commit to user
HUBUNGAN ANTARA BODY IMAGE DAN KONFORMITAS
DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA SISWI
KELAS XI SMA NEGERI 7 SURAKARTA
SKRIPSI
Dalam Rangka Penyusunan Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh:
Jessica Sebayang
G0107058
Pembimbing:
1. Drs. Munawir Yusuf, M. Psi.
2. Aditya Nanda Priyatama, S. Psi., M.Si.
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang
tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia untuk dicabut derajat
kesarjanaan saya.
Surakarta, Agustus 2011
commit to user
commit to user
commit to user
v MOTTO
Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan,
daripada banyak harta dengan disertai kecemasan.
(Amsal 15: 16)
Kelilingi diri anda hanya dengan orang-orang yang akan mengangkat
anda lebih tinggi.
(Oprah Winfrey)
The most beautiful thing in the world is see your parent smiling,
and knowing that you’re the reason behind the smile.
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini didedikasikan kepada:
Orangtuaku yang selalu mendoakan dan melakukan yang terbaik untukku.
Kakak, adik, dan keluarga besar yang selalu mendukungku.
Seluruh guru dan pembimbing yang telah memberikan ilmunya.
Sahabat-sahabatku yang memberi warna dalam hidupku.
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala
kasih karunia-Nya kepada penulis, yang selalu memberkati, memberi kekuatan,
dan menyertai penulis dalam menyusun dan menyelesaikan karya ini. Satu hal
yang penulis sadari, bahwa karya ini dapat terselesaikan juga karena bantuan dari
berbagai pihak. Rasa terima kasih sudah sepantasnya penulis sampaikan dengan
hati yang tulus kepada segenap pihak dengan segala partisipasinya dalam
pelaksanaan dan penyelesaian karya ini. Untuk itu dengan kerendahan hati,
penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
a. Bapak Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp PD-KR-FINASIM selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Bapak Drs. Hardjono, M.Si. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan penguji utama yang
telah memberikan saran, masukan, sera dukungan yang berarti kepada
penulis.
c. Bapak Drs. Munawir Yusuf, M.Psi. selaku pembimbing utama atas segala
bimbingan, waktu, masukan, dan bantuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ini dengan lancar.
d. Bapak Aditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si. selaku pembimbing
pendamping dan pembimbing akademik atas segala bimbingan, bantuan,
nasehat, dan kesabaran dalam mengarahkan dan membimbing penulis selama
commit to user
viii
e. Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi. selaku Koordinator Skripsi Program Studi
Psikologi dan penguji pendamping atas segala bantuan, masukan, dan
kesediaannya untuk menjadi penguji penulis.
f. Seluruh staf pengajar di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta atas segala ilmu yang sangat berharga
selama penulis menempuh studi.
g. Staf tata usaha (Mas Dimas dan Mas Rian), staf perpustakaan (Mbak Ana),
dan seluruh pegawai (Bu Jan, Pak No, dll.) di Program Studi Psikologi atas
segala dukungan dan bantuannya selama ini.
h. Drs. Soekardjo, M.A. selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 7 Surakarta atas
ijin penelitian yang diberikan.
i. Ibu Sri Siswanti, S.Pd. selaku Wakahumas SMA Negeri 7 Surakarta dan
seluruh guru SMA Negeri 7 Surakarta atas segala bantuan, waktu, dan
masukannya sehingga penelitian penulis dapat berjalan secara lancar.
j. Seluruh siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta atas bantuan, kesediaan, dan
kerjasamanya untuk membantu penulis dalam penelitian.
k. Bapak dan Mama (Aleksander Sebayang, S.H., M.H. dan Dumaria, S.H.) atas
segala cinta kasih, doa, dukungan, dan pengorbanan yang tiada habisnya.
Semoga karya ini paling tidak dapat sedikit membanggakan bapak dan mama.
Love you Dad and Mom!
l. Kak Astrid dan Angel tersayang atas segala doa, dukungan, dan semangatnya.
commit to user
ix
m. Seluruh keluarga besar Sebayang dan keluarga besar Simorangkir atas segala
doa, semangat, dan dukungannya yang sangat berarti.
n. Ayu ‘gembul’ Yulita, Nurwidya ‘jidhen’ Rachmawati, Nurul ‘ijah’
Rahmawati, Noor ‘Nisong’ Fitriana A.P, dan Aan ‘Oneng’ Nurfitriana atas
segala tawa, tangis, canda, bantuan, dukungan, dan semangatnya selama ini.
Semoga persahabatan yang indah ini tidak akan pernah berakhir selamanya.
Tetap semangat untuk mengejar mimpi-mimpi kita!
o. Tumbal Shesa, Dewi Debok, Rifa Pabok, Ali Cantik, Halim, Nana Norak,
Disty, Rarat, Ipeh, Idudh, Apip, Citra, dan seluruh teman-teman angkatan
2007 atas suka, duka, canda, dan warna-warni 4 tahun selama ini. Suatu
kebanggaan dapat mengenal dan bersahabat dengan kalian semua.
p. Kakak tingkat 2004, 2005, dan 2006, serta adik tingkat 2008, 2009, dan 2010
atas bantuan, semangat, dan dukungannya selama ini secara langsung maupun
tidak langsung.
q. Ephik, Tutik, Tante Wulan, Mimi, Mbak Nurul, Mbak Dila, Ciput, dan
seluruh penghuni Kost Huru Hara Hura Hura atas segala bantuan, semangat,
tawa, tangis, dan hal-hal bodoh selama tinggal satu atap dengan kalian.
Penulis berharap semoga segala kebaikan dan bantuan anda dapat dibalas
oleh-Nya. Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi
yang membacanya.
Surakarta, Agustus 2011
commit to user
x ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA BODY IMAGE DAN KONFORMITAS
DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA SISWI KELAS XI SMA NEGERI 7 SURAKARTA
Jessica Sebayang
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Remaja merupakan salah satu target pemasaran potensial berbagai produk industri karena karakteristik remaja yang labil, spesifik, dan mudah dipengaruhi sehingga dapat mendorong munculnya perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif merupakan tindakan individu untuk membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan yang bukan prioritas kebutuhannya dan tanpa pertimbangan yang rasional, demi kepuasan fisik dan dorongan untuk memuaskan hasrat kesenangan semata. Individu dengan body image yang negatif dan tingkat konformitas yang tinggi dapat meningkatkan perilaku konsumtif individu tersebut.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui: 1. Hubungan antara body
image dan konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA
Negeri 7 Surakarta; 2. Hubungan antara body image dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta; 3. Hubungan antara konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Perilaku Konsumtif dengan koefisien korelasi Pearson sebesar -0,052-0,679 dan Reliabilitas Alpha 0,909; Skala Body Image dengan koefisien korelasi Pearson sebesar -0,052-0,693 dan Reliabilitas Alpha 0,902; serta Skala Konformitas dengan koefisien korelasi Pearson -0,056-0,667 dan Reliabilitas Alpha 0,738. Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis pertama adalah analisis regresi ganda, dan selanjutnya untuk menguji hipotesis kedua dan ketiga menggunakan analisis korelasi parsial.
Berdasarkan hasil analisis regresi ganda diperoleh nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,450; p = 0,000 (p<0,05) dan F hitung 9,527 > F tabel 3,12. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara body
image dan konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA
Negeri 7 Surakarta. Secara parsial menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara body image dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0,247; serta terdapat hubungan positif yang signifikan antara konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,309.
commit to user
xi ABSTRACT
THE RELATIONSHIP BETWEEN BODY IMAGE AND CONFORMITY
TOWARD CONSUMPTIVE BEHAVIOR OF THE XIth GRADE
FEMALE STUDENTS OF SMA NEGERI 7 SURAKARTA
Jessica Sebayang
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Adolecent belongs to one of the potential marketing targets for some industrial products regarding the adolescent characteristics of which labile, specific, and persuadable, so that effecting the appearance of consumptive behavior. Consumptive behavior is an individual action in purchasing or consuming goods or service excessively which is not the priority of need and without any rational consideration, for the sake of physical satisfaction and a drive for obtaining a desire of pleasure only. Individual with negative body image and high degree conformity tends to have high comsumptive behavior.
The purpose of this research is to find out: 1. The relationship between body image and conformity toward consumptive behavior of the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta; 2. The relationship between body image and consumptive behavior of the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta; 3. The relationship between conformity and consumptive behavior of the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta.
The population in this research is the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta. The instrument for data collection is Consumptive Behavior Scale with the Pearson Correlation Coefficient -0,052-0,679 and Alpha Reliability 0,909; Body Image Scale with the Pearson Correlation Coefficient -0,052-0,693 and Alpha Reliability 0,902; Conformity Scale with Pearson Correlation Coefficient -0,056-0,667 and Alpha Reliability 0,738. Data analysis technique used for examining the first hypothesis is multiple regression analysis while partial correlation analysis is used for examining the second hypothesis and the third one.
The multiple regression analysis showed that correlation coefficient (R) 0,450; p = 0.000 (p<0.05) and F count 9,527 > F table 3,12 meant that there was a significant correlation between body image and conformity toward consumptive behavior of the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta. The partial result showed that the coefficients correlation (r) -0,247, had meaning that, there was a significant negative correlation between body image and consumptive behavior of the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta with correlation coefficient (r) -0,247; and there was significant positive correlation between conformity and consumptive behavior of the XIth grade female students of SMA Negeri 7 Surakarta, and showed by the coefficient correlation which was (r) 0,309.
commit to user
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERNYATAAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... x
ABSTRACT ... xi
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Konsumtif ... 14
1. Pengertian Perilaku Konsumtif ... 14
commit to user
xiii
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif ... 20
B. Body Image ... 31
1. Pengertian Body Image... 31
2. Aspek-aspek Body Image... 34
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Body Image... 36
C. Konformitas ... 38
1.Pengertian Konformitas ... 38
2.Aspek-aspek Konformitas ... 41
3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas ... 43
D. Hubungan antara Body Image dan Konformitas dengan Perilaku Konsumtif ... 48
1. Hubungan antara Body Image dan Konformitas dengan Perilaku Konsumtif ... 48
2. Hubungan antara Body Image dengan Perilaku Konsumtif ... 53
3. Hubungan antara Konformitas dengan Perilaku Konsumtif ... 57
E. Kerangka Pemikiran ... 60
F. Hipotesis ... 61
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 62
B. Definisi Operasional ... 62
commit to user
xiv
2.Body Image ... 63
3.Konformitas ... 64
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 64
1. Populasi ... 64
2. Sampel ... 65
3. Teknik Pengambilan Sampel ... 65
D. Metode Pengumpulan Data ... 66
1.Sumber Data ... 66
2.Metode Pengumpulan Data ... 67
E. Validitas dan Reliabilitas ... 73
1. Validitas Instrumen... 73
2. Reliabilitas ... 74
F. Metode Analisis Data ... 74
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian ... 77
1. Orientasi Kancah Penelitian ... 77
2. Persiapan Alat Ukur ... 79
3. Pelaksanaan Uji Coba ... 80
4. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala ... 81
5. Penyusunan Alat Ukur untuk Penelitian ... 87
B. Pelaksanaan Penelitian ... 90
1.Penentuan Subjek Penelitian ... 90
commit to user
xv
3.Pelaksanaan Skoring ... 91
C. Analisis Data ... 92
1.Uji Asumsi ... 92
2.Uji Hipotesis ... 98
3.Analisis Deskriptif ... 101
4.Sumbangan Efektif dan Sumbangan Relatif ... 102
D. Pembahasan ... 103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 108
2. Saran ... 108
DAFTAR PUSTAKA ... 111
commit to user
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Sistem Penilaian Aitem Skala ... 68
Tabel 2. Blue Print Skala Perilaku Konsumtif Sebelum Uji-Coba ... 69
Tabel 3. Blue Print Skala Body Image Sebelum Uji-Coba ... 71
Tabel 4. Blue Print Skala Konformitas Sebelum Uji-Coba ... 72
Tabel 5. Distribusi Aitem Sahih dan Gugur Skala Perilaku Konsumtif setelah Uji Coba ... 83
Tabel 6. Hasil Analisis Reliabilitas Skala Perilaku Konsumtif ... 84
Tabel 7. Distribusi Aitem Sahih dan Gugur Skala Body Image setelah Uji Coba ... 85
Tabel 8. Hasil Analisis Reliabilitas Skala Body Image... 85
Tabel 9. Distribusi Aitem Sahih dan Gugur Skala Konformitas setelah Uji Coba ... 86
Tabel 10. Hasil Analisis Reliabilitas Skala Konformitas ... 87
Tabel 11. Distribusi Penyusunan Aitem Skala Perilaku Konsumtif untuk Penelitian ... 88
Tabel 12. Distribusi Penyusunan Aitem Skala Body Image untuk Penelitian ... 89
Tabel 13. Distribusi Penyusunan Aitem Skala Konformitas untuk Penelitian ... 89
Tabel 14. Hasil Uji Normalitas ... 93
commit to user
xvii
Tabel 16. Hasil Uji Linearitas Konformitas dengan Perilaku Konsumtif ... 94
Tabel 17. Hasil Uji Autokorelasi ... 95
Tabel 18. Hasil Uji Multikolinearitas ... 96
Tabel 19. Hasil Uji Heteroskedastisitas Lnei2 dengan LnX1 ... 97
Tabel 20. Hasil Uji Heteroskedastisitas Lnei2 dengan LnX2... 98
Tabel 21. Hasil Analisis Regresi Ganda ... 99
Tabel 22. Hasil Uji F-Test ... 99
Tabel 23. Hasil Analisis Korelasi Parsial antara Body Image dengan Perilaku Konsumtif ... 100
Tabel 24. Hasil Analisis Korelasi Parsial antara Konformitas dengan Perilaku Konsumtif ... 101
Tabel 25. Statistik Deskriptif ... 101
commit to user
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 60
Gambar 2. Struktur Organisasi SMA Negeri 7 Surakarta Tahun Ajaran
2011/2012 ... 79
commit to user
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Skala Uji Coba ... 115
Lampiran B. Distribusi Nilai Uji Coba Skala ... 127
Lampiran C. Validitas dan Reliabilitas Skala ... 135
Lampiran D. Skala Penelitian ... 139
Lampiran E. Distribusi Nilai Skala Penelitian ... 149
Lampiran F. Analisis Data ... 160
Lampiran G. Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif ... 165
Lampiran H. Surat Penelitian ... 172
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belanja adalah kata yang sering digunakan sehari-hari dalam konteks
perekonomian, sebagai salah satu cara konsumen untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan. Namun kata yang sama telah berkembang artinya sebagai suatu
cerminan gaya hidup dan rekreasi pada masyarakat kelas ekonomi tertentu.
Menurut Santoso (2006), fenomena komersialisasi belanja yang sangat gencar
dewasa ini, bukanlah sesuatu yang sudah ada sejak lama. Konsumsi yang
berlebihan pada masyarakat ini baru terjadi pada abad ke-20.
Sebelumnya, konsumsi yang dilakukan masyarakat hanya berdasarkan
kebutuhan (Santoso, 2006). Walaupun masyarakat memiliki keinginan untuk
mengikuti trend, gairah mereka belum didukung dengan promosi produk yang
berlimpah sehingga masyarakat mampu menahan keinginan untuk mengikuti
trend terbaru. Masalah ini kemudian dipecahkan dengan adanya teknologi baru
yang memampukan masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya yang ada.
Perkembangan teknologi yang pesat menyebabkan produsen dapat
memproduksi barang dengan lebih mudah dan cepat. Akibatnya, banyak produsen
yang memproduksi barang secara berlebihan. Kuantitas produk yang berlebihan
terjadi karena kemampuan masyarakat dalam melakukan pembelian. Masyarakat
semakin mudah untuk mengonsumsi produk dan sulit untuk berhenti. Senada
commit to user
2
perilaku kehilangan kendali terhadap belanja dan konsumsi yang sangat serupa
dengan bentuk ketagihan yang lain dan sebagian besar konsumen adalah kaum
wanita.
Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang
potensial. Hal ini disebabkan karena remaja yang mudah tertarik dan terbujuk
pada barang atau jasa yang sedang trend atau mengikuti mode. Perkembangan
pusat perbelanjaan dan mall yang pesat juga semakin memudahkan remaja untuk
mendapatkan barang atau jasa yang diinginkan. Dapat dilihat dalam data yang
dihimpun Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas, 2010) bahwa 50%
pengunjung pusat perbelanjaan atau mall adalah remaja. Pada awalnya, alasan
remaja mengunjungi mall hanya sebagai tempat berkumpul dengan teman-teman,
tetapi lambat laun mall justru menjadi tempat untuk remaja
menghambur-hamburkan uang dan berperilaku konsumtif.
Hasil penelitian Susianto (dalam Kotler, 2000) menunjukkan bahwa
remaja merupakan salah satu segmen penting pasar di Indonesia. Alasannya antara
lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Remaja biasanya
mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan
cenderung boros dalam menggunakan uangnya (Tambunan, 2001). Sifat-sifat
remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar
remaja karena belanja juga punya arti tersendiri bagi remaja.
Rank (dalam Sarwono, 2004) menjelaskan bahwa masa remaja merupakan
masa pembebasan kehendak dalam menuju terbentuknya kepribadian yang
commit to user
berpengaruh pada peningkatan kemandirian pada remaja, termasuk juga posisinya
sebagai konsumen. Remaja memiliki pilihan mandiri mengenai apa yang hendak
dilakukan dengan uangnya dan menentukan sendiri produk apa yang ingin dibeli.
Remaja memang sering dijadikan target pemasaran berbagai produk
industri, antara lain karena karakteristik mereka yang labil, spesifik, dan mudah
dipengaruhi sehingga akhirnya mendorong munculnya berbagai gejala dalam
perilaku membeli yang tidak wajar (Zebua dan Nurdjayadi, 2001). Membeli
dalam hal ini tidak lagi dilakukan karena produk tersebut memang tidak
dibutuhkan, namun membeli dilakukan karena alasan-alasan lain seperti sekedar
mengikuti arus mode, hanya ingin mencoba produk baru, ingin memperoleh
pengakuan sosial dan sebagainya (Aryani, 2006). Perilaku membeli yang tidak
sesuai kebutuhan semata-mata demi kesenangan sehingga menyebabkan
seseorang menjadi boros disebut sebagai perilaku konsumtif.
Menurut Sembiring (2009), perilaku konsumtif adalah perilaku
berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan
daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan
sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah. Perilaku konsumtif pada umumnya
terjadi pada remaja, akan tetapi dalam perkembangannya mereka akan menjadi
orang-orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif (Tambunan, 2001).
Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat
usia remaja sebaga usia peralihan dalam mencari identitas diri (Tambunan, 2001).
Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi
commit to user
4
orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti
berbagai atribut yang sedang trend.
Perilaku konsumtif dapat terus mengakar di dalam gaya hidup sekelompok
remaja. Dalam perkembangannya, mereka akan menjadi orang-orang dewasa
dengan gaya hidup konsumtif (Tambunan, 2001). Gaya hidup konsumtif ini harus
didukung oleh kekuatan finansial yang memadai. Masalah lebih besar terjadi
apabila pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala macam cara yang
tidak sehat. Mulai dari pola bekerja yang berlebihan sampai menggunakan cara
instan seperti korupsi. Pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki
dampak ekonomi, tapi juga dampak psikologis, sosial, bahkan etika.
Remaja berusaha menampilkan jati diri yang terbaik termasuk penampilan
fisik. Perhatian yang besar terhadap diri sendiri merupakan minat yang kuat pada
remaja putri (Hurlock, 2006). Perhatian ini ditunjukkan melalu kekhawatiran dan
perilaku membeli mereka terhadap barang-barang yang dapat merawat dan
meningkatkan penampilan. Media massa baik tayangan iklan di televisi maupun
majalah yang banyak menampilkan figur-figur ideal remaja dan menawarkan
produk-produk remaja akan mempengaruhi remaja untuk membeli produk
tersebut (Anin, dkk., 2007).
Menurut Cash dan Pruzinsky (2002), perasaan tidak puas terhadap tubuh
dan cara pandang individu terhadap berat badannya berhubungan dengan body
image seseorang. Body image mengacu pada persepsi menyeluruh mengenai
tubuh, termasuk pemikiran, perasaan, dan reaksi seseorang mengenainya (Adi,
commit to user
dalam pikiran individu itu sendiri, atau dengan kata lain gambaran tubuh individu
menurut individu itu sendiri.
Schilder (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002) menjelaskan bahwa body
image adalah gambaran tubuh seseorang mengenai tubuhnya sendiri yang
terbentuk dari pikirannya. Bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan
penilaian atas apa yang dipikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuh
atas bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya.
Menurut Smolak (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002), body image memiliki
dua konsep yaitu positif dan negatif. Body image positif dimiliki oleh individu
yang puas dengan keadaan fisiknya, sedangkan body image negatif dimiliki oleh
individu yang tidak puas dengan keadaan fisiknya.
Dalam memperoleh jati diri, remaja berusaha membentuk citra atau image
tentang dirinya dan upaya ini terlihat dalam suatu gambaran tentang bagaimana
setiap remaja mempersepsikan dirinya. Termasuk didalamnya bagaimana ia
mencoba menampilkan diri secara fisik (Zebua dan Nurdjayadi, 2001). Hal
tersebut membuat mereka sensitif terhadap gambaran fisik sehingga mendorong
mereka melakukan berbagai upaya agar tampilan fisiknya sesuai dengan tuntutan
komunitas sosial mereka.
Kecantikan dan kesempurnaan fisik menjadi ukuran ideal bagi remaja.
Banyak remaja yang berusaha mencapainya dengan bantuan kosmetik, fashion
yang up to date, menata rambut ke salon dengan mode mutakhir, sampai
melakukan koreksi di tiap bagian wajah dan tubuh. Hal tersebut sesuai dengan
commit to user
6
potensial untuk produk-produk seperti pakaian, sepatu, kosmetik, bahkan sampai
makanan. Keinginan untuk memenuhi tuntutan tersebut diduga mendorong remaja
untuk berperilaku konsumtif.
Sebagian besar remaja putri dari segala umur dan tempat tinggal, tidak
puas dengan penampilan fisiknya dan memiliki keinginan untuk memiliki berat
badan dan bentuk tubuh yang berbeda (Oswalt & Wyatt, 2007). Masa puber yang
menyebabkan perbedaan tubuh menuntut perubahan yang cukup bermakna dalam
konsep diri, dan dapat mengakibatkan krisis identitas terutama pada remaja putri.
Hal tersebut sesuai dengan penjabaran Atkinson, dkk. (2002) bahwa remaja putra
cenderung lebih puas dengan berat badan dibandingkan dengan remaja putri.
Remaja putri biasanya kurang puas dengan berat badan dan penampilan
mereka serta selalu membandingkan penampilan dengan standar daya tarik wanita
yang dipromosikan oleh media menekankan tubuh yang ramping. Remaja putri
akan menjadi lebih boros untuk membelanjakan uang sakunya untuk membeli
barang-barang yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan akan kecantikan dan
penampilan dirinya (Djudiyah dan Hadipranata, 2002).
Dari penjabaran tentang body image dapat diketahui bahwa remaja putri
yang memiliki body image positif tidak membutuhkan konsumsi berlebih akan
produk-produk untuk meningkat penampilan dirinya. Sebaliknya, body image
negatif dapat meningkatkan perilaku konsumtif pada remaja putri, dengan harapan
produk-produk yang dibeli dapat meningkatkan penampilan diri secara fisik.
Menurut Mangkunegara (2005), perilaku konsumtif dapat dipengaruhi oleh
commit to user
beberapa faktor salah satunya kelompok anutan, yang sering disebut juga
kelompok acuan atau kelompok referensi. Kelompok anutan didefinisikan sebagai
suatu kelompok orang yang mempengaruhi sikap, pendapat, norma, dan perilaku
konsumen.
Pengaruh kelompok anutan terhadap perilaku konsumtif antara lain
menentukan produk dan merek yang akan digunakan sesuai dengan aspirasi
kelompok. Penyesuaian dengan kelompok melibatkan perubahan keyakinan
individu sebagai reaksi terhadap tekanan kelompok. Kenyataannya memang
seseorang bisa bergabung dengan suatu kelompok karena dia mempunyai
kecocokan dengan tujuan dan norma-norma yang berlaku dalam kelompok
tersebut (Prasetijo dan Ihalauw, 2005).
Perilaku konsumtif pada remaja juga terkait dengan karakteristik
psikologis tertentu yang dimiliki oleh remaja yaitu tingkat konformitas terhadap
kelompok sebaya. Masa remaja merupakan tahapan peralihan antara masa
anak-anak dengan masa dewasa yang ditandai dengan berbagai perubahan baik dalam
aspek fisik, sosial, dan psikologis. Perubahan tersebut sebagai upaya menemukan
jati diri atau identitas diri. Upaya untuk menemukan jati diri berkaitan dengan
bagaimana remaja menampilkan dirinya. Mereka ingin kehadirannya diakui
sebagai bagian dari komunitas remaja secara umum dan secara khusus bagian dari
kelompok sebaya mereka (Aryani, 2006).
Menurut Baron dan Byrne (2003), konformitas adalah penyesuaian
perilaku remaja untuk menganut pada norma kelompok acuan, menerima ide, atau
commit to user
8
Indria dan Nindyati, 2007) berpendapat konformitas merupakan proses yang
bersifat relatif rasional, dimana individu membangun norma individu lain sebagai
acuan untuk dapat berperilaku dengan benar dan pantas.
Wiggins dan Zanden seperti yang dikutip Indria dan Nindyati (2007)
mendefinisikan konformitas sebagai tindakan yang mencerminkan adanya
penyesuaian perilaku individu dengan norma atau standar yang telah ditentukan
oleh individu lain. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa melakukan tindakan yang
sesuai dengan norma sosial yang terdapat dalam kelompok disebut sebagai
konformitas.
Konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang
lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka
(Santrock, 2003). Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat
pada masa remaja untuk dapat diterima dalam kelompok. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Baron, dkk. (dalam Sarwono dan Meinarno, 2009) yang
menjelaskan bahwa tekanan-tekanan untuk melakukan konformitas sangat kuat,
sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan
nilai-nilai personal dari individu.
Keinginan yang kuat untuk melepaskan diri dari keterikatan dengan orang
tua membuat remaja mencari dukungan sosial melalui teman sebaya. Dalam
kehidupan sosial, remaja banyak sekali dipengaruhi oleh teman sebaya. Biasanya
para remaja menghabiskan waktu dua kali lebih banyak dengan teman sebayanya
daripada dengan orang tuanya. Peer group menjadi suatu sarana sekaligus tujuan
commit to user
penjelasan, dan mendapatkan opini tentang definisi dirinya sendiri dari
teman-teman sebayanya (Santrock, 2003).
Konformitas teman sebaya pada remaja dapat menjadi positif dan negatif
(Santrock, 2003). Banyak ditemukan kasus perilaku remaja yang disebabkan
pengaruh buruk dari kelompok teman sebaya seperti menggunakan bahasa yang
asal-asalan, mencuri, mencoret-coret fasilitas umum, dan merokok. Namun,
banyak pula konformitas pada remaja yang tidak negatif dan merupakan
keinginan remaja untuk terlibat dalam dunia teman sebaya, misalnya berpakaian
seperti temannya, dan ingin menghabiskan waktu dengan anggota perkumpulan.
Sementara hampir semua remaja mengikuti tekanan teman sebaya dan
ukuran lingkungan sosial, beberapa remaja ada juga yang non-konformis atau
anti-konformitas. Non-konformis muncul ketika individu mengetahui apa yang
diharapkan oleh orang-orang disekitarnya, tapi mereka tidak menggunakan
harapan tersebut untuk mengarahkan tingkah laku mereka. Remaja yang
non-konformis sangat mandiri, sama seperti seorang siswa sekolah menengah atas
yang memilih tidak menjadi anggota suatu organisasi.
Anti-konformitas muncul ketika individu bereaksi menolak terhadap
harapan kelompok dan kemudian dengan sengaja menjauh dari tindakan atau
kepercayaan yang dianut oleh kelompok. Dua versi anti-konformitas masa kini
antara lain “skinheads” dan “punks” (Santrock, 2003).
Konformitas teman sebaya merupakan sesuatu hal yang umum dalam
kehidupan remaja (Hurlock, 2006). Dapat dilihat pada hampir tiap sisi kehidupan
commit to user
10
dan nilai-nilai yang ada. Bila remaja membeli barang hanya untuk memperoleh
pengakuan dari orang lain tanpa pertimbangan yang rasional, maka akan
menyebabkan remaja semakin terjerat dalam perilaku konsumtif.
Pada dasarnya tidaklah mudah bagi remaja untuk mengikatkan diri mereka
pada suatu kelompok karena kelompok memiliki tuntutan yang harus dapat
dipenuhi oleh setiap remaja yang ingin bergabung. Brown (dalam Santrock, 2003)
menyatakan bahwa orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya dapat membantu
remaja untuk menghadapi tuntutan dan tekanan teman sebaya. Perubahan
perkembangan yang terjadi pada masa remaja terkadang membawa rasa tidak
aman.
Para remaja sangat mudah terganggu karena rasa tidak aman tersebut dan
banyaknya perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Untuk mengatasi
tekanan ini, remaja perlu mengalami kesempatan sukses, baik di dalam maupun di
luar sekolah, yang dapat meningkatkan rasa kepemilikan akan kontrol atas
dirinya. Konformitas tidak selalu berdampak buruk, tetapi untuk perkembangan
pemikiran, untuk menghasilkan hal-hal yang baru dan kreatif, konformitas dapat
merugikan (Hollander, dalam Rakhmat, 2009).
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 7 Surakarta karena SMA Negeri 7
merupakan salah satu sekolah menengah atas favorit di Surakarta. Selain itu,
SMA Negeri 7 Surakarta dikenal sebagai “SMA Artis” karena beberapa siswanya
yang menjadi public figure di Indonesia (Kisawa, 2006). Oleh karena itu,
terbentuklah social image SMA Negeri 7 Surakarta sebagai sekolah yang elit bagi
commit to user
Berdasarkan observasi dan wawancara dengan pihak sekolah, mayoritas
siswa-siswi yang bersekolah di SMA Negeri 7 Surakarta berasal dari keluarga
kelas ekonomi menengah ke atas. Kemampuan finansial orang tua dan uang saku
yang tinggi dapat meningkatkan perilaku konsumtif remaja (Djudiyah dan
Hadipranata, 2002). Peneliti menggunakan siswi kelas XI karena siswi yang
duduk di kelas XI berada dalam batasan usia remaja dan remaja putri cenderung
memiliki tradisi konsumtif yang lebih tinggi dibandingkan remaja putra (Djudiyah
dan Hadipranata, 2002).
Berdasarkan latar belakang dan uraian yang telah dipaparkan di atas,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara Body
Image dan Konformitas dengan Perilaku Konsumtif pada Siswi Kelas XI SMA
Negeri 7 Surakarta”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat hubungan antara body image dan konformitas dengan perilaku
konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta?
2. Apakah terdapat hubungan antara body image dengan perilaku konsumtif pada siswi
kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta?
3. Apakah terdapat hubungan antara konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi
commit to user
12
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini, yaitu:
A. Mengetahui hubungan antara body image dan konformitas dengan perilaku
konsumtif pada siswi kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta.
B. Mengetahui hubungan antara body image dengan perilaku konsumtif pada siswi
kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta.
C. Mengetahui hubungan antara konformitas dengan perilaku konsumtif pada siswi
kelas XI SMA Negeri 7 Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini ada dua, yaitu:
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran pada berbagai bidang psikologi, terutama bidang psikologi sosial,
psikologi industri, dan psikologi perkembangan, yakni memberikan sumbangan
tentang pentingnya body image yang positif dan konformitas yang sesuai untuk
mencegah perilaku konsumtif pada remaja putri, terutama siswi sekolah menengah
atas.
2. Manfaat Praktis
1. Bagi siswi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan
agar dapat mensyukuri pertumbuhan dan penampilan fisiknya serta menyesuaikan
tingkat konformitas yang tepat terhadap lingkungan, agar tidak terjerumus dalam
perilaku konsumtif.
2. Bagi orang tua, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
commit to user
dibutuhkan daripada yang diinginkan dalam upaya mencegah perilaku konsumtif
dan tidak membiasakan membelikan barang atau hal yang diinginkan anak.
3. Bagi guru, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengontrol dan
memberikan intervensi atau pencegahan peningkatan perilaku konsumtif di
kalangan remaja, khususnya siswi sekolah menengah atas.
4. Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi
dalam penelitian lain yang relevan dan berkaitan dengan body image,
konformitas, dan/atau perilaku konsumtif pada remaja putri, terutama siswi
commit to user
14 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perilaku Konsumtif
1. Pengertian Perilaku Konsumtif
Tambunan (2001) mendefinisikan perilaku konsumtif sebagai keinginan
untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara
berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal. Menurut Zebua dan
Nurdjayadi (2001), perilaku konsumtif menggambarkan suatu tindakan yang
tidak rasional dan bersifat kompulsif sehingga secara ekonomis menimbulkan
pemborosan dan inefisiensi biaya. Individu dengan tindakan tidak rasional dan
kompulsif selalu merasa belum lengkap dan mencari kepuasan dengan
membeli barang-barang yang baru.
Mengacu pada pendapat dari Engel, dkk. (2008) yang menyatakan
bahwa gaya hidup merupakan suatu refleksi dari aktivitas, minat, dan opini
individu, maka perilaku konsumtif sering dikaitkan dengan gaya hidup
individu. Dapat dikatakan individu dengan gaya hidup yang menghabiskan
banyak waktu dan uang untuk hal-hal tidak berguna, berlebihan, atau tidak
sesuai dengan kebutuhan, dapat dikategorikan sebagai perilaku konsumtif.
Fransisca dan Suyasa (2005) memberi pengertian perilaku konsumtif
sebagai tindakan membeli barang bukan untuk mencukupi kebutuhan tetapi
untuk memenuhi keinginan, yang dilakukan secara berlebihan sehingga
commit to user
dan Suyasa, 2005) berpendapat perilaku konsumtif adalah tindakan membeli
dan mengkonsumsi barang yang tidak bermanfaat secara berlebihan untuk
memenuhi keinginannya.
Pada umumnya, manusia akan memenuhi kebutuhan primer sebelum
memenuhi kebutuhan sekunder dan keinginannya. Maslow (dalam Sobur,
2003) menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan fisiologis
seperti makanan, pakaian, dan tempat berteduh. Ia akan menahan kebutuhan
dan keinginan lain, sebelum kebutuhan primer terpenuhi. Tetapi, individu
dengan perilaku konsumtif dapat menekan kebutuhannya hanya sekedar untuk
memenuhi hasrat dan keinginannya semata.
Pembelian barang individu tidak lagi dilihat dari nilai pakainya yaitu
untuk mencukupi kebutuhan tetapi digunakan untuk memenuhi keinginannya.
Individu tidak lagi mengenali kebutuhan sesungguhnya, namun justru selalu
tergoda untuk memuaskan keinginan sesaatnya.
Remaja yang sedang berada dalam masa peralihan dari masa
kanak-kanak dengan suasana hidup penuh ketergantungan pada orang tua menuju
masa dewasa yang bebas, mandiri dan matang (Santrock, 2003). Termasuk
bagaimana remaja terutama remaja putri berusaha menampilkan diri secara
fisik, hal ini agar sesuai dengan komunitas mereka. Atau bisa juga dengan
pengaruh iklan, karena akan timbul keinginan untuk berbelanja seperti halnya
iklan yang ditayangkan di televisi. Keinginan ini mendorong remaja untuk
commit to user
16
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa perilaku konsumtif merupakan tindakan individu untuk membeli atau
mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan yang bukan merupakan
prioritas kebutuhannya dan tanpa pertimbangan yang rasional, demi kepuasan
fisik dan dorongan untuk memuaskan hasrat kesenangan.
2. Karakteristik-karakteristik Perilaku Konsumtif
Menurut Sumartono (dalam Fransisca dan Suyasa, 2005) terdapat
delapan karakteristik perilaku konsumtif. Seperti halnya aspek, karakteristik
dapat dijadikan sebagai dasar perumusan indikator perilaku yang operasional
(Azwar, 2009). Karakteristik-karakteristik perilaku konsumtif tersebut, yaitu:
a. Membeli karena ingin mendapatkan hadiah menarik.
Pembelian tidak lagi melihat manfaatnya akan tetapi tujuannya hanya
untuk mendapatkan hadiah yang ditawarkan.
b. Membeli karena kemasan produk menarik.
Individu tertarik untuk membeli suatu produk karena kemasannya yang
berbeda dari yang lain. Kemasan produk yang menarik dan unik dapat
membuat individu tertarik untuk membeli produk tersebut.
c. Membeli karena ingin menjaga penampilan diri dan gengsi.
Gengsi membuat individu lebih membeli produk yang dianggap dapat
menjaga penampilan diri, dibandingkan membeli barang lain yang lebih
commit to user
d. Membeli karena program potongan harga.Pembelian suatu produk bukan atas dasar manfaat atau kegunaannya, akan
tetapi produk dibeli karena harga yang ditawarkan menarik.
e. Membeli produk demi menjaga status sosial.
Individu menganggap produk yang digunakan adalah suatu simbol dari
status sosialnya.
f. Memakai produk karena pengaruh model yang mengiklankan produk.
Individu membeli produk karena tertarik untuk bisa mirip seperti model
iklan tersebut, ataupun karena model yang diiklankan adalah seorang idola
dari pembeli.
g. Penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan
rasa percaya diri yang tinggi.
Individu membeli produk bukan berdasarkan kebutuhan tetapi karena
memiliki harga yang mahal sehingga dapat menambah kepercayaan
dirinya.
h. Membeli lebih dari dua produk sejenis dengan merek yang berbeda.
Membeli produk sejenis dengan merek berbeda akan menimbulkan
pemborosan karena sebenarnya individu sudah cukup dengan memiliki
satu produk saja.
Konsumtif menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang
secara berlebihan yang sebenarnya kurang diperlukan untuk mencapai
commit to user
18
(2001) mengemukakan bahwa terdapat dua aspek mendasar dalam perilaku
konsumtif, yaitu:
1. Adanya suatu keinginan mengkonsumsi secara berlebihan.
Hal ini akan menimbulkan pemborosan dan bahkan inefisiensi biaya,
apalagi bagi remaja yang belum mempunyai penghasilan sendiri.
a. Pemborosan
Perilaku konsumtif yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai
produknya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan
pokok. Perilaku ini hanya berdasarkan pada keinginan untuk
mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan
secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal.
b. Inefisiensi biaya
Pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja yang biasanya
mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis,
dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya sehingga
menimbulkan inefisiensi biaya.
2. Perilaku tersebut dilakukan bertujuan untuk mencapai kepuasan semata.
Kebutuhan yang dipenuhi bukan merupakan kebutuhan yang utama
melainkan kebutuhan yang dipenuhi hanya sekedar mengikuti arus mode,
ingin mencoba produk baru, ingin memperoleh pengakuan sosial tanpa
memperdulikan apakah memang dibutuhkan atau tidak. Padahal hal ini
commit to user
merasa harus tetap mengikuti perkembangan dan tidak ingin dibilang
ketinggalan mode.
a. Mengikuti mode
Pada kalangan remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi
yang cukup berada, terutama di kota-kota besar, pusat-pusat
perbelanjaan seperti mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin
menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang
beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja
tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya.
b. Memperoleh pengakuan sosial
Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila
melihat usia remaja sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri.
Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha
menjadi bagian dari lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima dan
menjadi sama dengan orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja
berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang trend.
Berdasarkan karakteristik-karakteristik perilaku konsumtif yang
dikemukakan Sumartono (dalam Fransisca dan Suyasa, 2005) yang bersifat
penjelasan terhadap tindakan individu yang melakukan pembelian karena
keinginan dan bukan karena kebutuhan, peneliti menggunakan
karakteristik-karakteristik dari Sumartono untuk pengukuran skala perilaku konsumtif dalam
commit to user
20
Karakteristik-karakteristik perilaku konsumtif dari Sumartono (dalam
Fransisca dan Suyasa, 2005) yang digunakan sebagai landasan dalam
penyusunan skala perilaku konsumtif dalam penelitian ini, meliputi: a.
membeli karena ingin mendapatkan hadiah menarik, b. membeli karena
kemasan produk menarik, c. membeli untuk menjaga penampilan diri dan
gengsi, d. membeli karena potongan harga, e. membeli demi menjaga status
sosial, f. memakai produk karena pengaruh model yang mengiklankan produk,
g. penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan
rasa percaya diri yang tinggi, serta h. membeli lebih dari dua produk sejenis
dengan merek berbeda.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif
Menurut Kotler (2000), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku membeli yang memiliki andil dalam pembentukan perilaku konsumtif
ada dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut terdiri
dari beberapa sub-faktor, antara lain:
a. Faktor Internal
Faktor internal terdiri dari dua faktor yaitu faktor pribadi dan faktor
psikologis. Faktor-faktor tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Faktor pribadi
Keputusan untuk membeli sangat dipengaruhi oleh karakteristik
commit to user
a) UsiaOrang-orang membeli barang dan jasa yang berbeda sepanjang
hidupnya. Remaja yang berada pada usia yang rentan dalam
mencari identitas diri, dapat lebih mudah berperilaku konsumtif.
Remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan
teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan
uangnya (Tambunan, 2001).
b)Pekerjaan
Pekerjaan yang dilakukan oleh individu sangat mempengaruhi gaya
hidup dan merupakan basis penting untuk menyampaikan prestise,
kehormatan, dan respek (Engel, dkk., 2008). Individu dengan
pekerjaan yang berbeda akan mempunyai kebutuhan yang berbeda
pula. Hal ini dapat menyebabkan individu berperilaku konsumtif
untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaannya.
c) Keadaan ekonomi
Pilihan produk sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi.
Penghasilan yang dapat dibelanjakan, tabungan, dan kemampuan
untuk meminjam dapat mempengaruhi perilaku konsumsi individu
(Kotler dan Keller, 2008). Orang dengan tingkat ekonomi yang
tinggi akan cenderung lebih sering membelanjakan uangnya untuk
membeli barang-barang, sedangkan orang dengan tingkat ekonomi
rendah akan cenderung lebih hemat.
commit to user
22
Kotler (2000) menyatakan bahwa gaya hidup adalah pola hidup
individu di dunia yang diungkapkan dalam kegiatan, minat, dan
pendapat. Robbins (dalam Santoso, 2006) berpendapat bahwa
kebiasaan melakukan pembelian telah bertransformasi dan produksi
barang-barang mewah meningkat sehingga dianggap menjadi
sebuah kebutuhan oleh masyarakat. Hal tersebut dapat
meningkatkan gaya hidup konsumtif pada masyarakat.
e) Kepribadian
Kepribadian merupakan sesuatu yang unik atau khas pada diri
setiap orang (Sobur, 2003). Kepribadian dapat menentukan pola
hidup individu, demikian pula perilaku konsumtif pada individu
dapat dilihat dari tipe kepribadiannya.
2) Faktor psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku konsumtif, antara lain:
a) Motivasi
Sobur (2003) berpendapat bahwa motivasi berarti membangkitkan
motif, meningkatkan daya gerak, atau menggerakkan individu
untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau
tujuan. Motivasi yang tinggi untuk membeli suatu produk akan
membuat individu cenderung membeli barang tanpa berpikir secara
matang apakah mereka memang membutuhkan barang tersebut
atau hanya menginginkannya untuk kepuasan.
commit to user
Persepsi merupakan proses bagaimana individu menyeleksi,
mengatur, dan menginterpretasi masukan-masukan informasi untuk
menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti (Kotler, 2000).
Banyaknya stimuli-stimuli fisik dan lingkungan sekitar yang
berkaitan dengan barang, dapat mempengaruhi persepsi individu
untuk membeli barang tersebut.
c) Pengetahuan
Sebagian besar perilaku manusia dipelajari. Pengetahuan
menjelaskan perubahan dalam perilaku suatu individu yang berasal
dari pengalaman (Kotler dan Keller, 2008). Individu akan
cenderung kembali membeli suatu barang, jika sudah pernah
membeli barang yang sama dan merasa puas akan kualitas barang
tersebut. Hal tersebut dapat membuat individu untuk terus membeli
sehingga menjadi konsumtif.
d) Kepercayaan dan sikap pendirian
Melalui bertindak dan belajar, individu akan memperoleh
kepercayaan dan pendirian (Kotler, 2000). Kepercayaan pada
penjual yang berlebihan dan dengan pendirian yang tidak stabil,
commit to user
24
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal terdiri dari dua faktor yaitu faktor budaya dan faktor
sosial. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku konsumtif,
antara lain:
1) Faktor budaya
Faktor budaya mempunyai pengaruh yang paling besar dalam
pembentukan perilaku konsumtif individu. Faktor-faktor tersebut,
antara lain:
a) Kebudayaan
Menurut Santrock (2003), budaya didefinisikan sebagai tingkah
laku, pola-pola, keyakinan, dan semua produk dari kelompok
manusia tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Budaya
merupakan determinan paling fundamental dari keinginan dan
perilaku individu (Kotler, 2000). Jika individu tumbuh pada
kebudayaan dimana sebagian besar masyarakatnya berperilaku
konsumtif, maka dapat terbentuk perilaku konsumtif pada individu
tersebut.
b) Kelas sosial
Menurut Mangkunegara (2005), pada dasarnya kelas sosial
masyarakat dapat dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu
golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Dalam
hubungannya dengan perilaku konsumtif, kelas sosial dapat
commit to user
1) Kelas sosial golongan atas memiliki kecenderungan membeli
barang-barang yang mahal, membeli pada toko yang
berkualitas dan lengkap (supermarket atau mall), konservatif
dalam konsumsinya, barang-barang yang dibeli cenderung
untuk dapat menjadi warisan bagi keluarganya.
2) Kelas sosial golongan menengah cenderung membeli barang
untuk menampakkan kekayaannya, membeli barang dengan
jumlah banyak dan kualitasnya cukup memadai. Mereka
berkeinginan membeli barang yang mahal dengan sistem
kredit, misalnya membeli kendaraan, rumah mewah, dan
perabot rumah tangga.
3) Kelas sosial golongan rendah cenderung membeli dengan
mementingkan kuantitas daripada kualitasnya. Pada umumnya
mereka membeli barang-barang yang diobral atau penjualan
dengan harga promosi.
2) Faktor sosial
Perilaku konsumtif juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial
seperti kelompok acuan, keluarga, serta peran dan status sosial.
a) Kelompok acuan
Solomon (2007) mendefinisikan kelompok acuan sebagai individu
atau sekelompok orang yang dianggap memiliki relevansi yang
signifikan pada individu dalam hal mengevaluasi, memberikan
commit to user
26
mempengaruhi dan konsep diri individu karena biasanya individu
berhasrat untuk sesuai dengan kelompok tersebut. Individu yang
berada dalam kelompok acuan yang konsumtif, dapat terpengaruh
menjadi berperilaku konsumtif agar dapat diterima oleh kelompok
acuannya.
b) Keluarga
Prasetijo dan Ihalauw (2005) menjelaskan bahwa keluarga sangat
menentukan perilaku, termasuk dalam pemilihan produk dan
aktivitas pembelian individu. Dari keluargalah, individu belajar dan
bersosialisasi untuk menjadi konsumen. Orang tua yang konsumtif,
secara langsung maupun tidak langsung dapat mendidik anaknya
untuk berperilaku konsumtif.
c) Peran dan status
Suatu peran terdiri dari kegiatan-kegiatan yang diharapkan
dilakukan oleh individu, dan kemudian peran tersebut membawa
suatu status (Kotler, 2000). Orang-orang memilih produk yang
mengkomunikasikan peran dan status mereka dalam masyarakat.
Menurut Engel, dkk. (2008), perilaku konsumen merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan dengan perilaku konsumtif. Oleh karena itu,
faktor-faktor perilaku konsumen juga berkaitan dengan faktor-faktor-faktor-faktor perilaku
konsumen. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kategori
yaitu pengaruh lingkungan, perbedaan dan pengaruh individual, serta proses
commit to user
a. Faktor LingkunganFaktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku pembelian
konsumtif, antara lain:
1) Budaya
Budaya mengacu pada nilai, gagasan, artefak, dan simbol-simbol lain
yang bermakna yang membantu individu untuk berkomunikasi,
melakukan penafsiran dan evaluasi sebagai anggota masyarakat
(Engel, dkk., 2008). Budaya dapat mempengaruhi penggerak yang
memotivasi individu untuk mengambil tindakan lebih jauh termasuk
berperilaku konsumtif.
2) Kelas sosial
Kelas sosial merupakan pembagian di dalam masyarakat yang terdiri
dari individu-individu yang berbagi nilai, minat, dan perilaku yang
sama. Kelas sosial mengacu pada pengelompokan orang yang sama
dalam perilaku mereka berdasarkan posisi ekonomi mereka di dalam
pasar (Engel, dkk., 2008). Pekerjaan, pendapatan, dan kekayaan yang
menentukan kelas sosial dapat mempengaruhi berapa banyak yang
harus dibelanjakan oleh individu, tidak hanya untuk kebutuhan
melainkan juga untuk mendapatkan kehormatan.
3) Pengaruh pribadi
Sebagai konsumen, perilaku individu kerap dipengaruhi oleh individu
atau kelompok lain yang berhubungan erat dengannya (Engel, dkk.,
commit to user
28
menyesuaikan diri dengan norma dan harapan yang diharapkan.
Pengaruh pribadi merupakan subjek penting dalam menentukan
perilaku konsumtif individu.
4) Keluarga
Menurut Kotler dan Keller (2008), keluarga merupakan organisasi
pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat dan para
anggota keluarga menjadi kelompok acuan primer yang paling
berpengaruh. Dapat dibedakan dua jenis keluarga dalam kehidupan
konsumen, yaitu keluarga orientasi dan keluarga prokreasi. Keluarga
orientasi terdiri dari orang tua dan saudara kandung. Keluarga
prokreasi terdiri dari pasangan dan anak. Perilaku konsumtif individu
kerap disebabkan oleh pengaruh didikan dari keluarga.
5) Situasi
Perilaku berubah ketika situasi berubah. Pengaruh situasi dapat
dipandang sebagai pengaruh yang timbul dari faktor yang khusus
untuk waktu dan tempat yang spesifik yang lepas dari karakteristik
konsumen dan karakteristik objek (Engel, dkk., 2008). Situasi yang
dapat berpengaruh pada perilaku konsumtif dapat dibagi menjadi tiga
jenis utama yaitu situasi komunikasi, situasi pembelian, dan situasi
pemakaian.
1. Situasi komunikasi, didefinisikan sebagai latar dimana individu
dihadapkan pada komunikasi pribadi atau non-pribadi. Komunikasi
commit to user
saat pembelian, seperti wiraniaga atau sesama konsumen.
Komunikasi non-pribadi mencakup iklan dan program serta
publikasi yang berorientasi konsumen.
2. Situasi pembelian, mengacu pada latar ketika individu melakukan
pembelian produk atau jasa. Pengaruh situasi sangat lazim terjadi
selama pembelian.
3. Situasi pemakaian, mengacu pada latar dimana konsumsi terjadi.
Lingkungan sosial saat produk dipakai atau digunakan dan waktu
dimana pemakaian terjadi dapat pula mempengaruhi perilaku
konsumtif.
b. Faktor Perbedaan Individu
Faktor perbedaan individu dapat dibagi menjadi lima, yaitu:
1. Sumber daya konsumen
Kuantitas sumber daya ekonomi yang dimiliki individu dapat
mempengaruhi perilaku konsumtifnya (Engel, dkk., 2008). Semakin
tinggi sumber daya ekonomi yang dimiliki, dapat semakin
meningkatkan perilaku konsumtif individu.
2. Motivasi dan keterlibatan
Perilaku yang termotivasi diprakarsai oleh pengaktifan kebutuhan.
Kebutuhan atau motif diaktifkan ketika ada ketidakcocokan yang
memadai antara keadaan aktual dengan keadaan yang diinginkan.
Keterlibatan adalah tingkat kepentingan pribadi yang dirasakan dan
commit to user
30
(Engel, dkk., 2008). Keterlibatan adalah faktor penting dalam mengerti
motivasi. Keterlibatan mengacu pada tingkat relevansi yang disadari
dalam tindakan pembelian dan konsumsi. Bila keterlibatan tinggi, ada
motivasi untuk memperoleh dan mengolah informasi sehingga
kemungkinan untuk timbulnya perilaku konsumtif semakin tinggi.
3. Pengetahuan
Pengetahuan konsumen terdiri dari informasi yang disimpan di dalam
ingatan. Informasi yang dipegang oleh individu mengenai produk akan
sangat mempengaruhi pola pembeliannya (Engel, dkk., 2008).
Semakin banyak dan baik informasi yang didapat individu tentang
suatu produk, maka individu akan semakin percaya pada produk
tersebut dan mempengaruhi perilaku konsumtifnya.
4. Sikap
Engel, dkk. (2008) mengemukakan bahwa sikap pada umumnya
memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku. Dalam
memutuskan produk apa yang akan dibeli, atau toko mana yang akan
menjadi langganan, individu akan memilih produk dan toko yang
dievaluasi paling menguntungkan baginya.
5. Kepribadian, gaya hidup, dan demografi
Kepribadian didefinisikan sebagai respons yang konsisten terhadap
stimulus lingkungan. Kepribadian merupakan perluasan fokus untuk
mencakupi gaya hidup yaitu pola yang digunakan orang untuk hidup
commit to user
dapat mempengaruhi perilaku konsumtif antara lain usia, pendapatan,
dan pendidikan (Engel, dkk., 2008).
c. Faktor Psikologis
Faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi perilaku konsumtif
yaitu pengolahan informasi, pembelajaran, serta perubahan sikap dan
perilaku. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan dalam mempengaruhi
perilaku konsumtif. Pengolahan informasi menyampaikan cara-cara
dimana informasi ditransformasikan, dikurangi, dirinci, disimpan,
didapatkan kembali, dan digunakan. Informasi yang didapatkan tersebut
merupakan proses belajar individu. Kemudian, pembelajaran merupakan
proses dimana pengalaman menyebabkan perubahan dalam pengetahuan,
sikap, dan perilaku individu (Engel, dkk., 2008). Oleh karena itu, ketiga
faktor tersebut dapat mempengaruhi timbulnya perilaku konsumtif.
Berdasarkan uraian para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku konsumtif, yaitu usia,
keadaan ekonomi, gaya hidup, kepribadian, motivasi, pengetahuan,
kebudayaan, kelas sosial, keluarga, dan kelompok acuan.
B. Body Image
1. Pengertian Body Image
Schilder (dalam Cash dan Pruzinsky, 2002) mendefinisikan body image
sebagai gambaran individu mengenai tubuhnya yang terbentuk dari pikiran
commit to user
32
seseorang tentang tubuhnya. Rosen (dalam Sukamto, 2006) mengemukakan
bahwa body image individu dapat berubah walaupun penampilan fisiknya tidak
berubah.
Menurut Thompson (2000), body image adalah evaluasi terhadap
ukuran tubuh seseorang, berat ataupun aspek tubuh lainnya yang mengarah
pada penampilan fisik. Lebih lanjut, Slade (dalam Sousa, 2008)
mengemukakan bahwa body image merupakan gambaran seluruh tubuh yang
terbentuk dari ilustrasi mental yang berhubungan dengan dimensi emosi
individu mengenai ukuran, citra, dan bentuk tubuhnya.
[image:51.612.145.507.227.460.2]Rice (dalam Sukamto, 2006) mengemukakan bahwa body image adalah
gambaran mental yang dimiliki seseorang tentang tubuhnya yang meliputi
pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, penilaian-penilaian, sensasi-sensasi,
kesadaran dan perilaku yang terkait dengan tubuhnya. Body image yang sehat
atau positif ditandai oleh adanya gambaran mental yang akurat tentang tubuh
dan perasaan, serta relasi dengan tubuh yang positif dan percaya diri.
Body image merupakan sebuah konsep psikologis yang bersifat
subjektif, sehingga konsep ini sebenarnya tidak bergantung pada penampilan
fisik individu. Individu yang telah berhasil menurunkan berat badannya atau
menjadi lebih cantik mungkin saja masih memiliki body image negatif. Hal
tersebut menurut Brehm (dalam Sukamto, 2006) disebabkan oleh adanya
kesenjangan yang besar antara standar kecantikan yang berlaku dengan bentuk
commit to user
Freedman (dalam Sukamto, 2006) menambahkan bahwa tinggi
rendahnya ketidakpuasan terhadap body image ditentukan oleh seberapa
besarnya kesesuaian antara tubuh yang senyatanya dengan norma kecantikan
yang berlaku di lingkungan sosialnya. Jika terdapat kesenjangan yang besar
antara tubuh yang ideal dengan tubuh senyatanya, maka mayoritas perempuan
akan memandang diri mereka sendiri sebagai orang yang tidak dapat
menyesuaikan diri dan merasa dituntut untuk membentuk diri mereka agar
sesuai dengan bentuk tubuh yang ideal (Sukamto, 2006).
Menurut Santrock (2003), salah satu aspek psikologis dari perubahan
fisik di masa pubertas yaitu remaja menjadi amat memperhatikan tubuh mereka
dan membangun image-nya sendiri mengenai bagaimana tubuh mereka
tampak. Sesuai dengan pendapat Hamburg dan Wright (dalam Santrock, 2003)
yang menyatakan bahwa perhatian yang berlebihan terhadap body image,
menjadi amat kuat pada masa remaja, terutama amat mencolok selama
pubertas, saat remaja lebih tidak puas akan keadaan tubuhnya dibandingkan
dengan masa akhir remaja.
Lebih lanjut, Gross (dalam Santrock, 2003) berpendapat perbedaan
gender menandai persepsi remaja mengenai tubuh mereka. Pada umumnya,
remaja putri lebih kurang puas dengan keadaan tubuhnya dan memiliki tingkat
body image negatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja putra. Hal
tersebut diperkuat dengan penelitian Siegel, dkk. (dalam Sukamto, 2006) yang
menemukan bahwa remaja putri lebih depresif terhadap body image daripada
commit to user
34
Remaja putri seringkali menjadi lebih tidak puas dengan keadaan
tubuhnya karena massa lemak tubuh yang meningkat, sedangkan remaja putra
menjadi lebih puas dengan memasuki masa pubertas karena massa otot yang
meningkat. Menurut Gideon (dalam Suprapto dan Aditomo, 2007), remaja
dengan body image negatif menganggap dirinya tidak menarik. Remaja merasa
tidak memenuhi standar kecantikan masyarakat, merasa tidak berharga, dan
merasa tidak menerima penerimaan positif dari dirinya serta orang lain.
Berdasarkan beberapa pengertian body image di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa body image merupakan gambaran mental, perasaan, dan
persepsi individu yang berkaitan dengan ukuran tubuh, bentuk tubuh, dan berat
tubuh yang mengarah pada kepuasan penampilan fisiknya.
2. Aspek-aspek Body Image
Cash dan Pruzinsky (2002) mengemukakan bahwa terdapat lima aspek
pada body image, yaitu:
a. Appearance Evaluation (Evaluasi Penampilan)
Mengukur perasaan individu mengenai penampilannya, apakah merasa
menarik atau tidak menarik, memuaskan atau tidak memuaskan, yang
secara intrinsik terkait pada kebahagiaan atau kenyamanan individu
commit to user
b. Appearance Orientation (Orientasi Penampilan)Merupakan tingkat perhatian individu terhadap penampilan dirinya serta
usaha yang dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan penampilan
dirinya.
c. Body Area Satisfaction (Kepuasan Area Tubuh)
Merupakan cara individu untuk mengukur tingkat kepuasan terhadap
bagian tubuh secara spesifik seperti wajah, rambut, tubuh bagian atas
(bahu, dada, lengan), tubuh bagian tengah (pinggang, perut), tubuh bagian
bawah (pantat, pinggul, paha, betis) dan penampilan tubuh secara
keseluruhan.
d. Overweight Occupation (Kecemasan akan Kegemukan)
Menggambarkan kecemasan individu terhadap kegemukan dan
kewaspadaannya terhadap berat badan yang dapat dilihat melalui perilaku
individu dalam aktivitas sehari-hari seperti kecenderungan melakukan diet
untuk menurunkan berat badan dan membatasi pola makan.
e. Self Classified Weight (Pengkategorian Ukuran Tubuh)
Mengukur bagaimana individu mempersepsi dan menilai berat badannya,
dari sangat kurus sampai sangat gemuk.
Dalam penelitian ini, aspek-aspek body image menurut Cash dan
Pruzinsky (2002) digunakan dalam penyusunan skala body image.
Aspek-aspek body image tersebut yaitu appearance evaluation (evaluasi penampilan),
commit to user
36
(kepuasan area tubuh), overweight occupation (kecemasan akan kegemukan),
dan selfclassified weight (pengkategorian ukuran tubuh).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Body Image
Cash dan Pruzinsky (2002) mengemukakan bahwa terdapat tiga faktor
yang dapat mempengaruhi pembentukan body image, yaitu:
a. Media Massa
Isi tayangan media sangat mempengaruhi perkembangan body image
remaja putri (Cash dan Pruzinsky, 2002). Media sering menggambarkan
standar kecantikan wanita yang memiliki tubuh yang ideal dengan wanita
yang bertubuh kurus dan tinggi. Hal ini membuat banyak remaja putri
semakin tersugesti bahwa tubuh yang kurus adalah tubuh yang ideal dan
sehat. Pada umumnya, remaja putri sangat tertarik pada majalah-majalah
fashion dan iklan yang selalu menyajikan gambar model yang bertubuh
tinggi, kurus, dan berkulit mulus (Levin dan Smolak, dalam Cash dan
Pruzinsky, 2002). Figur model yang ideal tersebut banyak menyebabkan
remaja putri semakin tidak puas dengan penampilan fisiknya, terutama
pada remaja yang telah memiliki body image negatif sebelumnya.
b. Keluarga
Body image remaja putri memiliki hubungan dengan sikap dan perilaku
yang berkaitan dengan body image orang tuanya. Orang tua dengan body
image yang positif dapat membentuk body image yang positif pula pada
commit to user
mengenai tubuh remaja dapat membentuk body image yang negatif pada
remaja (Cash dan Pruzinsky, 2002).
c. Hubungan Interpersonal
Remaja cenderung membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Umpan
balik yang diterima dari orang lain, dapat pula mempengaruhi konsep diri
remaja, termasuk bagaimana perasaan diri terhadap penampilan fisiknya.
Hal ini sering membuat remaja cemas terhadap penampilannya dan gugup
ketika orang lain seperti teman sebayanya memberikan komentar tentang
penampilan fisiknya. Oleh karena itu, terdapat hubungan yang kuat
komentar negatif teman sebaya dengan ketidakpuasan remaja terhadap
tubuhnya dan terbentuk bodyimage negatif (Cash dan Pruzinsky, 2002).
Thompson (2000) mengemukakan pula bahwa terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi body imag