Pengantar Sajian Utama SM No.13/89/2004
MENYELAMATKAN PETANI
MENYELAMATKAN INDONESIA
Tercatat sebanyak 82% dari 213,6juta penduduk Indonesia bekerja sebagai petani. Ini jelas menunjukkan kalau petani sesungguhnya memiliki posisi strategis dalam
kehidupan berbangsa bernegara. Dan potensi petani sebagai pilar ekonomi bangsa dan berpean besr dalam memulihkan ekonomi kita telah dibuktikan beberapa waktu lalu. Berdasarkan laporan BPS tahun 2002 misalnya perekonomian Indonesia secara keseluruhan tumbuh 3,5%, tetapi sektor pertanian mampu tumbuh sebesar 4,59%. Sub Sektor Tanaman Pangan yang tahun-tahun sebelumnya selalu mengalami
pertumbuhan minus, pada tahun 2002 itu secara mengejutkan tumbuh sebesar 3,48%. Ditambah Sub Sektor perkebunan tumbuh 4,14%, kehutanan 5,58%, perikanan 6.06 dan petrnakan tumbuh 9,40%.
Angka-angka peningkatan pada produksi komoditas pangan juga menggembirakan. Produksi padi pada tahun 2002 51,60 juta ton, disbanding setahun sebelumnya yang 49,59 juta ton. Sedang daging dari 1.560,6 ribu ton di tahun 2001 menjadi 1.583 ribu ton di tahun 2002. dan telur di tahun 2001 850,3 ribu ton meningkat menjadi 908,9 ribu ton pada tahun 2002.
Itu adalah gambaran bagaimana sesungguhnya potensi petani kita sangat besar dan strategis dan dapat terus dikembangkan secara optimal. Akan tetapi, sungguh ironis, negara kita yang merupakan negara agraris dan sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani selama ini yang namanya petani hampir identik dengan penderitaan. Berbagai macam kebijakan pemerintah sepertinya tidak berpihak pada petani. Bahkan cenderung menyengsarakan petani. Mereka bukannya makin mengenyam
kesejahteraan, tetapi justru sering panen kekecewaan dan panen duka. Sebab
meningkatnya produksi mereka tidak selalu berarti meningkatnya pendapatan mereka. Belum lagi muncul kebijakan konyol mengimpor beras, telur, daging, kedele, jagung, bawang putih, gula yang diikuti membanjirnya barang-barang haram berupa barang selundupan dari berbagai negara luar penghasil produk pertanian.
Yang membuat petani merana dan kehilangan harapan sekaligus kehilangan harga diri adalah diterapkannya politik tanah yang sama sekali tidak berpihak kepada petani, tetapi jusru berpihak pada pemodal dan konglomerat. Jutaan hektar tanah berpindah pemilik, dari petani menjadi dimiliki pemodal dan konglomerat. Dalam sebuah penelitian ditemukan bukti bahwa antara tahun 1988-1991 saja ada 15.000 petani yang dipaksa kehilangan tanah garapan alias tergusur. Kemudian pada tahun 1992 tercatat lebih 92.500 petani di Jateng, Jatim, Jabar, Riau dan Lampung tergusur dan terusir dari tanah mereka karena kasus struktural. Lantas kemana ratusan ribu petani yang kemudian menjadi penganggur ini kemudian mencari nafkah? Kita tidak tahu pasti.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika posisi petani selalu rawan dan pertanian dapat mengalami kehancuran kalau terus-menerus digerogoti oleh hal-hal yang negatif seperti itu. Dan jika ini terjadi maka yang akan karam nasibnya bukan hanya para petani, tetapi yang karam nasibnya adalah Indonesia secara keseluruhan.
Sumber: