• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 324/PDT.G/2017/PA.TNG).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 324/PDT.G/2017/PA.TNG)."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 324/PDT.G/2017/PA.TNG).

Pratama Septiandi

(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) (Email: pratamaseptiandi123@gmail.com)

Setyaningsih

(Dosen Fakultas Hukum Trisakti) (Email: setyaningsih@trisakti.ac.id)

Abstrak

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai pasangan suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi dalam mempertahankan sebuah rumah tangga tidaklah mudah adakalanya perselisihan yang terjadi terus menerus dapat mengakibatkan perceraian.

Pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah Apakah Isi Amar Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor:

324/Pdt.G/2017/PA.Tng Tentang Perceraian Nur Naila dan Hidayat Akbar Sudah Sesuai Atau Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Kompilasi Hukum Islam dan Akibat Hukum Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor:

324/Pdt.G/2017/PA.Tng Terhadap Status Perkawinan Antara Nur Naila Dan Hidayat Akbar. Untuk menjawab pokok permasalahan tersebut dilakukan penelitian dengan tipe yuridis normatif, sifat penelitian yang digunakan deskriptif analisis, data yang digunakan adalah data sekunder, analisis data secara kualitatif, penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif. Kesimpulan dari analisis bahwa putusan hakim tidak sesuai dengan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam tentang alasan-alasan perceraian pada huruf (f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

.

Keywords: Hukum Keluarga Islam, Perkawinan, Perceraian.

(2)

A. PENDAHULUAN

Istilah perceraian merupakan bagian dari perkawinan. Karena itu perceraian senantiasa diatur oleh hukum perkawinan. Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.1 Disamping itu perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.2

Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan tuhan yang maha esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia tetapi ada pada hewan dan tumbuhan. Oleh karena itu manusia adalah mahkluk yang berakal, maka perkawinan merupakan budaya masyarakat. Aturan tata tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang di pertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat adat dan atau para pemuka agama. Aturan tersebut terus berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan dan di dalam suatu Negara. Di Indonesia aturan tata tertib perkawinan itu sudah ada sejak zaman kuno, bahkan aturan perkawinan itu sudah tidak saja menyangkut warga Negara Indonesia tetapi juga menyangkut warga Negara asing, karena bertambahnya pergaulan masyarakat Indonesia.

Budaya perkawinan dan aturan yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga

1 Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Jakarta: Bina Aksara, Cetakan I, 1988), h.97.

2 Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1.

(3)

dipengaruhi ajaran agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, bahkan di pengaruhi budaya perkawinan barat.3

Jadi walaupun bangsa Indonesia telah memiliki hukum perkawinan nasional sebagai aturan pokok, namun adalah kenyataan bahwa di kalangan masyarakat Indonesia masih tetap berlaku adat dan tata upacara perkawinan yang berbeda-beda. Kita masih bisa melihat berlakunya tata tertib perkawinan bagi bangsa Indonesia yang bersendi keibuan (matrilineal), tata perkawinan bagi masyarakat yang bersendi kebapakan (patrilineal), dan sudah banyak yang sifatnya campuran (parental), begitu pula kita dapat melihat bagaimana berlakunya perkawinan menurut agama hindu-buddha, hukum perkawinan menurut islam dan kristen. Perbedan dalam pelaksanaan hukum perkawinan itu dapat mempengaruhi cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, dalam kehidupan masyarakat.

Berbahagialah bangsa Indonesia yang telah memiliki undang-undang perkawinan nasional, yang sifatnya dikatakan telah menampung sendi-sendi dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlakunya bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda. Jadi bangsa Indonesia telah memiliki hukum perkawinan yang berdasarkan pancasila. Hal mana berarti walaupun pada pokoknya kita sudah mempunyai hukum perkawinan yang masih berlaku.4

Perkawinan secara umum dilaksanakan berdasarkan hukum agama.

Perkawinan yang tertua di Indonesia adalah berdasarkan agama hindu, budha, islam dan hukum adat untuk suku-suku yang tidak menganut agama hindu, budha, islam. Dengan demikian karena agama islam dianut oleh mayoritas penduduk, maka hukum perkawinan yang banyak diikuti adalah hukum islam.5

3 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: CV. Mandar Maju, Cetakan III, 2007), h.3.

4 Ibid., h.4.

5 Rien G. Kartasapoetra, Op.Cit., h.97.

(4)

Bagi masyakat Indonesia sudah menjadi pegangan hidup atau pandangan hidup mereka sejak dahulu bahwa mengenai perkawinan, kelahiran, dan kematian adalah sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan agama.6

Bahwa perkawinan merupakan suatu peristiwa yang besar bagi kehidupan seseorang, juga bagi orang tua yang mempunyai anak gadis, perkawinan anaknya tersebut sangat mengharuka, dimana orang tua tersebut melepaskan anak mereka yang dicintai itu, lalu pergi menempuh hidup baru bersama suaminya.7

Maka perkawinan bukanlah barang mainan yang sewaktu-waktu dapat di ganti dan ditukar dengan yang lain. Untuk melangsung suatu perkawinan, undang-undang telah menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhin oleh para pihak. Di dalam undang-undangan perkawinan ditetapkan beberapa asas dan prinsip, salah satunya adalah azaznya seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami.8

Dalam sebuah keluarga, suami wajib melindungi dan memberikan selaga seuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan dan istri wajib mengantur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, karena suami adalah kepala keluarga dan tugas istri adalah sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga.9

Beragamnya kepentingan antar manusia dapat terpenuhi secara damai, tetapi juga meninmbulan konflik. Jika tata cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan tanpa ada keseimbangan sehingga akan melanggar hak-hak orang lain.10

Dalam perkembangannya, perceraian dalam sebuah ikatan perkawinan tidak dapat dihindari, alasan pengajuan percerai sangat bervariasi seperti seperti: orang ketiga dalam perkawinan, adanya perbedaan pandangan

6 Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : FH- Trisakti, 1990), h.11.

7 Retnowulan Sutanto, Wanita dan Hukum, Himpunan Karangan Hukum Yang Penting Bagi Kaum Wanita, (Bandung: Alumni, 1979), h.35.

8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Op.Cit., Pasal 3 ayat (1)

9 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, (Jakarta:Sinar Gratika, Cetakan I, 1994), h.1.

10 SP.Wasis,Pengantar Ilmu Hukum, (Malang: UMM Press, Cetakan I, 2002), h.7.

(5)

mengenai kewajiban suami istri dalam berumah tangga, dan seringanya istri di tinggal dan di telantarkan suami, serta pertengkaran serta konflik yang berkepanjangan sehingga tidak mungkin lagi hidup rukun dan kebahagiaan rumah tangga itu dapat dipertahankan.

Perceraian dalam kompilasi hukum islam hanya dapat terjadi apabila dilakukan di depan pengadilan, baik itu suami karena suami telah menjatuhkan cerai (thalaq) ataupun karena isteri yang menggugat cerai ataupun memohonkan hal talak sebab sighat taklik thalak.11

Dalam islam hanya memperbolehkan thalaq yang boleh rujuk dalam iddah dua kali saja, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur`an:

“Thalaq dua kali setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`aruf atau, menceraikan dengan cara yang baik”.12

Apabila suami telah melakukan thalaq kaqli ketiga, maka habislah hak thalaq suami, karena itu hilanglah pula haknya untuk rujuk kepada isterinya.

Kecuali jika bekas isterinya menikah dengan suami yang lain (bukan nikah muhallil) dan telah di sempurnakan kehidupan perkawinan itu serta telah di thalaq pula oleh suami yang lain itu maka barulah terbuka kesempatan bagi bekas suami pertama untuk kembali kepada bekas isterinya dengan melakukan perkawinan baru, sebagaimana firman Allah (Q.S.Al-Baqarah:230):

“Kemudian jika si suami menthalaqnya, maka perempuan itu tidak lagi halal baginya, sampai ia kawin lagi dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembalin jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang mau mengetahuinya.

Menurut Pasal 116 kompilasi hukum islam perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:13

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar si sembuhkan;

11 Djamil Latif, Aneka hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), h.15.

12Al-Quran:229,S:2 (Al-Baqarah)

13 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 159

(6)

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman /penganiyayaan berat yang membahayakan pihak lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan /penyakit dengann akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

7. Suami melanggar taklik talak;

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Sedangkan dalam undang-undang perkawinan putusnya perkawinan dapat terjadi karena:

1. Kematian 2. Perceraian dan;

3. Atas keputusan pengadilan

Tidak sedikit terdapat permasalahan alasan perceraian yang sesuai dengan aturan kompilasi hukum islam, seperti dalam Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor: 324/Pdt.G/2017/PA.Tng dimana terjadi permasalahan putusan Pengadilam Agama Tangerang dalam percerain yang tidak sesuai dengan KHI tentang alasan-alasan terjadinya perceraian tersebut.

Berdasarkan latar belakang diatas maka Penulis mengadakan penelitian dengan judul:“Analisis Yuridis Terhadap Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi kasus Putusan Nomor: 324/Pdt.G/2017/PA.Tng)”.

(7)

B. METODE PENELITIAN 1. Tipe penelitian

Penelitian tentang “Analisis Yuridis Terhadap putusnya perkawinan akibat Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi kasus Putusan Nomor: 324/Pdt.G/2017/ PA.Tng)” merupakan suatu penelitian yuridis- normatif, maka penelitian ini berbasis pada norma hukum. Baik hukum dalam hukum kompilasi hukum islam, perundang-undangan, maupun hukum dalam putusan pengadilan. Dengan demikian objek yang dianalisis adalah kasus Putusan Nomor: 324/Pdt.G/2017/PA.Tng) tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian menurut kompilasi Hukum Islam.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis. Deskriptif, yaitu suatu penelitian untuk menggambarkan secara lengkap karakteristik atau ciri-ciri dari suatu keadaan, perilaku pribadi, perilaku kelompok tanpa didahului hipotesa dan untuk memperoleh data mengenai hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain. Suatu penelitian deskriptif, dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru.

Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan serta menggambarkan secara mendetail mengenai “Analisis Yuridis Terhadap Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi kasus Putusan Nomor: 324/Pdt.G/ 2017/PA.Tng )”

3. Data dan Sumber Data

(8)

Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Data kepustakaan digolongkan dalam tiga bahan hukum, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bahan- bahan hukum (peraturan Perundang-undangan) yang mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yan digunakan adalah Kompilasi Hukum Islam dan Putusan Pengadilan Nomor:

324/Pdt.G/2017/Pa.Tng.

b. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum yang dimaksud merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.14Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku literatur, tulisan-tulisan, makalah dan artikel yang terkait dengan topik sebagai referensi penulisan skripsi ini

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang dimaksud adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan adalah mengakses data melalui internet.

4. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dengan mempelajari buku-buku ilmiah, buku-buku wajib, dan peraturan perundang-undangan dan Kompilasi Hukum Islam yang berkaitan dengan skripsi ini. Studi kepustakaan dilakukan di beberapa tempat, seperti Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Perpustakaan Nasional

14 Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI-press, 2014), h. 52.

(9)

Indonesia, maupun mengkakses data melalui internet untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam pembuatan skripsi ini.

5. Analisis Data

Dalam membahas permasalahan, data hasil penelitian disusun secara sistematis dan disajikan serta diolah kualitatif untuk mendapatkan jawaban yang sitematis mengenai permasalahan mengenai “Analisis Yuridis Terhadap Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi kasus Putusan Nomor: 324/Pdt.G/2017/PA.Tng)”

yang akan dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Penelitian secara kualitatif, yaitu analisis data dengan lebih menekankan pada kualitas atau isi dari data tersebut.

6. Cara Penarikan Kesimpulan

Dalam mengambil kesimpulan pada penulisan skripsi ini digunakan metode deduktif, yaitu metode menarik kesimpulan berdasarkan data yang bersifat umum yaitu berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dengan data yang bersifat khusus yaitu“Analisis Yuridis Terhadap Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi kasus Putusan Nomor: 324/Pdt.G/ 2017/PA.Tng )”

C. PEMBAHASAN

A. Apakah Perceraian Nur Naila Dan Hidayat Akbar Sudah Sesuai Dengan Kompilasi Hukum Islam.

Dalam hal ini Al-Qur’an juga mengatur bagaimana jika ada masalah yang tidak selesai dalam rumah tangga, Islam memang mengizinkan perceraian, tetapi Allah membencu perceraian itu dan tidak ada lagi jalan keluarnya dalam surat Al-Baqarah ayat 227, maka adanya 3 alasan putusnya perkawinan menurut syariah yaitu :

1. Nusyuz Istri

(10)

Nusyuz artinya adalah perbuatan isteri untuk tidak melakukan kewajiban atau tidak taat pada suaminya. Maksudnya seorang istri melakukan perbuatan menentang suami tanpa alasan dapat di terima oleh syarak. Ia tidak menaati suaminya atau menolak diajak ke tempat tidurnya.

Adapun beberapa perbuatan yang di lakukan istri, yang termasuk nusyuz antara lain sebagai berikut:

a. Istri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah yang telah di sediakan sesuai dengan kemampuan suami atau istri meninggalkan rumah tanpa izin suami;

b. Apabila keduanya tinggal di rumah istri atas seizin istri, kemudian pada suatu ketika istri melarangnya untuk masuk le rumah itu dan bukan karena hendak pindah rumah yang disediakan oleh suami;

c. Istri menolak ajakan suaminya untuk menetap di rumah yang disediakannya tanpa alasan yang pantas;

d. Apabila istri bepergian tanpa suami atau mahramnya walaupun perjalanan itu wajib, seperti haji karena perjalanan perempuan tidak dengan suami atau mahramnya termasuk maksiat.

2. Nusyuz Suami

Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah SWT karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban bersifat materi atau nafkah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat non materi di antaranya mu’asyarah bi al-ma’ruf atau menggauli istrinya dengan baik.

3. Syiqaq

Syiqaq berarti perselisihan atau retak. Menurut istilah fikih, syiqaq berarti perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakim yaitu seorang hakim dari pihak suami dan seorang hakim dari pihak istri.

Pengaturan mengenai putusnya perkawinan tecantum dalam Pasal 113 KHI, perkawinan dapat putus karena 3 hal yaitu:

1. Kematian

(11)

2. Perceraian

3. Putusan pengadilan

Dan yang mengatur persyaratan perceraian tercantum dalam Pasal 116 KHI, perceraian dapat terjadi karena alasan:

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, pencuri, pembunuh dan sebagainya yang sukar disembuhkan;

b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahyakan pihak yang lain;

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan /penyakit dengann akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

g) Suami melanggar taklik talak;

h) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Sebab Putusnya Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Talak ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang salah satu sebab putusnya perkawinan.

Macam-macam talak:

1. Talak Raj’i adalah talak kesatu atau kedua dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah;

2. Talak Ba’in shughraa adalah talak yang tidak boleh di rujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah;

3. Talak Ba’in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat di rujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan abis masa iddahnya;

(12)

4. Talak Sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang di jatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak di campuri dalam waktu suci tersebut;

5. Talak Bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang di jatuhkan pada istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut;

6. Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.

Akibat Putusnya Perkawinan a. Syariah

Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah :

1) Hubungan antar keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul. Perkawinan adalah akad yang membolehkan seorang laki-laki bergaul dengan seorang perempuan sebagai suami-istri. Putusnya perkawinan mengembalikan status halal yang di dapatnya dalam perkawinan, sehingga dia kembali kepada status semula, yaitu haram. Bila terjadi hubungan kelamin dalam masa iddah tersebut atau sesudahnya, maka perbuatan tersebut menurut zumhur ulama termasuk zina.

2) Keharusan memberi mut’ah yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikan sebagai suatu kompensasi. Hal ini berbeda dengan mut’ah sebagai pengganti mahar bila istri di cerai sebelum digauli dan sebelum jumlah mahar tidak di tentukan, tidak wajib suami memberi mahar, namun diimbangi dengan suatu pemberian yang bernama mut’ah.

3) Melunasi hutang yang wajib dibayar dan belum dibayarnya selama masa perkawinan, baik dalam bentuk mahar atau nafkah, yang

(13)

menurut sebagian ulama wajib dilakukannya bila pada waktunya dia tidak dapat membayarnya. Begitu pula mahar yang belum dibayar atau dilunasinya, harus dilunasinya setelah bercerai.

4) Berlaku atas istri yang dicerai ketentuan iddah.

5) Pemeliharaan terhadap anak atau hadhanah.

Kompilasi Hukum Islam lebih rinci membahas mengenai akibat putusnya perkawinan, baik karena talak, perceraian, khuluk dan li’an. Kompilasi Hukum Islam mengatur akibat putusnya perkawinan mulai Pasal 149 hingga Pasal 162.

Pasal 149 menyebutkan bahwa, bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

1) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.

2) Memberi nafkah, masukan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dalam keadaan tidak hamil.

3) Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan setengahnya apabila qobla al dukhul.

4) Memberikan biaya hadhanah untuk anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Selain itu bekas suami berhak melakukan rujuk kepada bekas istrinya yang masih dalam masa iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali bila ia nusyuz.

Menurut Pasal 156, akibat putusnya perkawinan ialah:

1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

a) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu;

b) Ayah;

c) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah;

d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

(14)

e) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;

f) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;

2) Anak yang sudah mummayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah ataupun ibunya.

3) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan angka 1, 2, 3, dan 4.

6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak- anak yang turut padanya.

Mengenai harta bersama, terhadap putusnya perkawinan ini bagi menurut ketentuan Pasal 96 dan 97 KHI. Dimana Pasal 96 dan Pasal 97 menyebutkan:

1) Apabila terdapat cerai mati maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

3) Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Ketentuan lainnya yang mengatur mengenai akibat putusnya perkawinan ini adalah masalah khulu dan li’an. Perceraian dengan jalan khulu mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk kembali. Bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

Jika menganalisis mengenai Putusan Pengadilan Agama Nomor:324/PDT.G/2017/PA.Tng tentang Perceraian yang terjadi antara Hidayat Akbar dan Nur Naila, Nur Naila mengajukan Permohonan Cerai Gugat ke Pengadilan Agama dan hasil putusan Pengadilan Agama, menyebutkan karena karena adanya perselisihan yang hebat dan melakukan

(15)

KDRT kepada Penggugat dan yang di hadirkan 2 orang saksi Penggugat tidak melihat atau mendengar adanya keributan atau KDRT dalam rumah tangga Nur Naila dan Hidayat Akbar maka juga tidak sesuai dengan syarat materil saksi yang menyebutkan menerangkan apa yang dilihat, ia dengar dan ia alami sendiri (Pasal 171 HIR / 308 R.Bg) dan yang benar dalam kasus tersebut komunikasi antara Penggugat dan Tergugat agak berkurang karena Tergugat sibuk bekerja sebagai driver taxi online hingga larut malem.

Dalam kasus diatas dilihat putusan Hakim tidak sesuai dengan alasan- alasan perceraian sesuai Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 116 huruf (d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahyakan pihak yang lain, huruf (f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

B. Akibat Keputusan Pengadilan Agama Tangerang

Sebagai akhir dari proses pengadilan adalah putusan hakim. Putusan tersebut merupakan kesimpulan akhir dan ketetapan majelis Hakim yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berperkara untuk menjalankan putusan tersebut. Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor:324/PDT.G/2017/PA.Tng dalam amar putusannya mengadili dan mengabulkan gugatan penggugat yang pada intinya berisikan:

1. Menjatuhkan talak satu ba’in shughra tergugat terhadap penggugat.

2. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Tangerang untuk mengirim salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatatan Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan, Kantor Urusan Agama Kecamatan, untuk dicatatkan perceraiannya dalam daftar yang disediakan untuk itu;

3. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sejumlah Rp 436.000,00 (empat ratus tiga puluh enam ribu rupiah).

(16)

Berdasarkan kasus diatas seharusnya gugatan penggugat tidak diterima karena dalam pokok gugatannya yang menyebutkan tidak sesuai dengan alasan-alasan perceraian sesuai Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 116 huruf (d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahyakan pihak yang lain, huruf (f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

D. PENUTUP 1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan analisis yang diuraikan di dalam bab-bab yang sebelumnya dan dengan memperhatikan pokok permasalahan yang ada, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

A. Isi Amar Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor: bagian 1 dan 2 mengenai perceraian antar Nur Naila dan Hidayat Akbar yang jika dikatikan dengan Kompilasi Hukum Islam adalah tidak sesuai. Karena alasan-alasan perceraian dalam gugatan oleh Nur Naila tidak sesuai atau bertentangan dengan Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam

B. Sesuai dengan Putusan Pengadilan Agama Tangerang diatas, maka akibat hukumnya terhadapat status perkawinan antara Nur Naila dan Hidayat Akbar adalah putus dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang.

2. Saran

Berdasarkan analisis Putusan Pengadilan Agama Tangerang dimana dalam kasus tersebut mengenai permasalahan nafkah dan permasalahan yaitu tidak terjalinnya komunikasi yang baik karena Hidayat Akbar pulang terlarut malam yang sibuk bekerja sebagai driver online bertentangan dengan alasan-alasan perceraian dalam Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam. Saran yang diberikan penulis yaitu:

(17)

1. Agar Hakim memeriksa dengan benar dan tidak cepat untuk menyimpulkan permasalahan putusan.

2. Diharapkan Hakim mendengar para saksi-saksi yang di hadirkan dan juga Hakim melihat syarat-syarat sebagai saksi yang di dengarkan kesaksiannya.

3. Diharapkan agar hak-hak para tergugat tidak dirugikan terhadap putusan.

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta:Sinar Gratika, Cetakan I, 1994.

Djamil Latif, Aneka hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.

H. Somad Z. dkk, Membangun Etika Islam Dalam Kehidupan, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010.

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: CV. Mandar Maju, Cetakan III, 2007.

HMA Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Idris M. Ramulyo, Himpunan Kuliah Hukum Islam II oleh Satuji Thalib, Jakarta:

Bursa Buku FH-UI, 1985.

Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian dalam Islam, Padang: IAIN IB Press, 1999.

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Legal Center Publishing, Cetakan Ketiga (Revisi), 2011.

Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2005.

(18)

Retnowulan Sutanto, Wanita dan Hukum, Himpunan Karangan Hukum Yang Penting Bagi Kaum Wanita, (Bandung: Alumni, 1979.

Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Jakarta: Bina Aksara, Cetakan I, 1988.

Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta : FH-Trisakti, 1990.

Shajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 2009.

Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 2014.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan Cetakan Kedua, Yogyakarta Liberty, 1986.

SP.Wasis,Pengantar Ilmu Hukum, Malang: UMM Press, Cetakan I, 2002.

Syaikh Hasan Ayyub, Panduan Keluarga Muslim, Terjemah Oleh Misbah Dari Judul Asli: Fiqih Al Usrah Al Muslimah, Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2001.

_______, Fikih Keluarga Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2009.

Wahyana Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga Di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas, 2004.

Wahyuni Retnowulandari, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2013.

Wienarsieh Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Perdata Barat, Jakarta: Gitama Jaya, 2005.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kompilasi Hukum Islam.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Referensi

Dokumen terkait

Putusan Pengadilan Agama Bukit Tinggi Nomor 618/Pdt.G/2012/PA.Bkt yang menetapkan dalam amar putusannya bahwa harta bersama dalam perkawinan dibagi menjadi 1/3

Sewaktu berbicara tentang larangan perkawinan, pasal 8 huruf “f” UU no mor 1 tahun 1974 yang menyatakan “yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur secara tegas tentang akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan, baik hak dan

pernikahan berlangsung apabila ada syarat yang tidak terpenuhi dapat diselesaikan dengan cara yang benar untuk menghindari adanya Pembatalan perkawinan yang dapat

18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur secara tegas tentang akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan, baik hak dan

Status hukum perkawinan 1 Menurut fiqh Dalam pandangan fikih Islam apabila suami atau istri murtad dari Islam, maka keduanya harus dipisahkan dengan cara difasakh akibat hal-hal yang

Menurut Sirman Dahwal, perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pria dan wanita pada suatu saat tertentu dengan terikat oleh hubungan pihak-pihak dalam suatu gejala

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” sehingga bunyi pasal