu tokoh di antaranya

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Muhammad Abduh menawarkan sebuah pembaharuan dalam dunia pendidikan Islam bahwa dengan menggunakan akal, manusia akan lebih mudah

Menurut al-Jîllî, manusia yang paling tampak mempunyai potensi-potensi Insân Kâmil adalah Nabi Muhammad Saw, karena, dirinya menjadi manifestasi dari Esensi Tuhan.. Ekky Malaky,

Sedangkan menurut paham deisme, Tuhan mungkin saja menciptakan alam ini, tapi setelah alam ini tercipta, Tuhan tidak mempunyai hubungan apa-apa

Realitas yang ada menurut Iqbal merujuk pada Wujud Tuhan, Manusia dan alam, tetapi realitas yang ada dan sebenarnya ada adalah wujud dari Realitas absolut, Wujud

Pertama, sebagai kriteria golongan ahl al-kitāb menurut Rashid Riḍa dalam tafsirnya Tafsīr al-Manār yaitu mempunyai kitab suci dan telah diutusnya kepada mereka rasul,

Persoalan manusia adalah bagaimana ia menghubungkan kembali dirinya kepada Tuhan.14 Skripsi ini juga berangkat dari adanya krisis dalam sejarah pemikiran manusia seperti yang

Manusia yang adalah makhluk paling sempurna ( k฀mil ) dari semua ciptaan lain sejatinya memiliki tugas khusus untuk dengan patuh dan setia (abdi) dalam merawat dan mengelola

Manusia sebagai ciptaan Tuhan memiliki kaidah yang sepatutnya dipatuhi oleh dirinya sendiri dalam melakukan tindakan, ataupun perbuatan. Berikut ini adalah data-data