48
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
SCBAILII_CASE_TORT
Sesuai dengan judul Bab III sebagaimana dikemukakan di atas yaitu Hasil
Penelitian dan Analsis, maka berikut di bawah ini akan dikemukakan terlebih dahulu
suatu gambaran tentang hasil penelitian Penulis terhadap peraturan-perundang
undangan yang mengatur mengenai lingkungan hidup di Indonesia sepanjang yang
ketentuan Pasalnya menyinggung mengenai strict liability dan selanjutnya akan
dikemukakan pula tentang keputusan hakim. Sebagaimana telah Penulis kemukakan
di atas, gambaran hasil penelitian tentang kasus ini Penulis ambil dari Putusan
Pengadilan pada English common law (Inggris) yang sangat terkenal yaitu John Rylands AJH v Thomas Fletcher. Selanjutnya dalam Bab ini akan diakhiri dengan
suatu analisis perbandingan44 (comparative analysis) yang dikemukakan secara singkat tentang strict liability, baik strict liability yang ada dalam peraturan perundangan di Indonesia maupun perbandingan prinsip tersebut yang berlaku di
sistem common law Inggris (English common law)45.
44
Jeferson Kameo, dalam bukunya berjudul Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, dalam halaman 42, catatan kaki no. 34 menegaskan bahwa Tren metoda dalam studi perbandingan hukum (comparative laws) yang disebut transposisi (transposisiton) ini ada dalam Law Reporting Skotlandia. (Lihat, dalam Kameo, Blumer & Co v Scott (1874) atau sudah dikembangkan sejak tahun 1874 oleh Putusan Hakim, 1 R 379 at 387.
45
49
A.
Pemahaman Yang Dianut Perundang-undangan Indonesia Di
Bidang Lingkungan Hidup Dalam Menerjemahkan
Strict Liability
Pada sub judul Hasil Penelitian tentang strict liability sebagaimana
dikemukakan di atas, Penulis telah gambarkan bahwa strict liability itu juga sesungguhnya sudah ada juga dan dikenal pula dalam sistem hukum positif di
Indonesia. Undang-undang paling baru yang di dalamnya pembuat legislasi menulis
ketentuan strict liability adalah UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebelumnya, dalam Bab I, Penulis juga telah
kemukakan bahwa sejatinya jauh sebelum adanya UU Nomor 32 tahun 2009, di
Indonesia, oleh UU Nomor 4 tahun 1982 juga telah dirumuskan asas hukum itu.
Berikut perumusan pasal dalam perundangan Indonesia di Bidang Lingkungan Hidup,
yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 pada Bab VI (Ganti Kerugian dan
Biaya Pemulihan), Pasal 21 menyatakan bahwa:
“Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tentang tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam perundang-undangan yang bersangkutan.”
Penjelasan atas Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 menjelaskan
bahwa tanggung jawab mutlak dikenakan secara selektif atas kasus yang akan
ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan-undangan, yang dapat
50
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 pada Bab VII (Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup), Bagian Ketiga (Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Hidup Melalui Pengadilan), Paragraf 2 Pasal 35 ayat (1) menyatakan bahwa:
“Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemarang dan/atau perusakan lingkungan hidup”
Penjelasan atas Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
dijelaskan bahwa pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melwan hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau
perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas
tertentu. Yang dimaksudkan sampai batas tertentu, adalah jika menurut
penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan keharusan
asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia
51
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab XII (Penyelesaian Sengketa
Lingkungan), Bagian Ketiga (Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
Melalui Pengadilan), Paragraf 2, Pasal 88 secara jelas mendefinisikan asas
strict liability dengan tanggung jawab mutlak. Pasal tersebut berbunyi:
“Setiap orang yang tindakannya. Dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Penjelasan atas Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability
adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai
dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini sebagai lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan hukum pada umumnya. Besaranya nilai
ganti rugi yang dapat dibebankan terhadapa pencemar atau perusak
lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
UUPPLH 2009 pada Pasal 88 masih menerjemahkan asas strict liability
sebagai tanggung jawab mutlak. Dapat dilihat dari bunyi pasal tersebut
“...menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab
52 strict liability dengan tanggung jawab langsung dan seketika. Hal ini agar tidak
menimbulkan kerancuan dengan absolute liability.
Prinsip strict liability sebagaimana dikemukakan di atas membantu secara legal, atau dapat pula disebut sebagai peluang yang sah yang diberikan oleh hukum
untuk “menerobos” jalan buntu yang ada dalam Pasal 1865 KUHPerdata Indonesia
tentang beban pembuktian (bewijslast). Sebagaimana diketahui bersama, dalam
peraturan-perundang-undangan di Indonesia, ketentuan atau kaedah hukum dalam
Pasal 1865 KUHPerdata itu menetapkan dengan tegas bahwa penggugatlah yang
wajib memikul beban untuk membuktikan, padahal, kebanyakan Penggugat adalah
korban atau penderita dari pencemaran lingkungan hidup yang juga pada umumnya
awam dalam soal memahami peraturan-perundang undangan dan bahkan aspek-aspek
yang rumit di balik teknologi dalam menilai pencemaran yang dilakukan oleh
pabrik-pabrik, misalnya pabrik tekstil yang mencemari air sumur penduduk, dan juga
sungai-sungai yang sebelumnya dipergunakan untuk mengairi persawahan milik penduduk di
sekitar areal pabrik.
B. Yurisprudensi Inggris tentang Strict Liability
Mengingat Penulis telah sampaikan di atas bahwa hasil penelitian yang akan
digambarkan dalam BAB III ini adalah Putusan Pengadilan House of Lords Inggris, maka dalam rangka melakukan suatu analisis perbandingan (comparative analysis) dengan strict liability yang berlaku di Indonesia, berikut di bawah ini akan
53 liability yang terdapat di dalam Putusan (yurisprudensi) yang hukumnya mengikuti dikte hukum yang ada di dalam sistem hukum Skotlandia yang diikuti di Inggris.
Kasus klasik yang sudah sangat tua karena diputus dan dipublikasikan 17 Juli 1868
tersebut melibatkan para penggugat yang dalam hal ini adalah pihak bernama J.
Rylands dan Jehu Horrocks sebagai Penggugat (Plaintiffs) melawan Thomas Flectcher
sebagai pihak Tergugat (Defendant).
Dalam Putusan itu Hakim yang bernama Cairns meminta kepada para Majelis
hakim yang mulia yang mengadili kasus itu agar si Penggugat yang digambarkannya
sebagai para pihak yang mengajukan gugatan tersebut merupakan penduduk dari
suatu areal pertambangan dan mereka bekerja di bawah tanah yang lokasinya
tertutup. Sementara itu para Tergugat adalah pemilik dari suatu pabrik penggilingan
di lingkungan mereka. Para Tergugat tersebut kemudian merencanakan untuk
membangun suatu penampungan air untuk menampung dan menyiapkan air untuk
digunakan oleh pabrik penggilingan mereka di atas suatu lahan tertutup lainnya.
Hanya saja, yang menjadi persoalan dalam kasus ini adalah bahwa lahan tempat
penampungan air milik para Tergugat tersebut bergandengan dengan lahan dari para
Penggugat. Namun demikian berdasarkan suatu penyelidikan yang lebih cermat
diketahui bahwa di antara tanah milik para tersebut Penggugat dan lahan tertutup
milik para Tergugat ada suatu area atau lahan kosong. Di bawah lahan para Tergugat
yang rencananya dibangun penampungan air itu ada suatu terowongan yang berfungsi
sebagai jalan penghubung dan tempat bekerja para penambang. Ada lima corong
54
Selama menambang beberpa lapisan batu bara yang berada di bawah lahan miliknya
si Penggugat menjumpai areal kerja tambang yang sudah tidak dipergunakan lagi
tersebut, dan sebagaimana diketahui, areal pertambangan itu berada di bawah lahan
milik para Tergugat.
Dalam keadaan yang sudah dikemukakan di atas tersebutlah penampung air
milik para Tergugat dibangun. Pelaksanaan pekerjaan pembangunan penampung air
itu dilakukan oleh agen dan pengawasan serta konstruksinya dilakukan oleh teknisi
dan juga pemborong. Secara pribadi sebetulnya para Tergugat nampaknya tidak
punya andil dalam pekerjaan pembangunan penampung air itu, plus mereka para
Tergugat juga tidak menyadari akan permasalahan keselamatan kerja yang berkaitan
dengan pembangunan itu.
Sementara itu, baik si teknisi maupun pemborong terlihat dalam kasus itu
tidak melakukan hal-hal yang cukup hati-hati dan waspada sesuai dengan tuntutan
pekerjaan mereka. Padahal, nampaknya si teknisi dan pemborong pembangunan
penampung air itu tahu akan adanya cerobong yang terpasang sebagaimana telah
dikemukakan di atas. Sebaliknya, menurut Cairns, ketika penampung air itu dibangun
dan setelah jadi diisi dengan air, baik penuh maupun sebagian saja, berat beban air
yang terisi dalam penampungan tersebut menekan corong vertikal yang karena sudah
tidak digunakan lagi kemudian menjadi kurang kuat, maka air bocor memasuki
corong-corong vertikal itu. Air yang mengalir dari corong-corong vertikal itu
kemudian melewati pula corong-corong vertikal yang saling terhubung satu sama
55
penambang milik para Penggugat. Air kemudian menggenangi pertambangan milik
para penggugat dan menyebabkan kerusakan yang parah dan hal itulah menjadi
alasan mengapa gugatan kemudian diajukan ke Pengadilan.
Pihak Pengadilan yang mengadili kasus itu berpendapat bahwa para
Penggugat tidak memunyai dasar untuk menggugat apabila mereka hanya
mendasarkan diri seperti fakta-fakta yang telah diuraikan di atas. Selanjutnya dalam
kamar Pengadilan yang sama ketika banding diajukan berpendapat berbeda dengan
kamar Pengadilan ketika kasus pertama kali diajukan. Majelis hakim yang duduk di
kamar Pengadilan Banding secara aklamasi tiba pada suatu kesimpulan bahwa
sejatinya ada dasar gugatan dan bahkan lebih jauh dari itu para Penggugat berhak
untuk diberikan ganti rugi.
Hakim Cairns menyatakan pendapatnya di depan para Majelis Hakim di
Mahkamah Agung (House of Lords) inggris itu bahwa asas yang dapat dipergunakan
untuk mengadili kasus tersebut sesungguhnya sangat sederhana. Yaitu dengan
memberlakukan para Tergugat, baik sebagai orang-orang yang memiliki (pemilik)
maupun sebagai pihak-pihak yang hanya menempati lahan tertutup di tempat mereka
di atas mana tempat penampungan air itu dibangun memang berhak menurut hukum
untuk menggunakan areal tanah tertutup itu sesuai dengan tujuan sehari-hari tanah itu
seharusnya digunakan; dan jika, ketika tanah itu digunakan sesuai dengan kebiasaan
dan kewajarannya (the natural use), dan jika, disebabkan oleh tabiat alamiah dimana
56
Penggugat, maka para Tergugat sesungguhnya tidak berhak untuk berkeberatan
dengan akibat alamiah yang demikian itu. Mengapa demikian? Menurut Cairns,
apabila para Penggugat memang memahami tabiat alamiah dari akumulasi air itu
bakal merugikan mereka dan mereka benar-benar memunyai keinginan untuk
melindungi kepentingan mereka dari akibat alamiah yang tidak terhindarkan tersebut
maka seharusnya mereka mengambil langkah-langkah untuk itu, misalnya dengan
cara mengalihkan atau menaruh perintang yang diletakkan di antara tanah mereka dan
tanah milik atau yang dikuasai oleh para Tergugat itu.
Prinsip sebagaimana telah dikemukakan di atas itu, menurut Cairns, ia rujuk dari Putusan yang sudah lebih dahulu menangani persoalan yang hampir sama yaitu
dalam kasus Smith v. Kenrick yang ditangani oleh Pengadilan Umum di Inggris.
Argumen sebaliknya (a contrario) dari prinsip yang telah dikemukakan di atas, dengan demikian dapat dibangun, menurut Cairns; yaitu, bahwa apabila para Tergugat, tidak berkehendak untuk menghentikan penggunaan tanah mereka
sebagaimana seharusnya mereka gunakan, telah memunyai keinginan untuk
menggunakan tanah itu selain daripada tujuan penggunaannya yang alamiah atau
yang selayaknya dan si Hakim Cairns menyebut jenis penggunaan itu dengan non-natural use, maksudnya tujuan penggunaannya yaitu membawa ke tanah mereka itu sesuatu yang menurut keadaan alamiahnya tidak sesuai baik di dalam maupun di atas
tanah tersebut, atau misalnya bertujuan untuk membawa air baik di atas maupun di
bawah tanahdalam jumlah maupun dengan cara-cara yang bukan merupakan akibat
57
tanah, dan jika apabila sebagai akibat dari perbuatan mereka para Tergugat itu, atau
konsekuensi dari ketidaksempurnaan cari cara-cara yang mereka gunakan air itu
mengalir keluar, bocor atau membludak dan tumpah dan menggenangi tanah dari para
Penggugat, maka menurut Cairns, itulah apa yang dilakukan oleh para Tergugat adalah suatu perbuatan yang mendatangkan malapetaka bagi mereka sendiri; dan, jika
ketika mereka tengah melakukan perbuatan itu, kejahatan muncul seperti apa yang
telah dikemukakan oleh Cairns tadi, maka kejahatan itu (the evil), tepatnya bocornya atau meluapnya air dan menggenangi tanah milik para Penggugat, maka sudah tentu
sudah merupakan suatu konsekuensi, dalam pandangan Cairns, maka para Tergugat
harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Menurut Cairns, putusan Smith v.
Kenrick berisi ilustrasi dari prinsip atau asas hukum yang pertama yang sudah ia kemukakan di atas, demikian pula dengan prinsip yang kedua juga tergambar dengan
baik dalam kasus di Pengadilan yang sama, yaitu kasus Baird v. Williamson, juga banyak dikutip untuk mendukung argumen para Pengacara.
Cairns pun berpendirian jika para hakim yang mengadili kasus itu berkenan
maka asas-asas hukum yang sederhana seperti telah dikemukakan di atas tersebut,
jika berkenan untuk diterima maka dapat dipergunakan untuk mengadili kasus yang
tengan mereka tangani.
Dengan hasil yang sama dapat diperoleh dari prinsip atau asas yang pernah
dirujuk oleh Hakim Blackburn melalui Putusannya, di kamar Pengadilan yang sama,
d imana Blackburn menyatakan pendapat hukumnya dan sesuai dengan hukum dalam
58
“Kita berpendirian bahwa rule of law yang sejati adalah, bahwa orang yang, untuk tujuan-tujuan yang ia inginkan, membawa masuk ke dalam tanah atau pekarangannya selanjutnya menghimpun dan menyimpan di atas tanah itu apa saja yang kemungkinan besar akan mendatangkan melapetaka apabila barang-barang itu terlepas dari penguasaannya harus menyadari bahwa hal itu merupakan malapetaka untuk dirinya sendiri dan oleh sebab itu orang itu harus bertanggungjawab; dan apabila orang tersebut tidak melakukan sesuatu maka sebaliknya hal itu adalah merupakan sesuatu yang harus dianggap benar meskipun di belakangan hari dapat dibuktikan`sebaliknya”.
Dapat dijawab untuk semua kerugian yang merupakan konsekuensi alamiah
dari terlepasnya barang-barang itu. Ia dapat membela dirinya dengan cara
menunjukkan bahwa terlepasnya barang-barang itu disebabkan oleh kesalahanya
Penggugat; atau kemungkinan bahwa terlepasnya barang-barang itu disebabkan oleh
keadaan memaksa (vis major/the act of God); hanya saja, menurut Cairns, semua itu tidak terlihat dalam kasus yang tengah mereka tangani tersebut maka tidaklah
merupakan sesuatu kebutuhan untuk menyelidiki alasan pemaaf apa yang dapat
dipakai.
Dus, prinsip hukum umum sebagaimana telah dikemukakan di atas sejatinya
adalah benar dan adil. Seseorang yang rumputnya atau jagungnya dimakan oleh sapi
tetangganya yang lepas, atau dalam kasus ini pertambangannya digenangi oleh air
yang mengalir dari penampungan tetangganya, atau ruang bawah tanah yang
dipergunakan untuk menyimpan anggur (cellar) yang dikotori oleh kotoran, baik itu
air kencing atau veses yang keluar dari septik tank atau toilet tetangganya, atau yang
59
maupun bau uap yang busuk dan sangat mengganggu dari produk dengan bahan
kimia yang tingkat PH-nya melebihi ambang batas 7, maka orang itu telah
menyebabkan kerugian terhadap dirinya sendiri tanpa kesalahannya sendiri; dan
tetapi hal itu nampaknya masuk akal dan adil kepada setiap orang bertetangga yang
telah membawa sesuatu ke atas tanah atau hak miliknya sendiri (yang secara alamiah
sesungguhnya tidak seharusnya ada di situ), menyebabkan kerusakan bagi orang lain
sepanjang benda itu berkaitan dengan benda miliknya, tetapi ia mengetahui bahwa
akan mendatangkan kerugian apabila barang itu terlepas dan menjangkau tempat
tetangganya, maka orang itu haruslah memikul kewajiban untuk memerbaiki
kerusakan yang terjadi mengikutinya apabila ia gagal untuk memastikan bahwa
barang itu tetap berada di dalam tanah miliknya sendiri.
Namun untuk tindakannya membawa barang itu ke dalam atau ke atas tanah
miliknya tidaklah merupakan sesuatu yang mengganggu atau merugikan dan oleh
sebab itu adil namun, hendaklah ia waspada untuk selalu memastikan bahwa barang
itu tetap berada di dalam atau di atas tanah miliknya, supaya tidak ada kerugian yang
akan ditimbulkan atau seharusnya ia menjawab akibat-akibat alamiah dan
mengantisipasi segala macam akibat. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa hal
itu merupakan suatu hukum, entah itu barang yang dibawa merupakan hewan liar, air,
atau kotoran, atau bau busuk yang menusuk hidung.
60
Pengadilan Banding (the Court of Exchequer Chamber) dikuatkan dan dengan
demikian banding yang diajukan harus didismis dengan kewajiban bagi pihak yang
mengajukan banding untuk membayar biaya perkara.
Sementara itu, dalam pandangan Cranworth, ia menjelaskan kepada para
Hakim di Mahkamah Agung tersebut bahwa, ia sependapat dengan apa yang
dikemukakan oleh Cairns, temannya yang negarawan dan sangat terpelajar di atas itu
yang mengatakan bhwa the rule of law sudah dinyatakan dengan benar oleh Hakim
Blackburn yang memberikan pertimbangan hukum dalam perkara yang ditanganinya di Pengadilan di atas. Bahwa apabila seseorang membawa, atau menumpuk, di atas
tanahnya apa saja yang, apabila terlepas dari penguasaannya, akan menyebabkan
kerugian kepada tetanggunya, maka orang itu haruslah menyadari bahwa ia
sesungguhnya orang itu melakukan hal itu untuk membinasakan dirinya sendiri.
Dengan demikian apabila barang itu terlepas dan menyebabkan kerugian, maka ia
bertanggung jawab, seberapa hati-hatipun ia mungkin telah mengupayakan segalanya
dan dengan segala langkah-langkah pencegahan apa pun yang telah ia lakukan untuk
mencegah terjadinya kerigian yang terlah ditimbulkan tersebut.
Dalam memertimbangkan apakah para Tergugat bertanggung jawab kepada
seorang Penggugat untuk mengganti kerugian yang mungkin saja diderita oleh si
Penggugat, maka pertanyaan pada umumnya adalah bukan apakah si Tergugat telah
bertindak dengan ketelitian dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang tinggi, namun
61
Hal ini dijelaskan dengan sangat baik dalam suatu Putusan Pengadilan yang
sduah sangat klasik, yaitu dalam Lambert v. Bessey, yang dilaporkan oleh Hakim
bernama Sir Thomas Raymond. Dan bahwa Kaedah hukum itu benar-benar
didasarkan kepada akal sehat atau degnan perkataan lain, Putusan itu mengandung
kaedah hukum yang benar. Sebab, apabila seseorang, dalam mengurus
kepentingannya sendiri, menyebabkan, meskipun ia melakukan hal itu secara tidak
sengaja, orang lain mengalami kerugian, maka adalah merupakan suatu yang adil
apabila orang itulah seharusnya yang menanggung penderitaan itu. Ia terikat. Hal ini
merupakan suatu prinsip atau asas hukum yang dapat diterapkan kepada kasus yang
tengah diadili. Menurut Cranworth ia sama sekali tidak menemukan di dalam
keputusan-keputusan yang telah dirujuk di atas, apapun yang bertentangan dengan
asas itu.
Doktrin (Penulis lebih suka mengganti istilah doktrin dengan asas hukum) di
atas, bagi nampak bagi Cranworth akan menjadi lebih jelas apabila diperbandingkan
dengan dua kasus atau yurisprudensi moderen sebagaimana telah ditunjukkan oleh
rekan terpelajar dan senegaranya di atas. Cranworth kemudian menyampaikan
kembali makna kedua yurisprudensi moderen itu yaitu Smith v. Kenrick dan Baird v.
Williamson dengan cara lain dan mengatakan bahwa dalam Smith v. Kenrick si pemilik tambang yang bertempat di tingkatan tanah yang lebih tinggi menggali dan
mengambil semua batu bara yang ada di areal pertambangannya itu seluruhnya
62
ada lagi pembatas antara tambang milik si yang empunya tanah di tingkat atas dengan
areal tambang milik si empunya tambang yang berada di bawahnya.
Akibatnya air merembes keluar dari permukaan bagian atas tanah tempat areal
penambangan bagian atas menuju ke tanah areal pertambangan lainnya yang berada
di bawahnya. Akibat dari genangan air yang menumpuk di bagian bawah tersebut si
pemilik tanah pertambangan di bawah itu terhalang untuk menggeduk batu bara di
lokasi pertambangan miliknya. Menarik, bahwa dari kasus yang pertama di atas, si
pemilik tanah pertambangan di level bawah tersebut, menurut hakim tidak memunyai
hak untuk menyatakan keberatannya. Dalam pertimbangan hakim, dikatakan, bahwa
si pemilik tanah pertambangan batu bara di level atas itu memunyai hak sepenuhnya
untuk mengambil seluruh batu bara yang terdapat di areal miliknya. Selanjutnya,
menurut para hakim, kerusakan yang terjadi di level bawah karena genangan air yang
merembes ke bawah itu adalah sesuatu yang sifatnya alamiah, yaitu bahwa air selalu
mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Akibatnya,
karena keadaan alamiah itu maka logis bagi si Tergugat untuk tidak memunyai
kewajiban apa pun untuk menjaga kepentigan si Penggugat. Menurut para hakim
dalam kasus yang pertama itu, adalah merupakan kewajiban atau beban dan tugas dari
si Penggugat melindungi dirinya sendiri dengan cara mendirikan atau membangun
apa saja yang dapat mencegah air yang selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke
tempat yang lebih rendah. Dalam kasus itu, menurut para hakim, air memang dengan
63
Tetapi dalam yurisprudensi yang kedua, yaitu dalam Baird v. Williamson, si Tergugat, yang adalah pemilik dari areal pertambangan yang berada di level atas,
tidak saja menjadi korban karena dia membiarkan air untuk mengalir melewati areal
tambangnya tanpa membuat suatu perintang antara areal pertambangan di atas dengan
areal pertambangan milik orang lain yang berada di bawahnya, namun agar ia dapat
mengerjakan areal pertambangannya ia justru memompa sejumlah volume air yang
mengalir menuju areal tambang milik si Penggugat, menambah jumlah yang secara
alamiah mengalir ke wilayah areal tambang milik Penggugat, sebagai akibat
perbuatan Tergugat memompa air itu si Penggugat menderita kerugian. Sekali pun
upaya melakukan pemompaan air yang mengakibatkan kerugian itu telah dapat
dibuktikan tidak terjadi karena kelalaian, dan dilakukan karena hal itu memang
merupakan hak si Tergugat bekerja di tambang miliknya sendiri, namun ia oleh para
hakim dalam yurisprudensi kedua itu dijatuhi hukuman untuk bertanggung jawab atas
kerugian yang telah ditimbulkan itu.
Bahwa hal itu merupakan akibat dari perbuatan si Tergugat, entah itu
perbuatan yang dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan dengan keahlian atau
tanpa keahlian, namun dalam kenyataannya si Penggugat menderita kerugian, dan
oleh sebab itulah si Tergugat dinyatakan harus bertanggung jawab. Artinya, dalam
yurisprudensi yang pertama kerugian diperlakukan sebagai terjadi karena alam
sedangkan dalam yurisprudensi yang kedua kerugian itu terjadi disebabkan oleh
64
Apabila kedua yurisprudensi sebagaimana telah dikemukakan di atas itu
kemudian dipergunakan untuk menguji kasus yang ditangani di Mahkamah Agung
Inggris tersebut maka menurut Cranworth ia sama sekali tidak memunyai
keragu-raguan untuk menyatakan bahwa putusan yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan (the
Exchequer Chamber) adalah benar adanya. Dalam hal ini si Penggugat berhak untuk mengeduk batu bara sampai dengan batas tanah milik tuan Whitehead dan bahkan sampai ke beberapa areal pertambangan tua yang sudah ditinggalkan.
Menurut Cranworth, apabila air meluap di areal tambangnya si Tergugat, kita
aggap saja tanah tersebut adalah tanah milik si Tergugat untuk disesuaikan dengan
kasus yang tengah ditangani di House of Lords tersebut, dan air itu meluap menuju tanah tempat si Penggugat melalui saluran-saluran yang ada di daerah tambang tua
yang sudah ditinggalkan itu dan oleh sebab itu pekerjaan penambangan di tanah milik
si Penggugat kemudian berhenti beroperasi maka tidak ada alas hak bagi si Penggugat
untuk mengajukan gugatan itu.
Dus, sekali pun semua pekerjaan penambangan tua itu ternyata dibuat oleh si
Penggugat sekali pun, maka si Penggugat hanya mengerjakan apa yang menjadi
bagiannya untuk dilakukan dan tidak lebih dari itu; sebab menurut asas yang berlaku
di dalam yurisprudensi Smith v. Kenrick, maka pihak yang mengerjakan
pertambangan yang lokasinya berada di bawah penampungan air yang sudah dibuat
tersebut memunyai hak untuk mengambil dan membawa pergi semua batu bara
65
menyisakan tembok atau pembatas apa pun dengan tanah di mana areal pertambangan
milik si Tergugat (Whitehead's).
Hanya saja, kenyataannya kasus posisi tidak lah demikian. Dalam
kenyatannya dalam rangka mencapai apa yang diinginkan oleh si Tergugat, maka ia,
membawa ke dalam tanah milik mereka, atau tanah yang dalam kasus ini dapat
diperlakukan sebagai tanah yang mereka kuasai, suatu volume air yang sangat besar
dan menampungnya dalam suatu penampungan. Menyusul hal itu timbul kerugian
bagi si Penggugat dan karena kerugian itulah, menurut Cranworth, tidak perduli, meskipun hal itu (pengerjaan membawa dan menampung air) dilakukan dengan
tingkat keterampilan dan kehati-hatian yang sangat tinggi sekali pun, si Tergugat,
berdasarkan prinsip hukum yang telah dikemukakan di atas pasti, harus bertanggung
jawab memberikan ganti rugi kepada Penggugat.
Akhirnya disepakati menurut Cranworth, oleh sebab itu, dengan sesama
negarawan dan teman terpelajarnya itu bahwa Keputusan yang telah dibuat oleh
Pengadilan sebelumnya (the Exchequer Chamber) haruslah dikuatkan dan dengan
demikian harus ada hukuman bagi si Terdakwa (Thomas Fletcher), yaitu mereka melakukan suatu perbuatan melawan hukum.
C.
Analisis Perbandingan tentang
Strict Liability
Indonesia-Inggris
Dengan memperhatikan gambaran hasil penelitian, baik yang berupa
66
English common law sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, maka berikut ini
Penulis perlu melakukan suatu analisis, yaitu mencari unsur-unsur strict liability, baik yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di atas, maupun dalam putusan
pengadilan di Inggris itu.
Analisis pertama, adalah bahwa pada prinsipnya penerapan asas hukum strict
liability dalam melindungi lingkungan hidup itu adalah suatu prinsip di mana semua orang, dan terutama mereka yang melakukan aktivitas yang berdampak lingkungan
memunyai tanggung jawab untuk menjaga lingkungan hidup agar tetap sesuai dengan
fungsinya, dan tidak merusak. Akibatnya, apabila aktivitas orang itu merusak
lingkungan hidup, maka tanpa adanya pembuktian apakah orang itu bersalah atau
tidak bersalah, sepanjang ada kerusakan pada lingkungan, maka orang tersebut wajib
untuk langsung (strict) melakukan langkah-langkah memulihkan kerusakan
lingkungan yang ada. Pertanggungjawaban setiap orang, dalam strict liability juga sebetulnya tidak bergantung kepada ada tidaknya kesalahan. Oleh sebab itu, dalam
strict liability semua orang, tanpa kecuali, bertanggung jawab (liable) kepada perlindungan lingkungan hidup. Memerhatikan rumusan ketentuan perundangan
sebagaimana telah dikemukakan dalam sub bagian hasil penelitian skripsi ini di atas,
Penulis berpendapat bahwa prinsip strict liability yang demikian itu juga ada dalam UU Indonesia, yaitu UU No. 32 tahun 2009 yang menegaskan bahwa:
67
Langkah yang diambil (tanggung gugat)46 oleh pihak yang melakukan
pencemaran lingkungan tersebut, apabila hal itu belum sampai ke pengadilan, maka
dapat dilakukan pembayaran dalam bentuk uang (kompensasi) atau tindakan-tindakan
lain yang tujuannya adalah memulihkan kembali lingkungan yang telah rusak.
Katakanlah apabila ada air sumur penduduk di Kota Salatiga yang tercemari oleh
aktivitas yang berdampak terhadap lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan
tekstil di Salatiga tersebut, maka si pencemar berkewajiban (liable) untuk
menjernihkan kembali air sumur tersebut. Kewajiban itu, ditilik dari rumusan asas
strict liability dalam UU sebagaimana dikemukakan di atas tidak harus menunggu sampai dengan adanya hak yang dilanggar, misalnya adanya penduduk yang merasa
bahwa air sumurnya tercemar oleh limbah pabrik tekstil tersebut. Namun, tanggung
jawab itu mutlak, tanpa harus menunggu ada hak yang terlanggar.
Analisis yang kedua adalah bahwa apabila kasus yang ada sudah
dibawa ke pengadilan, maka adalah merupakan kewajiban si tergugat untuk
membuktikan bahwa bukan aktivitas si tergugatlah yang menyebabkan kerusakan
68
hubungannya dengan aktivitas atau tindak-tanduk si subyek hukum, yang diduga
merusak lingkungan.
Ketiga, baik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia maupun dalam putusan pengadilan yang Penulis rujuk dari Putusan hakim di Inggris
sebagaimana dikemukakan di atas, kedua sistem hukum itu mengenal adanya
pertanggung jawaban mutlak (strict liability) meskipun harus diakui bahwa dilihat dari tahun asas hukum itu dipergunakan, sudah barang tentu jauh lebih dahulu berlaku
di Inggris jika dibandingkan dengan yang berlaku di Indonesia yaitu sejak
dibentuknya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Indonesia.
Perlu Penulis kemukakan di sini, yaitu bahwa sehubungan dengan aspek
historis berlakunya asas strict liability itu, dilihat dari tahun berlaku, maka pengakuan atas adanya asas hukum yang sangat penting itu di Indonesia baru ada di tataran UU
Lingkungan Hidup pada tahun 1982, atau jauh lebih terlambat (abad lamanya) jika
dibandingkan dengan tahun putusan di English common law yang telah Penulis
kemukakan di atas. Hanya saja, seperti apa yang telah Penulis kemukakan di atas,
kesadaran hukum atas dikte hukum masyarakat di Indonesia menyatakan bahwa
keberlakuan asas strict liability itu universal dan sudah ada, misalnya dengan adanya kesadaran untuk menanggung beban atas pembuangan sampah di lingkungan