• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH PUBLIKASI RESILIENSI PADA IBU BERSTATUS SINGLE PARENT YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NASKAH PUBLIKASI RESILIENSI PADA IBU BERSTATUS SINGLE PARENT YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1

NASKAH PUBLIKASI

RESILIENSI PADA IBU BERSTATUS SINGLE PARENT YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME

Oleh : HAJMAH ZAKIYA INDAHRIA SULISTYARINI

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA 2012

(2)

2

NASKAH PUBLIKASI

RESILIENSI PADA IBU BERSTATUS SINGLE PARENT

YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME

Telah Disetujui Pada Tanggal

...

Dosen Pembimbing

(Rr. Indah Ria Sulistyarini, S.Psi, MA, Psi)

(3)

3

RESILIENCE ON SINGLE PARENT MOTHER WHO HAVE DOWN SYNDROME CHILD

Hajmah Zakiya

Indah Ria Sulistyarini

Abstract

Basically, complete parent have the advantage if compared to single parent, which is can be made place of shared and provide harmonious conditions for the development of their child, but some of parent have to experience being a single parent by various causes. A mother with status of single parents who have down syndrome child would be felt over-pressure in his life. Being the single parents and implements the dual role is not easy for a woman, especially in terms of raising the child. This is because, in one sides she must satisfy psychological requirement of the child and on the other side she had to meet all the physical needs of her child including the slander of other people which must be received by the mother. This research aim to know about how proces and supplementary factor of resilience on single parent mother with down syndrome child. This research consisted of two respondents who are single parent mother and have down syndrome child and also domiciled in Yogyakarta. This research applies qualitative method with in-depth interview technique. Result of the research indicates that resiliency process of each mother is difference. In the first respondent, since the beginning of his life was under pressure, she is trying to be patient and try to get up. There is no sense of self-blame, shame, and disappointed with the child's condition. While the second respondent was felt ashamed, like to complain, and blaming for them. At one moment, the family of second respondent advised to leave the children in a boarding house, but the respondent not willing to apart with the child and since this, the respondent tried to get up and raising the child. In taking care of family, both of mothers tried to make of their child can be independent. The activities being done is work and teaches the child to be able to perform daily activities, given therapy, child education, and introduce the children to the environment.

Sometimes the mothers also get slander and problem with the family, but they kept trying to solve these problems and more closer to Allah SWT. The attitude of the mother‟s resilience is doesn‟t get out of the supplementary factors, where it‟s come from their selves, others help and support from close family.

Key words :Single Parent, Resilience, Down syndrome

(4)

4 PENGANTAR

Pada dasarnya, orang tua yang lengkap memang memiliki keuntungan dibanding orang tua tunggal, yaitu dapat berbagi dan menyediakan kondisi yang harmonis bagi perkembangan anak mereka, namun sebagian dari orang tua harus mengalami menjadi orangtua tunggal oleh berbagai sebab. Gass- Sternas (Andaltika, 2011) menyebutkan salah satu dari tipe orang tua tunggal yakni orang tua yang membesarkan anak berkebutuhan khusus. Seorang ibu dengan status single parent yang memiliki anak down syndrome akan lebih merasakan tekanan yang lebih berat dalam hidupnya.

Alvita (Listyanto, 2009) menjadi single parent dan menjalankan peran ganda bukan merupakan hal yang mudah bagi seorang wanita, terutama dalam hal membesarkan anak. Hal ini dikarenakan, di satu sisi ia harus memenuhi kebutuhan psikologis anak-anaknya (pemberian kasih sayang, perhatian, rasa aman) dan di sisi lain ia pun harus memenuhi semua kebutuhan fisik anak- anaknya (kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain yang berkaitan dengan materi). Artinya, wanita single parent harus mampu mengkombinasikan antara pekerjaan domestik dan publik demi tercapainya tujuan keluarga yang utama, yakni membentuk anak yang berkualitas.

Pada berbagai kasus di Indonesia, bentuk keluarga dengan orang tua tunggal yang sering dijumpai adalah karena adanya perceraian dan kematian salah satu pasangan. Jumlah keluarga dengan orang tua tunggal wanita di Indonesia semakin meningkat. Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik tahun 1994 menunjukan bahwa jumlah wanita

(5)

5

di Indonesia yang menjadi kepala rumah tangga karena bercerai sebanyak 778.156 orang dan karena kematian suami berjumlah 3.681.568 orang (total 4.459.724) (http://bustanova.wordpress.com/tag/orang-tua-tunggal/).

Wade (Nevid dkk, 2005) down syndrome ditandai oleh adanya kelebihan komosom atau kromosom ketiga pada pasangan ke-21, sehingga menyebabkan jumlah kromosom menjadi 47, bukan 46 seperti pada individu normal. Reddy dkk (2004) memaparkan bahwa anak-anak dengan down syndrome dilahirkan dengan berbagai kelainan fisik yang menghasilkan kemiripan yang sama. Semiun (2006) menjelaskan penderita down syndrome akan memiliki bentuk wajah yang khas, hidung pesek atau tumpul dan lebar, letak matanya miring, lubang matanya sempit dan sipit.

Saat ini, menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan Biotechnology (ICBB) Bogor, terdapat lebih dari 300 ribu anak pengidap down syndrome. Angka penderita down syndrome di seluruh dunia diperkirakan mencapai 8 juta jiwa. Angka kejadian kelainan down syndrome mencapai 1 dalam 1000 kelahiran. Di Amerika serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000 dengan kelainan anak yang mengalami down syndrome. Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa (http:// www. mediaku. web .id /2008 /07/

down-syndrome.html).

Pravelensi anak yang mengalami kelainan down syndrome khususunya di Yogyakarta dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang tidak terlalu signifikan. Data yang tercantum dibawah ini merupakan data pasien anak down syndrome yang tercatat sebagai pasien rawat inap dan rawat jalan di RSUP Dr.

Sardjito, selama kurun waktu 5 tahun terkahir mulai dari tahun 2007 sampai

(6)

6

2011 untuk pasien rawat inap sedangkan 2009 sampai dengan 2011 pasien rawat jalan.

Tabel 1

Jumlah Anak Down Syndrome yang Dirawat di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun Jumlah Anak

Down Syndrome Rawat Inap

Jumlah Anak Down Syndrome

Rawat Jalan

2007 48 -

2008 34 -

2009 36 42

2010 28 117

2011 19 79

(Sumber : Sub. Bagian Rekam Medis, RSUP dr. Sardjito Yogyakarta, 2011)

Para ibu akan menunjukkan reaksi yang berbeda-beda dalam menghadapi kenyataan bahwa anak mereka menderita down syndrome, namun sebagian besar memiliki perasaan yang serupa. Kebanyakan para ibu akan merasa kaget, cemas, dan lemas ketika pada waktu mendengar anak mereka mengalami down syndrome. Sekuat apapun para orang tua terutama ibu mengatasi anaknya di masa yang akan datang, tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa-masa awal merupakan fase yang paling sulit untuk dapat menerima kenyataan tersebut.

Seorang ibu yang tidak dapat bertahan ketika menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya dibutuhkan sikap individu yang resilien.

Richardson (Glanzt & Johnson, 1999) resiliensi merupakan proses mengatasi peristiwa kehidupan yang mengganggu, stres, atau menantang dengan cara yang diberikan individu sebagai pelindung tambahan dan keterampilan bertahan yang dimiliki pada individu.

Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa individu dapat

(7)

7

mengontrol arah kehidupannya dan selalu optimis untuk membuat fisik menjadi lebih sehat. Seorang yang memiliki sikap resiliensi yang tinggi juga tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self- esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich dan Shatte 2002).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sikap resiliensi ibu yang tetap sabar dan bertahan dengan kondisi anak mereka yang memiliki down syndrome menjadi sangat penting dan akan memberikan pengaruh yang besar berkaitan dengan pertumbuhan mereka, meskipun kita semua tahu bahwa hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sikap yang dibentuk melalui perhatian dan kasih sayang oleh ibu dan keluarga serta lingkungan sekitar akan memunculkan rasa aman dan nyaman terhadap si anak dan memungkinkan mereka untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaik- baiknya, meskipun anak tersebut memiliki keterbatasan tetapi mereka akan tetap memiliki kelebihan bila mereka mendapatkan kasih sayang serta penanganan yang baik dan tepat.

(8)

8

METODE PENELITIAN

Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui proses dan faktor resiliensi pada ibu berstatus single parent yang memiliki anak down syndrome. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil desain penelitian studi kasus.

Penelitian yang akan dilakukan ini mengambil responden sebanyak dua orang dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Ibu yang memiliki anak down syndrome (baik laki-laki maupun perempuan)

2. Ibu yang mengasuh anak down syndrome secara single parent 3. Ibu yang berdomisili di Yogyakarta

Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara tipe semi terstruktur. Selain itu wawancara berpedoman pada inerview guide (pedoman wawancara) yang ada.

Metode analisis dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Dalam penelitian kualiatif, analisis data dilakukan sejak awal penelitian dan selama proses penelitian dilaksanakan. Data yang diperoleh, kemudian dikumpulkan untuk diolah secara sistematis. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan model kerangka analisis dimana kerangka analisis menggunakan pendekatan induktif (Patilima, 2005). Menurut Lacey & Luff (Patilima, 2005) proses pengumpulan data pada analisis data kualitatif dibagi menjadi beberapa tahapan yakni trankripsi, pengorganisasian data, dan koding.

Pada penelitian ini semua hasil wawancara direkan dengan alat perekam suara (voice recorder) yang kemudian data yang telah diperoleh kemudian ditulis

(9)

9

dalam bentuk catatan hasil wawancara (transkrip verbatim) yang sedemikian rupa. Pada transkrip verbatim terdapat kolom disebelah kiri verbatim untuk melakukan penomeran secara kontinyu pada baris perbaris sedangkan pada kolam sebelah kanan verbatim terdapat kolom tema. Hal tersebut merupakan tahap awal dari pengkodean. Kode tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai acuan untuk setiap kegiatan wawancara. Hal yang perlu diingat dalam tahapan pengumpulan data analisis yakni pengorganisasi data dimana dalam transkrip verbatim ditandai dengan tanggal dan tempat pengumpulan data dan data dari setiap responden atau informan.

Penggunaan kerangka analisis memungkinkan peneliti menemukan pola yang dimana pihak lain tidak melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil secara acak dalam berbagai informasi yang disajikan. Setelah menemukan pola yang dilakukan adalah mengklasifikasikan atau meng„encode‟ pola tersebut dan memberi label, definisi atau deskripsi. Koding yang dilakukan dalam penelitian ini adalah berdasarkan menurut urutan pelaksanaan wawancara, inisial responden dan baris pernyataan responden. Misalnya : R1,W1,7-35 yang artinya tema tersebut muncul pada responden pertama dalam wawancara pertama pada baris 7 sampai 35.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian dalam proses resiliensi pada masing-masing responden penelitian adalah sebagai berikut pada responden pertama sejak awal memiliki sikap resilien dimana ditunjukkan pada sikap yang dapat menerima anak dengan ikhlas, meskipun responden merasakan perasaan sedih dan juga memiliki masalah dengan pihak keluarga almarhum suaminya.

(10)

10

Faktor pendukung resiliensi pada responden pertama berasal dari dalam dirinya sendiri dan dukungan kasih sayang dari anak-anak kandung dan juga bantuan dari orang lain yang dekat dengan responden. Sedangkan pada responden kedua pada awalnya merasa malu dengan kondisi sang anak dan berpikir menyalahkan dirinya yang memiliki anak down syndrome. Namun setelah mendapatkan saran dari saudara untuk menitipkan anak diasrama dan responden merasa belum siap untuk berpisah dengan anak, responden berusaha bangkit untuk merawat anak dengan baik. Hasil yang lain juga terlihat dari resonden pertama yang tidak mendapatkan dukungan yang baik dari pihak keluarga almarhum suami, sedangkan responden kedua menerima dukungan yang baik dari pihak keluarga suami. Berikut adalah dekripsi tentang responden :

Tabel 2. Deskripsi Responden Nama

(inisial) Status Usia Agama Asal Pekerjaan Alamat ML Single

parent 42 Islam Pilahan Penjual

sayur Tamanan, RT 01 RW 02 S Single

parent 30 Islam Sragen Serabutan Wonokromo RT 01 RW 01

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh gambaran mengenai proses dan faktor resiliensi pada ibu berstatus single parent yang memiliki anak down syndrome, maka selanjutnya dilakukan pembahasan berupa gambaran dinamika psikologis dari masing-masing responden.

Seseorang yang mengalami tekanan dalam hidupnya akan dihadapkan dengan dua hal, yaitu kemampuan untuk dapat bangkit dan bertahan atau sebaliknya ketidakmampuan untuk bangkit dan tidak mampu bertahan.

(11)

11

Menurut Grotberg (1999) faktor resiko dan faktor protektif merupakan konsep dasar dari resiliensi. Individu yang hanya memiliki salah satu faktor dari faktor tersebut, baik protektif maupun resiko tidak dapat dikatakan resiliensi. Davis (Kurniawan, 2011) hal yang termasuk faktor resiko adalah kondisi status sosial, ekonomi, peran gender, hingga akumulatif ketidakberuntungan. Pada responden pertama dan kedua sama-sama memiliki anak laki-laki dengan down syndrome yang saat ini berusia 13 tahun, dimana para responden berasal dari keluarga ekonomi yang rendah yangmerupakan orang tua tunggal sehingga menjadi tulang punggung untuk keluarga karena para suami responden telah meninggal. Dalam proses resiliensi seorang ibu yang menjalankan perannya sebagai orang tua tunggal dan memiliki anak dengan down syndrome akan mengalami tekanan yang lebih berat pada dirinya. Tangri dan Verma (Heiman, 2002) mengatakan bahwa ibu yang memiliki anak-anak dengan kelainan mental melaporkan beban sosial yang diterima mereka lebih tinggi terutama ketika anak-anak mereka tumbuh. Sedangkan Shonkoff & Meisels (Kurniawan, 2011) menjelaskan faktor protektif adalah kemampuan yang bersumber dari dalam diri dan luar diri individu untuk membimbing diri sendiri dalam menghadapi kejadian-kejadian yang penuh tekanan setiap hari. Pada responden pertama yang sejak awal mendapatkan tekanan,berusaha untuk ikhlas dan perasaan dalam diri responden yang mendorong untuk membesarkan anaknya yang memiliki down syndrome karena responden merasa kasihan melihat kondisi anaknya. Berbeda dengan responden pertama yang mendapatkan faktor protektif dari dalam dirinya, justru pada responden kedua mendapatkan

(12)

12

dukungan dan bantuan dari orang lain. Awalnya responden kedua tidak dapat menerima kondisinya yang memiliki anak down syndrome dan juga sebagai single parent, dan akhirnya pihak keluarga menyarankan responden untuk menitipkan anaknya di asrama. Namun responden merasa belum yakin dan mau untuk menitipkan anaknya di asrama dan sejak hal tersebut responden merawat dan membesarkan anaknya sendiri dengan baik dan ikhlas.

Berdasarkan pengalaman yang diceritakan oleh masing-masing responden, perasaan saat mengetahui jika sang anak mengalami down syndrome hampir sama. Para ibu merasakan sedih, kecewa,malu, dan bahkan sampai menyalahkan diri sendiri karena memiliki anak dengan

“keistimewaan” yang pada akhirnya membuat mereka menangis. Namun para responden tidak lantas berlama-lama dalam kondisi yang terpuruk, responden berusaha untuk bangkit dengan menerima anak dalam kondisinya yang sekarang. Mangunsong (Justisia,2010) menyatakan proses untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang sebenarnya akan memakan waktu yang relatif lama dan selama penerimaan tersebut perasaan ibu akan fluktuaktif.

Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan dalam aspek resiliensi salah satu dari terdiri dari optimisme. Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa individu membuat fisik menjadi lebih sehat. Harapan dari masing-masing responden menginginkan sang anak dapat mandiri paling tidak untuk dirinya sendiri dan dapat diterima oleh lingkungan dan teman

(13)

13

sebayanya. Harapan pada anak-anaknya tersebut tiap responden berusaha untuk mewujudkannya dengan usaha dan keyakinan. Sedangkan mengenalkan anak kepada lingkungan juga lebih berat karena dari pihak lingkungan juga ada yang tidak dapat menerima kondisi anak responden dan mendapat gunjingan dari orang lain. Namun responden tidak berkecil hati dan terus berusaha agar sang anak dapat diterima oleh lingkungan sosial dengan selalu berdoa dan berusaha. Menurut wolin & wolin (Kurniawan, 2011) mengatakan dalam karakteristik resiliensi terdapat kemampuan untuk memahami dan memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada disekitar, dan nuansa verbal maupun nonverbal dalam komunikasi, individu yang memiliki insight mampu mananyakan pertanyaan yang menantang dan menjawabnya dengan jujur. Hal ini membantu individu untuk dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.

Selama membesarkan anak, responden juga mengalami masalah yang berkaitan dengan hidupnya dan masalah yang berkaitan dengan kondisi sang anak. Pada responden pertama selain memiliki anak down syndrome yang sejak kecil sering sakit dan memiliki jantung bawaan juga memiliki masalah pribadi dengan almarhum keluarga pihak suami yang tinggal satu atap dengan responden. Luthar (2000) menyebutkan bahwa untuk menjadi individu yang resilien seseorang harus menghadapi dua hal yaitu situasi yang penuh dengan tekanan dan tindakan yang diambil untuk dapat melindungi keadaan dari efek negatif yang ditimbulkan. Dalam menghadapi tekanan ini dibutuhkan efikasi diri yang tinggi dimana pada diri respoden memiliki sikap tersebut yang selalu berusaha untuk mencari dari satu tempat ke tempat

(14)

14

yang lain untuk mengobati anaknya. Sedangkan untuk masalah dengan keluarga suaminya responden hanya membalas dengan sikap yang baik dan tidak memperdulikan jika mendapat gunjingan dari keluarga almarhum suaminya tersebut. Kemampuan ini akan membuat individu bertahan dari masalah yang membebaninya, mampu untuk terus berjuang ketika menghadapi hambatan besar dan tidak mudah putus asa serta kehilangan harapan.

Yim (1996) menjelaskan bahwa seorang ibu dengan anak yang memiliki masalah psikologis yang serius ketika anaknya didiagnosis memiliki ketidakmampuan. Namun, sebenarnya seorang ibu mampu membuat strategi adaptasi agar bangkit dari tekanan yang dialami dan menjadi individu yang dapat menjalankan fungsinya sebagaimana individu lain yang sehat secara psikologis. Sama halnya dengan responden kedua yang dapat menghibur diri ketika merasa tidak nyaman dengan orang lain, ia dapat mengalihkan perhatiannya dengan mengisi waktunya dengan membaca buku ketika menunggu anaknya sekolah. Sedangkan responden pertama memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal, terkadang jika responden memiliki masalah atau sedang dalam keadaan bingung responden menceritakan pada seseorang yang dipercaya oleh responden. Hal selaras dengan pendapat Grotberg (1995) terkait komponen-komponen pembentuk resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Salah satunya yaitu I have dimana responden memiliki seseorang yang dapat menunjukkan apa yang individu harus lakukan seperti informasi

(15)

15

terhadap sesuatu dan memberi semangat agar individu mengikutinya atau disebut dengan role models.

Keyakinan spiritual menjadi sangat penting untuk membentuk individu menjadi resilien, karena keyakinan spiritual membuat manusia menerima peristiwa traumatis yang menimpanya (Bogar & Killacky, 2006). Pada akhirnya masing-masing responden tetap bersikap ikhlas dan pasrah kepada Allah SWT. Responden menerima kondisi hidup yang dijalaninya adalah takdir dari Tuhan. Tetapi dengan sikap ikhlas responden tetap bertahan menjalani kehidupannya. Responden memohon untuk diberikan kekuatan dan ketenangan dalam hatinya agar mampu membesarkan anak dan menghidupi keluarga. Responden pun mengaku bahwa dirinya tetap mendapatkan ketenangan lahir dan batin pada setiap tekanan yang dihadapinya. Hal ini didukung dengan pernyataan Goerge, Ellison (Taylor, 2007) yang menyatakan bahwa individu dengan keyakinan religius yang kuat menunjukkan banyak kepuasaan hidup, banyak kebahagiaan diri, dan terlihat adanya perbandingan konsekuensi negatif peristiwa traumatik dalam kehidupan pada individu yang tidak mempunyai religius.

Dukungan sosial sangat membantu kemampuan seseorang untuk menghadapi kemampuan seseorang untuk menghadapi berbagai masalah yang dihadapinya (Holaday, 1997). Dukungan yang diterima oleh responden pertama yakni dukungan dari orang lain yang selalu membantu responden jika sedang mengalami kesulitan, responden juga mendapatkan bantuan dari pemerintah. Dukungan keuangan dari pemerintah dan nirlaba telah diadakan yang bertujuan untuk memberantas faktor resiko bagi individu-individu yang

(16)

16

tidak mampu (Hanewald, 2011). Selain hal tersebut respoden juga memiliki sumber dukungan dari dalam dirinya yang memiliki rasa empati kepada anaknya yang diekpresikan dengan perasaan cinta. Dimana menurut Grotberg (1995) individu peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan mengekspresikannya melalui berbagai perilaku atau kata-kata.

Responden kedua mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekatnya yakni dari keluarga dan lingkungan yang selalu memberikan nasehat yang positif kepada responden. Menurut Bogar & Killacky (2006) salah satu faktor pendukung resiliensi yakni helpful life circumtances dimana hal tersebut muncul dalam bentuk peristiwa yang menentukan dan menjadi titik balik bagi individu untuk menjadi resilien. Untuk memperjelas pembahasan responden, maka dapat dijelaskan pada gambar sebagai berikut :

(17)

17 ...

(18)

18 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan analisis data pada penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa pada responden pertama dan kedua mengalami proses resiliensi yang berbeda. Adanya sikap resiliensi pada responden pertama yaitu ditunjukkan dengan adanya dorongan dari dalam diri responden dan dorongan dari luar diri responden yang dapat menguatkan responden untuk tetap bisa bangkit dan bertahan menjadi seorang single parent yang juga membesarkan anak down syndrome.

Responden kedua juga mengalami hal yang serupa dengan responden responden pertama. Proses resiliensi pada responden kedua juga terdapat faktor pendukung didalamnya, dari dukungan keluarga dan orang lain. Meskipun pada awalnya respoden merasa kecewa terhadap kondisi anak dan sempat merasa menyalahkan dirinya karena mendapatkan anak dengan kondisi down syndrome. Namun karena diberi nasehat yang baik dari pihak keluarga responden perlahan dapat menerima kondisi anak. Sampai akhirnya responden kedua menerima kehadiran anak dengan ikhlas dan berusaha untuk merawat anaknya dengan baik sekaligus menerima anak sebagai titipan dari Allah.

SARAN

Berdasarkan proses dan penelitian ini, peneliti memberikan beberapa saran yang relevan kepada pihak-pihak sebagai berikut :

1. Bagi Responden

Saran bagi para ibu single parent tetap mempertahankan sikap resiliensi dengan mengoptimalkan sikap optimis dan dukungan dari dalam dan luar diri. Kedua selalu tegar dan berusaha untuk dapat bangkit dari

(19)

19

segala tekanan dan lebih dapat untuk mengambil hikmah dari segala cobaan.

2. Bagi Lingkungan Sosial

Dengan adanya sikap yang baik pada lingkungan sosial akan membantu para ibu berstatus single parent yang memiliki anak down syndrome. Sikap yang baik akan membuat beban para ibu menjadi berkurang dalam hal mengenalkan anak mereka pada lingkungan sosial, sehingga hal tersebut akan mengurangi sedikit tekanan dalam diri para ibu dan memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat berkembang secara optimal.

Diharapkan untuk pemerintah setempat lebih mensosialisasikan dari tipe-tipe dan penaganan anak berkebutuhan khusus di wilayah desa atau wilayah terpencil, agar mereka lebih mengetahui dan dapat bersikap lebih tanggap untuk menangani anak mereka jika mengalami kelainan.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaan peneliian ini ada beberapa hal yang memunculkan pertanyaan baru. Oleh karena itu, peneliti mengajukan saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu diharapkan agar lebih menggali hal menarik lainnya dan juga disarankan mengambil responden lebih variatif. Penelitian pada Ibu berstatus single parent yang memiliki anak down syndrome ini semoga dapat dijadikan suatu pedoman bagi peneliti- peneliti selanjutnya.

(20)

20

DAFTAR PUSTAKA

Andaltika, D. 2011. Kepribadian Tahan Banting Pada Orang tua Tunggal. Skiripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi & Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

Baumeister, R.F. and Vohs, K.D. 2006. Self-Regulation, Ego Depletion, and Motivation. Journal Compilation, 1, 1-14.

Bogar, C.B. and Killacky, D.H. 2006. Resiliency Determinants and Resiliency Processes Among Female Adult Survivors of Childhood Sexual Abuse.

Journal of Counseling and Development, 86, 318-328.

Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada

Glanzt, M, D., Johnson, J, L.1999. Resilience and Development : Positive Life Adaptations. New York : Kluwer academic/ Plenum

Grotberg, E, H. 1999. Tapping Your Inner Strength: How To find The Resilience To Deal With Anything. Canada : New Harbinger Publications.

Hanewald, R. 2011. Reviewing the Literture on “At-Risk” and Resilient Children and Young People. Journal of Teacher Education, 36, 16-29.

Heiman, T. 2002. Parent of Children With Disabilities: Resilience, Coping, and Future Expectations. Journal of Developmental and Physical Disabilities, 14, 159-171.

Holaday, M. 1997. Resilience and Severe Burns. Journal of Counseling and Development. 75, 346-356.

Justisia, D. 2010. Hubungan Antara External Locus Of Control dengan Resiliensi pada Orang tua yang Memiliki Anak Autisme. Skripsi (Tidak Diterbitkan).

Yogyakarta : Fakultas Psikologi & Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

Kurniawan, Y.2011. Pembentukan Resiliensi Pada Penderita Thalasemia. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi & Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

Listyanto, B.D. 2009. Agresivitas Remaja Yang Memiliki Orang Tua Tunggal (Single parent) Wanita. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma (web) http ://www.gunadarma.ac.id/

library/articles /graduate/ psychology/2009/ artikel_10504032.pdf

(21)

21

Luthar, S.S dkk. 2000. The Construct of Resilience: A Critical Evaluation and Guidelines for Future Work. Child Development, 71 (3), 543-562 (web) http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1885202/

Nevid, J.S. dkk. 2005. Psikologi Abnormal (terjemahan). Edisi kelima jilid II.

Jakarta : Erlangga

Patilima, H. 2005. Metode Peneliitian kualitatif. Bandung : Alfabeta Reddy, G.L dkk. 2004. Mental Retardation. India : Darya Ganj

Reivich, Karen. & Shatte, Andrew.2002. The Resilience Factor. Ney York : Random House, Inc

Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta : Kanisius

Taylor, S.E. 2006. Health Psychology sixth Edition. McGraw-Hill : New York Yim, S.Y dkk. 1996.Psychological Characteristics of Mothers of Children with

Disabilities. Yonsei Medical Journal, 37,380-384

http://bustanova.wordpress.com/tag/orang-tua-tunggal/

http:// www. mediaku. web .id /2008 /07/ down-syndrome.html

(22)

22

IDENTITAS PENULIS Nama Mahasiswa : Hajmah Zakiya

Alamat kampus : Jl. Kaliurang Km 12,5 Sleman - Yogyakarta Alamat rumah : Karangkajen MG III/ 899 B

No. Hp : 081 328 777 424 e-mail : [email protected]

Referensi

Dokumen terkait

Selain atmosfer toko dan promosi, variable pelayanan pramuniaga dapat juga memengaruhi konsumen untuk melakukan impulse buying, karena pramuniaga diharapkan dapat

memahami dan menjelaskan ide / gagasan matematika yang terdapat pada gambar atau permasalahan yang diberikan Kemampuan dalam menggunakan istilah- istilah, notasi-notasi

Hal ini ditunjukkan dengan hasil berpikir kritis siswa pretest kelas eksperimen dengan melihat dari uji hipotesis yang dilakukan diperoleh nilai t hitung < t

Peneliti menyimpulkan secara keseluruhan bahwa fungsi pengawasan berdasarkan konsep Sarwoto mengenai pengawasan yang diperlukan bagaimana pengawasan itu menjadi lebih

Muhammad Sayyid Thanthāwi adalah seorang pemikir islam dan juga mufasir kontemporer yang akrab dengan kitab tafsirnya al-Was īṭ. Dalam salah satu karyanya yakni

Pada penelitian yang dilakukan Yuli Widyastuti (2017) yang berjudul “Peran Badan Usaha Milik Desa Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Pujokerto Kecamatan Trimurjo

Maṣlaḥah ḍ arūriyyah (kebutuhan primer), yaitu segala sesuatu yang harus ada demi tegaknya kehidupan manusia untuk menopang kemaslahatan agama dan dunia di mana

[r]