• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI DALAM RANGKA MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU SD DI KAB. MAROS SULAWESI SELATAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI DALAM RANGKA MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU SD DI KAB. MAROS SULAWESI SELATAN."

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

v Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii

MOTTO ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GRAFIK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Pertanyaan Penelitian ... 17

D. Definisi Operasional ... 12

E. Tujuan Penelitian ... 18

F. Manfaat Penelitian ... 18

BAB II KAJIAN TEORITIS ... 20

A. Konsep Pelatihan Berbasis Kompetensi ... 20

1. Konsep Dasar Pelatihan ... 20

a. Pengertian Pelatihan ... 20

(2)

vi Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

c. Langkah-langkah dan Prinsip Pelatihan Bagi Guru ... 29

2. Pemahaman Pelatihan Berbasis Kompetensi . ... 36

a. Pengertian Kompetensi ... 36

b. Pelatihan Berbasis Kompetensi ... 41

B. Analisis Kebutuhan Pelatihan ... 43

1. Pengertian Analisis Kebutuhan Pelatihan ... 43

2. Tujuan Analisis Kebutuhan Dalam Pelatihan ... 47

3. Model Penetapan Kebutuhan Pelatihan . ... 50

4. Jenis Analisis Kebutuhan Pelatihan ... 52

C. Kompetensi Guru Profesional ... 54

1. Pengertian Kompetensi Guru ... 54

2. Pemahaman Terhadap Guru Professional ... 66

3. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru ... 68

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 71

A. Metode Penelitian ... 71

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 73

C. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 79

D. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 85

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 87

A. Deskripsi Hasil Penelitian ... 87

1. Profil Lokasi Penelitian ... ... 87

2. Profil Responden ... . 88

(3)

vii Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

4. Peta Kebutuhan Pelatihan Guru Berbasis Kompetensi

Guru SD di Kab. Maros ... . 197

5. Kompetensi-Kompetensi Yang Di Butuhkan Untuk Dilatihkan pada Guru SD Negeri di Kabupaten Maros ... 212

B. Pembahasan ... ... 214

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 228

A. Kesimpulan ... 228

B. Rekomendasi ... 233

DAFTAR PUSTAKA ... 234

LAMPIRAN. 1. Hasil Analisis Validitas Instrumen Uji Coba ... ... 239

2. Hasil Uji Realibilitas Instrumen Uji Coba ... 245

3. Anket Penelitian ... 253

4. Data Hasil Penelitian ... 263

5. Surat Keputusan Pembimbing ... 313

6. Surat Izin Penelitian dari SPs UPI Bandung ... 315

7. Surat Izin Penelitian dari Dinas Pendidikan Kab. Maros ... 316

8. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari Dinas Pendidikan Kab. Maros ... 317

(4)

1 Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu prasyarat utama dalam meningkatkan martabat dan kualitas bangsa. Dalam perubahan apa atau mengenai apapun,

pendidikan tetap merupakan faktor utama dalam setiap pertumbuhan dan perkembangan bangsa dan negara, seperti dijelaskan dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa :

Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membantu watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan harus menjadi sarana bagi

pewarisan dan pengembangan nilai-nilai, sikap dan norma yang sesuai dengan watak dan martabat bangsa ini.

Sampai saat ini, ada anggapan bahwa mutu pendidikan masih rendah. Salah satu indikator yang menunjukkan mutu pendidikan adalah hasil Ujian Nasional. Meski banyak mengundang kontraversi, tetapi setidak-tidaknya

hasil ujian nasional bisa dijadikan sebagai tolok ukur awal terhadap rendahnya mutu pendidikan kita. Bila ditilik lebih jauh, rendahnya mutu

(5)

yang sangat penting dan strategis dalam keseluruhan upaya pencapaian mutu pendidikan.

Sukmadinata (2005:191) mengemukakan bahwa pendidikan berintikan interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) untuk mencapai

tujuan-tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu komponen, hilang pulalah hakikat pendidikan.

Dalam situasi tertentu tugas guru dapat diwakilkan atau dibantu oleh unsur lain seperti oleh media teknologi, tetapi tidak dapat digantikan. Mendidik

adalah pekerjaan profesional, oleh karena itu guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional. Sebagai pendidik professional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, tetapi

juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional.

Baedhowi menyatakan (2009) bahwa dalam pembangunan sektor

pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral. Guru adalah jantungnya pendidikan. Sebagus dan semodern apapun kurikulum dan

perencanaan strategis pendidikan dirancang, jika tanpa guru yang berkualitas, tidak akan membuahkan hasil yang optimal. Artinya pendidikan yang unggul tetap tergantung pada kondisi mutu guru. Pernyataan ini jelas

menggambarkan besarnya tanggung jawab seorang guru terhadap penciptaan pendidikan yang bermutu.

(6)

profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan

manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap,

pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.

Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa kualitas pendidikan ditentukan oleh 60% kualitas guru. Jika kualitas gurunya jelek, maka 60%

jelek pula kualitas pendidikan. Sebaliknya jika kualitas gurunya baik, maka 60% kualitas pendidikan juga baik dan 40% lainnya dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya. Artinya jika pendidikan ingin maju, maka harus

dimulai dulu dari gurunya. Guru benar-benar menjadi faktor kunci kalau ingin memajukan pendidikan.

Undang-undang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003, UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005, PP No. 19 Tentang Standar

Nasional Pendidikan, secara singkat menyatakan bahwa guru yang berkualitas atau yang berkualifikasi baik adalah yang memenuhi standar pendidik, menguasai materi/isi pelajaran sesuai dengan standar isi,

menghayati dan melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan standar proses pembelajaran.

(7)

kompetensi guru secara optimal. Dengan meningkatnya kompetensi guru diharapkan bermuara pada peningkatan mutu pendidikan. Salah satu upaya

yang dilakukan oleh pemerintah adalah pemberian sertifikat pendidik untuk guru. Sertifikasi guru pada hakikatnya untuk meningkatkan kesejahteraan

guru dan sekaligus untuk meningkatkan kualitas guru.

Fakta bahwa guru telah tersertifikasi merupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi. Kompetensi guru tersebut

mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogik (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian. Persoalan

yang muncul kemudian, bahwa guru yang telah memiliki kompetensi yang hanya berlandaskan pada asumsi bahwa mereka telah tersertifikasi, tampaknya dalam jangka panjang sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan

secara akademik. Bukti tersertifikasinya para guru adalah kondisi sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat setelah

sertifikasi. Karena sertifikasi erat kaitannya dengan proses belajar, maka sertifikasi tidak bisa diasumsikan mencerminkan kompetensi yang unggul

sepanjang hayat. Pasca sertifikasi seyogyanya merupakan tonggak awal bagi guru untuk selalu meningkatkan kompetensi dengan cara belajar sepanjang hayat. Untuk memfasilitasi peningkatan kompetensi guru, diperlukan upaya

pengembangan kompetensi guru secara terus menerus dan berkelanjutan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam tatanan

(8)

karena peningkatan kompetensi guru merupakan indikator peningkatan profesionalisme guru itu sendiri. (http://www.freewebs.com/santyasa/pdf/).

Fakta lain dari hasil penelitian menunjukkan rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar.

Menurut Balitbang Depdiknas, (http://goblogmedia.net/ 2009/08/26/), guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta hanya 28,94%, guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri

65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91%, swasta 58,26%.

Fakta di atas menunjukkan bahwa masih banyak guru yang tingkat

kelayakan mengajarnya belum memadai. Yang paling memprihatinkan adalah guru pada tingkat SD baik negeri maupun swasta, hanya 28,94 yang layak mengajar. Artinya sebagian besar guru SD tidak layak mengajar.

Salah satu fakta hasil temuan penelitian yang dilakukan LPMP Kalimantan Selatan masih ditemukan bahwa kemampuan profesional yang

masih sangat rendah adalah pada komponen mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan yaitu pada aspek mengikuti kemajuan

zaman dengan belajar dari berbagai sumber, 5 (lima) dari 12 kabupaten menunjukkan kemampuan yang sangat rendah atau 47%. Aspek lainnya adalah pada aspek melakukan penelitian tindakan kelas, 4 (empat) dari 12

kabupaten menunjukkan kemampuan sangat rendah atau 30%.

Hasil uji kompetensi yang dilakukan terhadap 825 guru SD dan MI di

(9)

bidang studi seperti Matematika dan IPS nilai para guru masih baik, nilai IPA di bawah standar, yakni 2 dan 5, dan tidak satupun guru yang lolos ujian

Didaktik Metodik, 352 atau 42% guru peserta uji kompetensi memperoleh nilai 4 dengan nilai rata-rata 40. (VHR media, 18 November 2008).

Mencermati fakta tersebut di atas, maka perlu di ambil langkah strategis dan berkelanjutan dalam rangka membina guru baik yang sudah disertfikasi maupun yang belum.

Pembinaan guru harus berlangsung secara berkesinambungan, karena prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person, belajar

sepanjang hayat masih dikandung badan. Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan profesionalitasnya sebagai guru.

Desain jejaring kerja (networking) peningkatan profesionalitas guru berkelanjutan telah dilakukan dengan melibatkan Instansi Pusat, Pusat

Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas

Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota serta Perguruan Tinggi setempat. Selain pemberian sertifikat pendidik, upaya lain yang dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui pelatihan-pelatihan, baik

yang dilakukan oleh lembaga diklat maupun yang dilakukan oleh organisasi profesi guru itu sendiri. Peningkatan profesionalisme dilakukan melalui

(10)

pembiayaan dari pemerintah, yang dikenal dengan Continuous Professional Development (CDP) (Baedhowi, 2009).

Bebeberapa upaya yang dilakukan dengan pendekatan CPD ini adalah dengan memberdayakan unsur Kelompok Kerja Guru (KKG) dan

Munyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS) dan Munsyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), LPMP dan P4TK, Perguruan Tinggi (PT/LPTK), dan assosiasi profesi.

Pada 2009 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menganggarkan dana Rp 1,2 triliun untuk meningkatkan kompetensi guru

melalui lembaga diklat dan kelompok kerja guru yang tersebar di kabupaten dan kota. Dari dana yang dianggarkan tersebut, sebesar Rp. 496 miliar di antaranya digunakan untuk meningkatkan kompetensi guru SD di daerah

terpencil (http://www.kapanlagi.com/h/). Besarnya dana yang dianggarkan

adalah merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru.

Indikator keseriusan pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru perlu didukung usaha-usaha lain yang lebih terencana, sistematis dan berkelanjutan. Hal ini perlu dilakukan mengingat besarnya

jumlah guru yang perlu dikembangkan. Pada sisi lain keberadaan guru tersebar pada beberapa daerah baik perkotaan maupun di daerah pedesaan dan

(11)

Pembinaan profesi guru secara terus menerus (continuous profesional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu kelompok

kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) untuk tingkat sekolah menengah. Aktifitas guru di KKG/MGMP

tidak saja untuk menyelesaikan persoalan pengajaran yang dialami guru dan berbagi pengalaman mengajar antar guru, tetapi dengan strategi mengembangkan kontak akademik dan melakukan refleksi diri.

Sutjipto (2009) menawarkan beberapa pikiran dalam kaitannya dengan pengembangan guru, salah satunya adalah perlunya strategi dan usaha untuk

menciptakan dan mengembangkan sistem yang mengedepankan budaya guru untuk belajar berkelanjutan. Sistem pembenahan dalam pendidikan dan pengembangan guru tidak ditujukan hanya sekedar formalitas dan legalitas

saja serta sistem pembenahan dalam pendidikan dan pengembangan guru tidak ditujukan hanya sekedar formalitas dan legalitas saja.

Mencermati pemikiran tersebut, jelas tergambar bahwa hanya dengan kucuran anggaran yang besar belumlah cukup dalam upaya pengembangan

profesionalisme guru. Perlu dipikirkan upaya lain yang mungkin lebih efesien, efektif, sistematis, dan berkelanjutan. Sehingga dapat menjangkau semua guru yang jumlahnya sangat besar dan tersebar pada beberapa daerah,

terutama pada daerah terpencil.

Mengingat peranan guru yang sentral dalam proses belajar mengajar,

(12)

Konsekuensinya, apabila kualitas proses pendidikan pada suatu jenjang pendidikan ditingkatkan maka kualitas kemampuan guru perlu ditingkatkan

pula. Demikian juga sebaliknya, apabila kualitas pendidikan itu disinyalir kurang sesuai dengan harapan masyarakat, tentu yang akan lebih dulu

mendapat tudingan adalah guru. Kita sering juga mendengar keluhan dari beberapa masyarakat tentang kualitas kemampuan guru dalam melaksanakan tugasnya.

Tugas dan peran guru dari hari ke hari semakin berat, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Guru sebagai komponen

utama dalam dunia pendidikan dituntut untuk selalu mampu mengimbangi bahkan melampaui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dalam masyarakat. Melalui sentuhan guru di sekolah diharapkan

mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi tinggi dan siap menghadapi tantangan hidup dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang

tinggi. Sekarang dan ke depan, sekolah (pendidikan) harus mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, baik secara keilmuan

(akademis) maupun secara sikap mental.

Gurulah yang berada digarda terdepan dalam menciptakan kualitas sumber daya manusia. Guru berhadapan langsung dengan para peserta didik

dikelas melalui proses belajar mengajar. Di tangan gurulah akan dihasilkan peserta didik yang berkualitas, baik secara akademis, skill (keahlian),

(13)

Oleh karena itu, diperlukan sosok guru yang mempunyai kualifikasi, kompetensi, dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas

profesionalnya. Dengan kata lain bahwa sangat tidak mungkin bisa menghasilkan peserta didik yang memiliki penguasaan kompetensi tinggi bila

guru hanya memiliki kompetensi seadanya.

Sebagi tenaga profesional, guru dituntut memvalidasi ilmunya, baik melalui belajar sendiri maupun melalui program pembinaan dan

pengembangan yang dilembagakan oleh pemerintah atau masyarakat. Sejalan

upaya meningkatkan profesional guru, Rusman (2010) mengemukakan bahwa rendahnya kualitas pendidikan saat ini merupakan indikasi perlunya

keberadaan guru professional. Lebih jauh di uraikan bahwa guru tidak hanya sebatas menjalankan profesinya, tetapi guru harus memiliki interest yang kuat untuk melaksanakan tugas sesuai dengan kaidah-kaidah guru yang

dipersyaratkan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

profesional guru adalah melalui pelatihan. Menurut Suwondo, (2003) program peningkatan kemampuan profesional guru adalah peningkatan kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan dan pengalaman melalui

program magang atau on the job training. Lebih lanjut dikemukakan bahwa seorang guru minimal mengikuti kegiatan peningkatan kompetensi dua kali

(14)

bersangkutan agar dapat memenuhi persyaratan angka kredit atau kenaikan pangkat atau jabatan. Hal ini mengisyaratkan bahwa pelatihan bagi guru perlu

dilakukan secara berkesinambungan. Melalui pelatihan yang berkesinambungan, maka diharapkan seorang guru dapat secara terus

menerus meningkatkan dan memperharui kompetensinya seiring dengan perkembangan IPTEK.

Pengembangan profesionalisme guru diarahkan untuk penguatan

kompetensi guru berdasarkan standar kompetensi guru, (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional). Cara pengembangan profesi dapat

dilakukan melalui (antara lain); forum KKG/MGMP, seminar/workshop, penerbitan majalah ilmiah, lesson study, pelatihan, dan studi lanjut

Pengakuan terhadap pentingnya pendidikan dan pelatihan (Diklat)

sebagai salah satu upaya peningkatan profesional guru mungkin sudah tepat. Tapi masalahnya banyak diklat yang diselenggarakan, tidak atau kurang

memenuhi kebutuhan sesungguhnya. Diklat yang dilakukan kadang hanya didasarkan pada anggaran, sehingga program pelatihan yang dilakukan hanya

disesuaikan dengan jumlah anggaran yang tersedia. Masalah lain yang sering terjadi adalah diklat yang diselenggarakan didesain dari pusat, guru hanya mengikutinya saja. Sehingga terkadang diklat yang diikuti tidak sesuai

dengan kebutuhan guru tersebut, atau kadang hanya sekedar untuk mengumpulkan sertifikat untuk kenaikan pangkat, tidak didasarkan pada

(15)

akhirnya pelatihan yang diberikan kepada guru tidak mampu meningkatkan mutu pendidikan.

Timbulnya masalah ini tentu disebabkan banyak hal. Salah satu penyebabnya adalah tidak dilakukannya Needs Assessment terhadap

pelatihan-pelatihan yang dilakukan. Banyak hal yang terjadi diakibatkan tidak dilakukannya needs assessment tersebut, misalnya kurikulum pelatihan yang didesain tidak tepat sasaran, kebutuhan guru dengan materi pelatihan

tidak sesuai, metode dan sasaran pelatihan tidak relevan dengan tujuan pelatihan yang ditetapkan.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, Pusat Inovasi Balitbang Depdiknas (Saondi, 2010) mengemukakan bahwa terdapat tiga permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan mutu guru dalam pembangunan

pendidikan, yaitu; a) sistem pelatihan guru; b) kemampuan profesional; c) profesi, jenjang karier dan kesejahteraan.

Hubungannya dengan sistem pelatihan guru, maka implikasi yang dapat diambil berupah langkah-langkah sebagai berikut; a) adanya sistem

pelatihan guru yang didahului dengan needs assessment sesuai dengan kondisi daerah masing-masing, b) adanya koordinasi sistem monitoring dalam penyelenggaraan pelatihan guru, c) melakukan penilaian proses dan

dampak terhadap efektifitas dan efesiensi pelatihan guru oleh lembaga independen, d) membentuk dan pemberdayakan pusat-pusat pelatihan.

(16)

dipertanyakan, maka perlu dicari alternatif model pelatihan yang mampu memberi solusi terhadap masalah tersebut. Salah model pelatihan yang dapat

dipilih adalah model pelatihan berbasis kompetensi.

Pelatihan berbasis kompetensi diperlukan karena secara tradisi atau

konvensional pelatihan yang selama ini terjadi hanya menghasilkan peserta pelatihan yang hanya memiliki pengetahuan apa yang harus dilakukannya, tapi tidak mampu mengimplemtasikan dalam tugasya sebagai guru.

Sementara pada model pelatihan yang berbasis kompetensi, peserta setelah selesai mengikuti pelatihan diharapkan tidak saja sekedar tahu tetapi juga

dapat melakukan sesuatu yang harus dikerjakan.

Dalam sistem berbasis kompetensi, pelatihan difokuskan pada kinerja aktual baik kinerja individu maupun kinerja organisasi. Sementara dalam

model pelatihan tradisional setiap peserta akan mengikuti pelatihan yang sudah dirancang. Kemudian agar supaya kinerja pembelajaran dapat

diketahui, maka peserta melakukan pre dan post test yang sudah dirancang. Setelah selesai pelatihan para peserta akan mendapat sertifikat atau piagam.

Dalam sistem pelatihan berbasis kompetensi tahap awal yang harus dirumuskan adalah fungsi-fungsi apa yang harus dilakukan seseorang dengan baik. Dari uraian tersebut maka suatu pelatihan dirancang agar peserta dapat

menjalankan fungsinya sesuai standar. Dengan demikian, seorang guru yang sudah mengikuti pelatihan berbasis kompetensi diyakini dapat menguasai

(17)

mendapat pengakuan kemampuan mengerjakan fungsi-fungsi standar berupa sertifikasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari gambaran umum pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemuakan rumusan masalah sebagai

berikut: Kompetensi apa yang dibutuhkan untuk dilatihkan dalam

rangka meningkatkan profesionalisme guru SD di Kab. Maros Sulawesi

Selatan?

C. Definisi Operasional

Untuk memudahkan pemahaman terhadap beberapa istilah yang berkaitan dengan masalah penelitian, maka perlu dijelaskan secara

operasional. Istilah yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut:

1. Analisis Kebutuhan Pelatihan atau sering disebut dengan istilah Training

Needs Assessment (TNA) adalah istilah umum untuk menggunakan

analisis kegiatan pelatihan untuk menilai dan memahami masalah kinerja

atau teknologi baru (Rossett & Arwady, 1987;14). Menurut Barbazette (2006:5) A Needs assessment is the process of collecting information about an expressed or implied organizational need that could be met by

conducting training. Sedangkan Lawson (2006;6) berpendapat bahwa

Needs assessment is the process of determining the cause, extent, and

appropriate cure for organizational ills. Pendapat yang serupa

(18)

mendapatkan dan menganalisis informasi untuk menentukan status dan layanan kebutuhan suatu populasi tertentu dan/atau daerah tertentu.

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka dirumuskan secara operasional tentang pengertian analisis kebutuhan pelatihan yang

dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu proses pengumpulan, analisis data dan informasi dalam rangka mengidentifikasi program atau hal-hal apa saja yang perlu ditingkatkan atau diperbaiki agar kompetensi

seseorang tersebut menjadi meningkat.

2. Pelatihan menurut Ridha dalam Fuad & Ahmad (2009) adalah

sekumpulan kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill) seseorang, dengan berdasarkan pada

pertimbangan bahwa kegiatan tersebut bisa dipraktikkan dalam

pekerjaan. Sikula dalam Sumantri (2000:2) mengartikan pelatihan

sebagai: “proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan

prosedur yang sistematis dan terorganisir. Menurut Good, 1973 pelatihan adalah suatu proses membantu orang lain dalam memperoleh skill dan

pengetahuan (M. Saleh Marzuki, 1992:5). Sedangkan Michael J. Jucius dalam Moekijat (1991:2) menjelaskan istilah latihan untuk menunjukkan setiap proses untuk mengembangkan bakat, keterampilan dan

kemampuan pegawai guna menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Menurut Sujana (2007) pengertian pelatihan dapat lihat dari sudut

(19)

kemampuan (kompetensi) melalui perolehan keterampilan, pengetahuan dan sikap dan nilai-nilai baru setelah mengikuti pelatihan, yang

ditampilkan dalam pelaksanaan tugas atau pekerjaan/atau kehidupan mandiri

Mencermati dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka pelatihan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah proses pendidikan yang di lakukan pada individu maupun kelompok orang

dalam jangka waktu tertentu (jangka pendek), yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan, yang dapat

diterapkan dalam pekerjaannya.

3. Pelatihan berbasis kompetensi (competency based training) menurut

Sulipan dalam Fuad & Ahmad (2009:80) adalah suatu cara pendekatan

pelatihan yang penekenan utamanya berada pada apa yang dapat dikerjakan seseorang sebagai hasil dari pelatihan (training outcome).

Lebih lanjut Sulipan mengemukakan bahwa salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pelatihan berbasis kompetensi adalah

mengindetifikasi semua pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang dibutuhkan dalam suatu pekerjaan yang tercermin dalam standar kompetensi. Sedangkan menurut Australian Chamber of Commerce and

Industry, (1992)adalahsuatu cara pendekatan pelatihan yang memberikan penekanan utama pada apa yang seseorang dapat lakukan sebagai hasil

(20)

Dari kedua pendapat tersebut di atas, maka dirumuskan definisi operasional dalam penelitian ini bahwa yang dimaksud dengan pelatihan

berbasis kompetensi adalah bahwa pelatihan yang dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan perserta pelatihan (traine) yang menekankan

pada penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dapat dimiliki oleh peserta pelatihan setelah mengikuti pelatihan.

4. Guru Profesional menurut Kunandar (2009;46) adalah guru yang

memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan. Sedangkan menurut Rusman (2010) guru profesional

adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pembelajaran. Dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa guru professional adalah

guru yang menguasai 4 (empat) kompetensi secara utuh. Keempat kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogik, keperibadian, sosial

dan profesional.

Secara opersioanal guru profesional yang dimakusdkan adalah guru

yang menguasai secara utuh 4 (empat) kompetensi yang dipersyaratkan meliputi kompetensi pedagogik, keperibadian, sosial dan profesional. dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik.

D. Pertanyaan Penelitian

Rumusan pertanyaan penelitian berdasarkan masalah pokok di atas adalah: 1. Bagaimana profil kompetensi guru kelas pada SD Negeri di Kab.

(21)

2. Bagaimana peta kebutuhan pelatihan berbasis kompetensi untuk

peningkatan profesionalisme guru kelas pada SD di Kab. Maros? 3. Kompetensi apa saja yang dibutuhkan untuk pelatihan peningkatan

profesionalisme guru kelas pada SD di Kab. Maros?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari pertanyaan penelitan yang telah dirumuskan, maka

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan profil kompetensi guru kelas pada SD Negeri di Kab.

Maros saat ini.

2. Menyusun peta kompetensi kebutuhan pelatihan guru kelas pada SD

Negeri di Kab. Maros berdasarkan hasil penilaian kebutuhan pelatihan

(training needs assessment)

3. Mengindentifikasi kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan oleh guru

SD Negeri di Kab. Maros untuk di latihkan dalam rangka meningkatkan profesionalismenya.

F. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Penelitian ini difokuskan pada peran analisis kebutuhan dalam mengindentifikasi kesenjangan (gap) terhadap kompetensi calon peserta

pelatihan. Pelatihan yang didasarkan pada hasil analis kebutuhan, diyakini dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan

(22)

masukan kepada pengelola pendidikan dan pelatihan mengenai pentingnya melakukan analisis kebutuhan pelatihan, sehingga pencapaian

tujuan pelatihan dapat tercapai lebih optimal.

2. Secara Praktis

a. Hasil penelitian diharapkan menghimpung data dan informasi

program-program pelatihan apa saja yang dibutuhkan oleh guru untuk meningkatkan profesionalisme guru.

b. Menjadi pedoman bagi pihak-pihak terkait (Dinas Pendidikan, LPMP,

dan P4TK) dalam melaksanakan pelatihan peningkatan profesional guru dengan barbasis needs assessment.

c. Menjadi bahan evaluasi bagi pihak-pihak terkait (Dinas Pendidikan)

terhadap efektifitas pelatihan dalam meningkatkan profesional guru. d. Bagi mahasiswa (Peneliti), melalui penelitian ini diharapkan dapat

(23)

71 Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan pendekatan

kuantitatif. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Menurut Sujana & Ibrahaim (2007:64) bahwa penelitian deskriptif adalah

penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat sekarang. Pendapat yang sama dikemukakan Sugiyono

(2009:35) bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independent) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu

dengan variabel yang lain. Pendapat serupa sebagaimana yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto, (2005) mengatakan bahwa, penelitian deskriptif

merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Jadi tujuan penelitian deskriptif adalah

untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam artian bahwa

pada penelitian deskriptif sebenarnya tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan atau komparasi, sehingga juga tidak memerlukan hipotesis.

Jenis penelitian ini hanya berusaha memotret peristiwa atau kejadian

(24)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

menggambarkan secara jelas dan sekuensial terhadap pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelum peneliti terjun ke lapangan dan tidak

menggunakan hipotesis sebagai petunjuk arah atau guide dalam penelitian. Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama,

yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara tepat. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, metode penelitian deskriptif juga banyak di lakukan oleh para penelitian

karena dua alasan. Pertama, dari pengamatan empiris didapat bahwa sebagian besar laporan penelitian di lakukan dalam bentuk deskriptif. Kedua, metode

deskriptif sangat berguna untuk mendapatkan variasi permasalahan yang berkaitan dengan bidang pendidikan maupun tingkah laku manusia

Jenis penelitian ini adalah deskriptif survey. Penelitian ini sering

disebut sebagai penelitian normatif atau penelitian status. Penelitian survey merupakan penelitian dengan mengumpulkan informasi dari suatu sampel

dengan menanyakannya melalui angket atau interview supaya nantinya menggambarkan berbagai aspek dari populasi (Frankel dan Wallen, 1990).

Donald Arry dalam Sujana dan Ibrahim (2007;74) berpendapat bahwa survey berusaha mengungkap jawaban melalui pertanyaan apa, bagaimana, berapa, bukan pertanyaan mengapa. Lodico (2006; 156-157) mengemukakan

karateristik metode penelitian deskriptif survey (Characteristics of Descriptive-Survey Research) sebagai berikut;

A preestablished instrument has most likely been developed by the researcher.

(25)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

The sample is selected from a larger population or group to allow

the study’s findings to be generalized back to the larger group.

Penelitian survey biasanya tidak membatasi dengan satu atau beberapa

variabel. Penelitian survey adalah penelitian yang bertujuan mengambarkan suatu fenomena atau melukiskan fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara sistematis, faktual dan cermat. Penelitian survey

pada umumnya dapat menggunakan variabel serta populasi yang luas sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai. Hasil yang dari penelitian

survey juga dapat digunakan untuk tujuan seperti berikut:

1) Penelitian ini dapat digunakan sebagai bentuk awal penelitian yang

direncanakan untuk ditindaklanjuti dengan penelitian-penelitian lain yang

lebih spesifik.

2) Dengan penelitian survey ini, peneliti dapat melakukan eksplorasi dan

deskriptif sebagai tujuan penelitian.

3) Penelitian ini juga bertujuan untuk melakukan klasifikasi terhadap

permasalahan yang hendak dipecahkan.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Sugiyono (2009;80) bahwa populasi adalah wilayah

generalisasi yang terdiri atas; obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan

(26)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

sejumlah elemen. Definisi yang sama di kemukakan oleh Singh (2007:88) A population is a group of individuals, objects, or items from among which

samples are taken for measurement.

Populasi dalam penelitian ini adalah guru SD Negeri yang ada di

Kabupten Maros. Jumlah total populasi sebanyak 1.598 orang. Populasi ini tersebar di 14 kecamatan. Secara lengkap dapat disajikan pada tabel di bawah ini:

Tabel 3.1. Sebaran Populasi Guru SD Negeri di Kabupaten Maros

No. Kecamatan Jumlah

Sumber : Data Dinas Pendidikan Kab. Maros.

2. Sampel

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Sampel adalah perwakilan

(27)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sedangkang menurut Singh (2007;88) mendefinisikan sampel

sebagai berikut:

A sample can be defined as a finite part of a statistical population whose properties are used to make estimates about the population as a whole (Webster, 1985). When dealing with people, it can be defined as a set of target respondents selected from a larger population for the purpose of a survey.

Karena pertimbangan besarnya jumlah populasi yang tersebar pada

14 keacamatan serta keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka penelitian ini menggunakan sampel yang diambil dari populasi.

Teknik sampling yang dipilih adalah cluster random sampling. Teknik ini digunakan mengingat luasnya lokasi dimana populasi penelitian berada. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah

two stage cluster sampling (Nazir, 2005). Sejalan dengan pendapat Sugiyono (2009) bahwa teknik ini menggunakan dua tahap pengambilan

sampel. Tahap pertama menentukan sampel daerah dan tahap berikut menentukan orang-orang yang ada pada daerah tersebut.

Adapun tahapan pengambilan sampel dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Tahap pertama adalah memilih sampling dari primery sampling unit

(PSU) dari total PSU. Dalam penelitian ini yang menjadi total PSU 14 kecamatan yang ada di Kab. Maros. PSU ini pilih dengan dengan cara

(28)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

dengan fraction tahap pertama. Besarnya sampel fraction yang dipilih pada tahap pertama ini adalah 25% dengan menggunakan rumus:

f1 =m

M (Nazir, 2005;315

Dimana :

f1 = besarnya sampel fraction tahap pertama

m = besarnya sampel M = Besarnya PSU

Besarnya sampel pada tahap pertama ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus tersebut di atas adalah sebagai berikut:

Diketahui: f = 0,25 %

M = 16 (kecamatan)

Maka:

f1 = 25

100 x 14 = 3,5

Untuk pertimbangan matematis, maka besarnya sampel yang diambil dibulatkan menjadi 4 (empat). Dengan demikian jumlah sampel yang terpilih sebanyak 4 (empat) kecamatan.

Dari hasil penentuan sampel tersebut di atas, maka dipilih 4 (empat) kecamatan secara random. Adapun kecamatan yang terpilih

(29)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Tabel 3.2. Sampel Penelitian Tahap ke-1

No. Kecamatan Jumlah

Sekolah Guru

1. Mandai 14 141

2. Lau 15 103

3. Maros Baru 17 104

4. Turikale 18 187

Jumlah Total 64 535

b. Karena pertimbangan terlalu banyaknya jumlah sekolah ditiap

kecamatan yang terpilih serta jumlah guru sebagai populasi yang akan

dijadikan sebagai responden, maka dilakukan pengambilan sampel tahap kedua. Tahap kedua adalah menentukan sampling secara

random dan berimbang dengan memilih unit elementer dari unit elementer yang ada dalam PSU yang terpilih pada sampling tahap pertama. Adapun rumus yang digunakan pada tahap kedua adalah

sebagai berikut:

f2 = n1 N1

(Nazir, 2005;315)

Dimana:

f2 = Jumlah sampel fraction tahap kedua

n1= Jumlah unit elementer yang dipilih dari PSU

N1= Jumlah unit elementer dari PSU

Unit elementer yang dimaksudkan pada tahap kedua ini adalah sekolah yang ada pada setiap kecamatan (fraction) dimana populasi berada.

(30)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Tabel 3.3. Sampel Penelitian Tahap ke-2

No. Kecamatan Jumlah

Sekolah Sampel (30%) Dibulatkan

1. Mandai 14 4,2 4

2. Lau 15 4,5 5

3. Maros Baru 17 5,1 5

4. Turikale 18 5,1 5

Jumlah Total 64 19

Karena yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini adalah guru kelas (1 – 6), maka sampel diambil dari jumlah total guru kelas dari

setiap sekolah yang dipilih.

Adapun jumlah sampel (responden) yang ada dari sekolah yang terpilih pada tahap kedua adalah sebagai berikut:

(31)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

4. Turikale 1. SDN No. 10 Sanggalea 12 2. SD No. 49 Inp Sanggalea 12

3. SDN No. 5 Maros 12

4. SDN No. 3 Maros 12

5. SDN No. 1 Maros 12

Jumlah 60

Jumlah Total 191

Berdasarkan tabel di atas, maka jumlah total sampel dalam penelitian ini sebesar 191 guru.

C. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

1. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Dokumentasi:

Dokumenntasi digunakan untuk mengumpulkan data awal seperti

jumlah, karatateristik dan profil populasi (guru) pada Dinas Pendidikan Kab. Maros

b. Angket/Kuesioner

Angket dalam penelitian ini digunakan sebagai instrumen untuk mengumpulkan data yang berupa serangkaian pertanyaan yang

diajukan pada responden untuk mendapat jawaban. Angket ini terdiri dari 2 (dua) bagian, yakni pernyataan dengan dengan jawaban yang sudah disediakan (tertutup) dan pernyataan/pertanyaan yang meminta

(32)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Jawaban yang disediakan terdiri dari 4 (empat) alternatif yaitu : Sangat Baik, Baik, Kurang, dan Sangat Kurang. Untuk alternatif

jawaban Sangat Baik = 4, Baik = 3, Kurang = 2, dan Sangat Kurang = 1.

Penentuan alternatif jawaban atas pernyataan kompetensi yang ada mengadaptasi tabel informasi penilaian kompetensi yang dikemukakan oleh Marthin dalam Tajuddin (2008:90) sebagai berikut:

Tabel 3.5. Informasi Penilaian Kompetensi

Nama Kompetesi : PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN KERJA Definisi : Pengetahuan dan keterampilan mengenai pekerjaan yang dilakukan serta pemahaman tentang tugas-tugasnya

5 Sangat Baik Sangat Istimewa dalam pengetahuan dan keterampilan dalam menyelesaikan pekerjaan saat ini, memiliki kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi berkaitan dengan bidang tugasnya dan mampu mengaitkan tugasnya pada bidang-bidang dan fungsi lain melalui pekerjaannya.

4 Baik Kemampuan pada tingkat diantara level 5 dan 3 3 Sedang Memahami dasar-dasar tugas dan tanggung

jawabnya, memiliki pemahaman serta keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya saat ini. Kemampuan dasar dan hasil kerjanya memenuhi standar kerja yang dibutuhkan. 2 Kurang Kemampuan pada tingkat diantara level 3 dan 1 1 Sangat Kurang Kurang memahami dasar-dasar tugas dan

tanggung jawabnya, membutuhkan bimbingan, kemampuan terbatas pada tugas-tugas yang sederhana pada bidang pekerjaannya dan memiliki pengetahuan yang minim.

Sumber : Desertasi: Tajuddin (2008:90)

(33)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Tabel 3.6. Kisi-kisi Instrumen Kompetensi Guru Sekolah Dasar (SD)

No Aspek Indikator Jml

Item 1 Kompetensi

Pedagogik.

1. Munguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, intelektual, sosial-emosional. 2. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip

pembelajaran yang mendidik.

3. Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/ bidang pengembangan yang di ampuh.

4. Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik

5. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran. 6. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta

didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki

7. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik

8. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar

9. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.

10. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.

1. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia 2. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur,

berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat

3. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa

4. Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri

5. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru

6

1. Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis

kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi. 2. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan

santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat. 3. Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya.

20

9

(34)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

4. Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.

3

4. Kompetensi Profesional

1. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.

2. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu.

3. Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.

4. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.

5. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan

Data primer dalam penelitian dikumpulkan dari guru SD yang menjadi

sampel dalam penelitian ini. Karena penelitian ini adalah penelitian deskriptif survey, maka instrumen yang digunakan harus benar-benar

mampu menjaring data yang diperlukan dan data tersebut dapat dipercaya.

Dengan istilah lain bahwa instrumen tersebut harus valid dan reliable.

a. Uji Validitas

Secara umum uji validitas adalah untuk melihat apakah item

pertanyaan pada instrumen yang dipergunakan mampu mengukur apa yang ingin diukur. Menurut Suryabrata (2009;60) bahwa yang

dimaksud dengan validitas instrumen adalah “sejauh mana instrumen itu merekam/mengukur apa yang dimaksudkan untuk direkam/diukur”. Lebih formal, Cook dan Campbell (1979) mendefinisikannya sebagai

(35)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

atau kesimpulan yang diberikan. Validity can be broadly defined as the

“truth of, or correctness of, or degree of support for an inference”

(Shadish et al., 2002: 513). (http://siteresources.worldbank.org/ EXTOED/ Resources/ chap5.pdf)

Untuk membuktikan tingkat validitas kuesioner yang akan digunakan, maka terlebih dahulu dilakukan diuji cobakan di pada beberapa guru SD diluar sampel penelitian. Uji validitas dapat dilihat

dengan menggunakan koefisien korelasi product moment. Berdasarkan perhitungan dengan rumus dimana nilai r

hitung untuk seluruh pertanyaan

dibandingkan dengan nilai r

tabel dinyatakan valid. dengan

membandingkan nilai r tabel dengan nilai alpha dengan ketentuan bila r alpha > r tabel, maka alat penelitian handal atau valid. Adapun teknik

perhitungan validitas dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS 18.

Uji coba instrumen untuk melihat tingkat validitasnya dilakukan pada 20 orang guru di Kec. Marusu Kab. Maros. Hasil uji validitas dapat dilihat pada lampiran.

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah konsistensi pengukuran, atau sejauh mana suatu instrumen mengukur cara yang sama setiap kali digunakan dalam

(36)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

skor seseorang pada tes yang sama diberikan dua kali hasil sama atau mirip. Tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan oleh suatu angka yang

disebut koefisien reliabilitas. Pada awalnya tinggi-rendahnya reliabilitas koesioner tercermin oleh nilai Cronbach Alpha. Dimana apabila nilai

Cronbach Alpha diatas 0,60 maka variabel dalam penelitian dapat

dikatakan reliabel atau handal, sehingga apabila kuesioner terhadap pertanyaan yang diajukan dilakukan secara berulang-ulang maka

jawaban responden akan sama (Sugiono, 2009). Kuesioner dapat dikatakan realibitas tinggi jika nilai Alpha Croanbach melebihi angka

kritik. Untuk mengetahui reliabilitas caranya adalah membandingkan nilai r tabel dengan nilai alpha. Dengan ketentuan bila r alpha > r tabel maka alat penelitian handal. Adapun teknik perhitungan validitas

dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS 18.

Hasil uji reliabilitas dari uji coba instrumen menunjukkan bahwa

nilai Cronbach Alpha sebesar 0,985. Hasil ini menunjukkan bahwa instrumen (angket) tersebut memiliki reliabilitas cukup tinggi yakni

lebih besar dari 0,60.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

(37)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu D. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

1. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data pada penelitian ini dilaksanakan dengan tahap sebagai berikut :

a. Editing

Mengecek kembali kuesioner yang telah diberikan kepada responden. Kuesioner yang diberikan pada responden telah terisi tiap pertanyaan,

sehingga tidak ada kuesioner yang perlu dibuang karena tidak lengkap dalam menjawab dan kuesioner yang telah dibagikan kembali semua. b. Coding

Dilakukan dengan memberi tanda pada masing-masing jawaban dengan kode berupa angka, sehingga memudahkan proses pemasukan data di

komputer.

c. Scoring (penilaian)

Pada tahap skoring ini peneliti memberi nilai pada data sesuai dengan skor yang telah ditentukan berdasarkan kuesioner yang telah diisi oleh

responden.

d. Tabulating (tabulasi)

Kegiatan tabulating meliputi memasukkan data-data hasil penelitian ke

dalam tabel-tabel sesuai kriteria yang telah ditentukan berdasarkan kuesioner yang telah ditentukan skornya.

(38)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Tahap terakhir dalam penelitian ini yaitu pemrosesan data, yang dilakukan oleh peneliti adalah memasukkan data dari kuesioner ke dalam paket

program komputer. f. Processing

Setelah diedit dan dikoding, diproses melalui program SPSS versi 18 for Windows.

g. Cleaning

Membuang data atau pembersihan data yang sudah tidak dipakai.

2. Analisis Data

Dalam menganalisis data, dipergunakan kerangka analisis statistik

deskriptif. Statistik deskriptif digunakan untuk analisis bagi variabel-variabel yang dinyatakan dengan sebaran frekuensi, baik secara angka-

angka mutlak maupun secara persentasi.

Analisa univariat digunakan untuk mengestimasi parameter populasi untuk data numerik terutama ukuran-ukuran tendensi sentral yang

berdistribusi normal (standar deviasi) dan tidak normal (median, modus minimum, maksimum) dan data berkategorik dengan distribusi frekuensi.

(39)

228 Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu BAB V

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pada bab terakhir ini diuraikan simpulan hasil penelitian tentang analisis kebutuhan pelatihan berbasis kompetensi dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru SD. Selanjutnya dirumuskan rekomendasi yang ditujukan

kepada semua pihak yang terkait dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru melalui pelatihan.

A. Simpulan

Sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, yakni kompetensi apa yang dibutuhkan untuk dilatihkan dalam rangka meningkatkan

profesionalisme guru SD di Kab. Maros Sulawesi Selatan?, dan berdasarkan hasil analisis yang dideskripsikan pada Bab IV, maka dapat disimpulkan hal-hal

sebagai berikut:

1. Profil kompetensi sebagian besar dari guru SD di Kabupaten Maros yang

menjadi sampel dalam penelitian ini, memiliki tingkat penguasaan pada

empat standar kompetensi (pedagogik, keperibadian, sosial, dan profesional) menunjukkan sudah baik. Meskipun demikian pada beberapa indikator

esensial tertentu pada empat standar kompetensi tersebut masih terdapat beberapa orang guru yang tingkat penguasaannya masih kurang.

2. Hasil pemetaan kompetensi ditemukan masih adanya kesenjangan (gap)

(40)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

kompetensi tersebut. Adapun indikator-indikator tersebut adalah sebagai berikut;

a. Kesenjangan (gap) terbesar dari standar kompetensi pedagogik adalah

pada subkompetensi dalam memanfaatkan teknologi informasi dan

komunikasi (TIK) untuk kepentingan pembelajaran. Dari dua indikator pada subkompetensi tersebut, sebanyak 105 guru (60,7) dari 173 guru yang menjadi responden dalam penelitian ini, tidak dapat menggunakan

(mengoperasikan) komputer dalam pembelajaran dengan baik (penguasaan kompetensi masih kurang). Sedangkan pada indikator

memanfaatkan internet untuk mencari bahan ajar untuk pembelajaran, sebanyak 107 guru (61,9%) yang belum bisa atau kurang memanfaatkan internet sebagai sumber dalam mencari bahan ajar. Selanjutnya pada pada

kemampuan dalam melaksanakan pembelajaran di laboratorium, masih terdapat 99 guru (57%) yang tingkat penguasaan terhadap kompetensi

tersebut masih kurang.

b. Tingkat kesenjangan penguasaan terhadap kompetensi kepribadian, hanya

sebagian kecil dari total guru (173) yang menjadi sampel dalam penelitian yang masih kurang. Bila dikuantifikasi, hanya pada kisaran 2 – 14 % guru. Kecuali pada kemampuan dalam mengungkapkan ide-ide secara

terbuka, masih terdapat 35 guru (20,5%) yang masih kurang memilikinya. c. Pada kompetensi sosial kesenjangan terbesar (±20-40%) terlihat pada

(41)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

1) Mengikutsertakan orang tua peserta didik dalam program

pembelajaran.

2) Mengikutsertakan masyarakat dalam program pembelajaran di

sekolah.

3) Mengikutsertakan masyarakat dalam mengatasi kesulitan belajar

peserta didik.

4) Mendorong kreativitas masyarakat.

5) Mempublikasikan hasil-hasil inovasi pembelajaran kepada komunitas

teman seprofesi sendiri secara tertulis (jurnal, bulletin, majalah). 6) Mempublikasikan hasil-hasil inovasi pembelajaran kepada komunitas

teman seprofesi sendiri secara lisan melalui forum ilmiah (seminar, workshop, dll).

d. Sedangkan tingkat penguasaan kompetensi profesional, kesenjangan

(gap) pada subkompetensi dalam penguasaan materi, struktur, konsep,

dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu terlihat cukup besar. Artinya pada subkompetensi ini masih cukup besar

guru yang tingkat penguasaannya masih kurang. Subkompetensi ini sangat esensial karena didalam termuat indikator-indikator penguasaan pada 5 (lima) mata pelajaran yang wajib diajarkan di Sekolah Dasar yaitu,

Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan PKn. Kesenjangan terbesar juga terlihat pada kemampuan guru dalam mengikuti kemajuan zaman

(42)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Pada subkompetensi memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri juga terlihat

sebagian besar guru yang menjadi sampel dalam penelitian ini, tingkat penguasaannya masih kurang

3. Berdasarkan hasil pemetaan kebutuhan pelatihan, maka disimpulkan bahwa

kompetensi-kompetensi yang masih dibutuhkan (prioritas) oleh guru untuk dilatihkan adalah sebagai berikut;

a. Kompetensi Pedagogik

1) Menyusun rancangan pembelajaran yang lengkap untuk kegiatan di

laboratorium.

2) Melaksanakan pembelajaran mendidik di laboratorium.

3) Menyusun rancangan pembelajaran yang lengkap untuk kegiatan di

luar kelas.

4) Memahami keputusan transaksional dalam pembelajaran.

5) Merancang pembelajaran yang mendidik.

6) Melaksanakan pembelajaran yang mendidik di luar kelas

7) Mengambil keputusan transaksional dalam lima MP sesuai dengan

situasi yang berkembang

8) Menggunakan komputer dalam pembelajaran.

9) Memanfaatkan internet untuk mencari bahan ajar pembejaran siswa 10) Memahami desain penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan

kualitas pembelajaran

(43)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

b. Kompetensi Sosial

1) Mengikutsertakan orang tua peserta didik dalam program

pembelajaran.

2) Mengikutsertakan orang tua peserta didik dalam mengatasi kesulitan

belajar peserta didik.

3) Mengikutsertakan masyarakat dalam program pembelajaran di

sekolah.

4) Mengikutsertakan masyarakat dalam mengatasi kesulitan belajar

peserta didik.

5) Mendorong kreativitas masyarakat.

6) Mempublikasikan hasil-hasil inovasi pembelajaran kepada komunitas

teman seprofesi sendiri secara tertulis (jurnal, bulletin, majalah) 7) Mempublikasikan hasil-hasil inovasi pembelajaran kepada komunitas

teman seprofesi sendiri secara lisan melalui forum ilmiah (seminar, workshop, dll)

c. Kompetensi Profesional

1) Penguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang

mendukung 5 (lima) mata pelajaran yang diampu (Bahasa Indonesia,

Matematika, IPA, IPS, PKn)

2) Memanfaatkan TIK dalam berkomunikasi dengan sesama pendidik

3) Memanfaatkan TIK dalam mencari informasi untuk pengembangan

(44)

Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

4) Menggunakan program aplikasi (MS-Office) komputer dalam tugas

sehari-hari.

B. Rekomendasi

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka direkomendasikan pada semua pihak yang berkompeten sebagai berikut:

1. Bagi Dinas Pendidikan Kab. Maros, hendaknya melakukan analisis

kebutuhan (needs analysis) secara menyeluruh untuk mengetahui tingkat

penguasaan standar kompetensi guru saat ini. Sehingga ketika melaksanakan pelatihan, pihak Dinas Pendidikan sudah memiliki data based yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai dasar rekruitmen peserta pelatihan, tidak

hanya didasarkan pada pertimbangan subjektivitas semata.

2. Kepada LPMP , hendaknya mendorong , menfasilitasi, dan membantu Dinas

Pendidikan kabupaten/kota dalam melakukan analisis kebutuhan pelatihan sehingga mutu guru sebagai tenaga pendidik dapat memenuhi standar yang ditentukan.

3. Kepada peneliti selanjutnya, penelitian ini adalah penelitian pendahuluan,

maka masih terbuka peluang untuk melakukan pendalaman terhadap variabel

penelitian yang lain dengan objek yang sama. Bagi yang berkeinginan untuk melakukan penelitian yang sama, maka hendaknya penggunaan metode lain dalam menganalisis kebutuhan pelatihan dapat dilakukan dengan

penggabungan beberapa metode dan teknik analisis kebutuhan, misalnya; observasi, tes, wawancara, dan lain-lain. Sehingga kemungkinan bias dan

(45)

234 Sinar Alam, 2011

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu DAFTAR PUSTAKA

...Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional ...UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen,

...PP No. 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan ...PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan ...Permen No. 45/U/2002 Tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi

Alan Cowling & Philip James. (1996). The Essence of Personnel Management an Industrial Relation (terjemahan). Yogyakarta : ANDI

Arikunto, S. (2005). Manajemen Penelitian. Jakarta. PT. Rineke Cipta.

Asmani, Jamal M. (2009). 7 Kompetensi Guru Menyenangkan dan Professional. Yogyakarta. Powerbooks Publishing.

Atmowidirio, Soebagio. (2002). Manajemen Pelatihan. Jakarta. Ardadizia Jaya Baedhowi. (2009) Pidato Pengukuhan Guru Besar UNS di Solo "Tantangan

Profesionalisme Guru Pada Era Sertifikasi, [online]. Tersedia di http://edukasi. kompas.com/read/xml/2009/11/12/14231050/ [2-12-2009] Brown, J. D. (1995). The elements of language curriculum: A systematic

approach to program development. New York: Heinle & Heinle.

Buckley and Caple, (2009). The Theory & Practice of Training, 6th edition. London. Kogan Page.

Catlaks, G. (tth.). Curriculum Development and Teacher Training in Latvia. [online]. Tersedia: http://www.ibe.unesco.org/ curriculum/ SoCaucasus/ pdf/ Catlaks.pdf [20 Januari 2011].

Chatib, Munif. (2010). Sekolahnya Manusia; Sekolah Berbasis Multiple Intelegensi di Indonesia. Bandung. Kaifa.

Danim, Sudarwan. (2002). Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.

Fachruddin dan Ali Idrus. (2009). Mengembangkan Profesionalitas Guru. Jakarta. Gema Persada Press.

(46)

Gupta, Kavita. (2007). A practical guide to needs assessment 2nd ed. San Francisco . John Wiley & Sons, Inc.

Grabowski. Barbara L. (2004). Needs Assessment—Informing Instructional Decision Making in a Large Technology-Based Project dalam Curriculum, Plans, and Processes in Instructional Design: International Perspectives, edited by Norbert M. Seel and Sanne Dijkstra. New Jersey. Lawrence Erlbaum Associates

Hadimiarso Y. (2009). Kajian Kompetensi Guru Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Tersedia di http://yusufhadi.net/wp_content/uploads/2009/ 02 diunduh 28-11-2009.

Hamalik, Oemar. (2003). Manajemen Pendidikan dan Pelatihan. Bandung. Y.P Pemindo.

Harsono. (2005). Pembelajaran di Laboratorium. Yogyakarta, Pusat Pengembangan Pendidikan UGM.

Hartoyo. (2009). “Mengembangkan Profesionalisme Guru” dalam Pengembangan

Professional Guru, 70 Tahun Abdul Malik Fajar. Jakarta. Uhamka Press.

Irianto Jusuf. (2001). Prinsip-prinsip Dasar Manajemen Pelatihan (Dari Analisis Kebutuhan Sampai Evaluasi Program Pelatihan), Insani Cendekia, Jakarta.

Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan: Mencari

Paradigma Kebersamaan”, dalam M. Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru

Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 68-69.

Kamil, Mustofa. (2007). Model Pendidikan dan Pelatihan. Konsep dan Aplikasi. Bandung. Alfabeta.

Kapanlagi.com. Selasa, 23 September 2008 18:19. Tingkatkan Kompetensi Guru, Depdiknas Siapkan Rp. 1,2 Triliun [online]. Tersedia di http://www.kapanlagi.com/ h/0000252781.html. [28-11-2009].

Kunandar. (2009). Guru Profesional, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses Dalam Sertifikasi Guru. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

(47)

Lodico, Marguerite G. (2006). Methods in educational research : from theory to practice. United States of America. John Wiley & Sons, Inc

Marzuki, M.S. (1992). Strategi dan Model Pelatihan. Malang : IKIP Malang Moekijat. (1990). Pengembangan dan Motivasi. Bandung : Pionir Jaya

Moqvist. (2003). The Competency Dimension of Leadership: Findings from a Study of Self-Image among Top Managers in the Changing Swedish Public Administration. Centre for Studies of Humans, Technology and Organisation, Linköping University. [online]

Nazir, Moh. (2005). Metode Penelitian. Bogor. Ghalia Indonesia

Nawawi, H. (1997). Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, Gajah Mada Universitas Press.

Nitisemito, Alex S. (1996). Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Oliva. (1992). Developing the Curriculum, Third Edition. United States. Harper Collins Publishers.

Print. (1993). Curriculum Development and Design. Second Edition. Australia. Allen & Anwin.

Rizali, Ahmad dkk. (2009). Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional. Jakarta. Grasindo.

Rusman. (2009). Manajemen Kurikulum. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada. ... (2010). Model-Model Pembelajaran, Mengembangkan Profesionalisme

Guru. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada

Sanjaya, Wina. (2005). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Kencana.

Santosa, Singgih. (2009). Panduan Lengkap Menguasai Statistik Dengan SPSS 17. Jakarta. Elex Media Komputindo. Kompas Gramedia.

Santyasa, I Wayan. (2009). Dimensi-Dimensi Teoritis Peningkatan Profesional Guru [online]. Tersedia di ww.freewebs.com/santyasa/pdf2/ DIMENSI_ DIMENSI_ TEORETIS.pdf di unduh [25-11-2009]

Saondi, O dan Suherman A. (2010). Etika Profesi Keguruan. Bandung. Refika Aditama

(48)

Soetjipto dan Raflis Kosasi. (2004). Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta

Sondang P. Siagian. (1991). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara

Sparks, Dennis & Horsley, Susan Loucks. Five Models of Staff Development for Teachers [online]. Tersedia http://www.scribd.com/doc/3871243/Models-of-Teachers-Professional-Development. [2-12-2009]

Spencer. (1993). Competence At Work; Models for Superior Performance. America. John Wiley & Sons, Inc.

... (2004). How Competencies Create Economic Value dalam buku The Talent Management Handbook. United States of America. The McGraw-Hill Companies.

Stockley. Derek . (2003). Free Online Training Tutorials (on this site). Tersedia di http://derekstockley.com.au/h-free-elearning.html. [25-11-2009].

Sudjana, (2007). Sistem dan Manajemen Pelatihan; Teori dan Aplikasi. Bandung. Falah Production.

Sudjana dan Ibrahim. (2007). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung. Sinar Baru

Sudrajat, Akmad. (2008). Pelatihan Guru Untuk Pengembangan Profesi. [online]. Tersedia di http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/07/ pelatihan-dalam-rangka-pengembangan-profesi-guru. [14-07-2011]

Sugiono, (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfabeta.

Sujanto, Bedjo. (2007). Guru Indonesia dan Perubahan Kurikulum; Mengorek Kegelisahan Guru. Jakarta. CV. Sagung Seto.

Sukmadinata, Nana. (2008). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung. Rosda Karya.

Sumantri, S. (2000). Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung. Fakultas Psikologi UNPAD

Sunarno. 2009. Isu-isu Terkini Guru dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi. [online]. Tersedia di www.sunarnomip.staff.ugm.ac.id/ index.php? option=com...id [26-11-2009]

Suparlan. (2008). Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta. Hikayat Publishin.

(49)

Sutjipto. (2009). “Profesionalisme Guru”, dalam Pengembangan Professional Guru, 70 Tahun Abdul Malik Fajar. Jakarta. Uhamka Press.

Suwondo. (2003). Guru di Indonesia. Jakarta. Dittendik Dirjen Dikdasmen

Suyanto. (2009). “Mengembangkan Profesionalisme Guru” dalam Pengembangan

Professional Guru, 70 Tahun Abdul Malik Fajar. Jakarta. Uhamka Press.

Tajuddin. (2008). Efektifitas Manajemen Pelatihan Guru di Kabupaten Indramayu. Desertasi. Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia.

Uno. Hamzah B. (2007). Profesi Kependidikan; Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta. Bumi Aksara.

Usman, Uzer. (2004). Menjadi guru profesional. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Wahidin, Didin. (2008). Pelatihan berbasis kompetensi: apa, mengapa dan bagaimana? [online] Tersdia di http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/ Search.html?act=tampil&id=6233 [22 Januari 2011]

http://sflip.excellencegateway.org.uk/docs/SfLIP_CPD_cycle_and_online_ tools_2008

http://www.ibe.unesco.org/curriculum/SoCaucasuspdf/Catlaks.pdf.

www.maroskab.go.id

Gambar

Tabel 3.1. Sebaran Populasi Guru SD Negeri di Kabupaten Maros
Tabel 3.2.  Sampel Penelitian Tahap ke-1
Tabel 3.3. Sampel Penelitian Tahap ke-2
Tabel 3.5. Informasi Penilaian Kompetensi
+3

Referensi

Dokumen terkait

8 Tetapi temuan ini tidak sesuai dengan penelitian dari Korkmaz pada guru sekolah dasar dan sekolah menegah pertama di Turkey menemukan bahwa guru perempuan mengalami

3 Saya menyimpan rasa tidak suka di dalam hati jika ada petugas BPK yang menanyakan bukti pengadaan tender atas pembelian alat kantor.. SS S R

Pada penelitian ini membahas perilaku lentur pelat solid dengan ketebalan 12 cm (PL0), dan pelat beton bertulang berongga bola dengan ketebalan 12 cm (PB17), dengan sistem beton

Tidak terdapat variabel yang paling berpengaruh dikarenakan semua indikator menunjukkan angka signifikansi dibawah 2, sekalipun demikian variabel yang mendekati

Pengujian aktivitas antibakteri pada bakteri Eschericia coli dilakukan sama dengan pada pengujian aktivitas antibakteri Staphylococcus aureus dengan menggunakan

Keberadaan Majlis taklim sangatlah penting, Karena meskipun ada sebagian masyarakat yang tidak sempat mendapatkan pendidikan yang memadai mereka juga bisa belajar

Mahasiswa dinyatakan Habis Teori apabila telah mengumpulkan minimal sejumlah sks selain KKN, Kerja Praktek dan Skripsi/Tugas Akhir atau mata kuliah pengganti Skripsi

Bahwa benar pada tanggal 4 April 2015 saat ada pembayaran DP dari pembeli di Kantor Notaris, siang harinya Terdakwa menelpon Saksi-1 Suharjo kemudian Saksi-1