EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PNEUMONIA
DENGAN METODE GYSSENS DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH
SAKIT UMUM DOKTER MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2013
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
YUDA MARSONO
K 100110027
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
3
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN
PNEUMONIA DENGAN METODE GYSSENS DI INSTALASI
RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER
MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2013
ANTIBIOTICS USE EVALUATION OF PATIENT PNEUMONIA WITH GYSSENS METHOD AT INSTALATION INPATIENT REGIONAL PUBLIC HOSPITAL
DOCTOR MOEWARDI IN 2013
Yuda Marsono#, EM Sutrisna
Fakultas Farmasi Un iversitas Muhammadiyah Sura karta Jl. A. Yan i Tro mol Pos 1, Pabelan Kartasura Suraka rta 57102
Be lze mo 123@g mail.co m
ABSTRAK
Pneumonia penyebab kemat ian utama pada anak-anak dan orang dewasa. Penemuan antibiotik saat ini d igunakan untuk mengobati pneumonia. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat menyebabkan pengobatan kurang efekt if. Tujuan dari penelitian ini mengetahui gambaran serta mengevaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Suraka rta tahun 2013 dibandingkan dengan Pedoman dan Diagnosis Penatalaksanaan Pneumonia tahun 2003. Pene lit ian dilaku kan secara non eksperimental (observasional) bersifat deskriptif dan pengumpulan data dilaku kan secara retrospektif dengan menggunakan catatan rekam medik pasien. Teknik sa mpling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu pasien yang terdiagnosa pneumonia dan mendapatkan antibiotik. Analisis data menggunakan diagra m alur Gyssens. Dari 51 sa mpel yang terdiagnosa pneumoia, d idapatkan penggunaan antibiotik ceft ria xone (44,19%), metronidazo le (15,12%), ciproflo xac in (12,80%), gentamicin (10,46%), ce ftazidim (8,14%), levoflo xac in (4,65%), a zit ro mic in (2,32%), cefadro xil (1,16%) dan me ropenem (1,16%). Penilaian kua litas penggunaan antibiotik d iperoleh 8 sa mpel masuk kategori 0 (15,69%), 1 sa mpel masuk kategori IIIa (1,96%), 26 sampel masuk kategori IVA (50,98%), 12 sampel masuk kategori IVB (23,53%), 3 sa mpel masuk kategori IVC (5,88%) dan 1 sampel masuk kategori IVD (1,96%).
Kata kunci: antib iotik, metode Gyssens, pneumonia
.
ABSTRACT
Pneumonia is a major cause of death in children and adults. The discovery of antibiotics is currently used to treat pneumonia. Inappropriate use of antibiotics cause less effectivetreatment.The purpose of this study to know the description and evaluating antibiotics use in pneumonia patients at Instalation Inpatient Regional Public Hospital Doctor Moewardi in 2013 compared with Guideline and Diagnosis of Pneumonia Treatment in 2003. The study was conducted non-experimental (observational) and data collection usingretrospectivepatient's medical record. The sampling technique used is purposive sampling, patients who are diagnosed with pneumonia and get antibiotics . Data analysis using flow charts Gyssens. From 51 samples diagnosed pneumoia, were obtained use of ceftriaxone (44.19%), metronidazole (15.12%), ciprofloxacin (12.80%), gentamycin (10.46%), ceftazidime (8.14%), levofloxacin (4.65%), azitromycin (2.32%), cefadroxil (1.16%) and meropenem (1.16%). Assessment quality of antibiotics obtained 8 samples are category 0 (15.69%), 1 sample is category IIIa (1.96%), 26 samples are category IVA (50.98%), 12 samples are category IVB (23.53 %), 3 samples are category IVC (5.88%) and 1 sample is category IVD (1.96%).
4 PENDAHULUAN
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolis respiratorus dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Sudoyo et al., 2007). 12
dari 1000 orang dewasa terkena pneumonia yang didapat di masyarakat (community
acquired) setiap tahunnya. Satu dari 1000 orang perlu perawatan rumah sakit dan tingkat
mortalitas sekitar 10% (Rubenstein et al., 2003). Di Provinsi Jawa Tengah, seluruh kasus
kematian ISPA yang disebabkan oleh pneumonia sebesar 80-90%. Prevalensi penderita
pneumonia di Jawa Tengah pada tahun 2010 mencapai 26,76% (Dinkes Jateng, 2010).
Sedangkan pada tahun 2011 penderita pneumonia pada balita di Sukoharjo, Jawa Tengah
mencapai 2.2% (Dinkes Sukoharjo, 2011).
Pada umumnya terapi empiris untuk pneumonia yang digunakan adalah agen
antibiotik (Tjay & Rahardja, 2007). Antibiotik adalah zat- zat kimia yang dihasilkan oleh
fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat per tumbuhan
kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay & Rahardja, 2007).
Pemilihan dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional akan menentukan
keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri. Selain itu tidak
tertutup kemungkinan penggunaan obat-obat yang lain dapat meningkatkan peluang
terjadinya Drug Related Problems (DRP) (Worokarti, et al, 2005).
Evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui rasionalitas
penggunaan antibiotik. Gyssens mengembangkan evaluasi penggunaan antibiotik untuk
menilai ketepatan penggunaan antibiotik yang meliputi ketepatan indikasi, ketepatan
pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis,
interval, rute dan waktu pemberian (Gyssens & Meer, 2001). Metode Gyssens merupakan
suatu alat untuk mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik yang telah digunakan secara
luas di berbagai negara (The Amrin Study, 2005).
Berdasarkan uraian di atas, mendorong peneliti untuk melakukan evaluasi lebih
lanjut penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia dengan judul penelitian “Evaluasi
Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Pneumonia Dengan Metode Gyssens di Instalasi
Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi Tahun 2013”.
METODOLOGI PENELITIAN 1. Rancangan Penelitian
5 penelitian secara deskriptif. Data diperoleh dari penelusuran catatan rekam medik secara
retrospektif pada pasien pneumonia dengan terapi antibiotik yang dirawat inap.
2. Batasan Operasional
a. Evaluasi yaitu analisis pengobatan yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah
Dokter Moewardi yang meliputi ketepatan indikasi, keefektifan antibiotik, keamanan
antibiotik, segi harga antibiotik, spektrum antibiotik, ketepatan lama pemberian, waktu
pemberian, dosis, interval pemberian dan rute pemberian.
b. Pneumonia adalah hasil diagnosa dokter bahwa pasien menderita pneumonia yang
diketahui dari kartu rekam medik pasien.
c. Evaluasi penggunaan antibiotik ditinjau berdasarkan diagram alur penilaian kualitatif
penggunaan antibiotik metode Gyssens (Gyssens classification) meliputi alternatif
antibiotik lain yang lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah, spektrum lebih
sempit, dan lama pengobatan, dosis, interval, rute pemberian, serta waktu pembe rian
antibiotik.
3. Alat dan Bahan a. Alat penelitian
Lembar pengumpulan data pasien yang memuat identitas pasien (nama, jenis
kelamin dan usia), nomor rekam medik, diagnosa pe nyakit, dan obat yang diberikan,
Diagram alir Gyssens (Gyssens classification) dan Guideline Pedoman dan Diagnosis
Penatalaksanaan Pneumonia tahun 2003 yang diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia.
b. Bahan penelitian
Catatan rekam medik pasien yang berisi informasi pasien meliputi, identitas
pasien tanggal masuk rumah sakit (MRS), nama, umur, jenis kelamin, alamat, berat
badan, tinggi badan, diagnosa dokter tentang penyakit, dan obat yang diberikan kepada
pasien.
4. Populasi dan Sampel a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien dengan diagnosa pneumonia yang
menjalani rawat inap dalam catatan rekam medik selama tahun 2013 di Rumah Sakit
Umum Daerah Dokter Moewardi .
6 Sampel dalam penelitian ini adalah pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi yang terpilih. Sampel yang dipilih
adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut:
1) Pasien dengan diagnosa pneumonia. Dokter telah menegakkan diagnosa pneumonia
pada pasien berdasarkan tanda dan gejala dengan atau tanpa menggunakan cara dan
alat seperti laboratorium, foto rontgen, dan klinik.
2) Pasien yang mendapatkan pengobatan antibiotik. Proses penyembuhan penyakit
berdasarkan diagnosis menggunakan obat berupa antibiotik.
3) Pasien rawat inap di rumah sakit. Proses perawatan pasien dilakukan oleh tenaga
kesehatan profesional akibat penyakit pneumonia, di mana pasien diinapkan di
suatu ruangan di rumah sakit.
4) Pasien dengan data rekam medik lengkap. Data rekam medis harus mencakup
identitas pasien, diagnosa, terapi pengobatan dan nilai laboratorium yang meliputi
serum kreatinin, ureum, SGOT dan SGPT.
Kriteria eksklusi:
1) Pasien hamil. Hampir semua antibiotik dapat membahayakan pasie n hamil sehingga
akan mempersulit penelitian.
2) Pasien dengan infeksi lain. Infeksi lain selain pneumonia akan membingungkan
evaluasi karena tidak dapat dipastikan apakah antibiotik yang digunakan hanya
untuk infeksi pneumonia atau infeksi penyerta.
5. Teknik Sampling
Pengumpulan data secara retrospektif dari kartu rekam medik pasien pneumonia di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi selama tahun 2013
dengan menggunakan tehnik purposive sampling, yaitu cara pengambilan sampel
berdasarkan ciri-ciri yang sesuai kriteria inklusi.
6. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakasanakan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
Dokter Moewardi.
7. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskripstif non analitik kemudian
dibandingkan dengan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komuniti
Indonesia tahun 2003.
8. Jalannya Penelitian
7 a. Penelusuran kartu rekam medik kemudian dilakukan pengelompokan pasien yang
terdiagnosa pneumonia.
b. Pengambilan data pasien yang terdiagnosa pneumonia meliputi nama pasien, umur,
jenis kelamin, diagnosa utama, nomor rekam medik, dan obat yang diberikan (jenis
antibiotik, frekuensi, waktu pemakaian, dosis, rute, durasi). Apabila pasien pernah
dirawat lebih dari 1 kali, maka data yang diambil adalah data terakhir.
c. Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia dengan menggunakan alur penilaian kualitatif penggunaan antibiotik metode Gyssens.
Gambar 1. Al ur Penilai an Kualitatif Penggunaan Anti biotik (Gyssens Classification). (Gyssens, 2005) Mulai
Da ta lengkap
Antibioti k sesuai indi kasi
Al terna tif lebih efektif
Al terna tif kurang toksik tidak
8 Evaluasi antibiotik dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan menilai
kelengkapan data pasien (Kemenkes RI, 2011).
1) Jika data tidak lengkap, berhenti di kategori VI.
Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa diagnosis, atau ada halaman
rekam medis yang hilang. Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik pasien. Jika data lengkap, dilanjutkan pada pertanyaan, apakah
ada infeksi yang membutuhkan antibiotik?
2) Jika pemberian antibiotik tanpa indikasi, berhenti di kategori V.
Jika pemberian antibiotik memang diindikasikan dilanjutkan pada pertanyaan
selanjutnya, apakah antibiotik yang diberikan sudah tepat?
3) Jika ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVa.
Jika tidak ada pilihan antibiotik yang lebih efektif, maka dilanjutkan pertanyaan,
apakah ada antibiotik lain yang lebih aman?
4) Jika ada pilihan antibiotik lain yang lebih aman, berhenti di kategori IVb.
Jika tidak ada pilihan antibiotik yang lebih aman, maka dilanjutkan pertanyaan,
apakah ada antibiotik yang lebih murah?
5) Jika ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah, berhenti di kategori IVc.
Jika tidak, maka dilanjutkan pada pertanyaan, apakah ada antibiotik lain yang
mempunyai spektrum yang lebih sempit?
6) Jika ada pilihan antibiotik lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti di
kategori IVd.
Jika tidak ada antibiotik lain dengan spektrum yang leb ih sempit, maka
dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah durasi pemberian antibiotik terlalu lama?
7) Jika durasi pemberian antibiotik terlalu lama, berhenti di kategori IIIa.
Jika tidak, diteruskan dengan pertanyaan apakah durasi pemberian antibiotik
terlalu singkat?
8) Jika durasi pemberian antibiotik terlalu singkat, berhenti di kategori IIIb.
Jika tidak, diteruskan dengan pertanyaan, apakah dosis antibiotik yang digunakan
tepat?
9) Jika dosis pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIa.
Jika dosisnya tepat, maka dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah interval
antibiotik yang diberikan sudah tepat?
10) Jika interval pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIb.
Jika interval pemberian sudah tepat, dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah rute
pemberian antibiotik sudah tepat?
9 Jika rute tepat, lanjutkan ke kotak berikutnya.
12) Jika antibiotik tidak termasuk kategori I sampai VI, antibiotik tersebut merupakan
kategori 0 yaitu antibiotik yang tepat atau rasional.
Setelah dievaluasi dengan diagram alir Gyssens, antibiotik dikelompokkan
menurut kriteria yang sesuai.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Terdapat 1051 catatan rekam medik pasien pneumonia di instalasi rawat inap
RSUD Dokter Moewardi Surakarta selama tahun 2013. Data yang diambil meliputi data
karakteristik pasien yang sesuai dengan inklusi (pasien dengan diagnosa pneumonia, data
rekam medik lengkap, pasien yang mendapatkan pengobatan antibiotik dan rawat inap).
Data pasien pneumonia diperoleh secara acak dan dimasukan ke dalam kriteria inklusi,
sehingga data yang diperoleh adalah sebanyak 51 pasien.
1. Karakteristik Pasien Pneumonia a. Berdasarkan Jenis Kelamin
Pada penelitian digunakan data jenis kelamin laki - laki dan perempuan untuk
mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap penyakit pneumonia. Tabel 1 menunjukkan
jumlah dan persentase pasien pneumonia di instalasi rawat inap RSUD dokter Moewardi
tahun 2013.
Tabel 1. Data pasien pneumonia ber dasarkan je nis kelamin di instalasi rawat inap RS UD Dokter Moe war di Tahun 2013
No. Jenis Kelamin Juml ah Persentase(% )
1 La ki - la ki 29 56,86
2 Pere mpuan 22 43,14
Total 51 100
Berdasarkan tabel 1 jumlah pasien pneumonia dengan jenis kelamin laki - laki lebih
banyak dibandingkan jumlah pasien pneumonia dengan jenis kelamin perempuan. Jumlah
pasien laki- laki adalah 29 (56,86%) sedangkan jumlah pasien perempuan adalah 22
(43,14%). Hal ini dikarenakan laki - laki lebih sering beraktivitas diluar rumah sehingga
mudah terpapar polusi udara dan lebih cenderung mengkonsumsi rokok, karena polusi
udara dan asap rokok mempunyai banyak zat kimia yang dapat memicu terjadinya infeksi
saluran pernafasan (Gondodiputro, 2007).
b. Berdasarkan Umur
Pada penelitian digunakan data umur pasien untuk mengetahui pengaruh
10 pasien memiliki umur di atas 30 tahun. Sehingga data umur pasien pneumonia dibagi
dalam 6 kelompok berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009) yaitu
dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45 tahun), lansia awal (46-55 tahun), lansia
akhir (56-65 tahun) dan manula (66 tahun ke atas). Tabel 2 menunjukkan jumlah dan
persentase pasien pneumonia di instalasi rawat inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta
tahun 2013.
Tabel 2. Data pasien pne umonia ber dasarkan usia di i nstalasi rawat inap RS UD Dokter Moe war di Tahun 2013
No. Umur (Tahun) Juml ah Persentase(% )
1 26-35 2 3,92
2 36-45 5 9,80
3 46-55 12 23,53
4 56-65 12 23,53
5 66 < 20 39,22
Total 51 100
Berdasarkan tabel 2 jumlah pasien pneumonia lebih banyak diderita pada umur 66
tahun ke atas atau manula dengan jumlah 20 (23,53%). Sedangkan jumlah pasien
pneumonia lebih sedikit pada umur 26-35 tahun atau dewasa awal dengan jumlah 2
(3,92%). Dapat disimpulkan bahwa semakin tua umur pasien maka semakin bertambah
jumlah pasien pneumonia. Hal ini disebabkan karena semakin bertambahnya umur maka
sistem imun pada tubuh akan semakin menurun sehingga tubuh mudah terinfeksi (Karnen
et al, 2012).
2. Diagnosis Penyakit Pneumonia
Klasifikasi pneumonia dapat diketahui berdasarkan pemeriksaan radiologi untuk
mengetahui tempat terjadinya inflamasi pada penyakit pneumonia. Terdapat 51 pasien
yang terdiagnosa pneumonia Unspecific di instalasi rawat inap RSUD dokter Moewardi
tahun 2013.
3. Karakteristik Obat a. Obat antibiotik
Pneumonia merupakan penyakit saluran pernafasan bawah akut yang disebabkan
oleh infeksi mikroorganisme (Jeremy, 2007). Sehingga terapi harus dapat menghambat
pertumbuhan atau membunuh bakteri dengan cara diberi antibiotik. Pengobatan untuk
pasien pneumonia biasanya berupa pemberian antibiotik yang efektif terhadap organisme
tertentu (Price & Wilson, 2006). Tabel 3 menunjukkan jumlah dan persentase penggunaan
11
Tabel 3. Anti biotik untuk pasien pneumonia di instal asi rawat inap RS UD Dokter Moe war di Tahun 2013
Nama Anti biotik Frekuensi Persentase (% )
Ceftria xone
Antibiotika yang digunakan di instalasi rawat inap RSUD Dokter Moewardi tahun
2013 adalah metronidazole, ciprofloxacin, ceftriaxone, gentamicin, cefadroxil, ceftazidim,
meropenem, azitromicin dan levofloxacin. Antibiotik yang paling sering digunakan adalah
ceftriaxone (44,19%). Ceftriaxone mempunyai mekanisme kerja dengan cara menghambat
sintesa dinding sel mikroba, enzim transpeptidase dihambat pada pembentukan dinding sel
(McEvoy, 2008). Setelah ceftriaxone adalah metronidazole (15,12%), ciprofloxacin
(12,80%), gentamicin (10,46%), ceftazidim (8,14%), levofloxacin (4,65%), azitromicin
(2,32%), cefadroxil (1,16%) dan meropenem (1,16%).
b. Obat Non Antibiotik
Obat yang digunakan pada pasien pneumonia tidak hanya antibiotik. Tetapi obat -
obat yang digunakan untuk mengobati penyakit penyerta, gejala maupun efek samping dari
suatu obat pada pasien pneumonia. Tabel 4 menunjukkan obat-obat non antibiotik yang
digunakan pada pasien pneumonia.
Tabel 4. Pe nggunaan Obat Non Anti biotik Pada Pasien Pne umonia di instalasi rawat inap RS UD Dokter Moe war di Tahun 2013
Indikasi Nama Obat (generik) Frekuensi Total Frekuensi Persentase (%)
Elektrolit Infus NaCl 0,9% 26 51 14,05
Infus Ringer Laktat 25
Analgesik Antipiretik Paracetamol 20 28 7,71
Ketorolac 6
Asam mefenamat 2
Antiemetik M etoclopramid 2 3 0,83
Ondansentron 1
Antialergi Dexamethasone 27 32 8,81
M etil prednisolon 4
Loratadin 1
Antidisritmik Digoxin 7 7 1,93
Antihipertensi Captopril 14 19 5,23
12
Indikasi Nama Obat (generik) Frekuensi Total Frekuensi Persentase (%)
Antitukak Ranitidin 27 32 8,81
Antikolesterol Simvastatin 3 3 0,83
Antihiperurisemia Allopurinol 2 2 0,55
Antidotum Norit 2 2 0,55
Antipsikotik Risperidone 1 1 0,27
Antifibrinolitik Asam traneksamat 3 3 0,83
Bronkodilator Aminofilin 10 10 2,75
Diuretik Furosemid 15 22 6,06
Spironolakton 3
Hidroklorotiazid 4
Ekspektoran Gliseril guaiacolate 26 57 15,71
Obat batuk hitam 30
instalasi rawat inap RSUD Dokter Moewardi tahun 2013 adalah ekspektoran sebesar
(15,71%) dari total semua obat yang digunakan. Ekspektoran merupakan obat batuk yang
dapat merangsang pengeluaran dahak pada saluran pernafasan, sehingga efektif mengobati
gejala yang sering terjadi pada penderita pneumonia yaitu batuk yang disertai dahak
mukoid atau purulen (PDPI, 2003). Kemudian penggunaan obat non antibiotik yang paling
sering digunakan setelah ekspektoran adalah elektrolit sebesar (14,05%). Elektrolit
digunakan untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh pada pasien rawat inap.
Keseimbangan elektrolit berpengaruh terhadap kinerja sel-sel dan organ tubuh agar bekerja
13 4. Evaluasi Pe nggunaan Antibiotik Dengan Metode Gyssens
Penilaian penggunaan antibiotik secara kualitas dilakukan dengan menggunakan
metode Gyssens kemudian dikelompokkan ke dalam kategori yang sesuai. Tabel 5
menunjukkan penggunaan antibiotik secara kualitas berdasarkan metode Gyssens pada
pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Tahun 2013.
Tabel 5. Hasil Penilaian Penggunaan Anti bi otik Deng an Metode Gyssens di Instal asi Rawat Inap RS UD Dokter Moe war di Tahun 2013
Kateg ori Ke terangan Nama Obat No. Pasien Frekuensi Persentase (% ) Ceftria xone+A zitro mycin Ceftria xone+Levoflo xac ine Ceftria xone+Metronida zole Ceftria xone+Genta mic in
Cefta zidim+Cefadro xil
Cefta zidim+Cip roflo xacine+Ce ftria x one+Meropenem
Berdasarkan tabel 5 didapatkan hasil penilaian berdasarkan metode Gyssens
sebesar 17,65% untuk kategori 0 (penggunaan antibiotik rasional), 50,98% untuk kategori
IVA (tidak rasional karena ada antibiotik yang lebih efektif), 23,53% untuk kategori IVB
(tidak rasional karena ada antibiotik yang kurang toksik), 5,88% untuk kategori IVC (tidak
rasional karena ada antibiotik yang lebih murah) dan 1,96% untuk kategori IVD (tidak
rasional karena ada antibiotik yang lebih spesifik).
Pada kategori 0 pemberian antibiotik rasional, yaitu penggunaan antibiotik sudah
14 pasien yang masuk ke dalam peresepan kategori 0 dengan penggunaan antibiotik
ceftriaxone yang merupakan golongan sefalosporin generasi 3.
Pada kategori IVA pemberian antibiotik sudah tepat indikasi tetapi ada antibiotik
lain yang lebih efektif. Hal ini dikarenakan dalam Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Pneumonia Komunitas di Indonesia (2003), pasien pneumonia rawat inap
hanya dianjurkan menggunakan antibiotik golongan betalaktam dengan atau tanpa anti
betalaktamase, sefalosporin generasi 2, sefalosporin generasi 3 dan fluorokuinolon
respirasi (levofloksasin, gatifloksasin dan moksifloksasin). Penggunaan antibiotik dengan
2, 3 atau 4 kombinasi antibiotik, golongan fluorokuinolon non respirasi dan golongan
nitroimidazole tidak tercantum dalam pedoman tersebut, sehingga tidak lebih efektif.
Pada kategori IVB pemberian antibiotik sudah sesuai dan efektif tetapi ada
antibiotik lain yang lebih tidak toksik atau aman untuk pasien. Hal ini dikarenakan ada
sebagian pasien yang mengalami gangguan ginjal atau hati yang ditunjukkan dengan nilai
laboratorium berupa SGOT, SGPT, ureum dan serum kreatinin di atas normal. Sedangkan
di British National Formulary (2005) disebutkan bahwa ceftriaxone dapat menyebabkan
kerusakan ginjal dan hati. Sehingga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal disarankan
penyesuaian dosis antibiotik berdasarkan kreatinin klirens atau sebagai alternatif dapat
menggunakan antibiotik dengan eliminasi utama melalui hati seperti cefoperazone.
Sedangkan pada pasien dengan gangguan fungsi hati disarankan penyesuaian dosis
antibiotik yang pada umumnya sebesar 50% dari dosis biasa atau dipilih antibiotik dengan
eliminasi nonhepatik dan tidak hepatotoksik seperti levofloksasin dengan ekskresi utama
melalui ginjal (Kemenkes RI, 2011).
Pada kategori IVC pemberian antibiotik sudah tepat indikasi, efektif dan aman
tetapi ada antibiotik lain yang lebih murah. Hal ini dikarenakan dalam Informasi Spesialite
Obat Indonesia (2012) ceftazidim lebih mahal Rp.58.500 d ibandingkan dengan cefotaxime
yang mempunyai harga lebih murah dan merupakan antibiotik dengan golongan yang sama
yaitu sefalosporin generasi 3. Tetapi di RSUD Dokter Moewardi penggunaan ceftriaxone
lebih murah dibandingkan dengan cefotaxime, karena antibiotik cefotaxime tidak
ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Sehingga jika mengacu
pada bantuan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Ceftriaxone merupakan
antibiotik yang paling murah di RSUD Dokter Moewardi Surakarta.
Pada kategori IVD pemberian antibiotik sudah tepat indikasi, efektif, aman dan
paling murah untuk pasien tetapi spektrum antibiotik yang diberikan ada yang lebih
15 respirasi yang mempunyai aktivitas terhadap bakteri gram positif dan negatif (Broad
Spectrum) dibandingkan dengan golongan sefalosporin generasi 2 dan 3 yang lebih aktif
terhadap bakteri gram negatif (Narrow Spectrum) (Tjay & Rahardja, 2007). Penggunaan
antibiotik dengan spektrum sempit lebih selektif dan dapat mengurangi risiko resistensi
bakteri (Kemenkes RI, 2011).
Pada penggunaan antibiotik yang tidak rasional seperti kategori IVA (ada antibiotik
yang lebih efektif) tidak dapat dikatakan tidak tepat, karena bisa jadi penggunaan antibiotik
yang disarankan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komuniti di
Indonesia tahun 2003 sudah resisten terhadap beberapa pasien di rumah sakit tersebut
sehingga dibutuhkan kombinasi antibiotik atau golongan lain di luar pedoman demi
tercapainya keberhasilan terapi, karena setiap pemberian antibiotik pada pasien pneumonia
sebaiknya berdasarkan uji resistensi dan sensitivitas yang jelas dan terdokumentasi.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan
a. Gambaran penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUD
Dokter Moewardi Surakarta Tahun 2013 adalah ceftriaxone (44,19%), metronidazole
(15,12%), ciprofloxacin (12,80%), gentamicin (10,46%), ceftazidim (8,14%),
levofloxacin (4,65%), azitromicin (2,32%), cefadro xil (1,16%) dan meropenem
(1,16%).
b. Penilaian kualitas penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap
RSUD Dokter Moewardi Surakarta Tahun 2013 berdasarkan metode Gyssens adalah 9
sampel (17,65%) kategori 0 (penggunaan antibiotik rasional), 26 sampel (50,98%)
kategori IVA (tidak rasional karena ada antibiotik yang lebih efektif), 12 sampel
(23,53%) kategori IVB (tidak rasional karena ada antibiotik yang kurang toksik), 3
sampel (5,88%) kategori IVC (tidak rasional karena ada antibiotik yang lebih murah)
dan 1 sampel (1,96%) kategori IVD (tidak rasional karena ada antibiotik yang lebih
spesifik).
2. Saran
a. Untuk Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi : Diharapkan data rekam medik
disajikan lebih baik lagi dan lebih lengkap untuk memudahkan para peneliti mengambil
data yang diperlukan.
b. Untuk Peneliti lanjutan : perlu adanya penelitian prospektif untuk lebih mengetahui
16 DAFTAR ACUAN
Anwari I., 2007, Cairan Tubuh Elektrolit dan Mineral, Halaman 2,
http://www.pssplab.com/journal/01.pdf (Diakses tanggal 14 april 2015).
BNF, 2005, BNF 49th ed, British National Folmulary, Royal Pharmaceutical, Society of Great Britain
Depkes RI, 2009, Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta, Depertemen Republik Indonesia
Dinkes Jawa Tengah, 2010, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2009, Semarang, Dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah
Dinkes Sukoharjo, 2011, Profil Kesehatan Kabupaten Sukoharjo 2011, Sukoharjo, Dinas Kesehatan Sukoharjo
Gondodiputro, S., 2007, Bahaya Tembakau dan Bentuk-Bentuk Sediaan Tembakau, Bandung, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Gyssens, I.C., 2005, Audit for Monitoring the Quality of Antimicrobial Prescription, 197-226, New York, Kluwer Academic Publishers.
Gyssens, I.C. & Meer, V.D., 2001, Quality of Antimicrobial Drug Prescription in Hospital,
Clinical Microbiology and Infection, Volume 7, Supplement 6, 12-15, New York, Kluwer Academic Publishers
Ikatan Apoteker Indonesia, 2012, Informasi Spesialite Obat Indonesia, Volume 46-2013 s/d 2014, Jakarta, PT ISFI
Jeremy, P.T, 2007, At Glance Sistem Respirasi, Edisi Kedua, Jakarta, Erlangga Medical Series.
Karnen G., Baratawidjaja, & Rengganis I., 2012, Imunologi Dasar, Edisi Ke-10, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Kemenkes RI, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Jakarta, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
McEvoy, G. K., 2008, AHFS Drug Information, Bethesda, American Society of Health-System Pharmacists Inc
PDPI, 2003, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komunitas di Indonesia, Jakarta, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Price, S.A & Wilson, L.M, 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6, diterjemahkan oleh Braham U., Jakarta, Kedokteran EGC
17 Sudoyo, A.W., Setyohadi, B, & Alwi, I., 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1,
Edisi IV, Halaman 964-966, Jakarta, Penerbit FK UI
The Amrin Study Group, 2005, Antimicrobial resistance, antibiotic usage and infection control; a self assessment program for Indonesian hospitals, Jakarta, Directorate General of Medical Care
Tjay, T. H., & Rahardja, K., 2002, Obat-Obat Penting, Edisi keempat, Halaman 63, 65,66, Direktur Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia