JENIS TINDAK TUTUR DAN MAKSUD TUTURAN PENGARANG NOVEL POPULER INDONESIA PERIODE 2001-2010 MELALUI
PARA TOKOHNYA: SUATU KAJIAN PRAGMATIK
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Magister
Oleh:
ERLITA MEGA ANANTA NIM: 161232024
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA Desember 2021
i
JENIS TINDAK TUTUR DAN MAKSUD TUTURAN PENGARANG NOVEL POPULER INDONESIA PERIODE 2001-2010 MELALUI
PARA TOKOHNYA: SUATU KAJIAN PRAGMATIK
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Magister
Oleh:
ERLITA MEGA ANANTA NIM:161232024
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA Desember 2021
ii TESIS
JENIS TINDAK TUTUR DAN MAKSUD TUTURAN PENGARANG NOVEL POPULER INDONESIA PERIODE 2001-2010 MELALUI
PARA TOKOHNYA: SUATU KAJIAN PRAGMATIK
Oleh:
ERLITA MEGA ANANTA NIM: 161232024
telah disetujui oleh:
Pembimbing I
Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. tanggal 6 Desember 2021
Pembimbing II
Dr. Antonius Herujiyanto, M.A., Ph.D. tanggal 6 Desember 2021
iii TESIS
JENIS TINDAK TUTUR DAN MAKSUD TUTURAN PENGARANG NOVEL POPULER INDONESIA PERIODE 2001-2010 MELALUI
PARA TOKOHNYA: SUATU KAJIAN PRAGMATIK
Dipersiapkan dan disusun oleh:
ERLITA MEGA ANANTA NIM: 161232024
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 7 Januari 2022 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Dewan Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ………
Sekretaris : Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum. ………
Anggota : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ………
Anggota : Dr. Antonius Herujiyanto, M.A., Ph.D. ………
Anggota : Dr. B. Widharyanto, M.Pd. ………
Yogyakarta, 27 Januari 2022
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma
Dekan,
Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si.
iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN
Moto
“Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.”
(Amsal 23:18)
Persembahan
Saya persembahkan tesis ini kepada ibundaku tercinta Anna Riana, ayahku Riyanto, dan adikku Arsenius Agung Mahardika yang selalu memberikan semangat serta motivasi sehingga tesis ini dapat selesai, juga berkat doa yang tak pernah putus.
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, dengan mengikuti ketentuan sebagaimana layaknya karya ilmiah. Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarism dalam tesis ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Yogyakarta, 27 Januari 2022 Penulis,
(Erlita Mega Ananta)
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Erlita Mega Ananta
NIM : 161232024
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
JENIS TINDAK TUTUR DAN MAKSUD TUTURAN PENGARANG NOVEL POPULER INDONESIA PERIODE 2001-2010 MELALUI
PARA TOKOHNYA: SUATU KAJIAN PRAGMATIK
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan, dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan memublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 27 Januari 2022 Yang menyatakan,
Erlita Mega Ananta
vii ABSTRAK
Ananta, Erlita Mega. 2021. “Jenis Tindak Tutur dan Maksud Tuturan Pengarang Novel Populer Indonesia Periode 2001-2010 Melalui Para Tokohnya: Suatu Kajian Pragmatik”. Tesis. Yogyakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Program Magister, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan jenis tindak tutur yang digunakan oleh pengarang novel populer Indonesia, (2) mendeskripsikan maksud tuturan yang ingin diungkapkan oleh pengarang novel populer Indonesia.
Penelitian ini menggunakan teori-teori yang relevan guna mendeskripsikan jenis tindak tutur dan maksud tuturan dalam novel populer Indonesia. Teori yang digunakan ialah teori tindak tutur sebagai pendekatan yang didukung dengan teori pragmatik dan sastra populer.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan berupa tuturan para tokoh dalam novel populer periode 2001-2010. Data pada penelitian ini ialah tuturan para tokoh dalam novel yang diduga mengandung tindak tutur. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik baca dan catat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan yang didukung dengan pengklasifikasian data ke dalam tabulasi data.
Teknik analisis data yang dilakukan oleh peneliti mencakup (1) indentifikasi, (2) klasifikasi, (3) interpretasi, (4) pelaporan.
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, berdasarkan temuan setiap tindak tutur dapat diklasifikasikan menurut jenisnya.
Yaitu tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Peneliti menemukan data yang merupakan tindak tutur lokusi dan kesemuanya merupakan kalimat deklaratif.
Sedangkan pada tindak tutur ilokusi terdiri atas lima jenis yaitu, (1) tindak tutur representatif dalam bentuk (a) menyatakan, (b) mempertahankan, (c) menolak, (d) menjelaskan, dan (e) memberitahukan; (2) tindak tutur komisif dalam bentuk (a) berjanji, (b) menjanjikan, (c) menawarkan, dan (d) ancaman; (3) tindak tutur direktif dalam bentuk (a) memerintah, (b) menyuruh, (c) meminta, (d) memohon, (e) perintah, (f) mengajak, (g) merendah, dan (h) khawatir; (4) tindak tutur ekspresif dalam bentuk (a) memuji, (b) terima kasih, dan (c) minta maaf; (5) tindak tutur deklaratif dalam bentuk tidak setuju. Berikutnya, tindak tutur perlokusi peneliti menemukan dua data berupa kalimat imperatif dan deklaratif.
kedua, makna tuturan yang terdapat di dalam novel populer tahun 2000-an merupakan maksud yang ingin diungkapkan oleh penuturnya. Adapun maksud tuturan yang ingin diungkpkan ialah (a) menyangkal, (b) menolak, (c) memuji, (d) meminta maaf, (e) menolak.
Kata kunci: tindak tutur, maksud tuturan, dan novel populer.
viii ABSTRACT
Ananta, Erlita Mega. 2021. “Types of Speech Acts and Speech Intention Seen in the 2001-2010 Indonesian Popular Novel Authors Based on Those of the Characters: A Pragmatic Study”. Thesis. Yogyakarta: Indonesian Language and Literature Education, Master Program, Faculty of Teachers Training and Education, Sanata Dharma University Yogyakarta.
This study aims to (1) describe the types of speech acts used by Indonesian popular novelists, and (2) describe the meaning of the utterances that Indonesian popular novelists want to express. This study uses relevant theories to describe the types of speech acts and speech intentions in Indonesian popular novels. The theories used are the speech act theory, pragmatic theory, and that of popular literature.
This research is a qualitative-descriptive research. The primary data of this study are the speech acts and intentions of the characters found in the related 2001-2010 Indonesian popular novels. They were collected using reading and note-taking techniques. The method used in this study is to classify the data into data tabulations. The data analysis techniques were carried out by means of (1) identifying, (2) classifying, (3) interpreting, and (4) reporting.
The results of this study can be concluded as follows. First, based on the findings, each speech act can be classified according to its type. They are locutionary, illocutionary, and perlocutionary speech acts. The researcher found that the locutionary speech acts are declarative sentences. Meanwhile, illocutionary speech acts consist of five types, namely, (1) representative speech acts in the form of (a) stating, (b) defending, (c) refusing, (d) explaining, and (e) informing; (2) commissive speech acts in the form of (a) promising, (b) promising, (c) offering, and (d) threatening; (3) directive speech acts in the form of (a) commanding, (b) ordering, (c) asking, (d) pleading, (e) commanding, (f) inviting, (g) humbling, and (h) worrying; (4) expressive speech acts in the form of (a) praising, (b) thanking, and (c) apologizing; (5) expressing declarative speech acts in the form of disagreement. Next, the researcher found two data perlocutionary speech acts in the form of imperative and declarative sentences.
second, the meaning of the speech is an intention that is bound to the context of the speech (context dependent). As for each character's speech, it has an intention that can only be known by focusing on who is speaking, to whom the person is speaking, how is the speaker's condition, when, where, and what is the characters’
intentions or purpose. Next, the researcher found two data perlocutionary speech acts in the form of imperative and declarative sentences. second, the meaning of the speech contained in the popular novels of the 2000s is the intention that the speaker wants to express. The purpose of the speech to be expressed is (a) denying, (b) refusing, (c) praising, (d) apologizing, (e) refusing.
Keywords: speech acts, speech intentions, and popular novels.
ix
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan kasihNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Jenis Tindak Tutur dan Maksud Tuturan Pengarang Novel Populer Indonesia Periode 2001-2010 melalui Para Tokohnya: Suatu Kajian Pragmatik.” Penulis meyakini bahwa tesis ini dapat selesai karena campur tanganNya. Penyelesaian tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh penulis untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Program Magister, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa pengerjaan tesis ini mulai dari penentuan topik, seminar proposal, pengumpulan, dan analisis data hingga pelaporan akhir hasil penelitian tidak lepas dari dorongan dan dukungan banyak pihak. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak berikut.
1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., sebagai dekan FKIP, USD, Yogyakarta yang telah mendukung penulis untuk menemukan jati dirinya di prodi PBSI, Program Magister, FKIP, USD.
2. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., sebagai Ketua Program Magister PBSI, FKIP, USD, yang telah mendorong dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini.
3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., sebagai dosen pembimbing I yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga bagi penulis dalam seluruh proses penulisan tesis ini.
4. Dr. Antonius Herujiyanto, M.A., Ph.D., sebagai dosen pembimbing II yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga dalam seluruh proses penulisan tesis ini.
x
5. Semua dosen Prodi PBSI, Program Magister, FKIP, USD, yang telah menuntun, mendampingi, dan membimbing penulis sehingga penulis makin berkembang menjadi pribadi yang dewasa secara akademis.
6. Bapak Nicolaus Widiastoro di Sekretariat Prodi PBSI, Program Magister, yang dengan setia dan sabar melayani penulis dalam pelbagai urusan administrasi.
7. Drs. Paulus Suparno, S.S., M.Hum., sebagai Kepala Perpustakaan USD Yogyakarta dan segenap karyawan perpustakaan yang selama ini dengan ramah dan setia melayani peminjaman buku-buku dan artikel jurnal bagi penulis.
8. Dr. Y. Y. Taum, M.Hum., sebagai triangulator hasil analisis data penelitian ini.
9. Ibunda tercinta Anna Riana, ayah tercinta Riyanto dan adik terkasih Arsenius Agung Mahardika yang dengan tulus mendukung penulis dengan segala fasilitas dan doa yang tak terputus sehingga timbul semangat khusus dalam diri penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini.
10. Septin Lovenia Indrati, S.Pd., sebagai rekan satu angkatan yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis.
11. Teman-teman Prodi PBSI, Program Magister, FKIP, USD, angkatan 2016 s.d 2018 yang telah menjalin kerja sama yang baik dengan penulis.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna, sehingga segala kritik dan saran yang membangun pasti penulis terima dengan lapang dada demi perbaikan dan penyempurnaan kajiannya di masa mendatang. Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
xi DAFTAR ISI
JUDUL………... i
PERSETUJUAN………ii
PENGESAHAN………. iii
MOTO DAN PERSEMBAHAN……… ..iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. ….v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………vi
ABSTRAK………..vii
ABSTRACT………viii
KATA PENGANTAR………ix
DAFTAR ISI………... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……… 1
1.2 Rumusan Masalah………9
1.3 Tujuan Penelitian……….9
1.4 Manfaat Penelitian………..….10
1.5 Batasan Istilah………...11
1.6 Sistematika Penyajian……….…..12
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pragmatik……….14
2.2 Tindak Tutur………21
2.2.1 Tindak Tutur Lokusioner………...22
2.2.2 Tindak Tutur Ilokusioner………...22
2.2.3 Tindak Tutur Perlokusioner………...25
2.3 Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung……...……25
2.4 Konteks…..………...27
2.4.1 Konteks d an Pragmatik...……….30
2.6.2 Konteks Dalam Linguistik…...……….…34
xii
2.5 Ciri-Ciri Konteks………..………..35
2.6 Jenis-Jenis Konteks………..………...…39
2.7 Novel Populer………...……….41
2.8. Sastra………. 42
2.8.1 Pengertian Sastra………...…43
2.8.2 Sejarah Sastra………...……….45
2.8.3 Sejarah Sastra Populer Indonesia………..46
2.8.4 Ciri-ciri Sastra Populer……… .48
2.9 Kerangka Berpikir………49
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian………51
3.2 Sumber Data dan Data Penelitian………51
3.3 Teknik Pengumpulan Data……….….53
3.4 Instrumen Penelitian……….………...55
3.5 Teknik Analisis Data ………..55
3.6 Triangulasi Data………..56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Data……….58
4.2 Hasil Analisis Data………..61
4.2.1 Jenis Tindak Tutur dalam Novel Populer……….….61
4.2.1.1 Tindak Tutur Lokusi………61
4.2.1.2 Tindak Tutur Ilokusi………64
4.2.1.3 Tindak Tutur Perlokusi………75
4.2.2 Maksud Tindak Tutur dalam Novel Populer……….77
4.2.2.1 Tindak Tutur Lokusi……….………...78
4.2.2.2 Tindak Tutur Ilokusi……….………...…82
4.2.2.2.1 Tindak Tutur Representatif……….………..82
4.2.2.2.2 Tindak Tutur Komisif……….…...85
4.2.2.2.3 Tindak Tutur Direktif………...…87
xiii
4.2.2.2.4 Tindak Tutur Ekspresif………..……90
4.2.2.2.5 Tindak Tutur Deklaratif……… ..…..92
4.2.2.3 Tindak Tutur Perlokusi………...…...93
4.3 Pembahasan……….96
4.3.1 Jenis Tindak Tutur dalam Novel Populer………..97
4.3.2 Maksud Tindak Tutur dalam Novel Populer……….99
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan………..103
5.2 Saran………104
DAFTAR PUSTAKA………..106 LAMPIRAN………
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Novel merupakan ungkapan pikiran dari seseorang yang disebut penulis yang biasanya merujuk dari pada realitas kehidupan. Ungkapan-ungkapan tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk kata-kata yang kemudian dirangkai menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga membentuk suatu cerita. Artinya, melalui novel penulis dapat mengungkapkan realitas kehidupan. Realitas kehidupan ini dapat berupa masalah-masalah yang sering muncul di masyarakat, seperti masalah keluarga, kriminal, kesetaraan gender, agama, bahkan masalah politik. Hal tersebut dapat dilihat dari isi novel itu sendiri yang terkadang mengangkat isu-isu mutakhir yang sedang terjadi pada masanya. Ajip Rosidi (dalam Mujiyanto, 2014) sastrawan dan ahli sastra yang berkiprah dalam dunia tulis-menulis dan penerbitan sejak dekade 1950-an hingga sekarang, membagi angkatan-angkatan kesusastraan menjadi dua masa. Pertama, disebut dengan masa kelahiran. Adapun angkatan atau periode kesusastraan yang termasuk dalam masa kelahiran yaitu: Angkatan Balai Pustaka (1920-1933), Angkatan Pujangga Baru (1933-1942), Angkatan Masa Jepang (1942-1945). Kedua, disebut dengan masa perkembangan. Adapun angkatan atau periode kesusastraan yang termasuk dalam masa perkembangan yaitu: Angkatan 45 (1945-1961), Angkatan 50-an (Generasi Kisah) (1953-1961), Angkatan 66 (Generasi Manifes Kebudayaan) (1961-1970), Angkatan 80-an, Generasi Sastra Mutakhir (1990-sekarang).
Sastra populer berkembang sejak tahun 1990-an. Sastra populer adalah karya sastra yang disusun dengan pertimbangan untuk memenuhi selera masyarakat atau pasar. Memasuki era reformasi yang penuh kebebasan ekspresi dan pemikiran juga menjadi salah satu alasan mengapa novel-novel populer lebih multidimensional. Namun, pada dasarnya setiap karya sastra haruslah bersifat dulce yang artinya sastra sanggup memberikan hiburan bagi para pembacanya. Di samping itu, sastra juga harus bersifat utile, yang artinya mampu memberikan pendidikan moral bagi para pembacanya. Biasanya, tema-tema percintaan, asmara, persahabatan, dan keluarga diangkat sebagai tema cerita novel populer.
Selain itu, ciri lain yang membedakan antara novel populer dengan novel serius adalah pemilihan kata. Mujiyanto (2014) menyatakan bahwa kata-kata yang terdapat di dalam novel populer lebih banyak diambil dari bahasa sehari-hari atau sering disebut dengan bahasa “kerakyatjelataan”.
Sementara itu, dalam kegiatan membaca khususnya teks, yang mempunyai sejumlah karakteristik, yaitu (1) secara konkret teks merupakan sebuah objek, tetapi secara abstrak teks merupakan satuan lingual di dalam wilayah bahasa sebagai sistem; (2) teks mempunyai tata organiasasi yang kohesif; (3) teks mengungkapkan makna; (4) teks tercipta pada sebuah konteks; dan (5) teks dapat dimediakan secara tulis atau lisan. Dari beberapa karakteristik di atas, teks menjadi tidak bermakna tanpa konteks. Teks yang dimaksud di sini bukan saja bermakna wacana tulis, namun mencakup satuan lingual yang dimediakan secara tulis atau lisan untuk mengungkapkan makna dalam konteks tertentu.
Teks tidak terlepas dari bahasa. Bahasa adalah alat komunikasi yang terstruktur dalam bentuk satuan-satuan seperti kata, kelompok kata, klausa atau kalimat yang diungkapkan baik secara lisan maupun tulis (Wiratno, 2015). Bahasa merupakan unsur terpenting dalam sebuah karya sastra. Nurgiyantoro (2005) berpendapat bahwa bahasa dalam seni sastra ini dapat disamakan dengan cat warna. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, dan saran yang mengandung nilai lebih untuk dijadikan sebuah karya. Sebagai salah satu unsur terpenting tersebut, maka bahasa berperan sebagai sarana pengungkapan dan penyampaian pesan dalam sastra. Penggunaan bahasa dalam sastra populer secara umum menggunakan bahasa yang ringan, mudah dimengerti, dan seringkali memakai bahasa prokem dan yang sedang tren pada saat itu. Artinya, penggunaan bahasa gaul yang sering digunakan oleh kawula muda diterapkan dalam penulisan novel populer. Sehingga sastra populer itu bersifat kontemporer dan komersial. Chaer (2007) mengatakan bahwa ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa antara lain bahasa itu adalah sebuah sistem, berwujud lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, bermakna, konvensional, unik, universal, produktif, bervariasi, dinamis, bahasa berfungsi sebagai alat interaksi sosial, dan bahasa merupakan identitas penuturnya. Bahasa mempunyai fungsi yang amat penting bagi manusia, terutama sekali fungsi komunikatif. Halliday dalam bukunya yang berjudul “Exploration in the Functions of Languange” (1973) menemukan tujuh fungsi bahasa yaitu: 1) Fungsi instrumental (the instrumental function), melayani pengelolaan lingkungan, menyebabkan peristiwa-peristiwa tertentu terjadi. 2) Fungsi regulasi (the regulatory function), bertindak untuk mengawasi serta mengendalikan
peristiwa-peristiwa, mengatur serta mengendalikan orang lain. 3) Fungsi representasional (the representational function), adalah penggunaan bahasa untuk membuat pernyataan-pernyataan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan atau melaporkan, dengan perkataan lain “menggambarkan” (atau represent) realitas yang sebenarnya. 4) Fungsi interaksional (the interactional function) bertujuan untuk menjamin serta memantapkan ketahanan dan kelangsungan komunikasi sosial. Keberhasilan komunikasi interaksional ini menuntut pengetahuan secukupnya mengenai logat (slang), logat khusus (jargon), lelucon, cerita rakyat (folklore), adat-istiadat dan budaya setempat, tata krama pergaulan, dan sebagainya. 5) Fungsi personal (the personal function) memberi kesempatan kepada seseorang pembicara untuk mengekspresikan perasaan emosi, pribadi, serta reaksi-reaksinya yang mendalam. 6) Fungsi heuristik (the heuristic function) melibatkan penggunaan bahasa untuk memperoleh ilmu pengetahuan, mempelajari seluk-beluk lingkungan. 7) Fungsi imajinatif (the imajinative function) melayani penciptaan sistem-sistem atau gagasan-gagasan yang bersifat imajinatif. Mengisahkan cerita-cerita dongeng, membaca lelucon, atau menulis novel merupakan praktik penggunaan fungsi imajinatif bahasa.
Merujuk pada paparan di atas, perlu diingat bahwa ketujuh fungsi bahasa tersebut saling mengisi, saling menunjang satu sama lain, bukan saling membedakan (Brown, 1996: 194-5). Hal ini selaras dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Komunikasi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok dalam setiap konteks tuturan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ketika kita menanyakan maksud atau makna suatu tuturan kepada seseorang, seringkali tidak langsung memperoleh jawaban. Melainkan justru mendapat pertanyaan balik, seperti “konteksnya apa dulu nih?” Dari respon tersebut, dapat disimpulkan bahwa makna atau maksud suatu bahasa atau tuturan ditentukan oleh konteks. Disiplin ilmu linguistik yang menggunakan konteks sebagai alat utama untuk memahami makna adalah pragmatik. Menurut Levinson (1983, p. 21) pragmatics is the study of the relations between language and context that are basic to an account of language understanding ‘Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dan konteks yang menjadi dasar pertimbangan untuk memahami bahasa’.
Nosi penting dalam pragmatik adalah pengguna bahasa, penggunaan bahasa, dan konteks. Dengan kata lain, jika dijabarkan pragmatik mempelajari bagaimana orang menggunakan bahasa dalam suatu konteks tertentu. Pragmatik mengkaji maksud penutur dalam tuturan yang digunakan (Saifudin, 2005).
Konteks memiliki peran yang sangat signifikan dalam memahami maksud tuturan atau teks. Dash (dalam Pranowo, 2020) membuat klasifikasi konteks menjadi empat macam yaitu (a) konteks lokal (konteks yang mengacu pada lingkungan terdekatnya), (b) konteks sentensial (konteks yang mengacu pada kata kunci dalam kalimat yang terjadi, (c) konteks topik (konteks yang mengacu pada topik diskusi dan berfokus pada konten dari sepotong teks), (d) konteks global (yang dimaksud bahwa kata bukanlah entitas yang terisolasi tetapi kata-kata selalu saling terkait dengan kata-kata lain. Song (dalam Pranowo 2020) menyebut dengan konteks linguistik dan mengklasifikasikan konteks menjadi (a) konteks
linguistik, (b) konteks situasi, (c) konteks sosial, (d) konteks budaya. Sebaliknya, Huang et al (dalam Pranwo 2020) mengidentifikasi jenis konteks menjadi tiga macam, yaitu (a) konteks fisik, (seperti lokasi spatio-temporal, ucapan/lokasi ruang-waktu dari tuturan), (b) konteks linguistik, (c) konteks pengetahuan umum.
Merujuk pada paparan di atas, seorang penulis novel ingin menyampaikan maksud dan tujuannya melalui tuturan dari tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel untuk mempengaruhi sikap dan psikologi pembacanya. Fishman (dalam Rohmadi 2010) menjelaskan bahwa “who speaks what language to whom and when”. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sekitarnya. Tindak tutur sebagai wujud peristiwa komunikasi bukanlah peristiwa yang terjadi dengan sendirinya, melainkan mempunyai fungsi, mengandung maksud, dan tujuan tertentu serta dapat menimbulkan pengaruh atau akibat terhadap mitra tutur. Artinya, tiap ujaran yang berupa sebuah kalimat atau bukan kalimat adalah satuan bahasa yang menjadi objek kajian pragmatik, dan mempunyai fungsi tertentu seperti bertanya, memuji, meminta dsb. Tindak tutur terdiri atas tiga aspek yaitu (a) lokusi, (b) ilokusi, (c) perlokusi (Searle, 1974). Lokusi adalah rentetan bunyi yang membentuk satuan makna secara linguistis maupun pragmatis. Sementara itu, ilokusi adalah maksud yang ingin diungkapkan oleh penutur. Misalnya:
“Diminum, Bang” (Ia berkata sambil melihat ke arah Jaelani, bukan ke arah Jarkasi yang telah susah-susah mengantarnya). Tuturan di samping mengandung makna perintah. Namun, apabila ditafsir dari segi pragmatik tuturan tersebut dapat bermakna sindiran melalui tatapan mata Bati’ah yang malah melihat ke arah
Jaelani, bukannya Jarkasi. Perlokusi adalah efek yang dipahami oleh mitra tutur atas tuturan si penutur. Jarkasi berkata “Ketemuan dulu mau?”. Penutur ingin membujuk mitra tutur agar mau bertemu dengan wanita pilihan si penutur, mana tahu mitra tutur tertarik dengan wanita tersebut. Lebih lengkapnya maksud dan konteks dalam tuturan terdapat dalam kalimat berikut
Jarkasi: “Selera elu gimana sih, Bang? Bilang, entar gue cariin,” tanya Jarkasi, adik Jaelani ketika ia datang membawa foto perempuan yang keempat untuk ditawarkan kepada kakaknya untuk dinikahi.
Jaelani: “Selera… selera… emang milih duren?!” Jaelani berkata ketus sambil mengisap kreteknya. (Kumala, 2009: 8)
Konteks: Jarkasi mencarikan jodoh untuk kakaknya Jaelani.
Jarkasi terus berusaha mencarikan kakaknya jodoh. Ia tak sampai hati melihat kakaknya itu sendirian mengurus anak dan rumah. Namun, sebetulnya ia juga menyadari kalau Jaelani masih sangat mencintai almarhum istrinya, Rimah.
Jaelani juga belum tertarik untuk menikah lagi. . Jadi, data di atas merupakan tindak tutur ilokusi bentuk menjanjikan karena Jarkasi berkata “entar gue cariin.”
Lain halnya dengan percakapan yang terjadi antara Melati dengan Ibunya sore tadi. Melati bertanya kepada ibunya kenapa ia menangis. Kepolosan Melati yang masih anak-anak membuatnya mengira kalau ibunya menangis karena air jeruk buatannya tidak enak.
Melati: “Bunda kenapa nangis? Air jeruknya enggak enak, ya? Tapi, kan, Bunda belum minum? Masak Bunda tahu kalau ini enggak enak?” Melati melipat dahi, Bertanya lagi. Kedua tangannya tetap terjulur
Melati: “Eh, sebentar Melati icip dulu, ya!” Gadis kecil itu setelah sekian lama bingung menatap ibunya tetap tidak bergerak berinisiatif mengambil cangkir itu, menarik lagi tangannya. (Liye, 2006: 8)
Konteks: pagi itu ibu melati menangis. Sebetulnya ia menangis karena apa yang ada di pikirannya saat itu hanyalah mimpi.
Kecelakaan yang dialami Melati beberapa tahun yang lalu sangat membuat Tuan HK dan istrinya terpukul. Melati awalnya adalah sosok anak yang ceria dan
menggemaskan sama halnya dengan anak-anak lain seusianya. Namun, setelah kecelakaan itu, kehidupan keluarga Tuan HK berubah drastis. Melati mengalami sebuah kondisi yang mana membuatnya tidak bisa beraktivitas secara normal seperti dulu. Jadi, data di atas merupakan TT ilokusi direktif bentuk bertanya.
Karena Melati menanyakan suatu sebab mengapa bundanya menangis.
Suasana lain terjadi ketika penutur ingin menantang lawan tutur yang katanya amat ditakuti. Bahkan tentara dan polisi takut padanya, orang itu telah membunuh lebih banyak orang daripada seorang prajurit di masa perang. Semua bandit, perampok, bajak laut di kota itu anak buahnya belaka.
Maman Gendeng: “Berikan kekuasaanmu padaku,” kata Maman Gendeng kepadanya” atau kita bertarung sampai seorang mati.
Konteks: begitu siang datang, Maman Gendeng segera beranjak menuju terminal bus, menemui laki-laki yang tengah bergoyang-goyang di kursi ayun kayu mahoni.
Lawan tutur telah menunggunya, bagaimanapun. Mitra tutur menerima tantangan penutur. Dan kabar baik itu dengan cepat tersebar. Penduduk kota yang telah betahun-tahun tak pernah melihat tontonan yang cukup fantastis dengan penuh antusias berbondong-bondong menuju pantai tempat mereka bertarung.
Kemenangan mutlak diperoleh Maman Gendeng setelah pertarungan tujuh hari tujuh malam tanpa henti.
Maka dari itu, jenis tindak tutur yang terdapat di dalam novel dan mengandung maksud tersebut menarik untuk dikaji lebih dalam. Dalam penelitian ini, peneliti tidak hanya menggunakan satu sumber data, namun ada beberapa. Data yang dianalisis dalam penelitian ini berupa tuturan-tuturan tokoh yang ada pada novel populer Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2001-2010. Adapun novel tersebut antara lain. Pertama, Cantik Itu luka karya Eka Kurniawan yang diterbitkan oleh
PT. Gramedia Pustaka utama tahun 2004. Kedua, Kronik Betawi karya Ratih Kumala yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka utama tahun 2009. Ketiga, Moga Bunda Disayang Allah karya Tere liye yang diterbitkan oleh Republika tahun 2006. Keempat, Rahasia Selma karya Linda Christanty yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Utama Pustaka tahun 2010. Kelima, Sang Pemimpi karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh PT. Bentang Pustaka tahun 2008. Dengan harapan, jenis tindak tutur dan maksud tuturan yang terdapat di dalam novel-novel tersebut dapat diketahui melalui penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah utama penelitian ini adalah “Bagaimanakah maksud tindak tutur pengarang novel tahun 2001-2010 melalui ungkapan tokoh-tokohnya?”
Berdasarkan rumusan masalah utama tersebut, disusun sub masalah sebagai berikut.
1. Jenis tindak tutur apa sajakah yang digunakan oleh pengarang novel populer tahun 2001-2010 melalui tuturan tokoh dalam novel yang ditulisnya?
2. Maksud apa sajakah yang ingin diungkapkan oleh pengarang melalui para tokoh dalam novel-novelnya?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan jenis tindak tutur apa sajakah yang digunakan oleh pengarang novel populer tahun 2001-2010 melalui ungkapan tokoh dalam novel yang ditulisnya.
2. Mendeskripsikan maksud apa sajakah yang ingin diungkapkan oleh pengarang melalui para tokoh dalam novel-novelnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini tidak hanya bermanfaat secara teoritis namun juga bermanfaat secara praktis. Adapun manfaat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Beberapa manfaat teoretis dalam penelitian ini antara lain.
1. Sebagai tambahan acuan pustaka hasil penelitian mengenai jenis tindak tutur dan makna tuturan dalam karya sastra khususnya novel populer periode 2001-2010.
2. Hasil penelitian ini dapat diperbandingkan dan diterjemahkan dalam konteks penelitian sejenis.
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan acuan pustaka yang memperkuat keberadaan makna pragmatik sebagai salah satu perspektif teoretis.
Beberapa manfaat praktis dari hasil penelitian ini antara lain.
1. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber rujukan bagi pendidik dalam menyusun materi perkuliahan pragmatik maupun kajian sastra.
2. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam memahami karya sastra khususnya novel populer periode 2001-2010 dari sudut pragmatik.
1.5 Batasan Istilah 1. Pragmatik
Pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. (Levinson, 1983: 1-27)
2. Novel Populer
Nurgiyantoro (2005) novel populer adalah novel yang hanya populer pada masanya dan memiliki banyak penggemar, khususnya pembaca remaja.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa novel populer merupakan potret kehidupan yang digambarkan seorang penulis ke dalam realitas hidup para tokoh dalam cerita novel. Novel populer yang digunakan oleh peneliti terbatas hanya pada novel terbitan tahun 2001-2010
3. Tindak Tutur
Austin membagi tindak tutur menjadi tiga yakni tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak menuturkan sesuatu. Austin menyatakan bahwa lokusi hanyalah menuturkan sesuatu, menyampaikan informasi, berbicara, menanyakan, dan lain-lain (Austin, 1962, p. 108).
Tindak ilokusi adalah performance of an act in saying something
‘pelaksanaan suatu tindakan dalam mengatakan sesuatu’ (Austin, 1962, p.
99). Menurut Austin, tindak perlokusi adalah apa yang kita hasilkan atau capai dengan mengatakan sesuatu seperti meyakinkan, membujuk, menghalangi, mengatakan, mengejutkan, atau menyesatkan (1962).
4. Sastra
Rene Wellek dan Warren (dalam Dejowati, 2015) yang menyebutkan bahwa sastra adalah karya imajinatif atau fiktif yang bermedium bahasa dan mempunyai nilai estetik yang tinggi. Menurut keduanya, acuan karya sastra bukanlah dunia nyata, melainkan fiksi dan imajinasi.
1.6 Sistematika Penyajian
Tesis ini terdiri dari lima bab. Bab I yaitu Pendahuluan yang memaparkan 1) Latar Belakang, 2) Rumusan Masalah, 3) Tujuan Penelitian, 4) Manfaat Penelitian, 5) Batasan Istilah, 6) Sistematika Penyajian. Bab II merupakan Landasan Teori yang memaparkan 1) Pragmatik, 2) Tindak Tutur dengan sub jenisnya: a) Tindak Tutur Lokusioner, b) Tindak Tutur Ilokusioner, c) Tindak Tutur Perlokusioner, 3) Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung, 4) Konteks dengan subjenisnya: a) Konteks Dan Pragmatik, b) Konteks Dalam Linguistik, 5) Ciri-Ciri Konteks, 6) Jenis-Jenis Konteks, 7) Novel Populer, 8) Sastra dengan sub jenisnya. a) Pengertian Sastra, b) Sejarah Sastra, c) Sejarah Sastra Populer Indonesia, d) Ciri-Ciri Sastra Populer, 9) Kerangka Berpikir. Bab III berisi tentang Metodologi Penelitian, yaitu 1) Jenis Penelitian, 2) Sumber Data dan Data Penelitian, 3) Teknik Pengumpulan Data, 4) Instrumen Penelitian, 5) Teknik Analisis Data, 6) Triangulasi Data. Bab IV berisi tentang hasil penelitian
dan pembahasan. Hasil penelitian yang telah dilakukan kemudian dijabarkan secara mendalam pada bagian pembahasan berdasarkan fokus kajian. Bab V merupakan penutup, pada bagian penutup peneliti akan memaparkan kesimpulan dari penelitian. Pada bab ini juga terdapat saran untuk penelitian selanjutnya
14 BAB II
LANDASAN TEORI 2.1 Pragmatik
Levinson (1997) dalam bukunya Pragmatics membuat beberapa definisi pragmatik yang dikaitkan dengan konteks. Berikut ini adalah definisi pragmatik menurut Levinson yang berhubungan dengan konteks.
a) Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of language (Pragmatik adalah kajian ihwal hubungan antara bahasa dan konteks yang digramatikalisasikan atau dikodekan di dalam struktur bahasa).
b) Pragmatics is the study of relatuions between language and context that a basic to am account of language understanding (Pragmatik adalah kajian ihwal hubungan antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi penjelasan tentang pemahaman bahasa).
c) Pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the context in which they would be appropriate (Pragmatik adalah kajian ihwal kemampuan pengguna bahasa untuk menyesuaikan kalimat dengan konteks sehingga kalimat itu patut atau tepat diujarkan).
Di samping itu, kajian pragmatik adalah kajian penggunaan bahasa berdasarkan konteks pemakaiannya (Brown et al dalam Pranowo, 2020).
Ttannenbaum (dalam Pranowo, 2020) mendefinisikan pragmatik adalah cabang
linguistik yang mempelajari bahasa dari sudut pandang pengguna. Hua, Farah, &
Nayef (dalam Pranowo, 2020) mendefinisikan pragmatik sebagai “studi tentang pemahaman dan produksi bahasa melalui tindakan dalam konteks”.
Kasher (1998) mendefinisikan pragmatik sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana bahasa digunakan dan bagaimana bahasa tersebut diintegrasikan ke dalam konteks. Yule (1996), pragmatik adalah ilmu yang berkaitan dengan makna tuturan yang dikomunikasikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh mitra tutur.
Levinson (1983) mengemukakan bahwa pragmatik merupakan telaah mengenai relasi antara bahasa dengan konteks yang merupakan dasar dalam pemahaman bahasa. Dengan kata lain, pragmatik berkaitan dengan kemampuan pengguna bahasa dalam menghubungkan dan menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks- konteks secara tepat atau bagaimana suatu bahasa digunakan dalam komunikasi.
Pragmatik juga mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act). Misalnya dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk atau struktur. Untuk maksud
“menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, deklaratif, atau interogatif. Pragmatik mempelajari makna secara eksternal yaitu makna yang terikat konteks (context dependent) (Wijana, 1996).
Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa konteks diperlukan oleh pragmatik. Tanpa konteks, analisis pragmatik tidak bisa berlangsung. Leech (dalam Pranowo, 2020) mendefinisikan konteks adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial suatu tuturan. Leech menambahkan
bahwa konteks sebagai pengetahuan latar belakang yang secara bersama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur yang dapat membantu menginterpretasikan maksud penutur.
Gambaran dari initeraksi cabang-cabang linguistik dengan ilmu bahasa pragmatik sebagaimana disampaikan Geoffrey N. Leech (dalam Rahardi, 2003) tersebut dapat ditunjukkan pada ilustrasi diagramatik yang berikut ini.
Grammar
(Leech, 1983: 12)
Selaras dengan pengertian pragmatik di atas, penelitian yang dilakukan oleh Novi Safriani, Saiffudin Mahmud dan Muhammad Iqbal dengan judul “Tindak Tutur dalam Novel Perempuan Terpasung Karya Hani Naqshabandi” membahas tentang (1) Tindak tutur asertif “menyatakan” dalam novel Perempuan Terpasung karya Hani Naqshabandi, (2) tindak tutur asertif “menyarankan” dalam novel Perempuan Terpasung karya Hani Naqshabandi, (3) tindak tutur asertif “ mengeluh” dalam novel Perempuan Terpasung karya Hani Naqshabandi, (4) tindak tutur asertif “membual” dalam novel Perempuan Terpasung karya Hani Naqshabandi, (5) tindak tutur asertif “mengklaim” dalam novel Perempuan Terpasung karya Hani Naqshabandi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian Phonology
Syntax Semantics
Pragmatics
ini adalah pendekatan kualitatif dalam bentuk deskriptif-kualitatif. Data penelitian bersumber dari tuturan-tuturan yang terdapat pada percakapan antartokoh.
Sedangkan sumber data adalah novel Perempuan Terpasung karya Hani Naqshabandi. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik telaah dokumen, teknik observasi, dan teknik pencatatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tindak tutur asertif “menyatakan”
ditandai dengan penggunaan kalimat, diantaranya seperti “Saya seorang perempuan Arab Saudi berumur 30-an dan berasal dari keluarga baik-baik”, “lebih dari sepertiga pembaca laki-laki mencari kecantikan”, dan “sesungguhnya perkara halal yang Allah benci adalah perceraian”, (2) tindak tutur asertif “menyarankan”
ditandai dengan penggunaan kata seperti jika, mungkin, alangkah, carilah, mohonlah, ambillah, mengusulkan, buanglah, mulailah, angkatlah, ingatlah dan cobalah. Selanjutnya dapat pula ditandai dengan kalimat “Apa tidak lebih baik jika kita menunggu dua minggu lagi?” dan “Kenapa kamu tidak mencoba teh hijau saja?” (3) tindak tutur asertif “mengeluh” ditandai dengan penggunaan klausa seperti “aku sudah lelah mencari cinta”. Selanjutnya dapat pula ditandai dengan kalimat seperti “Apa tidak ada hal lain selain sabar?” dan “Mengapa mereka memperbolehkanku membuka penutup wajah ketika aku pergi ke luar Saudi di mana mata-mata asing dapat memandangku?” (4) tindak tutur asertif
“membual” ditandai dengan penggunaan kalimat, seperti “Barangkali itu ada di tempat lain, tapi bukan di dalam masyarakat Arab Saudi yang Islami” dan
“Melihat buku amalku, dengan pengecualian satu atau dua kesalahan, tampaknya aku akan berada di surga.” (5) tindak tutur asertif “mengklaim” ditandai dengan
penggunaan kata, seperti tentu dan berbentuk frasa, seperti “terlihat jauh lebih baik”. Selanjutnya tindak tutur asertif “mengklaim” dapat pula ditandai dengan klausa, seperti “dia pasti bisa” dan penanda lain berbentuk kalimat seperti “setiap masyarakat tentu memiliki karakteristik sendiri-sendiri.”, dan “Tapi yang dicari para pemuda adalah perempuan kaya dan gadis yang masih perawan”.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Ayu Novia Annisa, Hotma Simanjuntak, Amriani Amir dengan judul “Tindak Tutur Ilokusi dalam Kumpulan Cerita Rakyat Melayu Mempawah Zaman Kerajaan”, dilatarbelakangi oleh karena fungsi bahasa adalah alat untuk menyampaikan pesan atau maksud dari penutur kepada mitra tutur. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bentuk- bentuk tindak tutur ilokusi yang digunakan dalam kumpulan cerita rakyat Melayu Mempawah. Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan bentuk penelitian bersifat kualitatif. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa dalam cerita rakyat Melayu Mempawah digunakan tindak tutur ilokusi dalam bentuk verdiktif, asertif, direktif, ekspresif, dan tujuh bentuk komisif. Berdasarkan data yang ditemukan, bentuk-bentuk tindak tutur ilokusi dalam kumpulan cerita rakyat Melayu Mempawah berperan dalam menjembatani maksud yang disampaikan penutur kepada mitra tutur.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Wiendy Wiranty dengan judul “Tindak Tutur dalam Wacana Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata (Sebuah Tinjauan Pragmatik)” dilatarbelakangi oleh permasalahan bagaimana tindak tutur lokusi, ilokusi, perlokusi dalam wacana novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Hasil simpulan dari penelitian tersebut ialah 1) tindak lokusi adalah tindak
tutur menyatakan sesuatu dan hanya bersifat informatif. Tindak tutur lokusi dituturkan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa ada tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk memengaruhi lawan tuturnya. Beradasarkan hasil analisis data penelitian tindak tutur lokusi diperoleh 24 tindak tutur. Tokoh-tokoh yang menuturkan tuturan lokusi tersebut yaitu Bu Mus, Lintang, Ikal, A. Kiong, Ayah Flo, Flo, Samson, Mahar, Nurzaman, Supir.
2) Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan atau menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu tindakan.
Berdasarkan hasil analisis data penelitian tindak tutur ilokusi diperoleh 28 tindak tutur. Tokoh-tokoh yang menuturkan tuturan ilokusi adalah Pak Harfan, Ibu Harun, Bu Mus, Ikal, Lintang, Syahdan, Mahar, Pak Harfan, A. Ling, Samson, Kucai, A. Miaow, Sahara. 3) Tindak perlokusi adalah sebuah tuturan yang dituturkan oleh seseorang yang seringkali mempunyai daya pengaruh atau efek bagi yang mendengarkan. Berdasarkan hasil analisis data penelitian tindak tutur perlokusi diperoleh 30 tindak tutur. Tokoh-tokoh yang menuturkan tuturan perlokusi adalah Pak Harfan, Bu Mus, Ikal, Penjaga Toko, Lintang, A. Kiong, Trivanny, Kucai, Harun, Mahar, Samson, Professor.
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Musrifa Laila dengan judul “Tindak Tutur Dalam Novel 728 Hari Karya Djono W. Oesman” dilatarbelakangi oleh permasalahan tindak tutur apa sajakah yang terdapat dalam novel 728 hari karya Djono W. Oesman maka hasil temuan penelitian tersebut ialah tindak tutur dalam novel 728 hari karya Djono W. Oesman pada dasarnya digunakan untuk mengetahui bentuk tuturan yang terdapat dalam novel. Tindak asertif yaitu tindak
tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya. Misalnya memberitahukan, menyarankan, membanggakan, mengeluh, menuntut, melaporkan. Tindak direktif yaitu tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar melakukan sesuatu misalnya memesan, memerintahkan, memohon, meminta, menyarankan, menganjurkan, menasihatkan. Tindak komisif yaitu tindak tutur yang mendorong penutur melakukan sesuatu misalnya menjanjikan,bersumpah, menawarkan, memanjatkan (doa). Tindak ekspresif yaitu tindak tutur yang mempunyai fungsi untuk mengekspresikan, mengungkapkan, atau memberitahukan sikap psikologis sang pembicara menuju suatu pernyataan keadaan yang diperkirakan oleh ilokusi. Tindak deklaratif yaitu ilokusi yang bila performasinya berhasil akan menyebabkan korespondensi yang baik antara isi proposisional dengan realitas. Contoh menyerahkan diri, memecat, membebaskan, menentukan, menjatuhkan hukuman, memvonis, dan sebagainya.
Pada umumnya novel dikembangkan dalam bentuk narasi dan dialog untuk membuat novel lebih hidup. Percakapan di dalam novel juga merupakan tindak tutur. Dengan demikian, melalui tuturan yang ada dalam novel 728 hari karya Djono W. Oesman kita dapat mengetahui tema dan amanat dalam novel tersebut.
Selain itu, isi dari novel tersebut yaitu tentang perjuangan hidup seorang wanita yang tak pernah menyerah melawan penyakit lupus.
Dari keempat penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam tuturan mengandung maksud baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Penelitian ini muncul karena adanya keingintahuan peneliti tentang jenis tindak tutur apa sajakah yang terdapat di dalam novel populer periode 2001-2010. Dan dari
keempat penelitian tersebut, peneliti belum menemukan adanya pembahasan mengenai maksud tuturan yang terkandung di dalam novel. Oleh karena itu, penelitian ini sekaligus akan menjabarkan maksud apa sajakah yang ingin diungkapkan oleh pengarang melalui para tokoh dalam novel-novelnya.
2.2 Tindak Tutur
Austin membagi tindak tutur menjadi tiga yakni tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak menuturkan sesuatu. Austin menyatakan bahwa lokusi hanyalah menuturkan sesuatu, menyampaikan informasi, berbicara, menanyakan, dan lain-lain (Austin, 1962, p. 108). Tindak ilokusi adalah performance of an act in saying something ‘pelaksanaan suatu tindakan dalam mengatakan sesuatu’ (Austin, 1962, p. 99). Menurut Austin, tindak perlokusi adalah apa yang kita hasilkan atau capai dengan mengatakan sesuatu seperti meyakinkan, membujuk, menghalangi, mengatakan, mengejutkan, atau menyesatkan (1962).
Searle, (1979) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya terdapat tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Menurut Rustono (1999: 31) tindak tutur (speech act) merupakan entitas yang bersifar sentral dalam pragmatik. Dengan kata lain, mengujarkan sebuah tuturan tertentu bisa dipandang sebagai melakukan tindakan (mempengaruhi, menyuruh) di samping memang mengucapkan atau mengujarkan tuturan tersebut.
Hudson (dalam Alwasilah, 1993) tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur dan peritiwa tutur merupakan bagian dari situasi tutur. Setiap peristiwa tutur terbatas pada kegiatan atau aspek-aspek kegiatan yang secara langsung diatur oleh kaidah atau norma bagi penutur. Ujaran atau tindak tutur dapat terdiri atas satu tindak tutur atau lebih dalam satu peristiwa tutur dan situasi tutur. Dengan demikian, ujaran atau tindak tutur sangat tergantung dengan konteks ketika penutur bertutur. Tuturan-tuturan baru dapat dimengerti hanya dalam kaitannya dengan kegiatan yang menjadi konteks dan tempat tuturan itu terjadi. Sesuai dengan pendapat Alwasilah (1993) bahwa ujaran bersifat context dependent (tergantung konteks).
2.2.1 Tindak Tutur Lokusioner
Tindak Lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, kalimat itu. Tindak tutur ini dapat disebut sebagai the act of saying something (Rahardi, 2003). Dalam tindak lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur.
2.2.2 Tindak Tutur Ilokusiner
Tindak ilokusiner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi yang tertentu pula. Tindak tutur semacam ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something (Rahardi, 2003). Tindak ilokusi adalah apa yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu dan dapat merupakan tindakan menyatakan, berjanji, minta maaf, mengancam, meramalkan, memerintah,
meminta, dan lain sebagainya. Tindak ilokusi ini dapat dikatakan sebagai tindak terpenting dalam kajian dan pemahaman tindak tutur (Nadar, 2009).
Pembagian tindak tutur berdasarkan maksud penutur ketika berbicara (ilokusi) dibagi dalam lima jenis. Pembagian ini didasarkan atas asumsi "Berbicara menggunakan suatu bahasa adalah mewujudkan perilaku dalam aturan yang tertentu". Kelima tindak tutur tersebut adalah sebagai berikut.
Tindak ilokusi dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu representatif, komisif, direktif, ekspresif, deklaratif.
1. Tindak tutur representatif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk menetapkan atau menjelaskan sesuatu apa adanya. Tindak tutur ini, seperti menyatakan, melaporkan, memberitahukan, menjelaskan, mempertahankan, dan menolak dan lain-lain. Tindak menyatakan, mempertahankan maksudnya adalah penutur mengucapkan sesuatu, maka mitra tutur percaya terhadap ujaran penutur. Tindak melaporkan, memberitahukan maksudnya ketika penutur mengujarkan sesuatu, maka penutur percaya bahwa telah terjadi sesuatu. Tindak menolak, menyangkal maksudnya penutur mengucapkan sesuatu maka mitra tutur percaya bahwa terdapat alasan untuk tidak percaya. Tindak menyetujui, mengakui maksudnya ketika penutur mengujarkan sesuatu, maka mitra tutur percaya bahwa apa yang diujarkan oleh penutur berbeda dengan apa yang ia inginkan dan berbeda dengan pendapat semula.
2. Tindak tutur komisif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pembicaraan melakukan sesuatu seperti berjanji, bernazar, bersumpah, dan
ancaman. Komisif terdiri atas dua tipe, yaitu promises (menjanjikan) dan offers (menawarkan) (Ibrahim: 1993). Tindak menjanjikan, mengutuk dan bersumpah maksudnya adalah penutur menjanjikan mitra tutur untuk melakukan A, berdasarkan kondisi mitra tutur menunjukkan dia ingin penutur melakukan A.
3. Tindak tutur direktif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar melakukan sesuatu misalnya menyuruh, perintah, dan meminta.
Menurut Ibrahim (1993) direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitra tutur, misalnya meminta, memohon, mengajak, bertanya, memerintah dan menyarankan. Tindak meminta maksudnya ketika mengucapkan sesuatu, penutur meminta mitra tutur untuk melakukan A, maksudnya mitra tutur melakukan A, karena keinginan penutur. Tindak memerintah, maksudnya ketika penutur mengekspresikan keinginannya pada mitra tutur untuk melakukan A, mitra tutur harus melakukan A, mitra tutur melakukan A, karena keinginan penutur. Tindak bertanya, ketika mengucapkan sesuatu penutur bertanya, mengekspresikan keinginan kepada mitra tutur, mitra tutur menjawab apa yang ditanya oleh penutur.
4. Tindak tutur ekspresif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berupa meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji, dan mengkritik. Penutur mengekspresikan perasaaan tertentu kepada mitra tutur baik yang berupa rutinitas maupun yang murni. Perasaan dan
pengekspresian penutur untuk jenis situasi tertentu yang dapat berupa tindak penyampaian salam (greeting) yang mengekspresikan rasa senang karena bertemu dan melihat seseorang, tindak berterima kasih (thanking) yang mengekspresikan rasa syukur karena telah menerima sesuatu. Tidak meminta maaf (apologizing) mengekspresikan simpati karena penutur telah melukai atau mengganggu mitra tutur.
5. Tindak tutur deklaratif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan sesuatu yang dinyatakan antara lain dengan setuju, tidak setuju, dan benar-benar salah dan sebagainya.
2.2.3 Tindak Tutur Perlokusioner
Tindak perlokusioner adalah tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur yang semacam ini dapat disebut dengan the act of effecting someone. Tuturan aku mengantuk, misalnya saja dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul ketika penutur dan mitra tutur sedang dalam perjalanan menuju kampus dengan menaiki motor, ada kemungkinan penutur akan terjatuh ketika menaiki motor dalam keadaan mengantuk.
2.3 Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung
Hubungan antara jenis kalimat dan fungsi tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung terjadi jika jenis kalimat berbentuk deklaratif, interogatif, dan imperatif mempunyai fungsi menyatakan, menanyakan, dan menyuruh. Sedangkan tindak tutur tidak langsung terjadi jika jenis kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif
mempunyai fungsi memohon, menyuruh, menawarkan, memerintah, menyatakan, dan memperingatkan atau mengancam (Grundy, 1995).
Dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Pragmatik, Wijana (1996) menguraikan adanya dua jenis tindak tutur dalam berbahasa, yakni (1) tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, (2) tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal.
Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang dinyatakan sesuai dengan modus kalimatnya. Berdasarkan modusnya atau isinya, kalimat dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Kalimat berita adalah kalimat yang isinya menyampaikan informasi; kalimat tanya adalah kalimat yang isinya untuk menanyakan sesuatu; sedangkan kalimat perintah adalah kalimat yang isinya untuk menyatakan perintah (Putrayasa, 2014).
Tindak tutur tidak langsung adalah tindakan yang tidak dinyatakan langsung oleh modus kalimatnya. Ada kalanya untuk menyampaikan maksud memerintah seseorang akan menggunakan kalimat berita, atau bahkan mungkin menggunakan kalimat tanya. Ada kalanya pula, sebuah pertanyaan harus dinyatakan secara tidak konvensional dengan sebuah kalimat berita. Akan tetapi, perlu diketahui juga bahwa kalimat perintah mustahil dapat digunakan secara tidak langsung untuk menyatakan maksud yang bukan perintah. Jadi, hanya kalimat yang bermodus berita dan bermodus tanya sajalah yang bisa digunakan untuk menyatakan tindak tutur yang tidak langsung itu (Rahardi, 2009).
2.4 Konteks
Pengertian konteks dibedakan menjadi dua, yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, konteks sebagai pengetahuan tentang faktor-faktor di luar tuturan yang dipertimbangkan dalam berkomunikasi. Dalam arti sempit, konteks adalah bagian lain dari teks sebelum atau sesudahnya (co-text). Song (dalam Pranowo, 2020) menyebut dengan istilah konteks linguistik. Lebih lanjut Song mengklasifikasikan konteks menjadi (a) konteks linguistik, (b) konteks situasi, (c) konteks sosial, (d) konteks budaya (Song, 2010). Sebaliknya, (Huang et al dalam Pranowo 2020) mengidentifikasi jenis konteks menjadi tiga macam, yaitu: (a) konteks fisik (seperti lokasi spatio-temporal, ucapan/lokasi ruang-waktu dari tuturan, (b) konteks linguistik, dan (c) konteks pengetahuan umum.
Adapun konteks menurut Dell Hymes (dalam James, 1980), meliputi 6 dimensi yaitu: 1) tempat and waktu, 2) pengguna bahasa (participants) seperti dokter dengan pasien, ustaz dengan santri, penjual dengan pembeli, 3) topik pembicaraan (content) seperti politik, pendidikan, kebudayaan, 4) tujuan (purpose) seperti bertanya, menjawab, memuji, menjelaskan, 5) nada (key) seperti humor, marah, lemah lembut, 6) media/saluran (channel) seperti tatap muka, melalui SMS, melalui telepon, surat, E-mail.
Cook (dalam Pranowo, 2020) menyatakan bahwa konteks hanyalah sebuah bentuk pengetahuan dunia (knowledge of the world). Maksudnya, segala pengetahuan dunia yang dimiliki si penutur dapat berfungsi sebagai konteks ketika bertutur. Ahli lain, mengidentifikasi konteks menjadi dua, yaitu konteks statis dan konteks dinamis (Huang dalam Pranowo 2020).
Dey dalam Pranowo, 2020) menyatakan bahwa konteks adalah segala informasi yang dapat digunakan untuk menentukan situasi suatu entitas. Entitas dapat berupa orang, tempat, atau objek yang dianggap relevan dengan interaksi antar pengguna. Dash (dalam Pranowo, 2020) membuat klasifikasi konteks menjadi 4 macam, yaitu (a) konteks lokal (konteks yang mengacu pada lingkungan terdekatnya), (b) konteks sentensial (konteks yang mengacu pada kata kunci dalam kalimat yang terjadi, (c) konteks topik (konteks yang mengacu pada topik diskusi dan berfokus pada konten dari sepotong teks), (d) konteks global (yang dimaksud bahwa kata bukanlah entitas yang terisolasi tetapi kata-kata selalu saling terkait dengan kata-kata lain dan juga dengan realitas ekstralinguistik (Verschueren, 2008).
Seperti yang sudah dipaparkan di atas, konteks memiliki peran yang penting dalam memahami maksud tuturan. Lalu apakah itu konteks? Menurut pandangan peneliti, konteks sangat berpengaruh bagi penutur untuk memproduksi teks atau tuturan. Begitu sebaliknya, bagi mitra tutur, pembaca, atau pendengar dalam memahami teks atau tuturan. Sebelum memproduksi teks atau tuturan tentu saja penutur akan mempertimbangkan segala sesuatu yang akan dijadikan rujukan teks. Referensi-referensi apa yang dapat dipakai yang mitra tutur juga memiliki akses atau pengetahuan tentang referensi tersebut. Sehingga teks atau tuturan tersebut dapat dimengerti maksudnya oleh mitra tutur.
Maka, dapat disimpulkan bahwa konteks adalah kerangka konseptual tentang segala sesuatu yang dijadikan referensi dalam bertutur ataupun memahami maksud tuturan. Kerangka yang dimaksud di sini adalah seperangkat peranan dan
hubungan yang menjadi bagian dari pembentuk makna. Konseptual berarti berada di dalam pikiran dan dijadikan sebagai pemahaman dari hasil olah pikir, pengalaman, pengetahuan, ataupun persepsi dari indera manusia. Maka, gambaran konteks akan tampak seperti berikut.
Dari gambaran di atas, tampak bahwa makna atau maksud dari sebuah teks diperoleh melalui gabungan antara teks dan konteks. Konteks digambarkan dalam kotak yang lebih besar karena memang konteks lebih luas dari teks. Kotak dengan garis putus-putus menggambarkan bahwa konteks tidak terdapat dalam teks, tidak tertulis, atau terucap dalam teks.
Sejalan dengan hal tersebut, Brown dan Yule (1996) menegaskan bahwa konteks mengacu pada keadaan atau lingkungan yang menggunakan bahasa di dalamnya. Brown dan Yule menyarankan agar komunikasi dapat berjalan lancar diperlukan proses komunikasi yang dinamis dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Konteks dalam sebuah tuturan sangat diperlukan untuk membantu menginterpretasikan maksud dalam berkomunikasi. Selain itu, perlunya pemahaman mengenai perbedaan antara konteks dalam pragmatik dan konteks dalam linguistik. Kedua konteks tersebut memiliki perbedaan. Konteks pragmatik perlunya pemahaman dalam menentukan apa yang menjadikan fakta-
fakta yang relevan dalam konteks ujaran itu sendiri. Sedangkan konteks linguistik adalah yang terlihat dari apa yang mengikuti teks itu sendiri.
2.4.1 Konteks dan Pragmatik
Istilah konteks pertama kali diperkenalkan oleh Malinowski (1923:307) dengan sebutan “konteks situasi”. Ia merumuskan konteks situasi seperti berikut.
Exactly as in the reality of spoken or written languages, a word without linguistic context is a mere figment and stands for nothing by itself, so in the reality of spoken living tongue, the utterance has no meaning except in the context situation.
Leech (1983) memerikan konteks sebagai salah satu komponen dalam situasi tutur. Menurut Leech, konteks didefinisikan sebagai aspek-aspek yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Leech menambahkan dalam definisinya tentang konteks yaitu sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang secara bersama dimiliki oleh penutur dan petutur, dan konteks ini membantu petutur menafsirkan atau menginterpretasikan maksud tuturan penutur. Leech juga mengidenifikasi konteks dengan sebutan aspek-aspek situasi tutur (aspects of speech situation) yang mencakup penyapa dan pesapa (addressers or addressees), konteks tuturan (the context of an utterance), tujuan tuturan (the goal (s) of an utterance), tuturan sebagai bentuk tindakan: tindak tutur (the utterance as a form of act or activity: speech act).
Levinson (1983: 5) mengemukakan konteks dari definisi Carnap, yaitu istilah yang dipahami yang mencakuo identitas partisipan, parameter ruang, dan waktu dalam situsi tutur, dan kepercayaan, pengetahuan serta maksud partisipan di dalam situasi tutur. Selanjutnya Levinson (1983: 22-23) menjelaskan bahwa
untuk mengetahui sebuah konteks, seorang harus membedakan antara situasi aktual sebuah tuturan dan semua keserbaragaman ciri-ciri tuturan mereka. Untuk mengetahui ciri-ciri konteks, Levinson mengambil pendapat Lyons yang membuat daftar prinsip-prinsip universal logika dan pemakaian bahasa, yaitu:
a) Pengetahuan ihwal aturan dan status (aturan meliputi aturan dalam situasi tutur seperti penutur atau petutur, dan aturan sosial, sedangkan status meliputi nosi kerelativan kedudukan sosial)
b) Pengetahuan ihwal loksi spasial dan temporal c) Pengetahuan ihwal tingkat formalitas
d) Pengetahuan ihwal medium: kira-kira kode atau gaya pada sebuah saluran, seperti perbedaan antara variasi bahasa tulis dan lisan
e) Pengetahuan ihwal ketepatan sesuatu yang dibahas
f) Pengetahuan ihwal ketepatan bidang wewenang (atau penentuan domain register sebuah bahasa)
Pendapat lain dikemukakan oleh Hamblin yang menafsirkan konteks sebagai keunikan yang dimiliki penutur dalam arti janji yang tercatat (Gazdar: 1976). Van Dijk (dikutip Levinson, 1983) menambahkan bahwa konteks ditafsirkan sebagai situasi kompleks, sebagaimana situasi ihwal pasangan berurutan yang situasi awalnya menyebabkan situasi kedua. Situasi pertama adalah produksi tuturan yang diujarkan penutur, sedangkan situasi yang kedua merupakan tafsir tuturan oleh petutur. Senada dengan pendapat Dijk, Verschueren (1999) menjelaskan bahwa dalam pemakaian bahasa terdapat unsur penutur dan petutur. Penutur bertugas membuat tuturan, sedangkan petutur menafsirkan utturan prnutur. Ihwal
konteks, Verschueren mengaitkan dengan dunia psikologis, sosial, fisik, saluran linguistic, dan konteks linguistik. Ihwal definisinya, konteks adalah hasil proses pembangkitan yang meliputi apakah yang ada di luar sana mobilisasi atau pengarahan (dan kadang-kadang berupa manipulasi) oleh pengguna bahasa.
Schriffin (1994) memerikan konteks dalam bukunya Approach to Discourse dalam satu bab tersendiri. Pemerian konteks ia hubungkan dengan nosi teks.
Dalam bukunya tersebut, Schriffin membahas konteks dalam kaitannya dengan berbagai teori, yaitu teori tindak tutur, pragmatik, sosiolinguistik interaksional, dan etnografi komunikasi. Teori tindak tuutr dan pragmatik memandang konteks sebagai pengetahuan (berhubungan dalam linguistik maupun dalam kompetensi komunikasi).
Yule (1996) membahas konteks dalam kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi referen-referen yang bergantung pada satu atau lebih pemahaman orang itu terhadap ekspresi yang diacu. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Yule membedakan konteks dan koteks. Konteks ia definisikan sebegai lingkungan fisik sebuah kata dipergunakan. Koteks menurut Yule adalah bahan linguistik yang membantu memahami sebuah ekspresi atau ungkapan.
Koteks adalah bagian linguistik dalam lingkungan tempat sebuah ekspresi dipergunakan.
Mey (2001) berpendapat bahwa konteks itu penting dalam pembahasan ketaksaan bahasa lisan atu tulis. Mey mendefinisikan konteks sebagai konsep dinamis dan bukan konsep statis, yang harus dipahami sebagai lingkungan yang senantiasa berubah, dalam arti luas yang memungkinkan partisipasi berinteraksi