• Tidak ada hasil yang ditemukan

D 902012109 BAB VIII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "D 902012109 BAB VIII"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESA:

GUS-JI-GANG

, PEMIKIRAN MAX

WEBER,

HABITUS

,

SOCIAL CAPITAL

DALAM

PENGUATAN KINERJA USAHA

KELUARGA BORDIR

Pendahuluan

Konsep pembangunan yang dikembangkan banyak ahli memiliki banyak makna yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yaitu ekonomi, politik, sosial dan budaya. Bahkan ada yang mengatakan pembangunan itu suatu proses yang multi-dimensional, artinya proses yang berkelanjutan untuk meningkatkan terwujudnya kesejahteraan masyarakat tidak hanya meningkatkan sektor ekonomi tetapi sektor non ekonomi untuk menjaga keseimbangan pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan harus didasarkan pada etika pembangunan. Etika pembangunan adalah bahwa ada pertimbangan-pertimbangan etis (normative atau ethical assessment) dalam menentukan tujuan pembangunan, strategi dan kebijakan serta implementasinya untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut. Dalam proses melaksanakan.pembangunan yang etis tersebut1, pemerintah perlu memperhatikan berbagai aspek antara lain aspek ekonomi, aspek lingkungan dan aspek budaya agar dapat tercapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.

(2)

upaya memutus mata rantai kemiskinan, dan sebagai jawaban bagi lapangan pekerjaan yang harus disediakan bagi puluhan angkatan kerja serta mampu menghadapi usaha-usaha yang berorientasi kapitalisme yang dapat menciptakan ketimpangan, antara yang kecil dengan yang besar semakin melebar. Disinilah sumbangan nilai-nilai temuan yang peneliti berharap dengan mengidentifikasi salah satu jenis praktik bisnis yang peneliti yakini dari hasil penelitian dilandasi dengan nilai-nilai non bisnis tertentu yang disebut Gus-ji-gang. Gus-ji-gang

merupakan salah satu model praktik bisnis yang bisa mengimbangi praktik-praktik bisnis kapitalis, yang sering menghalalkan segala cara mengejar keuntungan-keuntungan individu dengan mengorbankan kepentingan sosial, dimana yang kuat semakin kuat dan kecil semakin tersingkirkan, sehingga berdampak negatif pada lingkungan alam dan sosial.

Gus-ji-gang menempatkan agama sebagai sumber motivasi dan unsur kreatif yang melahirkan karya-karya budaya sebagai kearifan tradisional yang bersifat lokal sesuai dengan daerahnya merupakan salah satu warisan budaya yang ada di masyarakat Kudus dan perlu diimplementasikan ke dalam realitas kehidupan masyarakat Kudus baik masyarakat umum, birokrasi atau pemegang kekuasaan dan pengusaha. Konsekuensinya seluruh elemen masyarakat perlu melakukan berbagai langkah untuk memasyarakatkan budaya tersebut agar masyarakat Kudus benar-benar sesuai dengan nilai-nilai atau pesan-pesan budaya

Gus-ji-gang. Maka tindakan pemerintah Kabupaten Kudus dalam mengimplementasikan pelaksanaan pembangunan ekonomi berkelan-jutan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat Kudus, harus mempertimbangkan etika, moral dan kemanusiaan dimasukkan dalam berbagai kebijakan pembangunan.

(3)

tetapi diperlukan strategi dan arah kebijakan memihak yang jelas, serta didukung kemauan dan keputusan politik yang mengikat dalam bentuk Peraturan Daerah. Artinya Pemerintah Kabupaten Kudus harus memiliki berbagai program atau kebijakan pembangunan yang mengarah kepada perwujudan filosofi Gus-ji-gang antara lain :(1) kebijakan yang disadarkan pada “Gus” dalam filosofi Gus-ji-gang, yaitu Pemerintah Kabupaten Kudus harus memiliki konsep dan keberanian untuk mewujudkan Kota Kudus sebagai kota yang masyarakatnya memiliki kharakteristik sikap dan perilaku yang bagus (kualitas intelektual, kualitas sosial dan kualitas moral) dibandingkan dengan wilayah lainnya, (2) Kebijakan yang bernuansa “Ji” dari filosofi Gus-ji-gang adalah Pemerintah Kabupaten Kudus harus memiliki program dan kebijakan yang mengarahkan masyarakat Kabupaten Kudus memiliki semangat untuk mendalami ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu pngetahuan yang lain sehingga memiliki kualitas yang sesuai dengan dinamika dan perkembangan jaman, misalnya pola keberagaman yang toleran maupun pluralisme. (3) Kebijakan yang bernuansa “Gang” dari filosofi Gus-ji-gang harus memiliki program dalam kebijakan yang mengarahkan masyarakat Kudus memiliki semangat untuk mengembangkan perekonomian secara optimal, dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian masyarakat kecil, seperti usaha kecil kerajinan, bordir, konfeksi, jenang dll. serta penataan ekonomi harus didasarkan semangat menghidupkan dan mengembangkan usaha kecil sehingga usaha kecil tetap hidup dan eksis meskipun usaha modern berkembang.

Gus-ji-gang

dalam Perspektif Max Weber

(4)

dan”ji” yang merupakan proses internalisasi dalam diri individu yang memiliki multi budaya dan multi religius, sedangkan “gang” sebagai perwujudan “wali saudagar” atau ahli dagang yang tidak lain sama dengan entrepreneurship merupakan proses ekternalitas yang didasarkan kepercayaan yang telah dibangun internalilitas individu dalam kegiatan berdagang.

“Gu-ji” dalam Gus-ji-gang bila diterapkan dengan baik dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama (Islam) dan budaya lokal akan membentuk karakter masyarakat Kudus dalam membangun norma dan nilai-nilai yang ditaati, kepercayaan, pertisipasi dalam membangun jejaring, pranata dan hubungan timbal balik yang secara terus-menerus dalam jangka panjang akan menjadikan habitus mampu memperkuat

social capital yang membuat masyarakat dapat mencapai kesejahteraan.

Realita simbol “wali saudagar” sebagai etos dagang masyarakat Kudus merupakan proses transendensi untuk membentuk pranata bisnis yang tidak hanya memikirkan tentang profit, transaksi, manajemen, akuntansi, dan strategi, namun juga mempersoalkan keadilan, pelayanan, pengembangan, tanggung jawab sosial, maupun lingkungan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai religius yang dianutnya.

(5)

dengan pengalaman keagamaan sebagai satu proses pembelajaran (learning) ilmu pengetahuan (ngelmu)4 dan dihayati sebagai satu kesatuan kepribadian dagang Jawa di Kudus. Berdasarkan pemahaman dua sisi tersebut, nilai-nilai moral budaya Jawa dalam Gus-ji-gang

mengimplikasikan adanya dua proses yaitu, proses pemikiran5 atau internalisasi (pembatinan) dan proses obyektifikasi keutamaan moral atau keutamaan6 dagang di Kudus. Kedua proses itu pemahamannya dalam konstruksi teoritis para ahli baik dari dalam negeri maupun luar negeri (Barat). Karenanya dalam rangka itu, keutamaan Gus-ji-gang di satu sisi, pemahamannya searah dengan habitus menurut Bourdieu, suatu proses menstrukturkan dan distrukturkan berlangsung secara dialektika, dan proses seperti inilah yang mendorong dan mendasari proses perubahan sebagai dasar penguatan social capital7 yang dimiliki masyarakat Kudus. Keduanya dapat dipahami sebagai keutamaan sosial capital dengan karakteristik modal spiritual dalam dagang di Kabupaten Kudus di sisi lainnya. Obyektifikasi karakteristik yaitu adanya kesadaran eksistensi manusiawi8 dengan nilai-nilai manusiawi yang transendental9 dalam proses internalisasi untuk diobyektifikasikan dalam dagang diharapkan dapat mencapai kemajuan yang manusiawi10.

(6)

dorongan keharusan material (kegiatan ekonomi) terjadi suatu pertemuan. Dengan demikian agama menempati posisi yang memiliki potensi untuk mengadakan perubahan struktural, termasuk kenyataan sosial-ekonomi.

Weber dalam “The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism”

menjelaskan ciri yang mendasar dari kegiatan perekonomian yang bersifat kapitalis adalah “rasionalitas” yang didasarkan kepada perhitungan-perhitungan yang cermat yang disusun secara sistematis dan sederhana berdasarkan situasi ekonomi yang diharapkan untuk mendapatkan keuntungan. Namun pengejaran keuntungan atau kekayaan tidaklah sama sekali melepaskan etika “panggilan”. Selanjutnya, Weber menyatakan bahwa panggilan merupakan suatu cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dengan memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepada dirinya sesuai dengan kedudukannya di dunia, maka kaum Calvinisme telah melihat kerja sebagai panggilan. Kerja tidak sekedar pemenuhan keperluan tetapi sebagai tugas suci. Penyucian kerja berarti mengingkari sikap hidup keagamaan yang melarikan diri dari dunia. Richard Baxter dalam bukunya ”Christian Directory” menyatakan bahwa suatu panggilan yang didasarkan kepada adanya perintah Tuhan kepada setiap orang untuk bekarya bagi keagungan-Nya di bumi. Weber menyatakan, itulah yang telah menimbulkan konsekuensi-konsekuensi psikologis dan perkembangan yang lebih jauh tentang penafsiran keberhasilan di bidang ekonom.

Bila dibandingkan antara Gus-ji-gang yang merupakan nilai-nilai ajaran Islam yang diajarkan oleh Sunan Kudus dengan konsep kapitalisme Max Weber, ada kesamaannya tetapi banyak perbedaannya. Persamaannya keduanya menghargai kebebasan individu, sama-sama menyatakan bekerja keras adalah panggilan atau

(7)

diyakini Calvinis untuk memotivasi etos kerja keras, tetapi etos kerja Islam di didasari sikap “ikhtiar” dan “tawakal” bukan fatalitik. Tujuan bekerja menurut Max Weber untuk mendapatkan keuntungan dan diinvestasikan kembali dalam usaha agar memperoleh keuntungan yang lebih besar tetapi dalam Islam, kekayaan pribadi yang didapat dari keuntungan usaha tujuannya sebagian digunakan untuk usaha kembali dan sebagian untuk berhaji serta dinikmati fakir miskin yang membutuhkan dalam bentuk sedakah dan zakat.

Kapitalisme, Etika Dagang Bangsa Barat

Studi Weber (1958) tentang etika Protestan menunjukkan bagaimana teologi rasional telah menjadi kelengkapam orientasi yang lebih mendalam dalam tindakan dan perilaku individu dan masyarakat. Weber melihat laju Protestanisme cenderung ke arah asketisme sebagai pesan menghilangkan magis dan mitos dari pandangan keagamaan dan lebih memusatkan kemampuan tindakan dan perilaku manusia, usaha manusia untuk mendapatkan keuntungan dan memperoleh kehidupan yang layak telah menjadi tujuan umat manusia. Wallace (1951) mengatakan, mereka melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan ekonomi dengan sistem perhitungan mengejar keuntungan dengan cara melalui penanaman kembali keuntungan yang diperolehnya untuk mendapat-kan akumulasi kekayaan. Namun dalam pengejaran keuntungan atau kekayaan tidaklah sama sekali melepaskan etika karena makna penge-jaran keuntungan di bidang material berkaitan erat dengan adanya “panggilan” terhadap tugas duniawi.

(8)

memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepada dirinya sesuai dengan kedudukannya di dunia. Perkembangan konsep “panggilan” dalam Protestanisme sebagai kekuatan agama berperan dalam membentuk jaringan perkembangan budaya duniawi, mencari sikap dan arah dimana gerakan-gerakan keagamaan telah mempengaruhi perkembangan budaya material dan melihat kerja sebagai panggilan.

Weber juga mengatakan, kerja tidak sekedar memenuhi kebutuhan tetapi sebagai panggilan tugas suci yang menjadi dasar etos kerja seseorang atau kelompok masyarakat. Selanjutnya menurut Weber (1958), etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang kerja yang diyakini oleh seseorang atau kelompok orang sebagai hal yang baik dan benar dan mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka. Berkaitan antara etos kerja dengan agama, maka etos kerja merupakan sikap diri yang mendasar terhadap kerja yang merupakan wujud dari kedalaman dan penghayatan religius yang memotivasi seseorang untuk melakukan yang terbaik dalam suatu pekerjaan. Dengan kata lain, etos kerja adalah semangat kerja yang mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap pekerjaanya yang bersumber pada nilai-nilai transenden atau nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Tujuan dalam hidup untuk mendapatkan kemakmuran dan kekayaan, maka untuk mencapai tujuan itu harus bekerja keras, dan kegiatan ekonomi sebagai suatu tugas dalam rangka melayani Tuhan.

(9)

melakukan kegiatan sesuai dengan waktunya. Memiliki keteguhan hati, mantap untuk melakukan sesuatu yang semestinya dilakukan dan melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh yang telah menjadi keputusannya. Hati-hati dan hemat, menjadikan sesuatu tidak sia-sia, tetapi dilakukan dengan baik, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Rajin dan tidak membuang-buang waktu. Selalu bekerja sesuai dan tepat pada waktunya. Ikhlas dan tulus dan tidak berlebih-lebihan. Selalu menghindari perilaku yang jorok dan mengusahakan kesehatan serta tidak pernah merasa bosan dan terutama sekali tidak pernah merasa rendah diri dengan kemampuan diri sendiri maupun orang lain13. Ajaran tersebut di atas akan membimbing orang kepada perilaku kehidupan yang sifatnya kapitalistis. Paling tidak dalam kehidupan masyarakat telah berkembang sifat-sifat mental kapitalis yang nampak dalam kehidupan yang diarahkan kepada alat-alat produksi secara pribadi, perusahaan-perusahaan bebas, produksi untuk pemasaran, penghematan uang, mekanisme persaingan dan rasionalisasi serta pengelolaan perusahaan secara baik.

Gus-ji-gang

, Etika Dagang Masyarakat Kudus

(10)

Ahli dagang atau entreprenuerhip identik dengan rasionalitas yang memiliki parameter yang terukur. Dasar tumbuhnya etos dagang masyarakat Kudus merupakan proses transendensi untuk membentuk pranata bisnis yang tidak hanya memikirkan tentang profit, transaksi, manajemen, akuntansi, dan strategi, namun juga mempersoalkan keadilan, pelayanan, pengembangan, tanggung jawab sosial, maupun lingkungan hidup. Karakter etos dagang tersebut melekat pada diri masyarakat Kudus yaitu religius tetapi memiliki etos kerja yang ulet, rajin, hemat, serta tawakal14. Keuletan dan kerajinan masyarakat Kudus dilakukan oleh kaum laki-laki maupun perempuan sama-sama melakukan kegiatan bisnis, bahkan kadang-kadang mereka memiliki peran ganda yaitu mengurusi domestik rumah tangga maupun bisnis. Perilaku hemat masyarakat Kudus dapat dipahami dengan mempertimbangkan segala tindakan dari segi-segi pertimbangan ekonomi (seperti kaum kapitalis) namun perilaku hemat masyarakat Kudus didasarkan tata nilai yang menempatkan masalah ekonomi atau kekayaan mempunyai “arti” yang sangat tinggi. Artinya dalam keadaan tertentu dan dengan alasan-alasan khusus, masyarakat Kudus baru melakukan suatu tindakan ekonomi lebih pada kepentingan sosial.

Tawakal merupakan sikap berserah diri kepada Allah setelah melakukan usaha keras. Jadi, sikap pasrah itu baru dilakukan setelah terlebih dahulu berusaha secara keras. Bukan sebaliknya, tidak pernah bekerja keras sama sekali, namun pasrah, itu bukan tawakal tetapi fatalis. Jadi tawakal mengajarkan agar manusia hidup ”pasrah”, “rela” dan ”sabar” menerima apapun pemberian dari Tuhan sebagai etika hidup sak thitahe (sesuai jalanya/kodratnya) dan rejeki paringane Gusti Allah (rejeki berasal dari Tuhan) setelah mereka bekerja keras terlebih dahulu, dan ini sesuai dengan konsep “gus” dan “ji” dalam Gus-ji-gang

dan itu merupakan kekuatan “spiritual” masyarakat Kudus. Sedangkan di sisi lain kata ”gang” yaitu dagang, yang memiliki makna pintar berdagang, yang merupakan perbuatan rasional yang memiliki parameter yang terukur.

(11)

hasil usaha, penggunaannya tidak ditabung untuk diinvestasikan dalam usaha seluruhnya tetapi justru sebagian dari keuntungan akan digunakan untuk kepentingan kegiatan-kegiatan sosial sebagai sarana untuk mencapai kebahagian spiritual misalnya naik haji, sedekah, zakat, membantu saudara yang tertimpa musibah atau kegiatan-kegiatan lain yang dapat menaikkan status sosialnya seperti berhaji atau berpenampilan maliter yang identik dengan berpakaian yang bagus, rumah yang baik, kendaraan bagus atau sesuatu yang dapat menaikan penampilan.

Gaya maliter akan mendapat pandangan negatif masyarakat luas karena nilai-nilai ajaran Islam melarang jor-joran konsumsi pribadi yang tidak rasional, manakala gaya maliter hanya digunakan perbuatan pamer kekayaan. Sedangkan gaya maliter akan dihormati masyarakat bila sebagai simbol rasa syukur atas keberhasilan mendapatkan rejeki berlimpah dan memperkuat dirinya termasuk ke dalam kalangan “gus” bagus penampilan dalam Gus-ji-gang. Namun demikian dalam ajaran Islam tidak melarang orang menjadi kaya asalkan orang kaya tersebut dapat menguasai dirinya dan kekayaan tidak dicari untuk sekedar dikumpulkan/ditabung tetapi kekayaan dicari untuk berbakti kepada Allah dan melaksanakan perbuatan baik. Ini menunjukkan bahwa makna kekayaan dalam Islam sangat berbeda dengan makna yang terdapat dalam sistem ekonomi materialistik dan kapitalisme yang menganggap bahwa kekayaan sebagai kekuatan ekonomi dan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan.

(12)

dihubungkan dengan tawakal, karena pada dasarnya tawakal adalah membangun transendensi kepada Allah.

Sejalan dengan etika ajaran Islam tidak mengajarkan harta kekayaan sebagai kemungkinan pertanda penyelamatan. Oleh karena itu agama Islam menolak gagasan takdir sebagai dipersepsikan Calvinisme menurut pandangan Weber. Persoalan mengenai siapa yang termasuk golongan terpilih dan siapa termasuk golongan terkutuk dalam etika Islam tidak ada, meskipun antara ajaran Islam dan kapitalisme yang diangankan Weber sama-sama menghargai kebebasan individu.

Demikian pula dalam etika Gus-ji-gang tidak memperkenalkan tindakan eksploitasi si miskin (karyawan/buruh) oleh si kaya (majikan), sehingga hubungan antara karyawan dan majikan di komunitas IKBK bordir di Kudus demikian cair, kekeluargaan, hangat dan harmonis, dan terstruktur (yang muda menghargai yang tua, karyawan menghormati majikan) serta menjaga tidak terjadi konflik secara terbuka. Namun dalam etika hidup Calvinisme menghargai kebebasan individu dan membenarkan upah eksploitasi untuk menjamin peningkatan produktivitas dan menekankan pelayanan dan rajin bagi para majikan sebagai jalan keselamatan kaum buruh (karyawan). Menurut Deliar Noer (1982), kekayaan pribadi dalam ajaran Islam merupakan amanat suci yang harus dinikmati oleh semuanya, terutama oleh fakir miskin yang membutuhkan.

Etika

Gus-ji-gang

sebagai

Habitus

dan

Social Capital

Dagang Masyarakat Kudus

(13)

“ji” dalam konsep Gus-ji-gang yang merupakan proses internalisasi dalam diri individu yang memiliki multi budaya dan religius, Sunan Kudus digambarkan pula sebagai seseorang pedagang yang ulet dan tangguh. Perilaku “gang” ataupintar dagang dalam Gus-ji-gang sebagai perwujudan “wali saudagar” atau ahli dagang yang tidak lain sama dengan entrepreneurship merupakan proses ekternalitas yang didasarkan kepercayaan yang telah dibangun internalitas individu dalam kegiatan berdagang. Tradisi lokal tersebut masih tetap dipertahankan hidup di masyarakat, dan figur Sunan Kudus yang patuh dalam beragama dan ulet, rajin, hemat dan tawakal dalam berdagang merupakan rujukan dan habitus bagi perilaku ekonomis dari masyarakat Kudus, khususnya komunitas IKBK Bordir di Kudus.

Mengacu pada dialektika aktor dalam komunitas IKBK bordir di Kudus, maka penulis letakkan dalam konsep Bourdieu (1977) dalam “Outlineof Theory of Practice” sebagai:

”suatu sistem disposisi yang tahan lama, dapat diubah-ubah, struktur yang disusun untuk mempengaruhi sebagai penyusunan struktur, yaitu, sebagai prinsip-prinsip yang menghasilkan dan mengatur praktik dan gambaran-gambaran yang dapat disesuaikan secara objektif untuk mendapatkan hasil tanpa mensyaratkan kesadaran akan tujuan akhir atau penguasaan khusus atas operasi-operasi yang mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Secara objektif

“mengatur” dan “teratur” tanpa harus menjadi hasil dari kepatuhan pada aturan-aturan, mereka (agen-agen) secara kolektif dapat disusun seperti musik tanpa menjadi hasil dari pengorganisasian tindakan oleh sang konduktur.”

(14)

Bourdieu (1977) menjelaskan bahwa, pembentukan habitus

melalui suatu dialektika yang digambarkan sebagai: “a dialectic of internalization of externality and externalization of internality”. Proses internalisasi “gus” dan ”Ji” dalam Gus-ji-gang yang terus diterima atau dilakukan dalam sistem ini akan membentuk habitus yang berfungsi sebagai kerangka pikir aktor (pengusaha IKBK bordir) yang tereksternalitas dalam bentuk praktik (dagang), dan selanjutnya apa yang tereksternalitas ini mengalami proses internalitas kembali, dan seterusnya, semuanya berlangsung dalam IKBK bordir sebagai ranah/area/filed. Dalam ranah IKBK border, aktor (pengusaha IKBK bordir) melakukan tindakan atau praktik dalam bentuk berinteraksi yang dialektis dengan tenaga kerja (karyawan), pemasok bahan baku, konsumen dan pemangku kepentingan yang melibatkan modal baik ekonomi, sosial, budaya, maupun simbolik yang dimiliki untuk meraih, mempertahankan dan mengembangkan kapasitasnya agar eksis dalam IKBK bordir. Habitus selalu bertautan dengan capital dalam arena dan pertautan antara habitus, capital dan arena merupakan paduan dialektis yang memberikan gambaran berlangsungnya berbagai practice

(praktik) berdagang para aktor (pengusaha IKBK bordir), yang oleh Bourdieu (1977, 1990) dirumuskan sebagai (habitus) x (capital) + field = practice.

(15)

Masjid, RT/RW, arisan, pengajian, maupun pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh pemangku kepentingan di masyarakat.

“Gang” atau dagang dalam konsep Gus-ji-gang merupakan amal yang mengarah pada kemuliaan hidup di dunia dalam rangka mendapatkan keuntungan dalam kegiatan ekonomi dan berkaitan dengan hubungan antar munusia dengan sesamanya. Bagi umat Islam harus ada keseimbangan antara tujuan akherat dan tujuan di dunia. Pengalaman sejarah memberikan beranggapan bahwa masyarakat Kudus rata-rata memiliki perilaku baik, mencari kekayaan dan berkeyakinan yang kuat pada agama Islam yang membedakan antara masyarakat Kudus dengan masyarakat di luar Kudus. Sikap itu telah menjadikan masyarakat Kudus memiliki karakteristik sebagai masyarakat yang pintar dagang, ulet, rajin, hemat dan tawakal.

Filosofi Gus-ji-gang menjadi habitus masyarakat Kudus merupakan dualitas kehidupan ekonomi (dagang) dan spiritual (“gus” berperilaku bagus dan “ji” ngaji). Kehidupan sehari-hari masyarakat Kudus tercermin dalam tiga pusat kegiatan kehidupan masyarakat Kudus, yaitu rumah, pasar dan masjid yang tidak saling berhubungan. Kesadaran rumah sebagai pusat bekerja berbeda dengan kesadaran pasar sebagai pusat mencari keuntungan, dan dengan masjid sebagai pusat ritual agama. Dalam memilih pekerjaan masyarakat Kudus tidak tertarik pada pekerjaan kantoran, tetapi lebih tertarik pada bidang wirausaha dan perdagangan. Pekerjaan mereka sebagai pedagang, membuat mereka sangat hemat dan berhati-hati dalam mengeluarkan uang untuk kepentingan apapun. Karena itu, masyarakat di luar Kudus sering menganggap masyarakat Kudus itu uthil (pelit), semua pengeluaran dipertimbangkan matang-matang secara ekonomi. Sehingga masyarakat Kudus dikenal sebagai pedagang yang memiliki etos kerja yang ulet, rajin, hemat, serta tawakal sebagai suatu tindakan sosial dalam rangka mengelola usaha bisnisnya. Tindakan sosial menurut Bourdieu (1997), lebih cenderung merupakan hasil proses improvisasi dan kemampuan untuk berperan dalam interaksi sosial.

(16)

antar struktur dan tindakkan agen yang saling mempengaruhi. Tindakan sosial tidak serta merta terjadi atau dipengaruhi struktur dan orientasi-orientasi budaya. Aktor bergerak atau bertindak dalam kebiasaan. Kebiasaan ini menjadikan aktor dalam bertindak merasa ada di dalam dunia sosialnya. Demikian pula dalam dunia bisnis, menurut Werner (2004), Barney (1991,1995) dimana salah satu sumber daya yang dapat memberikan keunggulan bersiang adalah sumber daya yang dikembangkan melalui berbagai pendekatan sosial dengan atribut-atribut sosialnya (Oliver,1997) yang dikenal sebagai social capital atau modal sosial (Coleman,1988). Dalam kaitan ini social capital dipandang merupakan salah satu instrumen strategis yang mampu mendorong tumbuh dan berkembangnya keunggulan bersaing yang pada gilirannya mampu menghasilkan kinerja perusahaan yang baik dan menjamin keberlanjutannya.

Menurut studi (Hall, 1994; Lado et.al., 1992, dan Oliver, 1997) menempatkan konsepsi social capital menjadi salah satu faktor kunci dalam menghasilkan kinerja industri. Kinerja industri yang ditentukan oleh tingkat keunggulan bersaing yang dimilikinya sangat tergantung pada modal sosial yang dimiliki dan dikembangkan. Putman (1993) mendefinisikan social capital sebagai: “fitur organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi dalam masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi”. Dengan demikian rasa dipercaya dan saling percaya, kepatuhan pada norma-norma sosial yang ada serta jejaring sosial yang dibangun yang mampu meningkatkan efisiensi masyarakat merupakan fitur dasar

social capital yang ada dalam berbagai organisasi masyarakat termasuk IKBK bordir di Kudus.

(17)

kepercayaan (radius of trust). Oleh karena itu, pemberdayaan peran

social capital di lingkungan IKBK bordir di Kudus dapat berkembang melalui usaha yang memelihara norma dan nilai kejujuran, saling mempercayai, kerja sama usaha konsumen, tenaga kerja, pemasok bahan baku maupun diantara para pengusaha bordir sehingga terbangun kinerja ekonomi yang unggul di lingkungan IKBK bordir di Kudus.

(18)

CATATAN-CATATAN KAKI

1Kameo, Daniel D., 2014.’Membangun Basis Ekonomi Nasional yang Kokoh melalui

Keberpihakan kepada Pelaku Ekonomi Mayoritas di Indonesia” dalam Kumpulan Tulisan ”para murid” dalam rangka Ulang Tahun ke 70 Prof. John JOJ Ihalaw “Ketika Rajawali Terbang Tinggi”. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana

2 Spiritualitas adalah hubungan personal seseorang terhadap sosok

transenden.Spiritualitas mencakup inner life induvidu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan pengharapannya kepada Yang Maha Mutlak. Sprotulitas juga mencakup bagaimana induvidu mengekpresikan hubungannya dengan sosok transeden tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya dibaca dalam Schreurs, ”Spiritual Raletionships as an Analytical Instrument in Psichotheraphy With Religious Patients”. Journal of Philosophy, Psychiatry,& Psychology-vol.12.no3.September 2006.hlm.185.

3 N.Driyarkara,Percikan Filsafat,(Jakarta:PT Pembangunan,1980).hlm.148

4 Orang jawa lebih akrab dengan istilah ngelmu dari pada ilmu pngetahuan.Bagi orang

Jawa ngelmu berarti adalahtiga hal sekaligus yaitu ilmu pengetahuan, pengertian mistis, dan kekuatan gaib, sebagai salah satu bentuk kemampuan yang lebih menyolok untuk bertindak tepat.Franz Magnis Suseno.’Etika Jawa sebuah Analisa Filsafat tentang kebijakan hidup jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001).hlm.106.

5 Proses pemikiran yaitu, serangkaian kegiatan budi rohani seseorang yang

menciptakan pengertian, melakukan penalaran, dan mengolah ingatan sekelilingnya. Selanjutnya dibaca dalam The Liang Gie,2003,hlm.3.Internalisasi sama dengan menginternalisasikan atau membatinkan perintah-perintah, larangan-larangan dan, nilai-nilai moral dari masyarakat (orang tua, para guru, para teman sejawat, tempat kerja, dan Negara)

6 Menurut K.Bertens, keutamaan mempunyai hubungan eksklusif dengan moral, karenanya keutamaan sama saja dengan keutamaan moral.K.Bertens.’Etika’ (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,2011).hlm.217.

7 Istilah social capital (social capital) yang menurut Bourdieu didefinisikan sebagai berikut,’modal hubungan sosial yang jikadiperlukan akan memberikan dukungan -dukungan bermanfaat:modal harga diri dan kehormatan yang sering kali diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke dalam posisi yangpenting secara social, dan yang bias menjadi alat tukar, misalnya dalam karier politik.P.bourdieu,”Cultural Reproduction and Social Reproduction” dalam :J.Karabel dan A.H.Hasey (eds), Power and Idiology in Education, (New York: Oxford University Press,1988). hlm.503

8 Eksistensi manusiawi adalahsuatu proses budi manusia dan karakteristik cara

beradanya yang terdiri dari saling keterkaitandiantara agama, filsafat, ilmu, dan seni.The Liang Gie,”Suatu Konsepsi kea rah Penerbitan bidang Filsafat, terj.Ali Muhamad Mudhofir, (Yogyakarta: Karya Kencana, 1979).hlm.32.

9 Ada empat jenis nilai-nilai manusiawi yang transendental yaitu, kekudusan, kebaikan,

(19)

eksistensi fisis, biologis, dan eksistensi sosial yang sama seperti manusia. Namun, hanya manusia khusus (yang khusus) memiliki dan menjalani saling keterkaitan eksistensi manusiawi dan dengan empat macamnya tersebut. The Liang Gie, Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat,terj.Ali Muhammad Mudhofir,(Yogyakarta:Karya Kencana,1979), hlm. 32. Implikasi paham nilai-nilai manusiawi yang transendental dalam dasar kesadaran orang Jawa yaitu, dengan kalimatnya “aja lali marang asale”

maksudnya, hendaklah selalu ingat (eling) bahwa, “jangan melupakan asalmu”. Kalimat itu juga berarti, maka hendaknya ingat (eling) akan Allah dan sesuai dengan itu hendaknya mempercayakan diri pada bimbingan yang Ilahi (pracaya) atau percaya kepadaNya. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafat tentang Kebijakan Hidup Jawa (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2001),hal. 139. Lihat juga Soetrisno, Falsafah Hidup Pancasila sebagaimana Tercermin dalam Falsafah Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Pandawa, 1977), hlm. 13.

10 Dimaksudkan kemajuan yang manusiawi adalah, kemajuan hanya bersifat manusiawi

apabila manusia menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut, apabila ia semakin merasa tentram dan selamat, apabila ia sanggup untuk mewujudkan kehidupannya sebagai individu dalam lingkungannya sesuai cita-citanya, apabila ia tidak diperbudak. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 135.

11 Gordon Marshall,In Search of The Spirit of Capitalism: An Essay on Max Weber’s Protestan Ethic”, (New York:Columbia University Press,1982), hlm.23.

12 Fransisco Jose Moreno,”Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan

Jiwa Manusia”, diterjemahkan oleh M.Amin Abdullah,(Jakarta:Rajawali

Press,1985),hlm.139

13 Kurt Samuelson, Religion and Economic Action: A Critique of Max Weber. (New

York: Harper Torch Books and Row Publication,1964),hlm.55-56.

14 Musa Asy’ari. 1997, ”Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat”.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penelitian telah dilaksanakan di pangkalan perikanan desa Bunaken bertolak dari tujuan untuk mempelajari dan mengkaji proil perikanan funae melalui telaah beberapa variabel

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan model kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) lebih baik dari

Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa atribut produk serta citra merek berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian Smartphone

Lu Lump mpur ur in ini i sa sang ngat at ba ban ny yak ak me meng ngan andu dung ng ba bakt kter eri i pe peng ngur urai ai,, sehingga sangat baik dipergunakan

ekonomi syariah yang memadai. lni merupakan peluang yang sangat prospektif, sekaligus merupakan tantangan bagi kalangan akademisi dan dunia pendidikan kita. Tingginya kebutuhan

First, notwithstanding the rapid growth of manufacturing exports from the late 1980s, non-oil primary products, both agricultural products and minerals, still accounted in

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui peranan dari tingkat individu yang merupakan faktor komposisional serta determinan lingkungan (tingkat rumah tangga dan

Pada penelitian ini telah dilakukan beberapa optimasi prosedur pengukuran untuk menentukan residu klorpirifos dalam sampel sayur-sayuran yang meliputi pengaruh komposisi