DOI: 10.31949/jee.v4i1.3781 e-ISSN 2655-0857
56
Kendala Guru Dalam Menghadapi Anak Berkebutuhan Khusus Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) Di Sekolah Dasar
Zulhendri
Universitas Islam Neger Batusangkar, Tanah Datar, Indonesia
*Corresponding author: [email protected] ABSTRACT
In providing services to Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) students, classroom teachers face various obstacles from the learning process to personal service. Especially if there is no special assistant teacher (GPK) who can handle and provide special guidance to ADHD students. Various obstacles experienced by teachers in carrying out learning for ADHD students. In this case, it is the class teacher who provides guidance to the students with special needs. Based on these problems, this research was conducted with the aim of describing what obstacles were experienced by teachers at SDN 06 Rawang Difficult Air in dealing with Children with Special Needs: ADHD. The research method used in this research is descriptive qualitative method. Collecting data using observation and interviews with the research subject is the class teacher. Data analysis used qualitative data analysis, namely describing the findings from interviews and observations made.
The results of the study illustrate that some of the obstacles experienced by teachers in dealing with children with special needs: Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) to implement or implement learning, namely:
1) Constraints from Special Guidance Teachers (GPK), 2) Constraints from students, 3) Constraints from the Learning Implementation Plan (RPP), 4) Constraints from learning media, and 5) Constraints from educational facilities and infrastructure. Thus, classroom teachers must prepare themselves more maturely in dealing with obstacles in providing services to ADHD students.
Keywords: attention deficit hyperactivity disorder; children with special needs ABSTRAK
Dalam memberikan pelayanan pada siswa Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD), guru kelas menghadapai berbagai kendala dari mulai proses pembelajaran sampai pada pelayanan secara personal. Apalagi jika tidak terdapat guru pendamping khusus (GPK) yang dapat menangani serta memberikan bimbingan khusus terhadap siswa ADHD. Berbagai kendala yang dialami oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran terhadap siswa ADHD. Dalam hal ini guru kelaslah yang memberikan bimbingan kepada siswa berkebutuhan khusus tersebut. Berdasarkan permasalahan tersebu, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan apa kendala yang dialami oleh guru di SDN 06 Rawang Sulit Air dalam menghadapi Anak Berkebutuhan Khusus:
ADHD. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kualitatif jenis deskriptif. Pengumpulan data menggunakan observasi dan wawancara dengan subjek penelitian adalah guru kelas. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif yaitu mendeskripsikan temuan dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan, Hasil penelitian menggambarkan bahwa beberapa kendala yang dialami oleh guru dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus:
Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD) untuk mengimpelementasikan atau menerapkan pembelajaran, yaitu: 1) Kendala dari Guru Pembimbing Khusus (GPK), 2) Kendala dari siswa, 3) Kendala dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), 4) Kendala dari media pembelajaran, dan 5) Kendala dari sarana dan prasarana pendidkan. Dengan demikian, guru kelas harus mempersiapkan diri secara lebih matang dalam menghadapi kendala dalam memberikan pelayanan kepada siswa ADHD.
Kata Kunci: anak berkebutuhan khusus; attention defisit hyperactivy disorder
57 Pendahuluan
Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) merupakan gangguan psikiatri yang terjadi pada masa kanak-kanak melalui pewarisan serta dipengaruhi oleh lingkungan sosial (Borgen, Frønes & Raaum, 2021). Dalam kehidupan sehari-hari, jika kita perhatikan secara seksama masih banyak dijumpai anak-anak sampai dengan yang mengalami gangguan hiperaktivitas (Hayati & Apsari, 2020). Anak-anak yang mengalami kesulitan untuk konsentrasi, selalu bergerak, mengetuh jari jemarinya, memutar kaki, melakukan tindakan mendorong kepada temannya tanpa alasan yang jelas, selalu berbicara tanpa berhenti, dan melakukan gerakan-gerakan yang menandakan anak tersebut merasa gelisah merupakan tanda-tanda dari anak yang menagalmi Attentıon Defıcıt Hyperactıvıty Dısorder (ADHD) (Narti, 2017; Anjani dkk, 2010). Anak-anak dengan ADHD sering menunjukkan masalah perilaku di kelas serta memiliki kemungkinan yang besar untuk memiliki hubungan sosial dengan tetangga yang buruk dan mendapatkan kegagalan dalam menjalankan tugas-tugas serta mendapatkan teguran bahkan hukuman karena melakukan tindakan kriminal (Davison dkk., 2010; Eiraldi et al., 2012; Fletcher, 2014). Berdasarkan hal tersebut, anak-anak ADHD biasanya mengalami prestasi belajar yang rendah karena mengalami kesulitas belajar secara serta dalam mengembangkan minat, bakat, dan potesi (Hayati & Apsari, 2020; Anjani dkk, 2010).
Selain pada satuan pendidikan khusus, siswa berkebutuhan khusus juga dapat menempuh pendidikan pada sekolah terpadu. Sekolah terpadu juga dikenal dengan sebutan sekolah inklusi. Menurut (Herawati, 2016) sekolah inklusi adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Akan tetapi pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus belum merata.
Implementasi praktik pendidikan inklusi menunjukkan adanya tantangan yang menghambat penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia, salah satu faktornya adalah kompetensi guru yang belum mampu menangani anak berkebutuhan khusus di kelas regular (Pratiwi, 2015). Selain itu, penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus masih belum dominan, belum merata, dan cenderung berpusat di pulau Jawa, Jatim, Jabar dan Jateng (Asiyah, 2018; Husna et al., 2019). Oleh karena itu, sekolah memiliki peranan penting dalam membenahi hal tersebut.
Sejak tahun 1990, telah banyak dilakukan diagnosis dan pengobatan terhadap anak- anak yang mengalami gangguan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) karena menimbulkan kekhawatiran pada masa anak belum dewasa banyak menimbulkan perilaku- perilaku emosional dan akademik mereka (Currie, Stabile, & Jones, 2014). Sedangkan anak- anak yang mengalami Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) cukup tinggi di Indonesia sebesar 26,4%. Ini memperkuat menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2007 terdapat 82 juta anak di Indonesia, satu dari lima anak dan remaja di bawah usia 18 tahun mengalami gangguan kesehatan jiwa, dan sedikitnya 16 juta anak menderita gangguan kesehatan jiwa termasuk ADHD (Awiria, & Dariyanto, 2020).
Sekolah tidak hanya berperan sebagai wahana atau tempat untuk mencari ilmu pengetahuan saja bagi seseorang, tetapi sekolah dapat dijadikan sebagai tempat atau wahana yang dapat memberi bekal serta keterampilan untuk hidup yang kelak diharapkan dapat
58
bermanfaat di dalam masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat (Gazali, 2013) yang menyatakan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan berperan untuk mempersiapkan anak didik untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi agama, bangsa dan negara. Keberadaan sekolah tidak hanya penting bagi anak normal, melainkan penting juga bagi anak berkebutuhan khusus yang memiliki berbagai keterbatasan dan kekurangan ketika harus menuntut ilmu dan berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, ketika mengajar anak ADHD peran guru juga sangat penting dalam menagani dan melaporkan anak-anak yang mengalami stress dan tingkat frustasi tinggi karena dapat mengganggu prestasi akademik teman-teman lainnya (Carrell & Hoekstra, 2010; Fletcher, 2010).
Permasalahan anak yang mengalami ADHD memiliki efek negatif pada kesehatan mental korban dan pelaku, termasuk kemarahan, kesedihan, dan depresi. Ini mengakibatkan banyak masalah psikologis pada korban, misalnya depresi, kecemasan, harga diri rendah, dan penyalahgunaan alkohol (Campbell, et. al, 2013; Kelly, et. al, 2015; Salmivalli, C., Peets, K., & Hodges, 2011). ADHD sering disalahpahami dan identifikasi tetap menjadi menjadi permasalahan yang harus menjadi perhatian bagi seluruh kalangan(Frigerio, A., Montali, L.,
& Marzocchi, 2014). Banyak penelitian telah mendokumentasikan bahwa pelatihan meningkatkan pengetahuan guru tentang ADHD dan menempatkan mereka pada posisi yang lebih baik untuk membantu dalam manajemen perilaku dan pengajaran siswa dengan ADHD di kelas reguler (Anderson, Watt, & Shanley, 2017; Stampoltzis, A., & Antonopoulou, 2013; Youssef, M. K., Hutchinson, G., & Youssef, 2015). Namun, studi empiris telah melaporkan bahwa guru kurang pengetahuan tentang ADHD (Guerra, & Brown, 2012;
Perold, Louw, & Kleynhans, 2010; Shroff, Hardikar-Sawant, & Prabhudesai, 2017; Topkin, , Roman, & Mwaba, 2015) dan tidak siap untuk mendukung siswa dengan ADHD di kelas reguler(Al-Omari, Al-Motlaq, & Al-Modallal, 2015). Selain itu, telah ditemukan bahwa anak laki-laki lebih mungkin didiagnosis dengan ADHD daripada anak perempuan (Afeti, K., &
Nyarko, 2017; Ndukuba, et. al, 2017; Vasiliadis, et. al, 2017; Wang, et. al, 2017).
Pendidikan inklusi merupakan penggabungan penyelenggaraan pendidikan luar biasa dengan pendidikan reguler dalam satu sistem pendidikan yang dipersatukan. Hal ini senada dengan pendapat (Sukadari, 2019) yang menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama- sama dengan anak-anak yang sebayanya di sekolah reguler dan pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif.
Pendidikan inklusi juga mempunyai tujuan yang sama dengan pendidikan umum, akan tetapi cara penerapannya agak berbeda dengan pendidikan umum. Dalam pelaksanaan pendidikan inklusi semua siswa memperoleh dukungan yang sama dalam proses pembelajaran di kelas, hanya saja untuk siswa yang berkebutuhan khusus yang akan mendapatkan pendampingan dari guru pembimbing khusus (GPK). Menurut (Zakia, 2015) GPK adalah guru yang mempunyai latar belakang pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat pelatihan tentang pendidikan khusus atau luar biasa yang ditugaskan di sekolah inklusif.
Saat ini lembaga pendidikan yang ada di Indonesia sudah banyak mengembangkan serta menerapkan pendidikan inklusif, disebabkan banyaknya jumlah anak berkebutuhan khusus. Akan tetapi tidak semua sekolah reguler dapat menerima siswa berkebutuhan khusus, karena pendidikan inklusif hanya diselenggarakan oleh sekolah-sekolah yang
59
ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Meskipun telah banyak sekolah inklusif di Indonesia, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak juga sekolah inklusif yang belum siap untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif tersebut.
Pemamparan di atas sama halnya dengan permasalahan yang dialami oleh guru di SDN 06 Rawang Sulit Air, di sekolah tersebut terdapat beberapa siswa yang berkebutuhan khusus. Siswa yang berkebutuhan khusus tersebut tergolong kepada Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD). Menurut (Wahidah, 2018) Attention Deficit Hyperactivity Disorder secara istilah adalah hambatan pemusatan perhatian disertai kondisi hiperaktif.
Senada dengan pendapat (Mirnawati & Amka, 2019) Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan suatu gangguan aktivitas dan perhatian (gangguan hiperkinetik) merupakan suatu gangguan psikiatrik yang cukup banyak ditemukan dengan gejala utama inatesi (kurangnya perhatian), hiperaktivitas, dan impulsivitas (bertindak tanpa dipikir) yang tidak konsisten dengan tingkat perkembangan anak, remaja, atau orang dewasa. Lebih lanjut Canu et al. (2021) mengemukakan ADHD ditandai dengan perilaku lalai, hiperaktif, dan impulsif. Pada SDN 06 Rawang Sulit Air juga tidak terdapat guru pembimbing khusus (GPK) yang dapat menangani serta memberikan bimbingan khusus terhadap siswa ADHD.
Dalam hal ini guru kelaslah yang memberikan bimbingan kepada siswa berkebutuhan khusus tersebut. Mencermati permasalahan yang telah dipaparkan di atas, menunjukkan bahwa kesiapan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif masih sangat rendah.
Fokus permasalahan dalam penelitian ini ialah menggali kendala yang dialami oleh guru di SDN 06 Rawang Sulit Air dalam menghadapi anak berkebutuhan Khusus: Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD) kendala yang dialami oleh guru di SDN 06 Rawang Sulit Air dalam menghadapi anak berkebutuhan Khusus: Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD) untuk mengimpelementasikan atau menerapkan pembelajaran. Menurut (Soewarno et al., 2016) kendala pembelajaran adalah suatu masalah atau suatu keadaan yang menjadi penghambat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dicapai dan harus memiliki solusi tertentu yang sesuai dengan kendala yang dihadapinya.
Beberapa penelitian terkait dengan ADHD diantaranya, pertama (Astini et al., 2018) mengatakan bahwa gerakan senam otak berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak ADHD. Lebih lanjut, hasil penelitian (Rofiah et al., 2018) mengemukakan keterampilan deteksi anak ADHD memberikan dampak positif dalam penanganan anak ADHD.
Berikutnya hasil penelitian (Hayati & Apsari, 2019) menyatakan bahwa sekolah regular yang menjalankan pendidikan inklusif membantu anak berkebutuhan khusus ADHD mengembangkan potensinya. Namun demikian, belum banyak penelitian yang mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapi sekolah regular dalam menghadapi anak ADHD. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan mengungkapkan kendala yang ditemui guru dalam memberikan pelayanan terhadap anak ADHD di Sekolah Dasar. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan tambahan dalam menghadapi anak ADHD di Sekolah Dasar. Diharapkan penelitian ini memberikan informasi yang dapat dimanfaatkan oleh praktisi pendidikan khususnya guru dalam menghadapi siswa berkebutuhan khusus ADHD.
60 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kualitatif.
Menurut Strauss dan Corbin, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (Rahmat, 2009). Penelitian ini tergolong jenis penelitian kualitatif deskriptif. Menurut (Lasari & Annisa, 2020) penelitian kualitatif deskriptif ialah penelitian yang bermaksud membuat deskripsi mengenai situasi atau kejadian yang bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan sesuatu.
Penelitian ini dilaksanakan di SDN 06 Rawang Sulit Air, Kecamatan X Koto Diatas, Kabupaten Solok. Sumber data pada penelitian ini adalah kepala SDN 06 Rawang Sulit Air, guru kelas SDN 06 Rawang Sulit Air serta, serta siswa Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD) yang ada di SDN 06 Rawang Sulit Air. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu wawancara dan observasi.
Menurut Moleong (Lasari & Annisa, 2020) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Menurut Sukmadinata (Lasari & Annisa, 2020) observasi merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan cara mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk memperoleh data yang diperlukan dan dapat menjawab penelitian. Beberapa alat yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian ini, yaitu pedoman wawancara dan lembar observasi, Pada penelitian ini digunakan pedoman wawancara yang digunakan berupa daftar pertanyaan. Pada penelitian ini digunakan lembar observasi yang digunakan berupa check-list. Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif melalui empat tahapan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Pada tahapan pengumpulan data, data dikumpulkan dari narasumber sebagai bentuk informasi dalam menjawab pertanyaan penelitian. Dalam reduksi data, data yang dikumpulkan kemudian diseleksi, data atau informasi yang tidak berhubungan dengan topik penelitian tidak dapat digunakan untuk dianalisis. Berikutnya, data atau informasi tersebut disajikan dalam bentuk teks deskripsi. Pada tahap akhir, dilakukan penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Beberapa kendala yang dialami oleh guru di SDN 06 Rawang Sulit Air dalam menghadapi anak berkebutuhan Khusus: Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD) untuk mengimpelementasikan atau menerapkan pembelajaran, yaitu: Pertama, kendala dari guru pembimbing khusus (GPK). Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan kepala sekolah, diketahui bahwa tidak adanya Guru Pembimbing Khusus (GPK) dalam menangani anak berkebutuhan khusus: Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD) sehingga guru kelaslah yang menangani anak tersebut. Tetapi guru kelas mengalami kesulitan dalam menangani masalah anak berkebutuhan khusus (ADHD) dikarenakan pemahaman guru yang minim tentang pemberian bimbingan dan penanganan yang tepat, apabila ada Guru Pembimbing Khusus (GPK) maka anak berkebutuhan khusus (ADHD) akan mendapatkan bimbingan khusus ketika belajar, memberikan bantuan (penanganan)
61
secara tepat, memberikan perhatian khusus (sepenuhnya), serta dapat menjadi konsultan.
Sebab Guru Pembimbing Khusus (GPK) ini telah diberikan pelatihan khusus. Guru pendamping memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan pembelajaran dan pencapaian siswa (Greenway & Rees Edwards, 2021). Oleh karena itu, kolaborasi yang baik antara guru kelas dan guru pendamping menjadi salah satu kunci dalam mengatasi kendala pembelajaran pada siswa ADHD.
Kedua, kendala dari siswa. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan dengan guru kelas, diketahui bahwa anak berkebutuhan khusus: Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD) sering menampilkan perilaku yang kurang baik dalam kelas, sehingga guru kelas sulit menangani atau mengatasi perilaku tersebut. Beberapa perilaku yang kurang baik yang sering ditampilkan oleh anak berkebutuhan khusus: Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD) di dalam kelas, yaitu: Tidak fokus. Anak berkebutuhan khusus:
ADHD dengan gangguan hiperaktif tidak bisa konsentrasi (fokus) dalam mengikuti pembelajaran di kelas lebih dari 10 menit. Anak tersebut tidak bisa memperhatikan pembelajaran yang disajikan di depan kelas dari awal sampai akhir, dalam kelas ia banyak melamun, binggung, jalan-jalan, serta menunjukkan sikap yang gelisah. Sulit untuk dikendalikan, anak berkebutuhan khusus: ADHD dengan gangguan hiperaktif memang sulit dikendalikan, karena ia selalu bergerak, tidak dapat duduk dengan tenang, sering meninggalkan bangku tanpa alasan yang jelas, berlari, memanjat, serta sulit diatur. Implusif, anak berkebutuhan khusus: ADHD melakukan sesuatu secara tiba-tiba tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Ia selalu ingin memegang apapun yang ada didepannya, seringkali memberikan jawaban sebelum pertanyaan yang ditanyakan selesai, sering memotong pembicaraan orang lain, serta tidak bisa menunggu giliran. Menentang, anak berkebutuhan khusus: ADHD umumnya memiliki sikap penentang atau pembangkang. Ia tidak mau dinasehati, dibimbing seta menunjukkan sikap cuek dalam penolakan yang diberikan.
Destruktif, anak berkebutuhan khusus: ADHD sering merusak barang teman. Ia merusak mainan yang dimainkan teman, pena teman, serta lebih cenderung kepada menghancurkan barang atau benda. Tidak kenal lelah, anak berkebutuhan khusus: ADHD tidak menunjukkan sikap lelah, hal inilah yang sering kali membuat guru kewalahan dalam menangani perilakunya. Misalnya: suka berjalan-jalan di dalam kelas saat aktivitas pembelajaran berlangsung, walaupun telah diminta oleh guru untuk duduk dengan tenang di kursinya. Tidak sabar, anak berkebutuhan khusus: ADHD ketika bermain tidak bisa menunggu giliran. Usil, anak berkebutuhan khusus: ADHD ketika bermain langsung merebut mainan teman, serta membuat kegaduhan. Anak-anak dengan ADHD dengan benar memahami permusuhan, tetapi salah memahami persahabatan. Anak-anak dengan ADHD memiliki tingkat timbal balik positif yang rendah dan kualitas yang menunjukkan persahabatan sangat berbeda dari anak-anak tanpa ADHD maka dari itu anak-anak dengan ADHD memiliki profil persepsi diri sosial yang berbeda dari anak-anak tanpa ADHD, terutama dalam mengenali persahabatan García-Castellar et al. (2021).
Ketiga, kendala dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Dalam melaksanakan proses pembelajaran guru harus menggunakan RPP, karena RPP dijadikan panduan serta pedoman oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan dengan guru kelas diketahui bahwa guru kelas tidak membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) khusus untuk anak berkebutuhan
62
khusus: Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD) dalam proses pembelajaran, sebab guru menyamakan proses pembelajaran anak ADHD dengan anak normal. Guru kelas menyatakan apabila dibedakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk anak ADHD dengan anak normal, maka agak sedikit rumit dan sulit. Namun guru kelas membedakan proses pembelajarannya. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang digunakan oleh guru di dalam kelas adalah RPP tematik menggunakan pendekatan saintific.
Keempat, kendala dari media pembelajaran. Dalam menyampaikan materi pembelajaran guru harus menggunakan media, sebab media dapat memudahkan guru dalam menyampaikan materi kepada siswa. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan guru kelas diketahui bahwa ada beberapa kendala yang dihadapi oleh guru dalam hal menggunakan media pembelajaran kepada anak berkebutuhan khusus: Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD), yaitu guru kelas harus membawa media yang nyata (kongkrit) ke dalam kelas agar materi pembelajaran yang disampaikan bisa dimengerti oleh siswa ADHD. Guru kelas harus kreatif dalam membuat media pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan perhatian, konsentrasi serta kefokusan siswa ADHD. Sebab siswa ADHD sulit fokus dalam proses pembelajaran. Guru kelas juga mengharapkan dengan adanya media pembelajaran dapat mengatasi perilaku melamun dan binggung siswa ADHD dalam proses pembelajaran
Kelima, kendala dari sarana dan prasarana pendidikan. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan kepala sekolah dan guru kelas diketahui bahwa ada beberapa kendala yang dihadapi dalam memfasilitasi anak berkebutuhan khusus:
Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD), yaitu Tidak adanya ruang khusus untuk melayani atau melakukan konsultasi dengan anak ADHD. Masih kurangnya ruangan rehabilitas seperti ruangan orientasi dan mobilitas untuk anak ADHD. Minimnya sarana prasana untuk menunjang proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus.
Peran dan tugas Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang berkaitan dengan proses identifikasi kebutuhan, assesment dan pengembangan Program Pembelajaran Individual memiliki fungsi yang saling mendukung (Pujiastuti & Agustin, 2019). Penting bagi guru terutama guru pembimbing khusus meningkatkan kompetensinya karena peran vital dalam memberikan pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi. Salah satunya adalah dengan memahami Strategi Pembelajaran Berbasis Sistem Pembelajaran Alamiah Otak (SiPAO) yang bisa diterapkan di kelas inklusi. Keefektifan pembelajaran dengan berbasis SiPAO menjadikan kelas inklusif menjadi kondusif dan menyenangkan bagi semua siswa termasuk siswa ABK (Rasmitadila et al., 2021).
Berdasarkan hasil asesmen konsentrasi belajar anak yang memiliki kecenederungan ADHD, yang terlihat bahwa anak kurang mampu menaruh perhatian dengan rentang waktu yang lama, anak hanya mampu memusatkan perhatiannya terhadap objek kurang lebih 5 menit ketika belajar, anak kurang respon terhadap pembelajaran berlangsung (Sari &
Marlina, 2020). Oleh karena itu, upaya harus dilakukan dalam membantu meningkatkan konsentrasi anak ADHD diantaranya melalui reinforcement (P. I. Putri & Widiastuti, 2019).
Menurut (Fachrian, 2021) anak ADHD memiliki gangguan dalam hal intensi, hiperaktif, dan impulsive. Pada anak usia sekolah yang mengalami ADHD adanya kesulitan dalam mempertahankan konsentrasi dan mengontrol diri membuat tugas menulis yang rumit semakin sulit untuk dilakukan (A. M. Putri & Yuanita, 2018). Maka dari itu anak ADHD
63
memiliki ganggung berbahasa diakibatkan oleh ketidakfokusan anak pada saat berbicara (Pujiati & Yulianti, 2018). Karakteritik anak ADHD tersebut membuat anak memiliki kecenderungan salah satu gaya belajar yang dominan. (Widodo et al., 2020) mengemukakan bahwa sebagian besar siswa ADHD memiliki gaya belajar kinestetik. Oleh karena itu, pelayanan pembelajaran yang diberikan kepada anak ADHD harus menyesuaikann dengan gaya belajar anak ADHD. Perencanaan pembelajaran yang dilakukan guru bukan hanya dalam melaksanakan layanan pembelajaran pada anak ADHD. Namun guru juga harus merencanakan pembelajaran untuk melayani kebutuhan sosial dan emosional selama pembelajaran.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada lima kendala yang dialami oleh guru di SDN 06 Rawang Sulit Air dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus: Attention Defisit Hyperactivy Disorder (ADHD) untuk mengimpelementasikan atau menerapkan pembelajaran, yaitu pertama, kendala dari Guru Pembimbing Khusus (GPK). Kedua, kendala dari siswa. Ketiga, kendala dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Keempat, kendala dari media pembelajaran. Kelima, kendala dari sarana dan prasarana pendidikan.
Daftar Pustaka
Afeti, K., & Nyarko, S. H. (2017). Prevalence and effect of attention-deficit/hyperactivity disorder on school performance among primary school pupils in the Hohoe Municipality, Ghana. Annals of General Psychiatry, 16(1), 11. https://doi.org/doi 10.1186/s12991-017- 0135-5
Al-Omari, H., Al-Motlaq, M. A., & Al-Modallal, H. (2015). Knowledge of and attitude towards attention-deficit hyperactivity disorder among primary school teachers in Jordan. Child Care in Practic, 22(1), 128–139. https://doi.org/doi: 10. 1080/13575279.2014.962012 Anderson, D. L., Watt, S. E., & Shanley, D. C. (2017). Ambivalent attitudes about teaching
children with attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD). Emotional and Behavioral Difficulties, 22(4), 332–349. https://doi.org/doi: 10. 1080/13632752.2017.1298242
Asiyah, D. (2018). Dampak Pola Pembelajaran Sekolah Inklusi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Prophetic : Professional, Empathy and Islamic Counseling Journal, 1(01), 69–82.
https://doi.org/10.24235/prophetic.v1i01.3480
Astini, P. S. N., Surinati, D. A., & Hartati, N. N. (2018). Pengaruh Gerakan Senam Otak Terhadap Perkembangan Sosial Anak ADHD Di Sekolah Berkebutuhan Khusus. Jurnal Gema Keperawatan, 11(2), 134–140.
Campbell, M., Slee, P., Spears, B., Butler, D., & Kift, S. (2013). Do cyberbullies suffer too?
Cyberbullies’ perceptions of the harm they cause to others and to their own mental health.
School Psychology Internationa, 34(6), 613–629.
Canu, W. H., Stevens, A. E., Ranson, L., Lefler, E. K., LaCount, P., Serrano, J. W., Willcutt, E.,
& Hartung, C. M. (2021). College Readiness: Differences Between First-Year Undergraduates With and Without ADHD. Journal of Learning Disabilities, 54(6), 403–411.
https://doi.org/10.1177/0022219420972693
Fachrian, A. (2021). Gambaran Psikologis Anak ADHD. Social Library, 1(2), 22–26.
64
Frigerio, A., Montali, L., & Marzocchi, G. M. (2014). Italian teachers’ knowledge and perception of Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). International Journal of School &
Educational Psychology, 2(2), 126–136. https://doi.org/doi: 10.1080/21683603.2013.878677 García-Castellar, R., Sánchez-Chiva, D., Jara-Jiménez, P., & Fernández-Ramos, C. (2021).
Assessment of Social Self-perceptions of Acceptance and Enmity in Children with Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder. Canadian Journal of School Psychology, 36(4), 318–334. https://doi.org/10.1177/08295735211025200
Gazali, M. (2013). Optimalisasi Peran Lembaga Pendidikan Untuk Mencerdaskan Bangsa. Al- Ta’dib, 6(1), 126–136.
Greenway, C. W., & Rees Edwards, A. (2021). Teaching assistants’ facilitators and barriers to effective practice working with children with ADHD: a qualitative study. British Journal of Special Education, 48(3), 347–368. https://doi.org/10.1111/1467-8578.12377
Guerra Jr, F. R., & Brown, M. S. (2012). Teacher knowledge of attention deficit hyperactivity disorder among middle school students in South Texas. RMLE Onlin, 33(6), 1–7.
https://doi.org/Doi:10.1080/19404476.2012. 11462096
Hayati, D. L., & Apsari, N. C. (2019). Pelayanan Khusus Bagi Anak Dengan Attentions Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) Di Sekolah Inklusif. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Pada Masyarakat, 6(1), 108–122.
Herawati, N. I. (2016). Pendidikan Inklusif. EduHumaniora: Jurnal Pendidikan Dasar Kampus Cibiru, 2(1), 1–11. https://doi.org/10.17509/eh.v2i1.2755
Husna, F., Yunus, N. R., & Gunawan, A. (2019). Hak Mendapatkan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Dimensi Politik Hukum Pendidikan. SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 6(2), 207–222. https://doi.org/10.15408/sjsbs.v6i1.10454
Kelly, E., Newton, N., Stapinski, L., Slade T., Barrett E., Conrod P., & Teesson, M. (2015).
Suicidality, internalizing problems and externalizing problems among adolescent bullies, victims and bully victims. Preventive Medicine, 73, 100–105.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2015.01.020
Lasari, Y. L., & Annisa, A. (2020). Manajemen Kelas Islami Kurikulum 2013 dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik Kelas VI SD Era 4.0. Jurnal Kepemimpinan Dan Kepengurusan Sekolah, 5(2), 127–137.
Mirnawati, & Amka. (2019). Pendidikan Anak ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder).
CV. Budi Utama.
Ndukuba, A. C., Odinka, P. C., Muomah, R. C., Obindo, J. T., & Omigbodun, O. O. (2017).
ADHD among rural southeastern Nigerian primary school children: Prevalence and psychosocial factors. 21(10), 865–871. https://doi.org/doi: 10.1177/1087054714543367
Perold, M., Louw, C., & Kleynhans, S. (2010). Primary school teachers’ knowledge and misperceptions of attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). South African Journal
of Education, 30(3), 457–473. Retrieved%0Afrom
www.scielo.org.za/pdf/saje/v30n3/v30n3a08.pdf
Pratiwi, J. C. (2015). Sekolah Inklusi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus: Tanggapan Terhadap Tantangan Kedepannya. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan “Meretas Sukses Publikasi Ilmiah Bidang Pendidikan Jurnal Bereputasi,” November, 237–242.
Pujiastuti, A. U., & Agustin, I. (2019). Implementasi Peran dan Tugas Guru Pembimbing Khusus (GPK) pada Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar Negeri. KEGURU: Jurnal Ilmu
65 Pendidikan Dasar, 3(1), 38–47.
Pujiati, T., & Yulianti, D. M. (2018). Gangguan Berbahasa Pada Anak Dengan Ciri Attention Deficit Hyperactivity Disorder (Adhd). Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 5(1), 34–49. https://doi.org/10.15408/dialektika.v5i1.6005 Putri, A. M., & Yuanita, S. (2018). Efektivitas teknik scaffolding untuk mengembangkan
strategi metakognisi dalam meningkatkan keterampilan mengeja saat menulis pada anak ADHD. Anfusina: Journal of Psychology, 1(1), 17–32.
Putri, P. I., & Widiastuti, A. A. (2019). Meningkatkan Konsentrasi Anak Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dengan Pendekatan Reinforcement melalui Metode Bermain Bunchems. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 3(1), 207.
https://doi.org/10.31004/obsesi.v3i1.177
Rahmat, P. S. (2009). Penelitian Kualitatif. Equilibrium, 5(9), 1–8.
Rasmitadila, Widyasari, & Prasetyo, T. (2021). Persepsi Guru Pembimbing Khusus terhadap Manfaat Model Strategi Pembelajaran Berbasis Sistem Pembelajaran Alamiah Otak (SiPAO) bagi Siswa Berkebutuhan Khusus (ABK) di Kelas Inklusif. Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 8(2), 87–103. https://doi.org/10.30997/dt.v8i2.4383
Rofiah, K., Ardianingsih, F., & Mahmudah, S. (2018). Software Deteksi Anak ADHD (Attention Deficit And Hyperactive Disorder) Bagi Guru Pembimbing Khusus (GPK) Di Sekolah Penyelenggara Inklusi. Jurnal Pendidikan Inklusi, 1(2), 154–160.
Salmivalli, C., Peets, K., & Hodges, E. (2011). Bullying. In: P. Smith, & C. Hart, the Wiley- Blackwell Handbook of Childhood Social Development (2nd ed.). New Jersey: Blackwell Publishing Ltd.
Sari, L. M., & Marlina, M. (2020). Efektivitas Bermain Lotto untuk Meningkatkan Konsentrasi Belajar bagi anak ADHD. Jurnal Basicedu, 5(1), 310–316.
https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i1.665
Shroff, H. P., Hardikar-Sawant, S., & Prabhudesai, A. D. (2017). Knowledge and misperceptions about Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) Among school teachers in Mumbai, India. International Journal of Disability, Development and Education, 65(4), 514–525. https://doi.org/doi: 10.1080/1034912X.2017.1296937
Soewarno, Hasmiana, & Faiza. (2016). Kendala-kendala yang Dihadapai Guru Dalam Memanfaatkan Media Berbasis Komputer. Jurnal Pesona Dasar, 2(4), 28–39.
Stampoltzis, A., & Antonopoulou, K. (2013). Knowledge and misconceptions about attention deficit hyperactivity disorder (ADHD): A comparison of Greek general and special education teachers. International Journal of School & Educational Psychology, 1(2), 122–130.
https://doi.org/doi: 10.1080/ 21683603.2013.803000
Sukadari. (2019). Model Pendidikan Inklusi dalam Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Kanwa Publisher.
Topkin, B., Roman, N. V., & Mwaba, K. (2015). Attention Deficit Disorder (ADHD): Primary school teachers’ knowledge of symptoms, treatment and managing classroom behavior.
South African Journal of Education, 35(2), 01–08.
https://doi.org/oi:10.15700/SAJE.V35N2A988
Vasiliadis, H. M., Diallo, F. B., Rochette, L., Smith, M., & Langille, D., Lin, E., ... & Lesage, A.
(2017). Temporal trends in the prevalence and incidence of diagnosed ADHD in children and young adults between 1999 and 2012 in Canada: A Data Linkage Study. The Canadian Journal of Psychiatry, 62(12), 818-826.
66
Wahidah, E. Y. (2018). Identifikasi dan Psikoterapi terhadap ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) Perspektif Psikologi Pendidikan Islam Kontemporer. Millah:
Jurnal Studi Agama, 17(2), 297–317.
Wang, L. J., Lee, S. Y., Yuan, S. S., Yang, C. J., Yang, K. C., & Huang, T. S., ... & Shyu, Y. C.
(2017). Prevalence rates of youths diagnosed with and medicated for ADHD in a nationwide survey in Taiwan from 2000 to 2011. Epidemiology and Psychiatric Sciences, 26(6), 624–634. https://doi.org/doi:10.1017/S2045796016000500
Widodo, A., Rahmatih, A. N., Novitasari, S., & Nursaptini. (2020). Analisis Gaya Belajar Siswa ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) di Madrasah Inklusi Lombok Barat.
Jurnal Bidang Pendidikan Dasar, 4(2), 145–154.
Youssef, M. K., Hutchinson, G., & Youssef, F. F. (2015). Knowledge of and attitudes toward ADHD among teachers: Insights from a Caribbean nation. SAGE Open, 5(1), 1–8.
https://doi.org/doi: 10.1177/2158244014566761
Zakia, D. L. (2015). Guru Pembimbing Khusus (GPK): Pilar Pendidikan Inklusi (Special Counseling Teachers (GPK): Pillars of Inclusive Education). Prosiding Seminar Nasional Pendidikan “Meretas Sukses Publikasi Ilmiah Bidang Pendidikan Jurnal Bereputasi,” November, 110–116.