1 1.1 Latar Belakang
Muncul isu tentang kekerasan dalam rumah tangga hingga berujung dengan
perceraian. Isu ini menjadi salah satu latar belakang munculnya masalah dalam
penelitian ini. Banyak faktor dalam keluarga Bali masa kini yang berpotensi
sebagai sumber penyebab perceraian, di antaranya adalah kekerasan dalam rumah
tangga. Kekerasan (violence) merupakan salah satu manifestasi dari ketidakadilan
budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender. Kekerasan yang
dimaksud mulai dari kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga, dan kekerasan
fisik. Perbedaan dan sosialisasi gender yang amat lama mengakibatkan kaum
perempuan secara fisik lemah dan kaum laki-laki umumnya lebih kuat. Hal ini tidak
menimbulkan masalah sepanjang anggapan lemahnya perempuan tersebut tidak
mendorong dan memperbolehkan laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap
perempuan. Banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan bukan karena
perempuan lemah atau kurang setia, melainkan karena kekuasaan dan stereotipe
gender yang dilabelkan pada perempuan (Fakih, 1996 : 15).
Cukup banyak terjadi kekerasan oleh laki-laki terhadap perempuan,
perempuan terhadap perempuan, bahkan perempuan terhadap laki-laki, tetapi
kekerasan yang dimaksud, dalam hal ini, khususnya kekerasan yang berkaitan
dengan menifestasi ketidakadilan gender dalam rumah tangga penyebab perceraian
Kekerasan yang paling menyedihkan apabila terjadi di dalam lembaga perkawinan.
Lembaga yang menurut pandangan bangsa Indonesia maupun menurut ajaran
agama Hindu adalah lembaga yang sakral, telah melahirkan ketidakadilan budaya
dan struktur karena perbedaan gender yang hingga kini dianut masyarakat Bali yang
masih cukup kuat mengikat masyarakat pendukungnya.
Sejak berlakunya UU No.23 Tahun 2004, jenis kekerasan fisik yang
berkadar berat hingga menyebabkan kerban dirawat di rumah sakit, tampaknya
sudah semakin berkurang dilakukan dibandingkan sebelum tahun 2004. Namun apa
pun jenis kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan/istri dalam rumah tangga
merupakan salah satu manifestasi dari ketiakadilan gender yang tetap perlu dikritik
atau diantisipasi. Disamping karena bertentangan dengan tujuan untuk mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender, juga bertentangan dengan tujuan perkawinan
menurut ajaran Hindu.
Isu kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian didukung oleh data
jumlah angka perkara perceraian tahun 2004 hungga 2015 menunjukkan
peningkatan yang sangat signifikan misalnya tahun 2004 jumlah perkara perceraian
yang diputus di Pengadilan Negeri Denpasar berkisar 181, tahun 2005 hingga 2008
berjumlah 301 kasus, dan akhir tahun 2009 berjumlah 346 kasus, akhir tahun 2010,
ada 360 kasus, akhir tahun 2011 naik sebanyak 496, hingga akhir Desember 2012
kasus gugatan perceraian yang diputus naik menjadi 567 (Data diolah dari data
statistik Perkara Perdata Perceraian tahun 2008-2012). Dari Tribun Bali
angka cerai tertinggi adalah Denpasar 1. 415 kasus (Tribun Bali, 6 Desember 2015
: 1).
Jumlah perkara perceraian di atas sudah termasuk jumlah perkara perceraian
perempuan Bali. Secara khusus Jumlah data perkara perceraian perempuan Bali
yang berhasil diketahui dari Buku Register Induk Perkara Perceraian yang berhasil
ditemukan berkisar 30 hingga 50 kasus perceraian perempuan Bali di Kota
Denpasar. Hasil penelitian menunjukkan informan yang bercerai antara tahun
2004-2015 lebih banyak perceraiannya melalui penyelesaian di pengadilan 0,27%
dibandingkan sebelum tahun 2004, ada 0,05%.
Munculnya gerakan global tahun 1963 bertujuan untuk meningkatkan
martabat perempuan yang masih termarginalisasi karena perbedaan gender.
Pemerintah Indonesia ikut berpartisipasi dalam beberapa kali konvensi yang
dilaksanakan di berbagai negara. Misalnya Konvensi Perempuan sedunia IV yang
diselenggarakan di Beijing (September 1995), antara lain, menghasilkan
kesepakatan bahwa gender digunakan sebagai alat analisis untuk melihat mengapa
terjadi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek
kehidupan (Hubeis, 2010 : 6)
Sudah hampir 20 tahun terakhir sejak lahirnya hasil kesepakatan Konvensi
Perempuan sedunia IV, masalah gender telah menjadi wacana di setiap
berbincangan, baik di media massa maupun media elektronik. Masalah gender
adalah masalah masyarakat dunia. Demikian halnya di Indonesia, tidak terkecuali
Bali. Hampir semua uraian tentang program mewujudkan kesetaraan dan keadilan
memperbincangkan masalah gender. Berbagai upaya pun dilakukan dari melakukan
penyuluhan, pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat guna menanamkan
pemahaman tentang masalah ketidakadilan gender, karena baik laki-laki terutama
perempuan, dapat menjadi korbannya.
Apa sesungguhnya masalah gender itu ? Hingga kini masalah gender masih
menimbulkan ketidakjelasan, kesalahpahaman dalam masyarakat karena
mengungkap mengenai masalah gender berarti mengungkap masalah perempuan,
dan mengungkap masalah perempuan sama dengan membongkar budaya dan
struktur. Hal ini dapat diartikan menggoncang struktur dan budaya patrilineal yang
sudah tertanam kuat dan oleh sebagian masyarakat pendukungnya dianggap bersifat
sangat pribadi karena sama halnya dengan menggugatprivilegeyang mereka miliki dan sedang dinikmati. Oleh karena itu, pemahaman atas konsep gender sebagai
ideologi dijadikan isu mendasar dalam rangka menjelaskan hubungan antara kaum
perempuan dan laki-laki, atau masalah hubungan kemanusiaan kita (Fakih, 1999 :
6)
Munculnya masalah gender sesungguhnya sudah melalui proses sejarah yang
sangat panjang. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan telah melahirkan
berbagai masalah gender, antara lain adalah ketidakadilan gender. Ketidakadilan
gender merupakan sistem, budaya dan struktur, sebab, baik laki-laki terutama
perempuan, menjadi korban dari budaya dan struktur tersebut. Faktor-faktor
ideologi, struktur, dan kultural, ketiganya saling berkait secara dialektika
mengukuhkan sebuah situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan
Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia mengeluarkan Inpres No. 9 Tahun
2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) di segala pembangunan beserta
pedoman pelaksanaannya yang menginstruksikan kepada semua pejabat, termasuk
gubernur, bupati, wali kota untuk melaksanakan PUG guna terselenggaranya
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengevaluasian atas
kebijakan dan program yang responsif gender (Hubeis, 2010 : 5). Gerakan feminis
untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender pun mendapat respons positif
dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pemerintah di Bali.
Manusia sejak lahir sudah dibuatkan identitas oleh orang tuanya. Melalui
proses belajar manusia membedakan jenis laki-laki dan perempuan tidak hanya
memandang aspek biologisnya tetapi juga dikaitkan dengan sifat dasarnya dan
kesesuaian pekerjaannya. Proses pembelajaran ini kemudian dijadikan landasan
berpikir dan falsafah hidup karena dianggap benar sehingga menjelma menjadi
ideologi (Murniati, 1993 : 4). Pola asuh ini telah menggiring anak laki-laki memiliki
sifat maskulin yang dominan, sebaliknya perempuan mempunyai sifat yang feminin
yang dominan (Tim Rifka Annisa, 2003 : 34 ; Susilastuti, 1993 : 31).
Perbedaan gender yang dikonstruksi secara sosial dan budaya itu
sesungguhnya tidak perlu dipermasalahkan atau digugat sepanjang tidak
menimbulkan ketidakadian gender. Namun, karena kenyataannya perbedaan dan
pembagian peran, sifat, ataupun status antara laki-laki dan perempuan melahirkan
berbagai manifestasi ketidakadilan gender, hal itulah yang menjadi masalah gender.
karena dapat melahirkan ketimpangan dalam masyarakat modern, bahkan
postmodern seperti saat ini.
Pengertian gender, baik dalam sebagai konsep maupun ideologi identik
dengan ideologi patrilineal yang hingga kini masih dianut masyarakat Bali. Ideologi
budaya patrilineal yang dikonstruksi secara sosial dan budaya dan tertanam sangat
lama itu tumbuh menjadi tradisi, keyakinan, peraturan adat, stereotip (pelabelan negatif) terhadap perempuan, dan mitos, kemudian disosialisasikan secara
turun-temurun, akhirnya dijadikan sebagai landasan hidup atau landasan berpikir, baik
laki-laki maupun perempuan, ideologi budaya tersebut dianggap sebagai hal yang
wajar, bahkan dianggap sebagai kondrat yang tidak dapat atau sangat sulit untuk
diubah.
Mengacu pada teori hegemoni Gramsci (Barker, 1999 : 467), ideologi
patrilineal tidak hanya dapat melahirkan kelas penguasa dan kelas subordinat,
namun juga memiliki kemampuan untuk mengikat dan memengaruhi kelas
subordinat. Agar kelas yang dikuasai tunduk terhadap kelas penguasa, maka kelas
subordinat tidak hanya menerima dan mengakui ideologi kekuasaan tersebut, tetapi
juga harus melakukan persetujuan atas subordinasi mereka.
Berbeda pada masa lalu, di kalangan masyarakat Bali kekerasan dalam rumah
tangga hampir tidak terdengar. Praktik kekerasan dalam rumah tangga zaman
kerajaan duhulu diyakini jarang yang terungkap. Menurut informasi yang diperoleh
dari A.A.Gde Putra Agung, hal itu disebabkan masih tebalnya rasa malu jika terjadi
cekcok dalam keluarga dan juga karena perkawinan bagi umat Hindu dilakukan
untuk dipraktikkan. Pada masa sekarang perceraian sudah tidak lagi menjadi hal
yang sulit meskipun harus ditempuh dengan proses pergulatan batin yang tidak
mudah pula.
Jika direnungkan kembali, bukankah ajaran Hindu banyak menanamkan
pemahaman, bagaimana menghargai perempuan dalam rumah tangga,
menyenangkan perempuan, sehingga menjadi sosok ibu yang membanggakan
keluarga, karena sesuai dengan ungkapan, kebahagian keluarga ada di telapak kaki
perempuan/ibu. Di dalam Weda Smrti (III.61) disebutkan, antara lain:
-Wanita harus dihormati dan disanjung oleh ayah mereka, kakak-kakak mereka, suami dan ipar yang menghendaki kesejahteraan mereka.
-Di mana wanita dihormati, di sana para Dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada karya yang berpahala.
-Di mana keluarga wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi keluarga di mana wanita tidak menderita ia akan selalu sejahtera.
-Pada keluarga di mana suami berbahagia dengan istrinya dan istri dengan suaminya, kebahagiaan pasti akan kekal (Pudja, 1983 : 73).
Perkawinan merupakan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang diakui oleh undang-undang, dan menyangkut mengenai hak dan
kewajiban tertentu yang mengikat kedua belah pihak yang bersatu menjadi satu
kesatuan dan dalam hubungannya dengan anak-anak yang terlahirkan dari akibat
perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Hindu merupakan perintah agama dan
juga kewajiban umat manusia untuk mendapatkan keturunan. Dengan adanya
perkawinan ini akan timbul suatu kehidupan keluarga lengkap dengan anak-anak,
yang dalam agama Hindu disebutkan sebagai jalan dalam melepaskan derita para
Perceraian bagi umat Hindu sedapat mungkin dihindari karena perceraian
bagi umat Hindu di Bali tabu dan pantang untuk dipraktikkan. Pengertian
perkawinan secara keseluruhan adalah ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga
(grehasta asrama) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
(Sudarsana, 2002 : 3).
Dengan demikian, keluarga adalah suatu jalinan ikatan pengabdian antara
suami-istri, dan anak. Oleh karena itu seharusnya hal tersebut disadari agar orang
tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama, yaitu tidak menyakiti dan
menyengsarakan diri sendiri ataupun orang lain sebagaimana yang dituangkan
dalam kitab Sarasamuscaya sloka 90 (Jaman, 2008 :11), sebagai berikut :
Niyacchayaccha samyaccha cendriyani manastatha, pratisedhyesvavadyesu durlabhesvahitesu ca.
Artinya :
Karena itu kehendaknya dikekang, diikat kuat-kuat pancaindra dan pikiran itu, jangan dibiarkan akan melakukan tindakan melanggar, melakukan sesuatu tercela, sesuatu yang sukar untuk dicapai, atau melakukan sesuatu yang pada akhirnya tidak menyenangkan.
Dalam zaman Weda, kedudukan perempuan sangat tinggi dan sangat
terhormat. Weda Smrti sebagai dasar ajaran agama Hindu mengajarkan suatu perkawinan harus didasari atas kesetiaan antarpasangan suami-istri, singkatnya“ini
harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”. Suami istri yang
terikat dalam ikatan perkawinan mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya
supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara
Ajaran agama Hindu telah mendidik ke pada kaum laki-laki untuk
menghargai atau menghormati perempuan. Apabila ajaran ini dapat dilakukan,
maka Weda menjamin dalam keluarganya akan menemukan kebahagiaan. Dewasa
ini terjadi pengingkaran terhadap janji suci, dimulai dari hal yang kecil,
kesalahpahaman, cekcok, meluas hingga menjadi tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh salah satu pasangan terhadap pasangan lainnya dalam rumah
tangganya.
Dalam ajaran agama Hindu tidak dikenal adanya diskriminasi. Tradisi
Hindu mengenal yang Maha Suci, mengandung, baik atribut feminin maupun
maskulin, karena tanpa memberi penghargaan yang layak pada kualitas feminin,
sebuah agama tidaklah lengkap dan akan menghasilkan konsekuensi negatif
(Takwin, 2001 :75). Agama Hindu juga melukiskan Dewa yang selalu
berdampingan dengan Dewi yang berkedudukan sebagai sakti-Nya yang
merupakan prabawa (wibawa). Kedua unsur laki-laki dan perempuan tersebut dalam agama Hindu dikenal dengan konsepsi Ardhanareswari, Ardha berarti setengah belahan yang sama (Bandem, 2000 : 19). Ini adalah contoh, bagaimana
ajaran agama Hindu sangat menjunjung tinggi akan arti kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan.
Dalam ajaran Hindu juga tidak ada alasan serta argumentasi teologis yang
menyatakan bahwa kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Itu sebabnya
dalam berbagaislokaHindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan perempuan di antara laki-laki (Sukarma, 2007 : 65). Dalam ajaran Hindu tidak
dan perempuan menurut pandangan Hindu memiliki kesetaraan. Kedua makhluk
Tuhan yang berbeda jenis memang tidak sama. Namun, makhluk itu diciptakan
untuk saling melengkapi, bukan saling menyakiti satu dengan yang lainnya (Wiana,
2011 : 1).
Di sisi lain, agama Hindu sangat melindungi dan menghormati kedudukan
perempuan dalam keluarga/rumah tangga atau dengan kata lain, sangat tidak
dibenarkan oleh agama Hindu untuk melakukan segala jenis kekerasan terhadap
perempuan. Tiap zaman menurut Hindu, perempuan dalam kehidupannya
mendapatkan kehormatan sesuai sesuai dengan posisi dan perannya
masing-masing, misalnya pada zaman Weda perempuan disejajarkan dengan Dewa-Dewi,
zaman Upanisad sebagai yang terpelajar, zaman Ramayana dan Mahabharata
sebagai pelindung keluarga, zaman Smrti sebagai ibu pemelihara keluarga,
semuanya mempunyai keistimewaan.
Demikian halnya dengan pemerintah Indonesia yang sangat
memperhatikan dan sangat peduli terhadap kelangsungan masyarakat sosialnya,
khususnya dalam masalah perkawinan secara tegas membuat undang-undang
perkawinan sebagai bentuk perhatian dan dapat memberikan rasa aman terhadap
setiap pasangan yang ingin membangun rumah tangga melalui suatu ikatan
perkawinan. Perkawinan menurut pandangan Hindu dapat dikatakan selaras
dengan tujuan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah:
“ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
Artinya :
Perkawinan itu adalah ikatan lahir dan batin, seharusnya dilakukan atas
dasar saling menyayangi dan mencintai, mendapat restu orang tua kedua belah
pihak yang melangsungkan perkawinan, dilakukan secara tulus, tanpa unsur
paksaan. Perkawinan berdasarkan Hindu dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 atau UU No.1 tahun 1974 tersebut seharusnya dapat dijadikan benteng untuk
mempererat mahligai perkawinan umatnya agar tidak mudah retak, namun
sebaliknya, belakangan ini semakin marak terdengar dan menjadi wacana publik
isu tentang adanya kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan/istri yang
berujung perceraian.
Berbeda dengan perempuan yang hidup dalam masyarakat dengan sistem
parental, seperti di daerah Jawa dan Sunda, atau masyarakat dengan sistem
matrilineal seperti masyarakat Minangkabau, ketika terjadi perceraian, perempuan
tidak akan menghadapi banyak keruwetan adat seperti masyarakat Bali dengan
budaya patrilinealnya. Jadi, kalau perempuan tidak bahagia dalam perkawinannya,
dia dapat bercerai tanpa beban berat, tanpa menghadapi banyak masalah budaya
dan struktur karena perbedaan gender. Kenyataan ini menimbulkan keyakinan
bahwa terutama perempuan yang hidup dalam masyarakat yang menganut budaya
patrilineal seperti di Bali, sudah tentu akan menghadapi berbagai manifestasi
ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender
berkaitan dengan perceraiannya.
Masalah ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender
Oleh karena itu masalah ini sangat perlu diungkap secara kritis dan mendalam.
Untuk mengungkap dan mengantisipasi serta menanamkan pemahaman terhadap
masalah ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender
bukanlah pekerjaan mudah apalagi dengan memasukkan konsep kesetaraan dan
keadilan gender. Akan tetapi merupakan tanggung jawab setiap komponen dan
masyarakat Bali secara keseluruhan, baik laki-laki maupun perempuan, untuk
secara terus menerus melakukan berbagai upaya dengan cara yang elegan, bukan
melalui cara yang konfrontatif. Dengan latar belakang masalah tersebut, peneliti
ingin mengungkap dan mengkajinya secara mendalam dan kritis dengan rumusan
permasalahan sebagai berikut:
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut muncul beberapa masalah yang akan
dijawab dalam penelitian ini yang dijabarkan dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut :
1. Mengapa terjadi Perceraian Perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari
perspektif gender ?
2. Bagaimana penyelesaian perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat
dari perspektif gender ?
3. Apa implikasi dan makna perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat
dari perspektif gender ?
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka penelitian ini pada dasarnya
mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan
mengantisipasi serta menanamkan pemahaman tentang ketidakadilan budaya dan
struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender khususnya yang dihadapi oleh
perempuan Bali berkaitan dengan perceraiannya di Kota Denpasar. Masalah ini
sangat perlu diungkap dan diantisipasi karena selama ini masalah gender dalam
perceraian belum banyak mendapatkan perhatian untuk dilakukan penelitian secara
mendalam.
1.3.2Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memahami dan menganalisis penyebab perceraian perempuan Bali di
Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender;
2. Memahami dan menganalisis penyelesaian perceraian perempuan Bali di
Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender;
3. Menginterpretasi dan menganalisis implikasi dan makna perceraian
perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender.
Penelitian ini mempunyai dua manfaat penting yaitu manfaat teoritis dan
manfaat praktis.
1.4.1Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi bidang ilmu sosial dan
budaya khususnya bidang ilmu sejarah untuk lebih memfokuskan
kajian ilmiahnya terhadap sejarah kontemporer tentang kelompok
masyarakat yang masih termarginalisasi.
2. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Program Studi Kajian
Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana, yakni menambah
khazanah ilmu pengetahuan yang kritis tentang isu gender karena
sesuai dengan salah satu kajian utama Program Pascasarjana Kajian
Budaya Universitas Udayana yakni fokus terhadap masalah-masalah
kelompok masyarakat yang masih termarginalisasi termasuk isu
tentang gender hubungannya dengan kekuasaan ideologi budaya.
1.4.2Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
kepada pihak terkait, seperti:
(1) Pihak yang proaktif, masyarakat, pemerintah, Majelis Utama Desa
lembaga bantuan hukum, pusat pelayanan terpadu dan pemberdayaan
perempuan khususnya di Kota Denpasar dapat memanfaatkan hasil
penelitian ini sebagai salah satu acuan dalam mengantisipasi,
menyosialisasikan, memberikan pelayanan dan melakukan pemberdayaan,
terutama yang berkaitan dengan masalah ketidakadilan budaya dan struktur
karena perbedaan gender khususnya berkaitan dengan perceraian.
(2) Masyarakat Bali, baik laki-laki maupun perempuan, dapat memanfaatkan
hasil penelitian ini sebagai pedoman dalam menanamkan pemahaman
tentang masalah ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan oleh
16 2.1Kajian Pustaka
Penelitian tentang masalah ketidakadilan budaya dan struktur yang
disebabkan oleh perbedaan gender, yang dihadapi terutama oleh perempuan Bali
berkaitan dengan perceraiannya di Kota Denpasar, didahului dengan melakukan
penelusuran terhadap hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini,
baik berupa hasil penelitian, jurnal, buku, majalah, maupun bahan referensi lainnya.
Penelusuran berbagai kajian yang sudah ada dimaksudkan untuk menunjukkan
perbedaan yang substansial guna menghindari pengulangan terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan penelitian ini sehingga orisinalitas dari penelitian ini dapat
dibuktikan.
Pertama, hasil penelitian Mekaa D. Gobay, dalam sebuah buku yang
berjudul Perempuan Papua Barat Dalam Kekerasan Militer, Budaya, Ekonomi, dan Kesehatan(2007) dalam salah satu bagiannya, mengungkap tentang kekerasan budaya yang dialami perempuan Papua Barat. Seperti diakui oleh masyarakat dunia
bahwa setiap budaya selalu mempunyai aturan sendiri dalam memandang nilai
seseorang atau kelompok dalam komunitas tertentu. Termasuk dalam memandang
nilai terhadap jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Perbedaan dan pembagian
peran sesuai dengan sistem dan stuktur yang berlaku, nilai laki-laki dipandang lebih
tersebut tidak menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender,
namun kenyataannya, sistem dan struktur yang diciptakan secara sosial budaya
tersebut telah menimbulkan perbedaan dan pembagian secara gender yang tidak
adil antara laki-laki dan perempuan, menyebabkan kedudukan dan posisi
perempuan menjadi termarginalisasi dan tersubordinasi (Fakih, 1999 : 72)
Perempuan sangat dihormati dan disegani karena perempuan pada saat itu
memiliki peranan yang penting. Perempuan berperan menentukan apakah sukunya
bisa melakukan perang atau tidak, perempuan Papua Barat juga berperan sebagai
pemimpin perang, menjadi pemimpin suku, perempuan juga dimaknai sebagai air
susu yang memberi kekuatan hidup (Gobay, 2007 : 11).
Menurut Mekaa (2007:12), perubahan menyeluruh, baik dalam bidang
sosial ekonomi, budaya maupun politik, menyebabkan terjadinya pergeseran nilai.
Nilai perempuan yang dahulu dihormati dan disegani berubah ke bentuk
diskriminasi terhadap perempuan. Nilai laki-laki kemudian dipandang lebih tinggi
daripada posisi dan kedudukan perempuan. Papua Barat juga menganut sistem
patrilineal yang dikekalkan dan disosialisasikan secara turun-temurun. Nilai
perempuan dipandang secara stereotip, bahwa perempuan adalah makhluk yang
lemah, karena itu perlu dilindungi, perempuan dituntut tahu adat dan sopan santun,
dan membawa rezeki bagi keluarga laki-laki, karena itu perempuan harus tunduk
pada laki-laki, terutama pada suami. Aturan ini telah melahirkan praktik poligami
semakin marak terjadi, beban kerja perempuan dan kekerasan.
Berdasarkan pengamatan Mekaa, Perempuan Papua Barat tidak hanya
kesehatan. Dari hasil penelitian Budie Santi, yang ditulis dalam sebuah Jurnal
Perempuan berjudul Perempuan Papua : Derita Tak Kunjung Usai (2004), menunjukkan bahwa angka kematian perempuan Papua yang cukup tinggi karena
beban kerja yang berat, kekurangan gizi yang sangat mengkhawatirkan terutama
bagi kesehatan perempuan yang sedang hamil dan melahirkan. Kondisi geografis
yang rentan terhadap penyakit malaria yang sering juga menyerang perempuan,
Ironisnya, HIV/AIDS lebih banyak terjadi pada perempuan (Santi, 2002 : 67-69).
Hasil penelitian Budie Santi (2002:68) menunjukkan pula adanya kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga, biasanya kekerasan dipicu karena suami
mabok. Tampaknya posisi perempuan baik dalam mengambil keputusan adat,
maupun keputusan keluarga masih sangat termarginalisasi karena itu kekerasan
terhadap istri pun sering terjadi dalam rumah tangga. Ketika perempuan sudah
dinikahi laki-laki, perempuan itu menjadi hak penuh laki-laki. Selain itu perempuan
kadang-kadang harus menerima perlakuan kasar dan kekerasan militer
Kondisi yang dialami perempuan Papua sudah pula membangkitkan
keprihatinan berbagai pihak, misalnya oleh sejumlah aktivis perempuan. Untuk
mengatasi masalah ini, Budi Santi berpendapat, tidaklah dapat diselesaikan oleh
para aktivis perempuan saja, namun juga harus dilakukan oleh berbagai pihak
melalui upaya yang tepat, secara bersinergi, semestinya melibatkan perempuan
yang mengalami kekerasan untuk mendapatkan perhatian dan penanganan, juga
melibatkan pihak laki-laki/suami, aparat setempat, seperti pihak pemangku adat.
Hasil penelitian Mekaa D. Gobay dan Budie Santi terkait dengan penelitian
yang dilakukan ini memberikan inspirasi yang sangat berguna, terutama tentang
praktik-praktik ketidakadilan budaya dan struktur terhadap perempuan Papua
Barat, khususnya, dan perempuan Papua pada umumnya, yang hingga abad ke-21
ini masih sangat termarginalisasi dan tersubordinasi dalam hampir berbagai aspek
kehidupannya. Masyarakat Papua selain terjerat dalam tradisi adat Papua yang
masih sangat kuat mencengkeramnya, perempuan Papua tidak luput pula dari
kekejaman dan kekerasan militer. Hasil penelitian tersebut menginspirasikan
bahwa upaya untuk mengentaskan persoalan perempuan yang hidup dalam tradisi
adat yang tidak adil gender, sudah sering pula dilakukan oleh gerakan feminis dan
pihak lainnya yang sangat peduli terhadap masalah perempuan di Papua, atau
mungkin masyarakat lain. Mengingat sulitnya untuk mengubah tradisi adat yang
sudah mengakar tersebut, maka cara dan pendekatan yang tepat sangat perlu
mendapat perhatian, dengan melibatkan berbagai pihak terkait.
Dibandingkan dengan penelitan yang dilakukan ini, ketidakadilan budaya
dan struktur karena perbedaan gender yang dihadapi perempuan Bali khususnya di
Kota Denpasar umumnya tidak separah perempuan di Papua yang sudah lebih
banyak mengalami perubahan pola berpikir. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh
perkembangan modernisasi, teknologi, komunikasi, dan upaya untuk menanamkan
pemahaman mengenai ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender
terhadap masyarakat Bali di Kota Denpasar cukup berhasil, walaupun belum
optimal, karena itu masih diperlukan berbagai upaya lain untuk mewujudkannya,
terobsesi oleh tradisi dan keyakinan yang tidak adil gender yang dikekalkan ke
dalam budaya patrilineal..
Hasil penelitian lain, dari Maria Ulfah Anshor, ditulis dalam Jurnal
Perempuan (2001 edisi ke- 20), dengan judul Perempuan dalam Islam. Bertolak dari hasil pengamatannya di lapangan bahwa, baik marginalisasi, subordinasi
terhadap perempuan, baik secara struktural maupun fungsional, telah pula menjadi
kekhawatiran berbagai pihak. Perjuangan dan terobosan baru untuk
memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dalam Islam, sudah pula
dilakukan, Namun hingga kini, pada abad ke-21 ini, diskriminasi terhadap
perempuan masih tetap terjadi.
Menurut sejarahnya, kebudayaan masyarakat di Timur Tengah pernah
menghormati “Dewi Ibu”, sebagai simbup perempuan, tetapi seiring dengan
perkembangan masyarakat perkotaan yang pesat, runtuhlah kepercayaan itu,
bangkitlah para Dewa (simbul laki-laki). Kondisi ini turut memperkuat terciptanya
marginalisasi dan subordinasi terhadap perempuan. Proses ini berlangsung secara
turun-temurun dan dikekalkan hingga melahirkan hukum/aturan yang dilegalkan
untuk memarjinalkan perempuan (Anshor, 2001 : 25).
Menurut pandangan Maria Ulfah Anshor, hukum dan aturan yang
diberlakukan saat itu sangatlah tidak manusiawi. Tentang kekejaman yang
dilimpahkan terhadap perempuan, Maria merangkumnya sebagai berikut :
(1) Kaum laki-laki bisa dengan mudah menceraikan istri mereka, khususnya bila mereka tidak bisa melahirkan anak;
(3) Seorang istri yang menentang suaminya boleh dirontokkan giginya dengan batu bata;
(4) Kepala keluarga berhak mengatur perkawinan anak-anaknya dan mempersembahkan kepada para dewa. Ia juga berhak menggadaikan atau menjual istri atau anaknya untuk membayar utang; dan
(5) Praktik pembunuhan terhadap bayi perempuan berlaku juga di kalangan orang-orang Arab Jahiliah, karena perempuan dianggap cacat dan bisa dikorbankan.”
Menurut pengamatan Maria Ulfah Anshor, Islam melarang tradisi tidak
beradab apa pun alasannya karena bertentangan dengan prinsip-prinsip
kemanusiaan. Islam melarang bentuk pernikahan yang dilakukan masyarakat
pra-Islam. Islam hanya memperbolehkan bentuk pernikahan yang memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu.
Jo Priastana, mengungkap melalui tulisannya dalam Jurnal Perempuan
(2001 edisi ke-20) dengan judulGerakan Perempuan (Bhiksumi) Dalam Sejarah Agama Buddha, bahwa terdapat praktik ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender Melalui tulisan Jo Priastana mengajak perempuan Buddhis khususnya untuk
mengikis kekuatan naskah-naskah suci sebagai sumber otoritas, dan untuk
menemukan kekuatan hakikat Dharma ke dalam praktik di masyarakat sesuai
dengan tujuan perjuangan kesetaraan dan keadilan gender (Priastana, 2001 : 67).
Hasil tulisan, baik dari Maria Ulfah Anshor maupun pandangan Jo
Priastana, memberikan inspirasi yang sangat berguna, sebagai perbandingan
dengan kajian yang dilakukan ini terutama terkait dengan budaya dan struktur yang
masih mengikat dan mengatur terutama terhadap kaum hawa. Walaupun kajiannya
pokok masalahnya, berbeda pendekatan, metode dan teori yang digunakan,
pengetahuan ini tetap berguna dalam memahami konsep budaya dan struktur
hubungannya dengan ketidakadilan gender.
Tulisan Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan (2001:90), dalam buku yang
berjudulPerempuan dan Sexualitas dalam Tradisi Jawa, mengungkap, antara lain, mengenai pandangan masyarakat Jawa pada abad ke-19, terutama pandangan para
raja dan pujangga keraton Jawa yang dituangkan dalam bentuk karya sastra.
Menurut cara pandang budaya Jawa, perempuan secara kodrati adalah makhluk
yang lemah. Para istri dalam perkawinan juga tergantung pula pada suami.
Ungkapan Jawa mengatakan, swarga nunut, neraka katut, yang artinya, swarga adalah lambang kehidupan dunia dan akhirat yang menunjukkan kebahagiaan,
ketenangan, ketenteraman, dan kesejahteraan. Dalam kalangan masyarakat Bali
yang masih kuat memegang teguh budaya patrilineal, maka sering kali mempunyai
pandangan bahwa perempuan/istri dalam rumah tangga sangat pantang melakukan
perlawanan terhadap suami, khawatir menjadi tulah atau kualat. Karena memang ada tradisi yang melarang laki-laki/berpartisipasi dengan peran gender perempuan.
Diperbolehkannya berpoligami digunakan sebagai acuan untuk membuat
konsep tentang sifat perempuan ideal, di antaranya perempuan bersedia dimadu
seperti yang digambarkan oleh Sri dan Ridin (2001). untuk mengantisipasi agar
tetap harmonis dan menghindari konflik di antara perempuan yang dimadu, maka
disusunlah konsep mengenai sifat, kedudukan, dan peran istri yang ideal untuk
Pada intinya pandangan masyarakat Jawa seperti yang digambarkan oleh
pujangga dan raja di Jawa pada abad ke-18 dan ke- 19 tidak jauh berbeda dengan
pandangan masyarakat Bali umumnya. Seorang raja dapat saja memperistri
perempuan lebih dari satu. Bahkan, dari keterangan salah seorang tokoh muda Puri
Karangasem, Raja Karangasem dahulu memiliki sampai 60 orang istri.
(Mertamupu, 2011).
Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan ini, antara lain: berbeda
fokus dan lokasi penelitiannya, konsep dan teori yang gunakan, penelitian ini
Penelitian ini juga mengkaji masalah budaya dan struktur patrilineal yang masih
kuat dianut masyarakat Bali hingga kini yang dihadapi terutama oleh perempuan
Bali terkait percerainnya di Kota Denpasar. Fokus penelitian Sukri dan Ridin
Sofwan mengenai budaya Jawa yang dibuat oleh para pujangga pada masa kerajaan.
Masyarakat Jawa juga mempunyai pandangan, bahwa pemahaman terhadap
agama khususnya agama Islam agama dapat terjadi antara lain karena adanya
kekeliruan dalam menginterpretasikan (menafsirkan) teks suci, faktor lain karena
pikiran-pikiran agama dipengaruhi oleh latar belakang budaya patriarki yang
kemudian dianggap sebagai agama (Anshor, 2001 : 34).
Hasil penelitian yang lain dalam Jurnal Perempuan (2001 edisi ke-20)
adalah tulisan dari M Beny Mite dengan judulMenyiasati Teks Suci : Pandangan Kristiani tentang Ketidakadilan terhadap Perempuan. M. Beny Mite melihat bahwa dalam agama pun ada politik menomorduakan perempuan. Menurutnya,
salah dalam menafsirkan agamanya, atau salah menafsirkan dan mempraktikkan
teks suci.
Mite berpendapat bahwa agar teks suci dapat menjadi inspirasi bagi
perjuangan kesetaraan dan keadilan gender, maka perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut : (1) usaha gerakan feminis harus dimulai dari dalam lingkungan
agama, (2) teks suci yang mengkekalkan dominasi patriarkat harus dikoreksi secara
kritis untuk menghindari penyalahgunaan tafsir teks suci yang salah dan merugikan
pihak lain, (3) teks suci yang mengandung inspirasi pembebasan kaum perempuan
perlu mendapat perhatian dan disosialisasikan.
Dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan ini, fokus penelitian M
Beni, bersumber dari tafsir agama Kristen, khususnya adanya tafsir agama yang
dikekalkan ke dalam budaya dan struktur yang tidak adil, yang merugikan
kedudukan dan posisi perempuan. Fokus penelitian ini adalah pada budaya dan
struktur patrilineal yang dihadapi terutama oleh perempuan Bali terkait dengan
percerainnya di Kota Denpasar. Hasil penelitian M. Beny Mite memberi peringatan
dalam mengantisipasi adanya tafsir agama Hindu dalam budaya dan struktur
patrilineal yang melahirkan ketidakadilan gender.
2.2Konsep
Konsep berarti rancangan, ide, atau pengertian yang diabstrakkan dari
diselenggarakan untuk mencapai tujuan, yang penuh dengan ide yang bersifat
abstrak. Setiap hasil penelitian ilmiah yang akan dituangkan menjadi suatu karya
ilmiah sudah tentu sangat diperlukan judul dari karya tersebut. Judul dalam suatu
karya ilmiah hendaklah dapat mencerminkan isi dari permasalahan yang akan
dikaji, atau sebaliknya, isi tercermin dalam judul karya tersebut. Oleh karena itu,
setiap unsur pada judul sebaiknya dikonsepsikan secara jelas dalam pemaparannya.
Hal ini dilakukan karena konsep-konsep itu akan menopang teori-teori kritis yang
akan digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah permasalahan yang akan
dikaji. Dalam penelitian ini diungkap beberapa konsep, seperti, konsep perceraian,
perempuan Bali, gender, dan perspektif gender.
2.2.1Perceraian
Perceraian atau divorce dalam bahasa Inggris artinya perceraian atau pemisahan. Dalam masyarakat Bali perceraian disebut nyapian atau palas. Di samping putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak, ada kalanya
perkawinan putus karenapalas merabian (perceraian). Perceraian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah : (1) putusnya hubungan perkawinan antara suami istri,
bukan karena kematian salah satu pihak, tetapi karena perpisahan antara suami istri
selagi kedua-duanya masih hidup, dan (2) perceraian yang sah secara hukum di
pengadilan (sesuai dengan UU No.1 Tahun 1974) dan sah secara adat Bali.
Dipilihnya kata perempuan, bukan kata wanita adalah berdasarkan pertimbangan, secara etimologis, wanita berhubungan dengan kata betina. Atau karena adanyakeratabasadi dalam bahasa Jawa, wanita akronimwani ditataberani diatur, berarti menjadi objek. Untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
tujuan mewujudkan kesetaraan gender, kurang tepat digunakan istilah wanita.
Sementara itu kataperempuan, sebaliknya, bermakna lebih ‘positif’ karena berasal dari bentuk dasar empu plus imbuhan per/an. Jadi, kata perempuan mengungkapkan pengertian yang positif dari bentuk dasarnya :empu gelar
kehormatan yang berarti tuan, orang yang ahli ( terutama orang yang ahli membuat
keris), atau jika dijadikan verba mengempu, berarti menghormati, memuliakan, membimbing (Budiman, 1992 : 72-72). Penggunaan kata wanita dikhawatirkan
dapat menggiring kaum perempuan untuk selalu terikat dan tunduk pada tradisi dan
keyakinan yang tidak adil gender. Oleh karena itu, kataperempuandigunakan agar kaum perempuan tidak mudah terikat dan terobsesi oleh ketidakadilan budaya dan
struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender.
Perempuan Bali Hindu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah (1)
perempuan etnis Bali, beragama Hindu, atau (2) perempuan yang dengan kesadaran
dan kemauannya sendiri telah melakukan serangkaian upacara Sudhi Wadhani, menganut agama Hindu kemudian kawin dengan laki-laki etnis Bali, beragama
Hindu, melakukan upacara perkawinan di rumah pihak mempelai laki-laki, sesuai
dengan upacara adat Bali dan agama Hindu, dan kemudian bertanggungjawab
niskala (alam gaib). Dengan demikian perempuan Hindu tersebut dalam bentuk perkawinan biasa (bentuk perkawinan yang paling umum dan biasa) dilakukan warga masyarakat Bali Hindu, mempelai perempuan akan mengikuti keluarga
pihak laki-laki. Demikian halnya dengan status anak/anak-anak yang terlahirkan
dalam perkawinan secara otomatis juga mengikuti garis keturunan ayahnya yang
disebutkapurusa.
2.2.3Gender
Katagenderdalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Gender sama artinya dengan jenis kelamin. Kalau dilihat dalam kamus, tidak secara jelas
dibedakan pengertian seks (jenis kelamin) dan gender. Sementara itu, belum ada
uraian yang mampu menjelaskan secara singkat dan jelas mengenai konsep gender
dan mengapa konsep tersebut penting digunakan untuk memahami sistem
ketidakadilan gender. Dengan demikian, konsep gender merupakan kata dan konsep
asing sehingga usaha menguraikan konsep gender dalam konteks Indonesia
sangatlah rumit (Fakih, 1999 : 6-7).
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka memahami masalah
gender adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender.
Pemahaman tentang perbedaan kedua konsep tersebut perlu dilakukan karena
beberapa alasan, yaitu (1) ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan
gender sering menimpa kaum perempuan, dan (2) pemahaman atas konsep itu perlu
dilakukan mengingat dari konsep ini telah lahir analisis gender. Mengacu pada
“Dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim, dan saluran untuk melahirkan, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada jenis manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat itu tidak bisa dipertukarkan antara alat yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan secara permanen tidak dapat berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat”.
Berbeda dengan konsep jenis kelamin (seks), konsep gender, adalah:
“Suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, misalnya perempuan dikenal : lemah, lembut atau keibuan, sementara laki-laki dianggap : kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dari sifat itu dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang lemah, lembut, keibuan, sementara ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dri tempat ke tempat lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender”(Fakih, 1999 : 9).
Peran secara gender dibedakan dengan peran yang didasarkan pada kodrat.
Peran gender yang ditetapkan secara budaya terbuka untuk dapat dipertukarkan
antara laki-laki dan perempuan, sementara peran kodrati, seperti mengalami haid,
melahirkan, dan menyusui pada perempuan atau menghasilkan sperma bagi
laki-laki adalah peran yang tidak bisa dipertukarkan secara permanen karena sudah
demikian sejak diciptakannya. Contoh peran gender yang dikonstruksikan secara
sosial budaya adalah memasak dan mengasuh anak yang oleh budaya sudah
ditetapkan sebagai pekerjaan perempuan, pekerjaan bertukang ditetapkan sebagai
pekerjaan laki-laki (Susanti, 2000 : 3), ini dapat dipertukarkan
Berbeda dengan pengertian jenis kelamin (seks), gender adalah konstruksi
dan tatanan sosial mengenai berbagai perbedaan antara jenis kelamin yang mengacu
ditentukan secara sosial ataupun budaya. Dari istilah itu muncullah paham
mengenai pembagian peran (nilai, norma, stereotip) antara laki-laki dan perempuan
secara sosial serta budaya. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan
disebabkan oleh perbedaan biologis, melainkan lebih disebabkan oleh faktor
budaya. Budaya akan berinteraksi dengan faktor biologis dan menjadi
terinstitusionalisasi. Institusi ini berfungsi sebagai wadah sosialisasi ditempat
kebiasaan dan norma yang berlaku akan diwariskan secara turun temurun
(Megawangi,1999 : 102).
Pembagian dan perbedaan secara gender sesungguhnya tidaklah menjadi
masalah penting sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang
menjadi persoalan , ternyata perbedaan gender yang dikonstruksi secara sosial dan
budaya itu telah melahirkan berbagai manifestasi ketidakadilan gender, baik bagi
laki-laki terutama bagi perempuan. Untuk memahami bagaimana perbedeaan
gender melahirkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi
ketidkadilan gender, yakni marginalisasi, subordinasi, stereotip (pelabelan negatif,
kekerasan, beban kerja berdasarkan peran gender serta sosialisasi ideologi gender
(Fakih, 1996 : 13-15).
Pembagian dan perbedaan gender secara peran, sifat, status dan kepantasan
antara laki-laki dan perempuan oleh masyarakat Bali dikekalkan ke dalam budaya
dan struktur. Perbedaan gender yang dikekalkan dalam budaya dan struktur telah
melahirkan berbagai manifestasi ketidakadilan gender yang mayoritas menjadi
korbannya adalah perempuan. Ideologi patrilineal yang dikonstruksi secara sosial
sehingga oleh masyarakat, laki-laki ataupun perempuan dapat menerima ideologi
itu bukan lagi sebagai suatu yang terberi atau pembagian yang keliru melainkan
suatu pembagian yang wajar bahkan hingga kini ada juga yang menganggap sebagai
suatu takdir atau nasib yang seakan-akan tidak dapat diubah. Dengan demikian
budaya patrilineal telah berhasil menanamkan tradisi berpikir logosentrisme yang
bersifat universal dan mutlak.
2.2.4Perspektif Gender
Perspektif gender adalah suatu kajian dari sudut pandang gender artinya
mengkaji suatu dalam hubungan laki-laki dan perempuan (R.Wijaya, 1996 : 16).
Adapun fokus dari penelitian ini adalah perceraian perempuan Bali dikaji dari
perspektif gender di Kota Denpasar, karena yang mayoritas menjadi korban dari
ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender adalah perempuan,
maka perempuan yang menjadi fokus dalam penelitian ini tanpa mengabaikan
hubungannya dengan laki-laki/suami secara gender. Kajian berperspektif gender
juga erat kaitannya dengan masalah budaya dan struktur yang tidak adil gender.
Mengacu pada pendapat Carol R. dan Melvin Ember (1996 : 27) bahwa
dalam tiap-tiap masyarakat dikembangkan serentetan pola-pola budaya ideal.
Pola-pola budaya yang ideal itu memuat yang oleh sebagian besar masyarakat diakui
sebagai kewajiban yang harus dilakukannya dalam keadaan-keadaan tertentu.
Pola-pola ideal seperti itu sering disebut norma-norma. Kenyataannya, masyarakat
patrilineal karena dapat melahirkan ketimpangan atau ketidakadilan gender dan
selama ini masih cukup kuat mengikat sebagian masyarakat pendukungnya.
Struktur adalah pola-pola yang nyata hubungan atau interaksi antar berbagai
komponen masyarakat (2005 : 156). Dalam penelitian ini budaya yang dapat dilihat
sebagai struktur tungggal yang menaunginya. Komponen di bawahnya adalah suatu
rangkaian struktur-struktur yang lebih mengkhusus yang saling berkaitan untuk
membentuk budaya, ibarat pilar-pilar sebuah bangunan atau istilah Durkheim,
seperti organ-organ dari organisme yang hidup. Secara struktural, budaya juga
memiliki kecenderungan untuk melahirkan struktur yang disfungsinal karena dapat
melahirkan ketimpangan gender. Dalam penelitian ini stratifikasi sosial masyarakat
Bali berdasarkan kasta dapat dilihat juga sebagai struktur yang berkitan erat dengan
terbentuknya budaya patrilineal.
Adanya keberagaman pada manusia, baik secara biologis, aspirasi,
kebutuhan, kemampuan, maupun kesukaan, telah memberikan inspirasi pada
Tawney (Megawangi, 1996 : 52), yang membuat konsep kesetaraan yang disebut
“person-regarding equality” Atau konsep kesetaraan yang mengakui faktor spesifik
perseorangan. Kesetaraan bukan dengan memberi perlakuan sama kepada setiap
manusia yang mempunyai kebutuhan berbeda, tetapi memberikan perhatian dan
perlakuan yang sama kepada setiap manusia disesuaikan dengan kebutuhan dan
konteks masing-masing individu. Dari hasil penelitian ini menunjukkkan bahwa
kesetaraan yang ingin diwujudkan belum optimal dapat dicapai, khususnya
patrilineal menyebabkan perempuan tidak mendapatkan perlakuan yang setara dan
adil gender.
2.3 Landasan Teori 2.3.1Teori Hegemoni
Teori Hegemoni Gramsci merupakan salah satu teori politik yang paling
penting abad XX. Teori ini memandang pentingnya ide karena tidak mencukupinya
kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Menurut Gramsci, agar yang
dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai
dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga
harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci
dengan “hegemoni”( Sugiono, 1999 : 31 ). Hegemoni dapat direbut kembali melalui
gerakan“kontra hegemoni”.
Teori Gramsci melihat bahwa ideologi, tidak hanya dapat melahirkan kelas
dominan dan kelas subordinat, tetapi juga dapat mengatur dan mengikat kontrol
sosial politik. Agar kelas subordinat mematuhi dan tunduk pada ideologi kekuasaan
tersebut, kelas subordinat harus melakukan persetujuan atas subordinasi mereka.
Kemudian, kajian budaya mengadopsi pandangan yang berdasarkan ideologi
tersebut. Kajian Budaya melihat bahwa ideologi berperan untuk mengatur dan
mengikat kontrol sosial budaya. Konsep hegemoni Gramsci semula digunakan
dalam kaitannya dengan kelas sosial politik, kemudian cakupannya telah dilebarkan
sehingga ia mencakup pula relasi-relasi jenis kelamin, gender, ras, dan sebagainya
Ideologi adalah sekumpulan ide, cita-cita, nilai atau kepercayaan. Ideologi
kadang-kadang dapat digunakan untuk mengendalikan seseorang; ide-ide yang
diunggulkan oleh kelas sosial, gender atau ras tertentu; nilai-nilai yang
melanggengkan struktur kekuasaan dominan; sebagai perwujudan konstruksi
budaya (Cavallaro, 2001 : 136-137).
Ada beberapa hal penting dari teori hegemoni Gramsci terkait dengan
penelitian yang dilakukan tentang perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar
dilihat dari perspektif gender, antara lain :
1) Ideologi budaya patrilineal seperti halnya ideologi kekuasaan budaya yang
dikemukakan oleh Gramsci dapat melahirkan kelas-kelas dominan (laki-laki) dan
kelas subordinat (perempuan).
2) Ideologi budaya yang dikemukakan oleh Gramsci juga identik dengan budaya
patrilineal yang selama ini dianut masyarakat Bali juga dapat mengikat dan
memengaruhi masyarakat pendukungnya, baik laki-laki maupun perempuan.
3) Agar kelas-kelas yang diciptakan oleh ideologi budaya tersebut tidak hanya
diterima atau diakui, tetapi juga harus tunduk terhadap ideologi tersebut, baik kelas
dominan (laki-laki), terutama kelas subordinat (perempuan), harus melakukan
persetujuan atas subordinasi mereka.
Teori hegemoni dari Antonio Gramsci dalam penelitian ini digunakan untuk
mengkaji ketiga masalah terkait dengan penyebab, penyelesaian, dan implikasi
perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender. Ideologi
budaya patrilineal, yang tertanam dengan kuat memiliki kemampuan untuk
mengikat masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Sepanjang ideologi
budaya tidak menimbulkan ketidakadia gender, tidak masalah. Persoalannya
adalah ideologi budaya tersebut telah melahirkan berbagai manifestasi
ketidakadilan gender, yang mayoritas korbannya adalah perempuan. Ideologi
budaya tersebut kemudian berkembang, dikekalkan ke dalam tradisi, keyakinan,
peraturan adat, bahkan mitos.
2.3.2.Teori Dekonstruksi
Dalam sejarah dekonstruksi kontemporer pemikir yang paling penting adalah
Jacques Derrida. Berkaitan dengan dekonstruksinya, Derrida memiliki beberapa
dasar pemikiran, di antaranya: (1) pandangannya tentang bahasa, (2) argumennya
melawan pemikiran Jean Jacques Rousseau, (3) memahami teks dan metafora
dalam konteks pertentangan politik dan ideologi, hubungan antara dekonstruksi dan
marksisme (Sarup, 2003 :51-52). Dari sejumlah dasar pemikiran Derrida, tradisi
berpikir logosentrisme adalah yang paling relevan digunakan untuk mengkaji
masalah ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender.
Menurut Derrida (Santoso, 2003 : 250-251), tradisi berpikir logosentrisme
mempunyai kecenderungan melahirkan oposisi biner yang bersifat hierarkis, misal
positif/negatif, siang/malam, laki-laki/perempuan, dan sebagainya. Dengan
anggapan yang pertama merupakan pusat, asal muasal, fondasi, prinsip, sedangkan
yang kedua hanya sebagai derivasi, manivestasi pinggir, dan sekunder dalam
kaitannya dengan yang pertama, Derrida sering dihubungkan dengan praktik
terhadap oposisi-oposisi biner hierarkis yang berfungsi menjamin kebenaran
dengan cara menafikan pasangan yang lebih inferior (Barker, 2005 : 102-107).
Menurut Derrida, logosentrisme sekurang-kurangnya mengandung
beberapa ciri, antara lain (1) prosedur-prosedur yang ada harus diakui sebagai suatu
orientasi yang paling umum atau bersifat universal, (2) prosedur-prosedur itu harus
merupakan suara yang berdaulat yang tidak lagi dapat dipermasalahkan atau
diperdebatkan (mutlak) seakan-akan tidak dapat diubah. Ciri-ciri ini menurut
Derrida perlu didekonstruksi dan dikritik karena dapat memunculkan ketimpangan
dalam dunia modern ( Santoso, 2003 : 251 ; Hart, 2002 : 76).
Tradisi berpikir logosentrisme yang cenderung melahirkan oposisi biner secara
hierarkis memiliki persamaan dengan tradisi berpikir dalam budaya patrilineal.
Budaya dan struktur yang dianut masyarakat Bali itu cenderung melahirkan oposisi
biner secara hierarkis, yang nilai, kedudukan, hak dan kewajiban laki-laki lebih
dihargai dari pada perempuan. Budaya patrilineal telah melahirkan pembagian dan
perbedaan secara gender karena antara laki-laki dan perempuan bukan hanya
dibedakan secara biologis atau kodrat, melainkan semata-mata dibedakan
berdasarkan atas peran, status, sifat dan kepantasannya. Sepanjang pembagian dan
perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan tidak menimbulkan ketidakadilan
gender yang merugikan salah satu jenis kelamin, yaitu perempuan, tidak menjadi
masalah, tetapi kenyataannya perbedaan gender yang dikonstruksi secara sosial dan
budaya itu melahirkan berbagai manifestasi ketidakadilan gender. Itulah masalah
yang perlu diantisipasi agar tidak menimbulkan ketimpangan gender dalam
Teori dekonstruksi digunakan untuk mengkaji ketiga masalah dalam
penelitian ini, baik penyebab perceraian, penyelesaian perceraian maupun implikasi
perceraian. Katiga masalah tersebut ditemukan juga adanya praktik-praktik tradisi
yang dapat melahirkan oposisi biner. Tradisi budaya patrilineal seringkali dianggap
mutlak dan dikekalkan oleh masyarakat pendukungnya.
2.3.3 Teori Posfeminisme
Teori posfeminisme tidak dapat dilepaskan dari teori posmodernisme. Teori
posmodernisme berhasil menarik perhatian pelbagai macam kalangan karena
mengarahkan perhatian pada perubahan-perubahan penting yang terjadi di
masyarakat dan kebudayaan kontemporer. Istilahposmodernismemuncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New York pada 1960 dan diambil alih oleh
para teoretikus Eropa pada tahun 1970-an. Salah satunya, Jean Franqois Lyotard,
menyerang mitos yang melegitimasi zaman modern (narasi besar) (Sarup, 2003 :
231). Bersama dengan fenomena “pos” lainnya yang muncul tahun 1970-an, seperti
poshumanisme, pos-Maksisme, dan juga posfeminisme. secara luas dapat diartikan
sebagai gerakan politis yang bertujuan emansipasi. Istilahposmodernismesekarang telah menunjuk pada rangkaian yang beragam, termasuk berbagai praktik kultural.
Gerakan feminissekarang telah bersifat “postmodern” (Waugh, 2009 :307). Dalam
hal ini, hubungan antara feminisme dan postmodern adalah menjadi penting karena
posfeminisme sendiri tercakup dalam posmodern.
Secara luas, feminisme posmodern, seperti Hellene Cixous, Luce Irigaray,
eksistensialis Simone de Beauvoir, dekonstruksionis Jacques Derrida, dan
psikoanalis Jacques Lacan. Ketiga feminisme posmodern ini berfokus pada “ke
-Liyanan” perempuan. De Beauvoir, misalnya, dalam karyanya yang mengajukan
pertanyaan esensial dalam teori feminis,“mengapa perempuan adalahthe second sex?”, dalam istilah posmodernisme “mengapa perempuan liyan?” Mengapa perempuan tetap berada di bawah, imanen, dan ditentukan takdirnya, sementara
laki-laki menuju ke ranah transendensi, zona kebebasan. Selain itu, ketiganya juga
mendedikasikan dirinya untuk menafsirkan kembali pemikiran tradisional,
kemudian merubuhkan tafsir-tafsir yang semula dianggap baku (Tong, t.t.t.
:285-286).
Teori posfeminisme adalah semacam “jalan baru” bagi upaya sebagian
perempuan untuk melakukan kritik dari dalam dan dari luar gerakan feminis yang
memberikan “suara lain” bagi gerakan perempuan untuk memperbaiki
kehidupannya baik dalam lingkungan kerja maupun keluarga. Ann Brooks sudah
memberikan pula tanggapannya terhadap kesalahpahaman sebagian kalangan
terhadap gerakan dan wacana posfeminisme. Dalam praktiknya, feminisme
posmodern tidak antifeminis dan feminis posmodernisme hanya menantang
asumsi-asumsi hegemonik yang dipegang oleh epistemologi gelombang kedua
yang menganggap bahwa penindasan patriarki adalah pengalaman penindasan
universal ( Brooks, 2009 : XIII-XIV ).
Teori Postfeminisme, digunakan untuk memahami dan menganalisis ketiga
pokok masalah dalam penelitian ini karena pada setiap pokok masalah, baik
perempuan Bali dilihat dari perspektif gender, ketiga masalah tersebut selain
memunculkan masalah gender, juga menimbulkan respons terutama dari
pihak-pihak yang peduli terhadap masalah gender. Teori ini juga digunakan untuk
memahami munculnya perubahan-perubahan atau transformasi konstruksi
pemikiran masyarakat Bali, baik laki-laki maupun perempuan, memahami nilai
kesetaraan gender khususnya dalam memberikan makna terhadap perceraian
perempuan Bali.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian menggambarkan kerangka berpikir yang dituangkan
dalam bentuk bagan untuk dapat mempermudah pemahaman terhadap masalah
yang telah dirumuskan. Adapun model penelitian ini tampak seperti bagan berikut
Budaya Bali
Ketidaksetaraan
Gender
Perceraian Perempuan Bali dan
Penyelesaiannya di Kota Denpasar :
Kajian Berdasarkan Berspektif Gender
Penyebab?
-kekerasan psikis
-penelantaran rumah tangga
-kekerasan fisik
Implikasi dan makna?
-terhadap pihak yang
bercerai dan pihak
Gambar 2.4 Model Penelitian
Keterangan :
= Tanda alur/ Pengaruh
= Saling Berpengaruh
Penjelasan Model
Bagan di atas menggambarkan budaya Bali, yaitu budaya patrilineal yang
dianut masyarakat Bali sangat berlawanan dengan upaya terwujudnya kesetaraan
dan keadilan gender. Budaya patrilineal menyebabkan perempuan Bali terkait
perceraiannya menghadapai berbagai ketidakadilan budaya dan struktur karena
perbedaan gender. Hal tersebut memunculkan tiga masalah terkait dengan
perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender, yaitu : Teori :
-Hegemoni, Dekontruksi dan
- Posfeminisme
Mengungkap & Menanamkan Pemahaman Ketidakadilan
Budaya dan Struktur Karena Perbedaan Gender Penyelesaian?
di pengadilan
(1) mengapa terjadi perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari
perspektif gender ? (2) bagaimana penyelesaian perceraian perempuan Bali di Kota
Denpasar dilihat dari perspektif gender ? dan (3) apa implikasi dan makna
perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender terhadap
pihak yang bercerai dan pihak keluarga yang terkait dengan perceraian ?
Penyebab perceraian perempuan Bali terkait dengan manifestasi
ketidakadilan gender yaitu kekerasan, baik kekerasan psikis, penelantaran rumah
tangga, dan kekerasan fisik. Adapun penyelesaian perceraian perempuan dilakukan
di Pengadilan sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan adat.
Perceraian perempuan Bali selain berimplikasi juga mempunyai makna ditandai
munculnya perubahan pola berpikir dan perubahan dalam menentukan sikap dalam
menanamkan kesetaraan gender.
Untuk mengkaji ketiga masalah tersebut digunakan beberapa teori kritis
posmodern yang relevan, yaitu teori hegemoni dari Antonio Gramsci, teori
dekonstruksi dari Jacques Derrida, dan teori posfeminisme dari Ann Brooks.
Teori Hegemoni dari Antonio Gramsci digunakan untuk mengkaji masalah
ideologi kaitannya dengan ideologi budaya patrilineal yang dianut masyarakat Bali,
yaitu ideologi yang dapat menciptakan kelas dominan (penguasa), dan kelas
subordinat (yang dikuasai), mampu mengikat masyarakat sosial, laki-laki ataupun
perempuan, dan mampu memaksa terutama kelas subordinat melakukan
persetujuan atas subordinasi mereka.
Teori Dekonstruksi dari Jaques Derrida, digunakan untuk mengkaji
ciri-ciri bersifat universal dan mutlak. Tradisi berpikir logosentrisme ini sangat perlu
dikritik atau diantisipasi karena dapat melahirkan ketimpangan dalam masyarakat
postmodern seperti sekarang ini.
Sementara itu, Teori Posfeminisme dari Ann Brooks digunakan khususnya
untuk mengkaji munculnya respons dari berbagai pihak yang peduli terhadap
masalah perempuan dan gender, khususnya yang berkaitan dengan perceraian
Adapun tujuan akhir penelitian, yaitu untuk mengungkap dan
mengantisipasi serta menanamkan pemahaman pada masyarakat, baik laki-laki
maupun perempuan, tentang ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan
oleh perbedaan gender, khususnya berkaitan dengan perceraian perempuan Bali di