1 KEBIJAKAN HUKUM PIDANA PADA TAHAP APLIKATIF DALAM
MALPRAKTEK MEDIS PADA KASUS PERSALINAN
1Fani ardian, 1Uning Pratimaratri, 1Syafridatati
1Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta Email : [email protected]
ABSTRAK
Basically everyone should be responsible for the act of doing, is no exception doctor.
Physician responsibility in carrying out their professional obligations can not be separated from the Indonesian Code of Medical Ethics (Kodeki) contained in the Decree of the Minister of Health No. 439 / MEN.KES / SK / X / 1983 and the provisions of the applicable law, especially criminal law. Issues raised in this paper are (1) Criminal Law Policy Applicative Stage In Medical Malpractice Childbirth Process? (2) How is Recovery Losses In Case of Medical Malpractice Victims In the delivery process? This study used a normative approach. Data used legal material includes primary, secondary, and tertiary. Data obtained from the study of the documents comprising the Supreme Court ruling. The data were analyzed qualitatively. From the study it can be concluded that (1) the criminal law policy applicable at this stage in the process of delivery of medical malpractice is in the Application of Criminal Law against criminal acts of malpractice verdict of the Supreme Court on the case of Dr. Bukhari case was rejected by the Supreme Court, whereas in the case of Dr. Ayu which dr Ayu in criminal Prison Sentence for 10 (ten) months (2) Recovery of losses in Case of medical Malpractice victims in the hospital delivery process is responsible for providing compensation to the victims as patients who suffer losses due to malpractice caused by medical personnel.
Keywords: Policy, Malpractice, Medical, Maternity.
Pendahuluan
Malpraktek dalam bahasa Inggris disebut” malpractice” yang berarti “wrongdoing” atau “neglect of duty. Dalam Coughlin’s Dictionary of Law terdapat perumusan malpractice yang dikaitkan dengan kesalahan profesi, sebagai berikut : Malapractice
is Professional misconduct on the part of a professional person, such as s physician, dentist, veterinarian.
Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties, intentional
2 wrongdoing, or illegal or unethical
practice.
Jika pengertian ini diterapkan di bidang kedokteran maka dapat dikatakan seorang dokter melakukan malpraktek jika dia melakukan suatu tindakan medik yang salah (wrong- doing) atau dia tidak cukup mengurus pengobatan/perawatan pasien (neglect the patient by giving not or not enough care to the patient).
Dilihat dari segi aspek pidana, malpraktek seorang dokter menyimpang dari standar profesi kedokteran melakukan kesalahan profesi “kunsfout”
atau malpraktek medis tetapi belum tentu dia melakukan malpraktek medis yang dipidana. Malpraktek medis pidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau kelalaian berat atau ‘zware schuld” dan pula adanya akibat fatal atau serius, baru malpraktek medis di pidana. Hal ini sesuai dengan keputusan Hoge Raad
Belanda tanggal 13 Februari 1913 yang menyatakan bahwa untuk pasal 307 W.v.S. Belanda sama dengan Pasal 359 KUHP Indonesia dibutuhkan pembuktiaan culpa lata untuk medikus dan bukan culpa levis.
Di dalam buku : The Law of Hospital and Health Care Administration yang ditulis oleh Arthur F.Southwick dikemukakan adanya 3 (tiga) teori menyebutkan sumber dari suatu malpraktek, yaitu:
a. Pelanggaran kontrak (breach of contract)
b. Perbuatan yang disengaja (intentional tort)
c. Kelalaian (negligence)
Pada dasarnya setiap orang harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya, tidak terkecuali dokter.
Tanggung jawab dokter dalam melaksanakan kewajiban profesionalnya tidak bisa lepas dari Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang
3 dimuat dalam Keputusan Menteri
Kesehatan RI No.
439/MEN.KES/SK/X/1983 dan ketentuan hukum yang berlaku terutama bidang hukum pidana.
“Etika kedokteran pada dasarnya merupakan suatu kerangka sikap tindak yang dianggap pantas bagi seorang dokter. Oleh karena itu, biasanya etika kedokteran berisikan pedoman- pedoman yang berisikan kewajiban- kewajiban umum, seperti misalnya :
“Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi”. Kecuali itu ketika kedokteran juga berisikan pedoman- pedoman mengenai kewajiban dokter terhadap penderita, kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya, dan kewajiban dokter terhadap dirinya sendiri”.
Sehubungan dengan perkembangan terjadinya perbuatan
malpraktek medik baik yang dilakukan oleh profesi dokter maupun oleh profesi kesehatan lainnya, menurut pengamatan akan lebih banyak lagi tanggung jawab pidana yang dapat dikenakan dari Pasal- pasal 89, 90, 351,359 ,360, 361 KUHP dan ilmu pengetahuan hukum pidana yang menyangkut alasan pembenar dan alasan pemaaf yang menjadi dasar penghapus pidana untuk tidak terkena pasal-pasal KUHP.
Dapat dikatakan telah terjadi malpraktek medica, apabila dalam pemeriksaan sidang pengadilan terbukti terdapat kesalahan profesional yang dilakukan oleh dokter berupa kelalaian, kealpaan atau kurang hati-hati, sejak dokter menentukan diagnosa, menjalankan operasi, menjalankan perawatan sampai pada masa sesudah perawatan (dalam waktu yang sudah ditentukan). Kesalahan dimaksud tentu saja harus mempunyai hubungan sebab akibat dengan hasilnya. Setelah
4 terbukti, baru timbul tanggung jawab
pidana dari dokter tersebut, sesuai dengan asas tindak pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).
KUHP mengatur mengenai tanggung jawab pidana dokter di dalam Pasal- pasal : 263, 267, 299, 348, 349, 350, 359, 360, 361, 322, 351, 346, 347, 344, 386.
Sebagai contoh kasus dr Dewa Ayu Sasiary, kasus tersebut bermula dari ditahannya dr Dewa Ayu Sasiary Prawani SpOG oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara sejak 8 November 2011.
dr Dewa Ayu Sasiary Prawani bersama dua rekannya dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian diduga melakukan kegiatan malapraktik. Ketiga dokter spesialis tersebut terpidana dalam kasus dugaan malapraktik terhadap korban Julia Fransiska Makatey (25 tahun) pada 2010. Para dokter melakukan tindakan Sectio Caesaria Sito karena riwayat gawat
janin, sebelumnya Julia dirujuk dari puskesmas. Beberapa hari setelah dilakukan operasi Julia meninggal dunia akibat masuknya angin ke jantung atau emboli udara. dr Dewa Ayu dijebloskan ke tahanan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung (MA) memvonis dr Ayu dkk selama 10 bulan penjara karena kealpaan dr Ayu dkk yang mengakibatkan kematian pasien Siska Makatey. Dalam putusan kasasi nomor 365 K/Pid/2012, majelis kasasi yang terdiri dari dr Artidjo Alkostar, dr Dudu Duswara dan dr Sofyan Sitompul dalam pertimbangannya menyatakan para terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban, tidak menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
5 mengeluhkan putusan hakim agung
Artidjo Alkotsar kepada dr Ayu dkk.
Tiga dokter yakni Dewa Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian dinyatakan bersalah melakukan malapraktik terhadap Julia Fransiska Makatey di Manado. Ketiga dokter tersebut dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh MA setelah sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara.
Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana pada tahap aplikatif dalam malpraktek medis pada proses persalinan?
2. Bagaimanakah pemulihan kerugian korban dalam kasus malpraktek medis pada proses persalinan ? Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana pada tahap aplikatif
dalam malpraktek medis pada proses persalinan.
2. Untuk mengetahui pemulihan kerugian korban dalam kasus malpraktek medis pada proses persalinan.
Metode Penelitian
Jenis Penelitian. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis melakukan penelitian hukum yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka sumber data
a. Bahan Hukum Primer
yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,seperti peraturan perundangan di luar KUHP yang berkaitan dengan permasalahan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana dibidang medis.
b. Bahan Hukum Sekunder
6 yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti Undang-undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-undang No.29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Konsep KUHP Terbaru, makalah- makalah dan hukum kesehatan, dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Tertier
yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris- Indonesia, Kamus Hukum Kesehatan dan kamus hukum.
Teknik Pengumpulan Data, berupa putusan pengadilan penulis kumpulkan dengan teknik studi dokumen, yaitu dengan melakukan penelusuran bahan
hukum lewat internet.
Analisa data, Putusan pengadilan penulis analisis secara kualitatif, yaitu
mnganalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian dengan cara mempelajari hal-hal yang sifatnya khusus untuk mengambil suatu kesimpulan yang bersifat umum.
Hasil Penelitian
A. Kebijakan Hukum Pidana Pada Tahap Aplikatif Dalam Malpraktek Medis Pada Proses Persalinan
1. Kebijakan Penal
Kebijakan merupakan suatu produk yang dihasilkan untuk memberikan jalan penyelesaian terhadap suatu permasalahan.
Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau
“politiek” (Belanda). Menurut Marc Ancel, pengertian kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan.
7 Peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Dari kedua terminology di atas, maka “kebijakan hukum pidana”
pardant istilah “politik hukum pidana”. Lazimnya, istilah
“politik hukum pidana” juga disebut dengan istilah penal policy, criminal policy atau strafrecht politeik.
2. Kebijakan Non Penal
Menurut M. Hamdan, upaya penanggulangan yang merupakan bagian dari kebijakan sosial pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) yang
dapat ditempuh dengan 2 jalur, yaitu:
a. Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law application)
1) Tahap formulasi yaitu tahap penegakan hukum in abstrakto oleh badan pembuat undang-undang, tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislative.
2) Tahap aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai kepengadilan tahap ini disebut dengan tahap kebijakan yudikatif.
3) Tahap eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat- aparat pelaksanaan pidana.
Tahap ini disebut tahap
8 kebijakan eksekutif atau
administrative.
b. Jalur nonpenal, yaitu dengan cara :
1) Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), termasuk di dalamnya penerapan sanksi administratif dan sanksi perdata.
2) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment).
Pada kasus malpraktek yang dilakukan oleh Dokter sebaiknya diselesaikan melalui Majelis Etika Profesi Kedokteran terlebih dahulu sebagai upaya non
penal terhadap kasus malpraktek ini.
3. Penerapan Hukum Pidana Terhadap tindak pidana malpraktek Putusan MA No. 1327 K/PID.SUS/2010 dan Putusan MA No 365 K/Pid/2012
a. Kasus dr. Bhukari, SpOG
Kasus malpraktek dr. Bhukari SpOG yang digunakan dalam skripsi ini diambil dari putusan Mahkamah Agung No. 1327 K/PID.SUS/2010.
Selanjutnya dalam putusan Pengadilan Negeri Langsa No.
86/Pid.B/200 9/PN.LGS tanggal 26 Oktober 2009 ditetapkan hal-hal sebagai berikut:
1) Menyatakan terdakwa dr.
Bhukari, SpOG terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja tidak memuat rekam medis sebagaimana diatur dalam
9 Pasal 79 huruf b Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran.
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dr. Bhukari SpOG dengan pidana denda sebesar Rp. 30.000.000,- ( tiga puluh juta rupiah ), menetapkan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan.
Tidak terima dengan keputusan tersebut , dr.Bhukari, SpOG dan penasehat hukumnya menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh melalui putusan No.
191/PID/2009/PT. BNA menetapkan hal-hal sebagai berikut:
1) Menerima permohonan banding dari penasehat hukum terdakwa 30 Oktober 2009
2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Langsa tanggal 20
Oktober 2009 No.
86/PD.B2009/PN.LGS.
Kemudian dr. Bhukari dan penasehat hukumnya mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan tersebut melalui akta permohonan kasasi No. 05/Akta.Pid/2010/PN.LGS yang dibuat oleh panitera Pengadilan Negeri Langsa. Akan tetapi,dikarenakan ancaman pidana Pasal 79 Undang- Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran adalah paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- sehingga berdasrkan Pasal 45 A Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 yang berbunyi :
1) Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya.
10 2) Perkara yang dikecualikan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 terdiri atas:
a) putusan tentang praperadilan b) perkara pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda
c) perkara tata usaha Negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauannya keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan
d) Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas
perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung.
Permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat-syarat formal.
b. Kasus Malpraktek di RS Kandau
Kasus malpraktek yang digunakan dalam skripsi ini di ambil dari putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/Pid/2012.
Akhirnya pada sidang hari Kamis 22 September 2011, Majelis Hakim Pengadilan Negri Manado melalui putusan No.90/PID.B/2011/PN.MDO menetapkan hal-hal sebagai berikut:
1) Menyatakan terdakwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr.
Hendry Simanjuntak, dan dr.
Hendy Siagian tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak
11 pidana dalam dakwaan kesatu
primer dan subsidair, dakwaan kedua, dan dakwaan ketiga primer dan subsidair
2) Membebaskan terdakwa dr.
Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr.
Hendry Simanjuntak, dan dr.
Hendy Siagian oleh karena itu dari semua dakwaan (Vrijspraak)
3) Memulihkan hak para terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya
Kemudian jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Manado mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dengan Putusan Nomor 365 K/Pid/2012. Dengan bunyi putusan menyatakan para terdakwa : dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (terdakwa I). dr Hendry Simanjuntak (terdakwa II) dan dr Hendy Siagian (terdakwa III) telah
terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan yang karerna kealpaanya menyebabkan matinya orang lain.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama 10 bulan.
Membebankan Para Termohon Kasasi/ Para Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan masing-masing sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
B. Pemulihan Kerugian Korban dalam kasus malpraktek medis pada proses persalinan
Profesi dokter atau doker gigi merupakan kelompok fugsional yg bekerja atas dasar profesionalisasinya, tetapi secara administratif mereka adalah pegawai rumah sakit. Mereka dalam melakukan tugasnya digaji oleh
12 pemerintah atau pemilik rumah sakit
untuk keahlian profesionalnya. Atas dasar hubungan kerja yang demikian, secara hukum perbuatan tenaga medis adalah tanggung jawab rumah sakit.
Disamping itu dengan perkembangan hukum kesehatan dan kecanggihan teknologi kedokteran, rumah sakit tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pekerjaan yang dilakukan oleh pegawainya atas perintahnya, termasuk apa yang diperbuat oleh tenaga medis sepanjang merupakan tugasnya.
Mengenai tanggung jawab rumah sakit terhadap tindakan dokter atau dokter gigi yang merugikan pasien, pasal 1367 KUHPerdata dapat dipakai sebagai acuan dalam menarik pertanggung jawaban rumah sakit atas tindakan bawahannya tersebut, karena klausul pasal tersebut menyebutkan bahwa seseorang tdak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga
termasuk perbuatan orang-orang yang berada dibawah pengawasannya. Hal ini dikenal dengan doktrin responded superior, dimana antara doker atau dokter gigi dengan rumah sakit terdapat hubungan kerja sesuai dengan tugas yang diberikan kepadanya. Untuk menerapkan doktrin ini, terlebih dahulu harus ada hubungan kerja antara atasan dengan bawahan. Hubungan kerja tersebut dianggap ada apabila atasan mempunyai hak untuk secara langsung mengawasi dan mengendalikan aktivitas bawahannya dalam melakukan tugas- tugasnya, maka hubungan kerja antara dokter dengan rumah sakit dapat dianggap ada, sehingga doktrin responded superior dapat diterapkan untuk memintakan tanggung jawab rmah sakit terhadap tindakan dokter yang telah merugikan pasien.
Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab terdahulu,
13 maka pada bab terakhir ini sampailah
kepada simpulan. Adanya simpulan yang dapat penulis kemukan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan Hukum Pidana Pada Tahap Aplikatif Dalam Malpraktek Medis Pada Proses Persalinan, dilakukan dengan kebijakan penal lebih menitik beratkan pada akibat dari perbuatan tersebut. Sedangkan kebijakan non penal bahwa pencegahan tanpa pidana termasuk di dalamnya penerapan saksi dan sanksi perdata dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan media massa.
Sedangkan dalam Penerapan Hukum Pidana Terhadap tindak pidana malpraktek Putusan Mahkamah Agung atas kasus dr Bukhari kasusnya di tolak oleh MA, sedangkan dalam kasus dr Ayu yang mana dr Ayu di Vonis
pidana Penjara selama 10 (sepuluh) bulan
2. Pemulihan Kerugian Korban Dalam Kasus Malpraktek Medis Pada Proses Persalinan, bahwa Rumah sakit bertanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian terhadap pihak pasien selaku korban yang menderita kerugian karena adanya malpraktek yang disebabkan oleh tenaga medis (dokter) dan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh dokter tersebut berkaitan dengan suatu malpraktek disebabkan oleh kelalaian.
Daftar Pustaka
Barda Nawawi Arief,1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Christian, R., 2003, Aspek Hukum Kesehatan Dalam Upaya Medis Transplantasi Organ Tubuh, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta
14 _______, 2008, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Bandung.
Freud Amelyn, Kapita Selekta Hukum Kesehatan, Jakarta, Grafi katama Jaya.
J.E.Sahetapy, 1986, "Kebijakan
Kriminal di Indonesia Perspektif, Makalah disampaikan dalam Seminar Kriminologi V, Lembaga Kriminologi FH UNDIP, Semarang.
Muladi, 1990, Lambaga Pidana Bersyarat.Alumni, Bandung.
SoerjonoSoekanto, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta.
Sudarto, 1986, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
KitabUndang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Undang-Undang No. 36Tahun 2009
tentang Kesehatan
Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakits