1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesantunan merupakan aspek yang sangat penting dalam komunikasi. Akan tetapi, masyarakat Indonesia banyak bertutur dengan tidak santun di lingkungan sosialnya. Akhir-akhir ini, bertutur dengan tidak santun bukan lagi hal yang ‘aneh’
di masyarakat Indonesia. Banyak orang memilih menggunakan bahasa yang tidak santun saat berbicara, terutama kepada teman dekat mereka. Fenomena ini seakan telah menjadi kebiasaan yang lumrah di masyarakat, terutama di kalangan anak muda. Kesantunan dalam bertutur dan berperilaku menjadi salah satu tolak ukur seseorang berbudaya atau tidak. Oleh sebab itu, penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa perlu dilakukan.
Ketidaksantunan merupakan bahasan yang terbilang baru dalam ranah pragmatik. Munculnya teori mengenai ketidaksantunan ini dipelopori oleh Culpeper (1996). Teori ini merupakan pengembangan dari teori kesantunan Brown dan Levinson. Menurut Culpeper (1996: 350), ketidaksantunan dapat diartikan sebagai strategi yang dilakukan untuk menghancurkan hubungan sosial antar penutur. Ketidaksantunan berbahasa menurut Wijayanto (2014: 116) tidak hanya mencakup penggunaan kata-kata yang kasar, tetapi juga perilaku berbahasa, seperti menghardik, menghina, meremehkan, membantah, dan sebagainya.
Untuk menuturkan sebuah ujaran yang tidak santun, seseorang dapat menggunakan strategi ketidaksantunan. Mengacu pada strategi kesantunan Brown commit to user
dan Levinson, Culpeper (1996) merumuskan lima strategi ketidaksantunan, yaitu bald on record impoliteness (ketidaksantunan langsung), positive impoliteness
(ketidaksantunan positif), negative impoliteness (ketidaksantunan negatif), mock politeness (kesantunan semu), dan withhold politeness (menahan kesantunan).
Berikut contoh strategi ketidaksantunan negatif yang berupa menakut-nakuti mitra tutur.
B : “Tapi ini kan ga bener kak?”
A : “Ingat ya, tutup mulut lo! Kalo sampe gue denger lo ngadu ke atasan, gue pastiin idup lo bakal menderita. Ga cuman idup lo doang, orang tua lo juga! Jangan berani-berani lo sama gue!”
B : (Mengangguk dengan ketakutan)
Dari percakapan tersebut, strategi ketidaksantunan negatif yang ditemukan berbunyi “Ingat ya, tutup mulut lo! Kalo sampe gue denger lo ngadu ke atasan, gue pastiin idup lo bakal menderita. Ga cuman idup lo doang, orang tua lo juga! Jangan berani-berani lo sama gue!”. Strategi ketidaksantunan tersebut tergolong dalam substrategi menakut-nakuti. A memberikan rasa takut dengan mengancam akan membuat hidup B menderita. Faktor utama penggunaan strategi ketidaksantunan tersebut adalah power (kekuasaan) A yang lebih tinggi dari B.
Selain strategi ketidaksantunan, Culpeper (2003) juga merumuskan bahwa seseorang yang merasakan ketidaksantunan dapat merespons ketidaksantunan yang diterimanya. Orang yang merasakan tindak ketidaksantunan dapat memilih untuk merespons ketidaksantunan tersebut atau tidak. Ketika seseorang tersebut memilih untuk merespons ketidaksantunan yang dirasakannya, orang tersebut dapat merespons dengan melawan atau menerima ketidaksantunan tersebut. Untuk
commit to user
melawan ketidaksantunan yang dirasakannya, penutur dapat menggunakan dua strategi, yaitu strategi ofensif-ofensif dan strategi ofensif-defensif. Berikut contoh respons terhadap ketidaksantunan dengan strategi ofensif-ofensif.
A : “Lo jelek!”
B : “Lo yang jelek! Ga usah sok iye deh lo!”
Contoh tersebut menunjukkan penggunaan strategi ofensif-ofensif dari respons terhadap ketidaksantunan. Tuturan yang menunjukkan penggunaan strategi ofensif-ofensif adalah “Lo yang jelek! Ga usah sok iye deh lo!”. Dalam
percakapan di atas, A menghina B dengan mengatakan bahwa B jelek. B yang tidak terima dengan penghinaan tersebut pun merespons ketidaksantunan A dengan menyerang balik muka A. Oleh sebab itu, contoh percakapan ini dapat digolongkan ke dalam strategi ofensif-ofensif respons terhadap ketidaksantunan.
Penggunaan bahasa yang tidak santun tidak hanya ditemukan dalam kehidupan sehari-hari saja, tetapi juga dalam film. Film merupakan sebuah tayangan yang dibuat berdasarkan skenario dari penulis naskah. Dewasa ini, film sudah menjadi kebutuhan hiburan bagi masyarakat, baik anak-anak maupun orang dewasa. Banyak orang yang menonton film untuk menghilangkan stress atau sekadar mencari hiburan karena kebosanan. Tanpa disadari, film-film yang ditonton dapat memengaruhi pribadi seseorang, baik dalam bersikap ataupun bertutur.
Penggunaan bahasa yang tidak santun dalam film-film tersebut dikhawatirkan akan ditiru oleh sebagian orang, terutama anak-anak atau remaja yang menonton tanpa bimbingan dari orang tua mereka. Oleh sebab itu, penelitian mengenai
commit to user
ketidaksantunan berbahasa dalam sebuah film perlu dilakukan untuk mengetahui penggunaan bahasa yang digunakan.
Salah satu film Indonesia yang mengandung banyak ketidaksantunan berbahasa adalah film The Raid dan The Raid 2: Berandal karya Gareth Evans.
Film The Raid dan The Raid 2: Berandal merupakan film action kebanggaan Indonesia yang rilis pada tahun 2011 dan 2014. Film ini disebut-sebut sebagai salah satu pelopor kebangkitan perfilman di Indonesia. Genre action dipilih karena penelitian ketidaksantunan yang bersumber dari film belum pernah meneliti film dengan genre action. Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, penelitian ketidaksantunan yang bersumber dari film hanya meneliti film dengan genre romance drama. Dalam genre action, ketidaksantunan dimunculkan untuk
menimbulkan fungsi afektif dan fungsi memaksa, berbeda dengan genre comedy yang memunculkan ketidaksantunan untuk menimbulkan fungsi menghibur. Selain itu, kedua film tersebut telah banyak memenangkan penghargaan baik dalam ranah nasional maupun internasional. Beberapa penghargaan yang telah diraih film The Raid dan The Raid 2: Berandal adalah The Cadillac People’s Choice Midnight
Madness Award (The Raid), Audience Award dan Dublin Film Critics Circle Best Film dalam Festival Film International Dublin Jameson (The Raid), Florida Film Critics Circle (The Raid 2: Berandal), dan Maya Awards (The Raid 2: Berandal).
Dalam film The Raid dan The Raid 2: Berandal, banyak ditemukan fenomena ketidaksantunan berbahasa seperti penggunaan sumpah-serapah dan kata-kata kasar. Banyak ditemukan tuturan yang mengandung kata-kata seperti anjing, bangsat, brengsek, dan taik dalam kedua film tersebut. Selain itu, tuturan-
commit to user
tuturan yang mengejek, merendahkan, mengabaikan, menyalahkan, dan meremehkan orang lain juga ditemukan dalam kedua film tersebut. Beberapa hal tersebut dapat dikatakan sebagai fenomena kebahasaan, yaitu ketidaksantunan berbahasa. Berikut penggalan dialog penggunaan ketidaksantunan yang mengandung strategi dan respons terhadap ketidaksantunan dalam film The Raid.
(1) Konteks: Peristiwa tutur terjadi saat Rama menghadap Bapak 1. Peristiwa tutur yang berlangsung melibatkan Bapak 1 (BP1) sebagai penutur dan Rama (R) sebagai mitra tuturnya. Dalam peristiwa tutur tersebut, Rama menghadap Bapak 1. Di sana, ia mencoba menanyakan kabar Bowo, namun Bapak 1 malah mengabaikannya dan menyuruhnya diam.
R : “Tu anak udah keluar dari rumah sakit, ‘kan? Gue denger dia dikeluarin”
BP1 : “Tutup mulut lo! Lo di sini cuman ngangguk doang.
Iya atau enggak. Ngerti?”
R : (Diam)
BP1 : “(Melihat beberapa foto dan menunjukkannya ke Rama) Salah apa dia?”
(4/TR2)
Dialog di atas menunjukkan penggunaan strategi ketidaksantunan positif berupa mengabaikan orang lain. Fenomena ketidaksantunan tersebut tercermin dari tuturan yang dilakukan oleh Bapak 1 (BP1) kepada Rama (R). Tuturan tidak santun tersebut ditunjukkan oleh tuturan yang bercetak tebal, yaitu “Tutup mulut lo! Lo di sini cuman ngangguk doang. Iya atau enggak. Ngerti?”. Pada tuturan tersebut, Bapak 1 mengabaikan Rama yang bertanya kepadanya. Ia tidak memberi Rama kesempatan bicara dan menyuruhnya untuk diam. Tuturan tersebut masuk dalam strategi ketidaksantunan positif karena bertujuan untuk merusak muka positif mitra
commit to user
tutur. Selain itu, tuturan tersebut juga ditandai dengan adanya konteks yang mengikuti tuturan dan penggunaan intonasi yang tinggi. Power (kekuasaan) menjadi faktor utama penggunaan ketidaksantunan dalam dialog ini. Adapun respons Rama yang tergambar dalam konteks yang bercetak tebal, yaitu (Diam), termasuk dalam pilihan tidak merespons. Rama memilih untuk tidak merespons ketidaksantunan yang dirasakannya dari mitra tutur sehingga ia hanya diam saja.
Penelitian mengenai ketidaksantunan berbahasa mulai banyak dilakukan oleh dosen, mahasiswa, dan peneliti bahasa. Beberapa penelitian yang ditemukan antara lain penelitian dari Wijayanto (2014), Rahardi (2014), Saputro (2015), Gunawan (2017), Hanif (2018), Kharisma (2018), dan Utami (2019). Secara umum, penelitian-penelitian tersebut hanya membahas mengenai wujud ketidaksantunan, strategi ketidaksantunan, penanda ketidaksantunan, dan fungsi ketidaksantunan.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini membahas mengenai strategi ketidaksantunan dan respons terhadap ketidaksantunan yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam film The Raid dan The Raid 2: Berandal. Penelitian ketidaksantunan mengenai respons terhadap
ketidaksantunan sudah pernah diteliti, tetapi penelitian tersebut bersumber pada series luar negeri. Adapun teori ketidaksantunan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teori ketidaksantunan Culpeper.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, penelitian ini hendak mengkaji tentang penggunaan ketidaksantunan berbahasa yang terdapat dalam film The Raid dan The Raid 2: Berandal. Penggunaan bahasa yang dikaji dalam penelitian ini adalah strategi dan respons terhadap ketidaksantunan. Penelitian ini layak untuk dilakukan
commit to user
karena penelitian tentang respons terhadap ketidaksantunan masih sangat jarang dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para individu yang berkecimpung di dunia perfilman, khususnya sutradara dan penulis naskah, agar dapat memproduksi film-film dengan bahasa yang lebih santun sehingga dapat memberi dampak yang positif kepada para penonton.
B. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan yang dilakukan tidak terlalu luas dan menyimpang, pembatasan masalah dibutuhkan dalam penelitian ini. Berdasarkan latar yang belakang yang telah dipaparkan, penelitian ini hanya akan membahas mengenai strategi ketidaksantunan dan respons terhadap ketidaksantunan yang terdapat dalam film The Raid dan The Raid 2: Berandal.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah diuraikan, rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah strategi ketidaksantunan yang digunakan dalam film The Raid dan The Raid 2: Berandal?
2. Bagaimanakah respons terhadap ketidaksantunan yang terdapat dalam film The Raid dan The Raid 2: Berandal?
commit to user
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan strategi ketidaksantunan yang digunakan dalam film The Raid dan The Raid 2: Berandal.
2. Mendeskripsikan respons terhadap ketidaksantunan yang terdapat film The Raid dan The Raid 2: Berandal.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian yang baik haruslah memiliki manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis. Hasil penelitian “Ketidaksantunan Berbahasa dalam Film The Raid dan The Raid 2: Berandal Karya Gareth Evans” hendaknya dapat
memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan mampu membantu pengembangan studi pragmatik, terutama di bidang ketidaksantunan yang masih perlu digali lebih dalam. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan kepada para pembaca terkait dengan ilmu linguistik khususnya pragmatik.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu melatih kepekaan terhadap tuturan yang disampaikan orang lain. Penelitian ini diharapkan mampu membantu para pembaca untuk lebih memahami tentang ketidaksantunan, strategi, serta respons terhadap ketidaksantunan dalam film The Raid dan The commit to user
Raid 2: Berandal. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi
atau acuan untuk penelitian ketidaksantunan yang akan datang serta menjadi pertimbangan bagi para sutradara dan penulis naskah agar dapat menghasilkan film-film dengan bahasa yang lebih santun sehingga dapat memberikan dampak yang positif kepada para penonton.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, sistematika penulisan diuraikan secara rinci.
Sistematika penulisan diperlukan agar dapat mengarahkan serta menunjukkan bagaimana cara kerja yang runtut dan jelas dalam penelitian ini. Berikut sistematika penulisan dalam penelitian “Ketidaksantunan Berbahasa dalam Film The Raid dan The Raid 2: Berandal Karya Gareth Evans”.
Bab I adalah pendahuluan. Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang penelitian. Selain itu, bab ini juga menguraikan pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II adalah kajian pustaka dan kerangka pikir. Bab ini menguraikan mengenai konsep teori yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Bab ini berisi landasan teori yang digunakan untuk menganalisis masalah yang dikaji, yaitu ketidaksantunan berbahasa. Dalam penelitian ini, teori yang dikemukakan adalah teori ketidaksantunan berbahasa menurut Culpeper.
Bab III adalah metode penelitian. Bab ini menguraikan jenis penelitian yang dilakukan, data dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode yang
commit to user
digunakan untuk menganalisis data. Selain itu, diuraikan pula metode penyajian hasil analisis data.
Bab IV adalah analisis data. Bab ini memaparkan analisis strategi ketidaksantunan serta respons ketidaksantunan berbahasa yang ditinjau dari teori ketidaksantunan Culpeper.
Bab V adalah penutup. Bab ini menguraikan simpulan serta saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Selain itu, daftar pustaka yang digunakan dalam penelitian diuraikan di akhir.
commit to user