ABSTRAK
Muzir, Ridwan. 2013. Santri tanpa Kiai: Kajian Psikoanalitik atas Judul-judul Buku
Swa-bantu Islami di Indonesia. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini membahas buku-buku populer Islam bergenre swa-bantu (
self-help) yang mendominasi industri perbukuan Indonesia tahun 2000-an. Penelitian tentang produk kultural ini menyoroti judul-judul buku swa-bantu Islami karena dalam industri buku, judul adalah hal utama yang diperhatikan produsen dalam menarik calon pembeli. Masalah utama yang dihadapi penelitian ini adalah subjektivitas pembaca muslim yang dituju buku tersebut lewat judul-judulnya. Apa yang ada dibalik judul-judul ini sehingga pembaca begitu tertarik.
Masalah ini dipilih karena gairah industri buku swa-bantu Islami mengisyaratkan tingginya permintaan pasar. Di balik permintaan pasar itu ada calon pembaca yang akan mengonsumsi/membacanya. Masalah subjektivitas penting karena dengan mengetahui sosok pembaca yang mengonsumsi buku-buku tersebut dapat diperoleh gambaran dinamika kebudayaan masyarakat muslim Indonesia saat ini. Kebudayaan dinamis sebab subjek yang menghidupinya tidak berpuas diri dengan apa yang tersedia.
Dalam menjawab masalah utama penelitian ini dipakai teori subjektivitas Lacan. Bagi Lacan subjektivitas seseorang terbentuk dari dialektika antara kebutuhannya dengan apa yang diinginkan orang lain (Liyan). Dialektika terjadi lewat perantaraan bahasa dan selalu menghasilkan residu sebab apa yang diinginkan Liyan dan ditawarkannya pada seseorang tidak akan berhasil memuaskan kebutuhan seseorang itu. Masih ada keinginan yang tersisa di dalamnya. Itulah hasrat.
Orang lain (Liyan) tidak bisa memberikan kepuasan sebab mereka juga menginginkan sesuatu yang tak bisa terpenuhi oleh apa yang terbahasakan. Jika seseorang memilih/memiliki sesuatu sebagai objek yang dia anggap memuaskan Liyan, dia menjadi subjek perversif dan objek itu menjadi fetis baginya.
Penelitian ini menemukan bahwa judul-judul buku swa-bantu Islami diposisikan pembaca sebagai fetis untuk menutupi kekurangan Liyan yang tak dapat memenuhi hasrat pembaca maupun hasratnya sendiri akan kemusliman sejati (being moslem). Dengan fetis itu, pembaca merasa jadi muslim sejati. Kekuatan judul buku swa-bantu Islami sebagai fetis terletak pada fungsinya sebagai cermin imajiner. Di dalam cermin ini terpantul bayangan kediriannya yang kemudian dia identifikasi sebagai identitasnya. Identifikasi ini berlangsung melalui pengetahuan yang salah sangka (connaissance), karena menganggap identitas yang disampaikan buku swa-bantu itu memiliki makna yang mapan. Padahal yang ditawarkan adalah konstruksi wacana yang bergerak dinamis karena adanya hasrat subjek yang menghidupi wacana tersebut.
ABSTRACT
Muzir, Ridwan. 2013. Santri tanpa Kiai: A Psychoanalitical Study on the Titles of
Islamic Self-help Book in Indonesia. MA. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, Sanata Dharma University.
This study discusses Islamic self-help genre that dominated Indonesian books industry in the 2000s. This study on the cultural product highlights Islamic self-help book titles, because the titles are the main thing considered by book industry in attracting prospective consumers. The main problem in this study is about muslim subjectivity addressed by the books through their titles. Why these titles is so fascinating to the readers.
This problem is chosen because the passion of the Islamic self-help book industry signaled high market demand. Behind this market demand, there are prospective readers that will consume/read it. Subjectivity is important because by knowing the figure of readers who consume the books, we can obtain a description of the cultural dynamics of Indonesian Muslim today.
This study used Lacan's theory of subjectivity to answer its main questions. For Lacan, subjectivity is constructed through the dialectic between one’s need and demand of the Other. The dialectic occurs through the medium of language and always produces a kind of residue, because what is demanded and offered by the Other to someone will not satisfy all of his/her need. There is some need that is left. That is desire.
Others can not give a full satisfaction because they also want something that can not be fulfilled by what can be expressed through language. If someone chose/have something as an object which he recognize can satisfy Other’s demand, he become pervert subject and the will become his fetish.
This study found that the titles of Islamic self-help book were taken by the muslim reader as fetish to fulfill the Other’s lack in satisfying reader’s desire to become a true moslem. With the fetish, readers (mis)recognize themselves have become a true Muslim. The power of self-help book titles as fetish Islami lies in its function as an imaginary mirror. This mirror reflected some self-image which he/she later identified as his/her identity. This identification takes place through the imaginary knowledge (connaissance) in Lacanian sense, because they consider the identity which is reflected in the titles has an established meaning. Whereas, identity is constructed in a discourse which is always moving because of subject’s desire that animate it.
TESIS
SANTRI TANPA KIAI:
Kajian Psikoanalitik atas Judul-judul Buku Swa-bantu
Islami di Indonesia
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister
Humaniora (M. Hum) Pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Oleh:
Ridwan Muzir
NIM: 086322012
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
TESIS
SANTRI TANPA KIAI:
Kaiian
Psikoanalitik
atas
Judul-judul
Buku
Swa-bantu
lslami di lndonesia
Oleh: Ridwan
iiuzir
t{liil:
0863322412TESIS
SANTRI TANPA KIAI:
Kajian Psikoanalitik
atas
Judul-judul
Buku
Swa-bantu
lslami di lndonesia
Oleh:
Ridwan Muzir
NIM:08633220{2
PengujiTesis
Ketua
Sekretaris/ Moderator
Anggota
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
NIM Program lnstitusi
:
Ridwan Muzir :0863322012: Program Pascasarjana llmu Religidan Budaya : Universitas Sanata Dharma
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis: Judul
Pembimbing
: Santri Tanpa Kiai: Kaiian
Psikoanalitik atas
Judul-
iudul
Buku Swa-bantu lslami di lndonesia
: 1. Dr. St. Sunardi 2. Dr. Katrin Bandel Tanggal
diuji
: 23 Agustus 2013adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam Tesis ini tidak terdapat
keseluruhanatau sebagian tulisan
atau
gagasanorang lain yang saya ambildengan cilra menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat
atau simbol
yang saya aku
seolah-olah sebagai karyasaya sendiri tanpa
memberikan pengakuan pada penulls aslinya.Apa bila kemudian
terbukti bahwa saya temyata melakukan tindakan menyalin atauPERNYATAAN
PERSETUJ
UAN
PUBLIKASI KARYA
ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Dharma
Nama
: Ridwan MuzirNomorMahasiswa
:086322412Demi
pengembanganilmu
pengetahuan, saya memberikan kepada PerpustakaanUniversitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang beriudul:
SAIITR' TANPA
KTAI:KaJian Psikoanalltik atas Judul-Judul Buku Swa-bantu lslami di
lndon*la
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dhannahak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolanya dalambentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di lnternet atau media
lain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu memintaijin
darisaya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan namasaya sebagai penulis.
Demikian pemyataan iniyang saya buat dengan sebenamya. Dibuat diYogyakarta
Buat yang tercinta:
Alm. Muzir
motto
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta
KATA PENGANTAR
Penulis mengucap syukur kepada Allah SWT karena diberi limpahan nikmat ketabahan (endurance) dalam menyelesaikan tesis yang jadi salah satu syarat dinyatakan lulus dari program studi Ilmu Religi dan Budaya (IRB), Pascasarjana Universitas Sanata Dharma ini.
Tema dasar dan masalah umum tesis ini sudah menggelayuti pikiran penulis jauh sebelum duduk di bangku perkuliahan IRB. Salah satu pemicunya adalah pekerjaan penulis sebagai editor di sebuah penerbitan di Yogyakarta. Dalam bekerja penulis mengalami sendiri bagaimana proses sebuah buku lahir dari dapur penerbitan, sebuah proses yang tak punya perbedaan mendasar dari proses yang berlangsung di pabrik tempe atau sepeda motor. Selain itu, penulis merasakan ada hal yang perlu didalami lebih jauh ketika menyaksikan pameran buku Islam, memasuki toko buku, atau melihat katalog online dari sebuah toko buku. Tema-tema pengembangan diri begitu dominan di situ sehingga memunculkan pertanyaan apakah ada yang salah, yang kurang, yang rusak dalam diri manusia muslim di Indonesia (termasuk penulis sendiri) sehingga perlu dikembangkan?
Perkuliahan di IRB mengenalkan penulis dengan teori psikoanalisa, terutama teori Jacques Lacan. Sedari awal penulis sudah merasa teori ini dapat dipakai untuk menjawab kegelisahan tadi dengan cara yang beda dari cara-cara yang telah disampaikan teori-teori lain, terutama yang berhaluan Marxis. Sebab dalam teori ini yang diutak-atik adalah pertanyaan mengapa orang menginginkan sesuatu, mengapa orang bisa tergiur dengan sesuatu, bukan mengapa orang perlu membuat atau melakukan sesuatu.
hanya tesis yang penulis kerjakan, namun setiap saat perhatian selalu tertuju pada apa saja yang berbau Lacan. Harus penulis akui bahwa perhatian itu dikendalikan oleh keinginan egoistik untuk menjawab kegelisahan tentang dunia perbukuan Islam tidak dengan teori lain. Pokoknya harus dengan Lacan!
Keinginan tak rasional dan tidak punya perhitungan itu akhirnya mengantarkan penulis pada buku Graph of Desire karya Alfredo Eidelstein yang dibedah bersama-sama di Akademia Erupsi Yogyakarta. Buku itulah yang membuat penulis dapat sedikit peta untuk menuliskan Bab IV, untuk tetap menjawab kegelisahan awal dengan Lacan.
Tesis ini mungkin dapat disebut sebagai simptom penulis, sesuatu yang harus dibaca dan ditafsirkan oleh orang lain untuk menemukan subjek wicara di baliknya, bukan subjek pernyataan. Sebab subjek pernyataan mampu menjelaskan secara logis dan rasional lewat pernyataan penuh makna kepada orang lain, dan orang lain pun dapat menangkap makna itu. Subjek pernyataan itu adalah penulis yang sedang menulis dan membubuhkan tanda tangan di kata pengantar ini.
Orang-orang berikut akan penulis hadiahi doa dan ucapan terima kasih, karena merekalah yang akan membaca tesis ini sebagai simptom.
Devi Adriyanti, istri penulis, atas kasih sayang dan ketabahannya. Ibu dan adik-adik atas dukungan dan nasihat mereka. Keluarga besar Surau Tuo Institute yang tak dapat disebutkan satu persatu, terutama yang telah bersedia jadi pembaca dan pembahas draf tesis ini. Teman-teman di Akademia Erupsi. Hasan Basri, Wahyudin dan Zuhdi Sang. Serta teman dan pihak-pihak lain yang tak dapat disebutkan satu per satu.
Kepada Pembimbing II tesis ini, Mbak Katrin Bandel, yang telah mengajarkan bagaimana apresiasi terhadap pendapat orang lain dapat disampaikan dengan sangat indah.
Terakhir, terima kasih sebesar-besarnya kepada Pembimbing I, Bapak St. Sunardi. Penulis tidak dapat mengungkapkan dengan kata-kata enigma yang dimiliknya sehingga apa yang dia katakan, terutama buku, selalu menarik perhatian penulis. Kepadanya penulis sampaikan harapan untuk selalu sabar memberikan bimbingan lanjutan supaya penulis dapat mengalami lack yang ada pada dirinya, diri St. Sunardi.
Semoga Allah memberkati kita semua.
Yogyakarta, Agustus 2013
ABSTRAK
Muzir, Ridwan. 2013. Santri tanpa Kiai: Kajian Psikoanalitik atas Judul-judul Buku
Swa-bantu Islami di Indonesia. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini membahas buku-buku populer Islam bergenre swa-bantu (
self-help) yang mendominasi industri perbukuan Indonesia tahun 2000-an. Penelitian tentang produk kultural ini menyoroti judul-judul buku swa-bantu Islami karena dalam industri buku, judul adalah hal utama yang diperhatikan produsen dalam menarik calon pembeli. Masalah utama yang dihadapi penelitian ini adalah subjektivitas pembaca muslim yang dituju buku tersebut lewat judul-judulnya. Apa yang ada dibalik judul-judul ini sehingga pembaca begitu tertarik.
Masalah ini dipilih karena gairah industri buku swa-bantu Islami mengisyaratkan tingginya permintaan pasar. Di balik permintaan pasar itu ada calon pembaca yang akan mengonsumsi/membacanya. Masalah subjektivitas penting karena dengan mengetahui sosok pembaca yang mengonsumsi buku-buku tersebut dapat diperoleh gambaran dinamika kebudayaan masyarakat muslim Indonesia saat ini. Kebudayaan dinamis sebab subjek yang menghidupinya tidak berpuas diri dengan apa yang tersedia.
Dalam menjawab masalah utama penelitian ini dipakai teori subjektivitas Lacan. Bagi Lacan subjektivitas seseorang terbentuk dari dialektika antara kebutuhannya dengan apa yang diinginkan orang lain (Liyan). Dialektika terjadi lewat perantaraan bahasa dan selalu menghasilkan residu sebab apa yang diinginkan Liyan dan ditawarkannya pada seseorang tidak akan berhasil memuaskan kebutuhan seseorang itu. Masih ada keinginan yang tersisa di dalamnya. Itulah hasrat.
Orang lain (Liyan) tidak bisa memberikan kepuasan sebab mereka juga menginginkan sesuatu yang tak bisa terpenuhi oleh apa yang terbahasakan. Jika seseorang memilih/memiliki sesuatu sebagai objek yang dia anggap memuaskan Liyan, dia menjadi subjek perversif dan objek itu menjadi fetis baginya.
Penelitian ini menemukan bahwa judul-judul buku swa-bantu Islami diposisikan pembaca sebagai fetis untuk menutupi kekurangan Liyan yang tak dapat memenuhi hasrat pembaca maupun hasratnya sendiri akan kemusliman sejati (being moslem). Dengan fetis itu, pembaca merasa jadi muslim sejati. Kekuatan judul buku swa-bantu Islami sebagai fetis terletak pada fungsinya sebagai cermin imajiner. Di dalam cermin ini terpantul bayangan kediriannya yang kemudian dia identifikasi sebagai identitasnya. Identifikasi ini berlangsung melalui pengetahuan yang salah sangka (connaissance), karena menganggap identitas yang disampaikan buku swa-bantu itu memiliki makna yang mapan. Padahal yang ditawarkan adalah konstruksi wacana yang bergerak dinamis karena adanya hasrat subjek yang menghidupi wacana tersebut.
ABSTRACT
Muzir, Ridwan. 2013. Santri tanpa Kiai: A Psychoanalitical Study on the Titles of
Islamic Self-help Book in Indonesia. MA. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, Sanata Dharma University.
This study discusses Islamic self-help genre that dominated Indonesian books industry in the 2000s. This study on the cultural product highlights Islamic self-help book titles, because the titles are the main thing considered by book industry in attracting prospective consumers. The main problem in this study is about muslim subjectivity addressed by the books through their titles. Why these titles is so fascinating to the readers.
This problem is chosen because the passion of the Islamic self-help book industry signaled high market demand. Behind this market demand, there are prospective readers that will consume/read it. Subjectivity is important because by knowing the figure of readers who consume the books, we can obtain a description of the cultural dynamics of Indonesian Muslim today.
This study used Lacan's theory of subjectivity to answer its main questions. For Lacan, subjectivity is constructed through the dialectic between one’s need and demand of the Other. The dialectic occurs through the medium of language and always produces a kind of residue, because what is demanded and offered by the Other to someone will not satisfy all of his/her need. There is some need that is left. That is desire.
Others can not give a full satisfaction because they also want something that can not be fulfilled by what can be expressed through language. If someone chose/have something as an object which he recognize can satisfy Other’s demand, he become pervert subject and the will become his fetish.
This study found that the titles of Islamic self-help book were taken by the muslim reader as fetish to fulfill the Other’s lack in satisfying reader’s desire to become a true moslem. With the fetish, readers (mis)recognize themselves have become a true Muslim. The power of self-help book titles as fetish Islami lies in its function as an imaginary mirror. This mirror reflected some self-image which he/she later identified as his/her identity. This identification takes place through the imaginary knowledge (connaissance) in Lacanian sense, because they consider the identity which is reflected in the titles has an established meaning. Whereas, identity is constructed in a discourse which is always moving because of subject’s desire that animate it.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
PERSEMBAHAN ... vi
MOTTO ... vii
KATA PENGANTAR... viii
ABSTRAK ... xi
ABSTRACT... xii
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR GAMBAR... xviii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 18
C. Tujuan dan Manfaat... 18
D. Tinjauan Pustaka ... 19
E. Kerangka Teoretis 1. Teori Subjektivitas Lacanian dan Konsep-konsep Terkait ... 30
2. Teori Pengetahuan Lacanian ... 34
F. Metode 1. Data ... 36
2. Teknik Analisis... 38
G. Sistematika Pembahasan ... 39
BAB II DINAMIKA EKONOMI-KULTURAL PENERBITAN BUKU-BUKU ISLAM POPULER DI INDONESIA... 41
1. Buku Murah dan Sederhana untuk Kecerdasan Masyarakat
(Era Balai Pustaka sampai akhir 1970-an) ... 42
2. Buku sebagai Komoditas Intelektual yang Menguntungkan (Era 1980-an sampai menjelang 2000-an) ... 48
3. Buku sebagai Produk Pelengkap Gaya Hidup (Era Pasca 2000-an)... 53
B. Buku sebagai Benda Kultural dalam Dinamika Sosial-Ekonomi... 56
1. Buku sebagai Benda Kultural... 57
2. Buku sebagai Benda Ekonomis ... 62
C. Lika-liku Pengadaan Naskah ... 66
D. Kendali Pasar atas Tema-tema dan Rekayasa Judul Buku ... 69
E. Sampul Buku sebagai Media Promosi bagi Dirinya Sendiri... 78
BAB III KATEGORISASI JUDUL-JUDUL BUKU SWA-BANTU ISLAMI... 90
A. Ragam Umum Tema Buku Islam Populer ... 90
1. Tema Generik ... 91
2. Tema Non-Generik ... 93
B. Kategorisasi Judul-judul Buku Swa-bantu Islami... 95
1. Dasar Kategorisasi ... 95
2. Kategori Judul-judul Buku Swa-Bantu Islami Berdasarkan Tema ... 97
a. Tema Kesehatan dan Kebugaran fisik... 99
b. Tema Kesejahteraan Psikis ... 104
i. Judul-judul dengan Tema Kerumahtanggaan... 105
ii. Judul-judul dengan Tema Parenting ...113
iii. Tema Aktivitas Ekonomi ... 116
iv. Judul-judul dengan Tema Penggemblengengan Daya Tahan Psikis ... 122
C. Kategori Judul-judul Buku Swa-Bantu Islami Berdasarkan Teknik Persuasi... 127
1. Menarik Karena Berbeda... 128
2. Menarik Karena Menggiurkan... 132
BAB IV “BACALAH, WALAU BUKAN DENGAN NAMA TUHANMU!”: FETISISME PENANDA DAN DOMINASI PENGETAHUAN IMAJINER DALAM JUDUL-JUDUL BUKU SWA-BANTU ISLAMI... 142
1. “Islami” sebagai penanda utama dan poin de capiton... 144
2. “Islami” sebagai Ideal yang Diminta oleh Liyan Simbolis (Pembaca sebagai Subjek Permintaan)... 152
3. Permintaan agar “Islami” sebagai Langkah Awal untuk “Menjadi Islami” (Pembaca sebagai Subjek Hasrat) ... 159
4. Fantasi yang Mestinya Dilahirkan Buku Swa-bantu Islami: Strategi Menghadapi Objet petit a...167
5. Judul-judul Buku Swa-bantu Islami sebagai Fetis (Pembaca sebagai Subjek Perversif)... 175
B. Janji Pengetahuan dalam Buku Swa-bantu Islami: Judul sebagai Cermin Imajiner ... 182
1. Pengetahuan Imajiner bagi Pembaca yang Dianggap Rasional (Pembaca sebagai Ego Modern) ... 185
2. Eksploitasi Hasrat Metonimik Pembaca oleh Industri Perbukuan (Pembaca sebagai Subjek Ketidaksadaran)... 192
3. Sihir Judul: Pengetahuan Imajiner dengan Kemasan Pengetahuan Simbolis ... 195
BAB V PENUTUP... 201
A. Kesimpulan-kesimpulan... 201
1. Kesimpulan umum ... 201
2. Temuan khusus ... 202
B. Harapan ... 205
DAFTAR TABEL
Tabel I.1: Judul-judul dengan Tema Ritual Ibadah Umum ... 91
Tabel I.2: Judul dengan Tema Kisah-kisah Hikmah ... 92
Tabel I.3: Judul dengan Tema Teks Suci dan/atau Terjemahannya ... 92
Tabel I.4: Judul dengan Tema tentang Disiplin Tertentu... 94
Tabel I.5: Judul dengan Tema Generik Terkait Masalah Spesifik ... 94
Tabel I.6: Judul dengan Tema Generik yang Menyasar Pembaca Spesifik ... 95
Tabel I.7: Judul-judul tentang Kesehatan ... 99
Tabel I.8: Judul-judul tentang Pencegahan/Pengobatan Penyakit... 100
Tabel I.9: Judul-judul tentang Jilbab... 102
Tabel I.10: Judul-judul tentang Seksualitas dan Kehiduapn Pasutri ... 103
Tabel I.11: Judul-judul tentang Keluarga Sakinah... 106
Tabel I.12: Judul-judul tentang Kebahagiaan Keluarga... 106
Tabel I.13: Judul-judul tentang Keluarga sebagai Proyek Seseorang... 107
Tabel I.14: Judul-judul tentang Peran Suami/Istri dalam Keluarga ... 108
Tabel I.15: Judul-judul tentang Masalah yang Perlu Diwaspadai dalam Kehidupan Keluarga ... 109
Tabel I.16: Judul-judul tentang Poligami ... 109
Tabel I.17: Judul-judul tentang Pernikahan ... 111
Tabel I.18: Judul-Judul Tentang Figur Nabi sebagai Orang Tua... 114
Tabel I.19: Judul-judul tentang Nama-nama Bayi Islami ... 115
Tabel I.20: Judul-judul tentang Kesejahteraan Ekonomi ... 116
Tabel I.21: Judul-judul tentang Sukses dan Bahagia yang Dikonkretisasi ... 117
Tabel I.22: Judul-judul tentang Hutang dan Kemiskinan ... 118
Tabel I.23: Judul-judul tentang Penggemblengangan Daya Tahan Psikis (recovering)... 123
Tabel I.24: Judul-judul tentang Penyembuhan “Penyakit” Kejiwaan ... 124
Tabel I.25: Judul-judul tentang Keadaan Hidup yang Ideal... 125
Tabel I.26: Judul-judul tentang Pribadi Muslim Ideal... 125
Tabel I.27: Judul-judul dengan Teknik Retorika Bombastis dan Sensasional ... 129
Tabel I.28: Judul-judul dengan Teknik Retorika Kontradiktif/kontroversial ... 129
Tabel I.29: Judul-judul dengan Teknik Retorika Interogatif (tanya) dan Ekslamatif (seruan) ... 130
Tabel I.30: Judul-judul dengan Teknik Retorika Janji Ketersingkapan... 133
Tabel I.32: Judul-judul dengan Teknik Retorika Janji Kelebihan... 135
Tabel I.33: Judul-judul dengan Teknik Retorika Janji Keinstanan... 137
Tabel I.34: Judul-judul dengan Teknik Retorika Logika “Jika-Maka” ... 137
Tabel I.35: Judul-judul dengan Teknik Retorika yang Menempatkan Ibadah sebagai Sarana Menuju Tujuan ... 139
Tabel I.36: Judul-judul dengan Teknik Retorika Pertukaran dan Investasi ... 140
Tabel II.1: Keanekaragaman Judul Akibat Sifat Metonimik Hasrat ... 162
Tabel II.2: Judul-judul dengan kata “kaya” dan “rezeki” ... 178
Tabel II.3: Judul-judul tentang Hutang dan Kemiskinan ... 178
Tabel II.4: Judul-judul dengan Teknik Retorika Logika “Jika-Maka” ... 180
Tabel II.5: Judul-judul dengan Teknik Retorika Janji Ketersingkapan... 180
Tabel II.6: Judul-judul dengan Teknik Retorika Janji Keinstanan... 180
Tabel II.7: Judul-judul dengan Bilangan Tertentu... 181
Table II.8: Contoh Konkretisasi Pembaca dalam Judul Buku Swa-bantu Islami... 188
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1: Contoh sampul Buku Swa-bantu Islami dari tahun 1980-an
dan 2000-an ... 80
Gambar I.2: Contoh Sampul yang Memanfaatkan Citra Fotografis yang Realis ... 81
Gambar I.3: Contoh Sampul Buku yang Memanfaatkan Citra Fotografis yang Didistorsi ... 81
Gambar I.4: Sampul Buku dengan Citra-citra yang Tidak “Nyambung” ... 82
Gambar I.5: Sampul Buku dengan Image-image yang Naif ... 83
Gambar I.6: Sampul Buku dengan Ornamen-Ornamen Arabesque ... 84
Gambar I.7: Sampul Buku dengan Ornamen sebagai Pelengkap ... 85
Gambar I.8: Sampul Buku dengan Image Kartun Makhluk Hidup Ornamen sebagai Pelengkap ... 86
Gambar I.9: Sampul Buku yang hanya Menonjolkan Kata-kata Judul ... 87
Gambar II.1: Fungsi Retroaktif Penanda Utama dalam Sampul Buku ... 148
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia perbukuan Indonesia dalam lebih kurang satu dasawarsa terakhir diwarnai maraknya buku-buku Islam populer.1 Buku-buku ini biasanya berisi tuntunan ibadah praktis, tuntunan psikologis, tuntunan kehidupan rumah tangga, tuntunan karir dan kewirausahaan, tuntunan pendidikan anak, novel-novel populer untuk dewasa dan remaja, sampai kisah-kisah religius yang dikemas dalam bentuk kartun. Suasana semarak ini paling jelas terlihat dalam pameran-pameran buku, terutama yang bertajuk pameran buku Islam (Islamic Book Fair) yang diadakan di beberapa kota besar di Indonesia, bahkan ada yang dua sampai tiga kali dalam setahun. Seorang pengelola pameran buku Islam di Jakarta tahun 2010 mengatakan “Ada ribuan judul buku baru, di samping puluhan ribu judul buku yang sudah terbit sebelumnya. Buku-buku tersebut mencakup berbagai bidang, dari ibadah, Alquran, Hadis, fiqih, anak, keluarga, pemikiran, referensi, hingga how to dan buku-buku fiksi.”2
1 Meski dalam masyarakat Muslim buku (Arab: kitab) bukan barang baru, namun yang dimaksud
dengan buku-buku Islami (Islamic books) di sini adalah dalam pengertian seperti yang dikemukakan Armando Salvatore dan Dale F. Eicklemann: “a style of writing that appeals to new audiences. These are inexpensive, attractively printed mass market texts that address such practical questions as how to live as a Muslim in the modern world and the perils of neglecting Islamic obligations. Some offer advice to young women on how to live as a Muslim in modern urban society, and some take the form of popular
catechisms. These books articulate basic questions bearing directly on the lives of average citizens.” Dale F. Eicklemann dan Armando Salvatore, "Muslim Publics”, dalam Armando Salvatore and Dale F.
Eicklemann (eds.), Public Islam and the Common Good, Leiden: Brill, 2004, hlm. 14-15.
2 Penuturan Iwan Setiawan sebagai Ketua Panitia Jakarta Islamic Book Fair 2010 yang
Fenomena ini belum mencolok sampai awal tahun 2000-an, karena yang jadi tren saat itu adalah buku-buku teoretis, terutama yang berasal dari wacana ilmu sosial kritis dan Marxis. Bahkan dalam konteks ilmu keislaman pun, buku-buku yang muncul juga tidak kalah kritisnya terhadap pemikiran Islam ortodoks. Memasuki tahun 2000-an terjadi perubahan yang cukup drastis. Tren buku kritis dan kiri perlahan-lahan digeser oleh buku-buku religius populer dengan berbagai subgenrenya. Salah satu sub-genre buku-buku Islam populer yang jadi trend adalah buku swa-bantu Islami. Di sini istilah buku-buku swa-bantu dipakai sebagai terjemahan istilah bahasa Inggris self-help literature.3 Sedangkan istilah kata sifat “Islami” sendiri ingin menunjukkan bahwa buku tersebut secara eksplisit memuat teks-teks kanonik dari khazanah ajaran agama Islam, entah itu al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad, tafsir, teks-teks karya para ulama, kisah-kisah hikmah, ajaran moral atau akhlak yang sudah populer dalam masyarakat Islam dan lain sebagainya.
Literatur swa-bantu adalah subgenre tulisan non-fiksi yang umumnya memuat panduan dan tuntunan bagi pembaca dalam membantu dirinya sendiri untuk menjawab pertanyaan dan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Istilah buku-buku swa-bantu memayungi beberapa istilah populer lain yang juga sedikit banyak mengacu pada pengertian umum ini, di antaranya: self-improvement books (buku-buku pengembangan-diri), advice books (buku-buku tuntunan), how to books (buku-buku kiat dan tips), motivational books (buku-buku motivasi), dan
inspirational books (buku-buku inspiratif). Secara tersirat perbedaan istilah ini
3
Meski pun belum terlalu lazim dalam pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari, di sini istilah “swa-bantu” dipakai mengikuti penerjemah dan editor buku The Last Self-Help Book: Sebuah Renungan Filsafat dan Semiotika Diri dengan Gaya Humor Satir, karya Walker Percy. Buku ini adalah terjemahan dari Lost in The Cosmos: The Last Self-Help Book , terbitan Picador, New York, 1983. Lihat Walker Percy The Last Self-Help Book: Sebuah Renungan Filsafat dan Semiotika Diri dengan Gaya Humor Satir, terjemahan Lucky Ginanjar Adipurna, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2006. Lihat juga artikel “Buku Dibutuhkan tapi Diabaikan” dalam Koran Jakarta edisi Senin, 18 Mei 2009, dimuat lagi di blog
disebabkan oleh perbedaan kegunaan yang diandaikan akan diperoleh oleh pembaca. Semua istilah itu bermuara pada pengertian tentang fungsi sebuah buku, atau lebih tepatnya, pada mode of reading pembaca dari sudut fungsional. Jika dilihat dari sudut ini, maka nyaris semua teks/buku bisa memenuhi “fungsi membantu.” Karena setiap pembaca berkeinginan untuk dibantu dalam menjawab pertanyaan yang ada pada dirinya, atau mendapat petunjuk mengatasi masalah yang dia hadapi dalam kehidupannya. Orang ingin mendapatkan pengetahuan dengan membaca buku.
Untuk membedakannya dari buku atau bahan bacaan lain pada umumnya, perspektif fungsional ini harus ditambah dengan perspektif lain, yaitu dari karakteristiknya. Steven Starker, seorang sosiolog Amerika, mengatakan ada dua prinsip yang harus diperhatikan untuk menentukan apakah sebuah buku memiliki karakteristik buku swa-bantu atau tidak, yaitu: pembaca yang ingin dituju (intended
audience) dan kegunaan yang dijanjikan (presumed utility).4 Berbeda dari buku-buku akademis yang berasal dari riset atas suatu topik yang terfokus, buku-buku-buku-buku swa-bantu dialamatkan kepada pembaca awam. Buku semacam itu mengomunikasikan suatu pembahasan untuk pembaca luas dengan cara yang menarik, gampang dicerna dan sederhana sehingga tidak memerlukan latar belakang pengetahuan dan keilmuan yang khusus. Sementara kegunaan yang dijanjikan bersifat langsung dan praktis dengan menawarkan instruksi-instruksi yang relatif jelas tentang suatu hal.
Ciri penting lainnya adalah buku-buku swa-bantu ditujukan kepada pembaca individual yang memerlukan bantuan panduan untuk menolong dirinya sendiri dalam mengatasi berbagai persoalan, mulai dari persoalan praktis dan teknis tentang bagaimana memanfaatkan pekarangan rumah dengan menanam
4
tanaman-tanaman obat atau bagaimana menata ruangan di rumah; persoalan kesehatan dan kebugaran tentang bagaimana mengatasi insomnia atau mengurangi berat badan; persoalan kejiwaan tentang bagaimana mengatasi stres; sampai tentang persoalan pandangan hidup yang lebih filosofis tentang bagaimana memahami kesuksesan dan kegagalan.5
Starker menyimpulkan tiga ciri eksplisit buku-buku swa-bantu yang lahir dari dua prinsip tadi. Pertama, “anekdotal versus informasional.” Ada buku-buku yang lebih banyak berisi kisah-kisah yang disampaikan dalam rangka menopang argumen, dan ada pula buku yang lebih banyak berisi informasi-informasi tentang fakta yang sudah diterima luas untuk mendukung perspektif atau panduan yang ditawarkan. Kedua, “Preskriptif versus deskriptif.” Ada buku-buku yang memang secara eksplisit menyatakan “harus begini, harus begitu” dan ada pula yang hanya melukiskan suatu keadaan, sehingga pembaca diberi keleluasaan untuk membuat kesimpulan. Dan ketiga, “tertutup versus terbuka.” Ada buku-buku yang mengetengahkan pandangan yang tertutup dan sempurna dalam dirinya sendiri sehingga menutup kemungkinan untuk berinteraksi dengan perspektif lain, dan ada pula yang sifatnya terbuka tentang usulan tawaran-tawaran yang diberikan.6
Ciri-ciri yang disebutkan di atas terlihat pada konteks kemunculan dan perkembangan genre ini. Setidaknya ada tiga konteks yang memungkinkan lahirnya genre ini, yaitu: pertama, perkembangan teknologi dan industri cetak. Selain didorong oleh kepentingan menyebarkan informasi dan pengetahuan, perkembangan teknologi dan industri cetak juga didorong kepentingan ekonomi,
5 Judul-judul yang mengilustrasikan hal ini dapat dilihat sebagai berikut: Yusuf Mansur, Kun
Fayakun: Mudahnya Mewujudkan Keinginan dan Mengatasi Persoalan Hidup, Jakarta: Zikrul, 2010; Yusep Nurjatmi, Aplikasi Desain-Desain Unik Ruang Belajar Anak, Yogyakarta: Harmoni, 2011; Wahyu Gunawan Wibiso, Tanaman Obat Keluarga Berkasiat, Yogyakarta, VIVO PUBLISHER, 2011; Sara C. Mednick, Misteri Tidur Siang (Tidur Sejenak, Rasakan Manfaatnya), Yogyakarta: LIRIS, 2011; Imam Musbikin, La Takhof wa la Tayasu: Jangan Menyerah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2011
6
sebab selain mengandung nilai budaya, pada saat yang sama barang cetakan juga mengandung nilai ekonomis sebagai komoditas.
Kedua, perubahan budaya akibat perubahan cara-mengetahui (mode of
knowing) dan cara transmisi pengetahuan yang semula bertumpu pada kelisanan kepada keberaksaraan. Faktor ini sebenarnya setali tiga uang dengan faktor pertama, karena tersebarnya bahan bacaan secara massif tidak akan mungkin terjadi jika tidak ada massa yang mampu membaca, sebaliknya massa pembaca ini tercipta juga diakibatkan oleh makin banyaknya materi bacaan yang tersebar.
Ketiga, posisi manusia yang jadi “tuan rasional” bagi dirinya sendiri dalam kehidupan zaman modern.7 Manusia menjadi “tuan rasional” bagi dirinya sendiri dalam menentukan bagaimana dia akan menjalani hidup. Jika di zaman tradisional, tradisi memainkan peran kunci dalam penentuan ini, di zaman modern manusia telah “tercerahkan” untuk mengandalkan rasio dalam membuat keputusan-keputusannya. Namun optimisme ini bukannya tidak bermasalah, karena ilmu pengetahuan dalam praktik kehidupan sehari-hari justru menciptakan dua masalah yang tak kurang peliknya dibanding ketergantungan pada tradisi: kecemasan akibat risiko-risiko yang diprediksi ilmu pengetahuan dan spesialisasi pengetahuan yang membuat spesialis di satu bidang menjadi awam di bidang lain. Untuk yang pertama soalnya adalah bagaimana mengelola kehidupan agar tak sampai pada risiko yang diprediksi, sedangkan untuk yang kedua adalah bagaimana mengatasi masalah yang bukan spesialisasi kita.
Pertanyaan tentang bagaimana setiap manusia bisa secara sendiri mengamalkan ilmu pengetahuan dalam pengertian zaman modern tadi menjadi latar belakang kemunculan literatur swa-bantu, bagaimana manusia bisa mengatasi
7 Ketiga konteks ini ditemukan berdasarkan pembacaan atas beberapa literatur terkait, yang
sendiri persoalan dan pertanyaan yang dia hadapi dalam hidupnya. Ketika berhadapan dengan berbagai pilihan, dia harus segera menentukan pilihan tanpa berpanjang-panjang membandingkan mana pilihan yang paling tepat. Maka tidak salah jika istilah self-help (swa-bantu) diambil dari judul buku Samuel Smiles yang jadi titik awal popularitas genre ini dalam kebudayaan Barat modern. Smiles mengatakan tujuan buku yang dia tulis,
[…] to stimulate youths to apply themselves diligently to right pursuits, –sparing neither labor, pains, nor self-denial in prosecuting them,– and to rely upon their own efforts in life, rather than depend upon the help or patronage of others, [and] it will also be found, from the examples given of literary and scientific men, artists, inventors, educators, philanthropists, missionaries, and martyrs, that the duty of helping one’s self in the highest sense involves the helping of one’s neighbors.” 8
Dalam perkembangannya, terutama di Amerika,9 genre tulisan sebagaimana yang dirintis oleh Samuel Smiles ini menjelma jadi salah satu segmen industri perbukuan terbesar. McGee mengatakan buku-buku swa-bantu adalah bagian dari segmen industri perbukuan yang bertajuk literatur panduan-panduan (advice literature). Industri ini adalah bagian dari industri yang lebih besar di Amerika di paruh kedua abad kedua puluh, yakni industri pengembangan-diri (self-improvement) yang mencakup perbukuan, seminar-seminar pengembangan diri, produk-produk audio-video, kursus-kursus kepribadian yang bernilai dua setengah miliar dollar per tahun dan hampir sepertiga orang Amerika pernah
8
Samuel Smiles, Self-Help, London: Hazel, Watson and Viney, I.D., 1908, hlm. Vi.
9
membeli sebuah buku swa-bantu selama hidup mereka.10 Bahkan ada beberapa buku yang popularitasnya mendunia sehingga menjadi semacam “kitab suci” baru seperti
Emotional
Intelligence:
Why
It
Can
Matter
More
than
IQ
karya Daniel
Goleman
;
You
Can
Heal
Your
Life
karya Louise Hay
;
The
Power
of
Positive
Thinking
karya Norman Vincent Peale
;
Learned
Optimism
karya Martin Seligman
;
How
to
Win
Friends
and
Influence
People
karya Dale Carnegie
;
The
Seven
Spiritual
Laws
of
Success
karya Deepak Chopra
;
The
7
Habits
of
Highly
Effective
People
karya Stephen Covey
;
Awaken
the
Giant
Within
Secrets
of
Happiness
Doing
what
you
love
doing
what
works
karya Anthony Robbins
;
Men
Are
from
Mars
Women
Are
from
Venus
karya John Gray
;
Life
Strategies:
Doing
What
Works
Doing
What
Matters
karya Philip C. McGraw
;
Rich
Dad
Poor
Dad
karya Robert T. Kyosaki.11
Pengertian self-help juga mengalami perubahan. Kalau di zaman Samuel Smiles yang hidup di akhir abad ke-19 kesuksesan hidup yang ingin diwujudkan oleh seseorang secara swadaya dilihat dari hal-hal eksternal dan dapat diukur seperti kekayaan, status atau kekuasaan, maka di paruh kedua abad ke-20 ukurannya menjadi kesejahteraan emosional, pengalaman kebahagiaan secara subjektif dan pencarian kenikmatan hidup.12
10
Micki McGee, Self-Help Inc.: Makeover Culture in American Life, New York: Oxford University Press, 2005, hlm. 11 (Dalam bentuk PDF).
11 Hampir seluruh buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan para
pengarangnya juga sangat terkenal di Indonesia. Contoh-contoh ini dikutip dari Tom Butler-Bowdon, 50 Self-Help Classics: 50 Inspirational Books to Transform Your Life Your Life from Timeless Sages to Contemporary Guru, London: Nicholas Brealey Publishing, 2003, hlm. 4-5.
12
Di Indonesia sendiri perkembangan yang sama juga terjadi. Hal ini tentu dimungkinkan karena perkembangan teknologi modern dan proses globalisasi lewat media di mana apa-apa yang dibicarakan dan diberitakan di belahan dunia lain dengan cepat dapat pula dibaca dan dibicarakan di sini. Walaupun keterangan pasti tentang bagaimana sejarah kemunculan dan perkembangan buku-buku swa-bantu di Indonesia belum diperoleh, namun dapat dipastikan bahwa genre buku ini juga muncul dan berkembang seiring dengan kemunculan dan perkembangan dunia penerbitan dan perbukuan di Indonesia, setidaknya sejak awal abad keduapuluh. Karena genre ini lahir dari kebudayaan masyarakat Barat modern, maka hampir bisa dipastikan bahwa pada awalnya buku-buku swa-bantu yang berkembang di Indonesia adalah terjemahan dari bahasa asing. Di awal abad ke-20 banyak yang berasal terjemahan atau saduran dari buku-buku berbahasa Belanda, karena waktu itu bahasa Belanda mendominasi wacana intelektual Indonesia sementara setelah Indonesia merdeka didominasi oleh terjemahan-terjemahan dari bahasa Inggris. Hal ini setidaknya dibuktikan sebuah buku berjudul
Ilmu
Bergaul
karangan M. Yunan Nasution, seorang jurnalis dan pemikir Muslim Indonesia pertengahan abad dua puluh. Buku ini awalnya adalah tulisan bersambung Yunan Nasution di mingguan Pedoman Masyarakat tahun 1940 yang kemudian dibukukan. Di bagian pengantar penulis secara eksplisit mengakui bahwa yang dijadikannya acuan utama adalah buku berbahasa Belanda
Zo
Maakt
U
Vrienden
en
Goede
Relaties
yang tak lain adalah terjemahan Belanda untuk buku
(mutual aid)seperti ini setidaknya berlangsung sampai era 1970-an di Amerika, namun tiga puluhan tahun kemudian pengertian ini berubah seratus delapan puluh derajat, di mana usaha bersama dalam
How
To
Win
Friends
and
Influence
People
karangan Dale Carnegie yang terbit pertama kali tahun 1926.13
Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam dunia perbukuan Indonesia tahun 2000-an, buku-buku swa-bantu sebagaimana dicirikan di atas mengadopsi wacana Islami –terutama yang berasal dari teks-teks normatif-kanonik seperti al-Quran dan Hadits Nabi, tafsir dan kitab-kitab fiqh (yurisprudensi Islam)– untuk memberi dasar dan legitimasi bagi panduan-panduan yang ditawarkannya. Sebagai ilustrasi, buku
La
Tahzan:
Jangan
Bersedih,
misalnya,
adalah buku terjemahan dari bahasa Arab
berjudul
Laa
Tahzan
karangan Dr. ‘Aid Al-Qarni. Penerjemah menjelaskan tujuan penerjemahan dan penerbitan buku ini dalam Bahasa Indonesia untuk mengimbangi “buku-buku self-help, buku-buku petunjuk cara hidup,” yang hanya memberi nuansa “bagaimana kita mencapai kesuksesan dunia, atau lebih tepatnya kesuksesan materiil,” sedangkan “buku ini sangat padat dengan nuansa rabbani tanpa mengesampingkan sisi-sisi duniawi.”14
Pengadopsian ini tidak bisa dijelaskan dengan sekadar mengatakan bahwa produsen buku berhasil memperhatikan dan memanfaatkan ceruk pasar yang ada dengan teknik diferensiasi dan diversifikasi produk. Memang sebelum tren subgenre ini muncul, literatur swa-bantu yang tidak mengadopsi wacana agama telah lebih dahulu jadi tren dan meraup pangsa pasar yang sangat besar, terutama dalam bentuk terjemahan dari bahasa Inggris. Terjemahan buku-buku karangan Stephen Covey, Daniel Carnegie, Deepak Chopra, Daniel Coleman, Robert T.
13 Sayangnya data tentang tahun terbitan pertama buku ini dalam bahasa Belanda tidak berhasil
ditemukan. Lihat M. Yunan Nasution, Ilmu Bergaul, Medan: Pustaka Madju, tt., hlm. 3 (“Tutur Sepatah”) dan situs Wikipedia edisi Belanda di bawah entri “Dale Carnegie”.
14 Samson Rahman, “Pengantar Penerjemah”, dalam Aid Al-Qarni, La Tahzan: Jangan Bersedih,
Kyosaki sangat populer di kalangan pembaca Indonesia.15 Mengatakan tren buku swa-bantu Islami ini hanya sekadar mengikuti kesuksesan komersial buku-buku swa-bantu yang tidak membawa embel-embel ajaran Islam adalah penjelasan sederhana dan “permukaan” atas dinamika perubahan kultural dan sosial-politik masyarakat Muslim Indonesia. Di antara masalah yang tidak akan terjelaskan dengan logika dagang “ada permintaan, ada barang” itu adalah kebutuhan apa sesungguhnya yang coba dipuaskan oleh buku-buku swa-bantu Islami itu, karena kalau hanya nasihat atau tuntunan normatif berdasarkan ajaran-ajaran Islam, bukankah tradisi masyarakat Muslim Indonesia sudah mengenal nasihat dan tuntunan tersebut, meskipun melalui media lain? Dinyatakan dengan cara lain, pertanyaannya adalah apa yang membedakan buku-buku swa-bantu Islami itu dengan teks-teks normatif lain, baik dari segi bentuk dan cara penyampaian, maupun dari isi substansi persoalan yang dibahas. Ataukah tuntunan atau bantuan yang diberikannya memang sangat berbeda dari yang diberikan oleh teks-teks normatif tradisional?
Tak dapat diragukan bahwa perkembangan teknologi telah mempengaruhi penyebaran teks-teks keagamaan di tengah umat Muslim Indonesia. Kemajuan di bidang teknologi komunikasi memungkinkan orang berkirim teks dalam bentuk data digital dari jarak jauh dalam waktu yang sangat cepat. Sebagai ilustrasi bagaimana kecanggihan teknologi berimbas pada penyebaran tersebut dapat dilihat dari bagaimana seorang penulis atau penerjemah tidak perlu mengirimkan naskah karangan atau terjemahannya dalam bentuk berkas-cetak kepada penerbit, cukup dengan berkas-elektronik lewat email dan bisa langsung ditelaah oleh editor di layar komputer tanpa harus membalik-balik kertas. Begitu pula dalam proses
15 Layak pula diperhatikan bahwa buku-buku ini hampir seluruhnya tetap mempertahankan judul
cetak sebuah buku, kemajuan teknologi komputer telah memangkas waktu yang diperlukan untuk penyuntingan (editing) dan tata letak (layout) secara revolusioner dibanding cara-cara manual. Bayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang penyunting ketika harus menemukan kekeliruan penulisan kata depan “dimana” dalam naskah setebal 300 halaman kwarto spasi ganda dan membetulkannya menjadi “di mana” secara manual? Sedangkan kemajuan yang paling berpengaruh dalam persebaran ini adalah kemajuan di bidang sistem transportasi dan jasa ekspedisi yang menjadi jantung dari usaha yang dijalankan perusahaan-perusahaan distributor buku.
Masyarakat Muslim memang sudah mengenal teks-teks keagamaan yang lazim disebut kitab, yakni buku berbahasa Arab yang berisi pesan-pesan normatif-teologis agama Islam. Mulai dari yang berisi pembahasan sederhana tentang tata cara ibadah sehari-hari seperti berwudhu, mandi wajib, shalat, puasa, dan sebagainya sebagaimana dalam kitab
Fathul
Qarib
yang jadi bacaan wajib santri tahun pertama di pondok-pondok pesantren sampai pembahasan yang mendalam tentang tauhid (keesaan Allah) dan tashawuf (sufisme) seperti kitab Ihya ‘Ulum
al-Din karangan al-Ghazali. Terlepas dari fakta bahwa kemajuan-kemajuan tadi juga memperluas persebaran kitab-kitab ini, namun kenyataan yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa teks ini hanya bisa dibaca oleh kalangan yang mendapat pendidikan bahasa Arab dan disiplin-disiplin ilmu agama tradisional di pondok pesantren dan sekolah-sekolah agama.
tentang kehidupan yang mereka jalani karena meluas dan meningkatnya taraf pendidikan modern masyarakat Muslim Indonesia. Pendidikan modern memberi akses bagi orang Muslim ke dalam berbagai informasi dan pengetahuan modern. Alam pikiran modern yang terinternalisasi lewat pendidikan ini kemudian melahirkan masalah-masalah yang dikonseptualisasi, dirumuskan dan didefinisikan secara modern, begitu pula kondisi-kondisi yang memungkinkan pemecahannya. Secara sosiologis, gejala perubahan sistem makna dan cara pemahaman ini lebih kentara jika dilihat di lingkungan Muslim perkotaan (urban), karena orang Muslim yang mengenyam pendidikan yang relatif tinggi akan memperoleh atau berusaha memperoleh pekerjaan “kerah putih” yang lebih banyak tersedia di kota.
Maka maraknya buku-buku swa-bantu Islami tadi dapat diletakkan dalam kerangka perkembangan ini. Di satu sisi, kemajuan teknologi telah memudahkan proses produksi teks, mulai dari tahap pencarian tema dan bahan yang akan ditulis sampai distribusi dan promosinya sehingga yang muncul kemudian adalah apa yang dikatakan Francis Robinson sebagai “terkikisnya otoritas ulama sebagai penafsir Islam.”16 Revolusi percetakan mengakibatkan berubahnya cara penyebaran pengetahuan umat Muslim yang semula bertumpu pada transmisi lisan menjadi transmisi aksara. Robinson mengatakan bahwa “yang jadi inti transmisi pengetahuan Islam adalah transmisi orang ke orang. Cara paling tepat untuk sampai pada kebenaran adalah dengan mendengar langsung pengarang. Itulah sebabnya mengapa ulama-ulama Muslim berkelana ke berbagai penjuru negeri untuk mendengar dan belajar langsung dari ulama yang dianggap terpercaya.”17 Cara menuntut ilmu seperti ini juga dilakoni oleh ulama-ulama “tradisional” Indonesia yang mau belajar ke kiai-kiai terkenal di berbagai tempat.
16
Francis Robinson, “Technology and Religious Change: Islam and the Impact of Print”, dalam Modern Asia Studies, 27, 1 (1993), hlm. 244.
Pergeseran titik tumpu transmisi pengetahuan ke arah keberaksaraan dimungkinkan oleh perkembangan teknologi cetak dan sistem pendidikan modern sehingga akhirnya “pengetahuan tidak lagi merupakan milik segelintir elit, namun terbuka untuk dipahami bagi siapa saja yang bisa membaca, menghafal dan mendengar.”18 Dari sisi pengetahuan keagamaan, pergeseran ini di satu pihak memungkinkan terjadi demokratisasi pengetahuan agama di mana setiap orang relatif bisa mengaksesnya, dan di pihak lain mentransformasi otoritas keagamaan para ulama sebagai pemegang otoritas pengetahuan keagamaan. Ulama mau tak mau harus menyesuaikan cara mereka dalam membangun, menegaskan, menunjukkan dan mempertahankannya.19
Di samping faktor pendidikan dan budaya modern tadi, sebagai produk kultural yang telah jadi komoditas, maraknya buku-buku swa-bantu itu juga dikarenakan meningkatnya permintaan pasar akibat perubahan situasi politik di Indonesia di Era Reformasi yang memberikan kebebasan kepada masyarakat Muslim mengekspresikan segala macam paham dan ideologi keagamaannya. Dalam periode yang disebut Abdul Munip –seorang peneliti buku-buku terjemahan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia– sebagai “periode kebebasan” ini “negara telah melonggarkan tekanan ideologisnya dan membuka kran demokrasi. Dengan ideologinya masing-masing, penerbit-penerbit yang didirikan di periode ini justru berhadap-hadapan sesama mereka sendiri dalam kontestasi ideologi dan merebut pembaca setia, sebab negara yang sebelumnya jadi lawan ternyata telah beralih lakon menjadi penyelenggara pertandingan dan menyerahkan otoritas wasit yang
18 Francis Robins, Ibid., hlm. 241.
19 Pendapat ini dinyatakan oleh Muhammad Qasim Zaman sebagai kritik terhadap pendapat
akan mengatur permainan kepada mekanisme pasar (pasar perbukuan).”20 Sementara dari sisi ekonomi, “buku-buku reliji atau spiritual Islam memang masih menunjukkan kedigdayaannya meskipun sebuah tema kadang dikeroyok puluhan penerbit. Sebut saja tema shalat dhuha (shalat sunnah yang dilaksanakan di waktu pagi menjelang siang) ataupun sedekah yang dengan berbagai judul dan pengemasan ditawarkan oleh penerbit. Namun, anehnya semuanya kadang bisa laku normal (3.000 eksemplar).”21
Meningkatnya permintaan buku-buku populer Islam dilatarbelakangi oleh keinginan masyarakat Muslim Indonesia untuk memenuhi kebutuhan akan wacana-wacana keislaman yang sebelumnya tidak tersedia. Kebutuhan itu bisa berbentuk kebutuhan akan wacana yang membahas masalah-masalah kehidupan yang memang belum tersedia dalam buku-buku atau kitab-kitab lama, bisa juga berbentuk kebutuhan akan wacana yang disampaikan lewat bahasa Indonesia yang lebih gampang diakses, meski masalah yang dibicarakan di dalamnya sudah dibahas dalam kitab-kitab.
Di antara wacana yang beredar melalui tersebarnya buku bergenre swa-bantu Islami adalah wacana kemusliman modern, karena pengertian dan ciri-ciri
buku swa-bantu bertumpu pada “kedirian” pembaca sebagai seorang individu yang
hidup di alam modern (sebagaimana yang dicerminkan kata self dalam istilah
self-help books).
Hal ini perlu digarisbawahi karena kehidupan modern mengharuskan seseorang menjadikan dirinya sebagai “proyek.” Pertanyaan “Bagaimana aku akan menjalani hidup ini” harus dijawab dan diputuskan hari ke hari di tengah berbagai
20
Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang
Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 203.
21
pilihan dan kemungkinan yang tersedia. Penyebab keadaan ini adalah ciri kehidupan modern yang bertumpu pada keraguan radikal di mana pengetahuan apa pun selalu mengambil bentuk hipotetis yang terbuka untuk direvisi dan dirombak. Prinsip ini berakibat pada lahirnya sistem-sistem pengetahuan yang terspesialisasi dan saling mengkritisi satu terhadap yang lain: dari sini lahirlah pilihan-pilihan. Sehari-hari seorang Muslim dihadapkan pada berbagai pilihan, mulai dari jenis makanan yang akan dikonsumsi agar sehat sampai ke jenis orang kurang mampu yang seperti apa zakat atau sedekah akan diberikan, misalnya.
Selain itu kehidupan modern adalah kehidupan penuh risiko, karena kemampuan prediktif ilmu pengetahuan rasional tidak hanya memetakan risiko, akan tetapi juga menciptakan risiko-risiko baru yang di zaman sebelumnya belum dikenal. Maka di antara tugas terpenting ilmu pengetahuan adalah antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan risiko yang ada. Misalnya, di zaman Nabi dulu mungkin orang tidak akan perlu berpikir panjang tentang bentuk investasi apa yang aman dan halal terkait dengan sistem moneter internasional.
Buku-buku swa-bantu dapat diletakkan dalam konteks ini, artinya buku-buku itu mencoba menyuguhkan hikmah masa lalu yang bisa dipetik jadi pelajaran, situasi dan kondisi faktual sekarang yang bisa dikelola sebagai peluang, dan perkiraan masa depan yang bisa dicita-citakan oleh seorang individu. Tiga inti orientasi waktu inilah yang dapat dia jadikan sebagai “bantuan”, “motivasi” dan “inspirasi” tentang “bagaimana” (how to) membuat sebuah “diri” yang dia inginkan. Tidak heran jika dalam bahasa populer genre buku swa-bantu juga disebut “buku-buku kiat sukses” dalam hidup, sebab “diri” yang ingin dibantu pembikinannya oleh buku-buku tersebut adalah diri yang “sukses” dalam pengertian seluas dan seumum-umumnya istilah ini.
“pembuatannya” oleh buku-buku tersebut. Pertanyaan ini patut diperhatikan karena masyarakat Muslim Indonesia modern, dihadapkan pada berbagai pilihan panduan dan pandangan hidup. Masyarakat Muslim Indonesia, serta umat Muslim pada umumnya, diwarisi identitas normatif keislaman yang jelas dari masa lalu. Seseorang Muslim yang ditanya “Apa bukti Anda seorang Muslim?” akan menjawab “Aku beriman pada keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad, melaksanakan shalat, berpuasa, membayarkan zakat dan melaksanakan haji jika mampu. Namun ketika ditanya “Sebagai seorang Muslim, bagaimana Anda menjalani hidup sehari-hari, mengatasi kesulitan hidup saat ini dan merancang kehidupan masa depan yang lebih baik?” belum tentu dia akan memberikan jawaban sejelas dan setegas tadi. Dengan kata lain, dia merasa perlu mempertimbangkan dan memilih sekian banyak alternatif tentang bagaimana mengatasi kendala dan menggagas cita-citanya, di mana ajaran dan resep dari tradisi Islam hanyalah salah satu dari sekian banyak alternatif tersebut.
Diungkapkan secara konkret, di sini kegelisahan yang jadi pemicu dibicarakannya fenomena maraknya buku-buku swa-bantu Islam adalah seperti apa gambaran buku-buku yang ditawarkan industri perbukuan Islam untuk dibaca/dikonsumsi oleh kaum Muslimin Indonesia. Apa yang dijual di dalamnya sehingga industri perbukuan menjadi alternatif bisnis dan lapangan pekerjaan? Apa yang ditawarkan dan dikemas di dalamnya sehingga rak toko buku, stand pameran, dan katalog cetak dan online dipenuhi oleh judul-judul buku dari genre ini? Orang Muslim seperti apa dan yang bagaimana yang ada dalam judul-judul itu?
Berdasarkan latar belakang di atas, tesis ini akan mengkaji subjektivitas kemusliman yang terwacanakan lewat produksi buku-buku swa-bantu Islami. Pembahasan akan difokuskan pada dua hal: proses produksi wacana subjektivitas kemusliman di arena perbukuan Islami-populer dan subjektivitas kemusliman yang diwacanakan secara tekstual lewat “bantuan”, “kiat”, atau “panduan” yang dicantumkan secara eksplisit maupun implisit dalam judul-judul buku tersebut.
Penelitian ini akan fokus pada judul-judul buku swa-bantu Islami karena judul-judul inilah yang pertama kali dilihat dan dibaca pembaca sebelum “memutuskan” membeli atau tidak. Judul-judul adalah ujung tombak yang dipakai penerbit untuk menarik perhatian calon pembaca/pembeli.
B. Rumusan Masalah
Untuk menjaga fokus kajian sebagaimana disampaikan di atas, penelitian ini berpatokan pada rincian pertanyaan berikut:
1. Bagaimana proses pengadaan, penyeleksian dan pengolahan buku-buku swa-bantu Islami dalam dunia penerbitan buku di Indonesia pasca-reformasi? 2. Pembaca Muslim yang bagaimana yang disasar oleh judul-judul buku
swa-bantu Islami?
3. Subjektivitas kemusliman seperti apa yang ditawarkan oleh buku-buku swa-bantu Islami melalui judul-judulnya?
4. Apa jenis pengetahuan dominan yang disodorkan judul-judul tersebut dan apa fungsinya bagi pembacanya.
C. Tujuan dan Manfaat
Sesuai dengan pokok-pokok persoalan yang dirumuskan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dan mengetahui gambaran umum proses produksi buku-buku swa-bantu Islami dalam konteks industri perbukuan tanah air. Di sini ada dua proses penting yang ingin diketahui: proses yang terkait dengan pasar dan yang terkait dengan pernaskahan dan keredaksian.
Selanjutnya penelitian ini hendak mengetahui kategori dan ciri-ciri pembaca Muslim seperti apa yang dituju secara eksplisit maupun implisit oleh judul buku-buku swa-bantu Islami dan subjektivitas kemusliman yang ditawarkan di dalamnya. Akhirnya, penelitian ini akan dikerucutkan pada sebuah tujuan yang lebih mendasar, yaitu mengetahui wacana dominan apa yang mewarnai buku-buku swa-bantu Islami yang marak, dan oleh karena itu laku keras, dalam hampir satu setengah dasawarsa terakhir di Indonesia.
Indonesia seperti apa dan yang bagaimana yang sedang ramai dibicarakan, yang marak diwacanakan, secara tekstual. Dari sini penulis dan pembaca lebih kurang akan mengetahui subjektivitas kemusliman yang sedang dikonstruksi melalui wacana populer –untuk tidak mengatakan wacana non-ilmiah dan non-akademis. Pengetahuan tentang subjektivitas tersebut diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu pertimbangan untuk membicarakan (menulis) tentang salah satu segmen umat Islam Indonesia ini. Sedangkan bagi umat Islam Indonesia itu sendiri, dia dapat dipakai sebagai salah satu dasar sikap ketika diri mereka dibicarakan (ditulis).
Terlepas dari itu semua, manfaat terbesar yang dicita-citakan penulis dalam penelitian ini adalah diperolehnya pembacaan dan pengetahuan yang lebih segar tentang bagaimana umat Islam Indonesia khususnya, dan umat beragama pada umumnya, menyikapi dan mengolah tata kehidupan yang telah berubah menjadi sebuah pasar maha besar, di mana hampir semua “yang ada” bisa jadi barang dagangan.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian-penelitian yang telah ada terkait dengan topik yang dibahas di sini dapat dipilah menjadi tiga kategori: penelitian yang mengaitkan dunia perbukuan Islam Indonesia dengan situasi sosial politik Indonesia secara umum, penelitian yang menitikberatkan pada dinamika dunia perbukuan Islam itu sendiri sebagai salah satu bentuk industri media, dan penelitian yang mencoba mengkaji kaitan literatur swa-bantu dengan masyarakat Indonesia.
Indonesia yang tak pelak lagi memang dikepung oleh berbagai media, termasuk media cetak. Kedua, penelitian atau tulisan kategori ketiga jumlahnya tidak banyak dan masih berbentuk artikel-artikel lepas yang dipublikasi di media massa.
Di antara penelitian yang membahas hubungan dunia penerbitan Islam dan situasi sosial politik Indonesia adalah tulisan C. W. Watson berjudul “Islamic Books and Their Publishers: Notes on The Contemporary Indonesian Scene,”22 Robert W. Hefner berjudul Robert Hefner, “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries among Indonesians Muslims,”23 dan tulisan Dale F. Eickelman dan Jon Anderson dengan judul “Print Islam and the Prospect for Civic Pluralism: New Religious Writings and their Audiences,”1997).24 Watson berusaha menggambarkan ide-ide Islami dan topik-topik bahasan yang beredar di tengah masyarakat Muslim Indonesia kontemporer yang kerap kali luput dari amatan penelitian-penelitian yang cuma fokus pada elit politik kelompok Islam di pusat. Watson juga berusaha melukiskan geliat generasi baru Islam Indonesia dalam memperjuangkan identitasnya di ranah sosial-politik. Adapun Heffner mencoba mengaitkan media cetak Islam dan pertarungan ideologis yang berlangsung di dalam masyarakat Islam Indonesia. Golongan Islam konservatif cenderung mengidentifikasi diri dengan media Islam tertentu sementara golongan yang lebih moderat dengan media Islam lain. Sedangkan Eickelman dan Anderson melihat dunia cetak secara umum di Indonesia tidak bisa dilepaskan oleh paham pluralisme yang dimungkinkan oleh ideologi Pancasila. Buku-buku Islam yang terbit di masa Orde Baru cenderung mengusung gagasan pluralisme yang dalam pengalaman
22
C. W. Watson, “Islamic Books and Their Publishers: Notes on The Contemporary Indonesian Scene,” dalam Journal of Islamic Studies 16:2 (2005) hlm. 177 dan 210;.
23 Robert Hefner, “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries among Indonesians Muslims,
Indonesia, 87, 1997
24
negara-negara Islam lain, terutama yang di Timur Tengah, agak sulit digulirkan. Hal yang belum didalami lebih jauh oleh ketiga penulis ini, terutama oleh Watson yang melakukan penelitian saat buku-buku Islam populer sudah sangat marak, adalah hubungan konsumsi buku-buku ini dengan ekspresi ideologi serta pola keberagamaan generasi baru Islam Indonesia yang tidak bisa lagi dilihat berdasarkan kategori-kategori tradisional (Muhammadiyah atau NU, menerima asas tunggal Pancasila atau tidak, dan lain sebagainya).
Terdapat satu penelitian yang dapat dikatakan menjembatani kategori pertama dan kedua, yaitu disertasi Dr. Abdul Munip yang kemudian dibukukan menjadi Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang
Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004.25
Dalam penelitiannya, Munip memfokuskan diri pada seluk beluk penerbitan terjemahan buku-buku (kitab) berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia serta latar belakang historis yang memungkinkan proses tersebut. Dalam kesimpulannya Munip menyatakan bahwa meledaknya buku-buku Islam populer di Indonesia, termasuk yang terjemahan dari buku berbahasa Arab, dimungkinkan oleh faktor peningkatan taraf pendidikan masyarakat Muslim Indonesia yang bermula pada era 1980-an serta faktor pengebirian ideologi Islam oleh kekuasaan Orde Baru. Pengebirian ini mendesak umat Muslim untuk mencari kanal-kanal penyaluran aspirasi ideologisnya ke tempat lain selain jalur politik formal, salah satunya adalah pada media buku.26
25 Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang
Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008
26 “Indikatornya antara lain meningkatnya penerbitan buku-buku agama, ceramah-ceramah,
Sementara penelitian yang secara khusus mencermati maraknya buku-buku Islam populer di Indonesia dalam konteks geliat industri perbuku-bukuan tanah air di antaranya adalah di antaranya adalah dari Haidar Bagir berjudul “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim ”27 dan “Jagat Buku Islam dan Kebangkitan Nasional”28 dan Novriantoni berjudul “Membaca Peta Industri Perbukuan Islam,”29 dan Phillip J. Vermonte berjudul “Penerbitan Islam di Indonesia: Menuju Sebuah Print
Culture?”.30
Haidar Bagir, yang juga merupakan pendiri dan direktur Penerbit Mizan, secara eksplisit memandang positif perkembangan industri perbukuan Islam Indonesia, terutama dari perspektif ekonomi. Dia menyatakan
“Dilihat dari sudut pandang apa pun, penulis kolom ini berpendapat bahwa ini adalah perkembangan yang positif. Ia mendukung demokratisasi informasi dengan memperkaya tawaran informasi yang dilempar ke pasar bebas informasi.
Ia juga dapat memperkuat ketahanan ekonomi bangsa. Ya, kekuatan ekonomi yang dapat dilahirkan oleh industri kreatif Islam ini --kalau tidak sekarang, di masa depan-- dapat terbukti merupakan salah satu pilar penting penyangga ekonomi kita. Hal ini sekaligus menunjukkan keuletan dan etos ekonomi dan
bisnis kaum santri di Indonesia.” 31 (Cetak miring dari penulis)
Sedangkan kelompok sosial yang dianggap Bagir berada di balik geliat perbukuan Islam ini adalah “kelompok kelas menengah Muslim” yang berasal dari “kelompok yang dulunya tradisional dan berasal dari kelompok psikososial yang ‘bawah’ di satu sisi, dan kelompok ‘born again Muslim’ di sisi lain.”
dari penulis Muslim Indonesia maupun terjemahan atau saduran dari penulis asing.” Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008, hlm. 184-186.
27
Haidar Bagir, “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim,” dalam Gatra edisi khusus (7 September 2011)
28 Haidar Bagir, “Jagat Buku Islam dan Kebangkitan Nasional”, diakses dan diunduh dari situs
Mizan.com tanggal 16 November 2009, pernah dimuat dalam Tempo, edisi 19-26 Mei 2008
29
Novriantoni, “Membaca Peta Industri Perbukuan Islam”, dalam situs Jaringan Islam Liberal, edisi 19 Maret 2007, diakses dan diunduh 13 Mei 2009.
30 Phillip J. Vermonte, “Penerbitan Islam di Indonesia: Menuju Sebuah Print Culture?” dalam Rizal
Sukma dan Clara Joewono (ed.), Gerakan & Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer, Jakarta: CSIS, 2007
31
Dalam artikelnya ini, Bagir memang sudah menyinggung apa yang jadi topik utama penelitian ini dengan mengatakan bahwa kelompok kelas menengah Muslim ini memiliki “kebutuhan baru untuk menunjukkan identitas keislaman yang lebih kental.”32 Hanya saja apa yang melatari kebutuhan itu serta gambaran yang lebih konkret tentang identitas keislaman yang dimaksud belum sempat dia sampaikan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat ruang dan konteks tulisannya sebagai artikel di sebuah majalah umum. Dia hanya menyinggung dalam sebuah kalimat pendek apa bisa dijadikan kata kunci untuk meneruskan pembicaraan tentang identitas keislaman yang dia maksud: “Bahkan bisa dikatakan, ia harus memenuhi berbagai syarat yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari gaya hidup Muslim modern.”33
Ada pun tulisan Novriantoni, seorang penulis yang aktif di komunitas Jaringan Islam Liberal Jakarta, dan Phillip J. Vermonte, seorang sosiolog dan peneliti ADB dari Filipna, memakai cara pandang yang lebih dikotomis dan terang-terangan dibanding Haidar Bagir ketika melihat kelompok pembaca yang mengonsumsi buku-buku Islam populer. Mereka membedakan segmen pembaca menjadi golongan elit-terpelajar dan golongan awam, di mana buku-buku swabantu Islami dimasukkan ke dalam kategori buku populer Islam dan diandaikan paling banyak dikonsumsi oleh golongan awam. Secara khusus tulisan Vermonte memang berniat menjawab pertanyaan sosiologis apakah maraknya buku-buku
32 Haidar Bagir, “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim,” dalam Gatra edisi khusus (7 September
2011), hlm. 127.
33
Islam populer itu menandai kemunculan budaya cetak (print culture) di tengah masyarakat Indonesia di mana peran ulama merosot karena umat berusaha mencari pengetahuan keagamaan secara mandiri? Sayangnya pertanyaan ini tidak dijawab Vermonte dengan memuaskan, karena yang justru ditonjolkan dalam tulisannya adalah kategorisasi buku-buku keislaman secara umum dan segmen pembaca masing-masing –hal yang lebih-kurang juga dilakukan Novriantoni. Nampaknya Vermonte mengandaikan adanya hubungan ketergantungan langsung antara ulama dan umat, jika umat tidak lagi sering berinteraksi dengan ulama, dengan sendirinya peran ulama dianggap merosot. Sedangkan Novriantoni menakar terlalu rendah apa yang dia sebut segmen pembaca awam hanya karena mereka tidak membaca buku-buku Islam yang “berat-berat.”
Selanjutnya buku berjudul Declare! Dari Balik Dapur Penerbit-penerbit Jogja karangan Adhe34 memaparkan informasi dan data-data tentang apa yang terjadi di “dapur” penerbitan buku. Meski penelitian yang melahirkan buku ini menyoroti penerbit-penerbit di Yogyakarta dan tidak membedakan antara penerbit yang cuma menerbitkan buku bertema Islam dan yang tidak, namun dia dapat memberikan gambaran yang lumayan utuh tentang nasib sebuah buku semenjak masih berupa “gagasan” yang ada di kepala penulis sampai terpampang di ruang pajang atau rak toko buku.
Hal terpenting yang bisa diambil dari penelitian Adhe ini adalah dia menyodorkan sebuah kenyataan tak terbantahkan bahwa apa pun jenis dan bentuknya, apa pun dalih dan motif yang diklaim mendasari produksinya, buku adalah barang dagangan.35 Yang perlu diselidiki lebih jauh lagi adalah apa yang
34
Adhe. Declare! Dari Balik Dapur Penerbit-penerbit Jogja. Yogyakarta: KPJ (Komunitas Penerbit Jogja), 2007.
35 “Penerbitan adalah salah satu jenis pekerjaan ang juga tidak luput dari dipakainya
membuat satu spesies dagangan lebih laku dari spesies lain, meski dari jenis yang sama, sehingga pedagang berlomba-lomba memproduksi dan menjual spesies tersebut?
Pertanyaan di atas seakan terjawab oleh tulisan yang tercakup ke dalam kategori penelitian ketiga, yang menyoroti kaitan literatur swa-bantu dengan masyarakat Indonesia. Tulisan tersebut berjudul “Buku Apa Yang Dibaca Bangsa Kita?: Refleksi 1 Abad Kebangkitan Nasional”36 dari Arif Toga yang pernah menjadi pimpinan Toko Buku Diskon Toga Mas Yogyakarta. Berdasarkan analisisnya atas data-data kuantitatif angka penjualan di toko buku yang dia kelola, dia menyimpulkan bahwa 62% eksemplar buku yang diminati/laku hanya