19 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Literatur Review
Salah satu acuan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian yang telah dikaji sebelumnya. Penelitian terdahulu dapat memberikan referensi dalam memperkaya teori yang berkaitan dengan kebutuhan peneliti dalam mengatasi permasalahan berdasarkan hasil penelitian di lapangan.
Penelitian terdahulu yang pertama dengan judul “Kinerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Dalam Kesiapsiagaan Penanggulangan Banjir di Kota Sorong”, oleh Aswad Muhdar dan Abu Sofyan pada tahun 2021, tujuan dari penelitian ini yaitu mengidentifikasi terjadinya banjir, serta menganalisa kinerja dan upaya Badan Penanggulangan Bencana Daerah dalam menanggulangi bencana banjir di Kota Sorong. Penelitian tersebut merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode kualitatif. Wawancara dan observasi dilakukan untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan jika penanggulangan bencana oleh BPBD Kota Sorong telah dilaksanakan dengan baik sejalan dengan peraturan dan petunjuk yang telah ditetapkan, namun kekurangannya yaitu belum tepatnya solusi yang diberikan oleh pemerintah dalam menanggulangi bencana banjir yaitu galian c dan sampah yang masih berserakan.
Selain itu, BPBD Kota Sorong juga mengantisipasi terjadinya bencana banjir dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait sikap siap siaga sebagai upaya penyelamatan diri jika sewaktu-waktu terjadi bencana.
Penelitian terdahulu kedua dengan judul “Pengetahuan dan Sikap Kesiapsiagaan Masyarakat terhadap Bencana Banjir”, oleh Agung Hildayanto pada tahun 2020, dengan tujuan mengetahui pengetahuan dan sikap kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana banjir di Kelurahan Mangunharjo Kecamatan Tugu Kota Semarang. Penelitian ini menggunakan jenis metode deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode obsevasional analitik yaitu studi cross sectional dengan teknik pengambilan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi.
20
Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dan untuk teknik analisis data menggunakan analisis univariat. Hasil penelitian ini menunjukkan jika 37% masyarakat Kelurahan Mangunharjo memiliki tingkat pengetahuan kesiapsiagaan yang baik dan sisanya sebanyak 63% memiliki tingkat pengetahuan kesiapsiagaan yang kurang. Sedangkan sejumlah 48% masyarakat memiliki sikap kesiapsiagaan baik, dengan sisanya sebanyak 52% memiliki sikap kesiapsiagaan kurang.
Penelitian terdahulu berikutnya dengan judul “Kesiapsiagaan Pemerintah Kabupaten Brebes dalam Menghadapi Bencana Banjir dimasa Pandemi Covid-19”
oleh Ahmad Fatkul Fikri pada tahun 2020, dengan tujuan menganalisis sejauh mana kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana banjir oleh pemerintah Kabupaten Brebes saat pandemi covid-19. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pengumpulan data melalui observasi/pengamatan, wawancara, serta dokumentasi. Teknik analisa data penelitian ini menggunakan teknik analisis model Miles, Huberman, dan Saldana dengan menghasilkan kesimpulan jika pengetahuan pemerintah Kabupaten Brebes dalam menanggapi ancaman bencana banjir dan covid-19 sudah baik , namun terdapat kekurangan pada sistem peringatan dini ancaman bencana banjir masih konvensional, belum tersedianya rencana kontijensi bencana banjir di masa pandemi, dan belum pernah dilakukan simulasi banjir oleh pemerintah Kabupaten Brebes saat pandemi covid- 19.
Penelitian terdahulu keempat dengan judul “Peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Dalam Tahap Kesiapsiagaan (Studi pada Kantor BPBD Kota Batu)”oleh Aurelia Chintia Deby pada tahun 2019. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan teknik analisis data menggunakan model analisis dan interaktif dari Miles dan Huberman. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa peran BPBD yaitu dengan mengadakan sosialisasi dan kajian-kajian dan membuat peta rawan bencana sehingga dapat mengetahui potensi bencana dan dapat meminimalisisr adanya korban jiwa maupun kerugin harta benda.
21
Penelitian terdahulu yang kelima dengan judul “Peran Pemerintah Kota Malang Dalam Meningkatkan Kesiapsiagaan Masyarakat Menghadapi Bencana (Studi Manajemen Bencana)”oleh Rusli pada tahun 2018, tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi upaya Pemerintah Kota Malang dalam peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman bencana di Kota Malang. Pendekatan positivisme dengan pendekatan kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dengan hasil penelitian berupa bentuk kesiapsiagaan pemerintah Kota Malang dalam menghadapi bencana yaitu dengan mitigasi struktural dan non struktural. Adapun upaya mitigasi struktural yang dimaksud yaitu menggencarkan program penghijauan baik dengan membangun taman kota yang berfungsi sebagai RTH perkotaan maupun tempat wisata masyarakat ataupun melakukan penghijauan di bantaran sungai Brantas dan anak sungainya, meningkatkan jumlah RTH maupun RTNH, memperbaiki saluran drainase perkotaan, normalisasi sungai, serta melaksanakan program pemotongan pepohonan di tepi jalan. Sedangkan upaya dalam mitigasi non struktural yaitu melakukan simulasi dan arahan guna meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan tingkat kapasitas masyarakat sebagai upaya meminimalisir risiko bencana maupun beradaptasi dengan lingkungan yang ditinggalinya, membangun sinergi program pemberdayaan masyarakat dengan seluruh stakeholder yang terkait seperti Kementerian, Lembaga Negara, organisasi sosial, lembaga usaha maupun perguruan tinggi, serta telah menyusun peraturan daerah terkait kebencanaan yaitu Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dan Rencana Strategis (RENSTRA) BPBD Kota Malang Tahun 2015-2018.
Penelitian terdahulu yang keenam dengan judul “Analisis Kesiapsiagaan Masyarakat dan Pemerintah Menghadapi Bencana Banjir di Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar”oleh Devi Erlia pada tahun 2017, tujuan penelitian ini adalah menganalisis kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana banjir yang terjadi di Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar.
Penelitian ini menggunakan metode deskripstif kuantitatif dan analisis data
22
penelitian menggunakan teknik analisis statistik deskriptif menggunakan teknik persentase. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir berada pada tingkat sedang dan tingkat kesiapsiagaan pemerintah dalam menghadapi bencana banjir berada pada tingkat sedang. Sehingga kesiapsiagaan masayarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana banjir berada pada tingkat sedang.
2.2 Kajian Pustaka A. Definisi Bencana
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Menurut Widyastuti yang dikutip dari (Hakam, 2018) definisi bencana yaitu penyimpangan yang tidak diharapkan dan terjadi secara terduga atau tidak terduga pada pola hidup yang normal dengan jangkauan wilayah yang luas, dengan dampak yang dapat dirasakan oleh manusia seperti terluka, cidera, adanya gangguan kesehatan, kesulitan hidup, kematian, hingga mampu merusak struktur sosial seperti infrastruktur pelayanan publik yang bersifat penting, gedung, sistem komunikasi, dan sistem pemerintah.
B. Jenis Bencana
Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah mengklasifikasikan bencana ke dalam 3 jenis yaitu bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial. Adapun penjelasan ketiga bencana tersebut yaitu :
1. Bencana Alam
Bencana Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
23
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Misalnya bencana banjir yang terjadi karena tingginya volume dari luapan air hujan yang tidak terprediksi.
2. Bencana Non Alam
Bencana Non Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana Sosial
Bencana Sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
C. Bencana dalam Berbagai Perspektif 1. Perspektif Sosiologi
Dalam perspektif sosiologis bencana sering kali dipahami berdasarkan persepsi manusia atau masyarakat, dan atas apa yang mereka rasakan terkait pengalaman emosional atas kejadian-kejadian yang dapat mengancam kelangsungan hidup mereka. Bencana alam merupakan perubahan sistem alam yang dimana manusia hanya mampu pasrah dan berupaya melakukan penyelamatan, sehingga bencana dianggap sebagai cobaan dari Yang Maha Kuasa (Wardaya, 2010). Setiap manusia atau kelompok masyarakat memiliki pengetahuan dan cara untuk menghadapi lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Dalam setiap kejadian bencana merupakan hal yang penting untuk memahami bagaimana pola pengetahuan individu atau masyarakat terhadap suatu ancaman bencana dan bagaimana pola mereka dalam menghadapi ancaman tersebut. Perspektif sosiologis ini bukan hanya sekedar pengetahuan, namun seharusnya menjadi panduan dalam menyusun kegiatan program, prioritas, dan strategi pengelolaan. Strategi pengelolaan bencana diperlukan untuk menjadi
24
acuan dalam tanggapan perilaku manusia atau kelompok dalam menghadapi bencana secara efektif (Pramono, 2016).
2. Perspektif Agama
Bencana disamakan artinya dengan musibah. Dalam bahasa arab kata “musibah” bersumber dari serapan kata “yus iba”, “as aba”,
“musibatan” yang memiliki artian sebagai suatu kebaikan atau keburukan yang menimpa manusia. Bencana sudah menjadi ketetapan Allah SWT. Al-quran telah menghimbau kepada orang yang beriman untuk selalu dalam keadaan siaga terhadap segala sesuatu yang membahayakan yang dapat terjadi sewaktu-waktu, hal ini terdapat dalam al-quran yaitu “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (QS. Ali „Imran [3]:200).”
Al-quran menganjurkan umat manusia untuk mempersiapkan kondisi siaga dalam bentuk kesiapan serta kemampuan dalam memperkirakan segala bahaya yang berpeluang terjadi, meminimalisir dampak, melakukan penanganan efektif, mampu memulihkan diri jika terdampak sesuatu, serta sebisa mungkin mencegah terdampak bencana. Konsep dasar dalam manajemen kesiapsiagaan memerlukan sebuah perencanaan yang matang. Perencanaan merupakan fungsi manajemen yang hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan yang ditetapkan. Perencanaan menjadi sesuatu hal yang penting karena akan menjadi penentu dalam ketercapaian sebuah tujuan (Zaini, 2020).
D. Pengertian Banjir
Bencana banjir adalah suatu proses alami, bencana banjir terjadi karena debit air sungai yang sangat tinggi hingga melampaui daya tampung saluran sungai lalu meluap kedaerah sekitarnya. Debit air yang tinggi terjadi karena curah hujan yang tinggi. Namun bencana banjir juga terjadi karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, misalnya aliran
25
air yang tersumbat dan menjadi genangan akibat manusia yang membuang sampah sembarangan ke saluran air. Menurut Pusat Kritis Kesehatan Kemenkes RI yang dikutip dari (Silalahi, 2021) Terdapat 5 (lima) tipe bencana banjir yang dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Banjir Bandang
Banjir bandang merupakan banjir yang sangat berbahaya karena dapat menerjang dan membawa apa saja yang ada dijalurnya. Terjadinya banjir bandang biasanya disebabkan karena ada penggundulan hutan sehingga membuat daerah pegunungan rentan terjadi banjir akibat tidak mampunya menyerap jumlah air Dampak kerusakan yang ditimbulkan banjir bandang tergolong cukup parah
2. Banjir Air
Banjir air merupakan jenis banjir yang sangat umum terjadi.
Banjir air dapat terjadi karena luapan air sungai, selokan, maupun air danau. Luapan air terjadi akibat intensitas yang melebihi daya tampung sehingga air yang melebihi volume akan meluap ke permukaan.
3. Banjir Lumpur
Banjir lumpur merupakan jenis banjir karakteristiknya menyerupai banjir bandang namun memiliki perbedaan pada material yang dibawa. Banjir ini membawa material yang berasal dari dalam bumi yang keluar ke daratan dan mengalir hingga ke permukiman. Bahan yang terbawa banjir lumpur cukup berbahaya dimana terdapat kandungan berupa bahan gas yang dapat mempengaruhi kesehatan makhluk hidup yang berada disekitarnya.
4. Banjir Rob (Banjir Laut Air Pasang)
Banjir rob merupakan banjir yang terbentuk akibat air laut yang mengalir ke daratan secara mendadak. Kawasan yang biasa
26
diterjang banjir rob ialah kawasan yang berlokasi disekitar pesisir pantai.
5. Banjir Cileunang
Banjir cileunang memiliki kemiripan dengan banjir air, tetapi berbeda penyebabnya. Banjir cileunang terjadi karena air hujan yang mengalir deras hingga tidak mampu tertampung oleh selokan, sungai, ataupun badan air lainnya.
E. Faktor Penyebab Terjadinya Bencana Banjir
Banjir merupakan fenomena alam yang dapat terjadi di berbagai belahan dunia termasuk negara Indonesia. Bencana banjir merupakan peristiwa daratan yang terendam oleh air. Penyebab banjir salah satunya karena luapan air sungai yang mengalir hingga ke lingkungan sekitarnya secara berlebihan dengan intensitas curah hujan tinggi dalam durasi waktu yang cukup lama (Sarjanti, 2014). Selain intensitas hujan yang tinggi, volume sampah yang memenuhi sungai kemudian menjadi faktor penyebab terjadinya banjir. Kebiasaan masyarakat yang membuang sampah pada daerah aliran sungai tentunya menjadi penyebab utama.
Maka pada saat aliran sungai dialiri air maka kemudian bersamaan akan menyebabkan menguapnya air sungai dan kemudian terjadilah banjir. Namun selain itu juga kerusakan lahan akibat aktivitas manusia penambangan liar serta penebangan hutan sehingga menimbulkan terjadinya bencana banjir.
Sehingga dapat dikatakan bahwa banjir merupakan hasil interaksi antara kerentanan dengan potensi bahaya yang didukung kapasitas masyarakat yang minim sehingga dampak negatif bencana banjir tidak dapat diminimalisir (Dodon, 2013). Oleh karena itu, dalam memahami kebencanaan secara keseluruhan memerlukan pengetahuan mengenai beberapa kata kunci yaitu:
1. Risiko Bencana Banjir
United Nations Secretariat for International Strategy for Disaster Reduction atau UN-ISDR yang dikutip dari (Hakam, 2018) menjelaskan risiko
27
bencana merupakan peluang terjadinya suatu keadaan berupa kerugian maupun kerusakan seperti kerusakan rumah tinggal, infrastruktur, kehilangan harta benda, maupun adanya korban jiwa, cedera, bahkan kematian sebagai dampak dari adanya interaksi antara bahaya dengan keadaan manusia yang rentan. Analisis risiko bencana merupakan proses pengkajian terkait potensi bahaya bencana dengan kerentanan pada evaluasi kondisi seperti manusia, aktivitas, tempat tinggal, dan lingkungan.
2. Bahaya
Bahaya bisa disebabkan oleh alam yang bersifat dinamis serta sulit untuk diprediksi. Salah satu pemicu terjadinya ancaman/bahaya yaitu adanya ketidakseimbangan pada faktor lingkungan yang terjadi karena aktivitas manusia yang kurang memiliki pemahaman. Bahaya merupakan suatu potensi ancaman bagi alam maupun manusia yang disebabkan karena adanya fenomena alam, peristiwa fisik, maupun aktivitas manusia itu sendiri. Aspek bahaya menurut UN-ISDR yaitu :
a. Bahaya Geologis, yaitu seperti longsor, tsunami, gempa bumi, dan erupsi gunung api.
b. Bahaya Biologis, yaitu seperti adanya wabah penyakit maupun wabah hama.
c. Bahaya Teknologi, yaitu seperti kegagalan infrastruktur, tanggul yang jebol, aktivitas nuklir, polusi industri, serta kecelakaan transportasi.
d. Degradasi Lingkungan, yaitu seperti polusi air dan udara, kebakaran hutan, serta perubahan iklim.
e. Bahaya Hidrometeorologis, yaitu seperti banjir, angin puting beliung, kemarau, gelombang pasang, dan badai salju.
Berdasarkan hal tersebut, maka banjir memiliki artian sebagai suatu fenomena daerah yang berkaitan dengan daratan yang tergenang air dengan volume yang sangat besar. Banjir yang sering datang secara tiba-tiba salah satunya yaitu banjir bandang. Banjir bandang terjadi karena terjadi penyumbatan sungai akibat adanya
28
kegiatan pengundulan hutan di sepanjang sungai, sehingga sungai tidak mampu membendung volume air yang berlebihan dan terjadilah banjir bandang. Dampak yang dapat dirasakan akibat banjir bandang yaitu kerusakan pada rumah penduduk, lingkungan, hingga menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda.
F. Kerentanan dan Kapasitas
Kerentanan dan kapasitas merupakan suatu kondisi masyarakat yang tidak mampu dalam menghadapi ancaman/bahaya dari suatu bencana. Tingkat kerentanan cukup penting untuk diketahui karena merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat risiko bencana. Tingginya risiko bencana pada suatu daerah tidak lain disebabkan karena daerah yang dilanda bencana dalam kondisi yang rentan. Kerentanan yang terjadi dapat ditentukan oleh proses interaksi fisik, ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dapat berpengaruh pada peningkatan atau penurunan risiko bencana pada suatu komunitas (Dodon, 2013).
Kapasitas merupakan output yang dihasilkan dari rencana sesuatu yang telah dipersiapkan sebelum bencana terjadi sebagai bentuk antisipasi atau mitigasi masyarakat. Rencana persiapan yang dimaksud erat kaitannya dengan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Cakupan kapasitas terdiri dari sosial, fisik, ekonomi, serta karakteristik keterampilan individu maupun secara kolektif. Kapasitas individu merepresentasikan dari individu tersebut (Dodon, 2013). Kapasitas dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) aspek sebagai berikut:
a. Kapasitas fisik dan lingkungan
Upaya manusia seperti dengan melakukan pembangunan fisik pada lingkungan sekitar kegiatan maupun sekitar tempat tinggalnya guna meminimalisir kecenderungan terdampak bencana.
b. Kapasitas ekonomi
Upaya ini dilakukan dengan mengelola harta benda secara efektif guna meminimalisir dampak bencana, misalnya kepemilikan tabungan di bank.
29 c. Kapasitas sosial
Sikap manusia dalam meminimalisir peluang terdampak bencana dengan mengembangkan budaya maupun perilaku positif dalam pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan memperluas wawasan masyarakat terkait kebencanaan.
G. Dampak Bencana Banjir
Dampak bencana banjir menurut Mistra yang dikutip dari (Ridho, 2016) dapat terjadi dengan tingkat kerusakan berat pada beberapa aspek yang dapat dirincikan sebagai berikut:
1. Aspek kependudukan, yang terdiri dari adanya korban jiwa yang mengalami luka-luka, hanyut, korban hilang, tenggelam, meninggal, mengungsi, serta dapat terjangkit wabah penyakit.
2. Aspek perekonomian, yang terdiri dari hilangnya mata pencaharian, pasar tradisional yang tidak dapat difungsikan dengan layak, kerusakan, maupun harta benda serta ternak yang hilang, serta perekonomian masyarakat yang terganggu.
3. Aspek pemerintahan, yang terdiri dari rusak hingga hilangnya dokumen pemerintahan, arsip, perlengkapan dan peralatan kantor, hingga kegiatan pemerintahan yang terganggu.
4. Aspek Sarana/Prasarana, yang terdiri dari kerusakan jalan, jembatan, bangunan gedung perkantoran, rumah penduduk, instalansi air minum, instalasi listrik, fasilitas sosial dan fasilitas umum, dan jaringan komunikasi.
5. Aspek Lingkungan, yang terdiri dari kerusakan obyek wisata, ekosistem, sumber air bersih, persawahan/lahan pertanian, dan kerusakan jaringan irigasi/tanggul.
H. Pengertian Rawan Bencana
Daerah rawan bencana merupakan wilayah yang memiliki resiko tinggi terjadinya bencana terhadap ancaman akibat kondisi geologis,
30
biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi dan teknologi yang untuk jangka waktu tertentu tidak dapat atau tidak mampu mencegah, meredam, mencapai kesiapan, sehingga mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (Tondobala, 2011). Kawasan rawan bencana merupakan kawasan lindung, yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan rawan bencana antara lain adalah kawasan rawan letusam berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang dan kawasan rawan banjir.
Faktor penyebab daerah rawan bencana yaitu :
a. Kesadaran masyarakat yang kurang terhadap dampak yang terjadi akibat kelalaian mereka membuang sampah di bantaran sungai
b. Pemahaman maupun pengetahuan masyarakat yang minim terkait karakteristik wilayah yang rawan terhadap bencana c. Jumlah penduduk yang meningkat dengan tidak diimbanginya
ketersediaan lahan permukiman sehingga berdampak pada penggunaan lahan secara sembarangan sehingga lahan resapan air akan semakin berkurang karena adanya perubahan lahan menjadi permukiman, sehingga lahan tidak mampu lagi menampung volume air dan berakibat pada terjadinya banjir pada permukiman penduduk.
d. Adanya tindakan tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh para oknum dipemerintahan maupun swasta, seperti kegiatan penyuapan untuk memperlancar penyelundupan kayu yang secara jelas bertolakbalik dengan upaya pemeliharaan kelestarian alam yang digencarkan.
31 I. Manajemen Bencana
Manajemen bencana merupakan seluruh rangkaian kegiatan yang meliputi berbagai aspek penanggulangan bencana pada sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai siklus manajemen bencana.
Siklus ini bertujuan untuk mencegah kehilangan korban jiwa, mengurangi penderitaan manusia, memberikan informasi kepada masyarakat dan pihak yang berwenang mengenai risiko bencana, serta mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis (Ulum, 2013).
Terdapat beberapa tahapan manajemen bencana, diantaranya yaitu : a. Tahap Pra Bencana
1. Pencegahan
Pencegahan merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana. Misalnya melarang pembakaran hutan dalam perladangan, melarang penambangan batu di daerah yang curam, dan melarang membuang sampah sembarangan (Dr. I.
Khambali, 2017).
2. Mitigasi
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Dr. I.
Khambali, 2017).
Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana Pasal 44 (C) tertulis bahwa “mitigasi dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan pelaksanaan penataan ruang, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan baik itu secara konvensional maupun secara modern”.
3. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
32
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (Dr. I. Khambali, 2017).
Kesiapsiagaan adalah sebuah keadaan dimana kita harus dalam keadaan siap siaga di dalam menghadapi sebuah krisis, baik itu ketika terjadi bencana maupun ketika terjadi keadaan darurat lainnya.
Kesiapsiagaan menurut Gillespie dan Streeter dalam kutipan (Nugroho, 2015) adalah sebagai perencanaan, identifikasi sumber daya, sistem peringatan dan pelatihan, simulasi, dan tindakan pra bencana lainnya yang diambil untuk tujuan utama meningkatkan keamanan dan efektivitas respon masyarakat selama bencana. Menurut WHO (World Health Organization) yang dikutip dari (Nugroho, 2015) perencanaan penanggulangan bencana yang baik adalah perencanaan yang memiliki empat elemen perencanaan yaitu rencana kesiapan, rencana kontingensi, rencana operasi kedaruratan dan rencana pemilihan .
Kesiapsiagaan menurut LIPI-UNESCO/ISDR yang dikutip dari (Ridho, 2016) adalah berbagai tindakan yang memungkinkan guna mengatasi situasi bencana secara efektif dan tepat yang dilakukan oleh individu, masyarakat, organisasi, maupun pemerintah. Bentuk tindakan kesiapsiagaan yaitu dapat berupa pemeliharaan sumber daya, penyusunan rencana penanggulangan bencana, dan pelatihan personil. Konsep kesiapsiagaan ditekankan pada kemampuan secara cepat dan tepat dalam melakukan tindakan persiapan menghadapi kondisi darurat bencana. Fokus kegiatan kesiapsiagaan yaitu pada pengembangan beragam rencana dalam merespon bencana alam tepat, cepat, serta efektif. Fase kesiapsiagaan menurut LIPI-UNESCO/ISDR memerlukan persiapan yang baik yang dapat dilakukan dengan menyusun rencana terkait segala tindakan dalam meminimalisir peluang
33
kerugian yang ditimbulkan oleh bencana dan segala kegiatan pertolongan serta perawatan efektif saat bencana terjadi.
Pengembangan kesiapsiagaan pada masyarakat membutuhkan perhatian pada beberapa aspek yang berupa sumber daya, perhatian dan kesadaran masyarakat, organisasi, koordinasi, pelatihan, dan perencanaan. Upaya pengembangan kesiapsiagaan ini dapat dilakukan dalam beragam tindakan baik dalam tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, RT/RW, organisasi individual, rumah tangga dan tingkat individu/perseorangan (Ridho, 2016). Adapun tujuan kesiapsiagaan menurut (IDEP, 2007)yaitu :
1. Mengurangi ancaman
Mencegah suatu ancaman secara mutlak itu sangat sulit terjadi, namun dalam meminimalisir peluang terjadinya ancaman maupun meminimalisir dampak ancaman dapat dilakukan dengan berbagai cara atau tindakan.
2. Mengurangi kerentanan masyarakat
Pengurangan kerentanan masyarakat dapat terjadi dan lebih mudah terjadi jika masyarakat telah mampu mempersiapkan diri, sehingga tindakan yang dilakukan akan tepat guna dan tepat waktu. Bentuk persiapan diri guna meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat yang pernah dilanda bencana yaitu dengan penyusunan perencanaan evakuasi dan penyelamatan oleh pemerintah maupun stakeholder terkait, serta memberikan pelatihan kesiapsiagaan guna meningkatkan wawasan masyarakat.
3. Meminimalisir dampak
Masyarakat perlu menyusun suatu persiapan guna meminimalisir dampak suatu ancaman, supaya mampu
34
bertindak secara sigap jika bencana terjadi. Masalah utama pada seluruh kasus kebencanaan secara umum berkaitan dengan ketersediaan air bersih. Kurangnya ketersediaan air bersih dapat mengakibatkan timbulnya wabah penyakit menular yang menjangkit masyarakat.
Perlu adanya tindakan persiapan terlebih dahulu supaya dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya ketersediaan sumber air bersih dalam meminimalisir terjadinya kasus penyakit menular.
4. Menjalin kerja sama
Penanganan bencana dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat dan cakupan bencana dimana dalam pelaksanaanya dapat dilakukan oleh masyarakat maupun kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait.
Adapun pihak yang terkait yaitu seperti Aparat Desa/Kecamatan, Puskesmas, maupun Polisi setempat.
Dalam menjalin kerjasama yang baik maka diperlukan adanya hubungan baik antara masyakarat dengan pihak tersebut.
Tujuan dari kesiapsiagaan yaitu supaya antisipasi masalah dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam kegiatan memberi dan merespon secara efektif dan efisien sebelum terjadinya suatu bencana. Kesiapsiagaan adalah sebuah usaha konkrit yang membutuhkan akses banyak pihak.Salah satu pihak yang memiliki peran sangat penting dalam pelaksanaan kesiapsiagaan terdepan maupun mengantisipasi gejala suatu kebencanaan adalah BPBD, sehingga dibutuhkan skill/kecakapan yang integral didalam BPBD dalam melaksanakan kewajibannya.
35 4. Peringatan Dini
Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat tempat oleh lembaga yang berwenang, atau upaya untuk memberika tanda peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi (Dr. I.
Khambali, 2017).
b. Saat Bencana
1. Tanggap Darurat
Tanggap darurat merupakan bentuk suatu upaya pada saat kejadian bencana yang dilakukan dengan sesegera mungkin dalam menanggulangi dampak yang timbul karena bencana yang terjadi khususnya dalam kegiatan evakuasi, penyelamatan korban dan harta benda, serta kegiatan pengungsian (Dr. I. Khambali, 2017).
c. Pasca Bencana 1. Rehabilitasi
Upaya membantu masyarakat yang dilakukan setelah kejadian bencana disebut dengan rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi sangat beragam misalnya dengan memperbaiki fasilitas umum, rumah, fasilitas sosial penting, dan kembali berupaya menghidupkan roda perekonomian (Dr. I. Khambali, 2017).
2. Rekonstruksi
Rekonstruksi merupakan program perbaikan fisik, ekonomi, dan sosial dalam jangka menengah maupun panjang guna mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama sebelum terjadi bencana atau bahkan lebih baik dari sebelumnya (Dr. I. Khambali, 2017).
Dengan melihat manajemen bencana sebagai sebuah kepentingan masyarakat, kita berharapnya berkurangnya korban jiwa dan kerugian harta benda. Hal terpenting dari manajemen bencana adalah adanya suatu langkah konkret dalam mengendalikan
36
bencana sehingga korban yang kita harapkan dapat terselamatkan dengan cepat dan tepat.
J. Ukuran / Tingkat Kesiapsiagaan Bencana
Kajian tingkat kesiapsiagaan bencana menggunakan framework atau kerangka yang dikembangkan oleh LIPI / ISDR pada tahun 2006. Dalam hal ini terdapat lima parameter yang digunakan dalam mengkaji tingkat kesiapsiagaan bencana untuk mengantisipasi bencana yaitu pengetahuan dan sikap tentang risiko bencana, kebijakan dan panduan, rencana tanggap darurat, sistem peringatan bencana dan mobilisasi bencana (Deni Hidayati, 2011).
1. Pengetahuan tentang banjir serta risiko bencana yang mencakup pengertian bencana alam, kejadian yang menimbulkan bencana, penyebab terjadinya bencana banjir dan dampak dari terjadinya bencana banjir.
2. Kebijakan dan panduan merupakan upaya yang nyata untuk melaksanakan kegiatan siaga bencana. Kebijakan dan panduan yang berpengaruh terhadap kesiapsiagaan meliputi sistem peringatan bencana, mobilisasi sumber daya, termasuk pendanaan, organisasi pengelola, SDM dan fasilitas penting untuk kondisi darurat bencana. Dalam hal ini kebijakan dan panduan yang terkait dengan kesiapsiagaan sudah tertera pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta Peraturan Daerah Kabupaten Bondowoso No.
15 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
3. Rencana tanggap darurat terkait dengan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan agar korban bencana dapat diminimalkan.
Rencana yang berkaitan dengan evakuasi yaitu meliputi tempat evakuasi, peta dan jalur evakuasi, peralatan dan perlengkapan, latihan atau simulasi serta prosedur tetap evakuasi. Berbagai
37
tindakan tanggap darurat sangat penting untuk dilakukan supaya mengurangi tingkat jatuhnya korban bencana.
4. Peringatan bencana yang meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya bencana. Peringatan dini bertujuan untuk mengurangi adanya korban jiwa, kerusakan lingkungan, maupun hilangnya harta benda. Dalam hal ini diperlukan adanya latihan atau simulasi apa yang harus dilakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan bagaimana harus menyelamatkan diri dalam waktu tertentu sesuai dengan lokasi dimana masyarakat sedang berada saat terjadinya bencana.
5. Mobilisasi sumber daya baik itu sumber daya manusia, pendanaan, dan sarana prasarana sangat penting untuk keadaan darurat karena ini merupakan potensi yang dapat mendukung kesiapsiagaan bencana. Namun jika sebaliknya, mobilisasi sumber daya terjadi kendala maka tidak dapat berjalan dengan baik. Sehingga mobilisasi sumber daya merupakan penting dalam parameter kesiapsiagaan bencana.
K. Kontingensi Penanggulangan Bencana
Kontingensi merupakan suatu keadaan yang berpeluang terjadi dimasa yang mendatang namun juga belum tentu akan terjadi secara riil. Menurut (BNPB, 2011) kontigensi memiliki unsur ketidakpastian, yang membutuhkan suatu perencanaan guna meminimalisir dampak yang akan ditimbulkan jika kondisi tersebut benar terjadi. Perencanaan kontingensi merupakan suatu upaya dalam merencanakan kondisi maupun peristiwa kebencanaan yang memiliki peluang untuk terjadi maupun tidak terjadi di wilayah yang dimaksud (BNPB, 2011).
Perencanaan kontingensi adalah proses perencanaan tanggap darurat untuk masa mendatang yang berisi mengenai situasi potensi bencana dengan adanya skenario berupa adanya kesepakatan bersama terkait tujuan, tindakan manajerial,
38
tindakan teknis, kebutuhan sumber daya, jumlah sektor, arahan, serta sistem tanggapan potensi yang telah disepakati. Perencanaan kontigensi berfungsi sebagai bentuk pencegahan maupun penanggulangan yang lebih efektif dalam keadaan darurat bencana. Tujuan penyusunan dokumen kontingensi adalah menjadi dasar mobilisasi sumber daya para pemangku kepentingan pada saat tanggap darurat bencana dalam melakukan penanggulangan bencana yang cepat dan efektif (Falaq, 2021).
Terdapat beberapa penting perencanaan kontingensi dilakukan yaitu:
1. Bentuk kesiapan tanggap darurat sebelum keadaan darurat tersebut terjadi dengan menentukan pemilihan langkah dan sistem penanganan yang dikira tepat.
2. Proses perencanaan kedepan dilakukan sebelum keadaan darurat.
3. Mencakup upaya-upaya yang lebih dalam terkait pencegahan risiko.
4. Sebagai bentuk partisipasi dalam menentukan tujuan dan membangun kesepakatan skenario diawal.
5. Aktivasi dari perencanaan kontingensi beralih ke rencana operasi tanggap darurat.
6. Rencana kontingensi berisi pemetaan dalam tahap kegiatan tanggap darurat terkait sumber daya yang dimiliki oleh desa / kelurahan.