• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJUAN FIQIH SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN GUBEMUR JATIM DALAM MENGARAHKAN BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU (BPWS) DALAM UU NO 32 TAHUN 2004 DAN PERPRES NO 27 TAHUN 2008 TENTANG BPWS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJUAN FIQIH SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN GUBEMUR JATIM DALAM MENGARAHKAN BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU (BPWS) DALAM UU NO 32 TAHUN 2004 DAN PERPRES NO 27 TAHUN 2008 TENTANG BPWS."

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN FIQIH SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN GUBERNUR JATIM DALAM MENGARAHKAN BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU (BPWS) DALAM UU NO 32 TAHUN 2004 DAN PERPRES NO

27 TAHUN 2008 TENTANG BPWS

SKRIPSI

Oleh: Lu’luis Silfiyah NIM. C03209051

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Hukum Publik Islam

Prodi Hukum Pidana Islam SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian Pustaka tentang "Tinjuan Fiqih Siyasah Terhadap Kewenangan Gubemur Jatim Dalam Mengarahkan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) Dalam UU No 32 Tahun 2004Dan Perpres No 27 Tahun 2008 Tentang BPWS".

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan tentang bagaimana kewenangan Gubemur ProvinsiJatim dalam mengarahkan BPWS dalam Perpres No. 27 Tahun 2008 dan UUNo. 32 tahun 2004?, bagaimana tinjuan fiqh siyasah terhadapkewenangan Gubemur Jatim dalam mengarahkan BPWS dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan Perpres No. 27 Tahun 2008 Tentang BPWS?. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research). Adapun tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi, membaca, dan mencatat. Data yang berhasil dikumpulkan selanjutnya disusun dan dianalisis dengan menggunakan pola pikir deduktif, yakni memaparkan konsep Fiqh siyasah untuk menganalisis tentang kewenangan Gubemur Provinsi Jatim dalam mengarahkan BPWSdalam Perpres No. 27 Tahun 2008 dan UU No. 32 tahun 2004.

Wewenang Gubemur Provinsi Jawa Timur, Pertama, menurut Undang-Undang Otonomir Daerah No. 32 Tahun 2004 Pasal 25, adalah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah bersama DPRD. Dan dalamNo 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat (6) Gubemur berwewenang mengatur urusan pemerintahan daerah dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, Gubemur Jatim dalam PERPRES No 27. Tahun 2008 adalah Meminta penjelasan terhadap segala hal yang berkaitan denganpelaksanaan BPWS, keberadaan BPWS sedikit banyak menghilangkanwewenang Gubemur Jatim dalam melaksanakan kebijakannya dan juga status kepala daerah empat kabupaten Pulau Madura dan wali kota Surabaya yang tidak masuk dalam struktur BPWS. Padahal dijelaskan dalam Undang-undangotonomi daerah No. 32 tahun 2004 pasal 9 ayat ( 4) Untuk membentuk kawasankhusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintahmengikutsertakan daerah yang bersangkutan.

Hendaknya para birokrasi pemerintah khususnya Gubemur Jatim dan empat kepala daerah dan Wali Kota Surabaya mengusulkan kejanggalan ini kepemerintah pusat agar dicari jalan keluamya. Karena dalam Undang-Undang Otonomi daerah No 32 Tahun 2004 Pasal 9 ayat (5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepadaPemerintah.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian... 10

F. Kegunaan Hasil penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika {Pembahasan ... 18

(8)

BAB II PIMPINAN NEGARA PERSPEKTIF FIQH SIYASAH ... 20

A. FIQH SIYASAH ... 20

1. Defnisi Fiqh Siyasah ... 20

2. Ruang Lingkup Fiqh Siyasah ... 23

B. KONSEP LEMBAGA NEGARA DALAM ISLAM ... 27

1. Sulthah al-tasyri’iyyah(kekuasaan Legislatif) ... 28

2. Sulthah al-thanfidziyah (Kekuasaan Eksekutif) ... 29

3. Sulthah al-qadha’iyyah(Kekuasaan Yudikatif) ... 30

4. Wewenang tasyri’iyyah, tanfidziyah, qadha’iyyah ... 31

BAB III BPWS DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH DI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ... 33

A. KONSEP OTONOMI DAERAH ... 33

1. Definisi Otonomi Daerah ... 33

2. Konsep Desentralisasi ... 34

3. Dasar Dan Asas Pelaksanaan Otonomi Daerah ... 38

B. NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ... 40

1. Definisi Negara Kesatuan Republik Indonesia ... 40

2. Hubungan Wewenang Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah ... 43

3. Wewenang Pemerintah Daerah ... 46

C. BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU ... 51

1. Sejarah Berdirinya BPWS ... 51

2. BPWS Menurut PERPRES No. 27 Tahun 2008 ... 54

3. Tugas Dan Wewenang Gubernur Jatim Menurut PERPRES No 27 Tahun 2008 ... 57

BAB IV ANALISIS KEWENANGAN GUBERNUR JATIM DALAM

(9)

DAN PERPRES NO. 27 TAHUN 2008 PERSPEKTIF FIQH SIYASAH ... 62

A. ANALISIS KEWENANGAN GUBERNUR JATIM DALAM MENGARAHKAN BPWS DALAM PERPRES NO. 27 TAHUN 2008 ... 62

B. ANALISIS KEWENANGAN GUBERNUR JATIM DALAM MENGARAHKAN BPWS DALAM UU NO. 32 TAHUN 2004 ... 69

C. ANALISIS KEWENANGAN GUBERNUR JATIM DALAM MENGARAHKAN BPWS DALAM UU NO. 32 TAHUN 2004 DAN PERPRES NO. 27 TAHUN 2008 PERSPEKTIF FIQH SIYASAH ... 78

BAB V PENUTUP ... 80

A. KESIMPULAN ... 80

D. SARAN ... 81

DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTARTRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut: (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1987)

B.Vokal

1. Vokal Tunggal (monoftong)

Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia

___ـ__

Catatn: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika hamzah berh{arkat sukun. Atau didahului oleh huruf yang berh{arkat sukun. Contoh: iqtid{a>’ (ءا تقا)

2. Vokal Rangkap (diftong)

Tanda dan Huruf Arab

(11)

يـــــ

Transliterasi untuk ta>>>’ marbu>tah ada dua:

1. Jika hidup (menjadi mud{a>f) transliterasinya adalah t. 2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.

Contoh : shari>’at al-Isla>m (ماسااةعيرش)

: shari>’ah isla>mi>yah (ةيماساةعيرش)

D.Penulisan Huruf Kapital

(12)

TINJAUAN FIQIH SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN GUBERNUR JATIM DALAM MENGARAHKAN BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU (BPWS) DALAM UU NO 32 TAHUN 2004 DAN PERPRES NO 27

TAHUN 2008 TENTANG BPWS

A.Latar Belakang

Islam adalah agama yang rahmatan lil alami, yang mengatur segala

urusan segala urusan manusia.1 Dalam ajaran islam, masalah politik termasuk dalam kajian fiqih siyasah. Fiqih siyasah adalah salah satu disiplin ilmu tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya, dan negara pada khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan ajaran islam. Masalah pemisahan kekuasaan telah ada dalam hukum maupun negara islam, dan dipraktikkan sejak masa Rasulullah SAW dan al-khulafa’ al-rasyidin.2

Ulil Amr, sebagai pelaksana undang-undang, Qadi Syuraih sebagai pelaksana peradilan, majelis syura sebagai parlemen, dan ahl-halli wa al-aqdi sebagai dewan pertimbangan. Mengenai kekuasaan legislatif, mereka mempunyai dua wewenang pertama membuat uandang-undang. Kedua mengontrol pemerintah dalam masalah-masaah eksekutif. Mengenai yudikatif tidak mengharuskan memegang teguh pada sistem tertentu atau alat (negara) tertentu. Begitupun pandangan islam tentang eksekutif.3

1 Zainal Abidin ahmad, Membangun Negara Islam (Yogyakarta: Pustaka iqra’, 2001), 284 2Inu kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan Dan al-Quran, (Jakarta: Bumi aksara, 1995), 167

(13)

2

Dan Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik,4

Dimana daerah-daerahnya dibagi atas daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Pemerintahan Daerah yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 sampai Pasal 18B dan Undang-Undang

Pemerintahan Daerah, Dengan itu daerah dapat mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.5

Sejak kemerdekaan sampai dengan periode demokrasi terpimpin,

tantangan dihadapi oleh gagasan otonomi daerah dan prinsip desentralisasi. Pada

era Demokrasi Terpimpin, terjadi pemberontakan G.30.S/PKI pada tahun 1965.

Setelah terjadinya pergantian Presiden pada tahun 1967, barulah muncul

apresiasi mengenai pentingnya prinsip otonomi daerah dan desentralisasi

pemerintahan. Hal ini terlihat jelas dalam TAP MPRS tanggal 5 Juli 1966, No

XXI/MPRS/1966 Tentang Pemberian Otonomi yang seluas-luasnya Kepada

Daerah.6

Untuk melaksanakan ketetapan MPR ini, atas inisiatif pemerintah telah

disahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Sehingga dalam sidang tahunan

MPR, tahun 2000 sekali lagi ditetapkan ketetapan MPR yang merekomendasikan

kebijakan-kebijakan operasional dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah itu.

4 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 angka 1

5 Diakses melalui Google., Pemerintahan Daerah. pada hari Kamis 3 Desember 2013.

6 Jimly Asshiddiqqie, Konstitusi Dan Konstitusialismeindonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),

(14)

3

Ketetapan MPR tersebut adalah TAP No.IV/MPR/2000 Tentang Rekomendasi

Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.7 Atas dasar itulah ketika

lahir UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor

25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

Daerah yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemeritahan Daerah8.

Dari segi pembuatannya, sudah semestinya kedudukan Peraturan Daerah

ini, baik Peraturan Daerah tingkat propinsi, tingkat kabupaten atau kota, setara

dengan undang-undang yang merupakan produk hukum lembaga legislatif.

Namundari segi isinya kedudukan peraturan yang mengatur materi dalam ruang

lingkup daerah berlaku yang lebih sempit dan lebih rendah dibandingkan

peraturan daerah. Dengan demikian undang-undang lebih tinggi kedudukannya

dari pada Peraturan Daerah Propinsi, Kabupaten, atauKota. Karena itu sesuai

prinsip hierarki peraturan perundang-Undangan peraturan yang lebih rendah

tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi.9

Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk

oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala

7Ibid, 209

8 Thalhal, Mengkritisi Banyaknya Peraturan Daerah Bermasalah, Draf Akademis, Desember, 2009,

2

9 Jimly Asshiddiqqie, Konstitusi Dan Konstitusialismeindonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006),

(15)

4

Daerah.10 Wewenang sebagaimana dimaksud diatas dipertegas dalam Pasal 10

ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, bahwa Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah. Urusan Pemerintah dimaksud diatur dalam Pasal 10 ayat (3) meliputi: 1. Politik luar negeri, 2. Pertahanan, 3. Keamanan, 4. yustiti, 5. Moneter dan Fiskal Nasional, dan 6. Agama.11

Otonomi daerah memberikan kewenangan penuh pada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Mulai dari perencana, pelaksanaan dan beberapa hal lain terkait dengan pengawasan atas pelaksanaan yang telah direncanakan sebelumnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.12

Oleh karena itu dalam pengembangan pembangunan nasional Pemerintah memandang penting untuk mengembangkan kawasan pertumbuhan ekonomi di luar Jakarta. Kawasan pertumbuhan ekonomi tersebut adalah kawasan Surabaya dengan pembangunan Jembatan Suramadu dan kawasan industrialisasi di kawasan Gerbang Kerto Susilo (Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan) yang dimulai pada Pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1986-an.13

Ide awal proses Pembangunan Jembatan Tol Suramadu diharapkan akan mendorong

10 Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan

11 Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan

12 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah 13 Mutmainnah, Jembatan Suramadu: Respon Ulama Terhadap Industrialisasi. (Yogyakarta :

(16)

5

percepatan pengembangan sosial ekonomi dan tata ruang wilayah-wilayah tertinggal

yang ada di Pulau Madura.

Sebagai tindak lanjut dari upaya tersebut diatas, maka Untuk mendorong

percepatan dan pembangunan industrialisasi di kawasan ini, Pemerintah

mengeluarkan dasar hukum, yaitu Peraturan Presiden Nomor 27 tahun 2008 (PerPres

No. 27 tahun 2008) mengenai Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS)

sebagai pengelola Wilayah Pengembangan KawasanIndustrialisasi di Madura.14

Selanjutnya Badan Pelaksana BPWS (Bapel BPWS), sesuai dengan amanah

Perpres 27 Tahun 2008 di atas, memiliki tugas dan fungsi untuk melaksanakan

pengelolaan, pembangunan dan fasilitasi percepatan kegiatan pembangunan wilayah

Suramadu..15 Selain melaksanakan tugas dan fungsi di atas, Bapel BPWS juga

bertugas untuk stimulasi pembangunan infrastruktur untuk wilayah Suramadu secara

keseluruhan. Dalam hal ini Bapel BPWS melakukan koordinasi perencanaan dan

pengendalian pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan Kementerian/LPNK lain,

pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), maupun swasta/masyarakat di

wilayah Madura.16

Akan tetapi sejak awal pembentukan BPWS mendapat berbagai penolakan

dari berbagai kalangan. Mulai dari yang mengatasnakan Lembaga Swadaya

Masyarakat, Kaukus Parlemen Daerah, Hingga Pemerintah Daerah seluruh Madura

yang terdiri dari empat kabupaten mengajukan keberatannya atas keberadaan BPWS.

Akibat banyaknya penolakan di daerah, kinerja badan ini tidak maksimal dan hingga

(17)

6

laporan penelitian ini disampaikan, belum banyak manfaat yang dapat dirasakan oleh

daerah atas keberadaan BPWS.

Penolakan ini berdasarkan argumentasi bahwa (1) pemerintah daerah tidak

dilibatkan; (2) terjadi pencaplokan oleh Pemerintah padahal pembangunan ini akan

dilaksanakan di daerah; (3) Daerah merasa lebih berhak dengan diterapkannya

otonomi daerah. Penolakan ini didasarkan atas prinsip “Otonomi Daerahس. Daerah

beranggapan bahwa dengan diterapkannya desentralisasi, sebenarnya Pemerintah

tidak berwenang mengeluarkan PerPres No. 27 tahun 2008 yang mendelegasikan

pengelolaan kawasan Suramadu kepada BPWS.

Dari uraian latar belakang di atas penulis sangat tertarik untuk lebih

memahami dan ingin mengadakan penelitian tentang kewenangan kepala daerah

jawa timur terkait dengan kebijakan pengelolaan,pengembangan wilayah

Suramadu, dengan topik: ͆Tinjauan Fiqih Siyasah Terhadap Kewenangan

Gubernur Jatim Dalam Mengarahkan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu

(BPWS) Dalam UU No 32 Tahun 2004 Dan Perpres No 27 Tahun 2008 Tentang

BPWS ͇

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan

kemungkinan-kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian dengan

(18)

7

dapat diduga sebagai masalah.17 Berdasarkan latar belakang masalah di atas,

maka dapat diidentifikasi masalah penelitian ini adalah:

1. Otonomi daerah menurut Undang-Undang No 32 tahun 2004

2. Peraturan Presiden No 27 tahun 2008 tentang Badan Pengembangan Wilayah

Suramadu (BPWS).

3. Penolakan intansi pemerintah daerah terhadap Peraturan Presiden No 27 tahun

2008

4. Wewenang Gubernur provinsi jawa timur dalam Otonomi daerah No 32 tahun

2004

5. Wewenang Gubernur Jawa Timur dalam menjalankan Otonomi Daerah

menurut UU No 32 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden (Perpres) No 27 tahun

2008. .

Agar lebih terarah dan pembahasan penelitian ini tidak melebar, maka

diperlukan adanya pembatasan masalah, masalah ini di batasi pada:

1. Kewenangan gubernur provinsi jatim dalam mengarahkan Overlapping dalam

UU No. 32 tahun 2004 dan Perpres No. 27 Tahun 2008 Tentang BPWS

2. Tinjauan Fiqh Siyasah terhadap kewenangan Gubernur Jatim dalam

mengarahkan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) dalam UU

No. 32 Tahun 2004 dan Perpres No. 27 Tahun 2008 Tentang BPWS

(19)

8

C.Rumusan Masalah

Untuk memudahkan proses penelitian dan penulisan, maka diperlukan

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Kewenangan gubernur provinsi jatim dalam mengarahkan

Overlapping dalam UU No. 32 tahun 2004 dan Perpres No. 27 Tahun 2008

Tentang BPWS?

2. Bagaimana tinjauan Fiqih Siyasah terhadap kewenangan Gubernur Jatim

dalam mengarahkan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu dalam UU No.

32 Tahun 2004 dan Perpres No. 27 Tahun 2008 Tentang BPWS?

D.Kajian Pustaka

Otonomi daerah sebagai salah satu kebijakan yang memberikan

kewenangan penuh pada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, kalau

kita kaitkan dengan kewenangan Gubernur jatim dalam mengarahkan BPWS,

tentunya sangat menarik dan banyak peneliti yang telah membahas

sebelum-sebelumnya.18

dari hasil pengamatan peneliti tentang kajian-kajian sebelumnya,

peneliti temukan beberapa kajian di antaranya:

1. Skripsi yang di tulis oleh M. Satria yang berjudul “Implementasi

undang-undang Pemerintahan daerah serta prinsip-prinsip Good governance oleh

(20)

9

kepala daerah Dalam penyelenggaraan hak otonomi” skripsi ini membahas

tentang kewenangan otnomi daerah bagi eksekutif tidak hanya merumuskan

dan menentukan arah pembangunan suatu daerah, tapi juga dapat mengatur

kebijakan melalui kewenangan legislatif yang ada padanya. Hal ini

dikarenakan, potensi, peluang dan persaingan global, memberikan peluang

yang seluas-luasnya kepada daerah dengan pemberian hak dan kewajiban

menyelenggarakan pemerintah, untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat. Sehingga keinginan untuk memberikan hak

otonomi dalam menjalankan sendiri pemerintahan di daerah, pemerintah pusat

berupaya secara maksimal untuk lebih memperhatikan lagi daerah-daerah

yang ada, untuk menjaga keutuhan NKRI.19

2. Skripsi yang di tulis oleh Hadrian Habas yang berjudul “Suatu perbandingan

undang nomor 12 tahun 2008 Tentang perubahan kedua atas

undang-undang no 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dalam Mewujudkan

pemerintahan yang baik” skripsi ini membahas tentang adanya dua

undang-undang Pemerintahan Daerah yaitu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 lahir karena adanya tuntutan dari masyarakat kepada Pemerintah untuk membentuk Undang-Undang tentang

(21)

10

Pemerintahan Daerah yang berpihak kepada masyarakat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dinilai tidak lagi mampu menjawab kebutuhan tentang tugas dan wewenang serta kewajiban Wakil Kepala Daerah, Tugas dan wewenang DPRD, Ketentuan pidana pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Untuk itu digantikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.20

Skripsi-skripsi di atas lebih menekankan pada penerapan dari

masing-masing pembiayaan, sementara itu, penelitian yang akan penulis lakukan ini

lebih menekankan pada kewenangan kepala daerah jawa timur terkait dengan

kebijakan pengelolaan,pengembangan wilayah Suramadu yaitu, “Tinjauan Fiqih

Siyasah Terhadap Kewenangan Gubernur Jatim Dalam Mengarahkan Badan

Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) Dalam UU No 32 Tahun 2004 Dan

Perpres No 27 Tahun 2008 Tentang BPWS ͇

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah rumusan tentang tujuan yang ingin dicapai

oleh peneliti melalui penelitian yang dilakukannya.21 Sesuai dengan rumusan

masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

20 Hadrian Habas, Suatu Perbandingan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, Skripsi, (Padang:Fakultas Hukum Reguler Mandiri Universitas Andalas).

(22)

11

1. Untuk mengetahui Wewenang Gubernur Provinsi Jawa Timur dalam

Undang-undang No 32 tahun 2004 dan Peraturan Presiden No 27 tahun 2008 tentang

Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS).

2. Untuk mengetahui Wewenang Gubernur Provinsi Jawa Timur dalam

Undang-undang No 32 tahun 2004 dan Peraturan presiden No 27 tahun 2008 tentang

Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) perspektif Fiqih Siyasah.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari permasalahan di atas, penelitian dan penulisan ini diharapkan

mempunyai nilai tambah dan manfaat baik untuk penulis maupun pembaca, yang

berguna dalam dua aspek yaitu:

1. Dari segi teoritis

a. Diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan pemahaman studi

hukum Islam terhadap mahasiswa fakultas syariah pada umumnya dan

mahasiswa jurusan Siyasah Jinayah pada khususnya.

2. Dari segi praktis

a. Dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi peneliti berikutnya untuk

(23)

12

b. Guna dijadikan pedoman dalam rangka penambahan refrensi tentang

Otonomi daerah menurut UU No 32 Tahun 2004 dan Peraturan presiden No

27 Tahun 2008.

G.Definisi Operasional

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan tidak terjadi kesalah

pahaman pembaca dalam memahami judul skripsi ini, maka penulis perlu

menjelaskan variabel-variabel dalam judul skripsi ini, yaitu :

Tinjauan : Pandangan atau pendapat yang diperoleh sesudah

menyelidiki atau mempelajari suatu masalah.22

Fiqih Siyasah al-Qadha : al- qadha dalam konteks fiqih siyasah adalah

kekuasaan yang mempunyai hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan. Dalam rangka menegakkan

kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan serta tujuan menguatkan negara dan menstabilkan

kedudukan hukum kepala negara.23

Otonomi Daerah :Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

22 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Universitas Michigan: Balai Pustaka, 2003),

1078.

(24)

13

dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.24

Wewenang Gubernur :Gubernur atau kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah memiliki kewenangan tindakan pemerintahan sebagai kepala daerah otonom maupun kepala wilayah. Kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah melaksanakan kewenangan atribusi, delegasi dan mandat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.25

BPWS :adalah Badan Pelaksana yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai pengelola Wilayah Pengembangan Kawasan Industrialisasi di Madura. Yang memiliki

tugas dan fungsi untuk melaksanakan pengelolaan,

pembangunan dan fasilitasi percepatan kegiatan

pembangunan wilayah Suramadu. Dan juga bertugas

untuk stimulasi pembangunan infrastruktur untuk

Wilayah Suramadu secara keseluruhan.26

(25)

14

H.Metode Penelitian

Metode penelitian ini meliputi:

Metode penelitian skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan

(library research) yaitu melalui serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan

metode pengumpulan data kepustakaan, membaca dan mencatat serta mengolah

bahan penelitian.27 Dengan menggunakan metode deskriptif analisis

1. Data yang Dikumpulkan

Agar dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa dipertanggung

jawabkan dan relevan dengan permasalahan yang diangkat, maka data yang peneliti kumpulkan di antaranya, yaitu:

1. Data tentang wewenang gubernur provinsi jawa timur dalam Konteks

otonomi daerah menurut UU No 32 tahun 2004.

2. Data tentang peraturan presiden No 27 tahun 2008 tentang badan

pengembangan wilayah suramadu (BPWS).

3. wewenang gubernur provinsi jawa timur dalam Konteks otonomi daerah

menurut UU No 32 tahun 2004 peraturan presiden No 27 tahun 2008

tentang badan pengembangan wilayah suramadu (BPWS) perspektif Fiqh

Siyasah.

2. Sumber Data

27 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), 3

(26)

15

Sumber data yang akan dijadikan pegangan dalam penelitian ini

peneliti mendapatkan data yang konkrit serta ada kaitannya dengan masalah

kewenangan gubernur propinsi jatim dalam mengarahkan BPWS meliputi

data primer dan data sekunder yaitu:

a. Sumber Primer

1. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah

2. Peraturan Presiden No 27 Pasal 1 ayat (3) Tahun 2008 b. Sumber Sekunder

Sumber data sekunder merupakan sumber pelengkap yang

diperoleh dari data kepustakaan yang ada hubungannya dengan

pembahasan dalam penelitian ini yaitu:

1. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Universitas Michigan: Balai Pustaka, 2003.

2. Jimly Asshiddiqqie, Konstitusi dan Konstitusialisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.

3. Mutmainnah, Jembatan Suramadu :Respon Ulama Terhadap Industrialisasi. (Yogyakarta : LKPSM, 1998).

4. Moch. Rifa’I, Ushul Fiqh, Bandung: PT Alma’ Arif, 1973.

(27)

16

6. Mestika Zed, penelitian kepustakaan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , Cet. III, 2004.

7. Lely J.Moleong, Metodologi penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, Cet. VII, 2002

8. Restu Kartiko Widi, Asas Metodelogi Penelitian, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010.

9. Sukudin dan Mundir, Metode Penelitian: Menimbang dan Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia Penelitian, Surabaya: Insan Cendikia,

2005.

10. Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, maka upaya

pengumpulan data yang dilakukan untuk menjawab masalah dalam penelitian

ini secara keseluruhan bersifat Library Research (penelitian kepustakaan)

yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama. Penelitian ini

juga termasuk dalam kategori historis-faktual, karena yang diteliti adalah

penelitian pustaka.28 Teknik yang digunakan adalah mengumpulkan beberapa

tulisan yang membahas tentang Otonomi Daerah baik berupa buku maupun

tulisan lepas.

(28)

17

Pada kajian ini, ingin melihat bagaimana pandangan Fiqh Siyasah

terutama pandangan Fiqh Siyasah Imamah terhadap Otonomi daerah dengan

adanya BPWS ini, dan Perpres No 27 Tahun 2008 tentang BPWS. Di

antaranya adalah:

a. Dokumentasi

Dokumentasi adalah alat pengumpul data yang berupa dokumen

dan catatan dari sumber yang diteliti. Teknik ini dilakukan dengan cara

mencatat data, dokumen lembaga terkait dengan penelitian. Dokumentasi

ini merupakan dalil konkrit yang bisa penulis jadikan acuan untuk menilai

seberapa besar peran Otonomi Daerah dalam kewenanagan Gubernur jatim

dan Perpres No 27 tahun 2008 perspektif Fiqh siyasah.

4. Teknik Pengolahan Data

Penulis akan memaparkan dan mendeskripsikan semua data yang

penulis dapatkan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Organizing : Suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.29

b. Editing : Kegiatan memperbaiki kualitas data (mentah) serta menghilangkan keraguan akan kebenaran/ketepatan data tersebut.30

(29)

18

c. Coding : Mengklasifikasi data-data. Maksudnya data-data yang telah diedit tersebut diberi identitas sehingga memiliki arti tertentu pada saat

analisis.31

5. Analisa Data

Data tentang ketentuan otonomi daerah menurut undang-undang

(UU) No 32 tahun 2004 dan PERPRES No. 27 tahun 2008 yang diperoleh dari

pustaka dan dokumentasi, dianalisis dengan metode Deskriptif Analisis, dan

menganalisa data tersebut dengan pola pikir deduktif. Metode deskriptif

analisis yaitu membuat deskripsi atau menjelaskan secara sistematis tentang

data Wewenang Gubernur Provinsi Jatim dalam Mengarahkan BPWS dalam

konteks Otonomi daerah menurut UU No. 32 tahun 2004 dan PERPRES No

27 tahun 2008 dengan analisa Perspektif Fiqh Siyasah.32 Kerja dari metode

Deskriptif-Analisis, yaitu dengan cara menganalisis Wewenang Gubernur

Provinsi Jatim dalam Mengarahkan BPWS dalam konteks Otonomi daerah

menurut UU No. 32 tahun 2004 dan PERPRES No 27 tahun 2008 dengan

analisa Perspektif Fiqh Siyasah kemudian diperoleh kesimpulan.33 Untuk

mempertajam analisis, metode Content analysis (analisi isi) juga penulis

gunakan. Content Analysis digunakan melalui proses mengkaji data yang

31Ibid, 99

32 Moch Nazir, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, 2

(30)

19

diteliti. Dari hasil analisis isi ini diharapkan akan mempunyai sumbangan

teoritik.34

I. Sistematika Pembahasan

Secara keseluruhan skripsi tersusun dalam lima bab dan masing-masing

bab terdiri dari beberapa sub bab pembahasan, hal ini dimaksudkan untuk

mempermudah dalam pemahaman serta penelaahan, adapun sistematikanya

adalah sebagai berikut:

BAB ke I Merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,

identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan

penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian

yang berisi data yang dihimpun, sumber data yang terdiri dari data primer dan

sekunder, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan sistematika

pembahasan.

BAB ke II Memuat tentang Konsep Fiqh Siyasah yang berisi tentang

Definisi Fiqih Siyasah, Ruang Lingkup Pembahasan Fiqh siyasah. Dan Konsep

Lembaga Negara dalam Islam, yang berisi Tentang definisi Sulthah

al-tasyri’iyyah (kekuasaan Legislatif), Sulthah al-thanfidziyah (Kekuasaan

Eksekutif), Sulthah al-qadha’iyyah (Kekuasaan Yudikatif), wewenang Sulthah

(31)

20

tasyri’iyyah, Sulthah al-thanfidziyah, dan Sulthah al-qadha’iyyah dalam

ketatanegaraan.

BAB ke III Memuat tentang Otonomi daerah yang Berisi tentang Desentralisasi,

Dekonsentrasi, Hubungan Pemerintah Pusat dan daerah, dan Otonomi daerah

Menurut UU No. 32 tahun 2004. dan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu

(BPWS) yang berisi tentang Tugas BPWS, Fungsi/tujuan BPWS, BPWS

menurut Perpres No 27 Tahun 2008.

BAB ke IV Analisis kewenangan Gubernur Provinsi Jatim dalam mengarahkan

BPWS dalam Perpres No. 27 Tahun 2008 Tentang BPWS, Analisis kewenangan

gubernur provinsi jatim dalam UU No. 32 tahun 2004, dan Analisis kewenangan

Gubernur Jatim dalam mengarahkan BPWS dalamUU No. 32 Tahun 2004 dan

Perpres No. 27 Tahun 2008 Tentang BPWS Perspektif Fiqih Siyasah

BAB ke V Pada bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan

(32)

BAB II

PEMIMPIN NEGARA PERSPEKTIF FIQH SIYASAH

A. Fiqh Siyasah

1. Definisi Fiqh Siyasah

Menurut J.J. Rousseau (1712-1778 M), secara Natural Law, setiap

individu melalui perjanjian bersama, mereka membentuk sebuah

masyarakat (social contract). Dengan terbentuknya masyarakat ini, maka

secara otomatis terbentuklah sebuah pemerintahan yang dapat mengatur

dan memimpin masyarakat tersebut.1 Dalam pergaulan hukum Islam

mencakup segala aspek kehidupan manusia. Karena terbukti hukum Islam

secara langsung mengatur urusan duniawi manusia.2 Maka dari sinilah

perlunya sebuah disiplin ilmu di dalam hukum Islam dapat mengatur

konsep pemerintahan. Karena pemerintahan sangat diperlukan di dalam

mengatur kehidupan manusia. Disiplin ilmu tersebut adalah Fiqh Siyâsah.

Kata “Fiqh Siyâsah” yang tulisan bahasa Arabnya adalah “ هقفلا

يسايسلا” berasal dari dua kata yaitu kata fiqh (ه لا) dan yang kedua adalah

Al-Siyâsî (يساي لا). Kata Fiqh secara bahasa adalah paham. Secara istilah,

menurut ulama usul, kata fiqh berarti: ( ن مب ت ملاةي معلا ةيعر لا ما حأابم علا

(33)

21

ا تلدأ

ةي ي تلا ) yaitu mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah

yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci.3

Apabila digabungkan kedua kata fiqh dan al-siyâsî maka fiqh

siyâsah yang juga dikenal dengan nama siyâsah syar’iyyah. Secara istilah

memiliki berbagai arti:

a. Menurut Imam al-Bujairimî: Memperbagus permasalahan rakyat dan

mengatur mereka dengan cara memerintah mereka untuk mereka

dengan sebab ketaatan mereka terhadap pemerintahan.4

b. Menurut Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait

Memperbagus kehidupan manusia dengan menunjukkan pada mereka

pada jalan yang dapat menyelamatkan mereka pada waktu sekarang

dan akan datang, serta mengatur permasalahan mereka.5

c. Menurut Imam Ibn Âbidîn Kemaslahatan untuk manusia dengan

menunjukkannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia

maupun di akhirat. Siyâsah berasal dari Nabi, baik secara khusus

maupun secara umum, baik secara lahir, maupun batin. Dari Segi lahir

siyâsah berasal dari para sultan (pemerintah), bukan lainnya.

Sedangkan secara batin, siyâsah berasal dari ulama sebagai pewaris

Nabi bukan dari pemegang kekuasaan”.6

3 Ibid., 19.

4 Sulaimân bin Muhammad al-Bujairimî, Hâsyiah al-Bujairimî ‘alâ al-Manhaj (Bulaq: Mushthafâ al-Babî al-Halâbî, t.t.), vol. 2, 178.

5 Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah (Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t.) vol. 25, 295.

(34)

22

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua unsur

penting dalam Fiqh Siyâsah yang saling berhubungan secara timbal balik,

yaitu:

a. Pihak yang mengatur.

b. Pihak yang diatur.

Melihat kedua unsur tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh

Siyâsah itu mirip dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono

Prodjodikoro bahwa:7 Dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu

negara yang perintahnya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat.8

Perbedaan tersebut tampak apabila disadari bahwa dalam

menjalani politik di dalam hukum Islam haruslah terkait oleh kepastian

untuk senantiasa sesuai dengan syariat Islam, atau sekurang-kurangnya

sesuai dengan pokok-pokok syariah yang kullî. Dengan demikian,

rambu-rambu fiqh siyâsah adalah: 1. Dalil-dalil kullî, baik yang tertuang di

dalam Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW; 2. Maqâshid

al-syarî’ah; 3. Kaidah-kaidah usul fiqh serta cabang-cabangnya.9

Oleh karena itu, politik yang didasari atas adat istiadat atau

doktrin selain Islam, yang dikenal dengan siyâsah wadl’iyyah itu

bukanlah fiqh siyâsah, hanya saja selagi siyâsah wadl’iyyah itu tidak

bertentangan dengan prinsip Islam, maka ia tetap dapat diterima.10

7 H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah, (Jakarta: Kencana, 2007), 28

8 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, (Bandung: Eresco, 1971), 6 9 David Crystal, Penguin Encyclopedia, (London: Penguin Books, 2004), 28-9.

(35)

23

2. Ruang Lingkup Fiqh Siyasah

Menurut Imam al-Mâwardî, seperti yang dituangkan di dalam

karangan fiqh siyâsah-nya yaitu al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, maka dapat

diambil kesimpulan ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:11

a. Siyâsah Dustûriyyah

b. Siyâsah Mâliyyah

c. Siyâsah Qadlâ`iyyah

d. Siyâsah Harbiyyah

e. Siyâsah `Idâriyyah

Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah

membagi ruang lingkup fiqh siyâsah menjadi delapan bidang, yaitu:12

a. Siyâsah Dustûriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan

perundang-undangan).

b. Siyâsah Tasyrî’iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang penetapan

hukum).

c. Siyâsah Qadlâ`iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan).

d. Siyâsah Mâliyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter).

e. Siyâsah `Idâriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi negara).

f. Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan

hubungan luar negeri atau internasional).

11 Alî bin Muhammad al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-شAlamiyyah, 2006), 4; Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 13.

(36)

24

g. Siyâsah Tanfîdziyyah Syar’iyyah (politik pelaksanaan

undang-undang).

h. Siyâsah Harbiyyah Syar’iyyah (politik peperangan).

Dari sekian uraian tentang ruang lingkup fiqh siyâsah dapat

dikelompokkan menjadi dua bagian pokok. Pertama, politik

perundang-undangan (Siyâsah Dustûriyyah). Bagian ini meliputi pengkajian tentang

penetapan hukum (Tasyrî’iyyah) oleh lembaga legislatif, peradilan

(Qadlâ`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan

(`Idâriyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.13

Kedua, politik luar negeri (Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah

Khârijiyyah). Bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara warga

negara yang muslim dengan yang bukan muslim yang bukan warga

negara. Di bagian ini juga ada politik masalah peperangan (Siyâsah

Harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar diizinkan

berperang, pengumuman perang, tawanan perang, dan genjatan senjata.14

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa fiqh siyâsah

mempunyai kedudukan penting dan posisi yang strategis dalam

masyarakat Islam. Dalam memikirkan, merumuskan, dan menetapkan

kebijakan-kebijakan politik praktis yang berguna bagi kemaslahatan

masyarakat muslim khususnya, dan warga lain umumnya, pemerintah

jelas memerlukan fiqh siyâsah. Tanpa kebijakan politik pemerintah,

sangat boleh jadi umat Islam akan sulit mengembangkan potensi yang

13 Iqbal, Fiqh Siyasah, 13.

(37)

25

mereka miliki. Fiqh siyâsah juga dapat menjamin umat Islam dari hal-hal

yang bisa merugikan dirinya. Fiqh siyâsah dapat diibaratkan sebagai akar

sebuah pohon yang menopang batang, ranting, dahan, dan daun, sehingga

menghasilkan buah yang dapat dinikmati umat Islam.15

Salah satu doktrin Islam adalah bahwa Islam yang diturunkan

Allah melalui Nabi Muhammad telah menegaskan dirinya sebagai agama

sempurna16 dan Nabi Muhammad diutus sebagai Nabi penutup.17

Sementara itu, wahyu terbatas oleh ruang dan waktu dan Nabi

Muhammad hidup serta wafat dalam satu fase masa tertentu, sementara

zaman terus berubah dan berkembang. Mungkinkah sesuatu ajaran yang

terbatas dengan ruang dan waktu dapat menjawab kebutuhan hidup

manusia sepanjang zaman? Untuk hal ini para ulama memberikan

jawaban. Kesempurnaan Islam mencakup dua makna yang berkaitan,

universal dan komprehenship atau Syumul dan Mutakaamil. Universalitas

Islam mengharuskan bahwa Islam kompatibel untuk setiap zaman dan

tempat, sedang komprehensivitas Islam mengharuskan Islam dapat

menjawab dan menjadi solusi atas setiap permasalahan yang muncul dari

segala aspek kehidupan.18

Al-Quran dan Hadits Nabi mencakup esensi setiap permasalahan

baik yang telah terjadi, sedang maupun yang akan terjadi. Sebagaimana

dikatakan oleh Imam Asy Syafi'i, “tidak ada sesuatu yang terjadi kepada

15 Djazuli, Fiqh Siyâsah, 36-8. 16 Surat Al-Maidah ayat 3 17 Surat Al-Ahzab ayat 40

(38)

26

pemeluk agama Allah melainkan pada Kitabullah telah ada dalilnya

melalui jalan petunjuk padanya".19 Dengan kerangka berpikir di atas,

setiap muslim berkeyakinan bahwa setiap permasalahan dalam hidupnya

adalah bagian dari ajaran Islam. Salah satu aktifitas kehidupan manusia

dalam bermasyarakat adalah berpolitik atau siyasah. Karena Islam itu

mengatur setiap kehidupan termasuk berpolitik, maka berpolitik pun ada

batasan-batasan syariatnya, sehingga melahirkan istilah Siyasah Syariyah

atau politik syariat.

Siyasah Syar'iyah adalah setiap kebijakan dari penguasa yang

tujuannya menjaga kemaslahatan manusia, atau menegakan hukum Allah,

atau memelihara etika, atau menebarkan keamanan di dalam negeri,

dengan apa yang tidak bertentangan dengan Nash, baik Nash itu ada

(secara eksplisit) ataupun tidak ada (secara implisit).20

Jadi esensi dari siyasah syar'iyah adalah kebijakan penguasa yang

dilakukan untuk menciptakan kemaslahatan dengan menjaga

rambu-rambu syariat. Rambu-rambu-rambu syariat dalam siyasah adalah: (1) dalil-dalil

kully, dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits; (2) Maqâshid Syari'ah; (3)

semangat ajaran Islam; (4) kaidah-kaidah Kulliyah Fiqhiyah.21

19 Muhanmmad Bin Idris Asy Syafi'i, Ar Risâlah, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut: Dar el Fikr, tt), 20

20 Abdurahman Abdul Aziz Al Qasim, Al Islâm wa Taqninil Ahkam, (Riyadh: Jamiah Riyadh, 177), 83

(39)

27

B. KONSEP LEMBAGA NEGARA DALAM ISLAM

Prinsip kedaulatan rakyat menjadi latar belakang terciptanya struktur

dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin

tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi

kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan melalui

sistem pemisahan kekuasaan(separation of power) atau pembagian

kekuasaan (distribution of power). Sedangkan dalam islam yang menjadi latar

belakang terciptanya struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan

pemerintahan adalah berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang di tetapkan

Al-Quran dan Al – Hadist Nabi Muhammad SAW. Prinsip pertama adalah

bahwa seluruh kekuasaan di alam semesta ada pada Allah karena ia yang

telah menciptakannya. Prinsip kedua adalah bahwa hukum islam ditetapkan

oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist nabi, sedangkan Hadist

merupakan penjelasan tentang Al-Qur’an.22

Dalam sejarah Ketatanegaraan Islam, terdapat tiga badan kekuasaan,

yaitu : Sulthah al-tasyri’iyyah (kekuasaan Legislatif), Sulthah al-thanfidziyah

(Kekuasaan Eksekutif), Sulthah al-qadha’iyyah (Kekuasaan Yudikatif).

Jadi Tulisan singkat ini tidak mencoba merekam semua khazanah

ketatanegaraan yang pernah ada, namun akan mengkaji beberapa istilah

lembaga pemerintahan yang pernah muncul dalam perjalanan sejarah politik

Islam di atas. Pembahasan ini antara lain tasyri’iyyah, tanfidziyah,

qadha’iyyah

(40)

28

1. Tasyri’iyyah

Dalam kajian fiqh siyasah, legislasi atau kekuasaan legislative

disebut juga dengan al-sulthah al-tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintah

Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Dalam wacana fiqh

siyasah, istilah al-sulthah al-tasyri’iyah digunakan untuk menunjukan

salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur

masalah kenegaraan, di samping kekuasaan eksekutif (sulthah

al-tanfidzhiyah) dan kekuasaan yudikatif (al-sulthah al-qadha’iyah). Dalam

konteks ini kekuasaan legislative (al-sulthah al-tasyri’iyah) berarti

kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum

yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya

berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT dalam syari’at

Islam.23

Orang-orang yang duduk dalam lembaga legislative ini terdiri dari

para mujtahid dan ahli fatwa (mufti) serta para pakar dalam berbagai

bidang. Ada dua fungsi lembaga legislative. Pertama, dalam hal-hal

ketentuannya, sudah terdapat didalam nash Al-Qur’an dan Sunnah,

undang-undang yang dikeluarkan oleh al-sulthah al-tasyri’iyah adalah

undang-undang Ilahiyah yang disyari’atkanNya dalam Al-Qur’an dan

dijelaskan oleh Nabi SAW. Kedua, melakukan penalaran kreatif (ijtihad)

terhadap permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash.

23Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media

(41)

29

Kewenangan lain dari lembaga legislative adalah dalam bidang keuangan

negara. Dalam masalah ini, lembaga legislative berhak mengadakan

pengawasan dan mempertanyakan pembendaharaan negara, sumber

devisa dan anggaran pendapat dan belanja yang dikeluarkan negara

kepada kepala negara selaku pelaksana pemerintahan.

Unsur-unsur legislasi dalam fiqh siyasah dapat dirumuskan

sebagai berikut :

a. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum

yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam .

b. Masyarakat Islam yang akan melaksnakan.

c. Isi peraturan atau hukum yang sesuai dengan nilai dasar syari'at

Islam.24

2. Tanfidziyah

Menurut al-Maududi, lembaga eksekutif dalam Islam dinyatakan

dengan istilah ul al-amr dan dikepalai oleh seorang Amir atau Khalifah.

istilah ul al-amr tidaklah hanya terbatas untuk lembaga eksekutif saja

melainkan juga untuk lembaga legislatif, yudikatif dan untuk kalangan

dalam arti yang lebih luas lagi. Namun dikarenakan praktek pemerintahan

Islam tidak menyebut istilah khusus untuk badan-badan di bawah kepala

negara yang bertugas meng-execute ketentuan perundang-undangaaan

seperti Diwan al-Kharāj (Dewan Pajak), Diwan al-Ahdas ׂ(Kepolisian),

wali untuk setiap wilayah, sekretaris, pekerjaan umum, Diwan al-Jund

(42)

30

(militer), sahib al-bait al-māl (pejabat keuangan), dan sebagainya yang

nota bene telah terstruktur dengan jelas sejak masa kekhilafahan Umar

bin Khattab maka untuk hal ini istilah ul al-amr mangalami

penyempitan makna untuk mewakili lembaga-lembaga yang hanya

berfungsi sebagai eksekutif. Sedang untuk Kepala Negara, al-Maududi

menyebutnya sebagai Amir dan dikesempatan lain sebagai Khalifah.25

Berdasarkan al-Qur`an dan as-Sunnah, umat Islam diperintahkan

untuk mentaatinya dengan syarat bahwa lembaga eksekutif ini mentaati

Allah dan Rasul-Nya serta menghindari dosa dan pelanggaran.

3. Qadha’iyyah

Dalam kamus ilmu politik, yudikatif adalah kekuasaan yang

mempunyai hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan. Dan dalam

konsep Fiqh Siyasah, kekuasaan yudikatif ini biasa disebut sebagai

Sulthah Qadhaiyyah. Kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan

perkara-perkara perbantahan dan permusuhan, pidana dan penganiayaan,

mengambil hak dari orang durjana dan mengembalikannya kepada yang

punya, mengawasi harta wakaf dan persoalan-persoalan lain yang

diperkarakan di pengadilan. Sedangkan tujuan kekuasaan kehakiman

adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya

keadilan serta tujuan menguatkan negara dan menstabilkan kedudukan

hukum kepala negara.

(43)

31

Penetapan syariat Islam bertujuan untuk menciptakan

kemaslahatan. Dalam penerapannya (syariat Islam) memerlukan lembaga

untuk penegakannya. Karena tanpa lembaga (al-Qadha) tersebut,

hukum-hukum itu tidak dapat diterapkan. Dalam sistem pemerintah Islam,

kewenangan peradilan (al-Qadha) terbagi ke dalam tiga wilayah,

yaitu Wilayah Qadha, Wilayah Mazhalim, dan Wilayah Hisbah.26

4. Wewenang tasyri’iyyah, tanfidziyah, dan qadha’iyyah

Dalam konteks ini kekuasaan legislative (al-sulthah al-tasyri’iyah)

berarti kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan

hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya

berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT dalam syari’at

Islam.

Tugas Al- Sulthah Tanfidziyah adalah melaksanakan

undang-undang. Disini negara memiliki kewewenangan untuk menjabarkan dan

mengaktualisasikan perundang-undangan yang telah dirumuskan tersebut.

Dalam hal ini negara melakukan kebijaksanaan baik yang berhubungan

dengan dalam negeri maupun yang menyangkut dengan hubungan sesama

negara (hubungan internasional).27

Adapun tugas As–Sulthah al-qadhai’iyyah adalah

mempertahankan hukum dan perundang-undangan yang telah diciptakan

oleh lembaga legislatif. Dalam sejarah Islam, kekuasaan lembaga ini

26 Hakim Javid Iqbal, Masalah-masalah Teori Politik Islam, cet III,(Bandung : Mizan , 1996), 65 27 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media

(44)

32

biasanya meliputi wilayah al-hisbah (lembaga peradilan untuk

menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran ringan seperti kecurangan

dan penipuan dalam bisnis), wilayah al-qadha (lembaga peradilan yang

memutuskan perkara-perkara sesama warganya, baik perdata maupun

pidana), dan wilayah al-mazhalim (lembaga peradilan yang

menyelesaikan perkara penyelewengan pejabat negara dalam

melaksanakan tugasnya, seperti pembuatan keputusan politik yang

merugikan dan melanggar kepentinagn atau hak-hak rakyat serta

perbuatan pejabat negara yang melanggar hak rakyat. 28

28 Ridwan HR, fiqh Politik gagasan, harapan dan kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press,2007),

(45)

BAB III

BPWS DALAM KONTEK OTONOMI DAERAH

DI NEGARA KESATUAN RIPUBLIK INDONESIA

A.KONSEP OTONOMI DAERAH

1. Definisi Otonomi Daerah

Otonomi daerah dalam Pasal 1 UU No. 32 tahun 2004 adalah hak,

wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan

peraturan undang-undang.1 Daerah otonom itu sendiri adalah kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang

mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia2

Menurut Ateng Syafrudin, istilah otonomi mempunyai makna

kebebasan atau kemandirian, bukan kemerdekaan. Kebebasan atau

kemandirian itu adalah wujud pemberian yang harus dipertanggung jawabkan.

Dalam tanggung jawab yang diberikan tersebut terkandung unsur-unsur yaitu:

1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan

serta kewenangan untuk melaksanakannya. 2. Pemberian kepercayaan berupa

kewenangan untuk menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.3

Beberapa pengertian otonomi daerah menurut beberapa pakar.

Menurut F. Sugeng Istianto, adalah Hak dan wewenang untuk mengatur dan

mengurus rumah tangga daerah. Menurut Ateng Syarifuddin adalah Otonomi

mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan

1Pasal 1ayat (5) UU Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004

2Sugeng Priyanto, Pendidikan Kewarganegaraan, (Semarang:Aneka Ilmu, 2008),40

3Ateng Syafrudin. Pasang Surut Otonomi Daerah. (Orasi Dies Natalis Universitas Para Hiangan

(46)

35

melainkan kebebasan yang terbatas atau kemandirian yang harus

dipertanggung jawabkan. Menurut Syarif Saleh, adalah Hak mengatur dan

memerintah daerah sendiri, hak tersebut merupakan hak yang diperoleh dari

pemerintah pusat.4

Di dalam otonomi daerah terdapat kebebasan yang dimiliki oleh

pemerintah daerah untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah.

Namun senantiasa harus disesuaikan dengan kepentingan nasional

sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan Undang-Undang yang lebih

tinggi.5

2. Konsep Desentralisasi

Setelah negara di dunia mengalami perkembangan yang sedemikian

pesat, dan kompleks, maka di beberapa negara dilaksanakan asas

dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada

daerah. Dan asas desentralisasi, yaitu penyerahan pemerintahan dari pusat

kepada daerah otonom menjadi urusan rumah tangganya. Pelaksanaan asas

desentralisasi inilah yang melahirkan daerah-daerah otonom. Secara

etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu “De” yang

berarti lepas dan “Centrum” yang berarti pusat. Sedangkan menurut

perkataannya desentralisasi adalah melepaskan dari pusat. Adapun definisi

desentralisasi berdasarkan undang-undang No. 32 tahun 2004, desentralisasi

merupakan pembentukan daerah otonom dan atau penyerahan wewenang.

tertentu oleh pemerintah pusat dalam kerangka negara kesatuan.6

Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka

desentralisasi. Desentralisasi itu sendiri setidak-tidaknya mempunyai tiga

tujuan. Pertama, tujuan politik, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan

4Ibid., 25

5 http://otonomidaerah.com/pengertian-otonomi-daerah.html

(47)

36

bernegara pada tataran infrastruktur dan superastruktur politik. Kedua, tujuan

administrasi, yakni efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi

pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat,

tepat, transparan serta murah. Ketiga, tujuan sosial ekonomi, yakni

meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.7

Untuk memenuhi kegunaan empirik di Indonesia, perlu diupayakan

secara operasionalnya.

a. Desentralisasi, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas

wilayah tertentu yang berwenang menetapkan dan melaksanakan

kebijaksanaan bagi kepentingan sendiri, dan juga adanya penyerahan

wewenang tertentu oleh pemerintah pusat. 8

b. Pembentukan daerah otonom itu dilakukan dengan undang-undang (dalam

arti formal)

c. Desentralisasi berarti penyerahan wewenang9 tertentu kepada daerah

otonom yang telah dibentuk oleh pemerintah pusat, sehingga daerah dapat

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan

undang-undang, bukan merupakan kedaulatan tersendiri. Pelimpahan

wewenang kepada daerah adalah untuk melaksanakan pemerintah daerah

berdasarkan ketentuan dan pengaturan pemerintah yang menjadi wewenang

pemerintah.10

Dalam konsep desentralisasi mengandung makna yang berbeda

dengan istilah pelimpahan wewenang. Dalam penyerahan wewenang

mencakup wewenang untuk menetapkan kebijakan maupun untuk

7 Sadu Wasistiono, Esensi UU NO.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, (Jatinogoro: Bunga

Rampai, 2001), 35

8 Logemann, Het Staatsrecht Van Indonesia:Het Formale Systeem (Bandung: N.VU Tevrijk W. Van

Hoeve, 1954), 158

9Ibid, 159

10 Ridwan Hr. Ridwaan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

(48)

37

melaksanakan kebijakan. Sedangkan dalam pelimpahan wewenang hanya

sebatas wewenang untuk melaksanakan kebijakan.11

Wewenang untuk menetapkan kebijakan disebut wewenang

pengaturan (Regeling) sedangkan wewenang untuk melaksanakan kebijakan

disebut wewenang pengurusan (Bestuur). Wewenang pengaturan adalah

wewenang untuk menciptakan norma hukum tertulis yang bersifat umum dan

abstrak. Sedangkan wewenang pengurusan adalah wewenang untuk

melaksanakan dan menerapkan norma hukum dan abstrak kepada situasi

konkret. Penyerahan pengaturan dan wewenang pengurusan dalam gatra

kehidupan tertentu disebut penyerahan urusan pemerintahan.12

Dalam penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah dikenal dua macam cara:

a. Open-end Arrangement, Yaitu daerah otonom berwenang melakukan

berbagai fungsi sepanjang tidak dilarang oleh peraturan

perundang-undangan atau tidak termasuk dalam yuridis pemerintah yang lebih tinggi.

penyerahan wewenang ini disebut universal Power atau Inhern

Competence.

b. Ultra Vires Doktrine atau penyerahan wewenang pemerintahan dengan

rincian. Yaitu daerah otonom hanya berwewenang melakukan fungsi-fungsi

yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah.13

Irwan Soejito membagi bentuk desentralisasi ke dalam 2 macam,

yaitu:14

11 Bhenyamin Hoesien Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tongkat Ii,

Suatu Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara (disertasi doktor, Universitas Indonesia: Jakarta 1993), 13

12Ibid, 13-14

13 Suryanigrat Bayu, Pemerintahan Dan Administrasi Desa (Bandung: PT. Mekar Djaja 1988), 229 14 Irwan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah (Jakarta: Rineka Cipta, 1990),

(49)

38

a. Dekonsentrasi/ Amtelijke Decentralisatie, yaitu pelimpahan kekuasaan dari

negara yang lebih tinggi kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan

dalam melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya pelimpahan kekuasaan

dan wewenang menteri kepada gubernur

b. Desentralisasi ketatanegaraan/Desentralisasi politik, yaitu pelimpahan

kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah otonom dalam

lingkungannya. Dalam desentralisasi ini, rakyat ikut serta dalam

pemerintahan dengan batas wilayah daerah masing-masing. Kemudian

desentralisasi politik ini di bagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Desentralisasi teritorial, merujuk pada pembagian wewenang kekuasaan

atas dasar wilayah. Atau mewujudkan Gebieds Corporaties yakni

korporasi yang didasarkan atas wilayah tertentu

b. Desentralisasi fungsional, yaitu menciptakan Doel Corporatise, yakni

korporasi yang didasarkan atas tujuan dan fungsi tertentu.15

3. Dasar Dan Asas Pelaksanaan Otonomi Daerah

Berdasarkan UUD 1945, negara Indonesia adalah Negara Kesatuan

yang berbentuk Republik. Sesuai ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945,

dinyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan

pemerintahan.

Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, UUD 1945 telah

memberikan dasar konstitusional mengenai penyelenggaraan pemerintahan

daerah di Indonesia. Di antara ketentuan tersebut yaitu:

a. Prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan

15 Bhenyamin Hoesien Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tongkat Ii,

(50)

39

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia. 16

b. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.17

c. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya.18

d. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat

khusus dan istimewa.19

e. Prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.20

Adapun Asas Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Daerah:

a. Asas Desentralisasi, adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia

b. Asas Desentralisasi Proporsional, adalah Pemerintah Daerah diberikan

kewenangan yang sebesar-besarnya untuk mengurus, mengatur dan

memajukan sendiri daerahnya (kecuali lima hal yang memang harus diatur

oleh Pemerintah Pusat, antara lain politik luar negeri, pertahanan

keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama) dengan dibeda-bedakan

berdasarkan tingkat kemapanan daerah tersebut.21

c. Asas Dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada

instansi vertikal di wilayah tertentu

16 UU Otonomi Daerah No 32Tahun 2004 Pasal 18 B Ayat (2) 17 UUD 1945 Pasal 18 ayat (2) Perubahan Kedua

18UU Otonomi Daerah No 32Tahun Pasal 18 Ayat (3) 19 UU Otonomi Daerah No 32Tahun Pasal 18 Ayat (1) 20 UU Otonomi Daerah No 32Tahun Pasal 18 Ayat (1)

(51)

40

Sedangkan Asas yang digunakan dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah, adalah

a. Asas Otonomi, adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b. Asas Pembantuan/Madebewind, adalah penugasan dari Pemerintah kepada

daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota

kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu

B.NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

1. Definisi

Menurut Syaukani Hasan Rais, dan M. Ryaas Rasyid,22 ada dua

bentuk negara, yaitu negara kesatuan dan negara serikat. Istilah Kesatuan

adalah bentuk susunan organisasi negara. Dalam istilah yang dipakai adalah

Persatuan.23 Menurut C. F. Strong,24 bentuk Negara yang dianut oleh negara

dituangkan dalam konstitusi negara yang bersangkutan. Negara kesatuan

dapat pula disebut sebagai negara Unitaris. Negara ini dari segi susunannya

bersifat tunggal, maksudnya adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa

negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di

dalam negara. Dengan demikian dalam negara kesatuan hanya ada satu

pemerintahan, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan,

wewenang, dan menetapkan kebijaksanaan pemerintahan negara baik di pusat

maupun di daerah-daerah.25

22Ibid., 77.

23 Jimly Asshidiqqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Kompress 2005), 13 24 Astim Riyanto, Negara Kesatuan; Konsep, Asas, Dan Aktualisasinya, (Bandung:Yapemdo, 2006),

75

(52)

41

Indonesia beberapa kali mengalami pergantian bentuk dan sistem

pemerintahan, mulai dari negara kesatuan hingga ke negara federal, dari

pemerintahan Parlementer hingga ke Presidensial. Sistem parlementer

hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan sangat erat. Ini disebabkan

adanya tanggung jawab para menteri terhadap parlemen. Setiap kabinet harus

memperoleh dukungan suara dari parlemen. Dan kebijaksanaan

pemerintah/kabinet tidak boleh menyimpang dari kehendak parlemen.26

Sedangkan sistem presidensial kedudukan eksekutif tidak tergantung kepada

badan perwakilan rakyat. Dasar hukum kekuasaan eksekutif dikembalikan

kepada pemilihan rakyat. Dan Presiden menunjuk kabinet departemennya

masing-masing, dan hanya bertanggung jawab kepada presiden, karena

pembentukan kabinet tidak memerlukan dukungan suara dari badan

perwakilan .27

Dalam Undang-Undang 1945 sila ketiga berbunyi “Persatuan

Indonesia pada dasarnya mementingkan nilai rasa persatuan dalam bernegara

Bhinika Tunggal Ika berbeda-beda namun tetap satu”.28 Dalam

Undang-Undang 1945 juga dijelaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara

Kesatuan yang berbentuk Republik,29 Berdasarkan UUD 1945 susunan

organisasinya berbentuk negara kesatuan (Unitary State.). Artinya, ketentuan

Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) tidak dapat diubah dan sudah ditentukan oleh UUD 1945.30

Oleh karena itu, setiap ancaman terhadap prinsip NKRI itu selalu

mengundang emosi kecemasan, ketakutan, ataupun kemarahan di kalangan

26 Moh. Kusnadi S.H., Harmaily Ibrahim S.H., Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. IV (Jakarta

Selatan: Pusat Studi Hukum UI dan CV Sinar Bakti 1981), 172

27Ibid., 176

28 http://one.indoskripsi.com/node/11407

Referensi

Dokumen terkait

“Penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. 32 /

Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 1huruf e disebutkan bahwa, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pendidikan, Pasal 13 ayat (1) huruf f,

Abstrak : Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 168 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 15 ayat (1) menjelaskan tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pendidikan, Pasal 13 ayat (1) huruf f,

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa Pemerintah

Sejak pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 18 pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk