• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori.

1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian dan Alat Bukti.

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian, ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-

didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman.

Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184,

kepadanya akan mendapat hukuman (M.Yahya Harahap,2012:273).

a. Pengertian Pembuktian

1) Menurut Bambang Poernomo

merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam (Bambang Poernomo,1985:38)

2) M. Yahya Harahap menyatakan bahwa:

-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan

mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M.Yahya Harahap, 2012:273).

(2)

b. Sistem Pembuktian

1) Beberapa Teori Sistem Pembuktian

Sebelum meninjau sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP, ada baiknya ditinjau dari beberapa ajaran yang berhubungan dengan sistem pembuktian. Gunanya sebagai perbandingan dalam memahami sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP :

a) Conviction-in Time (Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata)

Pada conviction in Time pembuktiannya semata-mata didasarkan pada keyakinan hakim saja. Lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan.

Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim. Artinya, jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim pada teori ini adalah menentukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut. (Rusli Muhammad, 2007:187).

b) Conviction-Raisonee (Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis)

Sistem pembuktian Conviction In Raisonee masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat.

Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan. Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa

(3)

menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang- undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian conviction in raisonee harus dilandasi oleh

"reasoning" atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus

" yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan (Munir Fuady, 2006: 56).

c) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

Teori ini adalah teori pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif. Pembuktian menurut teori ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan oleh undang- undang. Untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti yang tersebut di dalam undang-undang. Jika alat-alat bukti tersebut telah terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusan tanpa harus timbul keyakinan telebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada (Rusli Muhammad, 2007:188).

d) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan

(4)

hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.(M.Yahya Harahap, 2012:278-279).

e) Sistem Pembuktian Yang Dianut KUHAP Dalam Pasal 183

tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

tersebut pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang tepat dalam penegakan hukum Indonesia ialah sistem pembuktian menurut undang- undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kepastian, dan kebenaran. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. (M.Yahya Harahap, 2012:280).

c. Prinsip Pembuktian

Prinsip-prinsip pembuktian antara lain:

1) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang -hal yang secara umum sudah diketahui tidak

perlu di notoire feiten.

Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

a) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. Dan yang dimaksud

(5)

dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia.

b) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 20).

2) Menjadi saksi adalah kewajiban .

Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan:

pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku .

3) Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis).

Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap

perb Persyaratan yang

dikehendaki oleh Pasal 185 ayat (2) adalah: untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung

dari seorang saja maka ke

(M.

Yahya Harahap, 2012:288).

4) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa.

Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip yang tidak dikenal oleh hukum acara

(6)

pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi:

cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus

5) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri.

Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:

terhadap dirinya sendir Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri.

d. Jenis Alat Bukti

Sebagaimana yang diuraikan terlebih dahulu, Pasal 184 ayat (1) KUHA

menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1).

Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja.

Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat (M.Yahya Harahap,2012: 285).

Alat-alat bukti yang sah, yang dapat digunakan dalam sidang pengadilan adalah alat-alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat ( 1 ) KUHAP, meliputi :

(7)

1) Keterangan saksi

Yang dimaksud keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami

Macam saksi menurut Darwan Prinst dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :

a) Saksi A Charge (Memberatkan Terdakwa), adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa.

b) Saksi A De Charge (Menguntungkan Terdakwa), adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya meringankan terdakwa.

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Keterangan saksi sebagai alat bukti tercantum dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yaitu :

2) Keterangan Ahli

Keterangan ahli menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Sedangkan pengertian keterangan ahli yang termuat dalam Pasal 186 KUHAP, adalah apa yang seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan.

Keterangan ahli ini dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan

(8)

mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang, saksi ahli diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.

Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim ( Djoko Prakoso, 1988 : 78).

Kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah mempunyai nilai pembuktian bebas, di dalamnya tidak melekat nilai pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilai dan tidak ada keharusan bagi hakim untuk harus menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud . Selain itu agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa, harus tetap disertai dengan alat bukti lain.

3) Surat

Pengertian alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah : a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat

oleh pejabat umum yang berwenang atau dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang kejadian itu.

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang- undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

(9)

c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.

d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Berdasarkan ketentuan tersebut, surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah :

i. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan.

ii. Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.

4) Petunjuk

Di dalam KUHAP, alat bukti petunjuk ini dapat kita lihat di dalam Pasal 188,yang berbunyi sebagai berikut :

a) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya;

b) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

c) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Kekuatan pembuktian petunjuk serupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang sah lainnya yaitu kekuatan

pembuktian pertama, Hakim tidak

terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian, alasan Kedua

(10)

petunjuk sebagai alat bukti, tidak dapat berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu agar petunjuk mempunyai nilai pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.

(M. Yahya Harahap,2012:317).

5) Keterangan Terdakwa

Mengenai keterangan terdakwa ini dalam KUHAP diatur dalam Pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut :

a) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

b) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

c) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

e. Keterangan saksi sebagai Alat bukti

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian (the degree of evidence) alat bukti keterangan saksi ini sah apabila memenuhi dua kategori syarat, yaitu:

1) Syarat Formil;

a) Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji Pasal 160 Ayat (3) KUHAP menyebutkan:

sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing,

(11)

bahwa ia akan memberi keterangan yang sebenarnya dan

Sumpah atau janji ini wajib diucapkan sebelum memberi keterangan, tetapi dalam hal dianggap perlu sumpah atau janj dapat diucapkan setelah pemberian keterangan. Hal ini diatur dalam Pasal 160 Ayat (4) KUHAP.

b) Saksi harus sudah dewasa

Hal ini terkait dengan Pasal 171 KUHAP yang menyatakan bahwa anak dibawah umur 15 tahun atau belum menikah, boleh saja memberikan kesaksian namun tidak boleh disumpah. Padahal Pasal 160 Ayat (3) KUHAP mewajibkan adanya sumpah atau janji.

Keterangan saksi dari seseorang yang tidak disumpah ini tidak punya kekuatan sebagai alat bukti sah. Maka batas kedewasaan menurut KUHP untuk memberikan kesaksian adalah berumur 15 tahun atau sudah menikah.

c) Saksi tidak sakit ingatan atau sakit jiwa.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 171 butir b KUHAP, mengingat mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana meski kadang- kadang ingatannya baik kembali. Jadi tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberi keterangan. Keterangan mereka hanya dapat dipakai sebagai petunjuk saja, sebagaimana juga berlaku bagi orang yang belum dewasa (Penjelasan Pasal 171 KUHAP).

2) Syarat Materiil

Syarat materiil mengacu pada Pasal 1 butir 27 KUHAP dan Pasal 185 Ayat (1) KUHAP berikut dengan penjelasannya. Dapat diambil kesimpulan:

a) Setiap keterangan saksi diluar apa apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi

(12)

atau diluar yang dilihat atau dialaminya, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman yang terjadi, tidak dapat dinilai dan dijadikan sebagai alat bukti.

b) Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.

c) Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh hasil dari pemikiran bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 Ayat (5) KUHAP).

2. Tinjauan Umum tentang Putusan a. Pengertian Putusan Hakim

Pengertian umum mengenai putusan pengadilan terdapat pada Pasal 1 angka 11 KUHAP yaitu pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

g merupakan terjemahan dari vonis yang juga berarti hasil akhir dari pemeriksaan perkara persidangan. Putusan hakim merupakan hasil akhir dari pemeriksaan perkara disidang pengadilan yang diberikan oleh hakim (Leden Marpaung, 1992:406).

Dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP diatur bahwa putusan sedapat mungkin merupakan hasil musyawarah majelis dengan permufakatan yang bulat, kecuali hal itu telah diusahakan sungguh- sungguh tidak tercapai, maka ditempuh dengan dua cara :

1) Putusan diambil dengan suara terbanyak.

2) Jika yang tersebut pada huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih ialah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

(13)

b. Jenis Putusan Hakim

Putusan yang berkenaan dengan terdakwa sendiri antara lain : 1) Putusan bebas (Vrijspraak). Putusan bebas terdapat dalam Pasal

191 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan:

Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang dilakukan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka

.

menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti yang sah menurut ketentuan pada hukum acara pidana ini.

2) Putusan lepas (Onslag van alle Rechtvervolging.)

Terdapat dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan:

Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus dari segala tuntutan hukum

Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan karena:

a) Hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidananya.

b) Terdapat keadaan keadaan istimewa yang menyebutkan yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum, diantaranya yaitu:

(1) Pasal 44 KUHP, yaitu tentang orang yang sakit jiwa atau cacat jiwanya dan cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling).

(2) Pasal 48 KUHP, yaitu tentang keadaan yang memaksa (overmacht).

(3) Pasal 49 KUHP, yaitu tentang pembelaan terpaksa (noodweer).

(14)

(4) Pasal 50 KUHP, yaitu melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan Undang-Undang.

(5) Pasal 51 KUHP, yaitu melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang sah. Menurut Soedirjo pada Pasal-Pasal tersebut dikatakan sebagai Pasal yang bersifat umum.

Disamping itu dikatakan pula terdapat yang menghapus pidana secara khusus dalam Pasal tertentu dalam Undang- Undang, antara lain yaitu, Pasal 166 dan 310 ayat (3) KUHP. (Rusli Muhammad, 2007:203).

3) Putusan Pemidanaan (Veroordeling)

Terdapat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan:

Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka

B. Definisi Putusan Bebas

Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang ri hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan

.

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP

didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan

hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

C. Bentuk-Bentuk Putusan Bebas

Beberapa bentuk putusan bebas (vrijspraak) adalah sebagai berikut:

a) Pembebasan murni atau artinya

bahwa sama sekali tidak terbukti tindak pidananya.

(15)

b) Pembebasan tidak murni atau

dalam hal (batalnya

dakwaan secara terselubung) atau pembebasan yang menurut kenyataanya tidak didasarkan pada ketidakterbuktian dalam surat dakwaan. (Lilik Mulyadi, 2007:158-159).

Putusan bebas tidak murni mempunyai kualifikasi, sebagai berikut :

(a) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.

(b) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas kewenangannya baik absolut maupun relatif dan sebagainya

c) Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan atau

bahwa berdasarkan pertimbangan haruslah diakhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya.

d) Pembebasan yang terselubung atau

dimana hakim telah mengambil putusan tentang dan

menurut putusan tersebut be

3. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum :

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 12 KUHAP).

(16)

1) Jenis Upaya Hukum a) Upaya Hukum Biasa

Upaya hukum biasa terdiri dari dua bagian, bagian kesatu tentang pemeriksaan banding dan bagian kedua tentang pemeriksaan kasasi.

(1)Pemeriksaan Tingkat Banding

Kalau Pasal 233 ayat (1) KUHAP ditelaah dan dihubungkan dengan Pasal 67 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum dengan beberapa kekecualian. Kekecualian untuk mengajukan banding menurut Pasal 67 KUHAP tersebut ialah :

i. Putusan bebas (Vrijspraak).

ii. Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum.

iii. Putusan pengadilan dalam acara cepat.

Tujuan banding itu ada dua : (1) Menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya (2) Untuk pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu. Oleh sebab itu banding sering disebut juga revisi. Pemeriksaan banding sebenarnya merupakan suatu penilaian baru (judicium novum). Jadi, dapat diajukan saksi-saksi baru, ahli-ahli dan surat-surat baru. Yang berhak mengajukan banding ialah terdakwa atau yang dikuasakan khusus untuk itu atau penuntut umum. Waktu untuk mengajukan banding ialah tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 233 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP). Jika waktu tujuh

(17)

hari telah lewat tanpa diajukan banding oleh yang bersangkutan dianggap telah menerima putusan (Pasal 234 ayat (1) KUHAP). Dalam hal ini panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara (Pasal 234 ayat (2) KUHAP).

Berhubung dengan tidak diperkenankannya banding terhadap putusan bebas (vrijspraak) itu, perlu diperhatikan dan lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (bedekte ontslag van rechtsvervolging). Istilah-istilah tersebut sangat penting karena telah berkembang suatu yurisprudensi yang mengatakan bahwa bebas dari dakwaan (vrijspraak) berarti yang bebas murni (zuivere vrijspraak) tidak dapat dibanding. Sedangkan yang bebas tidak murni (niet-zuivere vrijspraak) dapat dibanding.

(2) Kasasi

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti kasasi sebagai berikut:

sah oleh Mahkamah Agung terhadap putusan Hakim karena putusan itu menyalahi atau tidak sesuai benar dengan undang-undang, hak kasasi hanyalah hak Mahkamah Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan Undang- undang atau keliru dalam menerapkan hukum (Andi Hamzah, 2011:298). Kemudian dalam perundang-undangan Belanda tiga alasan untuk melakukan kasasi yaitu:

i. Apabila terdapat kelalaian dalam acara (vormverzuim) ii. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada

kesalahan pada pelaksanaannya.

(18)

iii. Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan Undang-undang.

Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan:

i. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;

ii. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang;

iii. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya (Pasal 253 ayat (1) KUHAP).

Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh Mahkamah Agung, Menurut KUHAP, suatu permohonan ditolak jika :

i. Putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas (Pasal 244 KUHAP).

ii. Melewati tenggang waktu penyampaian permohonan kasasi kepada panitera pengadilan yang memeriksa perkaranya, yaitu empat belas hari sesudah putusan disampaikan kepada terdakwa (Pasal 245 KUHAP).

iii. Sudah ada keputusan kasasi sebelumnya mengenai perkara tersebut. Kasasi hanya dilakukan sekali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP).

iv. Permohonan tidak mengajukan memori kasasi ( Pasal 248 ayat (1) KUHAP, atau tidak memberitahukan alasan kasasi kepada panitera, jika pemohon tidak memahami hukum ( Pasal 248 ayat (2) KUHAP), atau pemohon terlambat mengajukan memori kasasi, yaitu empat belas hari sesudah mengajukan permohonan kasasi ( Pasal 248 ayat (1) dan (4) KUHAP).

(19)

v. Tidak ada alasan kasasi atau tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP tentang alasan kasasi.

Selain syarat-syarat yang ditentukan oleh KUHAP tersebut, juga perlu ditinjau yurisprudensi Mahkamah Agung yang berkaitan dengan penolakan kasasi seperti:

i. Permohonan diajukan oleh seorang kuasa tanpa kuasa khusus (Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September 1958 Nomor. 117 K/ Kr/1958).

ii. Permohonan kasasi diajukan sebelum ada putusan akhir Pengadilan Tinggi (Putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1958 Nomor. 66 K/Kr/1958).

iii. Permohonan kasasi terhadap putusan sela (Putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Februari 1958 Nomor.

320 K/Kr/1957).

iv. Permohonan kasasi dicap jempol tanpa pengesahan oleh pejabat berwenang (Putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Desember 1961 Nomor. 137 K/Kr/1961).

b) Upaya Hukum Luar Biasa

(1) Kasasi demi Kepentingan Hukum.

Terhadap semua putusan kecuali putusan Mahkamah Agung, dapat diajukan kasasi demi kepentingan hukum, dengan syarat putusan pengadilan itu telah berkekuatan hukum tetap, dan hanya terbatas pada Pengadilan Negeri atau putusan Pengadilan Tinggi. Sedang terhadap putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, ya hukum kasasi demi kepentingan hukum, hanya dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedang pada upaya hukum peninjauan kembali, tidak hanya terbatas

(20)

terhadap putusan Pengadilan Negeri dan atau Pengadilan Tinggi, tapi juga terhadap putusan Mahkamah Agung (M.

Yahya Harahap,2012:608).

Pejabat yang berhak mengajukan kasasi demi kepentingan hukum diatur dalam Pasal 259 ayat (1) adalah Jaksa Agung karena jabatannya. Jaksa Agung berdasar laporan yang diberikan pejabat kejaksaan setempat bahwa menurut pendapatnya ada putusan yang perlu dikasasi demi kepentingan hukum. Jika pendapat pejabat kejaksaan setempat disetujui, Jaksa Agung memberi kuasa kepada kejaksaan setempat untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum atas nama Jaksa Agung (M. Yahya Harahap,2012:609-610).

Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan ( Pasal 259 ayat (2) KUHAP ). Menurut Pasal 259 ayat (1) KUHAP, Jaksa Agung dapat mengajukan satu kali permohonan kasasi terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, demi kepentingan hukum. Sebagai upaya hukum luar biasa, kasasi demi kepentingan hukum itu maksudnya ialah untuk mencapai kesatuan penafsiran hukum oleh pengadilan.

Kasasi demi kepentingan hukum diajukan jika sudah tidak ada upaya hukum biasa yang dapat dipakai.

Permohonan kasasi diajukan oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera yang telah memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama, disertai risalah yang menjadi alasan, kemudian panitera meneruskan kepada yang berkepentingan (Pasal 260 KUHAP). Salinan keputusan Mahkamah Agung disampaikan kepada Jaksa

(21)

Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan, disertai berkas perkara (Pasal 261 KUHAP). Ketentuan tentang kasasi demi kepentingan hukum bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum berlaku juga bagi peradilan militer (Pasal 262 KUHAP). Jadi, pada umumnya sama saja dengan kasasi biasa, kecuali dalam kasasi demi kepentingan hukum ini penasihat hukum tidak lagi dilibatkan. Jika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi demi kepentingan hukum maka Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang lebih rendah, dan dengan demikian terjawablah keragu-raguan atau hal yang dipermasalahkan itu.

(2) Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap.

Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging), terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Menegaskan kembali bahwa orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali dalam Pasal 263 ayat (1) yakni terpidana atau ahli warisnya, sehingga jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan paninjauan kembali. Undang-undang tidak memberi hak kepada penuntut umum karena upaya hukum ini bertujuan untuk melindungi kepentingan terpidana. Sisi lain upaya hukum luar biasa ini yakni pada upaya kasasi demi

(22)

kepentingan hukum, undang-undang telah membuka kesempatan kepada jaksa agung untuk membela kepentingan umum. Seandainya penuntut umum berpendapat suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan tujuan penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan, undang-undang telah membuka upaya hukum bagi jaksa agung untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum (Pasal 259 ayat (1) KUHAP). Oleh karena itu, hak mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan hak mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan undang- undang kepada penuntut umum melalui jaksa agung.

Dengan demikian, melalui upaya hukum luar biasa sisi kepentingan terpidana dan kepentingan umum telah terpenuhi secara berimbang (M. Yahya Harahap, 2012:616).

Pasal 263 ayat (2) memuat alasan yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali yang

a. Apabila terdapat keadaaan baru atau novum.

b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan.

c. Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan

Pasal 263 ayat (2) KUHAP, permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar :

(23)

i. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

ii. Apabila dalam putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

iii. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Kemudian, ayat (3) Pasal 273 KUHP tersebut mengatakan bahwa atas dasar alasan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Pasal 266 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut :

i. Apabila mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya.

(24)

ii. Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa :

(a) Putusan bebas

(b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum

(c) Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum

(d) Putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

4. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Pengguguran Kandungan a. Pengertian Tindak Pidana Pengguguran Kandungan

Pengguguran kandungan adalah terjemahan dari kata abortus provocatus dalam bahsa latin yang dalam kamus kedokteran diterjemahkan dengan membuat keguguran. ( Leden Marpaung, 2000:46). Abortus (latin) atau abortion (Inggris), berarti keluarnya janin dari dalam kandungan sebelum waktu yang seharusnya. Abortus dapat terjadi secara spontan, yang dalam bahasa Indonesia sering disebut keguguran, tetapi juga dapat terjadi karena tindakan-tindakan tertentu yang disengaja.

Secara medis aborsi adalah berakhirnya/gugurnya kehamilan sebelum kehamilan mencapai usia 20 minggu, yaitu sebelum janin dapat hidup di luar kandungan secara mandiri (Suryono Ekotomo dkk, 2001:31 ).

Istilah abortus provocatus atau aborsi tidak dikenal dalam KUHP. KUHP menggunakan istilah menggugurkan atau mematikan kandungan. Dari pengertian-pengertian dalam Bab II dapat dikatakan bahwa abortus provocatus merupakan perbuatan menghilangkan nyawa, maka perbuatan tersebut termasuk dalam kejahatan terhadap nyawa, yang obyeknya adalah kandungan. Istilah kandungan

(25)

menunjuk pada pengertian kandungan yang sudah berwujud maupun belum.

Di Indonesia, sejak diberlakukannya KUHP yang diadopsi dari KUHP Belanda 1881 berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946, ketentuan hukum tentang aborsi menganut model larangan (model of prohibition) karena aborsi dilarang tanpa pengecualian sebagaimana diatur di dalam Pasal 346 s.d. 349 KUHP yang merupakan turunan dari Pasal 295 s.d. 298 KUHP Belanda 1881. Kemudian model larangan yang dianut di dalam KUHP ini disempurnakan dengan adanya pengecualian setelah dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (UUK) dirubah menjadi UU No.36 Tahun 2009, meskipun hanya terbatas pada alasan medis untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat. Oleh karena itu hukum pidana yang berkaitan dengan aborsi atau ius constitutum tentang aborsi di Indonesia tergolong hukum yang paling konservatif dan keras terhadap aborsi karena melarang aborsi kecuali untuk menyelamatkan jiwa ibu. (Paulinus Soge,2009:13).

b. Jenis Pengguguran Kandungan

Proses pengguguran kandungan atau aborsi dapat berlangsung dengan cara spontan/alamiah,buatan/sengaja,dan terapeutik/medis.

Abortus secara medis dapat dibagi menjadi dua macam:

1) Abortus spontaneous, adalah aborsi yang terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis ataupun medicinalis semata-mata disebabkan oleh faktor alamiah. Macam-macam aborsi spontan adalah : 1. Abortus completes, (keguguran lengkap) artinya seluruh hasil konsepsi dikeluarkan sehingga rongga rahim kosong. 2.

Abortus inkopletus, (keguguran bersisa) artinya hanya ada

sebagian dari hasil konsepsi yang dikeluarkan yang tertinggal adalah deci dua dan plasenta. 3. Abortus iminen, yaitu keguguran yang membakat dan akan terjadi dalam hal ini keluarnya fetus

(26)

masih dapat dicegah dengan memberikan obat-obat hormonal dan anti pasmodica. 4. Missed abortion, keadan di mana janin sudah mati tetapi tetap berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama dua bulan atau lebih. 5. Abortus habitulis atau keguguran berulang adalah keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut- turut 3 kali atau lebih. 6. Abortus infeksious dan abortus septic, adalah abortus yang disertai infeksi genital.

2) Abortus provokatus, adalah aborsi yang disengaja baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat. Aborsi yang dilakukan secara sengaja (abortus provocatus) ini terbagi menjadi dua: a.

Abortus provocatus medicinalis, adalah aborsi yang dilakukan

oleh dokter atas dasar indikasi medis, yaitu apabila tindakan aborsi tidak diambil akan membahayakan jiwa ibu. b. Abortus provocatus criminalis, adalah aborsi yang terjadi oleh karena

tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis, sebagai contoh aborsi yang dilakukan dalam rangka melenyapkan janin sebagai akibat hubungan seksual di luar perkawinan. secara yuridis abortus provokatus kriminalis adalah setiap penghentian kehamilan sebelum hasil konsepsi dilahirkan, tanpa memperhitungkan umur bayi dalam kandungan dan janin dilahirkan dalam keadaan mati atau hidup. (Subaidah Ratna Juita,2010:18-23)

c. Pengaturan Pengguguran Kandungan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ketentuan hukum pidana yang mengatur masalah pengguguran kandungan yakni abortus provocatus berdasarkan sistematika KUHP diklasifikasikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 299 dan diklasifikasikan sebagai kejahatan

(27)

terhadap nyawa sebagaimana yang diatur dalam Bab XIX, Pasal 346 s/d Pasal 349.

Dalam KUHP Bab XIX Pasal 346 s/d 350 dinyatakan sebagai berikut : Pasal 346 KUHP ta yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat

Pasal 347 ayat (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal 347 ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348 ayat (1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

Pasal 348 ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Dari ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 346, 347, dan Pasal 348 KUHP kiranya orang dapat mengetahui bahwa kesengajaan menggugurkan kandungan itu merupakan perbuatan yang terlarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Baik di dalam undang-undang maupun di dalam hukum yang tidak tertulis, tidak terdapat suatu ketentuan atau suatu asas hukum umum pun yang mengatakan, bahwa apabila kesengajaan menggugurkan kandungan itu dilakukan oleh seorang ibu yang sudah beranak tiga atau dilakukan oleh seorang dokter, maka perbuatan tersebut menjadi tidak bersifat melawan hukum (P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang,2010:99).

Pasal 349 KUHP

melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan

(28)

sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam

Dari rumusan pasal-pasal tersebut diatas ditarik kesimpulan bahwa:

1) Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan abortus atau ia menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara.

2) Seseorang yang sengaja melakukan abortus terhadap ibu hamil, dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, dan jika ibu hamil tersebut mati, diancam 15 tahun penjara.

3) Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan bila ibu hamilnya mati diancam hukuman 7 tahun penjara.

4) Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan abortus tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktek dapat dicabut.

Sedangkan ketentuan pidana pengguguran kandungan, tercantum dalam Pasal 299 ayat (1) sampai dengan ayat (3) KUHP.

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 299 ayat (1) KUHP itu merupakan tindak pidana formal, hingga tindak pidana tersebut dianggap sebagai telah selesai dilakukan oleh pelaku, jika pelaku telah melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang oleh undang-undang.

Selama perbuatan merawat seorang wanita dengan memberi harapan dapat mendatangkan gangguan pada kehamilan itu masih merupakan perbuatan yang terlarang dan diancam dengan pidana oleh hukum positif, maka perbuatan tersebut tetap merupakan suatu tindak pidana, dan karenanya selama tidak terdapat sesuatu ketentuan undang- undang atau sesuatu asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis yang meniadakan sifatnya yang melanggar hukum dari perbuatan itu, dan akhirnya selama tidak ada sesuatu dasar yang meniadakan pidana

(29)

(strafuitsluitingsgrond) bagi pelakunya, maka pelakunya itu tetap dapat dipidana (P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2010:119).

d. Pengaturan Pengguguran Kandungan dalam Undang-Undang Kesehatan

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan undang-undang kesehatan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, maka permasalahan pengguguran kandungan (aborsi) memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara eksplisit, dalam undang-undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai aborsi, meskipun dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi dan menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat. Meskipun, undang-undang melarang praktik aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu terdapat kebolehan. Ketentuan pengaturan aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dituangkan dalam Pasal 75, 76 , 77, dan Pasal 194. Sedangkan di dalam UU sebelumnya, yaitu Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, ketentuan ini diatur di dalam Pasal 15 Ayat (1) dan Ayat (2).

Pengguguran kandungan yang disengaja dengan melanggar berbagai ketentuan hukum (abortus provocatus criminalis) yang

tentang aborsi yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga bertentangan dengan Pasal 75 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, di mana pada prinsipnya tindakan pengguguran kandungan atau aborsi dilarang (Pasal 75 ayat (1)), namun Larangan tersebut dapat dikecualikan berdasarkan:

1) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan;atau

(30)

2) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Senada dengan Edward Feser dalam jurnalnya yang bejudul -Ownership,Abortion,and The Rights of Children: Toward A

Mor yang menyatakan For starters, it

is not clear how it would justify any abortion that does involve the direct killing of the fetus, and not just its detachment, after which the f abortions are surely of the former type. Further, it is not clear how it would justify any abortion other than in the case of pregnancy resulting from rape (Edward Feser, 2004:11). Diterjemahkan bebas sebagai berikut Pada mulanya, tidak jelas bagaimana hal itu akan membenarkan aborsi yang tidak melibatkan pembunuhan langsung dari janin, dan bukan hanya detasemen nya, setelah itu sebagian besar ibu hanya

"memungkinkannya mati". Selanjutnya, tidak jelas bagaimana hal itu akan membenarkan tindakan aborsi selain dalam kasus kehamilan akibat perkosaan

Menurut Kusumo yang dikutip dalam buku Ekotama, menyatakan disini berlaku asas lex posteriori derogate legi priori.

Asas ini beranggapan bahwa jika diundangkan peraturan baru dengan tidak mencabut peraturan lama yang mengatur materi yang sama dan keduanya saling bertentangan satu sama lain, maka peraturan yang baru ini mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.

Dengan demikian, Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur tentang abortus provocatus medicinalis tetap dapat berlaku di Indonesia meskipun sebenarnya aturan itu bertentangan dengan rumusan abortus provocatus criminalis menurut KUHP. (Subaidah Ratna Juita,2010:45).

(31)

B. Kerangka Pemikiran

Tindak Pidana Pengguguran

Kandungan

Proses persidangan

Pembuktian Dakwaan Penuntut

Umum

Kesaksian Testimonium

de auditu ? Hakim

mengesampingkan Fakta di persidangan

Upaya Hukum Kasasi

Alasan

Pertimbangan MA

Putusan MA Putusan Bebas

(32)

Bagan 1. Kerangka Pemikiran Keterangan :

Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran Penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu alasan Penuntut Umum mengajukan kasasi terhadap putusan bebas yang didasarkan adanya kesaksian testimonium de auditu dan pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus pengajuan kasasi oleh penuntut umum dalam perkara pengguguran kandungan.

Dari alur diatas dapat Penulis jabarkan dari sebuah kasus tindak pidana pengguguran kandungan, ketika dalam proses persidangan untuk pembuktian, hakim mengabaikan dakwaan Penuntut Umum dan mengesampingkan fakta-fakta di persidangan. Dalam pembuktiannya, hakim menganggap saksi yang dihadirkan sebagai testimonium de auditu.

Atas itulah, hakim menjatuhkan putusan bebas kemudian oleh penuntut umum dilakukan upaya hukum kasasi disertai alasan pengajuan kasasi tersebut. Majelis Hakim di Mahkamah Agung mempertimbangkan alasan- alasan kasasi dari pentuntut Umum kemudian memeriksa dan memutus pengajuan kasasi hingga menjatuhkan suatu putusan. Putusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung berupa pembatalan putusan sebelumnya.

Oleh karena itu, Penulis berpendapat bahwa apa sebab kesaksian testimonium de auditu dalam perkara pengguguran kandungan ini hingga dapat membatalkan putusan sebelumnya, yaitu Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, perlu dikaji secara lebih dalam.

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Modul Fotovoltaik Silikon Kristalin yang beredar dan telah memiliki sertifikat IEC 61215 sebelum Peraturan Menteri

Data-data yang diperlukan untuk menyelesaikan studi ini adalah sebagai berikut: Data curah hujan tahun 2002-2011, peta batas DAS dan jaringan sungai, peta jenis tanah, tekstur tanah

Peningkatan aktivitas belajar peserta didik dari cukup aktif (C) pada Siklus I menjadi aktif (B) pada Siklus II berkaitan dengan tindakan dalam pembelajaran,

belum mematuhi standar operasional prosedur (SOP) yang dibuat untuk memperlancar penyelesaian pelayanan. selain itu badan Lingkungan Hidup Kota Semarang belum dalam

Dari tiga sub kelompoknya, semua sub kelompok mengalami inflasi yaitu sub kelompok makanan jadi 0,72 persen, sub kelompok minuman yang tidak beralkohol 0,82 persen dan

Secercah harapan yang mulai tumbuh dalam kehidupan Laura sekali lagi harus pupus ketika Jim O’Connor tidak akan datang lagi atau menelponnya karena dia sudah memiliki

Populasi target penelitian ini adalah pasien rawat inap apendektomi yang memperoleh terapi profilaksis dengan seftriakson atau sefotaksim di kelas III RS PKU Muhammadiyah